197
ANALISIS SISTEM KEBIJAKAN JALAN TOL ATAS LAUT
JAKARTA-SURABAYA
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN UNIVERSITAS GUNADARMA
198
ABSTRAK
Analisis sistem (system thinking) merupakan satu kesatuan dari berbagai komponen yang terkait untuk mencapai suatu tujuan. Analisis sistem mengajarkan untuk memikirkan segala sesuatu berdasarkan kerangka metode tertentu.(Peter Senge,1990). Dalam memahami analisis sistem kita dapat terapkan dalam melihat suatu masalah, salah satunya pembangunan infrastruktur seperti jalan tol. Pembangunan jalan tol atas laut Jakarta-Surabaya merupakan ide yang dikemukakan oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan. Adapun kajian pembangunan jalan tol atas laut Jakarta – Surabaya ini dilakukan dengan kajian singkat analisis sistem untuk menentukan keberlanjutan apakah pembangunan jalan tol atas laut Jakarta – Surabaya dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Konsep pendekatan yang digunakan menggunakan pendekatan holistik dan integral dengan mengedepankan studi literatur. Komponen-komponen yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan adalah Geografis/lokasi, RAB & Struktur, Hukum, Sosial, Ekologi dan AMDAL. Komponen-komponen ini dianalisis dengan dengan diagram IO, analisis SWOT, analisis SOAR, Causal Loop dan Analytical Hierarchy Process (AHP) yang dibantu software Decison Criterium Plus (DCP) dan Expert Choice. Berdasarkan analisis jenis pemilihan jenis jalan tol atas laut dengan menggunakan program CDP Versi 3.0 didapatkan bahwa untuk prioritas alternatif pemilihan jenis jalan tol adalah Elevated Toll Road (0,671), Kombinasi (0,198) dan Landed Toll Road (0,131). Berdasarkan analisis pembangunan jalan tol dengan Expert Choice, urutan prioritas alternatif terhadap keberlangsungan jalan tol atas laut adalah Jalan Tol Atas Laut Tidak Dibangun (52,7%) dan Jalan Tol Atas Laut Dibangun (47,3 %)
199
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ... i
Abstrak ... ii
Daftar Isi ... iii
Daftar Tabel ... vi
Daftar Gambar ... ix
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG ... 1
1.2 TUJUAN PENULISAN ... 2
1.3 RUMUSAN MASALAH ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN LOKASI ... 5
2.1.1 Rencana Jaringan Jalan Tol Atas Laut ... 5
2.1.2 Kondisi Eksisting Laut Jawa ... 6
2.1.3 Tinjauan Zona Gempa ... 9
2.1.4 Tinjauan Tol Eksisting ... 10
2.1.5 Lokasi Perencanaan ... 11
2.2 PERENCANAAN JALAN TOL ATAS LAUT ... 61
2.2.1 Elevated Toll Road ... 61
2.2.2 Landed Toll Road ... 75
2.2.3 Kombinasi ... 83
2.2.4 Desain Fondasi ... 89
2.2.5 Rencana Anggaran Biaya ... 104
2.3 HUKUM ... 112
2.3.1 Peraturan Terkait Jalan Tol ... 112
200
2.4 SOSIAL DAN EKOLOGI ... 115
2.4.1 Sosial ... 115
2.4.2 Ekologi ... 133
2.5 AMDAL ... 142
2.5.1 Tinjauan Umum ... 142
2.5.2 Deskripsi Rencana Kegiatan dan Dampak Potensial ... 150
2.6 ILMU ANALISIS SISTEM ... 174
2.6.1 System Thinking ... 175
2.6.2 Langkah Berpikir Sistem ... 178
2.6.3 Aplikasi Ilmu Sistem ... 181
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 METODE PENENTUAN TIPE JALAN TOL ... 194
3.1.1 Menentukan Topik ... 195
3.1.2 Menentukan Masalah ... 195
3.1.3 Studi Literatur ... 195
3.1.4 Pengolahan Data... 196
3.1.5 Kesimulan dan Rekimendasi ... 196
BAB 4 HASIL PEMBAHASAN 4.1 MEGA PROYEK JALAN TOL ATAS LAUT ... 197
4.1.1 Gambaran Umum ... 197
4.1.2 Tumpang Tindih Dengan Jalan Tol Trans Jawa ... 198
4.1.3 Tinjauan MP3EI ... 201
4.1.4 Kaitan Dengan Sektor Lainnya ... 202
4.2 DIAGRAM INPUT-OUTPUT ... 205
4.2.2 Output Dikehendaki ... 206
4.2.3 Input Lingkungan ... 206
4.2.4 Output Tidak Dikehendaki ... 207
4.2.5 Manajemen Pengendalian ... 207
4.2.6 Input Terkendali ... 207
4.3 ANALISIS SWOT ... 208
201
4.3.2 Analisis SWOT Untuk Landed Toll Road ... 2010
4.3.3 Analisis SWOT Untuk Jalan Tol Kombinasi ... 212
4.4 ANALISIS SOAR ... 215
4.4.1 Analisis SOAR Untuk Elevated Toll Road ... 215
4.4.2 Analisis SOAR Untuk Landed Toll Road ... 216
4.4.3 Analisis SOAR Untuk Jalan Tol Kombinasi ... 217
4.5 CAUSAL LOOP ... 217
4.6 ANALISIS PRIORITAS DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM APLIKASI CRITERIUM DECISION PLUS (CDP) VERSI 3.0 ... 229
4.7 ANALISIS PRIORITAS DENGAN MENGGUNAKAN APLIKASI EXPERT CHOICE ... 237
BAB 5 PENUTUP 5.1 KESIMPULAN ... 247
202
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Tinggi Gelombang di Beberapa Selat Indonesia ... 8
Tabel 2.2 Monitoring Udara ... 53
Tabel 2.3 Baku Mutu Kualitas Air ... 59
Tabel 2.4 Pembebanan Untuk Slab ... 68
Tabel 2.5 Dimensi Tiang Penyangga ... 72
Tabel 2.6 Pembebanan Untuk Tiang ... 72
Tabel 2.7 Perhitungan Penulangan Tiang ... 73
Tabel 2.8 Perbandungan Jembatan Jiaozhou, Incheon, dan JTAL JKT-SBY ... 75
Tabel 2.9 Data Lalu Lintas Harian Rata-rata ... 78
Tabel 2.10 Perhitungan Jumlah Sumbu Berdasarkan Jenis dan Bebannya ... 78
Tabel 2.11 Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (R) ... 79
Tabel 2.12 Perhitungan Repetisi Sumbu Rencana ... 80
Tabel 2.13 Analisis Fatik dan Erosi ... 81
Tabel 2.14 Perbandingan East Coast Parkway dengan JTAL JKT-SBY ... 83
Tabel 2.15 Perbandingan Highway Overseas dan JTAL JKT-SBY ... 89
Tabel 2.16 Bahan dan Material Fondasi Abutmen ... 98
Tabel 2.17 Nilai Pengujian SPT ... 99
Tabel 2.18 Perbandingan Fondasi ... 102
Tabel 2.19 Rencana Anggaran Biaya untuk Jembatan Panjang ... 108
Tabel 2.20 Rencana Anggaran Biaya Jembatan Reklamasi ... 110
Tabel 2.21 Rencana Anggaran Biaya Jembatan Kombinasi ... 111
Tabel 2.22 Jumlah Penduduk, Laju Pertumbuhan, dan Kepadatan Penduduk ... 116
Tabel 2.23 Potensi dan Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Laut di Jawa Tengah ... 117
Tabel 2.24 Jumlah Jenis Pekerjaan ... 119
203
Tabel 2.26 Kebutuhan Lahan Per Orang ... 122
Tabel 2.27 Jejak Ekologi (Ecology Footprint) Pulau Jawa ... 122
Tabel 2.28 Tingkat Pencemaran Udara ... 125
Tabel 2.29 Kisaran Kadar Hg-total dalam Berbagai Jenis Sampel Lingkungan di Kampung Truwali+Cemeti dan Desa Rambatan Wetan, Indramayu 1992 ... 126
Tabel 2.30 Jenis Gejala Kelainan KelainanNeurologik yang dirasakan oleh donor rambut di Kampung Tuwali+Cemeti dan Desa Rambatan Wetan, 1992 ... 127
Tabel 2.31 Rata-rata Lama Sekolah Menurut Jenis Kelamin Beberapa Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2001-2002 ... 128
Tabel 2.32 Kerusakan Mangrove di Pantura ... 138
Tabel 2.33 Perbandingan Jumlah Sumur Bor Tahun 1990 dan 2002... 141
Tabel 2.34 Perbandingan Kebutuhan Reklamasi ... 154
Tabel 2.35 Kebutuhan Lahan Per Orang ... 167
Tabel 2.36 Jejak Ekologi (Ecology Footprint) Pulau Jawa ... 167
Tabel 2.37 SWOT vs SOAR ... 184
Tabel 2.38 Nilai Integritas Kepentingan ... 191
Tabel 4.1 Penentuan Variabel Causal Loop Diagram ... 218
Tabel 4.2 Penentuan Variabel Causal Loop Diagram (Lanjutan) ... 219
Tabel 4.3 Penentuan Variabel Causal Loop Diagram (Lanjutan) ... 220
Tabel 4.4 Penentuan Variabel Causal Loop Diagram (Lanjutan) ... 221
Tabel 4.5 Penentuan Variabel Causal Loop Diagram (Lanjutan) ... 222
Tabel 4.6 Penentuan Variabel Causal Loop Diagram (Lanjutan) ... 223
204
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Rencana Lokasi Pembangunan Jalan Tol Atas Laut
Jakarta-Surabaya ... 6
Gambar 2.2 Peta Gelombang Laut Indonesia ... 8
Gambar 2.3 Zona Gempa Pulau Jawa ... 9
Gambar 2.4 Radius Getaran Gempa Gunung Krakatau ... 10
Gambar 2.5 Jaringan Jalan Tol Trans-Jawa ... 11
Gambar 2.6 Peta Kota Jakarta ... 12
Gambar 2.7 Lokasi Badai... 18
Gambar 2.8 Resiko, Tinggi Genangan, dan Kecepatan Arus ... 20
Gambar 2.9 Tumpukan Sampah di Sungai ... 20
Gambar 2.10 Pilar-Pilar Jalan Dapat Mengganggu aliran Sungai ... 20
Gambar 2.11 Air Laut Semakin Sering Melewati Garis Pantai ... 21
Gambar 2.12 Rencana Proyek Giant Sea Wall Jakarta ... 27
Gambar 2.13 Rencana Proyek Jalan Tol Atas Laut Jakarta-Surabaya ... 27
Gambar 2.14 Peta Kota Semarang ... 30
Gambar 2.15 Peta Kerawanan Perubahan Iklim ... 32
Gambar 2.16 Prediksi Genangan Wilayah Semarang 2029 ... 33
Gambar 2.17 Banjir ROB di Pelabuhan Tanjung Mas dan Genuk ... 34
Gambar 2.18 Banjir ROB di Stasiun Tawang ... 37
Gambar 2.19 Upaya Mengatasi Stasiun Tawang Secara Terpadu ... 39
Gambar 2.20 Afsluitdijk di Negara Belanda... 41
Gambar 2.21 Pohon Kegagalan ... 44
Gambar 2.22 Layout Rencana Pembangunan DAM di Semarang ... 48
Gambar 2.23 Peta Kota Surabaya ... 51
Gambar 2.24 Parameter Air Bersih ... 52
Gambar 2.26 Tingkat Polusi Udara Surabaya ... 54
Gambar 2.27 Sampah di Kota Surabaya ... 56
205
Gambar 2.29 Gambaran Besar Rute dan Fisik Jembatan Teluk Jiaozhou ... 62
Gambar 2.30 Jalur Lalu Lintas Jembatan Teluk Jiaozhou ... 62
Gambar 2.31 Tampak Atas Simpangan “T” Pada Jembatan Teluk Jiaozhou... 63
Gambar 2.32 Rute Jembatan Teluk Jiaozhou... 64
Gambar 2.33 Gambaran Besar Jembatan Incheon ... 65
Gambar 2.34 Rute Jembatan Incheon ... 66
Gambar 2.35 Dimensi Tiang Penyangga ... 71
Gambar 2.36 Permodelan Elevated Toll Road ... 74
Gambar 2.37 Ilustrasi Penulangan Tiang ... 74
Gambar 2.38 East Coast Parkway (Wara Ungu) ... 76
Gambar 2.39 ECP Arah Changi Airport ... 76
Gambar 2.40 Ilustrasi Perkerasan Kaku ... 82
Gambar 2.41 Highway Overseas ... 84
Gambar 2.42 Highway Overseas ... 84
Gambar 2.43 Highway Overseas ... 85
Gambar 2.44 Highway Overseas ... 85
Gambar 2.45 Highway Overseas, Florida ... 86
Gambar 2.46 Ilustrasu Perkerasan Kaku ... 87
Gambar 2.47 Permodelan Elevated Toll Road ... 87
Gambar 2.48 Pemodelan Kombinasi Elevated Toll Road dan Landed Toll Road ... 88
Gambar 2.49 Pondasi Pipa Baja ... 89
Gambar 2.50 Contoh Segmen Jembatan ... 90
Gambar 2.51 Konstruksi Tiang Pylon Jembatan ... 91
Gambar 2.52 Contoh Tahapan Struktur Bawah ... 93
Gambar 2.53 Pengerjaan Substruktur Jiaozhou Bay ... 95
Gambar 2.54 Struktur Incheon Bridge ... 96
Gambar 2.55 Struktur Bawah Incheon Bridge ... 97
Gambar 2.56 Tiang dan Pile Cap Incheon Bridge ... 97
206
Gambar 2.58 Desain Abutmen dan Pondasi ... 101
Gambar 2.59 Overseas Highway, Florida ... 103
Gambar 2.60 Tahapan Penyusunan Anggaran Operasional... 104
Gambar 2.61 Tahapan Penyusunan Anggaran Keuangan ... 105
Gambar 2.62 Modus Prostitusi di Pantura Jawa ... 132
Gambar 2.63 Metodologi Untuk Pra Studi Kelayakan ... 144
Gambar 2.64 Proses Pelingkupan (Scoping) ... 150
Gambar 2.65 Skema Batas Wilayah Pesisir ... 151
Gambar 2.66 Gabungan Bentuk Fisik (menyambung dan terpisah dengan daratan) ... 152
Gambar 2.67 Reklamasi dengan Bahan Galian dari Darat (Bukit) dengan Mengangkut dan Langsung Mengurug dari Tongkang ... 156
Gambar 2.68 Pengambilan Pasir dari Dasar Laut yang Diangkut ke Daerah Reklamasi ... 157
Gambar 2.69 Reklamasi dengan Sistem Polder ... 162
Gambar 2.70 Sistem Urugan dengan Sistem Hydraulic Fill ... 163
Gambar 2.71 Reklamasi dengan Blanket Fill ... 164
Gambar 2.72 Daftar Jembatan Terpanjang di Dunia ... 169
Gambar 2.73 Letak Pelabuhan di Indonesia ... 170
Gambar 2.74 Peta Konsep Ilmu Sistem ... 175
Gambar 2.75 System’s Iceberg... 176
Gambar 2.76 Diagram Input-Output ... 181
Gambar 2.77 Contoh Casual Loop Diagram ... 186
Gambar 2.78 CDP Versi 3.0 ... 187
Gambar 2.80 Langkah Analisis Pada CDP v 3.0 ... 188
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian ... 194
Gambar 4.1 Desain Tol Trans Jawa ... 198
Gambar 4.2 MP3EI Indonesia ... 201
Gambar 4.3 Diagram IO Pemilihan Jalan Tol Atas Laut Jakarta-Surabaya ... 205
207 Gambar 4.5 Analisis SWOT dari Desain Struktur Atas untuk Jalan Tol di
Daerah Reklamasi Lintas Laut Jakarta-Surabaya ... 211
Gambar 4.6 Analisis SWOT dari Desain Struktur Atas untuk Jalan Tol Kombinasi Laut Jakarta-Surabaya ... 213
Gambar 4.7 Analisis SOAR dari Desain Struktur Atas untuk Jalan Tol Elevated Lintas Laut Jakarta-Surabaya ... 215
Gambar 4.8 Analisis SOAR dari Desain Struktur Atas untuk Jalan Tol di Daerah Reklamasi Lintas Laut Jakarta-Surabaya ... 216
Gambar 4.9 Analisis SOAR dari Desain Struktur Atas untuk Jalan Tol Kombinasi Lintas Laut Jakarta-Surabaya ... 217
Gambar 4.10 Causal Loop Diagram ... 228
Gambar 4.11 CDP versi 3.0 ... 229
Gambar 4.12 Diagram Hirarki Pemilihan Jenis Jalan Tol Atas Laut... 230
Gambar 4.13 Penentuan Goal ... 231
Gambar 4.14 Penentuan Kriteria ... 232
Gambar 4.15 Penentuan Alternatif... 233
Gambar 4.16 Generate Hierarchy ... 233
Gambar 4.17 Pembobotan ... 234
Gambar 4.18 Pembobotan ... 235
Gambar 4.19 Decision Score ... 235
Gambar 4.20 Decision Score ... 236
Gambar 4.21 Diagram Hirarki Analisis Pembangunan Jalan Tol Atas Laut .... 237
Gambar 4.22 Penentuan Goal ... 238
Gambar 4.23 Penentuan Kriteria ... 239
Gambar 4.24 Penentuan Sub Kriteria ... 240
Gambar 4.25 Penentuan Alternatif... 241
Gambar 4.26 Pembobotan Kriteria Menggunakan Expert Choice ... 241
Gambar 4.27 Pembobotan Sub Kriteria Menggunakan Expert Choice ... 242
Gambar 4.28 Pembobotan Alternatif Menggunakan Expert Choice ... 243
208 Gambar 4.30 Nilai Presentasi Kriteria dan Alternatif Menggunakan
209
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Analisis sistem (system thinking) merupakan satu kesatuan dari berbagai komponen yang terkait untuk mencapai suatu tujuan. Analisis sistem mengajarkan kepada kita untuk memikirkan segala sesuatu berdasarkan kerangka metode tertentu. Di dalam sistem terdapat urutan dan proses pengambilan keputusan yang maknanya untuk mencari dan melihat bahwa segala sesuatu memiliki pola keteraturan dan bekerja sebagai sebuah satu kesatuan. (Peter Senge, 1990)
210 tentang pembangunan jalan tol lintas laut yang menghubungkan Jakarta – Surabaya dengan panjang mencapai 775 km.
Pembangunan jalan tol atas laut ini diperkirakan akan menelan investasi lebih dari Rp 150 triliun. Dana yang digunakan dalam mega proyek ini tidak berasal dari dana APBN melainkan digalang dari 19 perusahaan milik negara yang dikepalai oleh PT. Jasa Marga (PERSERO). Mega proyek ini masih dalam masa studi kelayakan (feasibility study) dan studi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang diperkirakan akan rampung dalam 6 bulan. (www.merdeka.com, 2013)
Menurut menteri BUMN, latar belakang pembangunan tol atas laut Jakarta – Surabaya ini karena banyaknya kendaraan di Indonesia. Penambahan mobil baru saat ini mencapai 1 juta per tahunnya. Sedangkan penambahan sepeda motor mencapai 80 juta per tahun. Selain itu, menurut bapak menteri bahwa kontur laut pantai utara Jawa sangat mampu ditanami tiang pancang jalan tol. (www.merdeka.com, 2013)
Ditambahkan menurutnya, jika berbicara arti penting infrastruktur dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, perhatian akan langsung tertuju kepada pembangunan sektor infrastruktur transportasi. Ketersediaan sarana infrastruktur transportasi seperti akses jalan yang baik, jembatan penghubung yang strategis, sarana pendukung lain seperti rel dan sistem jaringan kereta api yang terorganisasi dengan baik akan secara langsung mempengaruhi peningkatan daya saing perekonomian yang nantinya berujung pada pesatnya laju pertumbuhan ekonomi. (Eko Nur S, 2012)
Tetapi tidak sampai disitu, wacana pembangunan jalan tol atas laut Jakarta
Jakarta-211 Surabaya. Selain itu kebijakan pembangunan jalan tol atas laut ini pun akan berlawanan dengan rencana pembangunan rel ganda Jakarta – Surabaya.
Oleh karena itu penentuan kebijakan untuk menjalankan pembangunan jalan tol atas laut Jakarta – Surabaya harus didekati dengan konsep berpikir kesisteman yang menyeluruh atau holistik dan integral atau saling berkaitan. Pendekatan kesisteman diharapkan dapat memecahkan berbagai persoalan yang saling berkaitan serta selalu berkembang dan berubah, yang sebelumnya sulit untuk diselesaikan secara satu persatu.
Adapun kajian pembangunan jalan tol atas laut Jakarta – Surabaya ini dilakukan dengan kajian singkat analisis sistem. Dengan analisis sistem (system thinking) ini kajian mengenai pembangunan jalan tol atas laut Jakarta - Surabaya dibentuk kerangka berpikir berdasarkan metode tertentu. Sedangkan sebagai alat pemecahan masalahnya digunakan hakekat system thinking untuk menentukan keberlanjutan apakah pembangunan jalan tol atas laut Jakarta – Surabaya dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
1.2 TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan ini adalah sebagai studi kelayakan dan analisis kebijakan terkait rencana pembangunan jalan tol atas laut Jakarta – Surabaya. Adapun sub-pokok tujuannya yaitu :
1. Memodelkan analisis kebijakan dengan Diagram IO, SWOT, SOAR, Causal Loop maupun AHP dari beberapa komponen yang menunjang terkait pembangunan jalan tol atas laut Jakarta – Surabaya.
2. Terumuskannya model pemilihan jenis jalan tol yang digunakan dengan menggunakan kajian ilmu analisis sistem dengan bantuan Criterium Decision Plus Versi 3.0
212 1.3 RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas terkait hal yang melatarbelakangi studi kelayakan pembangunan jalan tol atas laut Jakarta – Surabaya, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Tidak terdapatnya landasan hukum yang kuat (signifikan) terkait rencana pembangunan jalan tol atas laut yang sangat panjang (membentang dari Jakarta
– Surabaya), sehingga diperlukan analisis kebijakan untuk menentukan studi kelayakan pembangunan.
2. Pertumbuhan volume lalulintas pada ruas jalan tol cukup tinggi, apabila tidak dikendalikan akan berakibat pada pengelolaan dan pengoperasian jalan tol, termasuk komponen kondisi fisik jalan tol, manajemen lalulintas, dan komponen tataguna lahan yang akan berakibat pada menurunnya tingkat pelayanan jalan tol atau dengan kata lain Standar Pelayanan Minimal (SPM) tidak terpenuhi (Standar Pelayanan Minimal sesuai Peraturan Menteri PU Nomor 392/PRT/M/2005).
213
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TINJAUAN LOKASI
Jalan tol atas laut merupakan suatu rencana proyek pembangunan jalan tol
lintas laut pantai utara jawa (pantura) yang dicetuskan Menteri Negara Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) Dahlan Iskan, Rencana pembangunan Jalan Tol ini masih bersifat studi,
sehingga belum bisa diungkapkan kepada publik teknis pembangunan dan besaran biaya yang dianggarkan. Proses saat ini pun masih berupa nota kesepahaman BUMN dan harus meminta izin kepada Pemerintah Daerah dan Pusat dalam pelaksanaannya.
Dalam hal ini, Kementrian BUMN menggalang 19 perusahaan milik negara untuk membangun jalan tol di pinggir Pantai Utara (Pantura) tersebut, 19 Perusahaan yang terlibat pembangunan proyek ini adalah PT Jasa Marga Tbk, PT Adhi Karya Tbk, PT Waskita Karya Tbk, PT Wijaya Karya Tbk, PT Hutama Karya, PT Pembangunan Perumahan (PP) Tbk, PT Brantas Abipraya, PT Nindya Karya, PT Istaka Karya, PT Pelindo II, PT Pelindo III. Kemudian, PT Semen Indonesia Tbk, PT Krakatau Steel Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank BNI Tbk, PT Bank BRI Tbk, PT Bank BTN Tbk, PT Jamsostek dan PT Taspen.
Pada Tinjauan Pustaka ini akan membahas mengenai rencana lokasi pembangunan jembatan lintas laut Jakarta – Surabaya, kondisi laut pantai utara (pantura), zona gempa pulau jawa, dan tinjauan tol eksisting di jalur pantura jawa.
2.1.1 Rencana Jaringan Jalan Tol Atas Laut
Lokasi pembangunan jalan tol atas laut tersebut belum ada kepastian dari
instansi perencana jalan tol atas laut Jakarta – Surabaya, namun bila ditinjau berdasarkan garis pantai jawa rencana konstruksi memungkinkan dilakukan di lepas
214 dihubungkan dengan pelabuhan merak (Banten), jaringan jalan tol yang direncanakan seperti pada gambar dibawah ini.
Gambar 2.1 Rencana Lokasi Pembangunan Jalan Tol Atas Laut
Jakarta – Surabaya Sumber: Daily Investor
2.1.2 Kondisi Eksisting Laut Jawa
Peninjauan kondisi eksisting laut jawa seperti curah hujan dan gelombang
laut perlu dilakukan untuk mengetahui potensi hujan dan gelombang laut di
sepanjang jalan tol lintas laut Jakarta – Surabaya.
Secara wilayah jalan tol ini melintasi 5 provinsi yang ada di pulau jawa,
yaitu Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan karakter
hujan masing – masing provinsi berbeda – beda yang seluruhnya berada di pantai utara jawa, maka diperlukan data pengamatan yang dapat dijadikan patokan salah
satunya data BMKG.
Stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) utama
yang berfungsi untuk memantau curah hujan maupun gelombang laut pada 5
provinsi tersebut, yaitu :
1. Provinsi Banten terdapat Stasiun Meteorologi Kelas 1 (Serang) dan
215
2. Provinsi Jakarta terdapat Stasiun Meteorologi Maritim Kelas 1 (Tanjung
Priok – Jakarta Utara).
3. Provinsi Jawa Barat terdapat Stasiun Meteorologi Kelas 1 (Bandung).
4. Provinsi Jawa Tengah terdapat Stasiun Meteorologi Maritim Kelas 2
(Tanjung Emas - Semarang).
5. Provinsi Jawa Timur terdapat Stasiun Meteorologi Maritim Kelas 1
(Juanda - Surabaya) dan Stasiun Meteorologi Maritim Kelas 2 (Tanjung
Perak - Surabaya).
Berdasarkan data secara umum curah hujan di Jawa Barat normal bahkan
cenderung di bawah normal, kecuali Pantura khususnya Indramayu curah hujannya
sepanjang musim basah ini di atas normal, Pasang naik air laut di Teluk Jakarta
yang menyebabkan rob, ditambah curah hujan yang tinggi, angin kencang, dan
buruknya drainase, dapat memicu banjir di Jakarta dan pantai utara Jawa.
Ketinggian pasang air laut, 19 – 23 Januari, bisa mencapai 1,1 meter dari kondisi normal.
Kondisi serupa diprediksi berulang pada tinggi gelombang laut Jawa,
khususnya wilayah Pantura, masih tinggi. Ketinggia. Tinggi gelombang di Laut
Jawa berkisar antara 0,5 – 2 meter, Hal itu diakibatkan dari suhu muka laut yang masih hangat. Sehingga, potensi pertumbuhan awan-awan hujan masih besar.
Cuaca di daerah Pantura, pada umumnya berawan serta berpeluang hujan dengan
intensitas ringan pada pagi-malam hari. Dilanjutkan, angin bertiup dari arah
216
Tabel 2.1 Tinggi Gelombang di Beberapa Selat Indonesia
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG)
Gambar 2.2 Peta Gelombang Laut Indonesia Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG)
2.1.3 Tinjauan Zona Gempa
Gempa adalah pergeseran tiba-tiba dari lapisan tanah di bawah permukaan
217
seismik. Gelombang ini menjalar menjauhi pusat gempa ke segala arah di dalam
bumi. Ketika gelombang ini mencapai permukaan bumi, getarannya bisa merusak
atau tidak tergantung pada kekuatan sumber dan jarak pusat gempa, disamping itu
juga mutu bangunan dan mutu tanah dimana bangungan berdiri.
Gambar 2.3 Zona Gempa Pulau Jawa Sumber: SNI 03-1726-2002
Gambar diatas menunjukan bahwa untuk jalan tol lintas laut
Jakarta-Surabaya ini berada pada zona gempa 4 (untuk daerah Pantura Jakarta) dan 3 (untuk
daerah Pantura Surabaya).
Adapun tinjauan gempa pada laut jawa terkait pula dengan gunung
Krakatau yang diketahui sempat aktif pada tahun 2010 (Elin Y., 2010). Jika hal
tersebut kembali terjadi dengan getaran yang sama yaitu 6,5 skala richter dan
dengan ketinggian debu vulkanik yang dihasilkan adalah sekitar 1300 meter, maka
dampak yang dihasilkan akan terasa pada wilayah pantura jakarta.
Dampak tersebut memungkinkan adanya goyangan pada jembatan yang
ada di pantura Jakarta namun dilihat dari tingkat gempanya, keruntuhan tidak akan
terjadi. Meninjau asap yang dihasilkan, maka pastinya jembatan ini kemungkinan
218
Gambar 2.4 Radius Getaran Gempa Gunung Krakatau Sumber : VIVAnews.com
2.1.4 Tinjauan Tol Eksisting
Pembangunan jalan tol lintas laut Jakarta – Surabaya perlu meninjau jalan tol eksisting yang berada di sepanjang jalur lintas jawa, hal ini dilakukan agar lebih
tepat guna peruntukkannya untuk kendaraan pribadi atau kendaraan angkutan
barang.
Saat ini Tol Trans-Jawa adalah jaringan jalan tol yang menghubungkan
kota-kota di pulau Jawa, jalan tol ini menghubungkan dua kota terbesar di
Indonesia, Jakarta dan Surabaya melalui jalan tol. Tol sepanjang sekitar 1.000 km
ini melanjutkan jalan-jalan tol yang sekarang sudah ada, seperti Tol Cikampek,
Cirebon, Semarang dan Surabaya, sedangkan sisa ruas jalan tol yang akan dibangun
adalah sepanjang 615 km.
Proses konstruksi jalan tol Trans – Jawa sudah berlangsung selama 207 tahun tepatnya dimulai dari tahun 1806 yang hingga saat ini masih berlangsung (on
219
pantai, stage ketujuh sepanjang Pasuruan – Probolinggo, dan saat ini stage kedelapan sepanjang Probolinggo – Banyuwangi.
Gambar 2.5 Jaringan Jalan Tol Trans – Jawa Sumber : Jasa Marga
2.1.5 Lokasi Perencanaan 2.1.5.1 DKI Jakarta
1. Letak Jakarta
Secara geografis wilayah kota Jakarta berada antara 106o22’42” BT sampai dengan 106o58’18” BT, dan antara 5o19’12” sampai dengan 6o23’54” LS, dengan batas wilayah sebagai berikut:
Batas Utara : Laut Jawa Batas Selatan : Kota Depok
Batas Barat : Kotamadya Bekasi dan Kabupaten Bekasi, Jawa Barat
220 Gambar 2.6 Peta Kota Jakarta
Sumber: Bappeda Jakarta, 2011
221 2. Permasalahan di Jakarta
a. Ketenagakerjaan
Jumlah angkatan kerja Provinsi DKI Jakarta terjadi peningkatan sebesar 0,4 juta orang, dari sekitar 3,7 juta orang tahun 2002 menjadi 4,1 juta orang pada tahun 2006. Kenaikan angka tersebut memerlukan lapangan kerja diberbagai lapangan usaha. Dengan semakin meningkatnya gerak perekonomian DKI Jakarta sudah barang tentu akan berdampak pada peningkatan kesempatan kerja. Hal ini tercermin dari jumlah orang yang bekerja di DKI Jakarta. Proporsi tenaga kerja menurut lapangan pekerjaan : perdagangan 39,78 %, jasa-jasa 23,63 %, dan industry 15,72 %. Proporsi ini setiap tahun tidak mengalami perubahan yang signifikan sehingga perkiraan kedepan lapangan pekerjaan masih didominasi oleh perdagangan, jasa-jasa dan industri. Partisipasi masyarakat ibukota dalam pasar kerja terlihat semakin meningkat. Hal ini tercermin dari Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), pada tahun 2002 TPAK sebesar 61,12 %, dan pada tahun 2006 naik menjadi 62,72 %.
Berkaitan dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) terjadi penurunan. Tahun 2002 mencapai 14,80 &, turun menjadi 14,31 % pada tahun 2006 dan 13,27 % pada awal tahun 2007. Penurunan ini tidak terlepas dari berbagai upaya yang telah ditempuh oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seperti peningkatkan pengetahuan dan keterampilan bagi pencari kerja di DKI Jakarta. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan pekerja di DKI Jakarta, Pemprov telah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP). UMP dimaksudkan sebagai dasar untuk menetapkan standar upah bagi pekerja lajang, yang merupakan kesepakatan tripartit antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Penentuan UMP ini memperhitungkan kemampuan finansial maupun prospek usaha perusahaan-perusahaan terkait agar mampu merealisasikan pembayaran UMP.
222 Sehingga pada dasarnya semakin banyak jumlah pekerja yang ada, maka semakin banyak pula lapangan yang harus disediakan. Namun pada kenyataannya masih banyak penduduk desa yang melakukan urbanisasi ke Jakarta tanpa memiliki kemapuan yang memadai sehingga pada akhirnya meningkat pula jumlah pengangguran yang ada di Jakarta. (Bappeda Jakarta)
b. Kesejahteraan Sosial
Masalah mendasar lainnya yang menjadi perhatian serius Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Angka kemiskinan di DKI Jakarta periode 2002-2004 mengalami penurunan dari 3,42 persen pada tahun 2002 menjadi 3,18 persen pada tahun 2004 dengan jumlah penduduk miskin berkurang dari 287 ribu jiwa menjadi 277 ribu jiwa. Penurunan angka kemiskinan ini karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menempatkan masalah kemiskinan menjadi prioritas utama untuk ditangani. Pada tahun 2006, angka kemiskinan sementara tercatat sebesar 4,57 persen dengan jumlah penduduk miskin sebesar 407 ribu jiwa. Jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan sebanyak 130 ribu jiwa dengan persentase pertumbuhan sebesar 1,39 persen selama 2 tahun terakhir.
Peningkatan jumlah penduduk miskin disebabkan antara lain adanya kebijakan ekonomi makro pemerintah pusat. Kebijakan yang paling dirasakan pengaruhnya terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin adalah pengurangan subsidi BBM.
223 Pemprov DKI Jakarta memberi perhatian yang sangat besar pada masyarakat miskin. Berbagai program pembangunan ditujukan untuk menurunkan jumlah dan persentase penduduk
miskin di DKI Jakarta. Salah satu program yang digulirkan adalah Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK). PPMK merupakan dana bergulir tanpa bunga yang dipinjam oleh masyarakat di Kelurahan yang dapat dimanfaatkan anggota masyarakat untuk meningkatkan keampuan ekonomi masyarakat. (Bappeda Jakarta)
c. Resiko Hidup di Dekat Laut
Jakarta merupakan kota besar yang memiliki aset cukup banyak, baik aset milik pemerintah maupun masyarakat. Aset-aset ini adalah akumulasi pengumpulan dari bertahun-tahun membangun dan mengembangkan diri di ibukota. Sebagai modal untuk terus menerus berkembang dan membangun tentu aset tersebut harus dijaga dan ditambah. Adapun resiko hidup di Jakarta ialah sebagai berikut :
A. Banjir
Banjir adalah bencana alam yang paling sering terjadi di Jakarta. Genangan dalam jumlah besar dapat melumpuhkan ibukota. Memang banjir tidak hanya bisa terjadi di ibukota, di banyak daerah lain juga kerap mengalaminya. Akan tetapi banjir di Jakarta dampaknya cukup besar karena banyak sekali kegiatan ekonomi yang terganggu. Berbeda jika banjir terjadi di lahan-lahan luas yang penduduknya tidak padat.
224 dari dua atau tiga penyebab tersebut. Sebagai contoh, banjir di Jakarta tahun 2007 disebabkan hujan di hulu dan hilir dalam waktu bersamaan. Akibatnya, di wilayah-wilayah Jakarta yang rendah akan tergenang cukup lama dengan genangan yang cukup tinggi. Ini diakibatkan oleh limpasan air sungai dan hujan lokal setempat yang datang sekaligus.
225 B. Tsunami
Tsunami merupakan gelombang laut dengan periode panjang yang disebabkan oleh gangguan implusi dari dasar laut. Gangguan implusif itu bisa berupa gempa bumi tektonik, erupsi vulkanik dan/atau longsoran. Gelombang tsunami berbeda dengan gelombang laut biasa yang disebabkan hembusan angin dan pengaruh pasang surut air laut. Jika gelombang laut tingginya hanya beberapa sentimeter hingga sekitar satu meter atau lebih, maka gelombang tsunami bisa sampai puluhan meter di daerah pantai.
Kecepatan tsunami di daratan bisa berkisar 25–100 kilometer per jam. Massa air dalam bentuk gelombang berkecepatan tinggi inilah yang menghancurkan kehidupan di daerah pantai ketika gelombang ini masuk ke dalam garis pantai dan menyapu bersih segala yang dihancurkannya ketika massa air ini kembali ke laut setelah mencapai gempuran terjauh di pesisir pantai. Di samping bisa merusak bangunan, volume air yang cukup banyak ini juga membuat cekungan di dataran rendah menjadi kolam atau danau yang baru.
Bagi banyak kota di wilayah delta berisiko tsunami, risiko ini harus menjadi perhatian, terutama di daerah yang dekat dengan pertemuan sesar atau yang memiliki gunung api di lautan. Dari catatan sejarah, letusan Gunung Krakatau tahun 1883 menyebabkan tsunami yang melanda Jakarta dengan ketinggian gelombang 2,3 m. Penelitian lain telah melaporkan ketinggian gelombang tsunami lebih rendah sampai dengan 0,6 m. JCDS (Jakarta Coastal Defence Strategy) menganalisis bahwa jika ada gempa 9 skala Richter di barat daya pantai Sumatra maka akan terjadi kenaikan gelombang hingga 1,55 meter. Perkiraan-perkiraan tingginya tsunami harus menjadi pertimbangan warga Jakarta terutama yang berada di pinggiran pantai.
C. Badai
226 karena kekuatannya dapat mencabut pohon besar dari akarnya, meruntuhkan jembatan, dan menerbangkan atap bangunan dengan mudah.
Ada beberapa macam badai, seperti badai hujan, badai guntur, dan badai salju. Badai paling menakutkan adalah badai topan (hurricane), yang dikenal sebagai angin siklon (cyclone), di Samudera Hindia atau topan (typhoon)di Samudera Pasifik. Penyebab badai adalah tingginya suhu permukaan laut.
Gambar 2.7 Lokasi Badai
D. Bencana Alam Geologi
Kawasan yang berbatasan dengan laut sering mengalami gangguan dari aktivitas kebumian, seperti abrasi/erosi pantai, sedimentasi, dan penurunan tanah. Abrasi biasanya terjadi akibat aktivitas manusia seperti kegiatan reklamasi, pengambilan terumbu karang, dan lemahnya pertahanan pantai. Di pantai utara Jakarta erosi pantai terjadi di beberapa tempat, baik di sebelah timur maupun barat. Di barat, pembangunan tambak membuat tanaman mangrove menjadi berkurang sehingga pantai menjadi tidak terlindungi. Sedangkan di bagian timur, terutama sekitar Pantai Marunda, gangguan berupa erosi juga terjadi.
E. Sulitnya Menghadang Genangan
227 banjir sudah kerap menghampiri Jakarta. Bagi beberapa warga akan merupakan anugrah jika dalam satu tahun mereka tidak mengalami banjir.
F. Tingginya Intensitas Hujan
Semua wilayah di Indonesia memiliki dua musim dalam setahun, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Kedua musim itu datang bergantian. Jika kita tidak mempersiapkannya, kedua musim itu bisa menjadi malapetaka bagi masyarakat. Hujan yang terlalu banyak dapat menyebabkan genangan yang luas di banyak wilayah sedangkan musim kemarau yang kering kerontang akan mempersulit kita mendapatkan air. Banjir dan kekeringan adalah dua sisi dari satu mata uang.
Di Jakarta dan wilayah sekitarnya musim penghujan sering datang pada bulan Oktober hingga Maret dan musim kemarau pada bulan April hingga Oktober. Periode waktunya memang tak selalu seperti ini, kadang-kadang sedikit melenceng dari masa-masa itu.
G. Kemampuan Sungai Terbatas Pada Musim Hujan
Jika ditilik dari sejarahnya, sungai di Jakarta termasuk sungai-sungai yang sering diintervensi manusia, dari jaman Belanda hingga saat ini. Di jaman kolonial entah sudah beberapa kali pemerintah Belanda merubah sungai untuk berbagai keperluan, baik untuk perbaikan sistem tata air maupun untuk keperluan pelayaran. Tidak hanya manusia, bencana alam juga sering kali mengubah pola sungai secara drastis, seperti meletusnya Gunung Salak yang banyak menutup anak-anak sungai.
228 Gambar 2.8 Resiko, Tinggi Genangan, dan Kecepatan Arus
Gambar 2.9 Tumpukan Sampah di Sungai
Gambar 2.10 Pilar-Pilar Jalan Dapat Mengganggu Aliran Sungai
H. Air Laut Semakin Sering Menggenai Daratan
229 Fenomena banjir rob ini semakin hari semakin meresahkan warga Jakarta Utara. Banjir rob mulai dirasakan pada 26 November 2007 yang ketika itu permukaan laut memuncak dan mengakibatkan banjir dari laut yang tak diduga oleh banyak orang. Ini mematahkan persepsi umum selama ini, bahwa Jakarta hanya terancam oleh banjir dari hujan dan limpasan sungai. Pemetaan bahaya banjir atau flood hazard mapping(FHM) pada tahun 2007 menunjukkan bahwa Jakarta juga mulai terancam oleh banjir serius dari laut yang disebabkan oleh penurunan tanah.
Gambar 2.11 Air Laut Semakin Sering Melewati Garis Pantai
I. Rob di Muara Baru
Banjir Rob akibat luapan air laut yang menggenangi 4 RW di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara semakin tidak terbendungi karena berbarengan dengan perbaikan tanggul Sunda Kelapa.
Demikian dikatakan Walikota Jakarta Utara, Bambang Sugiyono, saat meninjau lokasi di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat sore (18/10). Pada umumnya ketinggian air pasang hanya 230 cm, namun pada tanggal 18 oktober 2013 mencapai 241 cm. Maka dari itu, banjir rob yang ada menggenangi permukiman warga dengan cepat. Hal ini ditambah dengan ada perbaikan tanggul maka semakin besar pula banjir rob yang terjadi.
230 3. Sumur resapan di Jakarta
MenurutUbaidillah sebagai pengamat perkotaan dari The Jakarta Institute, Pergub DKItentang sumur resapan untuk mengurangi banjir dan mewajibkan seluruh pengelola gedung untuk membuat sumur resapan airtersebut dinilai baik. Namun, tidak cukup dengan sekadar aturan saja karena harus ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaannya.
Menurutnya, gedung-gedung di Jakarta harus mentaati Pergub sumur resapan. Sebab, sebagian besar gedung telah menggunakan air tanah dalam jumlah besar. Jadi harus memberikan kontribusi bagi pelestarian air.
4. Afsluitdijk
Dilihat dari sejarahnya, sebenarnya banjir di Jakarta sudah terjadi jauh semasa era kerajaan Tarumanegara yang terukir jelas di prasasti tugu. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga (Kali Bekasi) oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya Abad Ke-5 Masehi. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan pada musim kemarau.
Pada masa Kolonial Belanda, permasalahan banjir di Batavia juga menjadi permasalahan yang telah dibahas dan digodok dengan serius pada saat itu. Bahkan cetak biru sistem kanal di Amsterdam dibawa ke Indonesia dan diterapkan di Jakarta. Bendungan Katulampa merupakan satu diantara bendungan yang dibangun oleh pemerintahan saat itu dengan menggunakan teknologi manajemen pengairan dari negeri Belanda. Ditambah lagi pembangunan kanal-kanal air dan pintu-pintu air di beberapa titik menjadi senjata untuk mengatasi banjir pada era itu. Namun hal ini tidak berlangsung lama dalam mengatasi banjir Jakarta.
231 dan menjadi juru kunci ketika banjir datang menghampiri Jakarta pada awal 2013 ini.Bahkan hingga kini, Belanda telah menjadi pioneer sebagai negara yang berani untuk menaklukan lautan dengan melakukan inovasi terhadap teknologi bendungan yang dimilikinya. Hingga 100 tahun terakhir, tercatat dua buah Mega Proyek Bendungan yang telah berhasil dibuat dan dilakukan oleh “Negeri Seribu
Bendungan” ini. Yang pertama tercatat sebelum perang dunia (antara tahun 1927
hingga 1933), Belanda sudah selesai melaksanakan proyek The Afsluitdijk. Sebuah Mega Proyek pembangunan bendungan yang membentang sepanjang 32 km dengan lebar mencapai 90 meter dan menghubungkan provinsi Belanda Utara (North Hollad Province) dengan Provinsi Friesland.
Mega Proyek yang kedua adalah Deltawerken atau juga dikenal dengan Delta Wokrs. Sebuah Water Management System yang dibangun di barat daya Belanda. Tujuan awal dari proyek ini untuk melindungi lahan di sekitar Rhine-Meuse-Scheldt delta dari permasalahan banjir yang sering terjadi dimasa lalu, namun kini fungsinya telah melebihi dari yang diharapkan dan telah menjadi pioneer sebagai media pertahanan modern terhadap banjir. Bahkan karena
kehebatannya, Delta Works telah dinyatakan sebagai salah satu dari “Tujuh Keajaiban Dunia Modern” oleh American Society of Civil Engineers.Bukan tidak mungkin, jika Water Management System dari negeri Belanda kembali kita adopsi dan aplikasikan di Jakarta untuk penanganan banjir ibukota. Memang kondisi topografi ibukota sedikit berbeda dengan negeri Belanda tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan untuk mengembangkan Water Management System yang dibuat khusus untuk Jakarta berdasarkan apa yang sudah dicontohkan oleh Belanda. Kota-kota di Belanda dapat dijadikan percontohan dan acuan dalam membuat Water Management System untuk menangani permasalah banjir di Ibu Kota.
5. Solusi
232 dirancang untuk mengatasi banjir akibat kenaikan permukaan air laut, membersihkan air sungai sebelum ke laut, dan reklamasi pantai.
Konsep pembangunan tanggul ini tidak hanya untuk sepuluh hingga 20 tahun mendatang, tetapi untuk 50 hingga 100 tahun ke depan. Rencana pembangunan tanggul laut raksasa dengan varian opsi yang telah dimasukkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta. Panjang tanggul diperkirakan 35 hingga 60 kilometer. Pembangunan akan dilakukan mulai dari kawasan Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga, Tangerang hingga ke Tanjung Priok, Jakarta Utara. Namun untuk Pelabuhan Tanjung Priok tetap dibuka.
Tujuan dari konsep ini yaitu untuk menciptakan danau air tawar sebagai buffer atau penyangga tata air di darat dan menciptakan daratan baru yang sangat besar tanpa pembebasan dan pemindahan warga, terciptanya banyak lapangan kerja, serta menciptakan sekaligus melestarikan hutan bakau baru di lepas pantai.
233 6. Keamanan Tanggul
Untuk menjaga keselamatan warga Jakarta agar tetap aman dari banjir dengan dibangunnya giant sea wall ialah dengan memperhatikan standar keamanan tanggul. Faktor keamanan tanggul di NegeriBelanda yang akan diterapkan di Jakarta ialah sebagai berikut :
1. Faktor keselamatan yang diterapkan di Belanda mengacu pada kemungkinan kegagalan sebesar 0,0001.
2. Perancangan struktur perlindungan banjir yang utama, seperti tanggul sungai, dirancang atas dasar tinggi muka air puncak di sungai dengan kala ulang 100 tahun.
3. Tingkat keselamatan tanggul utama di pantai yang berhadapan dengan laut Utara, untuk melindungi daerah yang lebih rendah dari muka air laut, didasarkan atas tinggi gelombang dengan kala ulang 10.000 tahun. 4. Tingkat keselamatansuatutanggul yang melindungi area sebagian
besar pedesaan sedikit lebih rendah, dengan kala ulang 2.000 - 4.000 tahun, tergantung dengan keadaan sosial ekonomi wilayah tersebut. Tingkat keselamatantanggul-sungai di luar zona pasang surut ditetapkan dengan kala ulang 1.250 tahun. Selama periode puncak, muka air di sungai akan naik sebesar 3 sampai 4 meter, tetapi kenaikan ini secara berangsur-angsur akan menurun kembali.
7. Proses perancangan dan pelaksanaan
Proses perancangan dan pelasanaan konstruksi desain mencakup sejumlah kegiatan yang dapat dibagi dalam tahapan-tahapan. Secara umum tahapan dalam proses perancangan adalah:
1. Penentuan kondisi batas (boundary conditions). Penentuan ini terdiri atas defnisi persyaratan, fungsi dan ukuran dalam pengaturan kondisi lapangan setempat, misalnya mengenai tanah lapisan bawah, permukaan air, ketersediaan bahan bangunan dan kerangka waktu.
234 3. Tahap rancangan rinci dan spesifikasi. Dalam tahap ini perancangan dikerjakan dalam bentuk gambar-gambar dan spesifikasi teknis sampai tingkat yang cukup rinci sehingga kontraktor dapat melaksanakankonstruksi tersebut.
4. Penentuan tahap pelaksanaan konstruksi. Dalam tahap ini dilaksanakan konstruksi strukturnya.
8. Hubungan Giant Sea Wall Jakarta dengan Jalan Tol Atas Laut Jakarta-Surabaya
Tanggul raksasa yang lebih dikenal dengan nama Giant Sea Wall akan membentang di Teluk Jakarta sepanjang 30 km. Proyek pemerintah DKI Jakarta yang bekerja sama dengan pemerintah Belanda tersebut akan berada di lepas pantai sejauh 6-8 km dari garis pantai. Tujuan dari proyek tanggul raksasa ini yaitu untuk mengurangi banjir, menyediakan air tawar bersih, dan membangun pesisir. Nyatanya, proyek tersebut diprediksikan akan menimbulkan masalah.
Opini tersebut dilontarkan oleh Muslim Muin, Ph.D. (Ketua Kelompok Keahlian Teknik Kelautan ITB) pada Selasa (14/05/13). Menurutnya, proyek yang menelan dana lebih dari 280 triliun rupiah tersebut bukan merupakan solusi permasalahan banjir dan penurunan tanah yang terjadi di Jakarta. Jika diteliti lebih lanjut, proyek tersebut justru akan membawa kerugian.
235 Gambar 2.12 Rencana Proyek Giant Sea Wall Jakarta
Sumber: www.news.detik.com
Gambar 2.13 Rencana Proyek Jalan Tol Atas Laut Jakarta-Surabaya
236 Biaya operasional juga dipertanyakan dalam proses pengaliran air sungai untuk menurunkan muka air. Diperlukan pompa yang besar untuk mengalirkan air dari Jakarta ke daerah bagian dalam Teluk Jakarta yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit agar menyala selama 24 jam nonstop. Muslim memperkirakan biaya untuk pompa ini sebesar 300 miliar rupiah setiap tahun untuk keadaan normal. Belum lagi ketika debit air membesar ketika banjir, kebutuhan daya pompa tentunya membengkak.
Pembangunan Giant Sea Wall disebutkan sebagai solusi dari ancaman rob yang akan melanda Jakarta. "Kanal Banjir Barat (KBB) dan Kanal Banjir Timur (KBT) tidak cukup untuk melindungi ibu kota dari bencana banjir, diperlukan Giant Sea Wall agar pengamanannya semakin lengkap, terutama dalam mengatasi banjir
rob,” ungkap Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta, pada Senin (11/02/13) (www.antaranews.com).
9. Masalah yang terjadi antara pembangunan GSW dengan JTAL Jakarta Surabaya
Dalam pembangunan JTAL Jakarta – Surabaya yang melalui laut utara pulau jawa, maka dapat dipastikan bahwa pembangunannya akan memiliki beberapa resiko, diantaranya:
A. Masalah pertemuan antara JTAL dengan GSW maupun lalu lintas perkapalan
Titik pertemuan antara JTAL Jakarta – Surabaya dengan GSW nampaknya akan menjadi permasalahan khusus karena GSW merupakan solusi untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan resiko terjadinya banjir rob di Jakarta. Dengan adanya pembangunan JTAL Jakarta – Surabaya, dimungkinkan dapat mengganggu keberadaan atau fungsi dari GSW tersebut. Maka dari itu, dibutuhkan metode metode pelaksaan khusus untuk menangani permasalahan di titik pertemuan antara JTAL Jakarta – Surabaya dengan GSW yang terdapar di utara Jakarta.
237 Pembangunan JTAL Jakarta – Surabaya yang diprediksikan akan menimbulkan permasalahan lain yaitu pemukiman liar yang akan tumbuh. Jika melihat bahwa Jakarta merupakan kota metropolitan maka dapat dipastikan juga bahwa akan semakin banyak pula arus urbanisasi ke Jakarta. Dengan banyaknya penduduk desa yang urbanisasi ke Jakarta tanpa keahlian mumpuni, maka akan berimplikasi pada semakin
besarnya kebutuhan akan “tempat tinggal dengan dana murah”. Dari
sinilah akan terciptanya pemukiman liar di kawasan JTAL Jakarta – Surabaya.
2.1.5.2 Kota Semarang
1. Umum
Secara geografis wilayah kota Semarang berada antara 650' - 710' LS dan 10935' - 11050' BT dengan luas wilayah 373,70 km2 dan batas-batas wilayah sebagai berikut:
Batas Utara : Laut Jawa
Batas Selatan : Kabupaten Semarang Batas Barat : Kabupaten Kendal Batas Timur : Kabupaten Demak
238
(Sumber: Bappeda Kota Semarang, 2008)
Secara topografi kota Semarang terdiri atas daerah pantai, dataran rendah dan perbukitan. Daerah dataran rendah di kota Semarang memiliki area yang sangat sempit, yakni sekitar 4 km dari garis pantai. Dataran rendah ini disebut dengan kota bawah. Kawasan Kota Bawah seringkali dilanda banjir, dan di sejumlah kawasan, banjir ini disebabkan luapan air laut (rob). Di sebelah selatan merupakan dataran tinggi, yang dikenal dengan sebutan Kota Atas,
239 2. Pembangunan Jalan Tol Atas Laut Jakarta-Surabaya terhadap kota
Semarang
1. Kerentanan Kota Semarang
Perubahan iklim dunia mengakibatkan kenaikan permukaan air laut secara global. Hal ini berdampak terhadap keberadaan kota-kota pesisir yang ada di dunia. Kenaikan permukaan air laut diprediksi juga akan mengancam Wilayah Pesisir Kota Semarang. Wilayah pesisir tersebut diprediksi akan tergenang setelah kenaikan paras muka air laut dalam 20 tahun mendatang setinggi 16 cm dengan luasan 2672,2 Ha (Diposaptono, 2009). Permasalahan tersebut tentunya akan memperparah banjir dan rob yang sudah terjadi di Kota Semarang selama ini terlebih dengan rencana pembangunan jalan tol atas laut Jakarta-Surabaya. Kecenderungan kerusakan ekologis Wilayah Pesisir Kota Semarang tersebut, memerlukan pemikiran manajemen resiko bencana untuk mengantisipasi dampak bencana tersebut.
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan pada penanganan bencana antara lain tindakan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, dan penanggulangan kedaruratan (UU no.24 Tahun 2007). Titik berat tindakan yang dapat dilakukan pra bencana yakni tindakan mitigasi bencana. Secara spesifik mitigasi bencana wilayah pesisir yakni upaya untuk mengurangi risiko bencana secara strukturatau fisik melalui pembangunan fisik alami dan atau buatan maupun nonstruktur ataunonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU no.27 Tahun 2007). Salah satu faktor penting yang harus dianalisis dalam upaya mitigasi bencana yakni penilaian kerentanan wilayah terhadap bencana yang akan terjadi.
240 Gambar 2.15 Peta Kerawanan Perubahan Iklim
Pada kasus beberapa kota pesisir yang rawan tergenang kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim muncul berbagai kerentanan bencana bagi masyarakat pesisir maupun lingkungan pesisirnya. Permasalahan tersebut akan dapat menimbulkan beberapa akibat antara lain (Harmoni, 2005):
• Kerusakan infrastruktur (jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan PDAM, fasilitas umum dan sebagainya)
• Kerusakan kawasan-kawasan strategis.
• Keterancaman masyarakat pesisir.
241 2. Permasalahan Kota Semarang
Kota Semarang merupakan kota central yang terlewati oleh perencanaan pembangunan Jalan Tol Atas laut Jakarta-Surabaya dengan laju pertumbuhan penduduk cukup tinggi pertahunnya. Perkembangan kota Semarang yang cukup pesat memerlukan berbagai faasilitas seperti: perumahan, rekreasi, transportasi dan industri. Namun pembangunan fasilitas yang diperlukan Kota Semarang kurang melihat daya dukung lingkungan seperti pembangunan tempat rekreasi Tanjung Mas, perumahan real estate, pembangunan jalan arteri, kompleks industry terboyo yang semuanya berada dilokasi pinggiran pantai dengan cara menimbun tanah (reklamasi), akibatnya menutupi kantongkantong peresapan air sehingga pada waktu air laut pasang tidak dapat diresap oleh tanah.
Selain reklamasi faktor lainnya adalah tersumbatnya beberapa saluran air yang menuju ke laut akibat dari pembangunan di pinggiran pantai, faktor-faktor tersebut merupakan penyebab terjadinya luapan air laut yang masuk ke pemukiman penduduk terutama yang berada di kelurahan Bandarhardjo dan Kelurahan Tanjung Mas. Perumahan yang digenangi oleh air laut atau biasa disebut ROB ppada umumnya perumahan dari lapisan masyarakat menengah ke bawah. Genangan air laut (rob) akan semakin parah pada musim barat yaitu sekitar bulan Februari-Agustus. Dampak yang ditimbulkan dari rob tersebut adalah kondisi lingkungan perumahan yang semakin kotor, bau yang tidak sedap dan mempengaruhi kesehatan masyarakat.
Untuk mengatasi genangan air laut yang masuk ke pemukiman penduduk maka sangat diperlukan adanya monitoring seara dini tentang dampak negatif maupun positif dengan melibatkan perat masyarakat meliputi persepsi, sikap dan parttisipasi.Sikap dan partisipasi masyarakat akan sangat membantu dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup dan diharapkan dengan adanya peran serta masyarakat maka kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh dampak pembangunan dapat dicegah sedini mungkin.
242 Kota Semarang merupakan ibukota Jawa Tengah dengan jumlah penduduk sekitar 1,3 juta jiwa, kedudukan Kota Semarang sangat strategis sebagai simpul transportasi regional menjadikan kota Semarang mempunyai kelengkapan sarana prasarana fisik sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut mendorong pertumbuhan dan perkembangan kota berjalan dengan cepat. Namun, seiring dengan laju pembangunan Kota Semarang, Pertumbuhan dan perkembangan kota telah menyebabkan perubahan pada kondisi fisik kota, yaitu perubahan guna lahan. Hal itu tentu saja menimbulkan permasalahan tersendiri pada Kota Semarang. Semakin besar suatu kota maka semakin besar atau komplek permasalahan yang ditimbulkan dan dihadapinya, misalnya Kota Semarang. Kota Semarang dalam beberapa tahun terakhir ini menghadapi permasalahan yang cukup sulit, yaitu banjir.
Bencana banjir merupakan permasalahan umum terutama didaerah padat penduduk pada kawasan perkotaan, daerah tepi pantai atau pesisir dan daerah cekungan. Masalah banjir bukanlah masalah baru bagi Kota Semarang, tetapi merupakan masalah besar karena sudah terjadi sejak lama dan pada beberapa tahun terakhir ini mulai merambah ke tengah kota. Hal tersebut di atas terjadi dikarenakan adanya faktor alamiah dan perilaku masyarakat terhadap alam dan lingkungan.
Proses terjadinya banjir pada dasarnya dikarenakan oleh faktor antroposentrik, faktor alam dan faktor teknis. Faktor antroposentrik adalah aktivitas dan perilaku manusia yang lebih cenderung mengakibatkan luasan banjir semakin meningkatnya. Beberapa faktor antroposentrik yang juga merupakan faktor non teknis penyebab banjir pada kota Semarang, yaitu pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan, misalnya terjadinya perubahan tata guna lahan pada daerah–daerah lindung seperti daerah perbukitan dan daerah pegunungan sehingga menimbulkan problem peningkatan run–off dan banjir kiriman.
243 terhadap air tanah. Kedua fenomena tersebut menimbulkan kecenderungan perubahan daya dukung sumber daya air tanah, sedangkan di pihak lain terjadi penurunan volume/debit pengisian kembali air tanah.
Selain itu penyadapan/pengambilan air tanah secara besar-besaran tanpa diimbangi dengan pengisian kembali air tanah yang seimbang menyebabkan penurunan muka air tanah. Penurunan muka air tanah ini dapat menyebabkan amblesnya permukaan tanah dan intruisi air laut (Asdak, 1995: 243,249). Pemompaan air tanah yang berlebihan tanpa memperhatikan kemampuan pengisian kembali dapat mengakibatkan penurunan muka air tanah (Kodoatie, 1995: 103).
Terjadinya penurunan muka tanah mengakibatkan permukaan air laut lebih tinggi dari permukaan tanah, kejadian ini dikenal dengan banjir pasang air laut (rob). Disamping itu perilaku dan aktivitas manusia yang menghasilkan gas buang karbondioksida (CO2) yang bersumber dari pembakaran bahan bakar fosil dan chloroflourocarbon (CFC) dari kulkas, sprayer kemasan kaleng serta AC dapat mengakibatkan terjadinya penipisan pada lapisan ozon, karena kedua gas buang itu mengeluarkan atom yang merusak molekul ozon di atmosfer.
Lapisan ozon merupakan pelindung bumi dari pengaruh sinar matahari sehingga bila lapisan ini menipis maka akan terjadi pemanasan global, sehingga menyebabkan lapisan es di Kutub Utara dan di Antartika mencair. Akibatnya, permukaan air laut global naik. Kenaikan permukaan air laut menyebabkan sebagian pulau dan tempat rendah di permukaan bumi terendam.
Banjir ROB
244 Gambar 2.17 Banjir ROB di Pelabuhan Tanjung mas (kiri), ROB di genuk (kanan)
Prediksi tenggelamnya Semarang bawah sebetulnya bukan isapan jempol. Bila dilihat dari alat ukur di Stasiun Tawang 30 tahun yang lalu masih dua meter di atas permukaan laut (mdpl), kini diperkirakan malah minus dari permukaan laut. Banjir yang selama ini mendera wilayah Semarang harus diperhatikan melalui tiga hal. Antisipasi banjir bisa dilakukan melalui pemanenan air hujan di daerah atas, pembuatan pompa untuk daerah bawah, serta membendung air laut yang masuk ke daratan. ( Dr Ir Suripin MEng.)
Beberapa survey lapangan telah dilakukan oleh beberapa pakar. Dari survei itu diketahui, penyebab utama banjir dan rob adalah sistem drainase belum berfungsi secara maksimal Penyebab lain, kapasitas sungai dan drainase tidak memadai, sedimentasi, kerusakan pintu air dan talut, serta kurangnya kepedulian masyarakat lingkungan terhadap fungsi drainase. Beberapa usulan pemikiran dan penyelesaian teknis secara partial terhadap stasiun Tawang telah dilakukan, diantaranya dengan di bangunnya polder tawang untuk mengatasi banjir dan rob di kawasan kota lama. Stasiun Kereta Api Tawang Semarang dalam menghadapi rob mengandalkan tiga pompa air , kondisi posisi saluran buangan di dalam bangunan stasiun lebih rendah dari saluran kota. Genangan air yang cukup tinggi juga terdapat di jalur rel,yakni jalur tiga dan empat. Kereta api dilewatkan di jalur satu dan dua yang genangan airnya tidak terlalu tinggi. (Rahadi Suprato)
245
Permasalahan Stasiun Tawang
Gambar 2.18 ROB di Stasiun Tawang
Pengatasan Penurunan muka tanah di wilayah utara kota Semarang dan stasiun Tawang termasuk di dalamnya tidak dapat dilakukan dengan partial, seperti yang terlihat sekarang ini berupa peninggian emplasement, halaman parkir dan rencana mengangkat fisik bangunannya, mengingat penurunan itu merupakan akumulasi dari kejadian pembangunan di kota Semarang yang pada akhirnya akan berakibat pada eksploitasi dan berkurangnya air tanah. Akibat lebih jauh adalah infiltrasi air laut kedalam daratan yang semakin luas juga terjadinya banjir dan rob.
Pada skala mikro, Stasiun Tawang layak berbenah diri untuk mengatasi permasalahan banjir dan rob yang menimpa saat ini, tetapitentunya punya keterbatasan secara fisik karena termasuk dalam bangunan konservasi. Pada skala makro, pemerintah kota dan masyarakat juga layak berbenah diri untuk memperkecil atau bahkan meniadakan tingkat penurunan tanah di wilayah Utara kota Semarang.
246 Pada skala makro perkotaan, konstruksi Sumur Resapan Air (SRA) merupakan alternatif pilihan dalam mengatasi banjir dan menurunnya permukaan air tanah pada kawasan perumahan, karena dengan pertimbangan : a) pembuatan konstruksi SRA tidak memerlukan biaya besar, b) tidak memerlukan lahan yang luas, dan c) bentuk konstruksi SRA sederhana. Sumur resapan air merupakan rekayasa teknik konservasi air yang berupa bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat menampung air hujan diatas atap rumah dan meresapkannya ke dalam tanah (Dephut,1994). Manfaat yang dapat diperoleh dengan pembuatan sumur resapan air menurut Rachmat Mulyana, 2003 antara lain:
a) Mengurangi aliran permukaan dan mencegah terjadinya genangan air, sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya banjir dan erosi,
b) Mempertahankan tinggi muka air tanah dan menambah persediaan air tanah, c) Mengurangi atau menahan terjadinya intrusi air laut bagi daerah yang
berdekatan dengan wilayah pantai,
d) Mencegah penurunan atau amblasan lahan sebagai akibat pengambilan air tanah yang berlebihan, dan
e) Mengurangi konsentrasi pencemaran air tanah.
247 Gambar 2.19 Upaya Mengatasi Stasiun Tawang secara Terpadu 3. Alternatif Penyelesaian Masalah
Afsluitdijk
Belanda atau Koninkrijk de Nederlanden (Kerajaan Tanah-Tanah Rendah) hidup di bawah permukaan laut dan ini tentu memaksa pemerintah Belanda untuk dapat terus melakukan inovasi agara negerinya tidak tenggelam ditelan laut. Mengatasi masalah tersebut, blanda melakukan inovasi yang diantaranya adalah menerapkan teknik-teknik untuk menghadang terjangan air laut. Adapun luas wilayah negeri belanda sendiri sangat jauh dengan luas wilayah Indonesia yakni sekitar 41.546 km2 dan berpenduduk 16 juta jiwa. Banyak tanah rendah dikawal oleh dijk (tanggul) dan dinding tanah. Bahkan ada beberapa daerah seperti kawasan Flevolan harus direklamasi.
Afsluitdijk merupakan nama tanggul laut tersebut. Pada monument ini
tertulis “Bangsa yang hidup, membangun masa depan”. Afsluitdijk adalah
248 Gambar 2.20 Afsluitdijk Di Negara Belanda
Tekanan terhadap tata guna lahan, buruknya tata kelola system keairan serta keberadaan Semarang dengan persoalan keairan yang semakin hari semakin berat. Masalah banjir Di Semarang merupakan masalah yang kompleks yaitu permasalahan yang merupakan gabungan dari kondisi fisik secara alami dan campur tangan manusia. Keduanya saling berinteraksi yang pada taraf tertentu dapat memberikan dampak negative yang memberatkan.
Perosalan genangan air tidak lagi terbatas karena aliran air dari hulu saja, persoalan limpasan air laut (rob) juga sudah semakin mengkhawatirkan. Belakangan penurunan muka tanah di daratan Semarang menjadi persoalan yang serius. Ini tetntu saja akan sangat berpengaruh kepada pengembangan kota seperti wilayah pantai yang mengalami gerusan (abrasi) dan wilayah fungsional kota yang selalu terancam banjir setiap musim curah hujan tinggi.
249 mempertimbangkan berbagai aspek seperti teknis, ekonomi, social budaya dan fungsi-fungsi yang berkaitan dengan keberadaannya.
Solusi Permasalahan ROB terhadap Rencana Pembangungan Jalan Tol Atas Laut Jakarta-Surabaya
Mengatasi banjir laut pasang (rob) yang terus melanda kota Semarang dan sekitarnya dengan pembangunan rumah pompa yang dipasang beberapa titik. Cara tersebut sudah sering dilakukan, akan tetapi belum dapat mengatasi masalah banjir rob tersebut. Salah satu cara lain yaitu dengan pembangunan tanggul laut raksasa (Giant Sea Wall) ataupun Dam Lepas Pantai (DLP) Semarang. Pembangunan tanggul laut tidak serta merta membendung air laut begitus aja di teluk. Akan tetapi perlu pertimbangan untuk menentukan bentuk dan letak tanggul. Salah satu pertimbangannya adalah kondisi pesisir yang ada saat ini. Ada beberapa opsi kemungkinan implementasi tanggul laut untuk diterapkan yaitu Tanggul laut yang diintegrasikan dengan reklamasi Pantura dan Tanggul laut yang berada di luar wilayah reklamasi.
Pertimbangan lain yang harus diperhatikan dalam perencanaan Tanggul adalah keamanan tanggul, proses perancangan dan pelaksanaan konstruksi, perletakan serta integrasi dengan rencana pembangunan jalan tol atas laut Jakarta-Surabaya serta kendala yang dihadapi.
a. Keamanan Tanggul
250 1. Mendapatkan desain perlindungan banjir yang optimum dan seimbang. Desain optimum dalam konteks ini adalah desain yang memenuhi persyaratan fungsional dengan biaya yang optimal. Seimbang berarti bahawa komponen dari system memberikan kontribusi yang setara pada kekuatan system perlindungan banjir.
2. Mendapatkan suatu system perlindungan banjir dengan kemungkinan terjadinya kegagalan lebih rendah dari tingkat keselamatan tertentu.
Tujuan desain struktur perlindungan banjir adalah untuk memperoleh suatustruktur yang kecil kemungkinan mengalami kegagalan dan keruntuhan,sepanjang masa layanan konstruksi. Artinya, struktur tersebut memiliki tingkatkeamanan yang memadai sepanjang masa layanannya. Dalam rangka mencapaihal itu, analisis keselamatan perlu dilakukan.
Gambar 2.21 Pohon Kegagalan
251 fenomenakeselamatan dinyatakan dalam kemungkinan kegagalan dari sistem perlindungan banjir di kawasan polder. Salah satu cara untuk menetapkan tingkat keselamatan adalah dengan membuatskema permasalahan mathematic-economic. Pada pendekatan ini, masalah disederhanakan untuk mendapatkan optimalisasi antara biaya konstruksi perlindungan banjir dan kehilangan nyawa serta harta benda akibat banjir. Biaya konstruksi dan kehilangan merupakan fungsi dari kemungkinanterjadinya banjir. Biaya konstruksi akan meningkat dan kehilangan akanmenurun bila kemungkinan terjadinya banjir menurun. Nilai ekonomi yang optimal tercapai bila perjumlahan biaya konstruksi dengan biaya/nilai kehilangan menjadi yang terendah.
Pendekatan ini telah dipergunakan dalam penilaian keselamatan dari pembuatan tanggul pantai di Negeri Belanda sekitar tahun 1960, dan hal itu telah menghasilkan pengaturan standar untuk desain muka air sepanjang pantai Belanda. Bagi sebagian ahli, mereka telah memahami bahwa frekuensiterlampauinya muka air desain tidak lantas dipahami sebagai kegagalan,karena kegagalan tidak hanya tergantung pada terlampauinya desain muka air. Untuk mendapatkan konstruksi yang optimal, semua kemungkinan penyebab kegagalan konstruksi harus diinventarisir terlebih dahulu. Demikian juga dengan tingkat kemungkinan terjadinya kegagalan tersebut. Dengan demikian, perkiraan kemungkinan terjadi penggenangan bisa diperhitungkan. Meskidemikian perhitungan secara statistik bukanlah hal yang mudah, apalagi jika harus mengonversi jiwa manusia ke dalam nilai uang. Tentu ini akan berhadapan dengan masalah politis dan etis.
252 1. Faktor keselamatan yang diterapkan di Belanda mengacu pada
kemungkinan kegagalan sebesar 0,0001.
2. Perancangan struktur perlindungan banjir yang utama, seperti tanggulsungai, dirancang atas dasar tinggi muka air puncak di sungai dengan kalaulang 100 tahun.
3. Tingkat keselamatan tanggul utama di pantai yang berhadapan denganlaut Utara, untuk melindungi daerah yang lebih rendah dari muka air laut,didasarkan atas tinggi gelombang dengan kala ulang 10.000 tahun. 4. Tingkat keselamatan suatu tanggul yang melindungi area sebagian
besar pedesaan sedikit lebih rendah, dengan kala ulang 2.000 - 4.000 tahun, tergantung dengan keadaan sosial ekonomi wilayah tersebut.
5. Tingkat keselamatan tanggul-sungai di luar zona pasang surut ditetapkandengan kala ulang 1.250 tahun. Selama periode puncak, muka air di sungaiakan naik sebesar 3 sampai 4 meter, tetapi kenaikan ini secara berangsur-angsur akan menurun kembali.
Jika dibandingkan dengan situasi di sepanjang pantai Belanda, sistem polder di Indonesia. misalnya di laut Jawa, cenderung mempunyai pasangdan gelombang yang lebih rendah. Pada sisi lain, efek dari peristiwa gempa bumi dan letusan gunung api menjadi lebih penting. Gelombang tinggi yangdiakibatkan oleh tsunami perlu mendapat perhatian, sehingga pemakaiankriteria kala ulang 10.000 tahun menjadi tidak berlebihan jika diterapkan pada perancangan sistem polder di daerah rendah dengan jumlah penduduk dan nilaiaset yang tinggi. Kriteria kala ulang yang dimaksud adalah bencana yang perkiraan potensi kejadiannya dalam rentang waktu tertentu. Artinya, struktur semakin baik jika mempertimbangkan potensi kejadian yang kala ulangnyasemakin lama, misalnya puluhan ribu tahun ke depan. Untuk daerah tinggi direkomendasikan mengadopsi suatu tingkat keselamatandengan kala ulang 100 tahun. Tingkatan ini didasarkan dengan pertimbangan: