• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Pasar, Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Struktur Pasar, Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Struktur Pasar, Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan

*

Oleh Syafruddin Karimi Ph.D**

Sejak pertengahan tahun 1980an Indonesia telah melakukan suatu kebijaksanaan

penyesuaian ekonomi dalam bentuk instrumen stabilisasi dan reformasi distorsi struktural

(Khan, 1993). Ini ditujukan untuk memberikan tangkisan terhadap goncangan ekonomi

eksternal. Reformasi kebijaksanaan ekonomi yang dilakukan Indonesia tercermin strategi

perdagangan yang berorientasi keluar. Instrumen utama kebijaksanaan stabilisasi

meliputi penyesuaian nilai tukar dalam bentuk penghematan fiskal dan pengetatan

moneter. Kebijaksanaan ini tidak hanya menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi yang

mengesankan, tetapi ia juga telah menurunkan ketimpangan pembagian pendapatan dan

jumlah penduduk miskin (Huppi dan Ravallion, 1991; Khan, 1993). Penyesuaian

struktural telah merubah kondisi perekonomian Indonesia dari yang bercirikan

‘inegalitarian’ dan tidak efisien kepada yang bercirikan efisiensi dan pemerataan (Khan,

1993). Selama masa penyeseuaian, Indonesia telah mengalami penurunan dalam

ketimpangan distribusi pendapatan dan pengurangan jumlah penduduk miskin.

*

(2)

Pengalaman ini dinilai sebagai sebuah prestasi langka bagi sebuah negara yang sedang

mengalami penyesuaian kebijaksanaan (Khan, 1993). Tulisan merupakan diskusi umum

mengenai distribusi pendapatan, tingkat kemiskinan, dan program IDT. Di sini

dipertanyakan pula pengaruh mikro dari kebijaksanaan makro ekonomi terhadap

distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan.

Distribusi pendapatan mempunyai kaitan yang dekat dengan tingkat kemiskinan.

Makin merata distribusi pendapatan, tingkat kemiskinan diharapkan semakin rendah.

Distribusi pendapatan lazim dinilai dengan menggunakan koefisien Gini dan bagian

pendapatan yang diterima atau dikeluarkan oleh golongan golongan tertentu di dalam

masyarakat. Koefisien Gini memiliki nilai yang bergerak dari 0 hingga 1. Tingkat

ketimpangan semakin rendah dengan semakin dekatnya koefisien Gini ke nilai 0.

Sebaliknya terjadi bila koefisien Gini menuju 1. Dengan menggunakan bagian

pendapatan yang diterima atau dikeluarkan, penduduk dikelompokkan menurut kelas

kelas di dalam masyarakat. Kelompok miskin adalah mereka yang tergolong 40 persen

masyarakat kelas bawah, dan 40 persen di atasnya adalah golongan menengah.

Sedangkan golongan masyarakat yang berada 20 persen di atas kedua kelompok ini

tergolong kepada 20 persen masyarakat kelas atas. Distribusi pendapatan disebut makin

merata bila 40 persen masyarakat kelas bawah menerima atau mengeluarkan bagian yang

semakin besar dari jumlah pendapatan. Di dalam hal ini yang dibicarakan adalah

distribusi pendapatan personal.

Beberapa tahun terakhir ini tingkat kemiskinan di Indonesia dilaporkan telah

mengalami penurunan. Penurunan ketimpangan distribusi pendapatan diduga merupakan

(3)

penyebab utama pengurangan proporsi penduduk miskin. Hasil Survai Sosial Ekonomi

Nasional (Susenas) memperlihatkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan di daerah

pedesaan menurun lebih cepat dibanding dengan ketimpangan distribusi pendapatan di

daerah perkotaan. Di daerah pedesaan, koefisien Gini menurun dari 0.31 pada tahun 1976

menjadi 0.26 pada tahun 1993, sedangkan di daerah perkotaan koefisien Gini hanya

mengalami penurunan dari 0.35 menjadi 0.33. Bagi Indonesia secara keseluruhan

ketimpangan distribusi pendapatan kelihatan mengalami fluktuasi. Koefisen Gini

mengalami kenaikan dari 0.34 pada tahun 1976 menjadi 0.38 pada tahun 1978, turun

menjadi 0.32 pada tahun 1990. Kemudian naik menjadi 0.34 pada tahun 1993.

Kebijaksanaan penyesuaian secara berarti juga telah menurunkan disparistas kota-desa

ini. Hal ini dimungkinkan karena kebijaksanaan stabilisasi dan penyesuaian ditujukan

untuk meningkatkan pendapatan desa relatif terhadap pendapatan penduduk kota. “Rural

bias” seperti ini banyak membantu keberhasilan dramatis Indonesia dalam menurunkan

tingkat kemiskinan (Khan, 1993).

Fakta memperlihatkan bahwa bagian pengeluaran mengalami sedikit pergeseran

dari masyarakat kelas menengah atas ke kelas masyarakat bawah. Penduduk yang

tergolong pada 40 persen masyarakat kelas bawah di daerah pedesaan mengalami

kenaikan bagian pengeluaran dari 22 persen pada tahun 1984 menjadi 24 persen pada

tahun 1990, sedangkan di daerah perkotaan mengalami penurunan dari 21 persen menjadi

20 persen. Kenaikan bagian pengeluaran pada 40 persen masyarakat kelas bawah di

daerah pedesaan berasal dari penurunan bagian pengeluaran 20 persen masyarakat kelas

(4)

masyarakat kelas atas mengalami peningkatan dari 41 persen pada tahun 1984 menjadi

43 persen pada tahun 1990.

Perekonomian Indonesia di daerah pedesaan tetap memegang peranan dominan

dalam bentuk besarnya jumlah penduduk, sedangkan di daerah perkotaan tetap pula

dominan dalam bentuk besarnya pengeluaran konsumen. Penurunan ketimpangan

pendapatan di daerah pedesaan belum mampu memperbaiki keadaan distribusi

pendapatan di dalam perekonomian secara keseluruhan. Bagian pengeluaran 40 persen

masyarakat kelas bawah di dalam perekonomian secara keseluruhan tidak mengalami

perubahan dari tahun 1984 hingga tahun 1990, masih tetap 21 persen. Bagian

pengeluaran 20 persen masyarakat kelas atas masih tetap pula 42 persen dalam waktu

yang sama. Keadaan yang sama juga terjadi dalam bagian pengeluaran pada 40 persen

masyarakat kelas menengah. Kelompok masyarakat ini mempunyai bagian pengeluaran

sebesar 37 persen antara tahun 1984 dan tahun 1990.

Berkurangnya jumlah penduduk miskin adalah indikator bagi mengukur

keberhasilan pembangunan. Karena pembangunan belum dikatakan terjadi bila hanya

pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi, dan kesempatan kerja saja yang

mengalami perbaikan. Faktor faktor ini hanya merupakan sebuah kondisi yang diperlukan

atau ‘necessary condition’. Pembangunan itu belum sepenuhnya terjadi bila pendapatan

per kapita yang meningkat, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan kesempatan kerja

yang luas tidak diikuti tingkat kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi yang semakin

menurun. Tanpa penurunan jumlah penduduk miskin dan ketimpangan sosial ekonomi,

pembangunan belum memenuhi syarat yang mencukupi atau ‘sufficient condition’.

(5)

penyebabnya. Berdasarkan bentuknya dikenal kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.

Kemiskinan absolut terjadi bila tingkat pendapatan seseorang atau suatu rumah tangga

tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok yang minimum. Sementara kemiskinan relatif

terjadi bila tingkat pendapatan seseorang atau suatu rumah tangga mampu memenuhi

kebutuhan pokok yang minimum, tetapi keadaannya masih berada di bawah

dibandingkan dengan keadaan masyarakat sekitarnya. Berdasarkan penyebabnya, dikenal

pula kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah disebabkan

oleh kelangkaan sumberdaya dan keterbatasan teknologi yang diperlukan untuk

melaksanakan kegiatan produktif, sedangkan kemiskinan struktural disebabkan oleh

perubahan kebijaksanaan politik dan ekonomi.

Sejak Repelita III Indonesia telah memberikan perhatian yang cukup besar

terhadap masalah pemerataan pembangunan dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia

dalam rangka mengurangi jumlah penduduk miskin. Biro Pusat Statistik menyusun

sebuah garis kemiskinan. Batas garis kemiskinan dinyatakan sebagai besarnya

pengeluaran yang mampu memenuhi kecukupan 2.100 kalori per kapita per hari untuk

kebutuhan minimum makanan ditambah dengan kebutuhan minimum bukan makanan

seperti perumahan, bahan bakar, sandang, pendidikan, kesehatan dan transpor. BPS telah

menyusun kriteria batas garis kemiskinan sejak tahun 1976. Secara umum selama kurun

waktu tersebut telah terjadi peningkatan batas garis kemiskinan mengikuti kenaikan

harga barang-barang yang dikonsumsi masyarakat yang mencerminkan pengaruh makro

ekonomi terhadap penduduk miskin.

Proporsi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menurun antara tahun

(6)

penduduk miskin berkurang dari 38.8 persen menjadi 13.5 persen dalam periode yang

sama. Sementara di daerah pedesaan jumlah penduduk miskin menurun dari 40.4 persen

menjadi 13.8 persen. Dari angka ini dapat disimpulkan bahwa tingkat kemiskinan absolut

telah mengalami penurunan. Namun tingkat kemiskinan relatif belum memperlihatkan

perbaikan secara menyeluruh. Bagian pendapatan yang diterima penduduk yang berada di

dalam 10 persen kelasbawah masih kurang dari 5 persen, sedangkan bagian pendapatan

yang diterima penduduk yang berada di dalam 10 persen kelas atas masih jauh di atas 20

persen (Satistik Indonesia).

Perhatian pemerintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan sudah terlihat sejak

dari awal tahap pembangunan. Trilogi pembangunan selalu mengandung unsur

pemerataan. Unsur pemerataan ini bahkan lebih dirinci lagi menjadi delapan jalur

pemerataan. Banyak pengamat menilai kebijiaksanaan ini sebagai kebijaksanaan makro

yang tidak memberikan serangan langsung terhadap masalah kemiskinan. Walaupun

belum banyak dikaji pengaruh kebiajksanaan makro tersebut terhadap distribusi

pendapatan dan kemiskinan, suatu kebijaksanaan mikro bagi pengurangan jumlah

penduduk miskin sangat dirasakan keperluannya. Karena hanya kebijaksanaan mikro

yang dianggap mampu menyerang kemiskinan secara langsung. Kiranya hal ini pulalah

yang merupakan lahirnya Program Inpres Desa Tertinggal atau IDT yang dirancang

secara khusus untuk menanggulangi kemiskinan sekaligus mempercepat perkembangan

sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di desa desa miskin menuju kondisi

ketangguhan, ketahanan dan kemandirian.

Program IDT diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi

(7)

kemampuan permodalan, mengembangkan usaha, dan memantapkan kelembagaan usaha

bersama di kalangan penduduk pedesaan. Penduduk miskin yang tergabung dalam

kelompok swadaya masyarakat (KSM) di desa-desa miskin merupakan kelompok sasaran

dalam program IDT. Secara spesifik sasarannya adalah kelompok penduduk di desa

miskin yang berpenghasilan rendah, memiliki kemampuan dan akses yang terbatas

terhadap pelayanan prasaranan dan permodalan, dan menghadapi masalah-masalah

khusus dan mendesak untuk mendapatkan penanganan dan bantuan. Dalam hal ini yang

menjadi krieteria penduduk miskin adalah: (1) jumlah anggota keluarga/rumah tangga

relatif besar (misalnya lebih dari 5 orang), disesuaikan tergantung kondisi setempat; (2)

tingkat pendidikan kepala keluarga dan anggota keluarga rendah, tidak tamat SD atau

tamat SD; (3) sumber pendapatan utama tidak menentu atau tidak tetap; (4) penguasaan

tanah terbatas, <0.5 ha atau di bawah rata-rata pemilikan tanah penduduk setempat; (5)

tidak memiliki asset atau barang berharga (kenderaan bermotor, ternak besar dan

sebagainya); dan (6) kondisi tempat tinggal serta lingkungan memprihatinkan. Adapun

desa desa yang dapat dikategorikan sebagai desa miskin sudah ditetapkan oleh Biro Pusat

Statistik.

Masih banyak yang perlu diungkap mengenai penyebab ketimpangan dalam

distribusi pendapatan dan kemiskinan. Walapun kebijaksanaan mikro dianggap memiliki

pengaruh langsung, pengaruh kebijaksanaan makro tidak kalah besarnya. Karena

kebijaksanaan makro dimensinya jauh lebih luas dan frekwensinya juga lebih sering.

Bahkan pengaruh kebijaksanaan makro bisa lebih permanen mempengaruhi distribusi

pendapatan dan tingkat kemiskinan. Namun karena dianggap sebagai tidak langsung

(8)

adalah kebijaksanaan deregulasi, baik di sektor moneter maupun di sektor produksi.

Kebijaksanaan ini diambil pada tingkat makro, tetapi mempunyai implikasi secara mikro

yang kemudian mempengaruhi alokasi sumberdaya pembangunan.

Sekali sebuah kebijaksanaan mempengaruhi alokasi sumberdaya, maka ia akan

mempengaruhi harga-harga relatif baik di pasar faktor produksi maupun di pasar

komoditi. Karena itu pengaruhnya terhadap distribusi pendapatan tidak dapat dihindari,

lalu terhadap tingkat kemiskinan. Pengaruhnya bisa positif atau negatif, tergantung pihak

mana di dalam masyarakat yang dirugikan atau diuntungkan oleh suatu kebijaksanaan.

Pengaruh mikro dari kebijaksanaan makro dalam soal distribusi pendapatan dan masalah

kemiskinan masih termasuk langka bila tidak dapat dikatakan sebagai belum ada sama

sekali.

Kini perekonomian Indonesia telah memasuki kancah pasar global. Kekuatan

ekonomi global memberikan tekanan yang semakin berat agar perrekonomian domestik

semakin dibuka buat bersaing secara internasional. Tendensi seperti ini akan semakin

kuat di masa datang yang tidak terlalu jauh. Sudahkah dikaji pengaruh tendensi ini dan

kebijaksanaan yang mengikutinya terhadap perubahan distribusi pendapatan dan tingkat

kemiskinan? Ini akan besar pengaruhnya terhadap penduduk miskin yang sedang

diangkat status sosial ekonominya melalui program IDT. Dengan demikian program IDT

perlu pula diperkuat dengan kebijaksanaan makro yang menjamin perlindungan bagi

kelangsungan usaha ekonomi pada lapisan bawah.

Saat ini struktur pasar di dalam perekonomian memperlihatkan timpangnya

persaingan. Pada lapisan atas terlihat kekuasaan pasar yang makin monopolistik sehingga

(9)

besar bagi lapisan ekonomi atas untuk menikmati keuntungan monopolistik yang

memungkinkan bagi akumulasi modal yang semakin besar. Keadaan sebaliknya terjadi

pada lapisan ekonomi bawah di mana struktur pasar cenderung memperlihatkan ciri ciri

bersaing sempurna. Pesaing terbuka buat memasuki pasar setiap saat sehingga harga

tertekan sama dengan biaya marjinal. Kesempatan buat memperoleh keuntungan di atas

normal semakin sulit yang selanjutnya berakibat terhadap kemampuan yang rendah

dalam mengakumulasi modal. Keadaan terakhir ini telah lama terbukti kebenarannya

dalam kasus industri pandai besi di Sungai Puar (Kahn, 1980).

Kecenderungan yang berlawanan arah dalam kemampuan mengakumulasi modal

antara lapisan ekonomi atas dan lapisan ekonomi bawah akan berakibat terhadap

kemampuan menghasilkan pendapatan. Dengan struktur pasar yang cenderung

monopolistik pada lapisan ekonomi atas dan bersaing sempurna pada lapisan ekonomi

bawah akan membawa ketimpangan distribusi pendapatan yang semakin tinggi. Ini tidak

diragukan lagi akan berpengaruh terhadap penduduk miskin, lalu masa depan program

IDT. Suatu Undang Undang yang mengatur struktur pasar kiranya sangat diperlukan.

Karena struktur pasar yang berkembang saat ini kurang memberikan proteksi kepada

lapisan ekonomi bawah yang identik dengan mayoritas penduduk miskin dan kurang

memberikan tekanan buat bersaing kepada ekonomi lapisan atas.

REFERENSI

Huppi, M. and Ravallion, M. (1991), “The Sectoral Structure of Poverty During an Adjustment Period: Evidence for Indonesia in the Mid-1980s”, World Development, 19, 1653-1678.

(10)

Referensi

Dokumen terkait

berkaitan sebab ada kemungkinan mendapatkan inspirasi dari salah satu ayat di dalam Alquran sebagaimana sudah diulas sebelumnya, Abdul Hadi WM dengan argumen yang berbeda

yang jelas dan transparan serta melaksanakan dengan konsisten penggunaan jalur prioritas didukung dengan peralatan dan teknologi yang tepat. Perubahan peraturan yang

Sedangkan fungsi pendukungnya (non teknis yudisial) meliputi : 1) Manajemen Sumber Daya Manusia. 2) Manajemen Sumber Daya Keuangan. 3) Manajemen Sarana dan Prasarana. 4)

Hal ini diperkuat dengan kepuasan kader kelompok intervensi dalam menggunakan SMS gateway dan anggapan dari mayoritas kader bahwa SMS gateway pelaporan ibu hamil

&#34; Hainya dengan inilah kita bisa berharap di .bidang film, misal- nya, satu hari nanti akan muncul film Indonesia yang didukung rumah animasi j^g mengingat- kan orang pada

THE INFLUENCE OF PROMOTION AND STORE ATMOSPHERE TO IMPULSE BUYING WITH SHOPPING EMOTION AS INTERVENING VARIABLE (STUDY AT MATAHARI DEPARTMENT STORE BRANCH PLAZA MEDAN FAIR).. Name

In the spring and summer of 1994, I had a growing conviction that God wanted me to fast and pray for forty days for revival in America and for the fulfillment of the

ثحبلا ةيلمع لودج يساردلا لصفلا رهشلا ةطشنأا يساردلا لصفلا لوأا ٢٠١٦ ريياني يملعلا ثحبلا عوضوم ةشقانم فرشما ةلباقم ثحبلا عوضوم نع ةقفاوما بلط سرام يملعلا