• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan dan Peningkatan Obat Tradisional Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengembangan dan Peningkatan Obat Tradisional Indonesia"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Pengembangan Obat Tradisional Indonesia

Menjadi Fitofarmaka*

Hedi R. Dewoto

Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan

Saat ini meskipun obat tradisional cukup banyak digunakan oleh masyarakat dalam usaha pengobatan sendiri

(self-medication), profesi kesehatan/dokter umumnya masih

enggan untuk meresepkan ataupun menggunakannya. Hal tersebut berbeda dengan di beberapa negara tetangga seperti Cina, Korea, dan India yang mengintegrasikan cara dan pengobatan tradisional di dalam sistem pelayanan kesehatan formal.Alasan utama keengganan profesi kesehatan untuk meresepkan atau menggunakan obat tradisional karena bukti ilmiah mengenai khasiat dan keamanan obat tradisional pada manusia masih kurang.1 Obat tradisional Indonesia meru-pakan warisan budaya bangsa sehingga perlu digali, diteliti dan dikembangkan agar dapat digunakan lebih luas oleh masyarakat.

Definisi obat tradisional ialah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.2 Obat tradisional Indonesia atau

obat asli Indonesia yang lebih dikenal dengan nama jamu, umumnya campuran obat herbal, yaitu obat yang berasal dari tanaman. Bagian tanaman yang digunakan dapat berupa akar, batang, daun, umbi atau mungkin juga seluruh bagian tanaman.

Fitofarmaka adalah obat dari bahan alam terutama dari alam nabati, yang khasiatnya jelas dan terbuat dari bahan baku, baik berupa simplisia atau sediaan galenik yang telah memenuhi persyaratan minimal, sehingga terjamin kese-ragaman komponen aktif, keamanan dan kegunaannya.

Penggunaan obat tradisional di Indonesia sudah berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu, sebelum obat modern ditemukan dan dipasarkan. Hal itu tercermin antara lain pada lukisan di relief Candi Borobudur dan resep tanaman obat yang ditulis dari tahun 991 sampai 1016 pada daun lontar di Bali.3

Indonesia yang beriklim tropis merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Indonesia memiliki sekitar 25 000-30 000 spesies tanaman yang merupakan 80% dari jenis tanaman di dunia dan 90 % dari jenis tanaman di Asia.1,4

Hasil inventarisasi yang dilakukan PT Eisai pada 1986 mendapatkan sekitar tujuh ribu spesies tanaman di Indone-sia digunakan masyarakat sebagai obat,5 khususnya oleh

(2)

industri jamu dan yang didaftarkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia berjumlah 283 spesies tanaman.1 Senarai tumbuhan obat Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1986 mendokumentasi 940 tanaman obat dan jumlah tersebut tidak termasuk tanaman obat yang telah punah atau langka dan mungkin ada pula tanaman obat yang belum dicantumkan.6

Bila dikaji dari sejarah perkembangan, beberapa obat moderen ternyata sebagian di antaranya juga disolasi dari tanaman (Tabel 1).1,7 Selain itu didapatkan juga obat anti-kanker yang berasal dari sumber bahan alam seperti aktinomisin, bleomisin, dan daunorubisin yang diisolasi dari jamur dan bakteri.

Tabel 1. Obat yang Berasal dari Tanaman1,7

Nama Obat Nama sumber Tanaman Kegunaan

Kolkisin Colchicum autumnale Gout Digitalis Digitalis purpurea Gagal jantung Opium Papaver somniferum Analgesik Kina Cinchona ledgeriana Antimalaria Artemisinin Artemisin annua Antimalaria Vinkristin Vinca rosea Antikanker Vinblastin Vinca rosea Antikanker

Dalam dekade belakangan ini di tengah banyaknya jenis obat modern di pasaran dan munculnya berbagai jenis obat modern yang baru, terdapat kecenderungan global untuk kembali ke alam (back to nature). Faktor yang mendorong masyarakat untuk mendayagunakan obat bahan alam antara lain mahalnya harga obat modern/sintetis dan banyaknya efek samping.8 Selain itu faktor promosi melalui media masa juga ikut berperan dalam meningkatkan penggunaan obat bahan alam. Oleh karena itu obat bahan alam menjadi semakin populer dan penggunaannya meningkat tidak saja di negara sedang berkembang seperti Indonesia, tetapi juga pada negara maju misalnya Jerman dan Amerika Serikat. Tahun 2000 pasar dunia untuk obat herbal termasuk bahan baku mencapai 43 000 juta dolar Amerika. Penjualan obat herbal meningkat dua kali lipat antara tahun 1991 dan 1994, dan antara 1994 dan 1998 di Amerika Serikat.9

Di Indonesia menurut survei nasional tahun 2000, didapatkan 15,6% masyarakat menggunakan obat tradisional untuk pengobatan sendiri dan jumlah tersebut meningkat menjadi 31,7 % pada tahun 2001.10 Jenis obat tradisional yang digunakan dapat berupa obat tradisional buatan sendiri, jamu gendong maupun obat tradisional industri pabrik.

Obat Tradisional sebagai Obat Alternatif

Penggunaan obat tradisional di Indonesia tidak saja berlangsung di desa yang tidak memiliki/jauh dari fasilitas kesehatan dan obat modern sulit didapat, tetapi juga berlangsung di kota besar meskipun banyak tersedia fasilitas

kesehatan dan obat modern mudah diperoleh. Obat tra-disional mungkin digunakan sebagai obat alternatif karena mahalnya atau tidak tersedianya obat modern/sintetis dan adanya kepercayaan bahwa obat tradisional lebih aman. Selain untuk memelihara kesehatan dan mengobati penyakit ringan, yang mengkhawatirkan ialah obat tradisional juga digunakan masyarakat sebagai obat pilihan untuk mengobati penyakit berat, penyakit yang belum memiliki obat yang memuaskan seperti kanker dan AIDS, serta berbagai penyakit menahun misalnya hipertensi dan diabetes melitus tanpa pengawasan/sepengetahuan dokter.

Meningkatnya Industri Obat Tradisional

Meningkatnya minat masyarakat terhadap obat tra-disional memacu industri farmasi di Indonesia untuk ikut memproduksi obat tradisional. memproduksi obat tradisional yang mendaftar pada Badan POM ada 16 perusahaan dan meningkat menjadi 82 pada tahun berikutnya.12 Jumlah industri yang memproduksi obat tradisional sampai akhir 2002 di Indonesia didapatkan 1012, yang terdiri atas 105 industri skala besar dan 907 industri skala kecil.13 Jumlah sediaan obat tradisional yang didaftar pada Badan POM akhir 2006 adalah 14 217 termasuk dian-taranya 2 036 produk impor dan 52 produk lisensi.12

Penelitian Obat Tradisional Indonesia

(3)

kebutuhan tanaman obat tertentu yang meningkat sehingga kebutuhan tidak terpenuhi dari lahan yang ada atau karena berkurangnya lahan tempat tumbuh tanaman obat. Tanaman Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molenb), merupakan tumbuhan liar di hutan pegunungan Dieng yang secara empiris turun menurun digunakan untuk meningkatkan vitalitas pria. Penelitian pada tikus jantan cenderung meningkatkan testosteron. Dewasa ini tanaman tersebut sudah termasuk langka karena penambangan Purwoceng secara besar-besaran dan intensifikasi pertanian di pegu-nungan Dieng. Oleh karena itu dilakukan penelitian pengembangan di luar habitat aslidi Gunung Putri. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan Purwoceng dapat dibudidayakan di Gunung Putri, namun produksi dan mutunya lebih rendah dari pada di pegunungan Dieng.14 Diperkirakan dengan pemupukan tanah Gunung Putri akan meningkatkan produksi dan mutu simplisia. Jadi pengem-bangan obat tradisional tidak lepas dari pembudidayaannya. Saat ini minat untuk melakukan penelitian obat tradisional/obat herbal cukup banyak. Hal itu tercermin antara lain dari banyaknya peserta Program Pendidikan Pascasarjana (P3S) Biomedik FKUI, ataupun Program Pendidikan Dokter Spesialis khususnya Spesialis Farmakologi Klinik yang melakukan penelitian mengenai obat herbal untuk tesisnya. Selain di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, penelitian mengenai obat tradisional/obat herbal juga banyak dilakukan di lembaga penelitian, pemerintah maupun industri farmasi. Sebagian hasil penelitian dilaporkan di seminar atau kongres terutama yang khusus membahas hasil penelitian obat tradisional/obat herbal seperti Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia. Di sisi lain, banyak hasil penelitian yang tidak dipublikasikan dan tersebar di berbagai institusi pendidikan, lembaga penelitian, pemerintah/ departemen maupun di industri. Oleh karena itu diperlukan suatu badan yang mengkoordinasi pengumpulan data penelitian obat herbal di Indonesia beserta hasilnya dan mengintegrasikan pada satu database yang dapat diakses oleh semua pihak yang berminat. Data tersebut akan sangat berguna sebagai sumber informasi terutama untuk menen-tukan penelitian selanjutnya, baik untuk menghindari duplikasi penelitian, memperbaiki metode, maupun untuk melengkapi penelitian yang sudah ada.

Penelitian dalam bidang obat tradisional/obat herbal di Indonesia perlu dilakukan secara terkoordinasi, terpadu dan terarah agar dapat memberikan hasil yang komprehensif. Oleh karena itu perlu dibentuk jaringan kerja sama antar peneliti dari berbagai disiplin ilmu. Badan POM tahun 2002 melakukan pemetaan penelitian obat tradisional/obat herbal yang telah dilakukan di perguruan tinggi, lembaga penelitian, industri, dan pemerintah, mulai dari budidaya hingga uji klinik. Selanjutnya setelah dilakukan pemetaan ditetapkan sembilan spesies tanaman unggulan untuk diteliti lebih lanjut sampai ke tahap uji klinik. Di bawah koordinasi Badan POM uji klinik dilakukan oleh peneliti dari berbagai perguruan tinggi. Hal

itu dilakukan dalam usaha mendapatkan obat golongan fitofarmaka. Sembilan spesies tanaman yang dipilih sebagai tanaman unggulan untuk diteliti lebih lanjut, termasuk uji klinik, adalah cabe jawa (Piper retrofractum Vahl.), temulawak

(Curcuma xanthorrhiza Roxb.), kunyit (Curcuma domestica

Val.), jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.), sambiloto

(Andrographis paniculata Nees.), jahe (Zingiber officinale

Rosc.), mengkudu (Morinda citrifolia L.), salam (Eugenia polyantha Wight.), dan jambu biji (Psidium guajava L.).13

Perbedaan Obat Tradisional Indonesia dengan Obat

Modern

Tabel 3. Perbedaan Obat Tradisional/obat Herbal dengan Obat Moderen9

Obat moderen Obat tradisional/ obat herbal

Kandungan senyawa Satu atau beberapa Campuran banyak –kimia dimurnikan/sintetik senyawa alami Zat aktif Jelas Sering tidak diketahui/

atautidak pasti Kendali mutu Relatif mudah Sangat sulit Efektivitas dan Ada bukti ilmiah, Umumnya belum ada keamanan uji klinik bukti ilmiah/uji klinik

Berbeda dengan obat moderen yang mengandung satu atau beberapa zat aktif yang jelas identitas dan jumlahnya, obat tradisional/obat herbal mengandung banyak kandungan kimia dan umumnya tidak diketahui atau tidak dapat dipas-tikan zat aktif yang berperan dalam menimbulkan efek terapi atau menimbulkan efek samping. Selain itu kandungan kimia obat herbal ditentukan oleh banyak faktor. Hal itu disebabkan tanaman merupakan organisme hidup sehingga letak geografis/tempat tumbuh tanaman, iklim, cara pem-budidayaan, cara dan waktu panen, cara perlakuan pasca-panen (pengeringan, penyimpanan) dapat mempengaruhi kandungan kimia obat herbal.15,16 Kandungan kimia tanaman obat ditentukan tidak saja oleh jenis (spesies) tanaman obat, tetapi juga oleh anak jenis dan varietasnya. Sebagai contoh bau minyak kayu putih yang disuling dari daun Eucalyptus sp bervariasi tergantung dari anak jenis dan varietas tumbuhan, bahkan ada di antaranya yang tidak berbau.

(4)

Konsep Pengembangan Obat Bahan Alam Indonesia

Berdasarkan tingkat pembuktian khasiat, persaratan bahan baku yang digunakan, dan pemanfaatannya, obat bahan alam Indonesia dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu: jamu, obat herbal terstandar, dan fitofamaka (Gambar 1).18

- Penggunaannya secara turun menurun, empiris

- Bahan baku tidak distandarisasi

- Untuk pengobatan sendiri

- Pembuktian khasiat dan keama-nan berdasarkan uji preklinik

- Bahan baku distandarisasi

- Untuk pengobatan sendiri

- Pembuktian khasiat dan keama-nan berdasarkan uji preklinik & uji klinik

- Bahan baku, produk jadi distan-darisasi

- Untuk pelayanan kesehatan formal

Gambar 1. Konsep Pengembangan Obat Bahan Alam Indo-n e s i a

Standarisasi dan Persaratan Mutu Simplisia

Dalam rangka pengembangan obat tradisional Indone-sia menjadi obat herbal terstandar dan fitofarmaka, stan-darisasi dan persyaratan mutu simplisia obat tradisional merupakan hal yang perlu diperhatikan.

Simplisia merupakan bahan baku yang berasal dari tanaman yang belum mengalami pengolahan, kecuali pengeringan. Standarisasi simplisia dibutuhkan karena kandungan kimia tanaman obat sangat bervariasi tergantung banyak faktor seperti telah dikemukakan sebelumnya. Standarisasi simplisia diperlukan untuk mendapatkan efek yang dapat diulang(reproducible).Kandungan kimia yang dapat digunakan sebagai standar adalah kandungan kimia yang berkhasiat, atau kandungan kimia yang hanya sebagai petanda (marker), atau yang memiliki sidik jari (fingerprint)

pada kromatogram. Untuk mendapatkan simplisia dengan mutu standar diperlukan pembudidayaan dalam kondisi standar. Dewasa ini industri obat tradisional disarankan dan didorong untuk melakukan budidaya dan mengembangkan sendiri tanaman sumber simplisianya sehingga diharapkan diperoleh simplisia dengan mutu standar yang relatif homogen. Standarisasi tidak saja diperlukan pada simplisia, tetapi juga pada metode pembuatan sediaan termasuk pelarut yang digunakan dan standardisasi sediaan jadinya.16,19

Jamu

Obat herbal terstandar

Fitofarmaka

Untuk pengembangan obat tradisional menjadi obat herbal terstandardisasi dan fitofarmaka, simplisia harus memenuhi persaratan mutu agar dapat menimbulkan efek dan aman. Persaratan mutu simplisia sejumlah tanaman tertera dalam buku Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indo-nesia, atau Materia Medika Indonesia. Materia Medika In-donesia yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengawasan Obat Tradisional memuat persaratan baku mutu simplisia yang banyak dipakai oleh perusahaan obat tradisional.20 Peme-liharaan mutu harus diupayakan dari hulu ke hilir mulai dari budidaya, pemanenan dan pengolahan pasca panen, pembuatan bahan baku, sampai ke pembuatan sediaan dan sediaannya.Parameter standar mutu simplisia antara lain mencakup kadar abu, kadar zat terekstraksi air, kadar zat terekstraksi etanol, bahan organik asing, cemaran mikroba termasuk bakteri patogen, cemaran jamur/kapang, cemaran aflatoksin, cemaran residu pestisida, cemaran logam berat, kadar air, kadar zat aktif/zat identitas. Parameter standar mutu ekstrak selain hal di atas juga mencakup konsistensi ekstrak, sedangkan parameter untuk sediaan termasuk di antaranya waktu hancur, kadar bahan tambahan (pengawet, pewarna, pemanis, bahan kimia obat), kadar etanol, dan stabilitas.2

Tahapan Pengembangan Obat Tradisional Indonesia

Agar obat tradisional dapat diterima di pelayanan kesehatan formal/profesi dokter, maka hasil data empirik harus didukung oleh bukti ilmiah adanya khasiat dan keamanan penggunaannya pada manusia. Bukti tersebut hanya dapat diperoleh dari penelitian yang dilakukan secara sistematik. Tahapan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka adalah sebagai berikut.2,9,22

1. Seleksi

2. Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farma-kodinamik

3. Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pem-buatan sediaan terstandar

4. Uji klinik

Tahap Seleksi

Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat tradisional/obat herbal yang akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat tradisional/obat herbal yang diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan adalah:2,21 1. Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki

urutan atas dalam angka kejadiannya (berdasarkan pola penyakit)

2. Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu

3. Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan kanker.

(5)

ini dilakukan terhadap tanaman Mahkota Dewa (Phaleria

macrocarpa) yang diklaim antara lain bermanfaat untuk

penderita diabetes melitus dan buah merah (Pandanus

conoideus Lamk.) yang diklaim antara lain dapat

me-nyembuhkan kanker dan AIDS.

Tahap Uji Preklinik

Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang akan dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya. Bentuk sediaan dan cara pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada manusia. Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang dikeluarkan Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan untuk sementara satu spesies tikus atau mencit, sedangkan WHO menganjurkan pada dua spesies.Uji farmakodinamik pada hewan coba digunakan untuk memprediksi efek pada manusia, sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk melihat keamanannya.

Uji Toksisitas

Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, sub-kronik, sub-kronik, dan uji toksisitas khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas. Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD50 (lethal dose50) yaitu dosis yang mematikan 50% hewan coba, menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan cara kematian. Uji LD50 perlu dilakukan untuk semua jenis obat yang akan diberikan pada manusia. Untuk pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut. Pada uji toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan, sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih. Uji toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat tradisional pada pemberian jangka lama. Lama pemberian sediaan obat pada uji toksisitas ditentukan berdasarkan lama pemberian obat pada manusia (Tabel 4).2

Tabel 4. Hubungan Lama Pemberian Obat pada Manusia dan Lama Pemberian Obat pada Hewan Coba pada Uji Toksisitas2

Lama pemberian pada manusia Lama pemberian obat pada hewan coba

Dosis tunggal atau <1 minggu 2 minggu – 1 bulan Dosis berulang + 1-4 minggu 4 minggu – 3 bulan Dosis berulang + 1-6 bulan 3-9 bulan Dosis berulang >6 bulan 9-12 bulan

Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat tradisional agar masuk ke tahap uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan secara selektif bila:2,20

1. Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan efek khusus seperti kanker, cacat bawaan. 2. Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan

usia subur

3. Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit tertentu misalnya kanker.

4. Obat digunakan secara kronik

Uji Farmakodinamik

Penelitianfarmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek farmakodinamik dan menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat tradisional tersebut. Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo

pada hewan coba. Cara pemberian obat tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara pemberiannya pada manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada hewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan ke-mungkinan efek pada manusia

Standardisasi Sederhana, Penentuan Identitas dan Pembuatan Sediaan Terstandar

Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, penentuan identitas, dan menentukan bentuk sediaan yang sesuai. Bentuk sediaan obat herbal sangat mempengaruhi efek yang ditimbulkan. Bahan segar berbeda efeknya dibandingkan dengan bahan yang telah dikeringkan. Proses pengolahan seperti direbus, diseduh dapat merusak zat aktif tertentu yang bersifat termolabil.15 Sebagai contoh tanaman obat yang mengandung minyak atsiri atau glikosida tidak boleh dibuat dalam bentuk decoct karena termolabil. Demikian pula prosedurekstraksi sangat mempengaruhi efek sediaan obat herbal yang dihasilkan. Ekstrak yang diproduksi dengan jenis pelarut yang berbeda dapat memiliki efek terapi yang berbeda karena zat aktif yang terlarut berbeda. Sebagai contoh daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) memiliki tiga jenis kandungan kimia yang diduga berperan untuk pelangsing yaitu tanin, musilago, alkaloid. Ekstraksi yang dilakukan dengan etanol 95% hanya melarutkan alkaloid dan sedikit tanin, sedangkan ekstraksi dengan air atau etanol 30% didapatkan ketiga kandungan kimia daun jati belanda yaitu tanin, musilago, dan alkaloid tersari dengan baik.22

Uji klinik Obat tradisional

Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/ obat herbal harus dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. Seperti halnya dengan obat moderen maka uji klinik berpembanding dengan alokasi acak dan tersamar ganda (randomized double-blind controlled clinical trial) merupakan desain uji klinik baku emas (gold standard).

(6)

etik uji klinik harus dipenuhi. Sukarelawan harus mendapat keterangan yang jelas mengenai penelitian dan memberikan

informed-consent sebelum penelitian dilakukan.

Standar-disasi sediaan merupakan hal yang penting untuk dapat menimbulkan efek yang terulangkan (reproducible). Uji klinik dibagi empat fase yaitu:

Fase I : dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk me-nguji keamanan dan tolerabilitas obat tradisio-nal

Fase II awal: dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding

Fase II akhir: dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding

Fase III : uji klinik definitif

Fase IV : pasca pemasaran,untuk mengamati efek sam-ping yang jarang atau yang lambat timbulnya

Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat dan tidak menunjukkan efek samping yang merugikan, setelah mengalami uji preklinik dapat langsung dilakukan uji klinik dengan pembanding. Untuk obat tradisional yang belum digunakan secara luas harus melalui uji klinik pendahuluan (fase I dan II) guna mengetahui tolerabilitas pasien terhadap obat tradisional tersebut.2

Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang digunakan umumnya berdasarkan dosis empiris tidak didasarkan dose-ranging study. Kesulitan yang dihadapi adalah dalam melakukan pembandingan secara tersamar dengan plasebo atau obat standar. Obat tradisional mungkin mempunyai rasa atau bau khusus sehingga sulit untuk dibuat tersamar.

Saat ini belum banyak uji klinik obat tradisional yang dilakukan di Indonesia meskipun nampaknya cenderung meningkat dalam lima tahun belakangan ini. Kurangnya uji klinik yang dilakukan terhadap obat tradisional antara lain karena:

1. Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik

2. Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti berkhasiat dan aman pada uji preklinik

3. Perlunya standardisasi bahan yang diuji

4. Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis berdasarkan dosis empiris, selain itu kandungan kimia tanaman tergantung pada banyak faktor.

5. Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutama bagi produk yang telah laku di pasaran

Setelah melalui penilaian oleh Badan POM, dewasa ini terdapat sejumlah obat bahan alam yang digolongkan sebagai obat herbal terstandar dan dalam jumlah lebih sedikit di-golongkan sebagai fitofarmaka.

Penutup

Agar obat tradisional/obat herbal dapat diterima dan

digunakan pada pelayanan kesehatan formal maka pembuktian khasiat dan kemananan obat tradisional pada manusia melalui uji klinik perlu ditingkatkan. Meskipun minat untuk melakukan penelitian dan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka cukup baik, seringkali terbentur pada masalah dana penelitian yang sulit didapat. Koordinasi penelitian antar departemen, perguruan tinggi, lembaga/pusat penelitian perlu ditingkatkan agar tidak terjadi duplikasi dan pemborosan dana penelitian. Pemerintah, perguruan tinggi, dan organisasi nonpemerintah perlu menyediakan dana untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas penelitian, termasuk penelitian dan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka, sehingga dapat dimanfaatkan pada pelayanan kesehatan.

Daftar Pustaka

1. Pramono E. The commercial use of traditional knowledge and medicinal plants in Indonesia. Submitted for multi-stakeholder dialoque on trade, intellectual property and biological resources in Asia, 2002.

2. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Direktorat Pengawasan Obat Tradisional. Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional, 2000.

3. Pringgoutomo S. Riwayat perkembangan pengobatan dengan tanaman obat di dunia timur dan barat. Buku ajar Kursus Herbal Dasar untuk Dokter. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.p.1-5. 4. Erdelen WR, Adimihardja K, Moesdarsono H, Sidik. Biodiversity, traditional medicine and the sustainable use of indigenous medici-nal plants in Indonesia. Indigenous knowledge and development monitor 1999;7(3):3-6.

5. PT Eisai Indonesia. Medicinal herb index in Indonesia. Jakarta: PT Eisai; 1986

6. Departemen Kesehatan RI. Senarai Tumbuhan Obat Indonesia, 1986.

7. Hoareau L, DaSilva EJ. Medicinal plants: a re-emerging health aid. Journal of Biotechnology 1999;2(2):57-63. Diunduh dari: http://www.ejb.org/content/vol2/ issue2/full/2/

8. Pramono S. Kontribusi bahan obat alam dalam mengatasi krisis bahan obat di Indonesia. Jurnal Bahan Alam Indonesia 2002;l:18-20.

9. Timmermans K. ASEAN Workshop on the TRIPS agreement and traditional medicine; 2001. Diunduh dari: http://www.-who.or.id/eng/products/ow5/sub1/ display. asp?id=4

10. Badan Pusat Statistik, 1999-2002. Dikutip dari: Supardi S, Nurhadiyanto F, Eng SW. Penggunaan obat tradisional buatan pabrik dalam pengobatan sendiri di Indonesia. Jurnal Bahan Alam Indonesia 2003;2 (4):136-41.

11. Direktorat Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetik–Badan POM, 2007.

12. Soediyani N. Direktur Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetik-Badan POM, 2007 (komunikasi pribadi). 13. Moeloek FA. Herbal and traditional medicine: National perspec-tives and policies in Indonesia. Jurnal Bahan Alam Indonesia 2006;5(1):293-97.

14. Rahardjo M, Darwati I, Shusena A. Produksi dan mutu simplisia Purwoceng berdasarkan lingkungan tumbuh dan umur tanaman. Jurnal Bahan Alam Indonesia 2006;5(1):310-16.

15. Fluck H, Jaspersen R. Medicinal plants and their uses. London: W. Foulsham & Co. Ltd; 1976.

16. Raskin I, Ripoll C. Can an apple a day keep the doctor away? Current Pharmaceutical Design 2004;10:1-9.

(7)

18. Ritiasa K. Kebijakan pengembangan obat herbal Indonesia. Disampaikan pada Seminar nasional obat herbal dan akupunktur, 3 Juli 2004.

19. Ziment I, Rotblatt M. Evidence-based herbal medicine. Philadel-phia: Hanley & Belfus, Inc; 2002.

20. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Materia Medika In-donesia, 1977.

21. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Obat Kelompok Fitoterapi, 1985.

22. Pramono S, Nurwati S, Sugiyanto. Pengaruh lendir daun jati belanda terhadap berat badan tikus jantan galur Wistar. Warta Tumbuhan 0bat Indonesia 2000:6(2).

Gambar

Tabel 2. Jumlah dan Jenis Industri Obat Tradisional yang Di-daftar  di Badan POM11
Tabel 3. Perbedaan  Obat Tradisional/obat Herbal dengan ObatModeren9
Gambar 1.Konsep Pengembangan Obat Bahan Alam Indo-nesia
Tabel 4. Hubungan Lama Pemberian Obat pada Manusia danLama  Pemberian Obat pada Hewan  Coba  pada  UjiToksisitas2

Referensi

Dokumen terkait

Guru SD harus memiliki kemampuan memberikan layanan bimbingan di sekolah, yang mencakup bimbingan pribadi/ sosial/ belajar/ karir, dalam rangka membantu tugas

yang didapat dari hasil optimasi menunjukan hasil yang sangat baik dan mengalami peningkatan data dari kondisi awal di daerah dayeuhkolot dan margahayu adalah 1 Mbps – 11 Mbps

Satu dusun boleh memiliki satu atau lebih bidang tanah dan satu atau lebih bidang tanah hanya berada pada satu dusun, sehingga direpresentasikan dengan derajat hubungan 1 :

PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan banten UPJ Banjaran dalam operasionalnya untuk melakukan pengolahan data khususnya yang berkaitan dengan Pelayanan Pelanggan

Meskipun tingkat pendidikan masyarakat merupakan hal yang sangat penting, tetapi sebagian pengrajin gula tapo masih menganggap bahwa pendidikan bukanlah hal yang mendasar

Orang, proses, atau sistem lain yang berinteraksi dengan sistem informasi yang akan dibuat di luar sistem informasi yang akan dibuat itu sendiri. 3

Suatu fluida dapat mengalir melalui pipa dengan cara yang berbeda–beda, ketika suatu fluida mengalir dalam pipa silinder dan velositasnya diukur pada jarak yang berbeda dari

Hal ini sesuai dengan penelitian Jaya (2013) dengan judul “Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan.. Spiritual dan Lingkungan Kerja