• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai dan Makna Moanggo pada Orang Tolak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Nilai dan Makna Moanggo pada Orang Tolak"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

Nilai dan Makna Moanggo pada Orang Tolaki di Sulawesi Tenggara Idaman

Universitas Halu Oleo, Kendari

Kampus Hijau Bumi Tridharma, Anduonou, Kendari, Sulawesi Tenggara 93132 faris.rumi.elqunawi@gmail.com

Sitti Aminah

Universitas Lakidende, Konawe

JL. Sultan Hasanuddin, No. 234, Wawotobi, Unaaha, 93461

ABSTRACT

Moanggo, an oral literature of Tolaki people are almost extinct and only played during the traditional wedding party Tolaki. One of identity marker of Tolaki person is loaded with messages for private life, family and society. On this basis, this study aims to (1) Describe the meaning contained in moanggo as regional literature on Tolaki people. (2) Describe the values contained in moanggo as regional literature on Tolaki people.

To find the meaning value within the Moanggo, this study uses the theoretical framework of Paul Ricœur’s hermeneutics. This research is a qualitative descriptive study. The data source of this research are the informant and the Anggo text. Data obtained from observation, interview and document study. The data were then analyzed using the technical data analysis Milles and Huberman, namely: 1) Data collection, 2) Data reduction or simplification of data, 3) Presentation of data, and 4) inference / verification.

The results showed that the meaning of the text Anggo in oral narrative of moanggo can not be separated from the socio-historical cultural context when it narrated. Therefore, every text has been linked with the socio-cultural context of Tolaki this time, which of course as a representation of the history of life of Tolaki people in the past. The values contained in the text Anggo, are: the value of education, moral values, cultural values and philosophical values. Moanggo as oral literature of Tolaki people was an identity marker Tolaki people almost to extinction due to lack of use in wedding party custom and spaces other cultural activities. Therefore preservation of oral literature moanggo needs to be done both by the government and Tolaki people.

(2)

Pendahuluan

Sastra lisan adalah salah satu unsur budaya yang terdapat pada masyarakat terpelajar dan yang belum terpelajar. Ragamnya pun sangat banyak dan tiap-tiap ragam variasi yang sangat banyak pula. Isinya mungkin mengenai berbagai peristiwa yang terjadi atau kebudayaan masyarakat pemilik sastra tersebut (Finnegan dalam Tuloli, 1990:1). Dari segi bentuk, sastra lisan memperlihatkan keteraturan-keteraturan yang berlaku pada setiap ragam sastra lisan tertentu, di samping adanya berbagai variasi dalam penceritaan. Membicarakan sastra lisan tidak sempurna kalau kita hanya membicarakan karya sastranya saja, tetapi kita harus menghubugkannya dengan pencerita, penceritaan, dan pendengar atau penontonnya. Finnegan mengatakan bahwa untuk dapat menghargai sepenuhnya karya lisan, tidak cukup kalau hanya berdasarkan hasil analisis melalui interpretasi kata-kata, nada, struktur stilistik, dan isinya. Gambaran tentang sastra lisan di samping membicarakan struktur karya sastranya, hendaknya juga membicarakan penggubah atau pencerita, variasi yang terjadi akibat audiens dan saat penceritaan, reaksi audiens, sumbangan alat-alat musiknya, konteks sosial tempat cerita itu (Finnegan dalam Tuloli, 1990:1).

Sastra lisan tumbuh dan berkembang di hampir semua daerah di nusantara, termasuk di dalamnya masyarakat tolaki. Sastra lisan tolaki termasuk salah salah satu sastra daerah yang masih ada dan tersebar di tengah-tengah masyarakat Tolaki. Masyarakat Tolaki terbiasa dalam bertutur secara lisan pada semua aspek kehidupannya baik dalam komunikasi sehari-hari, upacara-upacara adat, upacara ritual, maupun pada bentuk kesenian seperti seni vokal, seni sastra maupun dalam bentuk puisi yang pada umumnya merupakan sastra lisan. Salah satu sastra lisan pada masyarakat Tolaki adalah Anggo.

Pada hakikatnya anggo adalah sebuah teks sastra lisan yang dilantunkan penuturnya. Ketika melantunkan, penutur akan melihat pada situasi apa ia bertutur maka tema yang ia angkat adalah situasi yang terjadi tersebut. Bagi seorang penutur untuk menyanyikan sebuah anggo tidak mutlak harus menghapal dahulu syair-syair yang akan dilantunkan, tetapi anggo yang dilantunkan mengalir sendiri disesuaikan dengan keadaan atau situasi yang sedang dikerjakan, misalnya misalnya pada saat membuka lahan baru (mosalei) (Rahmawati, 2007: 131). Anggo sebagai sastra lisan hingga saat ini sudah jarang kita dengar dari penuturnya. Hal ini disebabkan karena telah banyak media pengganti ke arah itu, seperti semakin maraknya lagu pop, kehadiran alat media komunikasi seperti handphone dan internet, ataupun juga banyaknya pilihan permainan yang di kalangan masyarakat sehingga mangakibatkan keengganan untuk mempelajari khazanah sastra daerah.

(3)

(4) masih kurangnya penelitian-penelitian dan publikasi ilmiah mengenai sastra daerah.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah informan dan teks anggo. Data didapatkan dari observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumen. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan teknis analisis data Milles dan Huberman yaitu: 1) Pengumpulan data, 2) Data reduksi atau penyederhanaan data, 3) Penyajian data, dan 4) Penarikan kesimpulan/ verifikasi.

Kerangka Teoritis 1. Sastra Lisan

Sastra lisan adalah kata (lisan komunikasi kata dari mulut ke mulut), 1) hasil kebubudayaan lisan dalam masyarakat tradisional yang isinya dapat disejajarkan dengan sastra lisan tulis dalam masyarakat moderen, 2) sastra yang diwariskan secara lisan, seperti pantun, nyanyian rakyat, dan cerita rakyat (Zaidan, dkk, 2007: 182).

Sejalan dengan pendapat Hutomo (1991) menyatakan bahwa sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang diturun-temurunkan secara lisan dari mulut ke mulut. Pendapat yang serupa dikemukakan Arifin (1990:11-12) bahwa sastra lisan adalah sastra lama yang disampaikan secara lisan. Umumnya disampaikan dengan dendang baik dengan musik (rekap, kecapi, dan sebagainya) maupun yang tidak.

(4)

Vansina (dalam Hutomo, 1991:11-12) mengatakan ada tiga jenis keterangan lisan, yakni: (1) penglahiran penyaksian, (2) tradisi lisan (secara khusus), dan (3) kabar angin.

Endraswara (dalam Rafiek, 2010: 53) menyatakan bahwa sastra lisan karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun temurun. Ciri-ciri sastra lisan itu adalah (1) lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional; (2) menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tak jelas siapa penciptanya; (3) lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka, dan pesan mendidik; (4) sering melukiskan tradisi kolektif tertentu. Di samping itu, terdapat juga ciri-ciri lain seperti (1) sastra lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise, dan (2) sastra lisan sering bersifat menggurui.

Dilihat dari segi penuturnya, misalnya cerita rakyat, sastra lisan itu dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni: (1) sastra lisan yang bernilai sastra (mengandung su, estetik, keindahan); (2) sastra lisan yang tidak bernilai sastra. Jenis pertama umumnya dituturkan oleh para penutur profesional, seperti misalnya tukang kaba (Minangkabau), tukang si jobang (Minangkabau), juru pantun (Sunda), tukang (dalang), kentrung (Jawa), jemblung (Jawa), penglipur lara (Melayu), dan lain-lain. Jenis kedua, dituturkan oleh orang-orang biasa yang kebetulan dapat menceritakan sesuatu (Hutomo, 1991: 4).

Berdasarkan pendapat para ahli di atas sudah jelas atas pandangan dan batasan yang dikemukakan sehingga dapat disimpulkan bahwa sastra dalah salah satu ragam sastra daerah yang dituturkan dari mulut ke mulut secara turun-temurun baik dengan menggunakan alat musik sebagai pengiringnya maupun yang tidak menggunakannya.

2. Nilai-Nilai Dalam Sastra

Dengan membaca karya sastra, kita akan memperoleh sesuatu yang dapat memperkaya wawasan dan/atau meningkatkan harkat hidup.Dengan kata lain, dalam karya sastra ada sesuatu yag bermanfaat bagi kehidupan. Karya sastra yang baik senantiasa mengandung nilai (value). Nilai iti dikemas dalam wujud struktur karya sastra , yang secara inplisit terdapat dalan alur, latar, tokoh, tema dan amanat atau di dalam larik, kuplet, rima, dan irama. Nilai yang terkandung dalam karya sastra itu, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Nilai hedonik (hedonic value), yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca;

2. Nilai artistik (artistic value), yaitu nilai yang dapat memanifestasikan suatu seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan;

3. Nilai kultural (cultural value), yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau kebudayaan;

(5)

5. Nilai praktis (practical value), yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari (Semi, 1993: 10).

Nilai yang terkandung dalam karya sastra adalah hal-hal yang berupa nilai yang bisa dijadikan acuan perilaku kehidupan sehari-hari yang terdapat di dalam karya sastra:

a. Nilai sosial : kaitannya dengan huubungan antar manusia.

b. Nilai psikologis : kaitannya dengan kejiwaan/psikologis manusia. c. Nilai religius (keagamaan) : kaitannya dengan hal-hal keagamaan. d. Nilai filosofis : kaitannya dengan filsafat dalam kehidupan manusia. e. Nilai historia (kesejarahan) : kaitannya dengan peristiwa-peristiwa

sejarah.

f. Nilai moral (etika) : kaitannya dengan moral prilaku manusia.

g. Nilai pendidikan (edukatif) : kaitannya dengan permasalahan-permasalahan pendidikan manusia.

h. Nilai hukum : kaitannya dengan permasalahan hukum.

i. Nilai budaya : kaitannya dengan budaya/kebiasaan/tradisi yang berlangsung didalam masyarakat.

j. Nilai ekonomi : kaitannya dengan perdagangan, status ekonomi/permasalahan-permasalahan ekonomi masyarakat.

k. Nilai perjuangan : kaitannya dengan hal-hal perjuangan manusia (Suseno, 1998: 21).

3. Klasifikasi Nilai

Dalam teori nilai yang digagas Spranger dalam Allport (1964) menjelaskan terdapat enam orintasi nilai yang sering dijadikan rujukan oleh manusia dalam kehidupannya. Dalam pemunculannya, enam nilai tersebut cenderung menampilkan sosok yang khas terhadap pribadi seseorang. Keenam nilai tersebut adalah sebagai berikut (Sofyan Sauri dan Herlan, 2010: 6) :1).nilai teori, 2) nilai ekonomis, 3) nilai estetika, 4) nilai sosial, 5) nilai politik, 6) nilai agama.

Menurut Max Scheller dalam Kaelan menyebutkan hirarki nilai tersebut terdiri atas (Sofyan dan Herlan, 2010: 9) :

1. Nilai kenikmatan, yaitu nilai yang mengenakan dan nilai yang tidak mengenakan, berkaitan dengan indra manusia yang menyebabkan manusia senang atau menderita.

2. Nilai kehidupan, yaitu nilaiyang penting bagi kehidupan.

3. Nilai kejiwaan, yaitu nilai yang tidak tergantung pada keadaan jasmani maupun lingkungan.

4. Nilai kerohanian, yaitu moralitas nilai dari yang suci dan tidak suci. 4. Teori Hermeneutika

(6)

(1603-1666), dan telah tumbuh menjadi berbagai aliran yang berbeda-beda (Bowie, 1998: viii), termasuk di dalamnya adalah bidang-bidang teologis, yuridis, dan filosofis.

Dalam perkembangannya, hermeneutika seringkali disebut sebagai praktek aletheia (αληθεια), kata Yunani untuk menunjuk “peristiwa persembunyian dan penyingkapan” (Caputo, 1987: 115). Aletheia terjadi ketika sesuatu yang dulunya pernah tertutup kini menjadi terbuka, dan selanjutnya membiarkan orang lain untuk melongok pada gugusan yang tergolek di baliknya. Tegasnya, aletheia adalah penggamblangan tentang berbagai hal yang ada di balik misteri, semacam “proses berkelanjutan…melalui mana berbagai hal akan tersembul dari persembunyian dengan adanya penyingkapan” (Caputo, 1987: 177).

Hermeneutika lantas dipandang sebagai penelisikan reflektif berkenan dengan ‘keseluruhan pemahaman kita tentang dunia ini…hingga semua ragam bentuk yang didalamnya pemahaman ini memanifestasikan dirinya sendiri” (Gadamer, 1976: 18). Dengan pemahaman ini, maka tugas hermeneutika adalah menyelinap di dalam dunia kontekstualitas kata, menelisik kesana kemari pada “apa yang dikatakan, apa yang diungkapkan, tetapi pada saat yang sama juga menyoroti apa yang didiamkan (Gadamer, 1975: x).

Petualangan kepada jaring-jaring “apa yang tak terkatakan” akan melibatkan sederet dimensi spekulasi dalam pusaran bahasa. Ini juga menyimpan sejenis keyakinan bahwa pencerminan makna atau apa yang terkatakan selalu memiliki keterkaitan dengan apa yang tak terkatakan. Sebuah teks tak bisa dipahami dalam konteks ruang kosong dan otonom. Karena itu, bagi Gadamer (1975: 370), kita bisa memahami sebuah teks hanya jika kita telah memahami alasan mengapanya.

Hermeneutika sendiri dapat didefinisikan sebagai “the art and science of interpreting especially authoritative writings; mainly in application to sacred scripture, and equivalent to exegesis”. (seni dan ilmu menafsirkan khususnya tulisan-tulisan otoritatif; utamanya berkenaan dengan kitab suci, dan sama sebanding dengan tafsir) (Leidecker, 1976: 126). Definisi lain mengungkapkan bahwa hermenutika merupakan sekumpulan kaidah dan pola yang mesti diikuti oleh seorang penafsir dalam memahami teks keagamaan (Abu Zayd, 1994: 13; Bertens, 1981: 255).

(7)

Dalam penelitian ini, pembacaan hermeneutik, selain heuristik, merupakan metode pembacaan model semiotik (Riffaterre dalam Nurgiyantoro, 2007: 32-34). Hubungan antara heuristik dengan hermeneutik dapat dipandang sebagai hubungan yang bersifat gradasi, sebab kegiatan pembacaan dan atau kerja hermeneutik haruslah didahului oleh pembacaan heuristik. Kerja hermeneutik yang oleh Riffatere disebut juga pembacaan retroaktif, memerlukan pembacaan berkali-kali dan kritis (Nurgiyantoro, 2007: 33).

Nurgiyantoro (2007: 33) menyatakan kerja heuristik menghasilkan pemahaman makna secara harfiah, makna tersurat, actual meaning. Namun, dalam banyak kasus karya sastra, makna yang sebenarnya ingin disampaikan oleh pengarang justru diungkapkan hanya secara tersirat, dan inilah yang disebut juga sebagai makna intensional, intentional meaning. Untuk itu, kerja penafsiran karya sastra haruslah sampai pada kerja hermeneutik, yaitu berupa pemahaman karya pada tataran semiotik tingkat kedua. Artinya, berdasarkan makna dari hasil kerja heuristik di atas, dicobatafsirkan makna tersiratnya, signifikansinya. Jika pada tataran kerja heuristik dibutuhkan pengetahuan tentang kode-kode yang lain, khususnya kode sastra dan kode budaya.

Pembahasan

Karya Sastra Orang Tolaki

Dalam masyarakat suku Tolaki dikenal pula ragam sastra. Secara umum ragam sastra suku Tolaki terdiri atas dua jenis, yaitu sastra yang berbentuk prosa dan ragam sastra yang berbentuk puisi. Seni sastra yang berbentuk prosa (naratif), dalam masyarakat suku Tolaki sebagai berikut:

a. o nango (dongeng) bagi orang Tolaki diartikan sebagai cerita yang menggambarkan asal mula kejadian unsur alam, juga menggambarkan sifat dan tingkah laku binatang yang baik dan buruk, sifat-sifat ini sering dicontohkan oleh manusia, misalnya dongeng Kolopua ronga O hada (kura-kura dan kera). b. tula-tula (kisah) adalah cerita yang menggambarkan liku-liku kehidupan tokoh

masyarakat, misalnya kisah Oheo dan Onggabo.

c. kukua (silsilah) adalah cerita yang menggambarkan suatu kerajaan atau nama-nama raja, contohnya cerita Langgai Saranani.

d. pe’oliwi (pesan-pesan) adalah cerita yang berisi mengenai ajaran moral, nasehat, dan petuah dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, contohnya, Iamo iehe mondoiehe ine suere ndoono (jangan suka berbuat semena-mena kepada orang lain), iamo uteroraroramba (hendaknya jangan engkau merampas milik orang lain), piarai raimu, pombeotooriamino ariamu (pelihara sikap dan tindakanmu pertanda engkau berasal dari bangsa yang beradab).

Selanjutnya, seni sastra berbentuk puisi yang berkembang di lingkungan sosial suku Tolaki, meliputi:

(8)

laut, dan di udara dalam usaha memberantas segala kejahatan yang melanda orang-orang Tolaki).

b. huhu adalah syair yang didendangkan untuk menidurkan anak yang sifatnya hiburan. Contoh: peturu ule-ulenggu, mbarai masusa, lia masukaraa/ torondo masusa taehe sanaa/pehawaaku ombu au pokomondotuikona/au poko ari-ario koona tihono ananggu deela bulelenggu/ hulelenggu mohewu bara taakadu/ keeno laanggi pokawasa tuara/ teora masagena hende ine walinggu/ keno ine banggonanggu /aku sukuru rongga tarimakasi. Makna dari nyayian tersebut adalah menggambarkan tentang kehidupan orang tua yang serba sulit, dan berharap tidak dipersulit lagi hidupnya dengan tangisan/kesedihan seorang anak.

c. o anggo adalah syair yang didendangkan yang menggambarkan rasa kagum terhadap seorang pemimpin. O anggo terdiri atas beberapa jenis dan setiap jenisnya disesuaikan dengan suasana, tempat, dan hanya boleh dinyanyikan pada waktu-waktu tertentu. Jenis O anggo yang di kenal dalam masyarakat Tolaki, meliputi; anggo meteia (syair penjaga), anggo mosawa-sawa (syair menghibur), anggo mondau (syair berladang), anggo mombeperiri (syair kasihan-mengasihani), dan anggo ndula-tula (syair silsilah). Contoh Oanggo yang diambil dari salah satu jenis Oanggo di atas, Ho tia motia toono meohai (wahai Saudara kami), Leu ari mondae binda irorawua (yang datang dari jauh), Leu nggomoleleu timba nggomoretei (datang untuk menjenguk), Moretei metia mondulu meohai (menjenguk keluarga), Tabea nggomasima limba moko dunggui (kami memohon izin), Onggo leu wawei limba mokodunggui (untuk mempersembahkan), sala rerekomami mokoehe-ehe mami (pertanda kegembiraan kami), dan seterusnya.

d. kinoho atau lolama adalah pantun yang sering disampaikan dalam berbagai kesempatan. Kinoho menggambarkan pujian, cemoohan, dan sindiran yang ditujukan kepada seseorang lawan jenis di kalangan muda mudi maupun dikalangan orang-orang tua. Kinoho atau lolama terdiri atas beberapa jenis, meliputi: kinoho mbesadalo (kinoho anak muda), kinoho agama, kinoho sara (adat), dan kinoho singgu (menyinggung atau menyindir). Contoh, kinoho sara (adat) koro bite batako (tidak usah ragu-ragu), inea bata-bata (dan tidak usah bimbang), kumokea matako (aku telah tetapkan), matakulanggi tetaku-taku (dan takut akan ingkar janji).

e. o doa (mantera) adalah ucapan yang diucapkan oleh orang-orang Tolaki yang memiliki kemampuan magic. O doa menggambarkan pujian, pujaan, harapan, dan permintaan kepada makhlus halus, dewa-dewa, baik sebagai syukuran maupun tolak bala. O doa (mantra) terdiri atas beberapa jenis, yakni mantra mesosombakai, mantra o manu, mantra ni’isi, mantra o pali, mantra nabi baka, dan mantra oloti. Contohnya, inggo o manu uleno i Landundusera (Anda ayam kecil turunan Landundusera), sosorono i Landundusera sosorono mami pake’i (hubungan Landundusera, hubungan kami adalah memakaimu), dan seterusnya.

(9)

disampaikan di pagi hari atau sore hari pada saat panen padi berlangsung. Singguru (teka-teki) dilakukan secara bersama-sama, saling membalas satu dengan yang lainnya. Contohnya, mbetala oki nosorodadu, mobotuki oki no panaapi (berbaris bukan tentara, berbunyi bukan senjata) jawabnya ogandu (jagung), ingoni upahoe, ingoni nolumele (begitu ditanam, langsung merambat) jawabnya o’eme (air kencing/seni), u’indii morini, ukai mokula (dipegang rasanya dingin, dimakan rasanya panas) jawabnya osaha (cabe), dan lain-lain. g. bitara ndolea (perumpamaan) adalah kata-kata yang bersifat ungkapan dan

sifatnya berpola. Biasanya disampaikan dalam berbagai upacara yang sifatnya sakral. Bitara ndolea (perumpamaan) biasanya mengandung makna tertentu dan berisi mengenai falsafah sosial kemasyarakatan. Contohnya, satabuluno teboto patudu meduhu une-une, labirai mate menggokoro ano amba monduka bunggu (apabila kehendak dan cita-cita telah bulat, lebih baik mati daripada melangkah surut), topelimba todagaii karendo, topetulura todagaii pondundo (berjalan pelihara kaki, berkata pelihara mulut). (Rusland, 2011; Yasmud, 2011:21).

Nilai dalam Sastra Lisan Anggo

Sebagai bagian dari kebudayaan, sastra lisan Tolaki (Moanggo) merupakan bentuk pernyataan kebidupan masyarakat di masa kampau yang diwariskan secara turun temurun kepada masyarakat pendukung secara lisan. Berkaitan dengan hal ini, Teeuw (1994: 22) mengemukakan, bahwa ada hubungan langsung antara kelisanan dalam kebudayaan tradisional dengan rasa kolektivitasnya yang kuat, di mana anggota-anggota masyarakat bersama-sama mempunyai informasi yang relevan untuk keberlangsungan hidupnya, baik secara individu maupun sebagai masyarakat seluruhnya. Dalam masyarakat semacam ini, pencerita lisan mempunyai peran yang sangat penting, sebab dalam cerita yang dia pentaskan atau disampaikan tersimpan informasi dan sistem nilai yang langsung relevan untuk masyarakat yang bersangkutan.

Menurut Berry (1999: 103), nilai tampak sebagai ciri indvidu dan masyarakat yang relatif lebih stabil dan karena itu berkaitan dengan sifat kepribadian dan pencirian budaya. Serentang lurus dengan hal ini, Bascom (dalam Danandjaya, 1991: 19) mengemukakan fungsi sastra lisan adalah : (a) sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif; (b) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; (c) sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device) dan (d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Dengan demikian, sastra lisan mempunyai fungsi penting dalam kehidupan sebab dapat mencerminkan kehidupan masyarakat dan untuk menanamkan rasa cinta terhada kebudayaan sendiri.

(10)

hidup seseorang ditentukan oleh nilai hidup yang dominan, yaitu nilai hidup yang dianggap individu sebagai nilai tertinggi atau nilai hidup yang paling bernilai.

Dalam konteks Moanggo, dapat diidentifikasi sejumlah nilai yang terkandung di dalamnya, antara lain nilai pendidikan, khususnya menyangkut pendidikan keluarga, nilai moral, nilai budaya dan nilai filosofis atau yang menyangkut pandangan hidup orang Tolaki.

a. Nilai Pendidikan

Pendidikan merupakan usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Nilai merupakan pedoman umum yang digunakan dalam memilih antara berbagai kemungkinan pilihan. Nilai digunakan untuk menentukan tujuan tindakan atau usaha dan baik tidaknya sesuatu. Menurut Bertens (1996:149) nilai adalah sesuatu yang diiakan atau diaminkan. Nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai acuan tingkah laku.

Nilai pendidikan dalam karya sastra, khususnya sastra lisan, digali berdasar aspek karya sastra itu sendiri. Nilai-nilai pendidikan adalah suatu usaha orang/sekelompok orang melalui pengajaran dan latihan untuk mengubah prilaku dan sikapnya ke arah kedewasaan untuk memperoleh keseimbangan antara hubungan akal dan perasaan sehingga terwujud keseimbangan berinteraksi dalam masyarakat. Dalam sebuah berbagai sastra lisan yang berkembang di tanah air, banyak mengandung nilai-nilai pendidikan, seperti pendidikan budi pekerti. Masalah pendidikan budi pekerti adalah suatu masalah yang sering dibicarakan oleh banyak orang. Budi pekerti atau akhlak adalah satu-satunya aspek yang fondamentil dalam kehidupan, baik dalam kehidupan individu ataupun masyarakat. Orang yang tahu akan hal-hal yang baik dan tidak baik belum tentu berbuat sesuai dengan yang baik (Ahmadi dan Uhbiyati, 2007: 16).

Pendidikan budi pekerti bertujuan untuk mendidik anak agar dapat membedakan yang baik dan buruk, sifat terpuji dan tercela. Budi pekerti mengidentifikasikan prilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, sikap, perasaan dan kepribadian seseorang.

Dalam teks Anggo pada orang Tolaki, khususnya yang biasa disampaikan pada saat pesta pernikahan memiliki kandungan nilai pendidikan, khususnya pendidikan keluarga bagi pasangan pengantin yang akan mengarungi bahtera rumah tangga. kutipan berikut memberikan petunjuk bagaimana menjalani keidupan rumah tangga dalam masyarakat Tolaki.

Tano ina inau tano ene enepo Ano sinukahako noninaa me’ita

Tahoringgu pelonggo dunggu nggo momberahi Momberahi nggo mbule masima nggo mowahe Laa’i pongoninggu inoorimaminggu

Keno onggo tewali laa peruku’ano Owose’i unenggu wangga’i penaonggu Aki pedulu nggare meronga ronga mbule Watukee walino mo’ia taroano

(11)

Akiki umindo’i dunggu mahe mahe’i

Artinya:

Sebelum mohon diri berpamitan untuk kembali Menuruni sanak tangga dan mengayunkan langkah Untuk kembali ke tempat kediaman

Suatu permohonan ingin diajukan

Semoga mendapat sambutan dan perkenan Kepada pihak tuan rumah

Khususnya kepada pihak orang tua mempelai Terhadap mempelai wanita kami

Kami sungguh berbesar hati

Untuk memboyong bersama kembali Ke rumah mempelai lelaki suaminya

Kutipan tersebut merupakan teks anggo yang dibawakan oleh tolea. Kutipan tersebut berisi pesan-pesan pendidikan keluarga kepada orang tua mempelai untuk tidak sekedar menganggap mempelai wanita sebagai menantu semata, tetapi juga sebagai anak kandung, bagian dari keluarga besar mempelai pria.

Dalam sistem perkawinan orang Tolaki, dikenal istilah merapu. Secara harfiah, kata merapu merupakan penggabungan atas dua kata yakni me- yang merupakan kata kerja memiliki arti membuat atau melalukan, dan kata rapu yang berarti rumpun. Jika kedua kata tersebut di atas digabungkan maka merapu bermakna sebagai membuat atau menyatukan rumpun (Koodoh dkk, 2011: 43).

Menurut Koodoh dkk (2011: 44), kata merapu bagi Orang Tolaki, pada akhirnya bermakna sebagai membuat rumpun yang baru. Jika ditelusuri lebih jauh, maka makna merapu bagi orang Tolaki adalah memperluas rumpun keluarga (momboko mberapu), mendekatkan kembali hubungan pertalian keluarga atau darah (momboko merambi peohai’a) dan terutama penyatuan dua rumpun keluarga yang akan membentuk keluarga luas (extended family) dalam arti bahwa keluarga laki-laki dan keluarga perempuan telah disatukan melalui perkawinan. Dalam konsep yang sama, Tarimana (1993: 142) memaknai istlah Merapu sebagai merumpun, keadaan ikatan suami-istri, anak-anak, mertua-menantu, paman-bibi, ipar kemenakan, sepupu, kakek-nenek, dan cucu, yang merupakan suatu pohon yang rimbun dan rindang. Dengan istilah ini dimaksudkan bahwa seseorang yang kawin itu telah bersatu dalam ikatan erat dengan semua anggota kerabat, baik dari pihak istri maupun dari pihak suami, dan ia diharapkan akan melahirkan banyak keturunan yang akan semakin memperbesar rumpun itu laksana rimbunnya suatu pohon. Ikatan rumpun itu disebut Asombue (satu ikatan keluarg asal dari satu nenek moyang) yang merupakan pohon keluarga.

(12)

suami-istri (aso mbenao) dan siap mengarungi bahtera rumah tangga, siap menghadapi kemelut dan gelombang mahligai rumah tangga. Dengan demikian perkawinan (perapu’a) bukan sekedar penyatuan jasmani dan rohani pasangan suami-istri, tetapi juga bahkan penyatuan dua rumpun keluarga besar.

Itulah sebabnya, sebagai bentuk pengejawantahan istilah merapu, mesanggina dan medulu, seringkali tokoh-tokoh adat dan pemberi wejangan atau nasehat perkawinan biasa memberikan nasehat bahwa kedua mempelai yang melakukan pernikahan telah menambah dua orang tua baru dan semakin banyak keluarganya, baik saudara, sepupu dan seterusnya. Atas dasar ini, maka teks Anggo di atas merupakan bentuk pemberian peringatan dan nasehat, dengan berpijak kepada istilah merapu, kepada kedua mempelai yang melakukan perkawinan untuk membentuk sebuah keluarga dengan berpijak kepada nasehat-nasehat dan filosofi perapu’a dalam masyarakat Tolaki.

Nilai pendidikan keluarga sangat nyata dalam teks “Owose’i unenggu wangga’i penaonggu, Aki pedulu nggare meronga ronga mbule, Watukee walino mo’ia taroano, Iyamo bata bata ruo ruo mbenao, Akiki umindo’i dunggu mahe mahe’i. Dalam petikan teks anggo ini, nampak bahwa sebelum meninggalkan pesta pernikahan, pihak keluarga laki-laki melalui moanggo yang dilagukan oleh Tolea terlebih dahulu memohon izin untuk memboyong sang istri atau mempelai kelak untuk berkunjung ke rumah mempelai laki-laki. Ini artinya bahwa meski mempelai perempuan sudah resmi menjadi istri mempelai laki-laki, tetapi pihak keluarga laki-laki masih memperhatikan etika sosial, menyangkut hubungan kekeluargaan orang Tolaki, melalui permohonan izin untuk kelak memmboyong sang istri ke rumah mempelai laki-laki.

Dalam teks anggo yang lain, nilai pendidikan keluarga juga tampak sebagaimana dalam kutipan berikut:

Kei laa moia mowawo rumah tangga Iyamo penoho noho peopurihi une Noulaa tomba’i auto’orikee Noki toro maranu deela marasai

Asokaa dadio toono meohai Mokapa’i metia toono meohai Keemoloro lausa mosala iwoimu Keilaa mowawo rumah tangga Iyamo ehe mouba penao baratando Iyamo motudi tudi modiku diku nggae Iyamo umonge nge umokeba nggebai Keeterengga orapu nggo teposinggalako Mano ruuru o’ana tebanggona wulele

Artinya:

Dalam mengarungi hidup ke depan

Semoga tiada penyesalan yang menghalang Karena sejak awal sudah dimaklumi

(13)

Bersaudara milik kami

Jika berhimpun tak ada celah peluang anak tangga licin Persiapan dapur tak tercukupkan

Dalam mengarungi bahtera rumah tangga Jangan seringkali cemburu buta

Jangan berat tangan melakukan pekerjaan Jangan cengeng dan menghindarkan tegur sapa Perceraian mengancam dan berpisah rumah Walau anak jumlahnya banyak

Teks tersebut merupakan nasehat dan pesan kepada kedua mempelai yang melakukan pernikahan untuk memantapkan hati dalam mengarungi bahtera rumah tangga. dalam teks Anggo, dikemukakan Kei laa moia mowawo rumah tangga, Iyamo penoho noho peopurihi une, Noulaa tomba’i auto’orikee, Noki toro maranu deela marasai. Hal ini berarti pesan kepada kedua mempelai untuk tidak larut dalam penyesalan dalam menjalani kehidupan rumah tangga ketika menghadapi masalah atau percekcokan. Dengan kata lain, sebelum pernikahan, diharapkan kepada kedua mempelai pria dan wanita telah memiliki kesiapan jasmani dan rohani sehingga sanggup menghadapi badai dalam kehidupan rumah tangga. di samping itu, teks anggo tersebut memberi pesan dan nasehat kepada kedua mempelai untuk memaklumi keadaan keluarga baik dari pihak perempuan maupun laki-laki, utamanya menyangkut keadaan ekonomi sehingga tidak menimbulkan penyesalan atau sesal di kemudian hari. Dengan cara ini, diharapkan pasangan suami-istri baru ini dapat memaklumi dan menerima apa adanya kondisi keluarga mertua masing-masing.

Dalam teks Anggo berikutnya, yakni Asokaa dadio toono meohai, Mokapa’i metia toono meohai, Keemoloro lausa mosala iwoimu, memberikan pesan mengenai pentingnya menjaga hubungan kekeluargaan atau kekerabatan, baik dengan kaluarga dekat maupun keluarga jauh. Hal ini penting dilakukan untuk menjaga kestabilan ekonomi dan keharmonisan keluarga. Rezeki akan mudah didapatkan jika mempererat hubungan kekeluargaan atau kekerabatan. Dalam pendidikan keluarga orang Tolaki, senantiasa ada pesan, bahwa jika ingin memperpanjang usia dan membuka pintu-intu rezeki, maka perkuatlah hubungan kekerabatan atau kekeluargaan.

b. Nilai Moral

(14)

Karya sastra adalah sebuah struktur tanda yang bermakna. Di samping itu, karya sastra adalah karya yang ditulis oleh pengarang. Pengarang tidak terlepas dari sejarah sastra dan latar belakang sosial budayanya. Semuanya itu tercermin dalam karya sastranya. Akan tetapi, karya sastra juga tidak akan mempunyai makna tanpa ada pembaca yang memberikan makna kepadanya. Oleh karena itu, seluruh situasi yang berhubungan dengan karya sastra itu haruslah diperhatikan dalam konkretisasi atau pemaknaan karya sastra (Pradopo, 2010:108).

Karya sastra merupakan salah satu cerminan nilai-nilai budaya dan tidak terlepas dari sosial budaya serta kehidupan masyarakat yang digambarkannya. Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang (Noor, 2011:27). Dapat disimpulkan karya sastra adalah tulisan hasil imajinasi pengarang yang mengandung makna dan merupakan cerminan nilai-nilai bermasyarakat dalam memberikan gambaran suatu kehidupan.

Karya sastra yang baik di samping memiliki nilai estetis yang indah juga memiliki makna akan suatu pesan kepada pembaca untuk berbuat baik. Dalam karya sastra jelas dikatakan pesan kepada pembaca untuk berbuat baik. Kata tersebut secara langsung menyinggung nilai-nilai baik buruk atau etika. Jadi pesan tersebut dinamakan moral, karena pesan tersebut mengajak pembaca untuk menjunjung tinggi norma-norma moral. Oleh karena itu, sastra dianggap sebagai sarana pendidikan moral karena sastra merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat.

Noor (2011:64) berpendapat moral dalam sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan. Pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Sebuah karya sastra ditulis oleh pengarang, antara lain untuk menawarkan model kehidupan yang diidealkannya. Karya sastra mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangan tentang moral. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan atau diamanatkan.

Moral dalam sastra itu sangat berkaitan, bagaimana nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra dapat dipahami dan dimaknai pembaca setelah membaca karya sastra. Karya sastra mengandung penerapan moral melalui tindakan yang dilakukan oleh tokoh. Jadi dapat disimpulkan moral dalam sastra adalah suatu nilai-nilai, pesan, sikap, tindakan, dan perilaku yang disampaikan pengarang terhadap pembaca.

Moanggo sebagai sebuah karya sastra lisan orang Tolaki merupakan ekspresi nilai-nilai budaya, khususnya moralitas orang Tolaki, yang seringkali menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan, baik sebagai individu, keluarga maupun sebagai anggota masyarakat. Dalam teks anggo dapat diketemukan pesan-pesan atau nilai-nilai moral yang baik untuk kehidupan keluarga atau kekerabatan.

(15)

yang dianut orang Tolaki. Misalnya, dalam teks Iyamo penoho noho peopurihi une, Iyamo ehe mouba penao baratando, Iyamo motudi tudi modiku diku nggae, Iyamo umonge nge umokeba nggebai, Iyamo bata bata ruo ruo mbenao. Moralitas orang Tolaki yang terungkap dalam beberapa petikan teks anggo tersebut merupakan ekspresi budaya yang sudah tertanam kuat dalam kehidupan orang Tolaki. Selain itu, petikan anggo tersebut merepresentasikan nilai-nilai ideal yang harus dimiliki oleh setiap pribadi orang Tolaki. Dalam konteks tertentu, idealitas hidup orang Tolaki yang dipesankan oleh pande anggo dalam teks anggo tersebut merupakan bentuk keinginan untuk senantiasa menjaga harmoni atau keseimbangan hidup orang Tolaki, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

c. Nilai Budaya

Kebudayaan merupakan salah satu sumber utama sistem atau tata-nilai sesuatu masyarakat (Alfian, 1985: 17). Sistem nilai ini akan membentuk dan menentukan sikap mentalnya yang selanjutnya tercermin dalam perilaku sehari-hari dalam berbagai segi kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Sikap mental atau mentalitas budaya ini selanjutnya akan mencipakan sistem sosial, sistem politik, sistem ekonomi dan sebagainya.

Sistem nilai yang telah lama hidup dalam masyarakat lokal selanjutnya menjadi pedoman dalam perilaku masyarakat sehari-hari. Sistem nilai ini seringkali menempati hirarki tertinggi dibandingkan dengan nilai-nilai lain. Hal ini disebabkan oleh konsepsi masyarakat tentang nilai tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting dan menjadi pengetahuan lokal (local wisdom) yang terus menerus dipertahankan. Sistem nilai tersebut misalnya adat istiadat dan sistem politik tradisional. Sistem terakhir ini hingga saat ini masih terus dipertahankan di dalam rangka mengatur tata hubungan masyarakat lokal.

Terkait dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat lokal yang bisa disebut dengan budaya atau adat istiadat, Koentjaraningrat (1984: 8-25) mengatakan bahwa nilai budaya itu adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat. Nilai budaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide-ide yang mengonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat.

Koentjaraningrat (1984: 8-25) mengemukakan bahwa suatu sistem nilai-nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu system nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkrit seperti aturan-aturan khusus, hukum, dan norma-norma semuanya juga berpedoman kepada system nilai budaya itu.

Koentjaraningrat mengemukakan sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan menurut kerangka Kluckhon sebagai berikut:

(16)

1. Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia (selanjutnya disingkat MH)

2. Masalah mengenai hakekat dari karya manusia (selanjutnya disingkat MK)

3. Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu (selanjutnya disingkat MW)

4. Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya (selanjutnya disingkat MA)

5. masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya (selanjutnya disebut MM). (Koentjaraningrat, 1984: hal. 28; Ihromi, 1987: xx).

Sebagai sebuah konsepsi ideal tata hidup kemasyarakatan, nilai kebudayaan dapat diidentifikasi dalam setiap simbol-simbol budaya, kesenian, benda-benda tradisional, hingga teks-teks sastra lisan. Dalam konteks masyarakat Tolaki, nilai budaya ini terekspresi dalam simbol Kalosara, beragam kesenian rakyat tradisional, hingga sastra lisan (taenango, moanggo, dan sebagainya). Nilai-nilai ideal kehidupan dan budaya orang Tolaki seringkali diungkapkan dalam setiap kesempatan, baik pada perhelatan budaya maupun dalam kehidupan keluarga.

Sebuah konsep yang sarat dengan nilai budaya orang Tolaki dapat diketemukan dalam istilah inae kosara ieto nggoo pinesara, inae lia sara ieto nggoo pinekasara (siapa yang tahu adat akan dihormati, siapa yang melanggar adat akan dikasari [dihukum]), inae-nae merou, nggoieto ana dadio toono ihanuno (barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain, maka pasti orang lain akan sopan kepadanya). yang memiliki kandungan nilai budaya, khususnya menyangkut interaksi sosial dan harmoni dalam masyarakat Tolaki.

Penghargaan terhadap adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Tolaki serta bersikap sopan santun dan ramah dengan lingkungan masyarakat menjadi keniscayaan dalam interaksi sosial orang Tolaki. istilah pinesara yang berarti dihormati terkandung nilai yang sangat mendalam berkaitan dengan relasi sosial yang baik. Di dalam teks anggo dapat diketemukan secara implisit bentuk penghormatan kepada adat istiadat atau kebiasaan-kebiasaan positif yang berlaku dalam masyarakat Tolaki, misalnya dalam teks He...he..Tabea nggomasima mongoni paramesi/Paramesi hamesi paralu owose ira’iro mokole woiro/Anakia olono metia toono meohai/Lala teporombu leu mbendeposua/Sara pondaroaa pomboko mberapu’a/Powindahako’a powadaa’a popolo/Tepoleno o sara heono peowai/Tinotoki osara hinue peowai. Pande anggo dalam teks pembuka tersebut memperlihatkan pengormatan yang mendalam kepada tokoh-tokoh adat dan dengan sendirinya menghormati adat istiadat orang Tolaki.

(17)

d. Nilai Filosofis

Sebagaimana telah dikemukakan pada hasil penelitian di atas, Moanggo mengandung nilai yang sangat hakiki dan prinsipil dalam kehidupan orang Tolaki, yaitu, nilai filosofis. Nilai filosofis adalah nilai yang merepresentasikan pandangan hidup atau kebijaksanaan hidup orang Tolaki untuk mengendalikan dan mengarahkan manusia dalam bersikap, berperilaku atau perbuatan ke arah yang lebih baik.

Seperti halnya dengan beragam etnis lain di negeri ini, orang Tolaki memiliki pandangan hidup. Beragam etnis yang mendiami negeri ini memiliki perbedaan pandangan hidup. Esensi perbedaannya terletak pada faktor-faktor dominan, seperti kebudayaan, agama, tata nilai sosial dan sebagainya. Pandangan hidup merupakan tolok ukur untuk membedakan antara suatu peradaban dengan peradaban lain. Bahkan menunjukkan bila pandangan hidup melibatkan epistemologi manusia sebab pandangan hidup merupakan faktor penting dalam aktivitas penalaran manusia (Zarkasyi, www.fajarislam.com).

Dilthey, sebagaimana dikutip oleh Bulhof (1980: 82.), mengemukakan bahwa pandangan hidup merupakan cara manusia memahami dunia secara lebih luas berupa pemahaman atau interpretasi terhadap realitas. Dijelaskan pula, pandangan hidup tidak pernah terdiri dari imitasi-relitas itu sendiri tetapi hanyalah sebuah symbol atau rujukan terjadap realitas. Pandangan hidup juga merupakan sebuah konstruksi hipotesis, di dalam pencitraan formula rasional yang didasarkan pada pengalaman manusia yang hanya sedikit di dalam memandang keseluruhan koherensi sesuatu terhadap realitas seperti sebuah interpretasi terhadap realitas tersebut.

Selain itu, pandangan hidup diartikan pula sebagai pengetahuan seseorang tentang dunia dan manusa serta sebuah produk interaksi antara dunia dalam dengan dunia luar, berupa praktek ideal kehidupan yang menyediakan petunjuk terhadap perbuatan manusia dan sebagai sebuah pencitraan bentuk dunia dan kedudukan seseorang di dunia itu (Bulhof, 1980: 83-84). Hadot mengemukakan, bahwa pandangan hidup merupakan kebijaksanaan hidup yang didasarkan pada rasio atau pemikiran manusia dalam kehidupan sosialnya (Piere Hadot, 1999: 270). Smart, sebagaimana dikutip Olson (2002:144) juga mengemukakan, bahwa pandangan hidup adalah nilai-nilai dan kepercayaan yang menyatu dalam praktek dan diekspresikan di dalam tindakan, hokum-hukum, simbl-simbol, organisasi, dan sebagainya dalam kehidupan masyarakat yang dapat menyelesaikan dan memecahkan konflik-konflik social yang terjadi dilingkungannya.

Alparslan (1996: 6) juga mengemukakan, bahwa pandangan hidup terbentuk dalam pikiran individu manusia secara perlahan-lahan (in a gradual manner) yang bermula dari akumulasi konsep-konsep dan sikap mental yang dikembangkan oleh manusia sepanjang hidupnya selanjutnya dijadikan sebagai pegangan, pedoman, arahan, dan petunjuk dalammelakukan aktivitasnya du dunia ini. jadi melalui proses terbentuknya pandangan tersebut maka mengindikasikan motoritas bukan hanya pada individu tetapi juga pada kelompok social yang ada, dan kelompok sosialnya.

(18)

rakyat, hingga sastra lisan moanggo secara perlahan mengalami pergeseran, bahkan dikhawatirkan akan lenyap. Pandangan hidup suku Tolaki tersebut meskipun masih terdapat yang tetap, namun karena adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan peradaban maka dengan sendirinya pandangan hidup mereka mulai mengalami pula pergeseran, bahkan lambat laun akan mengalami proses transformasi. Pergeseran tersebut disebabkan munculnya fakta-fakta sosial yang mengalami transformasi pada seluruh tingkatan nilai. Oleh karena itu, sebagian masyarakat suku Tolaki saat ini banyak yang mempertanyakan dan tidak memahami tentang pandangan hidup yang terdapat dalam lingkungan sosial dan menginginkan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai pandangan hidupnya (Idaman dan Rusland, 2012: 269).

Meskipun demikian, pandangan hidup atau nilai filosofis orang Tolaki ini masih dapat diketemukan melalui penelaahan secara mendalam terhadap teks Anggo. Di dalam teks Anggo berikut ini terungkap pandangan hidup orang Tolaki yang sampai kini masih terus dipertahankan dan dipedomani:

Asokaa dadio toono meohai Mokapa’i metia toono meohai Keemoloro lausa mosala iwoimu Keilaa mowawo rumah tangga Iyamo ehe mouba penao baratando Iyamo motudi tudi modiku diku nggae Iyamo umonge nge umokeba nggebai Keeterengga orapu nggo teposinggalako Mano ruuru o’ana tebanggona wulele

Ada beberapa nilai filosofis atau pandangan hidup yang terungkap di dalam teks di atas, antara lain: prinsip persaudaraan dan kerja keras tanpa pamrih. Filosofi hidup persaudaraan (meohai) dan kerja keras tanpa pamrih ini biasanya bersumber dari inspirasi Kalosara. Konsep kalo ini dalam kebudayaan tolaki mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, yang meliputi adat istiadat khususnya, Sara Owoseno Tolaki atau Sara Mbu’uno Tolaki, yaitu adat pokok sumber dari segala adat istiadat yang berlaku dalam semua aspek kehidupan sosial kemasyarakatan (Aswati, 2000:1).

(19)

Istilah meohai, mepaekombo dan kotukombo merepresentasikan filosofi hidup orang Tolaki yang sangat mementingkan persaudaraan dan mempererat ikatan-ikatan sosial di antara suku tolaki itu sendiri. Sebagai bentuk ekspresi prinsip persaudaraan di kalangan orang Tolaki, Anggota-anggota masyarakat suku Tolaki dalam suatu kampung mempunyai hubungan yang erat dan saling kenal mengenal satu dengan yang lain. Mereka mempunyai kepribadian kelompok yang dipertahankan dan dikembangkan terus menerus. Anggota-anggota masyarakat ini hidup tolong menolong, bantu membantu satu dengan yang lain. Mereka bekerja sama (gotong royong) dalam kegiatan-kegiatan seperti, membuat rumah, mengerjakan sawah/ladang, membersihkan desa, mendirikan bangunan-bangunan dan sebagainya. Tiap anggota masyarakat mengambil bagian dalam peristiwa-peristiwa penting yang berhubungan dengan daur hidup seperti, kelahiran, perkawinan, kematian dan upacara-upacara lain yang berhubungan dengan itu (Lakebo dkk, 1977/1978: 122). Perilaku yang dikembangkan dalam masyarakat ini merupakan perwujudan dari nilai-nilai kalo atau struktur sosial dan adat dalam masyarakat Tolaki. Karena itu, kelompok masyarakat yang tidak mau terlibat dalam pola-pola hubungan sosial seperti ini dianggap sebagai melanggar adat (lia sara), sombong dan tinggi hati, hanya mementingkan diri sendiri dan dianggap tidak berguna bagi masyarakat. Biasanya orang bersangkutan dapat disisihkan dari pergaulan masyarakat, sehingga ia hidup menyendiri. Ia juga bisa diasingkan dari lingkungan masyarakat tempat ia berada (Lakebo dkk. 1977/1978: 133).

Hal lain yang tampak dalam konsep persaudaraan ini adalah saling membantu atau tolong menolong (mete’alo-alo atau meteo’alo) ketika sebuah keluarga hendak membuat hajatan. Misalnya, di beberapa kampung yang mayoritas penduduknya orang Tolaki, ketika akan melangsungkan pesta pernikahan, warga masyarakat di sekitarnya berbondong-bongong datang membantu, baik dalam bentuk menyumbangkan tenaga, membawa beras, kayu bakar dan sebagainya. Kesan ini memberikan pemahaman mendalam bahwa orang Tolaki secara sosial diikat oleh sebuah simbol filosofis yakni Kalo.

Sementara itu, prinsip kerja keras tanpa pamrih tercermin dalam filosofi medulu mepokoaso. Konsep medudulu mepoko’aso dalam masyarakat Tolaki memiliki makna yang mendalam dan prinsipil. Orang Tolaki menggambarkan masyarakat bersatu sebagai suatu masyarakat di mana hubungan antara orang seorang, keluarga dengan keluarga, dan golongan dengan golongan senantiasa terjalin suasana yang disebut medudulu (saling bersatu), mete’alo-alo (saling menanam budi), samaturu (saling ikut serta dalam usaha kepentingan bersama), mombeka pona-pona ako (saling harga menghargai), dan mombekamei-meiri’ako (saling mengasihi) (Tarimana, 1993: 190).

Medulu mepoko’aso juga dianggap sebagai konsep yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat Tolaki, selain dari konsep ate pute penao moroha (kesucian dan keadilan), dan morini mbu’umbundi monapa mbu’undawaro (kemakmuran dan kesejahteraan). Ketiga konsep ini merupakan pengejawantahan dari fungsi Kalo (Tarimana, 1993: 284).

(20)

Untuk memahami makna Moanggo pada orang Tolaki dapat dilakukan dengan memaknai teksnya. Pemaknaan sebuah teks cerita tidak lepas dari peran pembaca sebagai pemberi makna sesuai dengan horison harapannya. Jauss (1974: 12-13) menyatakan apresiasi pembaca pertama terhadap karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Senada dengan itu, Isser (1978: 20) menyatakan bahwa teks hanya dapat memberikan arti ketika teks tersebut dibaca. Jadi, melalui uraian tersebut maka teks Moanggo dapat dianalisis dengan menggunakan kerangka kerja hermeneutik.

Hermeneutika merupakan ilmu yang mengembangkan metode pemahaman makna melalui penafsiran. Secara prinsip hermeneutik menolak model pendekatan ilmiah baik induktif maupun deduktif yang masing-masing sifatnya satu arah. Hermenutik ingin memahami suatu teks, misalnya, dengan memahami tidak hanya kata-kata didalamnya, tetapi keseluruhan teks itu sebagai karya. Namun, itu saja tidak cukup. Hermeneutik harus selanjutnya memahami hubungan antara teks itu dan pemroduksi, yakni seluruh mentalitas dan perkembangan pemroduksi teks itu dalam perspektif sejarahnya atau, lebih tepat, diakronis. Hemeneutik melihat teks sebagai polisemis, sehingga penafsiran menjadi masalah sentral. Jadi hermeneutik bertujuan untuk verstehen (memahami) melalui metode abduksi, bukan hanya menafsirkan. Interpretasi (penafsiran) selalu merupakan rekonstruksi makna sebuah teks, atau menurut istilah Ricouer, reproduksi (Nachbildung) (Ricouer, 1982: 152).

Kerangka kerja hermeneutika Ricouer adalah menempatkan teks pada tempat yang sentral. Teks merupakan perwujudan dari apa yang disebutnya “speech” (bahasa lisan) yang merupakan konsep yang secara semiotis dapat diwujudkan ke dalam teks. Selanjutnya, teks harus dipahami dengan memahami kaitannya dengan penulis (pemroduksi teks), lingkungan (fisik, sosial budaya), dan dengan teks lain (intertekstualitas). Makna teks juga harus dipahami dalam konteks dialog antara pembaca dan teks yang dibacanya itu. Dengan demikian, hal yang menonjol dalam hermeneutik ialah pengertian bahwa teks pada dasarnya polisemis sehingga tidak mungkin mempunyai hanya satu makna (Hoed, 2004: 61). Bahkan Eco (1990: 41) memandang teks sebagai sebuah “karya terbuka” yang memungkinkan penafsiran ganda (multiple interpretations). Dalam konteks inilah Anggo sebagai sebuah teks hendak dilakukan penafsiran dengan memanfaatkan kerangka kerja hermeneutik Paul Ricouer.

(21)

percintaan, fungsinya adalah sebagai penyampaian isi hati kepada seseorang (Rahmawati dkk, 2007: 129-130).

Selanjutnya, menurut Rahmawati dkk (2007: 130) Anggo sering diperdengarkan dalam berbagai kesempatan khususnya di dalam bidang pertanian, misalnya pada saat akan membuka lahan (mosalei), saat akan menanam bibit (motasu), mencabut bibit (morabu), menyabit (mosaira), atau pada puncak kegiatan petani yaitu pesta panen (monahu nda’u). Dalam catatan rahmawati dkk, Anggo semacam ini kedudukannya hampir sama dengan mantra karena isinya berupa permohonan kepada Yang Maha Kuasa agar apa yang diperbuatnya mendapat berkah-Nya, sehingga tidak akan mendapat gangguan berarti dan akan diperoleh hasil sesuai dengan yang diharapkan. Berbeda dengan mantra, untuk melagukan jenis anggo ini, umumnya diiringi dengan alat musik sedangkan pada mantra tidak demikian. Anggo juga diyakini dapat menjadi media penghubung antar arwah nenek moyangnya dengan orang yang sedang menyanyikan anggo (moanggo).

Berkaitan dengan jenis Anggo, menurut Rahmawati dkk (2007: 131-132), Anggo terdiri atas beberapa jenis. Setiap jenis anggo disesuaikan dengan suasana, tempat dan hanya boleh dinyanyikan pada waktu-waktu tertentu. Jenis anggo yang umumnya lebih dikenal dalam masyarakat Tolaki adalah sebagai berikut:

1. Anggo meteia, yaitu jenis lagu yang biasanya dinyanyikan pada saat menjaga anak. Anggo ini lazim digunakan masyarakat Tolaki terutama bagi mereka yang ingin membeikan hiburan bagi seorang anak kecil agar anak tersebut tidak menangis.

2. Anggo mosawa-sawa, merupakan lagu untuk menghibur orang yang bersedih. Lazim dinyanyikan dalam masyarakat Tolaki yang ingin memberikan hiburan bagi orang-orang yang dirundung duka. Baik itu orang yang berduka karena kehilangan kekasih, orang yang kecewa karena suatu keinginannya yang tidak dapat dipenuhi, maupun bagi mereka yang sedang patah hati.

3. Anggo mondau, jenis ini umumnya dinyanyikan oleh masyarakat Tolaki yang mata pencahariannya bercocok tanam. Saat akan membuka lahan, maka anggo jenis ini dinyanyikan oleh seseorang. Jadi pada dasarnya untuk jenis anggo ini kedudukannya sama dengan mantra karena berfungsi sebagai penghubung kepada yang kuasa dalam menyampaikan permohonan agar diberikan berkah dan kemudahan. Oleh karena itu, anggo ini bersifat magis yang mampu menciptakan suasana sebagai yang dikehendaki tema dari setiap lagu. 4. Anggo mombeperiri, jenis yang mempunyai pengertian sebagai lagu

keharuan. Anggo yang demikian ini dilagukan dalam suatu pertemuan dengan seseorang yang lama dirindukan. Apakah itu pertemuan dengan kekasih, keluarga yang lama pergi, atau unsur pimpinan negara yang berkunjung di daerah, yang akan terbaca dalam susunan syairnya. 5. Anggo ndula-tula, yang artinya anggo silsilah. Isinya menggambarkan

(22)

Selain jenis Anggo yang dikemukakan di atas, masih terdapat sebuah jenis anggo yang sampai saat ini masih sering dilagukan setelah akad nikah, disebut momboko sala anggo. Jenis anggo ini terdiri dari dua bentuk, yaitu anggono sara yang dibawakan oleh Tolea dan anggono sara yang dibawakan oleh pabitara. Kedua teks anggo tersebut adalah sebagai berikut:

1. Anggono osara ari ine Tolea

He...he..Tabea nggomasima mongoni paramesi Paramesi hamesi paralu owose ira’iro mokole woiro Anakia olono metia toono meohai

Lala teporombu leu mbendeposua Sara pondaroaa pomboko mberapu’a Powindahako’a powadaa’a popolo Tepoleno o sara heono peowai Tinotoki osara hinue peowai

Tano ina inau tano ene enepo Ano sinukahako noninaa me’ita

Tahoringgu pelonggo dunggu nggo momberahi Momberahi nggo mbule masima nggo mowahe Laa’i pongoninggu inoorimaminggu

Keno onggo tewali laa peruku’ano Owose’i unenggu wangga’i penaonggu Aki pedulu nggare meronga ronga mbule Watukee walino mo’ia taroano

Iyamo bata bata ruo ruo mbenao Akiki umindo’i dunggu mahe mahe’i

He...he..nggo tetoronggeeto umari ‘aringgee Powukuno anggonggu posala susuanggu Kenolaa tesala baara taakaduno

Ai pokonggadu’i, poko ndekono’i

Artinya:

Suatu permohonan dipersembahkan Hormat dan salam disampaikan Pada kalangan tokoh dan sesepuh Saudara kerabat dan handai tolan Yang kini sempat bersua

Di suasana pesta yang meriah Di acara perkawinan dan pelaminan Berbarengan penyerahan adat perkawinan Adat Perkawinan sudah diterima

Upacara adat sudah usai

Tidak ada yang sampai dan terlampaui

(23)

Untuk kembali ke tempat kediaman Suatu permohonan ingin diajukan

Semoga mendapat sambutan dan perkenan Kepada pihak tuan rumah

Khususnya kepada pihak orang tua mempelai Terhadap mempelai wanita kami

Kami sungguh berbesar hati

Untuk memboyong bersama kembali Ke rumah mempelai lelaki suaminya

Hingga disinilah lantunan lagu Syair anggo nan bersahaja Mohon kiranya dapat dimaafkan

2. Angggono osara ari ine Pabitara He...hee ela metia toono meohai Tole motau limba mesinua Ileu ari mondae bindani rorawua Laa leu popolo hende mowindahako

Ine anamorenggu keno waipodenggu Tebua moko hondo leu meoko’uko Tehuu mokolema leu meokongango Kei onggo wowahe mondaboli’ako Ai onggo wawe’i popo peronga nggee Iyamo nomenggau lalo monggolili’a

Akito meoriri meoko’aunggee

Kei laa moia mowawo rumah tangga Iyamo penoho noho peopurihi une Noulaa tomba’i auto’orikee Noki toro maranu deela marasai

Asokaa dadio toono meohai Mokapa’i metia toono meohai Keemoloro lausa mosala iwoimu Keilaa mowawo rumah tangga Iyamo ehe mouba penao baratando Iyamo motudi tudi modiku diku nggae Iyamo umonge nge umokeba nggebai Keeterengga orapu nggo teposinggalako Mano ruuru o’ana tebanggona wulele Kei dunggu mowahe timba mbule mbendua Mbera sawino o raha ihi laikamiu

Iyamo osakami aukolupekomami Oruki timba mbule aileu mbendua Mano laila’ipo keno nunulaiki

Mano lipa wilapo ano tudu wulaki’ato meobu obu tombepoko’aso

(24)

Wahai kerabat dan bersaudara

Sabang duta dan perwakilan yang pandai dan cekatan Datang dari arah jauh datang membawa mas kawin Kepada puteri anak kami

Muncul bermandi peluh tampaknya agak letih

Jika saat kembali berkeinginan memboyong puteri kami Asal jangan terlampau lama

Karena kami akan menanggung rindu

Dalam mengarungi hidup ke depan

Semoga tiada penyesalan yang menghalang Karena sejak awal sudah dimaklumi

Keluarga kami orang tak punya Hanya saudara kerabat milik kami Bersaudara milik kami

Jika berhimpun tak ada celah peluang anak tangga licin Persiapan dapur tak tercukupkan

Tegur sapa tak bersahabat dihindarkan Suami yang gemar mengurus dapur

Adalah petunjuk kepelitan suami Rumah tangga selalu bentrok Perceraian mengancam

Walau anak jumlahnya banyak

Kalau tiba saatnya untuk kembali balik pulang ke tempat domisili Hingga bertemu kembali dengan semua keluarga dan kerabat Kiranya kami tak terlupakan

Kunjungan selanjutnya akan terus berlangsung Walau kelak kembali ingatan tetap di sini Walau tak di sini kenangan tetap pada kami

Kedua teks anggo ini hingga kini masih sering diperdengarkan atau dilantunkan setelah pelaksanaan adat perkawinan atau akad nikah pada orang Tolaki di Konawe. Bahkan sudah menjadi pakem bahwa moanggo harus selalu ada dalam setiap pesta adat perkawinan orang Tolaki, sehingga lantunan Anggo seringkali dianggap sebagai bagian dari adat perkawinan orang Tolaki.

Soemardjo (www.bentarabudaya.com) menyatakan, bahwa sastra lisan di berbagai suku adalah imajinasi murni yang merupakan simbol-simbol realitas. Soemardjo menyatakan bahwa sastra lisan ini muncul berdasarkan realitas masyarakatnya, menjadi sastra simbol dan dikembalikan ke realitas kembali. Masyarakat perdesaan ini peka terhadap simbol seni. Mereka hidup berdasarkan simbol-simbol tersebut. Mereka tidak peduli apakah itu historis atau imajinasi. Sastra itu realitas yang bersangkutan dengan kehidupan bersama atau pribadi mereka.

(25)

memahami orang Tolaki dan budayanya, maka dapat diketemukan melalui pemaknaan atas teks-teks sastra lisan, baik itu melalui cerita rakyat, maupun melalui seni suara (moanggo). Dengan kata lain, melalui cara kerja hermeneutika akan diketemukan sejumlah makna yang berkaitan dengan nalar kultural di dalam masyarakat Tolaki. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teks anggo itu sendiri merupakan representasi sebagian, untuk tidak mengatakan keseluruhan, besar pandangan dunia (weltanschaung) orang Tolaki yang berkaitan dengan lingkungan sosial budayanya, khususnya di lingkungan keluarga.

Dalam teks anggo He...he..Tabea nggomasima mongoni paramesi/Paramesi hamesi paralu owose ira’iro mokole woiro/Anakia olono metia toono meohai, melukiskan kesantunan dan penghormatan kepada tokoh adat dan para sesepuh orang Tolaki yang hadir dalam perhelatan perkawinan adat Tolaki. realitas budaya orang Tolaki saat ini masih mengagungkan ke-anakia-an atau kebangsawanan. Kalimat nggomasima mongoni paramesi tampaknya semakna dengan palalo, permintaan izin untuk melakukan tindakan tertentu. Paramesi dan palalo merupakan bahasa tinggi yang sarat dengan makna sastrawi, berbeda dengan bahasa sehari-hari. Karena itu, penggunaan kata ini biasanya dilakukan pada acara-acara resmi nan sakral.

Selanjutnya, kalimat Anakia olono metia toono meohai mengisyaratkan pandeanggo menganggap sangat perlu memberi penghargaan dan penghormatan setinggi-tingginya kepada khalayak yang hadir pada acara pesta perkawinan tersebut. Meskipun tidak semua yang hadir dapat dikategorikan sebagai golongan anakia, tetapi bahasa sindiran ini merupakan penghormatan dan mengabaikan perbedaan-perbedaan kelas sosial dalam masyarakat Tolaki.

Dalam teks anggo berikutnya, Lala teporombu leu mbendeposua/Sara pondaroaa pomboko mberapu’a/Powindahako’a powadaa’a popolo/Tepoleno o sara heono peowai/Tinotoki osara hinue peowai mengisyaratkan, bahwa prosesi adat perkwinan adat Tolaki telah selesai dilaksanakan menurut tata cara perkawinan adat Tolaki (tengga tenggano osara). Kalimat Tepoleno o sara heono peowai/Tinotoki osara hinue peowai dapat dimaknai sebagai pelaksanaan adat telah selesai dan dapat dilanjutkan dengan perbuatan berikutnya mengiringi pelaksanaan adat perkawinan.

(26)

(mempelai perempuan) akan dijaga dan dikasihi (umindo’i dunggu mahe mahe’i). Ini merupakan jaminan kepada keluarga mempelai perempuan, dan bahkan kepada seluruh undangan yang hadir bahwa sang mempelai laki-laki akan membangun keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.

Sebagai bentuk jawaban atas sindiran penuh makna yang dikemukakan pandeanggo, maka jawaban dari pandeanggo yang lain adalah dalam bentuk teks, He...hee ela metia toono meohai/Tole motau limba mesinua/Ileu ari mondae bindani rorawua/Laa leu popolo hende mowindahako/Ine anamorenggu keno waipodenggu. Teks anggo ini dapat dimaknai sebagai bentuk penerimaan atas usaha dari pihak mempelai laki-laki untuk mendatangi pihak mempelai perempuan, dengan tidak mengenal lelah, penuh keringat mengucur, tetapi demi hajat menyambung hubungan kekerabatan pada akhirnya dapat datang melangsungkan hajat perkawinan adat. Setelah melangsungkan janji setiap kedua mempelai, maka pihak keluarga perempuan memberikan izinnya untuk membawa mempelai perempuan hidup bersama suaminya, hal ini terlihat dalam teks Tebua moko hondo leu meoko’uko/Tehuu mokolema leu meokongango/Kei onggo wowahe mondaboli’ako/Ai onggo wawe’i popo peronga nggee/Iyamo nomenggau lalo monggolili’a/Akito meoriri meoko’aunggee.

Kemudian pada teks Kei laa moia mowawo rumah tangga/Iyamo penoho noho peopurihi une/Noulaa tomba’i au to’orikee/Noki toro maranu deela marasai dapat dimaknai sebagai peringatan kepada pihak mempelai laki-laki dan keluarga pihak laki-laki untuk menerima dengan lapang dada kondisi keluarga pihak perempuan. Hal ini ditegaskan dengan kalimat Iyamo penoho noho peopurihi une yang secara tekstual diartikan sebagai jangan menyimpan sesal dan kesal dihati. Ini artinya, bahwa dibutuhkan keterbukaan dan kejujuran di dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

Kemudian pada teks Asokaa dadio toono meohai/Mokapa’i metia toono meohai/Keemoloro lausa mosala iwoimu merupaan pesan-pesan kultural yang dapat dimaknai agar kedua mempelai laki-laki dan perempuan dalam menjalankan kehidupan rumah tangga agar memperhatikan keluarga dekat dengan cara banyak memberi. Tetapi membntu keluarga dekat jangan sampai berlebihan yang akan berakibat Keemoloro lausa mosala iwoimu atau pemborosan dengan kata lain jangan sampai meopokosea, memberi dengan berlebihan dan mengabaikan kondisi keluarga.

Dalam konteks budaya Tolaki, terdapat istilah mombeka-meimeiri’ako kepada keluarga dekat. Hal ini sangat wajar dilakukan mengingat luasnya ikatan kekerabatan dalam masyarakat Tolaki. meskipun demikian, mombekamei-meri’ako jangan sampai mengabaikan kepentingan keluarga sendiri, anak dan istri.

(27)

jika ketiga hal tersebut sering terjadi dalam kehidupan keluarga, maka akan mempercepat jalan kepada perceraian Keeterengga orapu nggo teposinggalako.

Selanjutnya teks anggo yang lain, yakni Kei dunggu mowahe timba mbule mbendua/Mbera sawino o raha ihi laikamiu/Iyamo osakami aukolupekomami/Oruki timba mbule aileu mbendua/Mano laila’ipo keno nunulaiki/Mano lipa wilapo ano tudu wulaki’ato meobu obu tombepoko’aso dapat dimaknai sebagai peringatan kepada kedua keluarga baru tersebut untuk selalu mengambil keputusan yang bijaksana ketika terdapat prahara dalam keluarga. Paling penting adalah berkonsultasi dengan kedua orang tua jika ternyata keluarga baru tersebut sulit mengambil jalan keluar ketika terdapat masalah.

Penafsiran dan pemaknaan terhadap teks anggo tersebut mengikuti kerangka hermeneutika Paul Ricour yang mengandaikan penafsiran itu tidak bisa dilepaskan dari konteks ketika teks itu menjadi milik pembaca. Ini berarti bahwa teks anggo harus ditafsir atau dimaknai dengan berpijak kepada latar belakang sosio-historis kultural orang Tolaki. dengan demikian, teks anggo merupakan narasi sosial kultural orang Tolaki atau narasi tentang konteks riil kehidupan orang Tolaki yang, tentu saja, diwariskan secara turun temurun oleh orang-orang tua. Bahkan, menurut penulis pesan-pesan di dalam teks anggo tersebut merupakan pengalaman-pengalaman orang-orang tua dahulu yang kemudian dinarasikan dalam bentuk lagu dengan maksud agar dapat dipahami dan membekas dalam kehidupan keluarga.

Simpulan

(28)

kerabat handai tolan. Nilai budaya di dalam moanggo berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan positif yang dilakukan oeh para leluhur atau nenek moyang orang Tolaki. sikap dan perilaku orang Tolaki sesungguhnya bersumber kepada simbol kalo. Simbol budaya ini mengikat keseluruhan sikap, perilaku dan pikiran orang Tolaki, sehingga dengan demikian nilai budaya ini bersumber langsung dari simbol kalo. Nilai filosofis di dalam teks anggo berhubungan dengan pandangan hidup yang diturunkan dari konsep-konsep yang sifatnya kognitif yang tentu saja diwariskan dari para leluhur. Pandangan hidup (weltanschaung) ini dapat diketemukan di dalam teks anggo. Moanggo yang dibawakan oleh pandeanggo sesungguhnya sedang menarasikan, dalam bentuk lirik lagu, prinsip-prinsip hidup orang Tolaki.

(29)

Daftar Pustaka

Acikgence, Alparslan. 1996. “the Framework for a History of Islamic Philosophy”, dalam Journal of the Institute of Islamic Thought and Civilization.

Ahmadi, Abu dan Uhbiyati. 2007. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Alfian. 1985. Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia. Jakarta: LP3ES

Arifin, Bustanul. 1990. Sastra Indonesia (lama-baru-modern). Bandung: Angkasa.

Aswati, 2000. Kalosara dalam Kehidupan Masyarakat Tolaki. Unaaha: Makalah dalam Rangka Musyawarah Adat I Suku Bangsa Tolaki.

Bertens, K. 1996. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bowie, Andrew. 1998. “Introduction” dalam Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher, Schleiermacher: Hermeneutics and Criticism and Other Writings. Cambridge Text in the History of Philosophy (ed. dan terj. Andrew Bowie). Cambridge-New York: Cambridge University Press.

Bulhof, Ilsen. 1980. Wilhem Dilthey: A Hermeneutic Approach to the Study of History and Culture (Boston: Martinus Nijhoff Publisher.

Caputo, John D. 1987. Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction and Hermeneutic Project. Bloomington, Indiana: Indiana University Press.

Eco, Umberto. 1990. The Limits of Interpretation. Bloomington: Indiana University Press.

Gadamer, Hans-Georg. 1975. Truth and Method (terj. Dan Revisi Joel Weinsheimer dan Donald G. Marshall) London: Crossroad Publishing Co.

---. 1976. Philosophical Hermeneutics (terj. Dan ed. David E. Linge). Berkeley-Los Angeles-London: University of California Press.

(30)

Hoed, Benny H. 2004. “Bahasa dan Sastra dalam Tinjauan Semiotik dan Hermeneutik” dalam Tommy Christomy dan Untung Yuwono (Penyuning), Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia.

Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI Jawa Timur.

Idaman dan Rusland. 2012. “Islam dan Pergeseran Pandangan Hidup Orang Tolaki”, Al-Ulum Jurnal Studi-Studi Islam, Vol. 12 No. 2, h. 267-302.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia

Koodoh, Erens Elvianus, Abdul Alim, dan Bacharuddin. 2011. Hukum Adat Orang Tolaki. Yogyakarta: Teras Kerjasama dengan Kantor Penelitian dan Pengembangan Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe.

Lakebo dkk, 1977/1978. Adat Istiadat Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya proyek penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.

Leidecker, Kurt F. 1976. “Hermeneutics,” dalam Dagobert D. Runes (ed.), Dictionary of Philosophy. Totowa, NJ: Littlefield, Adams & Co.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:Gajah Mada University Press.

Palmer, Richard E. 1969. Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Evanston, IL: Northwestern University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pusat Bahasa Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-3. Jakarta: Balai Pustaka.

Rafiek, M. 2010. Teori Sastra kajian; Teori dan Praktik. Bandung: P.T Refika Aditama.

Rahmawati dkk. 2007. Sastra Lisan Tolaki. Kendari: Kantor Bahasa Sultra.

Referensi

Dokumen terkait

Di desa Lolak cukup jelas, program desa Lolak cukup banyak, ada pembanggunan dan bantuan pemerintah terhadap masyarakat misalnya bantuan renovasi rumah bagi yang

Pada tahap awal fitur wizard akan tampil jendela untuk menentukan sistem unit yang akan digunakan seperti yang ditunjukan oleh gambar 4.2, karena menggunakan sistem

prinsip kerjanya adalah ketika motor di beri tegangan arus DC maka stator akan berputar maka secara otomatis akan memutar baling- baling yang terpasang pada ujung rotor

Dengan demikian, barang-barang yang tergolong ke dalam kategori A akan mendapat prioritas dalam penanganan dan untuk selanjutnya, perhitungan penghematan biaya

Berdasarkan latar belakang diatas maka penelitian yang berjudul “Pengaruh Penambahan Pektin dan Gliserol Pada Gel Lidah Buaya (Aloe vera L.) Dan Lama Pencelupan sebagai

Penilaian rata-rata responden untuk faktor Manusia (Human) pada ALAM sebesar 4,02, menunjukkan bahwa dari sisi penggunaan sistem yang terkait dengan siapa yang

Melalui pembahasan yang komprehensif dengan melibatkan unsur bagian- bagian yang ada di lingkungan Setda Kabupaten Purwakarta telah disusun Perencanaan Strategis

Penulis mengangkat penelitian ini karena permasalahannya merupakan hal yang baru dalam perkembangan usaha perasuransian di Indonesia. Untuk menunjukkan keaslian dan pembahasan