PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DI KALANGAN KELUARGA DALAM HUKUM INDONESIA
H. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencurian dalam Keluarga
3. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian
Selain “harta bersama” tersebut, hukum perdata juga mengenal apa yang disebut “harta bawaan”, yaitu harta benda yang dibawa oleh salah satu pihak ke dalam suatu perkawinan. “harta bawaan” ini di dalam hukum perdata hanya berlaku ketika dalam masalah perceraian.
81Ibid, hlm. 161.
Unsur-unsur tindak pidana pencurian menurut Lamintang, tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok seperti yang diatur dalam Pasal 362 KUHP tersebut di atas itu terdiri dari unsur subyektif dan unsur obyektif.
a. Unsur subyektif
’met het oogmerk om het zich wederrehtelijk toe te eigenen’ atau dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum;
b. Unsur obyektif
1) ’hij’ atau barangsiapa;
2) ’wegnemen’ atau mengambil;
3) ’eenig goed’ atau sesuatu benda;
4) ’dat geheel of gedeeltelijk aan een ander toebehoort’ atau yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain. 82
Unsur-unsur tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 363 KUHP.
Seperti telah diketahui ’unsur obyektif pertama’ dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 362 KUHP itu ialah ’hij’, yang lazim diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan kata ’barangsiapa’. Kata ’hij’ tersebut menunjukkan orang, yang apabila ia memenuhi semua unsur tindak pidana yang diatur dalam pasal tersebut maka karena bersalah telah melakukan tindak pidana pencurian, ia dapat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana denda setingi-tingginya sembilan ratus rupiah. 83
’Unsur obyektif yang kedua’ dari tindak pidana pencurian adalah perbuatan
’mengambil’ dari tempat di mana barang tersebut terletak. Oleh karena di dalam kata
’mengambil’ sudah tersimpul pengertian ’sengaja’ maka undang-undang tidak menyebutkan ’dengan sengaja mengambil’. Kalau kita mendengar kata ’mengambil’
82 Lamintang 1984. Op. cit., hlm. 1.
83Ibid., hlm. 8.
maka pertama terpikir oleh kita adalah membawa sesuatu barang dari suatu tempat ke tempat lain. Perbuatan ’mengambil’ tidak cukup apabila si pelaku hanya memegang barangnya saja, akan tetapi si pelaku harus melakukan suatu perbuatan sehingga barang yang dimaksud jatuh di dalam kekuasaannya. 84
”Unsur ’mengambil’ mengalami berbagai penafsiran sesuai dengan perkembangan masyarakat. ’Mengambil’ pada mulanya diartikan memindahkan barang dari tempat semula ke tempat lain. Ini berarti membawa barang di bawah kekuasaannya yang nyata. Perbuatan ’mengambil’ berarti perbuatan yang mengakibatkan barang berada di bawah kekuasaan yang melakukan atau yang mengakibatkan barang itu berada di luar kekuasaan pemiliknya. Tetapi hal ini tidak selalu demikian, sehingga tidak perlu disertai akibat dilepaskannya dari kekuasaan pemilik”.
Kaitannya dengan unsur ’mengambil’, Moch. Anwar mengemukakan pendapatnya tentang ’mengambil’ dari tindak pidana pencurian sebagai berikut :
85
a. Mengambil dari tempat di mana suatu benda itu semula berada;
Mengenai pengertian unsur ’mengambil’ yang diberikan oleh Lamintang, sebagai berikut :
”Perlu diketahui bahwa baik undang maupun pembentuk undang-undang ternyata tidak pernah memberikan suatu penjelasan tentang yang dimaksud dengan perbuatan ’mengambil’, sedangkan menurut pengertian sehari-hari kata ’mengambil’ itu sendiri mempunyai lebih dari satu arti, yakni :
b. Mengambil suatu benda dari penguasaan orang lain.
84 Hermin Hediati Koeswadji, 1984. Op. Cit. hlm. 20.
85 Moch. Anwar,. Hukum Pidana Bagian Khusus (Jilid I). Alumni, Bandung, 1986.) hlm. 17.
Berdasarkan hali itu dapat dimengerti jika di dalam doktrin kemudian telah timbul berbagai pendapat tentang kata ’mengambil’ tersebut”. 86
Sarjana lain yang memberikan pengertian tentang perbuatan ’mengambil’
diantaranya adalah Simons, pengertiannya adalah sebagai berikut : ”Mengambil itu ialah membawa suatu benda menjadi berada dalam penguasannya atau membawa benda tersebut secara mutlak berada di bawah kekuasaannya yang nyata, dengan kata lain, pada waktu pelaku melakukan perbuatannya, benda tersebut harus belum berada dalam penguasannya”. 87
Perbuatan tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP itu adalah merupakan suatu ’tindak pidana formil’, maka tindak pidana tersebut harus dianggap telah selesai dilakukan oleh pelakunya yaitu segera setelah pelaku tersebut melakukan perbuatan ’mengambil’ seperti yang dilarang untuk dilakukan orang di dalam Pasal 362 KUHP. 88
’Unsur obyektif ketiga’ dari tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP itu ialah ’eenig goed’ atau ’suatu benda’. Kata ’goed’ atau ’benda’ itu oleh para pembentuk Kitab Undag-undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia dewasa ini, ternyata bukan hanya dipakai di dalam rumusan Pasal 362 KUHP saja melainkan juga di dalam rumusan-rumusan dari lain-lain tindak pidana, seperti pemerasan, penggelapan, penipuan, pengrusakan, dan lain-lain. 89
86 Lamintang, 1989. Op. Cit. hlm. 12.
87Ibid. hlm. 13.
88Ibid. hlm. 15
89Ibid. hlm. 16.
Pada waktu Pasal
362 KUHP tertentu, orang hanya bermaksud untuk mengartikan kata ’goed’ yang terdapat di dalam rumusannya, semata-mata sebagai ’stoffelijk en reorend god’ atau sebagai ’sebagai benda yang berwujud dan menurut sifatnya dapat dipindahkan’. 90
”Pengertian barang telah mengalami proses perkembangan. Dari arti barang yang berwujud menjadi setiap barang yang menjadi bagian dari harta kekayaan. Semula barang ditafsirkan sebagai barang-barang yang berwujud dan dapat dipindahkan (barang bergerak). Tetapi kemudian ditafsirkan sebagai setiap bagian dari harta benda seseorang. Dengan demikian barang itu harus ditafsirkan sebagai sesuatu yang mempunyai nilai di dalam kehidupan ekonomi dari seseorang. Barang tidak perlu kepunyaan orang lain pada keseluruhannya
sedangkan obyek pencurian, atau sebagain lagi adalah kepunyaan pelaku sendiri. Barang yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi obyek
pencurian, yaitu barang-barang dalam keadaan ’res nellius’ dan res derelictae’.
Tentang pengertian ’barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain’ terhadap pengertian tersebut, Moch. Anwar mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :
91
Menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan ’barang’ adalah segala sesuatu yang berwujud, termasuk pula binatang (manusia tidak). Bukan barang yang tidak bergerak (onroerend goed), tetapi yang dapat bergerak (roerend goed), karena dalam pencurian barang itu harus dapat dipindahkan. Pencurian tidak dapat terjadi terhadap barang – barang yang tidak bergerak seperti tanah, sawah, gedung, dan sebagainya. 92
Berkenaan dengan kenyataan-kenyataan sebagaimana tersebut di atas, Simons mengatakan bahwa ’Segala sesuatu yang merupakan bagian dari harta kekayaan
90Ibid. hlm. 17.
91Moch. Anwar, 1986. Op. cit. hlm 18
92 R. Soesilo,Pokok - pokok Hukum Pidana Peraturan Umum Delik-delik Khusus.(Politea, Bogor, 1984). hlm. 118
(seseorang) yang dapat diambil (oleh orang lain) itu, dapat menjadi obyek tindak pidana pencurian’. Dari kata-kata ’segala sesuatu yang merupakan bagian dari harta kekayaan’ di atas dapat disimpulkan, bahwa dapat menjadi obyek tindak pidana pencurian itu hanyalah benda-benda yang ada pemiliknya saja. 93
Moch. Anwar menjelaskan pengertian ’dengan maksud melawan hukum’, istilah ini terwujud dalam kehendak, keinginan atau tujuan dari pelaku untuk memiliki barang secara melawan hukum. Melawan hukum di sini diartikan sebagai perbuatan memiliki yang dikehendaki tanpa hak atau kekuasaan sendiri dari pelaku.
Pelaku harus sadar, bahwa yang diambilnya adalah milik orang lain. 94
”Memiliki bagi diri sendiri adalah setiap perbuatan penguasaan atas barang tersebut, melakukan tindakan atas barang itu seakan-akan pemiliknya, sedangkan ia bukanlah pemiliknya. Maksud memiliki barang bagi diri sendiri itu terwujud dalam berbagai jenis perbuatan, yaitu menjual, memakai, memberikan kepada orang lain, menggadaikan, menukarkan, merubahnya, dan sebagainya. Pendeknya setiap penggunaan atas barang yang dilakukan pelaku seakan-akan pemilik, sedangkan ia bukan pemilik. Maksud untuk memiliki barang itu tidak perlu terlaksana, cukup apabila maksud itu ada. Meskipun barang itu belum sempat dipergunakan, misalnya sudah tertangkap dulu, karena kejahatan pencurian telah selesai terlaksana dengan selesainya perbuatan mengambil barang.
Lebih lanjut mengenai pengertian ’memiliki barang bagi diri sendiri’ Moch. Anwar berpendapat sebagai berikut :
95
Sejalan dengan pendapat di atas, R. Soesilo mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : ”Pengambilan harus dilakukan dengan maksud hendak memiliki barang itu dengan melawan hukum. ’Memiliki’ artinya bertindak sebagai orang yang
93 Lamintang, 1989. Op. cit. hlm. 21.
94 Moch. Anwar, 1986. Op. cit. hlm. 19.
95 Moch. Anwar, 1986. Loc. cit.
punya, sedangkan ’melawan hukum’ berarti tidak berhak, bertentangan dengan hak orang lain, tidak minta ijin terlebih dahulu”. 96 Kata-kata ’memiliki secara melawan hukum’ itu sendiri mempunyai arti yang jauh lebih luas dari sekedar apa yang disebut ’zich toeeigenen’, karena termasuk dalam pengertiannya antara lain ialah ’cara’ untuk dapat memiliki suatu barang. 97
4. Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan..
Pencurian yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dan Pasal 365 KUHP dinamakan pencurian dengan kualifikasi (gequalificeerd diefstal). Wirjono Prodjodikoro menerjemahkan dengan ”pencurian khusus” sebab pencurian tersebut dilakukan dengan cara tertentu. Istilah yang dirasa tepat adalah yang digunakan oleh R. Soesilo (dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yaitu ”pencurian dengan pemberatan” sebab dari istilah tersebut sekaligus dapat dilihat, bahwa karena sifatnya maka pencurian itu diperberat ancaman pidananya. 98
a. Unsur subyektif
Kata ”pencurian” dalam rumusan pencurian dengan kualifikasi seperti yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dan Pasal 365 KUHP tersebut mempunyai arti yang sama dengan kata ”pencurian” sebagai pencurian dalam bentuk pokok yang dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, dengan demikian antara pencurian dengan pemberatan dan pencurian biasa mempunyai unsur-unsur yang sama, yaitu :
Dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum.
96 R. Soesilo, 1984. Op. cit. hlm. 119.
97 Lamintang, 1989. hlm. 31.
98 Hermien Hediati Koeswadji, 1984. Op. cit. hlm. 25.
b. Unsur obyektif 1) barangsiapa 2) mengambil c. Sebuah benda
d. Yang sebagaian atau seluruhnya kepunyaan orang lain. 99
Menurut Moch. Anwar, mengenai pencurian dengan pemberatan, berpendapat sebagai berikut : ”Perumusan Pasal 363 ayat (1) KUHP menunjukkan pencurian yang gequqlificeerd atas pencurian dalam bentuk pokok sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP adalah karena hanya disebut nama kejahatannya saja yaitu pencurian, ditambah unsur lain yang memberatkan”. 100
Lebih lanjut tentang pencurian dengan pemberatan Sudradjat Bassar mengemukakan bahwa ”Pencurian ini termasuk pencurian istimewa maksudnya suatu pencurian dengan cara-cara bersifat lebih berat dan diancam dengan hukuman yang maksimalnya lebih tinggi, yaitu lebih dari hukuman penjara lima tahun”. 101
Mengenai kata ”pencurian” di dalam rumusan Pasal 363 KUHP itu dipandang sudah cukup diartikan sebagai ”pencurian dalam bentuk pokok”, maka untuk selanjutnya akan dibicarakan unsur-unsur selebihnya yang pada umumnya merupakan
”unsur-unsur yang memberatkan”. Unsur-unsur yang memberatkan pidana, dalam doktrin juga sering disebut sebagai ”strafverzwarevde omstandigheden” atau
”keadaan-keadaan yang memberatkan pidana”. Keadaan-keadaan yang memberatkan
99Lamintang 1989. Op. cit. hlm. 1.
100 Moch. Anwar, 1989. Op. cit. hlm. 20.
101 Sudradjat Bassar, 1986. Op. Cit., hlm. 68.
pidana di dalam putusan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dan Pasal 365 KUHP itu oleh Van Bemmelen dan Van Hattum disebut sebagai ”objectief verzwarende omstandigheden” atau ”keadaan-keadaan yang memberatkan secara obyektif”, yang berlaku bagi setiap ”peserta” dalam tindak pidana. 102
Tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP itu juga merupakan suatu ”gequalificeerde diefstal” atau suatu pencurian dengan kualifikasi ataupun merupakan suatu pencurian dengan unsur-unsur yang memberatkan. Dengan demikian maka yang diatur dalam Pasal 365 KUHP itu sesungguhnya hanyalah ”satu kejahatan” dan bukan ”dua kejahatan” yang terdiri dari kejahatan ”pencurian” dan kejahatan ”pemakaian kekerasan terhadap orang”, ataupun bukan merupakan suatu
”samenloop” dari kejahatan ”pencurian” dengan kejahatan ”pemakaian kekerasan terhadap orang”. 103
Kekerasan atau ancaman kekerasan itu harus ditujukan kepada orang-orang, akan tetapi tidaklah perlu bahwa orang tersebut merupakan pemilik dari benda yang akan dicuri atau telah dicuri. 104
102 Lamintang 1989. Op. cit. hlm. 48.
103Ibid., hlm. 52.
104Ibid., hlm. 55.
Menurut pendapat Simons, kekerasan itu tidaklah perlu merupakan sarana atau cara untuk melakukan pencurian, melainkan cukup jika kekerasan tersebut tercaji ”sebelum”, ”selama” dan ”sesudah” pencurian itu dilakukan dengan maksud seperti yang dikatakan di dalam rumusan Pasal 365 ayat (1) KUHP, yaitu:
a. untuk mempersiapkan atau untuk memudahkan pencurian yang akan dilakukan;
b. jika kejahatan yang mereka lakukan itu ”o pheterdaad betrap” atau
”diketahui pada waktu sedang dilakukan”, untuk memungkinkan dirinya sendiri atau lain-lain peserta kejahatan dapat melarikan diri;
c. untuk menjamin tetap dikuasainya benda yang telah mereka curi.105
Unsur-unsur yang memberatkan pidana pada tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 365 ayat (2) KUHP menurut Moch. Anwar adalah sebagai berikut :”Pencurian yang dirumuskan adalah Pasal 365 ayat (1) KUHP dengan disertai masalah-masalah yang memberatkan yaitu :
ke-1 - pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup di mana berdiri sebuah rumah:
- di jalan umum;
- di dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;
ke-2 dilakukan bersama-sama oleh 2 orang atau lebih;
ke-3 yang bersalah memasuki tempat kejahatan dengan cara membongkar, memanjat, anak kunci palsu,perintah palsu, pakaian jabatan palsu”. 106 Mengenai apa yang dimaksud dengan jalan umum sebagai salah satu unsur yang terdapat dalam Pasal 365 ayat (2) sub 1 KUHP menurut R. Soesilo, adalah sebagai berikut : ”Jalan umum adalah semua jalan, baik mlik pemerintah maupun partikelir, asal dipergunakan untuk umum (siapa saja boleh berjalan di situ). Dalam Pasal 365 ayat (3) KUHP disebutkan apabila perbuatan pencurian dengan kekerasan ini menimbulkan matinya orang. Dalam ayat ini matinya orang lain merupakan akibat yang timbul karena penggunaan kekerasan dan kematian di sini bukan dimaksudkan oleh si pembuat. Apabila kematian itu dimaksud (diniati) oleh si pembuat maka ia
105Lamintang, 1989. Loc. cit.
106 Moch. Anwar, 1986. Op. cit., hlm. 27.
dikenakan Pasal 339 KUHP. 107Alasan memberatkan hukuman terhadap pencurian di jalan umum, dikereta api yang sedang berjalan, mobil atau bus umum seperti termuat dalam Pasal 365 ayat (2) KUHP adalah karena pada tempat-tempat tadi korban ttidak mudah mendapat pertolongan dari orang lain. 108
Melihat pengertian dan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 365 KUHP ini dapat dikatakan bahwa pasal tersebut merupakan pembatasan antara delik harta benda (vermogens delict) dan delik terhadap nyawa (levens delict). Lebih-lebih apabila kejahatan tersebut mengakibatkan matinya seseorang yang menurut KUHP Indonesia diancam dengan hukuman mati, sedangkan menurut WvS Nederland hanya ancaman penjara selama-lamanya 15 tahun. 109
I. Delik Pencurian Dikalangan Keluarga Dalam Pasal 367 Ayat 2 KUHPidana