• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Pengertian Delik Aduan Pada Hukum Pidana 1. Pengertian Delik

Delik adalah terjemahan dari kata Strafbaar feit.127

Moeljatno berpendapat bahwa untuk perkataan Strafbaarfeit, peristilahan yang paling tepat adalah perbuatan pidana. Pemakaian istilah perbuatan dirasakan sepadan oleh karena dari sana dapat diambil suatu penafsiran, yakni adalah kelakuan dan akibat yang dilarang oleh suatu hukum. Alasan lain adalah bahwa dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit. Pertama, adanya kejadian yang tertentu, dan kedua adanya orang Menurut Samidjo delik adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan hukum lainnya, yang dilakukan dengan sengaja atau dengan salah (schuld), oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Delik adalah terjemahan dari kata Strafbaar feit. Terjemahan lain untuk kata strafbaar feit adalah peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan pelanggaran pidana. Masih belum didapat satu sinonim dan/atau terjemahan kata yang terpola dan diakui secara umum untuk peristilahan Strafbaar feit ini. Masing-masing sarjanamenyampaikan pengertian dan pernyataan yang berbeda pula.

127 http://hukumonline2016.blogspot.co.id/2016/10/pengertian-delik-biasa-dan-delik-aduan.html, diakses pada hari Jumat, tanggal 14 juli 2017, Jam 24.00 WIB.

yang berbuatyang menimbulkan kejadian itu.128

Mengenai delik dalam arti strafbaar feit, para pakar hukum pidana masing-masing memberiikan Definisi berbeda, menurut Vos mendefinisikan delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum berdasarkan undang-undang. Van Hammel mendefiniskan delik sebagai suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain, sedangkan Prof. Simons mengartikan delik sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

Tegasnya menurut Moeljatno, untuk dapat dikatakan adanya suatu perbuatan pidana, maka yang paling penting harus berunsurkan adanya kelakuan dan akibat, adanya kejadian tertentu yang menyertai perbuatan dan adanya si pembuat.

129

Bahwa feit diartikan tidak hanya perbuatan atau kelakuan saja tetapi termasuk juga didalamnya adalah akibat. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifat perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar.

Perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana.130

128Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, (Cetakan Ketujuh, PT . Rineka Cipta, Jakarta, 2002), hal 54.

129http://hukum-indo.blogspot.co.id/2011/11/macam-macam-delik.html, dikases pada hari Jumat, tanggal 14 juli 2017, jam 00.00 WIB

130Ibid.,hlm. 56-57

Pendapat lain sejalan dengan pengertian istilah strafbaarfeit ini adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Lamintang yang menyamakan artinya dengan peristiwa pidana sebagai berikut : “secara harafiah perkataan strafbaarfeit

itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui

bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan”.131

Pemakaian kata peristiwa pidana, maka hal itu tegas menunjukkan adanya unsur kelakuan dan atau tindakan, berbuat atau lalai berbuat.132

Peristiwa pidana juga mencakup unsur pertanggungjawaban pidana, seperti yang dikemukakan oleh Utrecht, yaitu : apakah seseorang mendapat hukuman bergantung pada dua unsur, yaitu harus ada suatu kelakuan bertentangan dengan hukum (unsur obyektif) dan seorang pembuat (dader) yang bertanggungjawab atas kelakuan yang bertentangan dengan huku m itu (unsur subjektif).

Tidak hanya perbuatan yang dapat terlihat secara langsung, tetapi juga perbuatan yang tidak secara langsung (seperti : menyuruh, menggerakkan dan membantu) adalah juga dapat dimasukkan sebagai suatu kelakuan.

133

131P. A. F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997), hlm. 181

132Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Pradnya Paramita, Jakarta, 1983), hlm. 338

133E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Cetakan ke 11, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1989), hlm. 390.

Semua perbuatan yang bertentangan dengan azas-azas hukum menjadi pelanggaran hukum. Dalam hukum pidana, suatu pelanggaran hukum disebut perbuatan melawan hukum (wederrechtelijkehandeling). Dengan kata lain, pelanggaran hukum itu, untuk hukum pidana, memuat unsur melawan hukum. Di antara pelanggaran hukum itu ada beberapa yang diancam dengan hukuman (pidana), yaitu diancam dengan suatu sanksi istimewa. Pelanggaran hukum semacam inilah yang oleh KUHP dikualifikasi peristiwa pidana (strafbaar feit).

Peristilahan peristiwa pidana sebagai padanan kata strafbaarfeit adalah cukup tepat. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa dari pemahaman istilah peristiwa pidana itu, yang dapat dirumuskan adalah terhadap peristiwa pidana yang diancam dengan pidana bukan saja yang berbuat, tetapi juga menyangkut mereka yang tidak berbuat.

Pemahaman itu juga sejalan dengan unsur pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana.

Peristilahan strafbaarfeit juga dapat disepadankan dengan perkataan delik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Samidjo, yaitu delik adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan hukum lainnya, yang dilakukan dengan sengaja atau dengan salah (schuld), oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.134

Beberapa pendapat pakar dan istilah strafbaarfeit itu, umumnya masing-masing pengertian itu mengandung elemen yang jelas tentang suatu kelakuan atau

134Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, (Armico, Bandung, 1985), hlm 154-155

perbuatan yang pada prinsipnya adalah suatu strafbaarfeit dan dengan sendirinya dapat dihukum. Karenanya, terhadap setiap kelakuan atau perbuatan itu dapat dikenai sanksi pidana (atas pelakunya); hanya pelaku yang melakukan (termasuk juga mereka yang menyuruh, menggerakkan dan membantu), kelakuan atau perbuatan tertentu (terkualifisir) yang pada akhirnya dapat dihukum.

Delik aduan (klacht delict) pada hakekatnya juga mengandung elemen-elemen yang lazim dimiliki oleh setiap delik. Delik aduan punya cirri khusus dan kekhususan itu terletak pada “penuntutannya”. Lazimnya, setiap delik timbul, menghendaki adanya penuntutan dari penuntut umum, tanpa ada permintaan yang tegas dari orang yang menjadi korban atau mereka yang dirugikan. Dalam delik aduan, pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan adalah syarat utama untuk dilakukannya hak menuntut oleh Penuntut Umum.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), secara tegas tidak adamemberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan delik aduan.

Pengertian dan defenisi yang jelas dapat ditemui melalui argumentasi dari pakar- pakar dibidang ilmu pengetahuan hukum pidana, seperti yang diuraikan berikut ini:

1. Menurut Samidjo, delik aduan (Klacht Delict) adalah suatu delik yang diadili apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan mengadukannya. Bila tidak ada pengaduan, maka Jaksa tidak akan melakukan penuntutan.

2. Menurut R. Soesilo135

3. Menurut P. A. F Lamintang, tindak pidana tidak hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Tindak pidana seperti ini disebut Klacht Delicten.

dari banyak peristiwa pidana itu hampir semuanya kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam ini disebut delik aduan.

136

Menurut pendapat para sarjana diatas, kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah bahwa untuk dikatakan adanya suatu delik aduan, maka disamping delik tersebut memiliki anasir yang lazim dimiliki oleh tiap delik, delik ini haruslah juga mensyaratkan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan untuk dapat dituntutnya si pelaku.

Beberapa pendapat diatas walaupun dirasa sudah menggambarkan secara jelas bagaimana karakter serta sifat hakekat dari delik aduan itu, namun demikian masih dirasakan sedikit kekurangan. Kekurangan itu adalah dalam hal“penuntutan”.

Tegasnya para pakar tidak memperhitungkan adanya kemungkinan penggunaan asas opportunitas dalam defenisi yang mereka kemukakan.

Jadi walaupun hak pengaduan untuk penuntutan perkara ada pada si korban.

Pada akhirnya, untuk dituntut atau tidak adalah semata-mata digantungkan kepada

135Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Politeia, Bogor, 1993), hlm. 87

136P. A. F. Lamintang, op. cit.,hal 217

Penuntut Umum. Untuk itu, akan lebih sempurna apabila defenisi tentang delik aduan itu diberi tambahandalam penggunaan asas opportunitas karena dalam hal penuntutan perkara penggunaan asas ini selalu dipertimbangkan pemberlakuannya. Delik aduan (Klacht Delicten) ini adalah merupakan suatu delik, umumnya kejahatan, dimana untuk penuntutan perkara diharuskan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan sepanjangPenuntut Umum berpendapat kepentingan umum tidak terganggu dengan dilakukannya penuntutan atas perkara tersebut.

Alasan persyaratan adanya pengaduan tersebut menurut Simons yang dikutip oleh Satochid adalah : “adalah karena pertimbangan, bahwa dalam beberapa macam kejahatan, akan lebih mudah merugikan kepentingan-kepentingan khusus (bizjondere belang) karena penuntutan itu, daripada kepentingan umum dengan tidak menuntutnya.137

Latar belakang alasan yang demikian, maka tujuan pembentuk undang-undang adalah memberikan keleluasaan kepada pihak korban atau pihak yang dirugikan untuk berpikir dan bertindak, apakah dengan mengadukan perkaranya akan lebih melindungi kepentingannya. Apakah itu menguntungkan ataukah dengan mengadukan perkaranya justru akan merugikan kepentingan pihaknya (contoh : tercemarnya nama baik keluarga, terbukanya rahasia pribadi atau kerugian lainnya).

Pada akhirnya inisiatif untuk mengadukan dan menuntut perkara sepenuhnya (dengan

137Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian II,(Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun), hlm 165.

tidak mengindahkan asas opportunitas) berada pada si korban atau pihak yang dirugikan.

Bila keberadaan asas opportunitas tidak diindahkan, maka keleluasaan untuk mengadu atau tidak mengadu yang ada pada si korban atau pihak yang dirugikan, dan tepatlah praduga sebagai yang dikemukakan diatas. Tetapi nyatanya, hal seperti ini ada kalanya tidak sepenuhnya berlaku. Dalam hal dan keadaan tertentu, penghargaan dan kesempatan (keleluasaan) yang diberikan itu tidak mempunyai arti apapun bilamana persoalannya diadakan pengusutan untuk kemudian dideponer oleh Penuntut Umum dengan hak opportunitasnya. Maka pada keadaan ini prinsip umum yang biasa berlaku dalam suatu delik yakni hak untuk melakukan penuntutan diletakkan pada Penuntut Umum kembali diberlakukan.

Perkataan delik aduan terdiri atas dua kata, yakni “delik” dan “aduan”. Kata delik sebenarnya berasal dari bahasa Belanda, yaitu “delict” atau juga disebut dengan istilah “strafbaarfeit” yang dalam bahasa Indonesia dikatakan tindak pidana atau peristiwa pidana.Menurut Moeljatno, bahwa delik adalah suatu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut.138

138Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi, (Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997), hlm 10.

Ia juga mengemukakan bahwa menurut wujud atau sifatnya perbuatan-perbuatanpidana ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya pergaulan yang dianggap baik dan adil.Pompe mengemukakan 2 (dua) gambaran, yaitu suatu gambaran teoritis tentang peristiwa pidana dan suatu gambaran menurut hukum positif, yakni suatu

”wettelijke defenitie” (defenisi menurut undang-undang) tentang peristiwa pidana itu.139

1) Suatu kelakuan manusia

Dalam gambaran teoritis, suatu peristiwa pidana adalah suatu pelanggaran kaidah (pelanggaran tata hukum) yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan tata hukum danmenyelamatkan kesejahteraan umum.Dalam gambaran menurut hukum positif, maka peristiwa pidana itu adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman.

Selanjutnya VOS mengemukakan bahwa delik itu adalah suatu kelakuan manusia (menselijke gedraging) yang oleh peraturan perundang-undangan diberi hukuman. Jadi suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan huku man.Menurut VOS unsur-unsur delik itu adalah :

2) Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan dilarang umum dan diancam dengan hukuman.

2. Jenis-jenis Delik Aduan.

Gerson W. Bawengan membedakan delik aduan atas dua bagian yaitu delik aduan mutlak dan delik aduan relatif. Sementara Satochid membedakannya atas delik pengaduaun absolut (absolute klachtdelicten) dan delik aduan relatif (relative

139E. Utrecht, Hukum Pidana I,( Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000), hlm. 252 .

klachtdelicten). Selanjutnya kedua ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa delik aduan dibedakan atas dua jenis, yaitu :

1. Delik aduan absolut atau mutlak (absolute klachtdelicten.)

Delik aduan absolut atau mutlak adalah kejahatan yang pada dasarnya adalah berupa kejahatan aduan, artinya untuk segala hal dan atau kejadian diperlukan syarat pengaduan untuk dapatnya negara melakukan penuntutan mengenai perkara itu. Sifat pengaduan dalam delik aduan absolut (absolute klachtdelicten) ialah, bahwa pengaduan tidak boleh dibatasi pada beberapa orang tertentu, melainkan dianggap ditujukan kepada siapa saja yang melakukan kejahatan yang bersangkutan. Dalam hal ini dikatakan, bahwa pengaduan ini tidak dapat dipecah-pecah (onsplitsbaar).

2. Delik aduan relatif (relative klachtdelicten)

Delik aduan relatif adalah kejahatan yang pada dasarnya bukan berupa kejahatan aduan, melainkan dalam hal-hal atau keadaan tertentu saja kejahatan itu menjadi kejahatan aduan. Hanya karena adanya unsur-unsur tertentu saja, syarat pengaduan untuk melakukan penuntutan diperlukan. Sedangkan dalam keadaan biasa artinya tanpa adanya unsur tertentu, syarat pengaduan tidak diperlukan untuk melakukan penuntutan. Contohnya pencurian dalam segala bentuknya (Pasal 362-365 KUHP) pada dasarnya bukan kejahatan aduan, akan tetapi bila ada unsur dalam kalangan kelurga atau kejahatan itu dilakukan dalam kalangan keluarga, maka menjadi kejahatan aduan (relatif). Contoh lainnya antara lain Pasal-pasal: 370 (jo 368,369), 376 (jo 372-375), 394 (jp 378-393 KUHP).

a) Pasal 367 KUHP tentang kejahatan pencurian yang biasa disebut

“pencurian di dalam lingkungan keluarga”,

b) Pasal 369 jo Pasal 370 jo Pasal 367 KUHP tentang pemerasan dengan menista (afdreigging atau chantage), misalnya A mengetahui rahasia B, kemudian datang pada B dan minta suaya B memberi uang kepada A dengan ancaman, jika tidak mau memberikan uang itu, rahasianya akan dibuka. Oleh karena B takut akan dimalukan, maka ia terpaksa memberi uang itu,

c) Pasal 372 jo Pasal 376 jo Pasal 367 KUHP tentang penggelapan yang dilakukan dalam kalangan kekeluargaan,

d) Pasal 378 jo Pasal 394 jo Pasal 367 KUHP tentang penipuan yang dilakukan dalam kalangan kekeluargaan.

Hubungan kekeluargaan harus dinyatakan pada waktu mengajukan pengaduan. Penuntutan hanya terbatas pada orang yang disebutkan dalam pengaduannya. Apabila misalnya, yang disebutkan ini hanya si pelaku kejahatan, maka terhadap si pembantu kejahatan, yang mungkin juga berkeluarga dekat, tidak dapat dilakukan penuntutan. Dengan demikian pengaduan ini adalah dapat dipecah-pecah (splitsbaar).140

3. Unsur-Unsur Delik

140https://hukumpolressingkawang.wordpress.com/2013/06/25/delik-aduan/, diakses pada hari sabtu, tanggal 10 Juni 2017, jam 07.00. WIB.

Berdasarkan analisa, delik terdiri dari dua unsur pokok, yaitu:141

a) Unsur pokok subyektifAsas pokok hukum pidana “Tak ada hukuman kalau tak ada kesalahan” kesalahan yang dimaksud disini adalah sengaja dan kealpaan.

b) Unsur pokok obyektif, Perbuatan manusia yang berupa act dan omission.Act adalah perbuatan aktif atau perbuatan positif. Sedangkan omission yaitu perbuatan tidak aktif atau perbuatan negatif. Dalam kata lain adalah mendiamkan atau membiarkan.Akibat perbuatan manusia Menghilangkan, merusak, membahayakankepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum. Misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan dan lain sebagainya.Keadaan-keadaan yaitu keadaan pada saat perbuatan dilakukan dan keadaan setelah perbuatan melawan hukum.Sifat dapat dihukum dan sifat melewan hukum.142 Semua unsur delik tersebut merupakan satu kesatua dalam satu delik. Satu unsur saja tidak ada atau tidak didukug bukti, akan menyebabkan tersangka/terdakwa dapat dihukum. Penyelidik, penuntut umum harus dengan cermat meneliti tentang adanya unsur-unsur delik tersebut.

141http://makalah-hukum-pidana.blogspot.co.id/2010/12/macam-macam-delik.html, diakes pada hari sabtu tanggal 10 Juni 2017, jam 06.00 WIB

142Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum, (Jakarta; Sinar Grafika, 1991), hal.6-7.

B. Pengertian Perdamaian Dan Prinsip Perdamaian 1. Pengertian Perdamaian

Dalam konsep hukum pidana positif dalam penyelesaian kasus pidana pada umumnya selalu diselesaikan dengan jalur formal yaitu dengan jalur letigasi atau jalur lembaga peradilan. Jalur ini terkenal dengan istilah in court system. Dalam tataran teori , ada hal yang ingin dicapai dari hasil final yang akan dikeluarkan oleh lembaga peradilan tersebut, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.143

Adapun hasil yang akan tercipta dari proses penyelesaiannya dengan istilah win lose solution, dimana akan terdapat pihak yang yang menang dan pihak yang kalah. Dalam kenyataan seperti ini penyelesaikan perkara tetap tidak memberikan rasa keadilan terhadap para pihak, sehingga pihak yang kalah akan tetap melakukan upaya hukum selanjutnyan yaitu banding yang tujuannya adalah mencari keadilan.

Hal ini pada umumnya dicap sebagai salah satu kelemahan bagi suatu lembaga litigasi yang tidak dapat dihindari walaupun sudah sebagai ketentuan.

Meskipun demikian dalam kenyataannya sangat sulit untuk terpenuhi sekaligus apa yang menjadai tujuan hukum itu.

144

Di dalam praktek penegakan hukum pidana sering kali kita mendengar istilah Restorative Justice, atau Restorasi Justice yang dalam terjemahan bahasa Indonesia disebut dengan istilah restorasi keadilan. Restorative Justice mengandung pengertian

143Sudikno Mentokusumo, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, ( Liberty Yogyakarta, 1997) hlm.

98.

144Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, ( Jakarta ; PT.

Gramedia Pustaka, Utama, 2001), hal. 3-5

yaitu: "suatu pemulihan hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana tersebut (keluarganya) (upaya perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan agar permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana tersebut dapat diselesaikan dengan baik dengan tercapainya persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak".

Menurut Mardjono Reksodiputro, perdamaian merupakan inti dari Restoratif Justice. Perdamaian antara korban dan pelaku atau pihak yang bersengketa serta perdamaian yang dimaksud bertujuanagar keadaan yang menimbulkan perselisihan atau persengketaan itu bisa dinetralisir sehingga antara korban dan pelaku kembali seperti semula sebelum terjadi persengketaan, inilah yang dinamakan perdamaian.

Perdamaian pada prinsipnya harus menekankan pada jalan ekspos dan resposiblitas.

Ekspos artinya pelaku membeberkan semua kejahatanya untuk mendapat respon dari korban yang diharapkan akan menanggapi dengan lunak. Kemudian mengenai responsiblitas memilki dua elemen yaitu: resposiblitas dan abiity. Abiity merupakan apa yang mampu dilakukan olehh peleku dalam merespon tuntutann korban.145

2. Prinsip Perdamaian

Restorative Justice pada prinsipnya merupakan suatu falsafah (pedoman dasar) dalam proses perdamaian di luar peradilan dengan menggunakan cara mediasi atau musywarah dalam mencapai suatu keadilan yang diharapkan oleh para pihak

145 Lambang Priyono Dalam Kebenaran VS Keadilan, Pertanggungjawaban Pelanggaran HAM di Masa Lalu” ed. Ifdhal Kasim dan EddieRiyadi Terre, Elsam, (Jakarta, 2003), hlm 70-71.

yang terlibat dalam hukum pidana tersebut yaitu pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak pidana (keluarganya) untuk mencari solusi terbaik yang disetujui dan disepakati para pihak. Restorative justice dikatakan sebagai falsafah (pedoman dasar) dalam mencapai keadilan yang dilakukan oleh para pihak diluar peradilan karena merupakan dasar proses perdamaian dari pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban (keluarganya) akibat timbulnya korban/kerugian dari perbuatan pidana tersebut.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Restorative Justice mengandung prinsip-prinsip dasar meliputi:

4. Mengupayakan perdamaian di luar pengadilan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana (keluarganya)

5. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana (keluarganya) untuk bertanggung jawab menebus kesalahannya dengan cara mengganti kerugian akibat tindak pidana yang dilakukannya

6. Menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi diantara pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana tersebut apabila tercapai persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak.

Upaya penyelesaian masalah di luar pengadilan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak pidana (keluarganya) nantinya diharapkan menjadi dasar pertimbangan dalam proses pemeriksaan pelaku tindak pidana di pengadilan dalam penjatuhan sanksi pidananya oleh hakim/majelis hakim.

Sehingga dapat diartikan bahwa Restorative Justice adalah suatu rangkaian proses penyelesaian masalah pidana di luar pengadilan yang bertujuan untuk me-restore

(memulihkan kembali) hubungan para pihak dan kerugian yang diderita oleh korban kejahatan dan diharapkan dapat dijadikan dasar pertimbangan bagi majelis hakim pengadilan pidana dalam memperingan sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana tersebut.

Restorative.Justice dalam ilmu hukum pidana harus bertujuan untuk memulihkan kembali keadaan seperti sebelum terjadi kejahatan. Ketika ada orang yang melakukan pelanggaran hukum maka keadaan akan menjadi berubah. Maka disitulah peran hukum untuk melindungi hak-hak setiap korban kejahatan.

Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas.

Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku.

Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Kenapa hal ini menjadi penting? Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat dalam pelanggaran hukum pidana dalam hal ini pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana tersebut untuk berpartisipasi aktif melakukan mediasi/musyawarah dalam penyelesaian masalah mereka di luar pengadilan. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya

hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment (penjatuhan sanksi pidana) tanpa melihat adanya restorative justice yang telah dilakukan dan disepakati oleh para pihak.

Konsiliasi dapat bermakna hasil maupun proses, sehingga rekonsiliasi dapat diartikan sebagai permufakatan kembali atau proses perdamaian, (pendamaian), atau perdamaian itu sendiri, telah terjadi ketikdamaian dalam kurun waktu tertentu. Maka dapat dirumuskan kembali beberapa prinsip perdamaian yang dalam konteks ini perdamaian adalah sebuah proses, antara lain sebagai berikut :

a. Pengungkapan Kebenaran

Prinsip pengunkapan kebenaran ini mutlak ada, karena ia adalah gerbang

Prinsip pengunkapan kebenaran ini mutlak ada, karena ia adalah gerbang