ANALISIS PASCA PENGAMPUNAN PAJAK UNTUK MENCAPAI TARGET PENERIMAAN PAJAK TAHUN 2017
Manajemen Keuangan Pemerintah
April 2017
pranasa.dinar@gmail.com
Muhammad Pranasa Aranta Syaiful Dinar
ANALISIS PASCA PENGAMPUNAN PAJAK UNTUK MENCAPAI TARGET
PENERIMAAN PAJAK TAHUN 2017
Muhammad Pranasa Aranta Syaiful Dinar
Kelas 8 B (27)
Mahasiswa Program Diploma IV Khusus Akuntansi Politeknik Keuangan Negara
STAN
ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak telah berakhir pada tanggal 31 Maret 2017. Pemerintah tentu harus membuat strategi kembali
untuk menghadapi situasi pasca Pengampunan Pajak. Pengampunan Pajak memberikan kontribusi yang banyak terhadap Direktorat Jenderal Pajak khususnya mengenai perbaikan basis data perpajakan. Dengan meningkatkan kualitas tersebut,
diharapkan pemerintah memiliki upaya lebih demi mencapai penerimaan pajak yang selama sepuluh tahun terakhir tidak pernah tercapai. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan apa yang akan dilakukan pemerintah usai Pengampunan
Pajak untuk mencapai target penerimaan pajak pada tahun 2017.
Kata kunci : Pengampunan Pajak, Fiscal Sustainability, reformasi perpajakan
A. Pendahuluan
Latar Belakang
Pajak adalah kontribusi wajib
kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan
undang-undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara dan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pajak menjadi sumber penerimaan
terbesar Indonesia. Pajak mempunyai
peranan penting terhadap
pembangunan, khususnya terhadap
pembangunan infrastruktur. Hal ini
merupakan salah satu dari fungsi pajak
yaitu fungsi anggaran (budgetair), pajak digunakan untuk pembiayaan
rutin seperti belanja pegawai, belanja
barang, pemeliharaan, dan lain
sebagainya. Tanpa pajak, sebagian
Sistem pemungutan pajak di
Indonesia menggunakan sistem self assessment. Wajib Pajak (WP) menghitung dan melaporkan sendiri
jumlah pajak yang terutang. Fiskus
hanya bertugas mengawasi dan
memeriksa apakah jumlah pajak yang
telah disetor sudah dihitung dengan
benar. Kelemahan dari sistem
pemungutan ini adalah kecenderungan
WP untuk mengurangi jumlah pajak
yang terutang dengan cara
memanipulasi laporan keuangan dan
harta kekayaan. WP mengurangi laba
usahanya dan menyembunyikan harta
kekayaannya. Akibatnya, penerimaan
pajak sampai sekarang masih belum
bisa dikatakan optimal. Hal ini
dibuktikan dengan realisasi
penerimaan pajak dari tahun 2009
sampai dengan tahun 2016 yang tidak
pernah mencapai target.
Meski penerimaan pajak
memberikan sumbangan terbesar
terhadap APBN, penerimaan tersebut
masih rendah bila dibandingkan
dengan rasio pajak terhadap PDB.
Rasio pajak adalah ukuran untuk
menilai kemampuan pemerintah
memungut pajak. Rasio pajak
Indonesia masih berkisar 11-12%
terhadap PDB. Indonesia termasuk
dalam kategori negara pendapatan
menengah dan rata-rata rasio pajak
negara setara ialah sekitar 18-19%.
Artinya, kemampuan negara
memungut pajak masih ada potensi
untuk dimaksimalkan lagi.
Realisasi penerimaan pajak
ditentukan dari besarnya pajak yang
disetor oleh WP. Apabila Wajib Pajak
sudah menghitung dan melaporkan
pajak yang telah disetor dengan benar,
penerimaan pajak akan mencapai
target. Untuk meningkatkan kesadaran
WP dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya, pemerintah pada
tanggal 1 Juli 2016 mengesahkan
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016
tentang Pengampunan Pajak. Tujuan
utama diberlakukannya
undang-undang ini adalah untuk repatriasi aset
WP yang disembunyikan di luar negeri
dan membentuk basis data perpajakan
yang lebih akurat untuk menghadapi
Automatic Exchange of Information
(AEOI) di tahun 2018.
Target Pengampunan Pajak yang
ditetapkan oleh pemerintah sebesar Rp
165 T atau sekitar 10,66% dari target
penerimaan pajak tahun 2016.
Pengampunan Pajak telah berakhir
pada tanggal 31 Maret 2017 dengan
realisasi penerimaan sebesar Rp 135
T. Dalam penerapan kebijakan
Pengampunan Pajak banyak menuai
pro dan kontra di tengah masyarakat.
dampak dari Pengampunan Pajak.
Salah satu dampak yang sering
dibicarakan ialah apa kebijakan
pemerintah yang akan diambil setelah
Pengampunan Pajak berakhir untuk
mencapai target penerimaan pajak dan
menjaga kesinambungan fiskal (fiscal sustainability).
Landasan Teori
Pengampunan Pajak adalah
penghapusan pajak yang terutang,
tidak dikenai sanksi administrasi
perpajakan dan sanksi pidana di bidang
perpajakan, dengan cara mengungkap
Harta dan membayar Uang Tebusan.
Harta adalah akumulasi tambahan
kemampuan ekonomis berupa seluruh
kekayaan, baik berwujud maupun tidak
berwujud, baik bergerak maupun tidak
bergerak, baik yang digunakan untuk
usaha maupun tidak untuk usaha, yang
berada di dalam dan/atau di luar
wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Uang Tebusan adalah
sejumlah uang yang dibayarkan ke kas
negara untuk mendapatkan
pengampunan pajak.
Pengampunan Pajak bertujuan
untuk:
1. Mempercepat pertumbuhan dan
restrukturisasi ekonomi melalui
pengalihan harta, yang antara
lain akan berdampak pada
peningkatan likuiditas domestik,
perbaikan nilai tukar rupiah,
penurunan suku bunga, dan
peningkatan investasi;
2. Mendorong reformasi
perpajakan menuju sistem
perpajakan yang lebih
berkeadilan serta perluasan
basis data perpajakan yang lebih
valid, komprehensif, dan
terintegrasi; dan
3. Meningkatkan penerimaan
pajak, yang antara lain akan
digunakan untuk pembiayaan
pembangunan.
Selain tujuan di atas, Pengampunan
Pajak juga dimaksudkan untuk
menghapuskan sanksi pidana, juga
dapat diberikan kepada pelaporan
sukarela data kekayaan WP yang tidak
dilaporkan pada masa sebelumnya
tanpa harus membayar pajak yang
mungkin belum dibayarkan.
Setiap WP memiliki hak untuk
mendapatkan Pengampunan Pajak
dengan cara membayar Uang Tebusan
berdasarkan dasar pengenaan dari
nilai harta bersih yang belum atau
belum sepenuhnya dilaporkan dalam
SPT PPh terakhir. Berdasarkan Pasal
20 UU Pengampunan Pajak, data dan
informasi yang berkaitan dengan
pelaksanaan Pengampunan Pajak
penyelidikan, penyidikan, dan/atau
penuntutan pidana terhadap Wajib
Pajak. Dengan kata lain, masih ada
unsur self assessment dalam pelaporan harta dalam Pengampunan
Pajak.
Pengampunan Pajak berpegang
teguh pada asas:
1. Kepastian hukum, yaitu
pelaksanaan Pengampunan
Pajak harus dapat mewujudkan
ketertiban dalam masyarakat
melalui kepastian hukum;
2. Keadilan, yaitu Pengampunan
Pajak menjunjung tinggi
keseimbangan hak dan
kewajiban dari setiap pihak yang
terlibat;
3. Kemanfaatan, yaitu seluruh
pengaturan kebijakan
Pengampunan Pajak
bermanfaat bagi kepentingan
negara, bangsa, dan
masyarakat, khususnya dalam
memajukan kesejahteraan
umum; dan
4. Kepentingan nasional, yaitu
pelaksanaan Pengampunan
Pajak untuk kepentingan
negara, bangsa, dan
masyarakat, di atas kepentingan
lainnya.
UU Pengampunan Pajak mulai
berlaku pada tanggal 1 Juli 2016.
Dalam pelaksanaannya,
Pengampunan Pajak terbagi menjadi
tiga periode, antara lain:
1. Periode I, dimulai tanggal 18 Juli
sampai dengan 30 September
2016. Tarif Uang Tebusan
sebesar 2% untuk harta yang di
dalam atau berada di luar
wilayah Indonesia yang
dialihkan ke dalam Indonesia
dan 4% untuk harta yang di luar
wilayah Indonesia namun tidak
dialihkan ke dalam wilayah
Indonesia. Fokus utama periode
pertama adalah WP besar yang
memiliki kekayaan di dalam dan
di luar negeri yang tidak
dilaporkan dalam SPT PPh.
2. Periode II, dimulai tanggal 1
Oktober sampai dengan 31
Desember 2016. Tarif Uang
Tebusan sebesar 3% untuk
harta yang di dalam atau berada
di luar wilayah Indonesia yang
dialihkan ke dalam Indonesia
dan 6% untuk harta yang di luar
wilayah Indonesia namun tidak
dialihkan ke dalam wilayah
Indonesia. Fokus utama periode
kedua adalah WP UMKM yang
peredaran usahanya tidak lebih
dari Rp 4,8 M pertahun.
3. Periode III, dimulai tanggal 1
2017. Tarif Uang Tebusan
sebesar 5% untuk harta yang di
dalam atau berada di luar
wilayah Indonesia yang
dialihkan ke dalam Indonesia
dan 10% untuk harta yang di luar
wilayah Indonesia namun tidak
dialihkan ke dalam wilayah
Indonesia. Fokus utama periode
ketiga adalah WP yang memiliki
pekerjaan bebas seperti
pengacara, notaris, konsultan,
dan sebagainya.
Target yang dicanangkan dalam
Pengampunan Pajak adalah Rp 165 T,
sedangkan realisasi penerimaan
Pengampunan Pajak sebesar Rp 135
T. Berikut adalah rincian dari realisasi
penerimaan Pengampunan Pajak:
Uraian
Realisasi
(dalam miliar
Rp)
Uang Tebusan
Pengampunan
Pajak
114.231,74
Penghentian
Pemeriksaan
Bukti Permulaan
1.748,39
Pembayaran
Tunggakan Pajak
19.367,44
Jumlah 135.347,58
Tabel 1.1 Realisasi Penerimaan Pengampunan
Pajak
Kendati tidak mencapai target,
Pengampunan Pajak dapat dikatakan
sukses bila dibandingkan dengan
negara-negara lain yang pernah
mengadakan Pengampunan Pajak
namun gagal, seperti Itali dan Afrika
Selatan. Akan tetapi, dengan
berakhirnya Pengampunan Pajak di
Indonesia yang dapat dikatakan
sukses, mengandung arti bahwa
selama ini Direktorat Jenderal Pajak
(DJP ) selaku instansi pemungut pajak
di Indonesia masih belum dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik.
Penerimaan pajak yang belum optimal,
rasio pajak yang masih kecil, dan basis
data perpajakan yang belum lengkap
menjadi bukti atas penerimaan pajak
yang tidak pernah mencapai target dari
tahun 2009 sampai dengan tahun 2016
yang dibuktikan dengan realisasi
penerimaan Pengampunan Pajak. Oleh
karena itu, pemerintah harus
melakukan upaya pasca
Pengampunan Pajak untuk mencapai
target penerimaan pajak pada tahun
2017.
Periode terakhir Pengampunan
Pajak dimulai dari awal Januari sampai
dengan akhir Maret 2017. Dengan kata
lain, penyusunan APBN 2017 juga
mempertimbangkan penerimaan dari
Pengampunan Pajak juga
setelahnya. Kebijakan fiskal dalam
APBN tahun 2017 dibuat secara
kredibel, efisien dan efektif dengan
harapan dapat memperkuat kapasitas
fiskal sehingga dapat mencapai
kesinambungan fiskal. Kesinambungan
fiskal dapat diartikan sebagai suatu
kondisi dimana pemerintah dapat
membuat kebijakan fiskal yang mampu
menstabilkan perekonomian melalui
solvabilitas keuangan jangka panjang.
Solvabilitas tersebut mengacu kepada
kemampuan pemerintah untuk
memenuhi fungsi alokasi, distribusi,
dan stabilisasi. Tantangan utama
dalam keberlanjutan fiskal adalah
penerimaan negara yang optimal,
belanja yang berkualitas, dan
pengelolaan pembiayaan yang
berkelanjutan.
Keberlanjutan fiskal Indonesia
pada periode 2000-2016 tidak terlepas
dari peran pemerintah dalam berbagai
bentuk kebijakan dan UU yang
berkaitan dengan keuangan negara
dan pengelolaan utang negara. Utang
pemerintah perlu dikelola agar dalam
jangka panjang utang dapat
mengamankan kebutuhan pembiayaan
APBN dengan menggunakan biaya
yang terendah pada tingkat risiko yang
terkendali, sehingga keberlanjutan
fiskal dapat terjaga. Untuk mengurangi
risiko-risiko yang dapat mengancam
keberlanjutan fiskal, perlu dilakukan
mitigasi risiko agar perekonomian
Indonesia tetap terkendali. Mitigasi
risiko tersebut antara lain:
1. Mitigasi Risiko Asumsi Dasar
Ekonomi Makro;
2. Mitigasi Risiko Pendapatan
Negara;
3. Mitigasi Risiko Belanja Negara;
4. Mitigasi Risiko Pembiayaan
Anggaran; dan
5. Mitigasi Risiko Fiskal Tertentu.
Dalam hal mitigasi risiko
pendapatan negara, pemerintah harus
menciptakan iklim yang kondusif dalam
mencapai target penerimaan pajak.
Demi mencapai iklim yang dimaksud,
pemerintah melalui DJP harus
melakukan upaya pasca
Pengampunan Pajak untuk mencapai
target penerimaan pajak pada tahun
2017.
Rumusan Masalah
Langkah-langkah apa yang harus
dilakukan pemerintah pasca
Pengampunan Pajak agar penerimaan
pajak tahun 2017 dapat tercapai?
B. Pembahasan
Berakhirnya Pengampunan Pajak
merupakan prestasi bagi Indonesia
dalam melaksanakan, meminjam
Widodo, program yang hanya datang
sekali saja. DJP juga patut diberikan
apresiasi atas pelayanannya yang rela
bekerja lembur di akhir pekan bahkan
sampai dini hari. Namun, perjuangan
DJP sebagai poros utama pengisi
pundi-pundi kekayaan negara belum
berakhir. DJP harus menyelesaikan
tugas utamanya yaitu mengumpulkan
pajak sesuai dengan target
penerimaan. Agar tujuan tersebut
dapat tercapai, pemerintah harus
melakukan usaha lebih. Beberapa
kebijakan harus diambil demi mencapai
target penerimaan pajak di tahun 2017,
antara lain:
1. Geotagging
Berdasarkan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor
Se-03/PJ/2016, geotagging adalah salah satu kegiatan pemetaan
untuk merekam data lokasi dan
data deskriptif dari WP Orang
Pribadi dan/atau Badan serta
Objek PBB. Geotagging termasuk dalam Pokok-Pokok Kebijakan
APBN 2017 sektor Optimalisasi
Penerimaan Negara yang Lebih
Realistis.
Tujuan utama pemanfaatan
geotagging adalah untuk mengetahui lokasi WPk, lokasi
Objek Pajak Sektor Perkebunan,
Perhutanan, dan Pertambangan
(P3) dan mengetahui sebaran WP
pada lokasi tertentu.
Selama ini permasalahan yang
sering terjadi saat penggalian
potensi WP adalah menentukan di
mana lokasi WP terdaftar. Selain
itu, tidak jarang pula WP yang
tinggal di suatu tempat memiliki
kekayaan di tempat yang lain. Hal
ini membuat Fiskus sulit untuk
melakukan pengamatan dan
penggalian potensi.
Untuk dapat mencari lokasi WP
dengan lebih mudah, DJP
menggunakan Jaringan Informasi
Geospasial Nasional (JIGN).
Pegawai DJP dapat melakukan
tagging melalui ponselnya dengan menggunakan GPS untuk
mendeteksi lokasi dan mengambil
foto objek dengan menggunakan
kamera ponselnya. Dengan
demikian, lokasi WP dapat
diketahui secara detil melalui
geotagging sehingga proses
penagihan dapat berjalan dengan
lancar.
Pasca Pengampunan Pajak,
banyak harta dari WP yang telah
dideklarasikan. Pemerintah selaku
pihak penghimpun dana pajak
harus melakukan tagging atas harta WP tersebut agar ke
mana lokasi hartanya. Terhadap
WP yang muncul kembali dari
status Non Efektif (NE) juga harus
dilakukan tagging agar penyampaian surat himbauan dan
kemudahan komunikasi antara
Fiskus dengan WP dapat
terlaksana dengan baik.
2. Revisi UU Perbankan
Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 10 tahun 1998 tentang
Perbankan, yang dimaksud dengan
rahasia bank adalah segala
sesuatu yang dengan keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya. Menurut Pasal 40
ayat (1) UU Perbankan, bank wajib
merahasiakan keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya. Untuk kepentingan
perpajakan, Pasal 41 ayat (1) UU
Perbankan menyatakan bahwa
untuk kepentingan perpajakan,
Pimpinan Bank Indonesia atas
permintaan Menteri Keuangan
berwenang mengeluarkan perintah
tertulis kepada bank agar
memberikan keterangan dan
memperlihatkan bukti-bukti tertulis
serta surat-surat mengenai
keadaan keuangan nasabah
penyimpan tertentu kepada pejabat
pajak.
Pada dasarnya, undang-undang
sudah memberikan keleluasaan
kepada DJP untuk mengakses data
nasabah WP. Salah satu pintu
pemeriksaan terhadap WP adalah
pembukaan data rekening. Akan
tetapi, proses untuk membuka data
rekening tersebut sangat lama dan
berbelit-belit. Pembukaan data
nasabah dilakukan dengan cara
mengajukan izin kepada Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) lewat
Menteri Keuangan. Jangka waktu
pemeriksan terhadap WP ialah
enam bulan dan dapat
diperpanjang enam bulan.
Prosedur untuk membuka data
rekening sendiri cukup memakan
waktu yang lama sehingga hasil
pemeriksaan masih jauh dari yang
diharapkan. Sekarang DJP melalui
aplikasi Akasia (Aplikasi Usulan
Buka Rahasia Bank), pengajuan
pembukaan data rekening bisa
dilakukan paling cepat satu minggu
dan paling lambat tiga puluh hari.
Sebelumnya mekanisme
pembukaan rekening dilakukan
secara manual dari Kantor
Pelayanan Pajak ke Direktur
Pemeriksaan dan Penagihan
terkait pemeriksaan dan
penagihan, sedangkan terkait
Direktur Penegakan Hukum.
Setelah diproses suratnya
kemudian ditandatangani oleh
Direktur Jenderal Pajak sampai ke
Menteri Keuangan. Proses manual
tersebut bisa memakan waktu 240
hari, tidak jarang proses
pemeriksaan yang pada awalnya
ingin melakukan pembukaan data
rekening namun tidak jadi
dilaksanakan karena waktu untuk
membuka rekening lebih lama
daripada waktu yang ditentukan
untuk melakukan pemeriksaan
terhadap WP.
Sistem aplikasi Akasia sudah
memberikan kontribusi yang cukup
besar terhadap DJP dalam hal
membuka data rekening. Akan
tetapi, sesuai dengan UU
Perbankan, DJP hanya dibolehkan
membuka rekening dalam hal
kepentingan perpajakan. Apabila
DJP tidak melakukan pemeriksaan
terhadap WP, DJP tidak berhak
untuk membuka data rekening
bank. Kenyataan yang terjadi
selama ini adalah masih banyak
kekayaan WP yang tersimpan di
bank dengan aman karena luput
dari pemeriksaan. Mengingat
jumlah pegawai DJP yang tidak
sebanding dengan jumlah WP di
Indonesia, tidak semuanya dapat
dilakukan pemeriksaan. Sebagian
WP menyimpan hartanya di bank
dan tidak jarang pula yang
memindahkannya ke bank di luar
negeri.
Pasca Pengampunan Pajak,
pemerintah berniat untuk
melakukan revisi terhadap UU
Perbankan. Proses pembahasan
revisi ini masih bergulir di DPR
karena menimbulkan pro dan
kontra. Keterbukaan data untuk
menghadapi Automatic Exchange of Information (AEOI) di tahun 2018 menuntut transparansi data. Selain
itu, Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor
25/POJK.03/2015 tentang
Penyampaian Informasi Nasabah
Asing Terkait Perpajakan kepada
Negara Mitra menyatakan bahwa
data nasabah perbankan asing
untuk kepentingan perpajakan
sudah dibuka bagi negara-negara
yang bekerja sama dengan
Indonesia dalam Commong Reporting Standard. Melihat salah satu tujuan utama Pengampunan
Pajak untuk repatriasi aset di luar
negeri, terlihat bahwa selama ini
banyak harta kekayaan WP yang
disembunyikan di luar negeri. Oleh
karena itu, tidak hanya data
harus bisa diakses oleh DJP, tetapi
juga data nasabah luar negeri.
UU Perbankan yang baru harus
diinterpretasikan dan
diimplementasikan dengan sama
antarbank. Hal ini untuk mencegah
timbulnya risiko terhadap bank
yang patuh pada aturan.
Maksudnya adalah apabila ada
bank yang tidak menerapkan
keterbukaan data nasabah, WP
cenderung akan menaruh harta
kekayaannya di sana padahal bank
tersebut merupakan bank yang
tidak patuh. Hal ini justru akan
merugikan bank yang patuh. Revisi
UU Perbankan diharapkan dapat
memberikan DJP kemampuan
untuk mengejar target penerimaan
pajak.
3. Melaksanakan penegakan
hukum
Data dan informasi yang
berkaitan dengan pelaksanaan
Pengampunan Pajak tidak dapat
dijadikan sebagai dasar
penyelidikan, penyidikan, dan/atau
penuntutan pidana terhadap WP.
Dengan kata lain, pemerintah
memberikan kepercayaan penuh
kepada WP dalam hal
mengungkapkan seluruh nilai harta
bersihnya. Tentu saja aturan
seperti ini rentan terhadap
kecurangan. Apabila kecurangan
tersebut terjadi, Pasal 18 UU
Pengampunan Pajak sudah
memberikan solusinya. Untuk WP
yang telah mengikuti
Pengampunan Pajak, berdasarkan
Pasal 18 ayat (1) UU
Pengampunan Pajak, dalam hal
WP telah menerima Surat
Keterangan Pengampunan Pajak
(SKPP) kemudian ditemukan data
dan/atau informasi mengenai harta
yang belum diungkapkan dan harta
dimaksud dianggap sebagai
tambahan penghasilan, atas
tambahan penghasilan tersebut
dikenai Pajak Penghasilan sesuai
dengan undang-undang dan
dikenakan sanksi kenaikan
sebesar 200% dari Pajak
Penghasilan yang tidak atau
kurang dibayar. Berdasarkan Pasal
18 ayat (2) UU Pengampunan
Pajak, WP yang tidak mengikuti
Pengampunan Pajak dan
ditemukan data dan/atau informasi
mengenai harta WP yang diperoleh
sejak 1 Januari 1985 sampai
dengan 31 Desember 2015 dan
belum dilaporkan dalam SPT
Tahunan Pajak Penghasilan, atas
tambahan penghasilan tersebut
dikenai pajak dan sanksi sesuai
perundang-undangan di bidang
perpajakan.
Pasca Pengampunan Pajak,
DJP mempunyai strategi baru
dalam melaksanakan penegakan
hukum. Salah satunya ialah
membuat prosedur pemeriksaan
yang baru. Pengampunan Pajak
memberikan tambahan data dan
informasi yang sangat banyak
mengenail profil WP. Oleh karena
itu, sebelum menerbitkan Surat
Perintah Pemeriksaan, pemeriksa
pajak harus dibekali dengan data
terlebih dahulu. Tujuannya adalah
memberikan perlakuan yang
berbeda terhadap WP yang
mengikuti Pengampunan Pajak
dengan jujur dan WP yang
mengikuti Pengampunan Pajak
dengan tidak jujur. Selain itu, data
yang digunakan untuk
pemeriksaan berasal dari intelijen
DJP dan sumber lainnya.
Perlakuan itu juga berlaku terhadap
WP yang tidak mengikuti
Pengampunan Pajak.
Prosedur pemeriksaan yang
baru lainnya ialah pemeriksaan
terhadap WP dilakukan di dalam
lingkungan kantor DJP. Pemeriksa
pajak tidak boleh bertemu dengan
WP di luar kantor dan di luar jam
kerja. Artinya, WP harus datang
menemui pemeriksa pajak di dalam
lingkungan kantor DJP. Hal ini
untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya kolusi antara WP dengan
pemeriksa pajak karena tidak ada
pengawasan di luar kantor dan di
luar jam kerja.
Setiap WP yang dilakukan
pemeriksaan tidak boleh menolak,
indikasi niat buruk dapat dilihat
apabila WP tidak mau bertemu
dengan pemeriksa pajak di
lingkungan kantor DJP saat jam
kerja. Menurut Pasal 39 ayat (1)
huruf e UU Ketentuan Umum dan
Tatacara Perpajakan (KUP), setiap
orang yang dengan sengaja
menolak untuk dilakukan
pemeriksaan dapat dipidana
dengan pidana penjara paling
sedikit 6 bulan dan paling lama 6
tahun dan denda paling sedikit 2
kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar dan
paling banyak 4 kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang
dibayar.
4. Menuntaskan reformasi
perpajakan
Tidak hanya eksternal
perpajakan yang dibenahi, internal
perpajakan juga tidak kalah penting
untuk dibenahi. Modernisasi DJP
tahun-tahun sebelumnya. Revisi UU KUP
ditargetkan akan selesai tahun
2017 demi menghadapi Automatic Exchange of Information (AEOI) di tahun 2018. Isu yang sempat ramai
dibahas dalam revisi UU KUP
adalah pisahnya instansi DJP dari
Kementerian Keuangan. Sampai
saat ini hal tersebut masih belum
ada titik temu. Namun, prioritas dari
revisi UU tersebut adalah reformasi
perpajakan.
Keterbukaan Beneficial Ownership (BO) diharapkan menjadi substansi yang dibahas
dalam revisi UU tersebut. Yang
dimaksud dengan Beneficial Owner
menurut SE-64/PJ.34/2005 adalah
pemilik yang sebenarnya dari
penghasilan berupa dividen,
bunga, dan atau royalti baik WP
Orang Pribadi maupun WP Badan,
yang berhak sepenuhnya untuk
menikmati secara langsung
manfaat penghasilan-penghasilan
tersebut. Berdasarkan hasil studi
yang dilakukan oleh Financial Action Task Force (FATF), informasi yang disembunyikan
mengenai BO ialah identitas
pemilik dari BO, tujuan utama dari
perusahaan tersebut didirikan,
apakah untuk mencari keuntungan
atau sebagai tempat untuk
pencucian uang dan penghindaran
pajak, dan sumber dana dan
pengelolaannya yang terkait
dengan perusahaan.
Praktik BO yang terjadi selama
ini ialah sulitnya menemukan pihak
yang menerima manfaat dari
proses bisnis perusahaan.
Penyebab utamanya adalah pihak
tersebut tidak tercantum dalam
catatan perusahaan. Oleh karena
itu, pihak yang ‘tidak terlihat’ ini
tidak dapat dikenakan pajak.
Dengan keterbukaan BO, pihak
yang selama ini melakukan
penghindaran pajak dapat
dikenakan pajaknya. Isu tentang
keterbukaan BO ini juga
sebelumnya sudah hangat dibahas
saat terungkapnya dokumen dari
International Consortium of Investigave Journalist (ICIJ) yang lebih dikenal sebagai Panama Papers pada tahun 2016. Terungkap bahwa pengusaha dan
pejabat publik menggunakan nama
kerabat dekatnya untuk
menghindari pajak.
Reformasi perpajakan tidak
hanya membahas mengenai revisi
UU tetapi juga mengenai
peningkatan kualitas pelayanan.
DJP bekerja sama dengan
(DJBC) melakukan pertukaran
pegawai. Pegawai DJP dapat
bertugas di kantor bea cukai dan
sebaliknya. Upaya ini diharapkan
dapat memberikan dampak
peningkatan kualitas kinerja kedua
belah pihak. Peningkatan insentif
bagi pegawai juga dapat
meningkatkan motivasi pegawai.
Pemerintah berencana untuk
memperbaiki kembali tunjangan
kinerja pegawai DJP juga
memperbaiki kembali sistem
reward and punishment demi keadilan terhadap pegawai.
Pasca Pengampunan Pajak,
reformasi perpajakan tetap harus
berjalan. Beberapa contoh
reformasi perpajakan lainnya
antara lain:
a) Bidang Teknologi dan
Informasi
1) Cleansing database perpajakan.
2) Integrasi sistem billing
dengan sistem penagihan.
3) Kartin1, menggabungkan
Nomor Pokok Wajib Pajak
dengan kartu identitas
lainnya.
4) Virtual assistance di situs pajak.go.id yang terhubung
dengan Kring Pajak
1500200
b) Bidang Organisasi dan SDM
1) Penataan ulang Sumber
Daya Manusia.
2) Membentuk dan
mengembangkan jabatan
fungsional tertentu.
3) Peluncuran Mobile Tax Unit (MTU).
c) Bidang Regulasi
1) Penyederhanaan registrasi
WP.
2) Perbaikan peraturan
tentang Exchange of Information.
3) Peningkatan pengawasan
terhadap Pengusaha Kena
Pajak
4) Pembahasan paket RUU di
bidang perpajakan.
C. Simpulan dan Saran
Simpulan
Perlu usaha lebih dari pemerintah
pasca Pengampunan Pajak demi
mencapai target penerimaan pajak
tahun 2017. Fokus pemerintah
seimbang dalam hal perbaikan internal
perpajakan dan eksternal perpajakan.
Penegakan hukum ditegakkan dengan
cara perbaikan prosedur pemerikaan.
Penentuan dan penetapan lokasi WP
melalui geotagging sudah dicantumkan dalam Nota Keuangan APBN 2017.
lebih detail, revisi UU Perbankan
mengenai keterbukaan data nasabah
masih dalam proses pembahasan.
Reformasi perpajakan sendiri
disempurnakan oleh revisi UU KUP
yang ditargetkan akan selesai pada
tahun 2017. Dengan demikian, target
penerimaan pajak tahun 2017
diharapkan dapat tercapai.
Saran
Evaluasi langkah-langkah
pemerintah terus dilakukan tiap tahun
dengan cara yang telah disebutkan di
atas. Mengingat target penerimaan
pajak yang tidak pernah tercapai dari
tahun 2009 sampai tahun 2016,
pemerintah sebaiknya mengkaji ulang
mengenai perhitungan target
penerimaan pajak. Perhitungan target
penerimaan pajak memiliki pengaruh
besar terhadap penerimaan negara.
Selain itu, proporsi belanja dan utang
juga ditentukan dari seberapa besar
penerimaan yang ditargetkan. Apabila
target terlalu tinggi dan tidak tercapai
lagi, belanja menjadi terlalu besar yang
tentunya harus ditutupi dengan utang
negara. Defisit anggaran pada tahun
2016 sudah mencapai 2,41% dari
Produk Domestik Bruto sedangkan
menurut Undang-Undang Nomor 17
tahun 2003 tentang Keuangan Negara
memberikan batas maksimal 3%.
Apabila batas maksimal tersebut
terlampaui, kesinambungan fiskal
Indonesia sulit tercapai.
D. Referensi
Direktorat Jenderal Pajak, 2005, Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-04/PJ.34/2005 tentang
Petunjuk Penerapan Kriteria
“Beneficial Owner” Sebagaimana
Tercantum dalam Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda
Antara Indonesia dengan Negara
Lainnya
Direktorat Jenderal Pajak, 2016, Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-03/PJ/2016 tentang
Petunjuk Kegiatan Ekstensifikasi,
Pendaftaran, Pendataan,
Penilaian, dan Kegiatan
Pendukung Lainnya Tahun 2016
Financial Action Task Force, 2014,
Guidance on Transparency and Beneficial Ownership
Fuad, Noor, dkk. 2006, Keuangan
Publik: Teori dan Aplikasi, Jakarta:
LPKPAP, BPPK
Geospasial untuk Perpajakan,
Direktorat Jenderal Pajak,
Direktorat Ekstensifikasi dan
Penilaian, 2015
Kementerian Keuangan Republik
Indonesia, 2017, Nota Keuangan
Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 2017
Republik Indonesia, 1945,
Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia, 1998,
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998
tentang Perbankan
Republik Indonesia, 2007,
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan
Republik Indonesia, 2016,
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016
tentang Pengampunan Pajak
https://finance.detik.com/ekonomi-
bisnis/3421560/begini-cara-ditjen-pajak-akses-data-rekening-di-bank
(diakses pada 16 April 2017)
http://www.pajak.go.id/statistik-amnesti
(diakses pada 15 April 2017)
https://pemeriksaanpajak.com/2017/03
/29/per-1-april-ini-strategi-baru-djp-periksa-wajib-pajak/ (diakses pada
16 April 2017)
http://www.ti.or.id/index.php/news/201
7/03/15/keterbukaan-benefisial-
ownership-didorong-masuk-revisi-uu-kup (diakses pada 16 April