• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Bentuk Baishun Dalam Sejarah Jepang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perubahan Bentuk Baishun Dalam Sejarah Jepang"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN BENTUK BAISHUN DALAM SEJARAH JEPANG

NIHON NO REKISHI NI BAISHUN NO HENKEI SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat

Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh : JEFRY SITEPU

100708064

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERUBAHAN BENTUK BAISHUN DALAM SEJARAH JEPANG

NIHON NO REKISHI NI BAISHUN NO HENKEI SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat

Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh : JEFRY SITEPU

100708064

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D. Drs. Amin Sihombing NIP : 19580704 1984 12 1 001 NIP : 19600403 1991 03 1 001

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Disetujui oleh :

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Medan, Oktober 2014 Departemen Sastra Jepang Ketua,

Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum NIP : 19600919 1988 03 1 001

(4)

PENGESAHAN Diterima Oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang Pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Pada Hari : Tanggal : Pukul :

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A NIP. 19511013 1976 03 1 001

Panitia Ujian:

No. Nama Tanda Tangan

1.

2.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa menyertai penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini guna memperoleh gelar Sarjana Sastra di Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Adapun yang menjadi judul skripsi ini

adalah “PERUBAHAN BENTUK BAISHUN DALAM SEJARAH JEPANG”.

Selama proses penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan baik moril, materi dan ide dari berbagai pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih, penghargaan dan penghormatan kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdyana, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D. selaku Pembimbing I, yang selalu memberikan waktu dan pemikirannya dalam membimbing, mengarahkan serta memberikan saran – saran kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.

(6)

5. Bapak dan Ibu dosen, serta Staf Pegawai di Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang dengan penuh kesabaran telah memberikan ilmu yang berguna bagi penulis serta dukungan dalam menyelesaian skripsi ini.

6. Terima kasih yang tidak terhingga kepada ayahanda Jaripin Sitepu dan ibunda Anna Heppy Girsang yang selalu memberi dukungan baik moril maupun materil dan selalu mendoakan sampai penulis dapat menyelesaikan studinya dan dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan juga kepada adik-adikku tersayang Rismian Sitepu dan Putrian sitepu yang telah mendukung dan senantiasa memberikan semangat kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan studinya.

7. Seluruh keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan dalam segala hal sampai berakhirnya studi ini.

8. Seluruh abang-abang 2008 dan 2009, Jono SS, Lono SS, Mars Alfredo Silaen SS, Febro Star SS, Riko Ananda Putra SS, Nugraha Alimurty, dan senior- senior lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang selalu senantiasa memberikan dorongan dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Seluruh rekan-rekan seperjuangan Sastra Jepang 2010, Onesi Banjar nahor, Baim Iki, Ridho Handoko, Budi Setiawan, Rauf Mazarie, Pandi Steel,

Ferdian Liem, Tira Mahardika, M. Risky, Barry, Freico “Cico”, Dila,

(7)

10.Serta kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu – persatu, yang telah memberikan bantuan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Hanya Tuhan yang dapat membalas kebaikan anda semua.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari isi maupun uraiannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, semoga skripsi ini nantinya dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis, pembaca khususnya mahasiswa/ mahasiswi Jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera lainnya.

Medan, Desember 2014 Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ...1

1.2 Rumusan Masalah ...5

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ...6

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ...6

1.4.1 Tinjauan Pustaka ...6

1.4.2 Kerangka Teori ...7

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...8

1.5.1 Tujuan ...8

1.5.2 Manfaat Penelitian...8

1.6 Metode Penelitian ...9

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP BAISHUN DALAM SEJARAH JEPANG 2.1Definisi Baishun ...10

2.2Kebijakan Pemerintah yang Mempengarui Baishun ...11

2.2.1 Kemiskinan dikalangan Petani ...11

2.2.2 Pembentukan Yukaku ...14

2.2.3 Pembentukan Rumah Bordil Pasca Perang Dunia II ...17

(9)

2.3Ba ishun dalam Sejarah Jepang ...21

BAB III PERUBAHAN BENTUK BAISHUN DALAM SEJARAH JEPANG 3.1 Bentuk-bentuk Baishun dalam sejarah Jepang ...30

3.1.1 Baishun Tradisional...30

3.1.2 Karayuki-san ...34

3.1.3 Baishun Masa Pasca Perang Dunia II ...35

3.1.4 Baishun Setelah Disahkannya Undang-Undang Anti Baishun di Jepang ...36

3.2 Penyebab perubahan bentuk Baishun di Jepang ...40

3.2.1 Penyebab Munculnya Baishun Tradisional Jepang ...40

3.2.2 Penyebab Munculnya Karayuki-san ...42

3.2.3 Penyebab Munculnya Baishun Pada Masa Perang Dunia ke II .45 3.2.4 Penyebab Munculnya Baishun Setelah Disahkannya Undang-Undang Anti Baishun di Jepang ...46

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ...51

4.2 Saran ...53 DAFTAR PUSTAKA

(10)

ABSTRAK

PERUBAHAN BENTUK BAISHUN DALAM SEJARAH JEPANG

Pelacuran adalah adaptasi kebudayaan yang salah digunakan oleh manusia dalam kehidupan mereka. Pelacuran berkembang mengikuti budaya tiap zaman. Di Jepang pelacuran sangat berkembang. Pelacuran dalam bahasa Jepang modern adalah Baishun. Baishun terdiri dari dua kanji, yakni bai (売) dan shun (春). Secara harafiah arti baishun adalah menjual pemuda.

Awal pelacuran di Jepang bekedok budaya. Dari zaman Nara sampai zaman feodal Edo, tidak terdapat hukum yang mengatur baishun. Peraturan tentang baishun mulai muncul pada akhir pemerintahan Toyotomi Hideyoshi, peraturan tersebut membatasi ruang baishunfu, tetapi tidak membatasi jumlahnya. Toyotomi Hideyoshi membangun sebuah daerah khusus baishun, yakni Shinamachi yukaku dan Shimabara yukaku. Pada periode berikutnya, Tokugawa membangun Yoshiwara yukaku. Alasan utama banyaknya jumlah baishunfu pada masa itu adalah kemiskinan. Banyak kebijakan pemerintah yang memojokkan kaum petani. Petani dibebani pajak yang tinggi sehingga rela menjual anak perempuan mereka untuk melunasi pajak dan mencukupi kebutuhan sehari-hari.

(11)

Masyarakat Jepang dibebaskan keluar-masuk Jepang. Hal ini menyebabkan kesempatan menjual diri keluar negeri. Perempuan Jepang yang menjual diri ke luar negeri pada masa itu lazim disebut san. Penyebab utama karayuki-sa n juga karena kemiskinan. Perempuan Jepang melirik keluar negeri karena pada waktu itu negara-negara luar negeri lebih makmur dari Jepang. Jepang mulai dikenal dunia setelah ikut menang dalam perang dunia I. Atas desakan organisasi penolakan baishun, Jepang memulangkan wanita-wanita yang menjadi kar ayuki-sa n dari luar negeri.

Pada akhir perang dunia II jepang mengalami kekalahan. Hancurnya beberapa kota besar menyebabkan kelumpuhan total bidang ekonomi Jepang. Masyarakat menderita kemiskinan yang parah. Akhir perang dunia II Jepang diduduki Amerika dengan pimpinan jendral MacArthur. Karena takut akan masa lalu jepang yang membuat perbudakan seks di negara jajahannya, Jepang menyediakan tempat untuk melayani nafsu tentara Amerika. Kebijakan pemerintah ini memberikan pilihan bagi perempuan Jepang untuk menjadi ba ishunfu. Pada masa ini, selain baishunfu berlisensi ada pula baishunfu jalanan (pa n-pan). Banyaknya penyakit kelamin yang disebabkan baishunfu Jepang ini membuat jendral MacArthur melarang baishun. Bersama- sama dengan organisasi penolakan baishun, MacArthur mempelopori undang-undang anti baishun. Akhirnya pada tanggal 21 mei 1956 disahhkanlah undang-undang anti baishun dan mulai berlaku pada 1 April 1957.

(12)
(13)

要 旨

日 本 歴史 売 春 変形

淫 売 人間 生活 間 遊い使 用さ 文 化 適応 あ 淫売 各

時 代 文化 い 発遉 淫売 日 本語 現代 的 売 春 言わ

売 春 売 春 漢字 作 直訳的 売 春 若 者

売 意味

始 日本 売 春 文化 奈 良時代 江戸封 時

代 売春 整え 規則 い 売 春 規則 豊臣 政治 時代 終わ

現 そ 規則 売春 婦 場 所 制限 数 い 豊臣

島原 く 階町 く い う特 別 所 次 政治 徳川

原 く い う所 そ 時 代 売 春婦 く さ 一番 原因

貧乏 あ 政府 決 定 農 民 負わせ 農民 高い 税金 負わ

せ 日曜生 活 需要 満 税 金 払 う 女 子 売

許 可

明 治時 代 政府 売 春 禁 始 特別 所 くさ 閉

立 売春 禁 い 仕 く 日 常生活 需

要 満 特別 売春 婦 立 売春婦 変 わ 多い 明治

時 代 日本 鎖国 破 日 本社会 日 本 出 入

外 国へ 売春 機会 開 外 国へ 自分 売 い 日本

(14)

因 貧 乏 あ 日 本女 性 外 国 日本 発 遉 外 国へ

売 春 日本 第一 次世 界大戦 い 勝 あ 世界 知

始 売春拒 絶連 対 日本 外 国 ーさ

い 女性 遉 帰 せ

第 次 世界大 戦 終わ 日 本 負 数 大都市 破 壊さ

日 本 経済 全く 止 う 社会 貧乏 第 次 世界大 戦

終 わ 日 本 アメ カ MacArthur 大 将 握 い 日 本

ア メ カ 軍 人 欲情 満足 特別 所 準備 政 府

決 定 日本 女性 売春 婦 機会 あ 時 代 特別 売

春 婦以 外 パ ンー パン いう 売春婦 あ 日 本 売春府 性 病 多 く

結局 MacArthur 大 将 売 春 禁 MacArthur 売 春 拒絶 連

い 反売 春 法 律 作 結局 五月 十 一日一 九五 六年 反売

春 法律 批准 さ 五月 一日一 九五七 年 適 用 始

反 売春 法律 批 准さ あ 売春 日 本 発 遉 そ

法律 弱 多 い そ 反 売春法 律 弱 日 本 水 商売 急速 発

遉 売春 入 一番 原 因 貧 乏 わ く 消費 生活 日本 女性

あ 日本 女性 金 い 値段 高 い外国 品 欲

そ そ 外 国品 買え う 売 春婦 う 現代 売春

婦 外 国女 性 多 い 発 遉 国 来 ふ う 自分

(15)

十九 日 千 七年 日本 水商 売 一 年間 十 四十 億米ド

(16)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah

Manusia adalah mahluk sosial yang dalam kesehariannya berinteraksi dengan sesamanya dengan menghasilkan apa yang disebut dengan peradaban. Semenjak terciptanya peradaban dan seiring dengan terus berkembangnya peradaban tersebut, melahirkan berbagai macam bentuk kebudayaan.

Ienaga Saburo dalam Situmorang (2009:2) membedakan pengertian kebudayaan (bunka) dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas kebudayaan adalah seluruh cara hidup manusia. Dia juga menjelaskan bahwa kebuadayaan ialah keseluruhan hal yang bukan alamiah. Misalanya ikan adalah suatu benda alamiah, tetapi dalam suatu masyarakat ikan tersebut dibakar atau ikan pepes atau shashimi tersebut adalah kebudayaan.

Sedangkan pengertian kebudayaan dalam arti sempit menurut Ienaga adalah terdiri dari ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni. Oleh karena itu di sini Ienaga mengatakan kebudayaann dalam arti luas adalah segala sesuatu yang bersifat konkrit yang diolah manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit adalah sama dengan pengertian budaya yang diuraikan diatas. Yaitu kebudayaan dalam arti sempit menurut Ienaga Saburo adalah sama dengan budaya yang berisikan sesuatu yang tidak ketara atau yang bersifat semiotik.

(17)

pengetahuan, nilai, norma dan juga sistem kepercayaan di dalam kehidupan masyarakat.

Pelacuran adalah adaptasi dari kebudayaan yang salah digunakan oleh manusia dalam kehidupan mereka. Terlihat jelas dalam sejarah perkembangan pelacuran yang bersanding erat dengan kepercayaan keagamaan. Ada istilah

“pelacur kuil” (temple prostitues). pelacuran model ini ditemukan pada

kebudayaan zaman Babilonia, Mesir Kuno, Palestina Kuno, Yunani, dan Romawi. Para pelacur ini berkeliaran dijalan-jalan dan dikedai-kedai minuman, mencari mangsa laki-laki. Kemudian, penghasilannya diserahkan kepada para pendeta untuk membantu pembangunan kuil. (Ihsan 2004:130)

Bonger dalam bukunya yang berjudul Versprede Gerchiften mengatakan bahwa

Prostitutie het ma a tsha pelijke vershijnsel da t vrowen zich beroepsma tig tot hel plegen va n sexuele ha ndelingen.

Terjemahan :

Pelacuran adalah gejala sosial, dimana wanita menyediakan dirinya untuk perbuatan sexual sebagai mata pencahariannya.

(18)

Pelacuran dalam bahasa Jepang disebut baishun (売春). Baishun berasal

dari kanji menjual (売) dan kanji musim semi (春), yang dalam arti harafiah berarti menjual pemuda. Baishun mengalami perubahan bentuk disetiap zamannya.

Sejarah Jepang terbagi dari beberapa zaman, zaman awal sejarah Jepang dimulai dari adanya pemerintahan di Jepang. Zaman Nara adalah zaman awal sejara Jepang. Di Zaman Nara juga mulai muncul baishun yang berkedok pementasan budaya. Kemudian dikarenakan tidak terkontrolnya jumlah baishun di jalanan kota, pemerintahan Toyotomi Hideyoshi membangun yukaku pertama di Osaka dan Kyoto, dan pada masa pemerintahan Tokugawa, yoshiwara yukaku dibangun di Edo.

Kemiskinan adalah alasan yang utama di Jepang pada masa feodal sampai pasca perang dunia ke II untuk masuk kedalam baishun. Banyak kaum petani yang menjual anak perempuan mereka ke yukaku demi mencukupi kebutuhan keluarga. Hal ini dimaklumi karena Jepang menganut sistem patriarkhi yang menomorduakan kehidupan perempuan sebagai warga masyarakat.

(19)

untuk memikirkan seks sebagai hal yang menakutkan dan memalukan seperti wanita barat. Baishun mempunyai sejarah panjang di Jepang. Sampai pada tahun 1617 baishun benar-benar legal di Jepang, tetapi pada akhir tahun itu keshogunan Tokugawa mengeluarkan perintah untuk membatasi baishun ke daerah-daerah tertentu di pinggiran kota. Pada masa itu terdapat klasifikasi baishun, yojo (wanita kesenangan) dan oiran derajatnya yang tertinggi dari gadis-gadis rumah bordil yang pada dasarnya adalah budak. Oiran mulai berkurang jumlahnya dan digantikan oleh geisha pada abad 18 dan benar-benar menghilang pada tahun 1761. Pada akhir abad 18 geisha secara hukum dibedakan dari pelacur, geisha dilarang menjual seks sama sekali. Baishun Jepang juga terjadi diluar negeri yang dikenal dengan karayuki-san, dimana wanita-wanita Jepang mencari pekerjaan diluar negeri dengan melacurkan dirinya yang dimulai dari zaman Meiji. Karena ba ishun didalam negeri yang amatir dan kurang teliti tentang penggunaan kondom, tingkat penyakit kelamin dikalangan tentara Amerika melonjak. Dibawah tekanan kuat dari Amerika, pemerintah Jepang secara hukum melarang baishun untuk pertama kalinya pada tahun 1956.

(20)

Penulis memilih menganalisis perubahan bentuk baishun dalam sejarah Jepang karena penulis tertarik dengan baishun yang tetap berkembang walaupun telah diberlakukannya undang-undang anti baishun (売 春 防止法, ba ishun boushi hou) tahun 1956. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengambil judul “PERUBAHAN BENTUK BAISHUN DALAM SEJARAH JEPANG”.

1.2Rumusan Masalah

Guba dalam Moleong (2007:93) mendefinisikan masalah sebagai suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara 2 faktor atau lebih yang menghasilkan situasi lain yang menyeret mereka dalam hubungan yang rumit yang mereka sendiri sulit memahaminya.

Baishun adalah profesi paling tua di dunia. Disetiap negara pasti mengalami masalah terhadap adanya kegiatan baishun. Demikian pula di Jepang, negara dibagian timur yang memiliki norma-norma yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat pastilah memiliki masalah dengan baishun (dalam bahasa Jepangnya adalah Baishun). Masalah itu yang membuat baishun berubah bentuknya dari zaman ke zaman. Penulis menggunakan teori pendekatan historis sebagai acuan untuk menganalisa perubahan bentuk baishun dalam sejarah Jepang.

Berdasarkan penguraian diatas, maka penulis mengangkat permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana bentuk-bentuk baishun dalam sejarah Jepang?

(21)

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan-permasalahan yang ada, perlu adanya ruang lingkup dalam pembatasan masalah tersebut. Hal ini bertujuan agar penelitian ini tidak menjadi luas dan tetap terfokus pada masalah yang ingin diteliti.

Dalam analisis ini, penulis hanya fokus pada perubahan dan penyebab perubahan bentuk baishun dalam sejarah Jepang, dan baishun yang diteliti adalah baishun dari wanita. Penulis tidak membahas budak seks yang dibentuk Jepang pada masa penjajahannya yang disebut ianfu. Penulis menganalisis penelitian ini dengan menggunakan pendekatan historis sebagai acuan.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

(22)

penjelasan itu yang memberi ciri sosial kepada suatu masalah sehingga memenuhi kriteria sosial. Pertama, keresahan itu mencerminkan bahwa masalah itu terkait dengan kesadaran moral anggota–anggota masyarakat. Kedua, keresahan umum juga berarti bahwa dalam masyarakat itu telah mulai terbentuk persamaan presepsi terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh adanya masalah. Masalah sosial selalu terkait dengan kestabilan dan keadaan normal masyarakat itu. Selalu terkait dengan nilai-nilai dan harapan luhur bersama masyarakat tersebut. Ketiga, adalah mulai berkembangnya kesadaran bahwa masalah ini tidak dapat diatasi sendiri– sendiri tetapi harus dilakukan dengan menggalang kerjasama diantara anggota– anggota masyarakat yang mengalaminya.

Setiap masyarakat di dunia pasti menghadapi masalah sosial. Banyak macam masalah sosial yang terjadi dimasyarakat. Masalah sosial ini terjadi diakarenakan ketidaksesuaian harapan masyarakat dengan kenyataan yang terjadi. Baishun adalah salah satu masalah sosial di masyarakat. Dan masalah sosial dalam masyarakat membuat baishun di Jepang berubah bentuknya disetiap zaman

1.4.2 Kerangka Teori

(23)

Menurut Koentjaraningrat (1976 :56) pendekatan historis adalah suatu pendekatan yang menekankan tentang pemahaman budaya masyarakat, latar belakang peristiwa sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya wujud-wujud kebudayaan serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan maupun kebuayaan itu sendiri pada umumnya dari zaman ke zaman. Melalui pendekatan historis ini penulis ingin memberikan gambaran dan penjelasan latar belakang perubahan bentuk baishun dalam sejarah Jepang.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penulis merangkum tujuan dari penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk baishun dalam sejarah Jepang

2. Untuk mengetahui penyebab perubahan bentuk baishun dalam sejarah Jepang

1.5.2 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini:

1. Bagi peneliti dan pembaca, dapat menambah wawasan mengenai perubahan bentuk baishun dalam sejarah Jepang.

(24)

1.6 Metode Penelitian

Dalam penelitian sangat dibutuhkan metode penelitian sebagai bahan penunjang dalam penulisan. Metode adalah cara pelaksanaan penelitian. Di dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif analisis.

Menurut Nyoman Kutha ratna (2004:53) metode deskriptif analisi dilakukan dengan cara mendeskripsikan, dengan maksud untuk menemukan unsur-unsurnya, kemudian dianalisis, bahkan juga diperbandingkan. Di dalam metode ini, penulis tidak hanya menguraikan, namun juga memberikan pemahaman dan penjelasan.

Dalam penulisan ini, penulis menjelaskan dengan secermat mungkin apa saja yang menjadi masalah sosial yang berhubungan dengan kegiatan baishun dengan menggunakan teori yang ada. Teori tersebut adalah teori historis dan sosiologis.

(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP “BAISHUN DALAM SEJARAH JEPANG”

2.1 Defenisi Baishun

Kegiatan baishun(prostitusi) adalah suatu kegiatan yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan. Prostitusi berasal dari bahasa latin yaitu pro-situare yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan perbuatan persundalan, percabulan, pergendakan. Dalam bahasa inggris baishun disebut prostitution yang artinya tidak jauh berbeda dengan bahasa latin yaitu, prostiture persundalan dan ketunasilaan. Orang yang melakukan kegiatan pelacuran disebut pelacur yang dikenal juga dengan WTS atau Wanita Tuna Susila (Kartono 1997:177).

Dalam bahasa Jepang modern prostitusi disebut baishun. Baishun berasal dari 2 kanji, yakni ba i(売) yang artinya menjual dan shun(春) yang artinya musim semi. Secara harafiah arti kata baishun adalah menjual pemuda. Undang-undang anti baishun Jepang (売 春 防 止 法,baishun Boushi hou) yang dikeluarkan pada tahun 1956 pada pasal 2 menyebutkan defenisi dari baishun

売春

、対償

、又

約束

不特定

相手

性交

いう。

売春防止法第

章第

Terjemahan

Pasal 2 (pengertian): "Kata untuk prostitusi yang digunakan di hukum ini dapat berarti persetubuhan yang tidak ditentukan oleh pihak lain untuk bayaran

atau janji untuk dibayar”.

(26)

buy a body. This ha s ta ken the onus offwomen initia ting the excha nge of sex for money ( Chalmers 2002:93).

Terjemahan

Kata untuk prostitusi, baishun, berarti menjual tubuh seseorang (makna harafiah shun adalah musim semi dan metaforit dari gadis yang boleh kawin) telah diubah kepengucapan yang sama tetapi yang memakai awal kanji yang berbeda yang berarti membeli tubuh. Ini ditujukan untuk perempuan yang memulai pertukaran seks untuk uang ( Chalmers 2002:93).

2.2 Kebijakan Pemerintah yang Mempengaruhi Baishun

2.2.1 Kemiskinan dikalangan Petani

Kemiskinan adalah salah satu penyebab munculnya baishun. Ketidak mampuan memenuhi kebutuhan hidup membuat perempuan memilih jalan dengan menjual tubuh mereka. Di zaman feodal Jepang banyak orang tua menjual anak perempuan mereka demi memenuhi kebutuhan keluarga. Penjualan anak perempuan ini dilazimkan karena Jepang menganut sistem patriarkhi yang memiliki landasan legal konfusianis seperti yang dijalankan masyarakat pada zaman Tokugawa, membuat kaum perempuan terpinggirkan dan menjadi warga masyarakat kelas dua (Wulandari 2013:79).

(27)

dan penyembelih binatang. Jumlah mereka yang besar seharusnya juga menguntungkan, tetapi secara politik kedudukan mereka ternyata lemah, karena pemerintahan dikuasai oleh kaum militer dengan shogun sebagai pemimpin tertinggi. Petani dibebani pajak tahunan (nengu) berupa hasil panen yang besarnya 50%-60% dari hasil panen, bahkan beberapa ha n (wilayah kekuasaan para tuan tanah/daimyo) ada yang mencapai 70%. Ini berarti bagian yang harus diserahkan kepada pemerinta sebagai pajak dapat mencapai lebih dari setengah hasil panen secara keseluruhan. Sisanya yang kurang dari setengahnya digunakan untuk kebutuhan keluarga. Akibat kebijakan ini, kaum petani yang merupakan mayoritas penduduk, termasuk di daerah asal karayuki-san yaitu Amakusha dan Shimabara tetap hidup dalam kemiskinan (Pangastoeti 2009:141).

(28)

Para rentenir kemudian memanfaatkan keadaan kaum petani yang miskin. Mereka merekrut anak perempuan petani untuk menjadi pelacur dengan mengatur kedatangan perekrutan. Mereka datang bertepatan ketika petani lokal sangat miskin: awal musim semi ketika toko-toko makanan yang menipis dan akhir musim panas ketika pembayaran pajak yang jatuh tempo.

(29)

di kampung tidak mempunyai pilihan lain selain menjadi pelacur (Pangastoeti 2009:141).

2.2.2 Pembentukan Yukaku

Istilah yang paling umum bagi seorang wanita yang bekerja di sebuah rumah bordil (yukaku) yang berarti wanita yang bermain, yu berasal dari kata kerja asobu yang berarti untuk bermain (Swington 1995:58). Gadis-gadis dan wanita yang bekerja disana mendapat pemeriksaan kesehatan dan makanan dan tempat tinggal sebagai imbalan untuk menjual tubuh mereka, tetapi mereka dijual kerumah bordil untuk setidaknya sepuluh tahun, yang setidaknya menjadi standar. Untuk pekerjaan yang mereka tampilkan, mereka mendapat seperti uang muka untuk layanan sepuluh tahun, tetapi mereka berusaha mencari pelamar kaya yang bersedia membayar untuk pembebasan mereka dan menjadi gundik atau istri. Kebanyakan yujo ini berhasil keluar lebih awal, karena selama zaman Edo pria

kalah jumlah dari wanita, dan bahkan untuk “bebek jelek”, menemukan seorang

pria untuk menikah bukan perbuatan susah (Helgadottir 2011:36).

(30)

mengincar perhatian mereka. Tepat dibawah mereka adala koshi yang mengira mereka juga berpangkat tinggi tetapi hanya sepertiga dari harga tayu. Berikutnya adalah sancha , perempuan yang dulunya bekerja sebagai pelayan di rumah teh tetapi ternyata pelacur dan biaya mereka adalah sepertiga dari koshi. Wanita yang berasal dari salah satu dari tiga yang disebutkan diatas biasa menyebut diri mereka oira n (pangkat tinggi pelacur), tetapi dibawah mereka ada tsubone, pelacur yang bekerja dari kamar mereka sendiri dan yang terendah adalah hashi yang biayanya begitu sedikit, sekitar seperseratus dari harga tayu (Helgadottir 2011:37).

Toyotomi Hideyoshi membangun yukaku dengan alasan mengumpulkan banyaknya yujo yang berkeliaran di kota guna merapikan Osaka dan Kyoto dan mengawasi yujo lebih efisien. Yukaku pertama di Jepang dibangun di Osaka dan Kyoto. Ini adalah asal-usul Shimabara Yukaku di Kyoto dan Shinamachi Yukaku

di Osaka dan nantinya dipanggil “Tiga Yuka ku Besar” bersama-sama dengan

Yoshiwara Yukaku di Edo.

Pada zaman Edo, Tokugawa membangun Yoshiwara Yukaku. Yoshiwara adalah rumah bordil yang paling terkenal di zaman Edo. Pada tahun 1612

pengusaha sebuah rumah bordil yang bernama Jin’emon mengajukan petisi

(31)

Jin’emon ingin memastikan bahwa permintaannya akan dipertimbangkan,

sehingga ia mengajukan banding terhadap kepentingan keshogunan dalam melestarikan tatanan sosial dan politik. Pertama, dia mengambil stok situasi di pertumbuhan kota benteng, yang memiliki peningkatan pesat dan populasi didominasi oleh kaum laki-laki. Ini telah menciptakan permintaan yang kuat terhadap jasa seks, yang pengusaha rumah bordil bersemangat menyediakannya. Tapi, perdagangan seks yang tidak diatur menyebabkan sejumlah masalah, yang

dipastikan Jin’emon untuk menguraikan secara rinci; gadis-gadis muda dari

keluarga “baik” bisa diculik dan dijual kerumah bordil, samurai bisa

merencanakan pemberontakan di apartemen pribadi pelacur, dan pedagang magang bisa menghamburkan- hamburkan upah mereka dengan pesta pora bersama wanita. Setelah menekankan bahaya meninggalkan pasar yang

berkembang tidak diatur, Jin’emon mengusulkan solusi: jika shogun memberinya

sebidang tanah dan monopoli pada perdagangan seks, dia akan menjamin menahan bahaya ini. Sebagai gambaran etikad baik, pemilik bordil akan membatasi operasi mereka yang baru dibuat “kuartal kesenangan” dimana mereka akan merekam datang dan perginya pelanggan dan melaporkan kegiatan yang

mencurigakan. Permintaan Jin’emon bukan tanpa presenden, pada tahun 1589, 2

samurai tidak bertuan (ronin) telah mengajukan proposal yang mirip kepada Hideyoshi yang menguasai ibukota Kyoto, dan Hideyoshi memberikan mereka

sebuah hadiah menguntungkan yakni tanah dipusat kota, Jin’emon mengharapkan

(32)

hadiah itu bergantung pada tawaran Jin’emon membatasi kekacauan yang terkait

dengan baishun. Shogun menegaskan bahwa pemilik bordil harus mematuhi peraturan sumtuary, tindakan memantau pelanggan, dan melarang perempuan mereka untuk bekerja di luar kabupaten (Stanley 2012:45-46).

2.2.3 Pembentukan rumah bordil pasca perang dunia II

Perang berakhir bagi Jepang setelah pengumuman penyerahan Kaisar Showa Hirohito disiarkan oleh radio pada tanggal 15 Agustus 1945. Pendudukan Jepang oleh sekutu (terutama orang- orang dari Amerika) resmi dimulai pada 1 september 1945 dan tetap berlaku sampai 1952. Jendral U.S Douglas MacArtur dan staf birokrasi militer Amerika (disebut sebagai Supreme Command for the Allied Power, SCAP) mengambil pendudukan. SCAP melaksanakan berbagai reformasi politik, termasuk mengeluarkan sebuah konstitusi baru yang mempromosikan kesetaraan hak bagi perempuan. Konstitusi baru memberikan perempuan hak pilih sebagai warga negara hukum penuh untuk pertama kalinya.

Setelah perang dunia II, namun bukannya penjajah, Jepang menjadi dijajah. Pemerintah jepang menganggap bahwa kejahatan seks tentara Jepang yang telah dilakukan di negara yang mereka jajah mungkin terjadi di Jepang, akibatnya pemerintah mendukung sistem prostitusi untuk melayani pasukan militer Amerika Serikat.

(33)

pembentukan dari “comfort institutions” bentuk pelacuran sistematis untuk militer

Amerika, lembaga- lembaga ini akhirnya disebut “orga nized houses” dan tempat dimana pelacur swasta berkumpul di daerah berlisensi. Pemerintah Jepang juga

membangun “Recrea tiona l Amusement Associa tion/R.A.A” untuk merekrut

pelacur untuk melayani personil militer Amerika Serikat. R.A.A membuat iklan di koran dengan teks-teks seperti, “PERLU WANITA JEPANG BARU!BEKERJA UNTUK TRANSAKSI PASCA-PERANG DI LEMBAGA NASIONAL YANG

MENDESAK”

Keadaan Jepang setelah perang dunia II sangat miskin. Beberapa kota besar di Jepang hancur oleh bom atom yang mengakibatkan kelumpuhan ekonomi total. Kebijakan pemerintah membuka rumah bordil untuk melayani militer Amerika seperti memberikan pilihan bagi perempuan-perempuan Jepang untuk menjadi baishun. Seperti di Hiroshima, lima bulan setelah bom atom telah memiliki 566 pekerja seks yang terdaftar di 7 rumah di kota dan sekitarnya.

2.2.4 Pengesahan Undang-undang anti baishun (売 春 防止 法, baishun boushi hou)

(34)

memanfaatkan baishun berlisensi di Jepang modern yang menunjukkan Jepang keterbelakangan dan pra-modernitas (Harada 2002:9). Namun, sistem ini dihapuskan dalam nama saja dan sebenarnya direorganisasi dibawah kedok baru bisnis. Sistem modern baishun di Jepang membatasi pelacur tanpa ijin selama periode Meiji, namun pemerintah diam-diam mengijinkan baishunfu swasta untuk mlanjutkan bisnis mereka dengan pembenaran bahwa perempuan mendapat penghasilan tambahan dan terlibat dalam baishun atas kehendak bebas mereka. Banyak baishunfu berlisensi menjadi baishunfu swasta karena mereka terlibat hutang berat dan tidak mempunyai cara lain untuk hidup.

Masyarakat Jepang telah lama menyadari bahwa baishun adalah kegiatan yang merusak moral masyarakat. Kesadaran ini muncul karena masuknya pemikiran-pemikiran dari dunia barat terlebih ajaran-ajaran Kristen yang dibawa missionaris, namun negara memelihara baishun sebagai pemasukan uang kas negara yang membuat perkembangan baishun tidak banyak terganggu.banayk gerakan- gerakan yang telah dibuat demi melawan baishun. Tahun 1886 The

Women’s Christian Temperance Union-WCTU/Nihon Kir isutokyo Kyofukai mulai

(35)

Yuka ku modern yang diciptakan Jepang untuk melayani militer Amerika pada masa pendudukan banyak menyebarkan penyakit kelamin. MacArthur bersama dengan gerakan- gerakan penolakan baishun mendesak pemerintah Jepang untuk menghapuskan sistem baishun berlisensi karena kegiatan ini tidak bermoral. Pemerinta Jepang mulai menerima bahwa kenyataannya bahwa kegiatan ba ishun berlisensi tidak bermoral. Pada sore hari tanggal 5 maret 1949, sidang publik pertama untuk Tokyo anti baishun (Baishunto Torisimari Jorei) berlangsung di gedung majelis Meropolitan yang mendatangkan audiens yang termasuk komisaris polisi serta pemilik baishun berlisensi. Setelah proses perjuangan penghapusan baisun yang begitu panjang, pada tanggal 21 Mei 1956 disahkanlah undang-undang anti baishun dan mulai berlaku pada 1 April 1957.

(36)

2.3Baishun dalam Sejarah Jepang

Ba ishun dikatakan profesi tertua umat manusia, tetapi untuk membahas asal dari baishun sangatlah sulit. Menurut salah satu teori, asal keinginan untuk kenikmatan seksual manusia dimulai dari prehominid serebral, yakni dimana manusia telah mencapai tingkat kebosanan dan untuk menutup kebosanan teersebut melakukan hubungan seksual yang tidak bertujuan untuk reproduksi ( Ono 2011: 3).

Awal baishun Jepang terlihat dalam profesi penghibur. Goodwin menyebutkan bahwa yang paling mencolok diantara mereka adalah asobi (juga dikenal sebagai Yukun) sering ditemukan menghibur wisatawan di pelabuhan laut dan sungai. Kelompok penting lainnya adalah perempuan dari kelompok - kelompok dalang disebut kugutsu dan penari yang dikenal sebagai shirabyoushi yang muncul diakhir periode Heian. Kita tahu tentang wanita ini karena banyak dari mereka yang terhibur dan menjadi pasangan seksual orang terkemuka yang pengalamannya dicatat dalam buku harian pria atau dalam laporan yang ditulis orang lain (Goodwin 2007:1).

(37)

sekitar satu juta penduduk dipertengahan abad ke-19, sekitar 60 persen diantaranya adalah rakyat jelata. Daftar penduduk dipertengahan tahun 1840-an sebanyak tujuh ribu yujo di Yoshiwara dan sekitar seribu pelayan gadis (meshimori onna ) di stasiun posting dipinggiran kota, menghasilkan sekitar delapan ribu baishunfu resmi diakui.

Mengenal baishun pada zaman Edo tidak terlepas dari Yoshiwara. Yoshiwara adalah rumah bordil yang paling terkenal di Zaman Edo. Pada tahun

1612 pengusaha sebuah rumah bordil yang bernama Jin’emon mengajukan petisi

kepada keshogunan Tokugawa meminta pemerintah baru untuk mengenali bisnis dan memberinya sebidang tanah dimana ia dan rekan-rekannya bisa menjalankan perdagangan mereka. Dia menyusun penjelasannya dengan hati- hati. Ketika rekan- rekannya telah mengajukan petisi ke shogun untuk diakui sebagai serikat pada tahun 1605, para hakim telah menjawab bahwa mereka tidak melihat alasan untuk memperpanjang hak-hak istimewa untuk pengusaha rumah bordil. Kali ini

Jin’emon ingin memastikan bahwa permintaannya akan dipertimbangkan ,

sehingga ia mengajukan banding terhadap kepentingan keshogunan dalam melestarikan tatanan sosial dan politik. Pertama, dia mengambil stok situasi di pertumbuhan kota benteng, yang memiliki peningkatan pesat dan populasi didominasi oleh kaum laki-laki. Ini telah menciptakan permintaan yang kuat terhadap jasa seks, yang pengusaha rumah bordil bersemangat menyediakannya. Tapi, perdagangan seks yang tidak diatur menyebabkan sejumlah masalah, yang

dipastikan Jin’emon untuk menguraikan secara rinci; gadis-gadis muda dari

keluarga “baik” bisa diculik dan dijual kerumah bordil, samurai bisa

(38)

magang bisa menghamburkan- hamburkan upah mereka dengan pesta pora bersama wanita. Setelah menekankan bahaya meninggalkan pasar yang berkembang tidak diatur, Jin’emon mengusulkan solusi: jika shogun memberinya sebidang tanah dan monopoli pada perdagangan seks, dia akan menjamin menahan bahaya ini. Sebagai gambaran etikad baik, pemilik bordil akan

membatasi operasi mereka yang baru dibuat “kuartal kesenangan” dimana mereka

akan merekam datang dan perginya pelanggan dan melaporkan kegiatan yang

mencurigakan. Permintaan Jin’emon bukan tanpa presenden, pada tahun 1589, 2

samurai tidak bertuan (ronin) telah mengajukan proposal yang mirip kepada Hideyoshi yang menguasai ibukota Kyoto, dan Hideyoshi memberikan mereka

sebuah hadiah menguntungkan yakni tanah dipusat kota, Jin’emon mengharapkan

penyelesaian serupa di Edo. Setelah menunggu jawaban selama 5 tahun, akhirnya pada tahun 1617 pemerintah memberikan permintaannya, memberikannya sebidang tanah yang nyaman tapi berawa di pinggiran kota. Menjelaskan bahwa

hadiah itu bergantung pada tawaran Jin’emon membatasi kekacauan yang terkait

dengan baishun. Shogun menegaskan bahwa pemilik bordil harus mematuhi peraturan sumtuary, tindakan memantau pelanggan, dan melarang perempuan mereka untuk bekerja di luar kabupaten (Stanley 2012:45-46).

(39)

nyata, tidak ada bal beras, gulungan sutera, tas garam, atau baut kain katun untuk dihitung sebagai ruang lingkup. Sebaliknya, pengaruh harus diukur dalam jangkauan geografis dan jumlah perempuan yang bekerja (Stanley 2012:1).

Pada zaman feodal, kaum petani yang berekonomi rendah menyebabkan penyakit sosial. Untuk bertahan hidup, para petani dan nelayan miskin menjual anak gadisnya ke agen dengan dalih adopsi untuk dijadikan geisha, bahkan pelacur. Praktik penjualan anak gadis merupakan suatu hal yang lumrah sejak abad empat belas, dan menjadi semakin intensif sejak industri Jepang mulai berkembang pada abad ke sembilan belas. Seperti yang dinyatakan Sheldon Garon dalam Wulandari bahwa, praktik penjualan anak perempuan menjadi suatu hal yang biasa di kalangan petani- petani miskin yang tidak dapat memberi makan anak- anaknya. Akibatnya terjadi ledakan populasi urban buruh di kota-kota, diikuti dengan tumbuhnya rumah- rumah pelacur di pusat- pusat industri.

Tidak hanya kemiskinan yang menjadi alasan adanya baishun dimasa feodal Jepang. Banyak faktor yang menunjukkan bahwa kondisi ini didukung oleh

sufficient condition berupa kondisi sosial dan kultural. Pertanyaan “bagaimana”

sangat penting dikemukakan, terutama untuk mengungkap sufficient condition yang antara lain berupa penculikan, perdagangan manusia, dan perbudakan terselubung. Dua unsur pertama banyak dilakukan oleh para perantara atau broker di kampung halaman dan di wilayah atau pelabuhan transit, dan unsur ketiga banyak dilakukan oleh para mucikari yang menjadi oyakata (majikan) atau oleh

(40)

Pada masa pemerintahan Meiji, banyak terjadi imigrasi masyarakat Jepang ke negara- negara lain. Menurut Yano dalam Pangastoeti, pada zaman Meiji (1868-1962), untuk mendukung program utama yang disebut fukoku kyoohei (negara kaya militer kuat), pemerintah Jepang menekankan pembangunan sektor industri dan hubungan dengan negara- negara barat. Asia (selain Cina) bukanlah wilayah yang diangga penting karena banyak yang sedang dalam penguasaan negara- negara barat. Namun tidak berarti sama sekali tidak ada orang Jepang yang melakukan kontak dengan negara Asia, dan pemerintah Meiji pun sebenarnya mengakui hal ini (Pangastoeti 2009:138).

Dengan program terbukanya Jepang terhadap negara- negara luar, maka semakin banyak para pemuda pergi ke barat untuk belajar tentang barat. Dimulai dari utusan Iwakura Tomoni, pemuda- pemuda lain terutama dari golongan elit banyak yang keluar negeri untuk belajar. Namun, ada pula orang-orang dari kalangan rakyat biasa yang pergi ke luar negeri dengan tujuan mencari penghidupan yang lebih baik (Wulandari 2013:74).

(41)

Pada tahun 1887, diketahui lebih dari 100 pelacur Jepang di Singapura. Selama tahun 1889, Badan legeslatif, badan lokal administrasi Inggrris yang mengurus masalah permukiman di sekitar Selat malaka, telah mengeluarkan 104 izin kepada pelacur Jepang untuk beroperasi. Dengan demikian, baishun di rumah bordil adalah industri Jepang yang paling aktif secara ekonomi di kawasan Asia Tenggara pada pergantian abad ke-20 (Wulandari 2013:81).

(42)

Pada masa perang dunia I dan perang dunia II, kehidupan para pelacur Jepang termasuk dalam periode vakum. Perempuan Jepang dipaksa bekerja di pabrik (bidang industrialisasi) untuk membantu perang. Mengenai kehidupan seks para tentara Jepang, mereka membuat kata wanita kesenangan, yakni wanita yang secara sukarela memberikan seks kepada tentara Jepang. Namun, dalam faktanya wanita kesenangan itu adalah korban dari kejahatan perang. Mereka dipaksa untuk melayani kebutuhan seks para tentara Jepang, para wanita ini diculik dan diperkosa oleh tentara Jepang.

Setelah kekalahan Jepang dalam perang dunia II, Jepang diduduki oleh Amerika kurang lebih selama tujuh tahun (Agustus 1945 sampai April 1952). Pada awal 1933, militer Jepang di luar negeri beralih ke metode yang lebih otoriter untuk mengatur layanan seksual yang juga mengandung penyakit. Mereka

mendirikan yang mereka kenal dengan “stasiun kenyamanan” yang pada

kenyataannya menjadi situs perbudakan seksual (Kovner 2012:21). “Stasiun

kenyamanan” dibangun karena terjadinya pemerkosaan warga sipil cina yang

pertama terjadi pada insiden Shanghai 1932 dan skala yang lebih besar pada perang habis-habisan 1937. Pengalaman di luar negeri ini menyebabkan para pejabat Jepang takut bahwa pasukan pendudukan akan terlibat dalam pemerkosaan massal perempuan Jepang, sehingga mereka mengambil keputusan

untuk mengatur “stasiun kenyamanan” bagi tentara Amerika (Kovner 2012:22).

(43)

mengeluarkan undang-undang anti baishun. Hal ini sesuai dengan tujuan dari undang- undang anti baishun Jepang pada pasal yang ke-1, yakni mengingat fakta bahwa baishun merusak martabat manusia, merusak moral seks, dan merusak akhlak yang baik dari masyarakat, untuk mencegah baishun dengan tindakan hukum, dll. Mempromosikan baishun dan pada saat yang sama dengan mengambil langkah- langkah untuk bimbingan sifat, perlindungan dan rehabilitasi perempuan seperti yang ditangkap dari karakter mereka dan perilaku dan lingkungan melacurkan (Wakabayashi 2003:164).

Banyak yang percaya alasan utama perempuan beralih ke baishun adalah

“kemiskinan”. Namun, pada tahun 1986 dan tahun 1997 survei pemerintah

menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen pelacur Jepang berasal dari kelas menengah (Wakabayashi 2003:152). Tingkat konsumerisme penduduk Jepang pada saat itu sangat tinggi. Keinginan para wanita Jepang untuk memiliki barang- barang mewah tidak sesuai dengan upah gaji yang didapatnya dari pekerjaan. Ada perbedaan kekuatan ekonomi yang signifikan antara pria dan wanita di Jepang. Pada tahun 2002, upah rata-rata wanita adalah 66,5 persen dari upah rata-rata pria (Wakabayashi 2003:152).

(44)

20.000 yen. Namun, menurut mereka uang saku tersebut tidak cukup memenuhi semua kebutuhan mereka, termasuk untuk pergi bermain serta berbelanja pakaian dan alat rias. Melalui setiap transaksi enjokosai mereka bisa mendapatkan minimal 50.000 yen. Sedangkan dalam kondisi terbaik, mereka bisa melakukan enjokosai tiga kali dalam sehari, sehingga dalam sebulan mereka dapat mengumpulkan sekitar 400.000- 500.000 yen (Liska 2011:65).

Ba ishun di Jepang sekarang dipenuhi oleh orang-orang luar negeri, kebanyakan negeri-negeri yang sedang berkembang. Seperti yang disebutkan dalam bangkok post 25 desember 2013, The Polaris Project, sebuah organisasi non-pemerintah, memperkirakan bahwa ada sampai 54.000 korban perdagangan manusia yang dibeli dan dijual di Jepang setiap tahun. Laporan tersebut menyoroti kasus-kasus dimana perempuan dari Filipina, Thailand, dan korea selatan diperdagangkan ke Jepang untuk bekerja di Industri baishun.

(45)

BAB III

PERUBAHAN BENTUK BAISHUN DALAM SEJARAH JEPANG

3.1 Bentuk-bentuk Baishun dalam Sejarah Jepang

Dokumentasi paling awal dari baishun ditemukan setidaknya dari periode Nara (abad ke-8). Pelacur ini milik yurisdiksi kepala tertentu dari stasiun posting yang menyarankan mereka untuk mencari nafkah dengan menghibur orang, terutama wisatawan di kota- kota padat penduduk seperti Kyoto. Selama periode Kamakura, meningkatnya jumlah wisatawan antara Kyoto dan wilayah Kanto menyebabkan pertumbuhan perdagangan baishun. Sebagai populasi mereka yang meningkat, wanita kesenangan datang untuk diselenggarakan dibawah pemasok tertentu baishun seperti choja (kepala pelacur) atau selir penguasa lokal.

3.1.1 Baishun Tradisional 1. Asobi

Hampir tidak ada undang- undang tentang perdagangan seks dan komersiaalisasi lengkap ekonomi membuat sulit untuk membedakan pelacur yang dibayar dari mitra seksual yang diberi hadiah. Bahkan, banyak literatur tentang interaksi seksual dengan perempuan seperti asobi dipertahankan setidaknya dengan kesan bahwa yang mereka terima dianggap hadiah, bukan pembayaran. Namun, meskipun beberapa ahli berpendapat bahwa seks tidak diperdagangkan sampai abad ke empat belas, beberapa abad ke sebelas rekening mengacu pada

pertukaran layanan seks untuk pembayaran sebagai “dijual” oleh kali pertengahan

(46)

Dalam hal ini asobi dan yang lain dapat dianggap sebagai baishun (Goodwin 2007:3).

Ada 2 teori yang menjelaskan awal mulanya asobi. Teori pertama berpendapat bahwa asobi ditelusuri garis keturunan mereka dari dukun perempuan yang beralih ke usaha sekuler hiburan dan baishun. Teori yang lain berpendapat bahwa tradisi menggabungkan performance dan baishun berasal dari benua asia dan dibawa ke Jepang oleh imigran benua.

Wamyosho merupakan sebuah kamus yang memberikan pengucapan dan etimologi istilah yang ditulis dalam aksara cina. Wamyosho berisi 3 istilah untuk perempuan yang memperdagangkan seks, yakni ukarame, asobi dan yahochi. Menurut salah satu sumber, mereka yang berkeliaran disiang hari disebut asobi, sementara mereka yang menunggu sampai waktu malam dan kemudian menawarkan seks terlarang (inbon) disebut yahochi. Sedangkan ukarame adalah asobi yang dikembangkan, disusun dalam kelompok, diperluas praktek mereka diluar perjamuan resmi, menetap di lokasi tertentu, yang diadopsi metode tanda tangan dan praktek melakukan dan menambahkan layanan seksual sebagai komponen rutin dalam paket hiburan mereka (Goodwin 2007:12).

2. Yujo

(47)

Menurut Yuji, seorang wanita terlatih dalam musik dan menari yang tugasnya adalah menghibur dan melayani di perjamuan dan kadang-kadang tidur dengan pelanggan, dia disebut asobime/ yujo. The founder of japanese foklor Kunio Yanagida mengemukakan teori bahwa teori yujo berasal dari ichiyazuma yang berarti teman tidur semalam, dilakukan oleh miko, seorang wanita yang biasanya melayani dewa sebagai istri dewa di festifal malam dalam rangka mempromosikan kebebasan seksual (shinto tidak salam dalam hubungan seks sebagai hal yang rahasia, tetapi menganggap hal berpikiran terbuka dan menyenangkan). Sementara, sejarahwan Sadakiti Kita mengajukan teori sistem mingi korea yang datang ke Jepang. Mingi adalah seorang wanita korea yang perannya sama persis dengan yujo (Yuji 2004:1). Dengan mengacu pada pendapat tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa yujo adalah perkembangan dari asobi.

Menurut samurai archieve, peringkat yujo dibagi atas 2 periode yakni sebelum tahun 1750 dan setelah tahun 1750.

a. Peringkat yujo sebelum tahun 1750 yakni Tayu

(

)

, Koshi

(

子), Tubone

(

)

dan yang terakhir adalah Hashi

(

)

.

b. Peringkat yujo setelah tahun 1750 yakni Oiran

(

花 魁

)

, Chusa n

Yobida shi

(

呼出昼 三), Chusa n

(

昼三

)

, Tsukema wa shi

(

)

, Za shikimochi

(

座敷 持), Heya mochi

(

部屋 持), Shinzo

(

(48)

3. Pelacur jalanan

Pelacur jalanan adalah pelacur illegal yang memperdagangkan seks tidak pada tempat yang disediakan shogun. Di kota- kota pelabuhan, perempuan yang sering menjual seks dikenal dengan Gejo (hamba perempuan). Dikota sekitar kompleks candi/kuil di Konpira, pelacur dikenal dengan chatate onna (gadis penyeduh teh), dan shakutori onna (gadis penuang minuman). Di Niigata perempuan yang menjual seks sering dijuluki goke (janda). Sedangkan shogun menyebut pelacur yang bekerja di perusahaan tetapi tidak di wilayah yang ditentukan sebagai meshi-mori onna (pelayan perempuan) dan sentaku onna (gadis loundry) (Stanley 2012:13).

4. Geisha dan Kabuki

(49)

bernyanyi dan belajar shamisen, tetapi mereka akan menambah penghasilan mereka dengan keluar untuk menghibur di kapal dan di kedai teh dan kadang-kadang terlibat seks gelap dengan klien mereka.

Ka buki adalah kesenian tradisional Jepang yang berbentuk drama klasik yang bertahan sampai saat ini masih digemari oleh rakyat Jepang. Kesenian ini muncul sebagai kesenian rakyat kota terutama kelas para pengrajin dan pedagang pada zaman Edo dalam pemerintahan Shogun Tokugawa (Renariah 2008:1). Tarian Okuni disebut Kabuki Odori, yang menggambarkan suatu kemegahan yang menjadi amat populer, tetapi di sisi lain para pemainnya melayani para pria penggemarnya sehingga terjadi baishun, sebagai akibat dari hal tersebut maka pada tahun 1629 Tokugawa melarang pertunjukkan kabuki wanita penghibur yang disebut Onna kabuki, karena shogun khawatir akan pengaruh sosial yang lebih buruk, dan sebagai pengganti dari Onna kabuki adalah wakashu kabuki (Renariah 2008:7)

3.1.2 Karayuki-san

(50)

profesi karayuki-san karena mereka akan menerima pembayaran setelah melayani pelanggan. Jumlah karayuki san pada awal Meiji sekitar 100.000 orang, tersebar di enam wilayah yaitu Siberia, Manchuria, Kwantung, daratan Cina, Asia Tenggara, Amerika Utara, Amerika Selatan, Oceania, dan Afrika (Pangastoeti 2009:139).

3.1.3 Baishun Masa Pasca Perang Dunia II

Pada masa pasca perang dunia II, pemerintah membangun tempat baishun untuk melayani tentara sekutu yang menduduki Jepang. Tempat baishun terdiri dari red line dan blue line. Berdirinya red line sering disebabkan oleh bekas kuartal berlisensi sedangkan blue line diduga berdiri untuk bar baru dan restoran (Kovner 2012 :90).

Berbeda dengan pa npa n, yakni pekerja seks yang berkeliaran di jalan (Kovner 2012:76) . Panpa n adalah fenomenea baru dengan arti pekerja seks di masa pasca perang dunia ke-II. Tokyo yang dimana 65 persen dari tempat tinggal hancur, taman Ueno menjadi tempat bagi masyarakat miskin dan tunaisma datang dan tempat terkonsentrasi dari pa npa n. Bahkan beberapa mengatakan bahwa itu adalah tempat budaya pa npa n berasal (Kovner 2012:79).

Penggunaan istilah populer panpan dalam pers yang terbagi atas youpan (western pan, dengan kata lain panpan khusus untuk orang asing) dan wapan (pan yang mengambil pelanggan orang Jepang) memperlihatkan bahwa panpan terlibat seks dengan laki-laki Jepang dan laki-laki asing (Kovner 2012:76)

(51)

yakni yama no pan atau pa npa n yang tinggal diketinggian bukit-bukit di taman. Kelompok berikutnya adalah shita no pan, yakni panpan yang bekerja di taman dengan arah keluar dari selatan stasiun Asakusa. Kanzaki menganggap mereka lebih modern dengan menggambarkan mereka mengenakan pakaian barat yang norak, sepatu, dan beberapa memakai kimono yang berkualitas rendah. Kanzaki juga menguraikan yang lain, kategori yang kurang diinginkan, yang ia sebut dengan three-mat room (sanjou no heya ) yaitu kamar yang hanya berukuran enam belas meter persegi (Kovner 2012:80).

3.1.4 Baishun Setelah Disahkannya Undang-Undang Anti Baishun Jepang Menurut survei dari kantor perdana menteri, baishun di Jepang beroperasi dalam 5 kategori, yaitu 1. Pejalan kaki (geishogata ), 2. Hostes di bar dan tempat berlisensi lainnya yang diatur dalam hukum tentang perusahaan yang mempengaruhi moral publik (fuzokueigyougata ), 3. Petugas kamar mandi (koshitsu yokujogata ), 4. Hostes atau karyawan jenis baru dari tempat hiburan dewasa, seperti kamar mandi pribadi atau panti pijat (shin fuzokutengata ), 5. Gadis panggilan (hakengata ) yang datang ke hotel dan diatur melalui telepon (Wakabayashi 2003:153-154).

Dalam pertengahan tahun 1980-an, kantor perdana menteri memperkirakan bahwa streetwalkers menyumbang 15% dari pelacur, bar hostes 12%, kamar pembantu mandi pribadi 20%, hiburan hostes dewasa 11% dan gadis panggilan menyumbang 42% dari semua baishun (Wakabayashi 2003:154).

(52)

1. Soa pland

Setelah undang-undang anti baishun disahkan pada tahun 1956, ba ishun tanpa ijin cepat berkembang. Beberapa rumah tua yang paling terkenal di Yoshiwara menutup rumah bordil mereka, kebanyakan diubah menjadi Toruko (Turki) atau Toruko buro (permandian Turki). Toruko buro adalah pendahulu soapland. Pada tahun 1955 layanan seks beberapa toruko buro mulai beroperasi. Pada tahun 1984 seorang pemuda Turki memprotes bahwa nama negaranya ditunjuk untuk fasilitas baishun melalui duta besar Turki. Setelah protes oleh duta besar Turki tersebut, Toruko Buro berubah menjadi soapland. Diruangan soapland tersedia kamar mandi, kursi, dan tempat tidur. Seorang wanita sering menawarkan pijat telanjang dengan tubuh mereka (payudara, lidah dan pinggang) dan “layanan

penuh” yang berarti hubungan seksual yang illegal. Pelanggan membayar dimeja

petugas untuk mandi tetapi membayar wanita secara seorangan untuk “layanan

Penuh”.

2. Hea lth fa shion dan pink salons

(53)

3. Ima ge club

Pelanggan tidak puas dengan seks yang didapat dengan mudah. Image club datang dengan inovasi wanita yang menyamar sebagai perawat dan siswi sekolah menengah atas untuk menambah kepuasan pelanggan.

4. Deri-Heru

Ini muncul pada akhir tahun 1990-an. Pijat zona sensitif seksual disebut seikan massage. Mereka beroperasi melalui jasa pengiriman kesehatan. Mereka pergi ke pelanggan di rumah maupun di hotel. Ini tidak mudah didefenisikan sebagai baishun. Berdasarkan kasus per kasus, beberapa wanita

memberikan layanan seks karena negosiasi. Pada masa itu di Jepang “servis”

menggunakan lidah wanita menguntungkan.

5. Kyuba kura dan kya ba jo (host Kyuba kura )

(54)

6. Enjo Kosa i (baishun remaja di Jepang)

Jumlah pelacur remaja mulai naik sekitar tahun 1974. Di tahun 1984 jumlahnya mencapai tingkat yang mengkawatirkan dan masih akan terus menaik. Badan Statistik Kepolisian Nasional di tahun 1995 menunjukkan bahwa anak dibawah umur mencapai 5841 orang perempuan terlibat di klub telepon atau kegiatan yang berhubungan dengan seks. Seperempat dari gadis-gadis itu masih duduk dibangku sekolah menengah pertama.

Sepertiga dari laporan kasus baishun di Jepang adalah remaja siswi sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas. Mereka disebut Enjo Kosa i yang merupakan eufinisme yang digunakan di Jepang untuk baishun gadis remaja. Seorang pria usia pertengahan (sekitar 40-50 tahun) akan mengencani gadis yang cukup muda untuk menjadi puterinya. Mereka mengenal satu sama lain melalui terekura (klub telepon yang merupakan jenis pink phone) yang sangat populer dikalangan remaja perempuan untuk menambah uang saku. Pria ini mungkin pergi ke restoran dan mengobrol atau pergi ke bioskop maupun ke hotel.

7. Pariwisata seks (tur)

Beberapa pria Jepang menggunakan wisata seks untuk membeli gadis-gadis remaja dan perempuan di negara-negara berkembang dengan alasan kurang ajar bahwa mereka membeli wanita untuk membantu kemiskinan di negara berkembang. Jika mereka pergi kesana dengan wisata seks, kerumunan perempuan berkumpul untuk menjual tubuh mereka di hotel.

Almarhum Yayori Matsui, seorang wartawan, mengatakan “jika

(55)

ada banyak cara kecuali melacur. Saya ragu apakah pria tersebut dapat menghormati perempuan yang mereka beli.

8. Perempuan non-Jepang

Meskipun laki-laki Jepang merupakan jumlah terbesar dari wisata seks asia, sebanyak 150.000 perempuan non-Jepang bekerja di baishun di Jepang, kebanyakan mereka bereasal dari Thailand, Filipina, dan wanita rusia. Mereka umumnya datang ke Jepang dengan alasan jalan-jalan atau belajar untuk menghindari hukum imigrasi yang kaku di Jepang dan mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan dari kabaret, penari atau pelacur sesuai dengan yang diberikan oleh makelar mereka.

3.2 Penyebab Perubahan Bentuk Baishun di Jepang 3.2.1 Penyebab Munculnya Baishun Tradisional Jepang

Munculnya baishun tradisional di Jepang berasal dari profesi penghibur yang muncul pada zaman Heian. Misalnya, pelacur pertama, disebut yukojofu (secara harafiah berarti gelandangan atau perempuan main-main), shir abyusi (penari dan penyanyi wanita) dan kugutsu (dalang).

Mereka muncul untuk mengharapkan hadiah dari hasil kerja mereka. Seperti dalam kasus yang dibuat Stanley, Yorinaga memanggil asobi dan kemudian ia menidurinya dan memberinya nasi dan beberapa hadiah bagus lainnya (Stanley 2006:26). Di kasus ini asobi tidak memainkan perannya sebagai penari tetapi membawa peran penarinya demi mendapat hadiah.

(56)

akibat kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh shogun. Kebijakan yang paling menyiksa petani adalah kebijakan membayar pajak. Petani dibebani pajak tahunan (nengu) berupa hasil panen yang besarnya 50-60% dari hasil panen, bahkan di beberapa han(wilayah kekuasaan para daimyo) ada yang mencapai 70%. Ini berarti bagian yang harus diserahkan kepada pemerintah sebagai pajak dapat mencapai lebih dari setengah hasil panen secara keseluruhan. Sisanya yang kurang dari setengah digunakan untuk kebutuhan keluarga (Pangastoeti 2009:141). Kondisi petani yang sangat miskin inilah yang membuat para ayah(petani itu) menjual anak gadisnya (baik secara sukarela atau paksaan) untuk menutupi

kekurangan ekonomi keluarga. Seperti diceritakan dalam kasus Hatsu “Ayahku

kembali ke provinsi ini begitu miskin, ia harus menjual saya. Dia tidak bisa datang dan menarik belas kasihan disini dan dia memiliki banyak hal untuk dilakukan, jadi dia tidak bisa membantu saya.” (Stanley 2007:143)

Namun dibalik kemiskinan, ada alasan yang paling mendasar, yakni status perempuan pada saat itu yang diatur dalam kepatuhan konfusiansi yang menempatkan perempuan sebagai inferior (sanju kun), karena semasa kanak-kanak seorang harus tunduk kepada ayahnya, setelah menikah ia harus patuh kepada suaminya, dan setelah tua pun dia harus melayani putra sulungnya (Wulandari 2013:78).

(57)

telah menggadaikan istrinya untuk mengumpulkan uang guna menutupi hutang ayah mertuanya (Stanley 2007:34). Penjualan istri ini terjadi karena bagi para rentenir tubuh perempuan pada umumnya dianggap sebagai aset dan bisa diklaim sebagai pembayaran pinjaman (Stanley 2007:34).

Pihak germo sendiri memanfaatkan kemiskinan petani dengan perekrutan yang berfokus pada daerah yang bertepatan dengan musim ketika petani lokal paling kasihan ; awal musim semi ketika toko-toko makanan menipis dan akhir musim panas ketika pajak mereka jatuh tempo (Stanley 2007:12)

Yuka ku adalah tempat baishun berlisensi. Yukaku dibangun pertama kali pada masa Toyotomi Hideyoshi pada tahun 1589. Selanjutnya Yukaku lain dibangun oleh pemerintahan Tokugawa yang berfungsi untuk menertibkan kegiatan baishun yang sudah marak terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa negara ikut ambil bagian dalam pembangunan baishun di Jepang. Dampak positif dari dibangunnya yukaku adalah negara menerima pajak dari pelacur di setiap rumah bordil yang dapa menambah penerimaan kas negara.

3.2.2. Penyebab Munculnya Karayuki-san

(58)

1. Kemiskinan

Memasuki Zaman Meiji (1868-1912), kondisi petani tidak banyak berubah. Modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah Meiji lebih diarahkan untuk mencapai sasaran Fukoku Kyoohei (negara kaya, militer kuat) (Pangastoeti 2009:141).

Selama deflasi Matsuka Masayoshi tahun 1880-an, komuditas pertanian jatuh hingga 50%, dan para petani skala kecil jatuh dallam kemiskinan parah. Akibatnya untuk bertahan hidup sebagian besar anak- anak petani mencari alternatif lain dengan menjadi buruh dikota- kota bahkan diluar negeri (Wulandari 2013:77).

Sebagian dari mereka mencari peruntungan di luar negeri baik atas kemauan sendiri ataupun tidak, adapula yang ditipu agen seperti kasus Ishimoto Sada (nama samaran). Ia lahir di Amakura pada tahun 1886,pada usia 16 tahun dia ditawari pekerjaan sebagai “sales girl” di perusahaan wol dengan gaji 40 yen perbulan. Suatu malam ia dipaksa untuk naik kapal dan segera meninggalkan pelabuhan. Setelah tiba di Singapura ia dijual ke rumah baishun dan dikirim ke jawa. Dari beberapa sumber, kasus yang dialaminya sama dengan perempuan-perempuan lain yang terjebak dalam bisnis baishun.

2. Budaya

(59)

muda dan belum menikah, kepada suaminya saat dia sudah berumah tangga dan kepada anak laki-lakinya saat dia tua (Pangastoeti 2009:142).

“Kepatuhan” yang menjadi landasan etika konfusianis membuat

kaum perempuan menerima perlakuan begitu saja. “Kepatuhan”

kepada kepala keluarga, merupakan suatu wujud kepatuhan keluarga kepada penguasa. Dengan demikian tubuh perempuan bukan semata- mata suatu privasi, tetapi adalah milik negara. Sehingga karayuki-san yang pergi keluar negeri memiliki loyalitas, dan ikatan batin yang kuat dengan negeri asalnya, yang akhirnya melahirkan sikap patriotisme bahwa mereka pergi untuk membantu negerinya (Wulandari 20013:79).

3. Model karayuki-san

(60)

Jumlah mereka tidak banyak, tetapi pengaruhnya dalam memotivasi orang-orang dilingkungannya untuk menjadi karayuki-san cukup besar (Panganstoeti 2009:42).

4. Kondisi luar Jepang

Berikut adalah kondisi luar Jepang yang merupakan faktor penarik (pull factor) bagi perempuan Jepang untuk menjadi karayuki-san. Kondisi ini terkait dengan kebijakan pemerintah Jepang yang bermaksud mengembangkan kekuatan ekonomi ke selatan sebagai langkah awal membentuk wilayah koloni. Untuk wilayah asia tenggara, daya tarik terutama ada di Singapura yang pada akhir abad ke 19 sampai awal abad ke 20 telah menjadi tempat yang ramai dikunjungi oleh orang asing terutama Cina, Eropa, dan India (Panganstoeti 2009:42).

(61)

Sebuah laporan polisi mengungkapkan bahwa 60% dari pelacur mengatakan motivasi mereka adalah kesulitan ekonomi. Banyak yang harus membayar biaya pengobatan untuk suami atau anak- anak dan janda perang (Kovner 2012:81).

Tetapi motif untuk menjadi pekerja seks bukan hanya kesulitan ekonomi. Suatu survey pada tahun 1952 di Prevektur Kanagawa menunjukkan bahwa pekerja seks di pangkalan militer yang meayani klien Eropa-Amerika memiliki motif yang kompleks. Dalam survei periode lainnya, Takahashi Fuyo dari Kanagawa-Ken Women’s Rehabilitation Center, melaporkan bahwa survei ini mencaku 1.352 perempuan. Mereka didorong oleh teman- teman dan keluarga, mereka sebelumnya bekerja di tempat baishun, mereka ditipu oleh germo, atau mereka hanya ingin pindah ke daerah perkotaan dan melihat tidak ada cara lain selain baishun (Kovner 2012:82).

Itou Akiki, pekerja seks dalam panel yang sama, memiliki perspektif berbeda. Beberapa masukan dari masyarakat seperti karena kebutuhan, ingin tau, yang lain bergabung karena pemujaan ekstrim mereka teradap orang asing, ada juga mereka yang ditarik kedalamnya karena terpikat oleh seseorang (Kovner 2012:82).

3.2.4 Penyebab Munculnya Baishun Setelah Disahkannya Undang-Undang Anti Protitusi di Jepang

Penyebab munculnya baishun setelah disahkannya hukum baishun bukan lagi kemiskinan di Jepang, melainkan dikarenakan keinginan dan kemiskinan masyarakat di luar negeri Jepang yang ingin mencari kerja di Jepang.

(62)

tunggal di Jepang maupun negara lain. Setelah hukum pencegahan untuk menghapuskan baishun disahkan, Jepang berkembang menjadi negara besar secara ekonomi. Pria mengambil wisata keluar negeri (Korea, Filipina, Thailan dll) untuk membeli seks (Torii TT:108).

Sedangkan untuk baishun di dala Jepang sendiri, Torii menyebutkan beberapa alasan munculnya baishun, yakni :

1. Kekuatan ekonomi Jepang yang cepat berkembang

Ketika kita pergi ke departement store atau toko- toko lain, penuh dengan merek buatan Itali dan Perancis. Misalnya, tas prada, pakaian, tas chanel, dompet, gantungan kunci, sepatu ferragono, pakaian versace, menonton di Hermes, blus, lipstik Christian Dior dan kosmetik lainnya, dll. Saat ini wanita Jepang sangat ingin memiliki merek. Mereka umumnya memiliki beberapa merek. Juga siswi sekolah menengah atas dan sekolah menengah pertama di kota, mereka dikelilingi oleh merek yang mereka inginkan. Bahkan jika para siswi melakukan pekerjaan paruh waktu, mereka bisa mendapatkan 700 yen-800yen perjam.

Ini adalah atarbelakang terjadinya “Enjo Kosa i” atau “Cha rita ble

Rela tions”. Karena Jepang adalah negara ekonomi yang besar, ada beberapa pria setengah baya yang memiliki uang yang bisa mereka gunakan sendiri.

2. Media massa yang merangsang keinginan

(63)

para gadis yang terangsang keinginan materi mereka. Blue film, pornografi melalui media elektronik dianggap berbahaya dan pemerintah serta LSM berusaha untuk menghentikan itu. Saya telah melihat foto-foto telanjang di surat kabar tingkat pertama di Jepang, seperti “The Times of India” atau “The Hindustan Times” jika di India. TV yang ditonton anak-anak Jepang setiap hari mempertontonkan adegan seks dan adegan kekerasan destruktif di siang atau dimalam hari.

3. Teknologi baru yang membuat komunikasi lebih mudah

Hari ini kita dapat menghubungi siapa pun dengan diam-diam menggunakan pager, telepon genggam, komputer pribadi, maupun telepon. Ada banyak gadis yang menyebutkan klub kencan hanya untuk kesenangan dan untuk mengolok-ngolok pria setengah baya yang mesum yang sedang menunggu telepon dari gadis di sebuah klub kencan melalui telepon.

4. Hubungan manusia dan keluarga yang dangkal di Jepang

(64)

dengan tetangga mereka dan kadang-kadang tidak mengetahui tetangga mereka.

Semakin kita mencari kenyamanan dan efisiensi semakin kita dangkal dan kesepian. Hal ini juga menyatakan bahwa beberapa dari generasi muda tidak percaya keluarga dan otoritas., dan beberapa generasi muda menemukan bahwa masyarakat hanya berorientasi pada laki-laki. Itu seperti perkataan gadis muda “jika biasanya laki-laki bisa membeli perempuan, mengapa gadis tidak bisa menjual diri mereka sendiri? Apa salahnya hanya mendapat uang ekstra dari laki-laki?”. Meskipun baishun dilarang, jumlah pelacur di Jepang telah mencapai proporsi yang mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir (Torii TT:98-101).

Sedangkan baishun dari wanita luar negeri di Jepang banyak terjadi karena perdagangan manusia. Polaris Project Jepang da

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat

Bila dilihat dari penciptaan sumber pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Selatan tahun 2016, Komponen Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) memiliki sumber pertumbuhan

Melalui metode pendekatan teknis deskriptif kualitatif dalam melakukan analisis pembahasan dapat disimpulkan bahwa dengan terpenuhinya kebutuhan Approach Light system

Komponen kriteria pendidikan yang bermutu, antara lain: (1) materi pelajaran dirasakan manfaatnya oleh peserta didik baik dirasakan langsung maupun dikemudian, memberi

Jesus Christ for giving me health, strenght, and chance to me so, I can complete this paper as one of the requirements to get degree of Diploma English at the Faculty of

Arie Yulianto Director Previously: Division Head of Micro Banking bank bjb, Division Head of Legal, Compliance and Risk Management bank bjb. Entis Kushendar Director Previously:

Bersedia menerima sanksi Drop Out dari FFTV IKJ apabila mahasiswa tersebut di atas terbukti Memiliki, Menggunakan, Memakai, Menyimpan, Menjual atau. Mengedarkan Narkoba di

Karya ilmiah yang dihasilkan sang Doktor Ilmu Pemerintahan ini termuat buku di Dalam Negeri dan Luar Negeri diantaranya pada Scholarly of Journals International