• Tidak ada hasil yang ditemukan

bentuk baishun dalam Sejarah Jepang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "bentuk baishun dalam Sejarah Jepang"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

4 II. Hasil dan Pembahasan

A. Propaganda Jepang sebelum invasi ke Indonesia

Jauh sebelum menguasai Indonesia, Jepang sudah mempersiapkan diri untuk mengambil hati rakyat Indonesia yang ketika itu masih berada di bawah kekuasaan kolonialis Belanda. Propaganda menjadi alat utama bagi Jepang untuk menarik simpati rakyat Indonesia, sehingga bangsa itu telah mempersiapkannya secara sistematis selama beberapa tahun sebelum melaksanakan invasi ke wilayah Selatan.

Awal persiapan materi propaganda ditandai dengan penerbitan artikel yang ditulis oleh Jenderal Araki, Menteri Urusan Perang, dalam bulan April 1932. Artikel itu berjudul The Call of Japan in the Sowa Period (Seruan Jepang Pada Masa Sowa), yang memuat ajaran bahwa bangsa Jepang harus mengikuti Imperial Way (Jalan Kekaisaran) untuk mengangkat bangsa Yamato, dan untuk menyelamatkan Asia Timur serta dunia. Jenderal Araki mengakhiri artikel ini dengan suatu penegasan bahwa misi bangsa Jepang adalah menyebarluaskan doktrin Imperial Way di seluruh lautan dan dunia. Jenderal Araki juga menulis The Present Position of East Asia, yang antara lain menyatakan:

The Japanese Empire, in its own and other eyes, the leader of East Asia and with the power to be so, whose call is Kodo or the Imperial Way, to spread out and save oppressed countries, cannot stand aside any longer and look on inactive (Eric Robertson, 1979: 83).

Terjemahannya:

(2)

Dalam tulisan tersebut tampak jelas bahwa Jepang telah memprogandakan dirinya sebagai bangsa pemimpin dan penyelamat bagi bangsa-bangsa Asia yang terjajah, tetapi tanpa menyatakan tindakan agresifnya untuk menguasai wilayah- wilayah lain. Tindakan itu merupakan salah satu karakter fasis Jepang Seperti kaum fasis yang lain, ketika itu Jepang telah melegitimasi perannya sebagai pemegang kekuasaan atas bangsa-bangsa Asia Timur. Sesungguhnya, slogan yang bersifat kemanusiaan untuk membebaskan bangsa-bangsa yang tertindas oleh bangsa Barat merupakan kedok Jepang untuk melakukan ekspansi ke wilayah- wilayah lain dan menampilkan diri di panggung kekuasaan dunia (ciri fasisme semacam itu, periksa Riff, 1995: 56).

Segera setelah pecah perang di Eropa dalam bulan September 1939, Jepang mulai mempersiapkan diri untuk mengadakan invasi ke wilayah-wilayah di sebelah Selatan Jepang. Indonesia merupakan sasaran invasi Jepang yang penting karena wilayah itu memiliki persediaan bahan mentah seperti minyak, karet, timah, boksit, manggan yang sangat diperlukan untuk mendukung kepentingan perang (M.A. Azis, 1955: 100).

(3)

budi, sehingga para wartawan Indonesia itu bersedia menyiarkan tulisan-tulisan yang mendukung Jepang (Soebagijo IN, 1980: 68).

Selain mempengaruhi para wartawan Indonesia, sejak tahun 1932 Jepang telah menerbitkan surat kabar sendiri di Jawa yang diberi nama Java Nippo. Kemudian terbit juga surat kabar lainnya yaitu Nichiran Shogyo Shinbun dan Tohindo Nippo yang diperuntukkan bagi orang-orang Jepang yang tinggal di Indonesia (Soebagijo IN, 1983: 164).

Bagi Jepang, pers dan wartawan menjadi saluran penting untuk menyiarkan propagandanya, karena melalui media cetak, yang dapat memberikan informasi tertulis, propaganda dapat dibaca oleh khalayak secara ber-ulang-ulang, sehingga pengaruhnya pun dapat lebih intensif dan efektif. Oleh karena itu Jepang membeli percetakan dan penerbitan Tjahaja Pasoendan, yang kemudian diberi nama Warta Harian. Pembelian perusahaan surat kabar tersebut didanai oleh Yosuka Matsuoka (Presiden Direktur Jawatan Kereta Api Manchuria Selatan), Ainosuke Iwata (seorang agitator Pan-Asia), dan oleh Biro Penelitian Ekonomi di Asia Timur. Surat kabar harian tersebut terbit di Jakarta dan dicetak dalam bahasa Melayu. Setiap hari harian ini mencapai tiras sebanyak 5000 eksemplar (Soebagijo IN, 1980: 70).

Setelah tahun 1940 propaganda Jepang menjadi semakin gencar. Pada tanggal 16 Maret 1941 melalui radio Taihoku di Tokio disiarkan propaganda sebagai berikut.

Co-operation among the natives of Burma, the Philippines, and East Indies should be established. This move should be carried out by themselves. Japan must take a leading role in order to lead them and guide them to proper path of co-operation and common prosperity, as these countries have been unjustly treated by the foreigners (Eric Robertson, 1979: 95).

(4)

Dalam propaganda di atas tampak jelas bahwa Jepang telah mengeluarkan controversial issue untuk menimbulkan rasa antipathy terhadap bangsa-bangsa Barat yang telah melakukan kolonialisme dan imperialisme di wilayah Asia. Dalam pernyataan itu Jepang telah mengekspresikan juga sikap underestimate terhadap bangsa-bangsa lainnya, yang dianggapnya bahwa tanpa kepemimpinannya mereka tak berdaya untuk meraih keamakmuran sendiri. Dalam hal ini Jepang telah menunjukkan sifat fasisme lagi. Jadi, propaganda memang sangat diperlukan oleh kaum fasis untuk mencapai tujuannya, karena dengan itu mereka dapat mempengaruhi orang lain dengan slogan-slogan indah yang sesungguhnya adalah indoktrinasi demi pencapaian tujuan yang telah mereka tetapkan.

Khususnya di wilayah Indonesia, seruan anti Belanda menjadi issue propaganda yang dikumandangkan secara tegas, terutama melalui siaran radio. Propaganda anti Belanda itu telah mendapat perhatian khusus penduduk Indonesia, seperti dikisahkan oleh Abdul Hamid, seorang penduduk Jakarta, sebagai berikut.

Dan tiap-tiap malam saja mendengerken soeara-soeara dari Tokiyo pake radio. Di roemah sdr. Sairi, bole dibilang saban malam saja denger dari radio soeara-soeara di Tokiyo, jang mengatakan rakjat Minangkabo dan rakjat Indonesia moesti membantoe NIPPON oentoek melenjapkan pemerintah blanda dan haling-halangilah orang-orang blanda jang hendak membikin negeri hangoes……….

Boeat perang NIPPON tidak oesah dibantoe, NIPPON tjoekoep banjak dan koeat, hanja rakjat di masing-masing daerah bantoe djaga barang-barang djangan sampe diroesak orang blanda (Koleksi Rijksinstituut voor Oorlogsdocumentatie, Inventaries No. 031602).

(5)

akan membebaskannya dari penjajahan bangsa Barat

Hanya beberapa bulan setelah penyerbuan Jepang terhadap Pearl Harbour pada tanggal 8 Desember 1941, balatentara Jepang telah berhasil mendarat di Jawa, tepatnya pada tanggal 1 Maret 1942. Dalam waktu satu minggu setelah pendaratan itu, Jepang telah berhasil memaksa pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk menyerah tanpa syarat di Kalijati pada tanggal 8 Maret 1942.

Pada umumnya kedatangan balatentara Jepang itu disambut secara entusias oleh rakyat Indonesia. Pada awalnya tentara Jepang menciptakan hubungan yang baik dengan penduduk, sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan mereka (De Graaf, dkk.,1960: 192). Di sepanjang jalan yang dilalui oleh tentara Jepang, penduduk menyambut mereka dengan kata-kata “selamat datang” dan “Banzai”. Sebaliknya, tentara Jepang menyerukan “Hidup Indonesia”. Banyak orang berpendapat bahwa sambutan positif rakyat Indonesia ini merupakan indikasi keberhasilan propaganda Jepang. Akan tetapi, munculnya sambutan positif rakyat itu lebih dapat dipahami sebagai ekspresi harapan mereka untuk memperoleh kebebasan dari cengkeraman kekuasaan kolonialis Belanda yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Rakyat Jawa telah meyakini ramalan Jayabaya yang menggambarkan bahwa akan datang jaman yang lebih baik untuk menggantikan jaman yang buruk.. Jaman baik ini ditandai oleh munculnya pemerintahan Ratu Adil, tetapi sebelumnya akan terdapat masa peralihan yang didominasi oleh orang kerdil yang berlangsung selama hidup tanaman jagung. Kemudian banyak orang mengidentifkasikan orang kerdil itu sebagai orang Jepang (Nugroho Notosusanto, 1979: 13).

(6)

B. Sistem Propaganda Jepang di Jawa

B.1. Lembaga-lembaga Propaganda

Segera setelah menguasai Indonesia, Jepang mengumumkan kekuasaan pemerintahannya secara resmi dalam Osamu Seirei (undang-undang) No. 1 tertanggal 7 Maret 1942. Pasal-pasal yang berkaitan dengan sistem pemerintahan Jepang di Indonesia adalah sebagai berikut.

Pasal 1: Balatentara Jepang akan meningkatkan kesejahteraan penduduk Hindia Belanda yang sebangsa dan seasal, dan juga memantapkan kemakmuran bersama penduduk yang diarahkan untuk pertahanan bersama Asia Timur Raya. Pemerintahan militer akan dilaksanakan di daerah-daerah yang ditempati untuk menjaga ketertiban umum, kedamaian, serta kesenangan penduduk sesegera mungkin.

Pasal 2: Panglima tentara Jepang akan melaksanakan kekuasaan administratif gubernur jenderal.

Pasal 3: Semua badan pemerintahan, kekuasaan hukum, dan undang-undang dari pemerintahan yang terdahulu tetap diakui secara sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah militer.

Pasal 4: Para pegawai dan penduduk harus tunduk kepada peraturan-peraturan pemerintah militer Jepang. Barang siapa melanggar peraturan pemerintah militer Jepang , mengganggu ketertiban umum, berkomunikasi dengan musuh, mengganggu kelancaran keuangan negara, menghancurkan sumber-sumber daya dan fasilitas, akan dihukum sesuai dengan undang-undang bahaya perang (Harry J. Benda, dkk., 1965: 59).

(7)

Pada era penjajahan Jepang, di Indonesia terdapat tiga pemerintahan militer yaitu: (1). Pemerintahan Militer Angkatan Darat (Tentara ke-25) untuk Sumatera dengan pusatnya di Bukitinggi; (2). Pemerintahan Militer Angkatan Darat (Tentara Ke-16) untuk Jawa dan Madura dengan pusatnya di Jakarta; (3). Pemerintahan Militer Angkatan Laut (Armada Selatan ke-2) untuk Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku dengan pusatnya di Makasar (Marwati Djoened Poesponegoro, 1984: 5)

Setelah pemerintah militer Jepang terbentuk secara resmi, pemerintah militer Jepang di Jawa segera mengendalikan sarana-sarana penerangan untuk publik. Siaran radio, flm dan pers ditempatkan di bawah pengawasan pemerintah militer Jepang. Pengawasan dan penyebarluasan propaganda dilakukan oleh balatentara Jepang, yang diorganisasikan dalam suatu lembaga Sendenhan, yang kemudian menjadi Syoohoobu (Seksi Propaganda pemerintahan Militer)(Zorab,

1954: 96).

Dalam bulan Agustus 1942, dibentuk Departemen Propaganda (Sendenbu) dalam lingkup badan Pemerintahan Militer (Gunseikanbu). Departemen Propaganda ini bertanggungjawab atas propaganda dan informasi yang menyangkut pemerintahan sipil, dan merupakan departemen yang terpisah dari Seksi Propaganda Pemerintahan Militer, yang bertanggungjawab atas informasi mengenai operasi militer. Kegiatan Sendenbu ditujukan kepada penduduk sipil di Jawa, meliputi orang Indonesia, Indo-Eropa, minoritas Asia, dan Jepang, sedangkan Seksi Penerangan Angkatan Darat ke-16 melaksanakan propaganda bagi tentara Jepang, tawanan perang, dan warga negara musuh melalui siaran luar negeri (Aiko Kurasawa, 1993: 229-231).

Walaupun aktivitas Sendenbu terbatas pada urusan sipil, Pemerintah Militer Jepang tidak mempercayakan kepemimpinan departemen ini kepada orang sipil, melainkan selalu dipegang oleh perwira angkatan darat yaitu: Kolonel Machida (Agustus 1942 – Oktober 1943), Mayor Adachi (Oktober 1943 – Maret

(8)

sedangkan dua seksi lainnya dipimpin oleh perwira militer dengan pangkat letnan atau letnan dua (Aiko Kurasawa, 1993: 231). Semula Sendenbu melaksanakan propaganda secara langsung, tetapi ketika struktur pemerintahan militer semakin rumit, dibentuk pula badan-badan propaganda, dan di setiap pemerintahan daerah dibentuk dinas propaganda (Zorab, 1954: 96). Berikut ini dikemukakan tabel yang

memuat daftar nama dan fungsi badan-badan propaganda di Jawa. sendenbu yang bernama Keimin Bunkha Shidôsho atau Pusat Kebudayaan. Tugas organisasi ini adalah mempromosikan kesenian tradisional Indonesia, memperkenalkan dan menyebarkan kebudayaan Jepang, mendidik dan melatih seniman Indonesia. Keimin Bunkha Shidôsho dikepalai oleh direktur Sendenbu dan memiliki lima seksi, yang masing-masing dipimpin oleh orang Indonesia. Kelima seksi itu adalah seksi administrasi, sastra, musik, seni rupa, dan seni pertunjukan (teater, tari, dan film). Dalam setiap seksi ditempatkan staf ahli Indonesia (penulis, penyair, penggubah lagu, pematung, penulis scenario, sutradara film, dsb.), dan mereka dilatih oleh instruktur Jepang yang dikirim oleh Sendenbu (Djawa Baroe, No. 8 ,1 April 1943: 8-10, dikutip oleh Aiko Kurasawa,

(9)

Untuk menyebarluaskan propaganda Jepang, di kota-kota besar di Jawa dibentuk badan-dadan propoganda lokal yang bertanggungjawab atas tiga atau empat keresidenan. Unit Operasi Daerah Jakarta bertanggungjawab atas daerah: Banten, Jakarta, Bogor, dan Daerah Istimewa Jakarta. Unit Operasi Daerah Bandung bertanggungjawab atas daerah: Priangan, Cirebon, dan Banyumas. Unit Operasi Daerah Yogyakarta bertanggungjawab atas daerah: Yogyakarta, Surakarta, Madiun, dan Kedu. Unit Operasi Daerah Semarang bertanggungjawab atas daerah Semarang, Pekalongan, dan Pati. Unit Operasi Daerah Surabaya bertanggungjawab atas daerah Surabaya, Bojonegoro, dan Madura. Unit Operasi Daerah Malang bertanggungjawab atas daerah: Malang, Kediri, dan Besuki. Unit- unit Operasi Daerah tersebut berada di bawah pengawasan sendenbu. Dalam setiap keresidenan dibentuk juga seksi propaganda dan informasi (Aiko Kurasawa, 1997: .)

Demikianlah, pada masa penjajahan Jepang, seluruh wilayah Jawa tidak luput dari sasaran propaganda Jepang. Agar propaganda dapat dilaksanakan secara solid, kepala Seksi Propaganda dalam Sendenbu dijabat oleh orang Jepang , Shimizu Hitoshi, seorang propagandis profesional yang memulai kariernya sebagai propagandis pada tahun 1930-an di Cina. Shimizu Hitoshi dibantu oleh staf Jepang yang berbakat pula sebagai propagandis. Mereka dibedakan atas dua kategori yaitu: (1). Ahli propaganda yang bertugas dalam bidang perencanaan; (2). Ahli dalam bidang kesenian (budayawan) seperti penulis, musisi, pelukis, karikaturis, dan designer (perancang).

(10)

Chaerul Saleh dan Soekarni (tokoh pemuda radikal yang mempunyai peranan penting dalam perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia). Beberapa seniman yang bekerja untuk Sendenbu yaitu R.M. Soeroso (pelukis), dan Iton Lesmana (perancang iklan). Keimin Bunkha Shidosho juga merekrut penulis, pelukis, dan musisi Indonesia terkenal yaitu: Armijn Pane dan Sanusi Pane (penulis), Utojo (musisi), Simanjutak (musisi), Koesbini (musisi), Agoes Djojosoemito (pelukis), Djauhar Arifin Soetomo (penulis sandiwara).

Program propaganda ditentukan dan diputuskan oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan Militer). Setelah menerima perintah dari Gunseikan, direktur Sendenbu membuat rencana pelaksanaan untuk dikonsultasikan dengan kepala-kepala seksi. Semua lembaga terkait dan Unit Operasi Daerah mendapat informasi tentang rencana tersebut. Materi propaganda selalu disesuaikan dengan tujuan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Militer Jepang. Secara garis besar propaganda Jepang di Jawa memiliki dua tujuan utama yaitu:

(1). Meningkatkan hasil panen dan penyerahan sebagian hasil panen kepada pemerintah militer Jepang. Jawa adalah pusat persediaan tenaga bagi Jepang untuk pulau-pulau lainnya. Angkatan Darat Ke-16 mempersiapkan sejumlah besar persediaan bahan makanan untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Beberapa produk agraris yang harus diusahakan oleh penduduk adalah padi, jagung, minyak jarak, rami, dan coklat.

(2). Penguatan pertahanan Jawa dan daerah-daerah pendudukan Jepang yang lain. Untuk itu diperlukan tambahan serdadu dan tenaga kerja (Zorab,

1954: 97-98).

B.2. Spirit Propaganda Jepang

(11)

termasuk Indonesia, menjadi daerah perluasan kekuasaan Eropa dan selama berabad-abad bangsa Asia mengalami pemerasan ekonomi. Jepang adalah satu-satunya bangsa yang berhasil mengusir imperialisme Barat dan menjanjikan kemerdekaan. Misi suci Nippon adalah untuk membebaskan bangsa-bangsa lain di Asia Timur dari penjajahan Barat. Tujuannya adalah untuk menghapuskan pengaruh Barat di Asia Timur, dan membangun suasana kesejahteraan yang baru untuk seluruh rakyat Asia Timur sebagai satu kesatuan keluarga besar. Cita-cita ini hanya dapat dicapai, jika rakyat Asia Timur mengakui kepemimpinan Jepang dan memusatkan seluruh sumber daya untuk bekerjasama dengan Jepang guna memperoleh kemenangan dalam peperangan melawan kekuasaan sekutu. Tanpa kemenangan dalam perang Asia Timur Raya itu, keberhasilan usaha-usaha rakyat tidak akan tercapai. Kerjasama untuk pembangunan Asia Timur Raya tidak hanya dilakukan dalam bidang politik, militer, dan ekonomi, tetapi juga dalam bidang kebudayaan (Zorab, 1954: 98, lihat juga KAN PO No. 14, bulan 3-2603).

Untuk kepentingan propagadanya, Jepang telah menciptakan slogan-slogan yang berpengaruh kuat bagi bangsa-bangsa di Asia yang ketika itu masih dalam belenggu penjajahan bangsa Barat. Slogan yang sangat terkenal “Asia untuk bangsa Asia” merupakan spirit propaganda Jepang yang terkuat.Bangsa mana pun akan sangat sulit untuk menciptakan slogan dengan kekuatan yang sebanding dengan slogan “Asia untuk bangsa Asia”. Demikian juga “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya” menjadi jiwa propaganda Jepang yang menjanjikan masa depan yang lebih baik. Slogan yang lebih menarik lagi yaitu Hakko Itjiu yang diartikan sebagai “satu untuk semua dan semua untuk satu” (Graaf, 1960: 194), meskipun di balik itu sesungguhnya Jepang ingin menyatukan seluruh dunia di bawah satu atap kekuasaannya.

B.3. Metode Penyebarluasan Propaganda

(12)

(1). Di setiap ibu kota dan di kota-kota keresiden diadakan rapat-rapat umum untuk menyiarkan propaganda.

(2). Di perusahaan-perusahaan atau di pabrik-pabrik diadakan pertemuan-pertemuan dengan mengundang semua karyawan.

(3). Dalam setiap pemerintahan daerah harus dibentuk korps propaganda untuk perekrutan romusha (pekerja). Korps ini harus dapat mengobarkan semangat kerja bagi penduduk melalui pidato, penayangan film dan pergelaran sandiwara, pertunjukan wayang dan gamelan. Korps propaganda ini harus juga melakukan perjalanan ke daerah-daerah paling sedikit 3 kali dalam sebulan. Biaya perjalanan untuk propaganda ditanggung oleh Dinas Tenaga Kerja dan Seksi Komite Bantuan untuk perekrutan tenaga kerja.

(4). Setiap pemerintah daerah diwajibkan untuk memberi ijin penyelenggaraan rapat-rapat tentang peningkatan keinginan kerja penduduk dan perekrutan romusha.

(5). Surat kabar dan majalah diwajibkan untuk memuat tulisan atau artikel yang dapat meningkatkan keinginan kerja penduduk dan memperlancar perekrutan romusha.

(6). Pada tanggal 1, 10, dan 20 setiap bulan radio harus menyiarkan berita bahwa seluruh penduduk harus bekerja. Pada tanggal-tanggal tersebut penduduk diminta untuk berkumpul di tempat-tempat propaganda. Dalam rapat-rapat propaganda itu, penduduk diwajibkan untuk mendengarkan pidato, pengumuman, dan nasehat tentang pentingnya peningkatan keinginan kerja.

(7). Di tempat-tempat propaganda itu harus diputar film tentang kerja. Selama istirahat harus ditayangkan contoh-contoh dan ilustrasi.

(13)

pabrik-pabrik, dan perusahaan-perusahaan lainnya. Semua pelaksanaan ini harus disiarkan melalui radio, surat kabar, majalah, dan juga melalui plakat - plakat dengan semboyan-semboyan yang menarik.

(9). Untuk memberi penghargaan bagi keluarga-keluarga yang ditinggalkan oleh para pekerja yang dikirim ke luar Jawa, pemerintah daerah harus menandai rumah-rumah mereka dengan tanda pengenal. Penduduk harus diberitahu bahwa rumah-rumah yang diberi tanda pengenal tersebut harus dijaga secara baik.

(10). Pemberangkatan romusha (pekerja) harus dirayakan. Bupati, pejabat lainnya, dan organisasi wanita harus hadir dalam perayaan tersebut untuk melepas para pekerja yang akan diberangkatkan. Perayaan tersebut dimeriahkan dengan musik dan disemangati dengan lambaian bendera (De Graaf, dkk., 1960: 196-197)..

B.4. Kemasan Materi Propaganda

Materi propaganda dikemas terutama dalam bentuk kesenian yang meliputi seni sastra (puisi, prosa), seni suara (nyanyian dan musik), dan seni drama (film dan sandiwara). Kemasan materi propaganda dalam bentuk kesenian akan lebih berpengaruh bagi rakyat, karena kesenian merupakan satu-satunya unsur kebudayaan yang memiliki nilai entertaining, sehingga rakyat kurang merasakan bahwa sesungguhnya mereka “dijejali” dengan propaganda dan indoktrinasi. Kemasan yang lain berupa provokasi-provokasi melalui tulisan- tulisan dalam plakat-plakat (contoh: Awas mata-mata musuh), dan simbol-simbol dalam kemasan barang-barang konsumsi rakyat (dengan nama-nama Jepang) . Berikut ini diberikan contoh-contoh kemasan materi propaganda Jepang di Jawa, khususnya yang berbentuk kesenian.

 Kemasan propaganda berupa puisi Engkau djatoeh, oh

(14)

Dibawah serodja badanmoe terpendam, bersinar namamoe di bintang malam, dalam djiwakoe semangatmoe tertanam.

Bersama lagoekoe, mendengoeng njanjimoe, bahagia bangsa!

moelia noesa!

(ditulis oleh Utuy T. Sontani dalam Tjahaja, 08 Februari 1943)  Kemasan propaganda berupa nyanyian

Tamboe perintahkan: sedia berdjoeang goena noesa Barislah, madjoelah, hai kau semoea kawankoe

Hai kawan, hidoeplah oentoek semoea negeri, tanah airmoe Baris ke Selatan, Timoer dan Selatan

Hai, kau Sinar Laoet Pasifc,

Iboe Pertiwi perintahkan: oentoek madjoe berperang Barislah, madjoelah, hai kau kawan-kawankoe

Kita hidoep, tetap sedia, mati terkenang Hai kawan, tjintailah kepada Pertiwi Iboemoe

Baris ke Oetara, Barat dan Selatan, hai kau Tjahaja Asia Negeri Nippon perintah: menoedjoe ke Doenia Raja Barislah, madjoelah, hai kau semoea kawan-kawankoe Baik kita bersama madjoe dengan doenia

Hai kawan tjintailah pada negeri, toempah darahmoe Pergi ke rantau, samoedra – antariksa

Hai, kau, Sumera Doenia. (Soeara Asia, 03 Juni 1942).

 Kemasan propaganda berbentuk sandiwara Lakon sandiwara : Iboe Pradjoerit

Dipentaskan oleh : Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa (P.O.S.D.)

Ringkasan ceritera :

(15)

bersama Nippon”. Keberangkatan mereka membuat ibu-ibu mereka sedih. Semula ibu-ibu itu menentang keberangkatan mereka ke medan juang. Akan tetapi lambat laun kaum ibu tersebut menyadari pentingnya kekuatan pemuda untuk membangun suatu masyarakat baru. Dalam lakon itu juga dikisahkan rasa haru para pejuang, yang tidak mengenal rasa takut untuk mati. Penduduk desa pun harus waspada terhadap mata-mata yang akan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat.

Cerita sangat menarik dan penuh humor. Penulisnya adalah seorang penulis scenario terkenal dari Tokio.

(Ringkasan ceritera sandiwara ini dimuat dalam iklan Asia Raya, 6-9 Maret 1945)

B.5. Pengawasan terhadap Penyebarluasan Propaganda

Meskipun pembuatan materi propaganda sudah dikendalikan secara ketat oleh Pemerintah Militer Jepang, sistem penyiarannya pun dikontrol dengan pemberlakuan sistem sensor secara hukum. Sistem kontrol itu diumumkan pertama kali pada tanggal 25 Mei 1942 dalam “undang-undang No. 16 tentang badan-badan pengumuman dan penerangan dan penilikan pengumuman dan penerangan” (KAN PO, Nomor Istimewa, bulan 3, 1943).

(16)

penerbit barang cetakannya termasuk surat kabar, buku, surat siaran, surat keterangan. Pasal 8 membatasi daerah penyebaran informasi dengan ketentuan bahwa untuk sementara waktu dilarang untuk mengeluarkan atau memasukkan penerbitan ke atau dari daerah luar. Penerbitan yang dicetak di Indonesia boleh dikirimkan antara Jawa dan Madura dan tempat lain di Indonesia, apabila mendapat ijin balatentara Jepang. Pasal 9 menentukan bahwa perusahaan percetakan yang mencetak untuk orang partikulir harus mendapat ijin dari badan sensor balatentara, dan harus menyebutkan nama orang yang menyuruh menyetak, macam barang cetak, serta isinya. Dalam pasal 10 ditentukan kantor-kantor sensor terletak di Batavia, Bandung, Semarang, Yogja (atau di Solo), Surabaya, dan kantor sensor tertinggi bertempat di Batavia. Pasal 11 mengatur hukuman bagi para pelanggar undang-undang ini. Bagi pelanggar pasal

4, 7, 8 dan 9 akan dikenakan hukuman penjara paling lama setahun, atau didenda sebanyak-banyaknya seribu rupiah (jumlah ini cukup tinggi, karena nilai tukar rupiah terhadap gulden pada saat itu 1 : 1). Perkara ini diadili oleh Gunsei Hooin (pengadilan pemerintah balatentara Jepang. Pelanggar pasal 2, 3,

5 dan 6 diadili oleh Gunritsu Kaigi (Krijgsraad = pengadilan balatentara). Pasal 12 menetapkan undang-undang ini berlaku sejak diumumkan. Selanjutnya dalam bagian penjelasan mengenai undang-undang No. 16 diserukan: "sekalian orang jang hidoep dilingkoengan kemakmoeran Asia Raja, djanganlah menganggap atoeran ini sebagai tindakan oentoek menindis pers atau pengoemoeman. Pemerintah hendak melindoengi pers lebih dahoeloe, soepaja ia djangan memboeat kesalahan" (KAN PO, No. Istimewa, bulan 3,1943).

(17)

penyebaran pamflet-pamflet melalui udara. Suatu pamflet berjudul "Soekakah Anak Pembatja Mendjadi Begini?" sangat menarik untuk diperhatikan. Selebaran tersebut mengekspos kondisi heiho di medan perang seperti berikut:

"Si Djepang pada tanggal 17 October 1944 menyiarkan chabar bahwa toedjoeh heiho mati dimedan perang Burma. Barangkali orang Indonesia belum tahoe bahwa bapaknja, saudaranja, kawannja, oleh si Djepang dikerdjakan seperti boedak boekan sadja di Papoea, di Rabaul, di Truek dan lain-lain tempat, tetapi djoega dihoetan-hoetan Burma! Insjaflah saudara!

(Koleksi RIOD Doos 35, 2.11).

Keterangan tersebut di atas disertai dengan foto orang-orang Indonesia yang menjadi heiho dengan tubuh sangat kurus-kering, tinggal kulit pembalut tulang.

Dalam rangka membendung arus propaganda musuh Jepang itu, pemerintah militer Jepang mengganti undang-undang No. 16 tahun 1942 dengan Osamu Seirei No. 6 tahun 1944 yang mulai berlaku sejak 3 Februari

1944 (Tjahaja, 3 Februari 1944). Osamu Seirei No. 6 tahun 1944 mencakup 16 pasal sebagai berikut.

Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa surat, gambar, lukisan, yang dapat menghambat usaha perang tentara Jepang, atau mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum serta mengganggu pemerintahan militer, tidak boleh diumumkan. Pasal 1 ayat 2 memuat ketentuan bahwa surat, gambar, lukisan, yang dapat merusak kesopanan, tidak boleh diumumkan.

Pasal 2 ayat 1 menegaskan bahwa penerbitan adalah surat, gambar, dan lukisan yang diperbanyak dengan cara dicetak, turunan, dan lain-lain dengan maksud untuk dijual atau disiarkan. Pasal 2 ayat 2 memberi batasan pengertian surat kabar sebagai terbitan yang memiliki nama tetap, diterbitkan pada waktu tertentu atau tidak tertentu dalam 6 bulan, termasuk terbitan istimewa yang memakai nama tetap yang diterbitkan pada waktu lain daripada yang ditetapkan.

(18)

advertensi, reklame dan surat sebaran, surat, gambar, lukisan harus memberitahukan bentuk dan isi penerbitannya beserta dengan nama penerbitnya lebih dulu kepada Keisatusyotyoo yang bersangkutan, dan harus mendapat ijin untuk memperbanyak penerbitan itu.

Pasal 4 menentukan bahwa barang siapa akan menerbitkan surat kabar, harus minta ijin kepada Gunseikan.

Pasal 5 menyatakan bahwa segala sesuatu yang belum diperiksa oleh kantor pusat Gunken-etu atau cabangnya tidak boleh dimuat dalam surat kabar.

Pasal 6 ayat 1 memuat ketentuan bahwa pada halaman akhir penerbitan harus disebutkan nomor ijin, tanggal ijin, tanggal terbit, nama serta alamat penerbit, pencetak, dan penulis atau penyusun, yang telah mendapat ijin sesuai dengan pasal 3. Pasal 6 ayat 2 memuat ketentuan bahwa pada halaman pertama surat kabar harus disebutkan nomor ijin, tanggal ijin, tanggal terbit, nama serta alamat penerbit, penyusun dan pencetak, yang telah mendapat ijin sesuai dengan pasal 4.

Pasal 7 memuat peraturan bahwa sebelum menyiarkan terbitan atau surat kabar, penerbit harus menyerahkan dua eksemplar kepada Gunseikanbu dan kantor pusat Gunken-etu. Pasal 7 ayat 2 memuat ketentuan bahwa orang yang memperbanyak surat, gambar, lukisan seperti yang ditetapkan dalam pasal 3 ayat

2 harus memberikan dua buah eksemplar kepada Keisatusyo yang bersangkutan.

Pasal 8 berisi ketentuan bahwa barang siapa akan membuat flm, harus menyerahkan naskahnya lebih dulu kepada kantor pusat Gunken-etu atau cabangnya untuk diperiksa. Selanjutnya ia harus mengajukan permohonan ijin dari Gunseikan, demikian juga jika ia akan membuat turunan film.

Pasal 9 memuat peraturan bahwa film yang belum diperiksa oleh kantor pusat Gunken-etu tidak boleh dipertunjukkan kepada umum.

(19)

Pasal 11 ayat 1 berisi peraturan bahwa penanggungjawab pertunjukan sandiwara, kesenian dan lain-lain harus menyerahkan naskah ceriteranya, acaranya, peralatannya yang sesungguhnya kepada kantor pusat Gunken-etu untuk diperiksa. Pasal 11 ayat 2 menentukan bahwa pertunjukan sandiwara, kesenian yang tidak diijinkan, tidak boleh diselenggarakan.

Pasal 12 ayat 1 berisi ketentuan bahwa barang siapa akan mengadakan pidato, uraian dsb. Di depan rapat umum atau di muka orang berkumpul harus menyerahkan naskah pidatonya itu kepada kantor pusat Gunken-etu atau cabangnya untuk diperiksa. Selanjutnya ia harus pula memberitahukan penyelenggaraan itu kepada Kenpetai dan Keisatusyo yang paling dekat.

Pasal 13 ayat 1 menyatakan bahwa Gunseikan boleh melarang penjualan atau penyiaran penerbitan, apabila penerbit atau pencetaknya melanggar undang- undang ini. Pasal 13 ayat 2 menentukan bahwa Gunseikan boleh melarang atau menghentikan penerbitan surat kabr, apabila penerbit, penyusun atau pencetaknya melanggar undang-undang ini. Pasal 13 ayat 3 memuat ketentuan bahwa jika terjadi pelanggaran terhadap kedua ayat di atas, Gunseikan boleh memberi perintah untuk membeslah atau merampas penerbitan atau surat kabar itu.

Pasal 14 ayat 1 memuat ketentuan bahwa barang siapa mengumumkan surat kabar, gambar, lukisan, berlawanan dengan pasa 1 ayat 1 dihukum mati, atau dihukum penjara seumur hidup atau berbatas, atau dihukum denda paling banyak f. 50.000,- Pasal 14 ayat 2 berisi ketentuan bahwa barang siapa mengumumkan surat, gambar, lukisan, berlawanan dengan pasal 1 ayat 2 dihukum penjara paling lama 3 tahun atau dihukum denda paling banyak f.

5.000,-Pasal 15 memuat ketentuan bahwa barang siapa menerbitkan penerbitan atau surat kabar, membuat film, dan memperbanyaknya, dengan melanggar pasal

3 ayat 1, pasal 4 dan pasal 8, dihukum penjara paling lama 2 tahun atau dihukum denda paling banyak f. 2.000,- Pasal 16 berisi peraturan bahwa barang siapa termasuk dalam salah satu nomor yang tersebut di sini, dihukum penjara paling lama 1 tahun atau dihukum denda paling banyak f.

1.000,-1. Penerbit atau pencetak advertensi, reklame, dan susrat sebaran, dan juga surat, gambar, lukisan yang melanggar pasal 3 ayat 2

2. Penerbit dan penyusun yang melanggar pasal 5. 3. Penerbit dan penyusun yang melanggar pasal 6.

(20)

5. Orang yang mempertunjukkan film, yang melanggar pasal 9 ayat 1 dan 2. 6. Orang yang mengeksport penerbitan, surat kabar, dan film, yang

belum diperiksa, yang berlawanan dengan pasal 10 ayat 1; orang yang yang menjual atau menyiarkan penerbitan atau surat kabar yang berlawanan dengan pasal 10 ayat 2.

7. Orang yang mempertunjukkan sandiwara, kesenian, kepandaian dsb., yang tidak diperiksa, berlawanan dengan pasal 11 ayat 1, atau mengadakan pertunjukan dengan tidak mendapat ijin, berlawanan dengan pasal 11 ayat 2.

8. Orang yang mengadakan pidato, uraian dsb., yang berlawanan dengan pasal 1

IV. Simpulan

Ada beberapa faktor pendorong kehadiran kekuasaan militer Jepang di negeri ini. Ideologi fascist Jepang, Hakko Itjiu (menguasai seluruh dunia di bawah satu atap kepemimpinan Jepang) dan the Imperial Way (jalan menuju ke kekaisaran Jepang), telah menunjukkan bahwa Jepang ingin menguasai seluruh penjuru dunia di bawah kekuasaan Jepang.

Bagi Jepang, Indonesia memiliki posisi geografis, ekonomis, dan politis yang strategis untuk mendukung kepentingan perangnya melawan kolonialisme Barat yang ketika itu masih meluas di Asia. Rakyat Indonesia, yang ketika itu masih dalam belenggu penjajahan Belanda, menjadi salah satu faktor akselerasi terbentuknya kekuasaan militer Jepang di wilayah ini. Dengan memanfaatkan kondisi rakyat yang ingin segera terbebas dari penindasan kekuasaan Belanda itu, Jepang mempersiapkan propaganda secara sistimatis dan intensif untuk mempengaruhi rakyat Jawa agar dapat membantu Jepang untuk memenangkan perang. Sistem propaganda dipersiapkan secara solid dari tingkat pemerintahan pusat sampai ke daerah-daerah. Lembaga-lembaga, metode, materi, spirit, dan kemasan materi propaganda merupakan jaringan integral yang sulit untuk dipisahkan, karena semua itu dikontrol secara ketat dengan pemberlakuan undang- undang yang sangat mengikat kebebasan arus komunikasi di negeri ini.

(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)

Referensi

Dokumen terkait

Dari ketiga metode PSOLA dengan besar overlap yang berbeda terlihat bahwa semakin panjangnya data yang akan di overlap-kan maka menyebabkan panjang data dari

Sementara itu Deynara Septin Dwi Putri, yang meneliti pencemaran timbal dalam air terhadap kesehatan ternak dan manusia, juga meraih predikat sebagai wisudawan

“Dalam hal Komnas HAM berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan

Selain itu, peningkatan penambahan konsentrasi brokoli membuat nilai lightness pempek menjadi menurun juga diduga karena adanya pengaruh intensitas warna hijau yang

Pada umumnya perubahan nilai authoritycentrality pada pengujian skenario pembobotan ketiga ini juga cenderung menurun.Hanya beberapa user saja yang mengalami

Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada umur 80 HST dipengaruhi oleh interaksi antara perlakuan dosis pupuk urea + KCl dan interval panen.Tabel 3 menunjukkan bahwa

di antaranya adalah isyu rambut gimbal yang terdapat di masyarakat Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah dan isyu erupsi Gunung Merapi yang terjadi di Yogyakarta