• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daya Saing Usaha Peternakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Daya Saing Usaha Peternakan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Daya Saing Usaha Peternakan

Pada dasawarsa 1990-an mulai terjadi revolusi peternakan dan

diperkirakan akan terus berlangsung dalam 20 tahun ke depan, dan ini berbeda

dengan revolusi hijau yang mesin penggerak utamanya adalah inovasi teknologi

pada sisi produksi yaitu penemuan varitas baru yang berumur pendek, maka

penggerak utama revolusi peternakan adalah peningkatan pada sisi permintaan

(Pantjar dan Prajogo, 2004). Permintaan akan produk peternakan di pasar

domestik diperkirakan akan meningkat sejalan dengan meningkatnya pendapatan

per kapita dan pertumbuhan jumlah penduduk (Pantjar dan Prajogo, 2004).

Usaha-usaha pengembangbiakan ternak jua telah dilakukan baik pada

pembentukan breed silang maupun persilangan antar bos, akan tetapi Indonesia

sampai 2020 diperkirakan masih akan mengalami difisit produksi daging sekitar

2,7 juta ton (Rutledge, 2004).

Produksi daging pada tahun 1998 berjumlah 1.228.500 ton dan sekitar

27,89% dari sejumlah tersebut berupa daging sapi (Ditjen Peternakan, 1999).

Permintaan daging sapi yang semakin meningkat akan menjadi perhatian

pemerintah yang ingin memberdayakan peternakan rakyat dengan memberikan

porsi 90% untuk memenuhi kebutuhan daging Nasional (Soehardji, 1995). Oleh

karena itu perlu diperlukan suatu teknologi penggemukan sapi yang mampu

diadopsi oleh peternakan rakyat, keberhasilan dalam meningkatkan produksi

dalam usaha penggemukan sapi dapat dicapai melalui rekayasa berbagai faktor

produksi (Soehardji, 1995).

Matatula (1997) menyatakan bahwa peternakan rakyat memiliki posisi

strategis sebagai tulang punggung untuk memenuhi kebutuhan pangan asal ternak.

Sarwono dan Arianto (2001) menyatakan bahwa peternakan yang berasal dari

peternakan rakyat rata-rata belum mencapai bobot yang maksimal ketika dipotong

di Rumah Potong Hewan (RPH), persentase karkas masih kurang dari 50%. Lebih

lanjut dikatakan bahwa kalau sapi digemukkan lebih dahulu selama 2-3 bulan

(2)

Wirdahayati et al, (1999) menyatakan bahwa peluang untuk mengoptimalkan pertumbuhan ternak masih memungkinkan mengingat

perkembang sapi mampu tumbuh dengan baik apabila dikelola dengan baik

disertai peningkatan mutu dan jumlah pakan ternak. Untuk menunjang

pengemukan sapi potdisi petani perlu upaya perbaikan manajemen dan pemberian

pakan (Haryanto et al, 2002).

Pengertian Produktivitas

Pengertian produktivitas dikemukakan dengan menunjukkan rasio output

terhadap input. Input dapat mencakup biaya produksi dan peralatan. Sedangkan

output bisa terdiri dari penjualan, pendapatan, market share, dan kerusakan. Produktivitas tidak sama dengan produksi, tetapi produksi merupakan komponen

dari usaha produktivitas.

Ada yang melihat pada performansi dengan memberikan penekanan pada

nilai efisiensi. Efisiensi diukur sebagai rasio output dan input. Dengan kata lain, pengukuran efesiensi menghendaki outcome, dan penentuan jumlah sumber daya

yang dipakai untuk menghasilkan outcome tersebut. Dengan demikian, pengertian produktivitas dapat didefinisikan sebagai rasio antara efektivitas pencapaian

tujuan pada tingkat kualitas tertentu (output) dan efisiensi penggunaan sumber daya (input). Produktivitas merupakan suatu kombinasi dari efektivitas dan efisiensi, sehingga produktivitas dapat dirumuskan (Gaspersz, 1998):

Pengukuran produktivitas yang hanya memperhitungkan salah satu

sumber daya sebagai variabel input dikenal sebagai produktivitas faktor tunggal (single-factor productivity). Sementara pengukuran produktivitas yang memperhitungkan semua variabel input (tenaga kerja, material, energi, modal) dikenal sebagai produktivitas multifaktor (multyfactor productivity) atau produktivitas faktor total (Hayzer dan Render, 2004).

Perhitungan produktivitas membantu manajer perusahaan menilai seberapa

(3)

lebih baik dalam perhitungan antar faktor, tetapi terdapat beberapa masalah dalam

perhitungan tersebut, yaitu (Hayzer dan Render, 2005):

1. Kualitas dapat berubah walaupun input dan output tetap.

2. Unsur luar dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan produktivitas

pada sistem.

3. Kurang atau bahkan tidak ada satuan pengukuran yang akurat.

Produktivitas faktor adalah kunci untuk menetapkan kombinasi, atau

proporsi input (variable proportion) yang optimal yang harus dipergunakan untuk menghasilkan satu produk yang mengacu pada the law of variable proportion. Produktivitas faktor memberikan dasar untuk penggunaan sumber daya yang

efisien dalam sebuah sistem produksi. Pengembangan output di mana terdapat sekurang-kurangnya satu faktor produksi yang konstan dijelaskan oleh the law of deminishing returns dari faktor berubah. The law of deminishing returns

menyatakan bahwa sementara jumlah satu input variabel meningkat, dengan jumlah semua faktor lainnya dinyatakan konstan, kenaikan yang dihasilkan dalam

output pada akhirnya akan menurun (Pappas dan Hirschey, 1993 dan Soekartawi, dkk, 1986).

Pada hakekatnya produktivitas kerja akan banyak dipengaruhi oleh dua

faktor (Wignjosoebroto, 2003):

1. Faktor teknis, yaitu berhubungan dengan pemakaian dan penerapan

fasilitas produksi secara lebih baik, penerapan metode kerja yang lebih

efektif serta efisien dan penggunaan input yang lebih ekonomis.

2. Faktor manusia, yaitu faktor yang mempunyai pengaruh terhadap

usaha-usaha yang dilakukan manusia dalam menyelesaikan pekerjaan yang

menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Di sini hal pokok penentu adalah

motivasi kerja yang memerlukan pendorong ke arah kemajuan dan

peningkatan prestasi kerja seseorang.

David J. Sumanth memperkenalkan suatu model daur produktivitas yang

(4)

tahap utama untuk digunakan dalam peningkatan produktivitas terus menerus

(Sumanth, 1985), yaitu:

1. Pengukuran produktivitas

2. Evaluasi produktivitas

3. Perencanaan produktivitas

4. Peningkatan produktivitas

Beberapa manfaat utama dari pengukuran produktivitas

(Gaspersz, 1998) adalah sebagai berikut :

1. Pengukuran produktivitas digunakan sebagai indikator yang menilai

kemampuan suatu sistem dalam mencapai tujuan perusahaan.

2. Pengukuran produktivitas digunakan untuk pengambilan keputusan yang

berkaitan dengan usaha peningkatan performansi perusahaan.

3. Pengukuran produktivitas digunakan sebagai bahan pembanding suatu

perusahaan/sistem dengan perusahaan/sistem lain.

4. Pengukuran produktivitas digunakan untuk meramalkan kondisi

perusahaan/sistem pada masa yang akan datang termasuk merumuskan

target-target yang ingin dicapai.

5. Pengukuran produktivitas digunakan untuk meningkatkan kesadaran suatu

perusahaan/sistem akan pentingnya usaha-usaha peningkatan produktivitas

Pengukuran Produktivitas dengan Pendekatan Cobb-Douglas

Sebelum melakukan pengukuran produktivitas pada semua sistem, terlebih

dahulu harus dirumuskan secara jelas output apa saja yang diharapkan dari sistem itu dan sumber daya (input) apa saja yang akan digunakan dalam proses sistem tersebut untuk menghasilkan output.

Salah satu model pengukuran produktivitas yang sering digunakan adalah

pengukuran berdasarkan pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas, yaitu suatu

fungsi atau persamaan yang melibatkan dua variabel atau lebih, variabel yang satu

disebut variabel independent (Y) dan yang lain disebut variabel dependent (X).

(5)

1. Bentuk fungsi produksi Cobb-Douglas bersifat sederhana dan mudah

penerapannya.

2. Fungsi produksi Cobb-Douglas mampu menggambarkan keadaan skala

hasil (return to scale), apakah sedang meningkat, tetap atau menurun. 3. Koefisien-koefisien fungsi produksi Cobb-Douglas secara langsung

menggambarkan elastisitas produksi dari setiap input yang digunakan dan dipertimbangkan untuk dikaji dalam fungsi produksi Cobb-Douglas itu.

4. Koefisien intersep dari fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan indeks

efisiensi produksi yang secara langsung menggambarkan efisiensi

penggunaan input dalam menghasilkan output dari sistem produksi yang dikaji

Kekurangan dari fungsi produksi Cobb-Douglas:

1. Spesifikasi variabel yang keliru akan menghasilkan elastisitas produksi

yang negatif atau nilainya terlalu besar atau terlalu kecil.

2. Kesalahan pengukuran variabel ini terletak pada validitas data, apakah

data yang dipakai sudah benar, terlalu ekstrim ke atas atau sebaliknya.

Kesalahan pengukuran ini akan menyebabkan besaran elastisitas menjadi

terlalu tinggi atau terlalu rendah.

3. Dalam praktek, faktor manajemen merupakan faktor yang juga penting

untuk meningkatkan produksi, tetapi variabel ini kadang-kadang terlalu

sulit diukur dan dipakai dalam variabel independent dalam pendugaan fungsi produksi Cobb-Douglas.

Bentuk umum fungsi produksi Cobb-Douglas adalah:

Q = δ.I α

Keterangan: Q = Output

I = Jenis input yang digunakan dalam proses produksi dan dipertimbangkan untuk dikaji

δ = indeks efisiensi penggunaan input dalam menghasilkan output

(6)

Mentransformasi Persamaan Regresi Linier

Sebelum data dapat diolah dan dianalisis lebih lanjut, data-data yang

diperoleh harus terlebih dulu ditransformasikan ke dalam bentuk Logaritma

Natural (Ln). Kemudian data-data dalam bentuk Logaritma Natural tersebut

diolah kembali untuk mendapatkan persamaan regresi Y = a + bX, atau

dikembalikan pada variabel aslinya dengan Y = Ln Q dan X = Ln I. Maka

persamaan regresi menjadi Ln Q = a + b(Ln I). Selanjutnya regresi linier tersebut

ditransformasikan ke dalam fungsi produksi Cobb-Douglas, dengan langkah:

Ln Q = a + b(Ln I)

Ln Q = a + Ln Ib Ln Q – Ln Ib = a Q = eaIb

Dengan demikian persamaan Cobb-Douglas telah didapat dengan ea merupakan indeks efisiensi dari proses transformasi, serta a dan b merupakan

elastisitas produksi dari input yang digunakan.

Analisa Efisiensi Proses Produksi

Efisiensi merupakan penggunaan input yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan jumlah produksi sebesar-besarnya tanpa melupakan kualitas dari

produk yang dihasilkan. Efisiensi proses produksi dapat dilihat dari koefisien

intersep fungsi produksi Cobb-Douglas, yaitu:

Indeks efisiensi = ea Keterangan: e = 2,71828

a = koefisien intersep persamaan regresi

Indeks efisiensi akan didapat dari perhitungan, dengan semakin tinggi

indeks efisiensi produksi berarti proses transformasi input menjadi output menjadi semakin efisien. Selain indeks efisiensi, rasio efisiensi juga akan didapat dari

perhitungan. Rasio efisiensi menunjukkan perbandingan kemampuan

(7)

Return to Scale

Berdasarkan persamaan fungsi produksi Cobb-Douglas, terdapat tiga

situasi yang mungkin dalam tingkat pengembalian terhadap skala

(Browning dan Browning, 1989).

1. Jika kenaikan yang proporsional dalam semua input sama dengan kenaikan yang proporsional dalam output (εp = 1), maka tingkat pengembalian

terhadap skala konstan (constant returns to scale).

2. Jika kenaikan yang proporsional dalam output kemungkinan lebih besar daripada kenaikan dalam input (εp > 1), maka tingkat pengembalian terhadap skala meningkat (increasing returns to scale).

3. Jika kenaikan output lebih kecil dari proporsi kenaikan input (εp < 1),

maka tingkat pengembalian terhadap skala menurun (decreasing returns to scale).

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam Usaha Penggemukan Sapi Potong

Penggemukan adalah suatu usaha pemeliharaan sapi yang bertujuan untuk

mendapatkan produksi daging berdasarkan pada peningkatan bobot badan tinggi

melalui pemberian makanan yang berkualitas dan dengan waktu yang sesingkat

mungkin. Secara umum penggemukan sapi dapat dilakukan secara dikandangkan

(feedlot fattening) dan di padang rumput (pasture fattening).

Parameter yang penting diperhatikan dalam operasional usaha feedlot

adalah laju pertumbuhan, efisiensi pertambahan bobot badan, nilai konversi pakan

yang efisien, produksi karkas dan daging, dan rasio feed cost gain yang ekonomis (Dyer dan O’Mary, 1977). Menurut Bowker et al. (1978) efisiensi usaha feedlot

sangat ditentukan oleh imbangan antara pakan yang dikonsumsi dengan produk

yang dihasilkan. Pakan dengan kualitas yang baik umumnya dapat meningkatkan

efisiensi produksi, namun demikian biaya pakan harus diperhitungkan dengan

nilai produk yang dihasilkan.

Pertambahan bobot badan sapi terkait dengan pertumbuhan ternak.

Pertumbuhan menurut Williams (1982) adalah perubahan bentuk atau ukuran

(8)

Menurut Aberle et al. (2001) pertumbuhan dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar, dan bobot yang terjadi pada seekor ternak muda

yang sehat serta diberi pakan, minum, dan mendapat tempat berlindung yang

layak. Peningkatan sedikit saja ukuran tubuh akan menyebabkan peningkatan

yang proporsional dari bobot tubuh, karena bobot tubuh merupakan fungsi dari

volume. Pertumbuhan mempunyai dua aspek yaitu menyangkut peningkatan

massa persatuan waktu, dan pertumbuhan yang meliputi perubahan bentuk dan

komposisi sebagai akibat dari pertumbuhan diferensial komponen-komponen

tubuh (Lawrie, 2003).

Di bawah kondisi lingkungan yang terkendali, bobot ternak muda akan

meningkat terus dengan laju pertambahan bobot badan yang tinggi sampai

dicapainya pubertas. Setelah pubertas dicapai, bobot badan meningkat terus

dengan laju pertambahan bobot badan yang semakin menurun, dan akhirnya tidak

terjadi peningkatan bobot badan setelah dicapai kedewasaan. Pertumbuhan

selanjutnya adalah pertumbuhan negatif atau tidak terjadi lagi penambahan

bobot badan bahkan terjadi penurunan bobot badan karena ketuaan

(Tulloh, 1978; Edey, 1983).

Dalam suatu usaha ternak sapi potong, faktor produksi juga mempunyai

peranan yang penting dalam melaksanakan usaha ternak sapi potong tersebut

seperti dalam melaksanakan usahatani lainnya. Untuk menghasilkan suatu hasil

produksi yang baik diperlukan kerjasama beberapa faktor produksi yang meliputi

lahan, modal, tenaga kerja, dan keahlian peternak, tentunya kombinasi faktor–

faktor produksi tersebut perlu digunakan secara efisien sehingga dapat

memberikan keuntungan yang baik bagi para peternak. Keberhasilan

pemeliharaan sapi ini sangat ditentukan oleh kualitas sapi bakalan atau bibit yang

dipilih serta sistem usaha dan pemeliharaan ternak sapi potong yang dikelola oleh

peternak tersebut yang meliputi seleksi jenis bibit, sistem perkandangan,

pemberian pakan hijau, pemberian air minum, kebersihan ternak sapi potong dan

kandang, serta pemberian obat-obatan (Santoso, 2008).

Bagi para peternak, pengetahuan dan keahlian yang baik akan

(9)

yang dihasilkan, tentunya apabila hasil produksi usaha yang diperoleh sangat baik,

maka akan baik pula pengaruhnya terhadap pendapatan yang diperoleh, sehingga

diperkirakan bahwa usaha ternak sapi potong tersebut dapat memberikan

kontibusi atau pemasukan yang cukup terhadap pendapatan keluarga.

Studi terdahulu telah banyak yang membahas tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi produksi dalam usahatani dengan berbagai model fungsi produksi

yang digunakan. Namun untuk usaha ternak khususnya penggemukan sapi potong

masih jarang dan umumnya menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas.

Arfa’i (1992) dan Lutfiadi (1999) telah melakukan penelitian tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usaha ternak sapi potong. Kedua

penelitian tersebut menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dalam

analisisnya. Hermawan et al. (2006) dan Trestini (2006) melakukan penelitian tingkat efisiensi teknis sapi potong menggunakan fungsi produksi frontier.

Penelitian Arfa’i (1992) menunjukkan bahwa faktor produksi yang berpengaruh

nyata terhadap pertambahan bobot badan selama pemeliharaan adalah jumlah

pemberian konsentrat (P < 0.05), jumlah pemberian hijauan (P < 0.01) dan bangsa

sapi yang dipelihara (P < 0.01). Di samping itu penggunaan faktor produksi pada

perusahaan yang diamati sudah mencapai tingkat penggunaan yang rasional

sedangkan secara ekonomis penggunaan faktor produksi belum efisien. Penelitian

Lutfiadi (1999) menghasilkan bahwa telah tercapai efisiensi teknis untuk

pemanfaatan konsentrat dan hijauan, sedangkan penggunaan biaya overhead dan

tenaga kerja tidak efisien.

Trestini (2006) menghasilkan bahwa rata-rata nilai efisiensi teknis usaha

ternak adalah 78.6 persen, yaitu berada antara 30.6 sampai 97.6 persen. Efisiensi

teknis berhubungan positif dengan jumlah Livestock Unit (LSU), nilai produksi daging per ekor (LSU), dan pembelian pakan. Sebaliknya efisiensi teknis

berkorelasi negatif dengan intensifikasi penggunaan bangunan (kandang) dan

tenaga kerja per LSU.

(10)

Timmer yang mengukur efisiensi teknis suatu usaha ke-i sebagai rasio dari keluaran aktual terhadap keluaran potensial pada tingkat penggunaan masukan

dalam usahatani i, atau mengukur seberapa banyak kelebihan masukan yang digunakan jika usahatani-i berada dalam frontier. Penelitian tersebut menghasilkan, untuk peternak di Blora, pada usaha ternak sapi, luas lahan

berkorelasi positif dengan jumlah sapi, pendapatan, serta efisiensi teknis.

Selanjutnya diperoleh bahwa di Temanggung dan di Blora, jumlah ternak (sapi

dan kambing atau domba) dan efisiensi teknis juga berkorelasi positif dengan

pendapatan petani. Disimpulkan bahwa efisiensi teknis usaha ternak di dua

kabupaten masih rendah (0.23-0.51) dan peranannya sebagai sumber pendapatan

petani juga tidak terlalu besar (1.7 persen untuk Blora dan 7.2 persen untuk

Temanggung). Penelitian Elly (2008) mengemukakan bahwa produksi ternak sapi

dihitung berdasarkan berat badan ternak sapi, dimana rata-rata produksi ternak

sapi selama setahun di Minahasa dan Boolang Mongondow masing-masing

sebesar 330.99 kg dan 249.25 kg. Input produksi yang menentukan dalam

produksi adalah pakan dan obat-obatan.

Kajian terdahulu mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi

produksi usahatani yaitu Riyanto (1980) dan Afrizal (2009). Penelitian-penelitian

tersebut menggunakan model fungsi produski Cobb-Douglas dalam penelitiannya.

Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produksi pada bawang merah

di Brebes yang dilakukan oleh Riyanto (1980) menghasilkan bahwa peubah bebas

yang digunakan dapat menerangkan keragaman produksi dengan R2 sebesar 94

persen. Semua input tidak tetap berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99

persen, kecuali Urea pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Penelitian lainnya yang juga menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas

dalam penelitiannya yaitu penelitian Afrizal (2009) yang menunjukkan bahwa

faktor-faktor yang menjadi determinan dalam usahatani gambir perkebunan rakyat

di Kabupaten Lima Puluh Kota yang berpengaruh secara nyata sebagai input

adalah tenaga kerja, luas lahan, jumlah tanaman gambir yang menghasilkan, umur

(11)

Disamping itu pengalaman petani dalam berusahatani gambir, frekuensi panen

dan cara tanam juga mempengaruhi tingkat produksi secara nyata.

Fungsi Produksi Cobb-Douglas juga digunakan dalam penelitian untuk

menganalisis efisiensi ekonomis suatu usahatani, seperti yang dilakukan oleh

Riyanto (1980) dan Purmiyanti (2002). Penelitian Riyanto (1980) menghasilkan

bahwa secara ekonomis penggunaan input belum efisien yang ditunjukkan oleh

nilai NPM/BKM tidak sama dengan satu. Penelitian untuk komoditas bawang

merah menghasilkan bahwa luas lahan, benih, pupuk P, pupuk K, tingkat

pendidikan, status garapan, dan varietas bibit berpengaruh terhadap produksi.

Pengujian efisiensi ekonomis (penggunaan input) dilakukan dengan

membandingkan Nilai Produk Marginal (VMPxi) dari setiap input terhadap harga

input tersebut. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rasio nilai produk

marginal terhadap harga masing-masing input dalam produksi bawang merah

masih belum efisien.

Selain penelitian yang menggunakan pendekatan fungsi produksi

Cobb-Douglas, ada metode lain yang juga dapat digunakan dalam mengukur tingkat

efisiensi suatu usahatani. Utama (2003) melakukan penelitian dengan metode

pendekatan fungsi produksi stochastic frontier menggunakan Maximum Likelihood (MLE) menghasilkan bahwa nitrogen, penggunaan tenaga kerja, insektisida, irigasi, dan program Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu

(SLPHT) mempunyai hubungan yang positif dan mempengaruhi secara nyata

terhadap produksi. Sebaliknya Rodentisida mempunyai hubungan yang negative

dan berpengaruh nyata terhadap produksi padi. Ini berarti bahwa penggunaan

Rodentisida akan menurunkan produksi padi.

Penelitian Sukiyono (2005) yang menggunakan fungsi produksi frontier

diduga dengan metode MLE (Maximum Likelihood Estimation) menghasilkan bahwa sebagian besar peubah nyata secara statistik pada setiap tingkat

kepercayaan kecuali untuk peubah pupuk urea dan benih yang digunakan.

Tingkat efisiensi teknik yang dicapai petani berbeda-beda dari sekitar 7

(12)

efisiensi teknik yang dicapai oleh petani cabai merah di daerah penelitian cukup

tinggi. Singh (2007) menggunakan pendekatan stochastic frontier dalam penelitiannya menghasilkan bahwa estimasi technical eficiency mengindikasikan bahwa usahatani dengan skala yang kecil lebih efisien dibandingkan skala

menengah dan besar.

Sumber-Sumber dan Tingkat Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong

Suatu produk memiliki daya saing yang tinggi salah satu cirinya adalah

produk tersebut dapat diproduksi secara efisien. Hal ini karena suatu produk yang

diproduksi secara efisien akan menyebabkan biaya produksi menurun sehingga

keuntungan akan makin meningkat. Daya saing merupakan salah satu kriteria

yang menentukan keberhasilan suatu negara di dalam perdagangan internasional.

Krugman dan Obstfeld (2004) menjelaskan bahwa setiap negara melakukan

perdagangan internasional karena dua alasan utama, yang masing-masing menjadi

sumber bagi adanya keuntungan perdagangan (gains from trade) bagi mereka. Alasan pertama negara-negara berdagang adalah karena mereka berbeda satu

sama lain. Bangsa-bangsa di dunia ini, sebagaimana halnya individu-individu,

selalu berpeluang memperoleh keuntungan dari perbedaan-perbedaan di antara

mereka melalui suatu pengaturan sedemikian rupa sehingga setiap pihak dapat

melakukan sesuatu secara relatif lebih baik. Kedua, negara-negara berdagang satu

sama lain dengan tujuan untuk mencapai apa yang lazim disebut sebagai skala

ekonomis (economics of scale) dalam produksi. Seandainya setiap negara bisa membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu

saja, maka mereka berpeluang memusatkan perhatian dan segala macam

sumberdayanya sehingga ia dapat menghasilkan barang-barang tersebut dalam

skala yang lebih besar dan karenanya lebih efisien dibandingkan dengan jika

negara tersebut mencoba untuk memproduksi berbagai jenis barang secara

sekaligus.

Krugman dan Obstfeld (2004) menjelaskan bahwa perdagangan

internasional dapat meningkatkan output dunia karena memungkinkan setiap

negara memproduksi sesuatu yang memiliki keunggulan komparatif. Suatu negara

(13)

suatu barang kalau biaya pengorbanannya dalam memproduksi barang tersebut

dalam satuan barang lain) lebih rendah daripada negara-negara lainnya. Ada

keterkaitan yang terpisahkan antara konsep keunggulan komparatif dengan

perdagangan internasional yaitu perdagangan antara dua negara akan

menguntungkan kedua belah pihak jika masing-masing negara memproduksi dan

mengekspor produk yang memiliki keunggulan komparatif.

Salvatore dan Diulio (2004) menjelaskan bahwa meskipun perdagangan

dapat memberikan keuntungan yang besar, banyak negara membatasi aliran

perdagangan yang bebas dengan mengenakan tarif, kuota, dan

hambatan--hambatan yang lain. Tarif impor adalah suatu pajak yang dikenakan terhadap

barang-barang impor. Kuota impor adalah hambatan kuantitatif pada jumlah

barang yang akan diimpor pada tahun tersebut. Hambatan yang lain meliputi

peraturan kesehatan, dan standar keamanan dan polusi. Hambatan perdagangan

didukung oleh tenaga kerja dan berbagai perusahaan dalam sejumlah industri

sebagai bentuk perlindungan terhadap pesaing asing. Namun hambatan ini

umumnya membebani masyarakat secara keseluruhan karena praktik ini

mengurangi ketersediaan barang dan meningkatkan harganya.

Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu

komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam

pengusahaan komoditi tersebut. Dalam periode 1990-1995, pengukuran daya

saing sektor industri, agribisnis atau komoditas mengacu pada alat analisis parsial,

seperti Relative Trade Advantage (RTA), Revealed Competitive Advantage

(RCA), dan Agribusiness Executive Survey (AES) (Daryanto dan Saptana 2009). Analisis deskriptif kelembagaan agribisnis dapat menggunakan Agribusiness Confidence Index (ACI). Monke dan Pearson (1995) memperkenalkan Policy Analisis Matrix (PAM) yang dinilai mampu mensinergikan pengukuran keunggulan komparatif (analisis ekonomi) dan keunggulan kompetitif (analisis

finansial). Selain digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditas, PAM

juga dapat melihat sejauh mana dampak kebijakan harga input, kebijakan harga

(14)

Daya saing subsektor peternakan ditentukan oleh beberapa faktor,

diantaranya : (1) kekayaan sumberdaya alam dan keragaman hayati dalam

menyediakan bahan baku pakan (jagung, kedelai, kacang tanah, ubikayu, limbah

sawit, dan hijauan pakan ternak), (2) sumberdaya manusia sebagai pelaku usaha

peternakan, (3) ketersediaan kapital atau modal yang memadai, (4) inovasi

teknologi baru dan pengembangan teknologi tepat guna di bidang peternakan serta

adaptasinya ditingkat peternak akan menjadi sumber pertumbuhan produktivitas

subsektor peternakan, dan (5) kelembagaan peternak sebagai wadah transfer

teknologi dan informasi (Daryanto dan Saptana, 2009).

Penelitian mengenai daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif)

telah banyak dilakukan diantaranya Haryono (1991), Emilya (2001) Purmiyanti

2002), Sumaryanto dan Friyanto (2003), serta Kurniawan (2008). Untuk

penelitian daya saing usaha ternak belum banyak dilakukan. Penelitian-penelitian

yang relevan dengan penelitian ini berkaitan dengan daya saing usaha peternakan

khususnya usaha ternak sapi potong diantaranya adalah penelitian Nalle (1996),

Nefri (2000), Perdana (2003), Lamy et al. (2003), Simatupang dan Hadi (2004), Widodo (2006) serta Daryanto dan Saptana (2009).

Simatupang dan Hadi (2004) menyimpulkan bahwa diproyeksikan

Indonesia tahun 2020 akan mengalami defisit produksi daging sapi sebesar 2.7

juta ekor. Sebagai negara kepulauan, Indonesia kurang mempunyai keunggulan

komparatif untuk mengembangkan sistem peternakan berbasis pakan rumput

grass-fed livestock farming), seperti sapi potong, kerbau, kambing, dan domba, sehingga daya saing usaha peternakan di Indonesia terletak pada sistem

peternakan berbasis pakan asal biji-bijian (grain-fed livestock farming), yaitu ayam ras pedaging dan petelur. Oleh karena itu, untuk mengembangkan usaha

sekaligus meningkatkan daya saing peternakan di Indonesia, dengan

mempertimbangkan keragaman biofisik wilayah dan potensi sosial ekonomi

termasuk pasar domestik yang sangat besar), diperlukan pengembangan teknologi

spesifik lokasi usaha peternakan intensif (grain-fed) yang berorientasi pada permintaan pasar domestik; sekaligus memfasilitasi juga usaha peternakan

(15)

Analisis daya saing usaha ternak sapi potong menggunakan metode

analisis PAM menunjukkan hasil yang berbeda untuk berbagai daerah. Penelitian

Nalle (1996) terhadap pengusahaan ternak sapi potong di wilayah Nusa Tenggara

Timur, memperlihatkan bahwa baik untuk sistem pengembalaan maupun sistem

ikat serta pada orientasi substitusi impor dan perdagangan antar wilayah nilai

Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik (KBSD) nya lebih kecil dari satu. Hal ini

berarti bahwa pengusahaan komoditi ternak sapi potong di Nusa Tenggara Timur

adalah layak dan memiliki keunggulan komparatif. Namun Nefri (2000)

menghasilkan bahwa keunggulan kompetitif dan komparatif terhadap kinerja

usaha peternakan sapi potong di Indonesia, memperlihatkan tingkat daya saing

yang relatif masih rendah baik sebelum atau sesudah perbaikan pakan, dimana

nilai efisiensi ongkos produksi (C/P ratio) adalah sebesar 0.87-0.88 dan tingkat pengembalian modal (ROI) 12-13 persen serta Koefisien Biaya Sumberdaya

Domestik (KBSD) 0.52-0.56.

Penelitian yang dilakukan Perdana (2003) menghasilkan bahwa usaha

penggemukan sapi menguntungkan secara sosial dan dengan sendirinya memiliki

keunggulan komparatif. Selain itu tingkat keuntungan yang diperoleh antar skala

usaha (kecil, sedang, dan besar) tidak berbeda nyata. Widodo (2006)

menghasilkan pengelolaan sapi potong model Sistem Integrasi Pertanian Ternak

(SIPT) memiliki keunggulan komparatif dengan indikator nilai Koefisien Biaya

Sumberdaya Domestik (KBSD) atau Domestic Resources Cost Coeficient (DRCC) < 1.0 yaitu 0.57. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan diarahkan

pada upaya mempertinggi harga bayangan sapi potong (harga batas) dan

memperendah harga input. Mempertinggi harga bayangan daging sapi dilakukan

dengan penerapan tarif impor sehingga output sapi domestik mampu bersaing secara kompetitif dengan sapi impor. Hal ini dapat diterapkan karena kebijakan

tarif pemerintah masih rendah yaitu dibawah lima persen.

Lamy et al. (2003) menganalisa sekelompok indikator dan faktor-faktor determinan yang memungkinkan perbandingan penilaian daya saing sektor

produksi daging sapi di Argentina dan Kanada. Hasil analisis menunjukkan bahwa

(16)

pemasaran di Argentina lebih tinggi dibandingkan Kanada. Namun produsen di

Argentina berada dalam posisi yang lebih menguntungkan dibandingkan Kanada

jika dilihat dari potensi lahan, dimana Argentina memiliki wilayah luas yang

tidak digunakan dan dapat dimanfaatkan untuk ternak produksi. Sebaliknya

Kanada tidak memiliki lahan tidur seperti itu dan karenanya untuk meningkatkan

produksi ternak maka harus dilakukan melalui peningkatan efisiensi seperti

peningkatan produksi padang rumput, faktor genetik, dan lain-lain.

Penelitian Daryanto dan Saptana (2009) menghasilkan bahwa beberapa

faktor penentu dalam pengembangan kemitraan berdaya saing, diantaranya : 1)

konsolidasi kelembagaan di tingkat peternak rakyat, (2) pengembangan sistem

informasi, terutama informasi pasar dan harga, serta (3) perlunya perlindungan

peternak rakyat dan adanya praktek-praktek kegiatan usaha yang mengarah

kepada monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat.

Dengan mengacu pada hasil-hasil penelitian terdahulu tersebut terlihat

bahwa penelitian sebelumnya khususnya untuk usaha ternak sapi potong mengkaji

secara terpisah antara analisis produksi dengan daya saing. Untuk itu dalam studi

ini peneliti ingin menganalisis produksi dan daya saing sebagai suatu kesatuan

karena produksi dan daya saing dalam suatu usahatani ternak sangat terkait.

Kebijakan Pemerintah Terhadap Input dan Output Komoditas Daging .Sapi

Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan

ekspor ataupun sebagai usaha dalam melindungi produk dalam negeri agar dapat

bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan

untuk input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga

input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang

sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial).

Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak),

sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota. Menurut Monke dan

Pearson (2004) perbedaan kebijakan perdagangan dengan subsidi berbeda dalam

(17)

Kebijakan Output Daging Sapi

Pada perekonomian modern, pemerintah memiliki tiga fungsi utama yaitu

sebagai peningkat efisiensi produksi, pencipta pemerataan dan keadilan, serta

sebagai pemicu pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Isu yang paling relevan

dalam hubungan antar negara adalah bagaimana menata kembali sistem produksi

dan perdagangan sehingga dapat lebih bermanfaat bagi pembangunan ekonomi

secara keseluruhan. Kebijakan pada bidang produksi seharusnya dikembalikan

pada keunggulan komparatif suatu negara, seperti halnya negara Indonesia yang

memiliki keunggulan pada sektor agribisnis dan agroindustri. Kebijakan pada

bidang perdagangan sebaiknya mengacu pada aturan yang terdapat dalam

Perjanjian Umum tentang tarif dan Perdagangan (General Agreement of Tarif and Trade /GATT) (Mayrita, 2007).

Kebijakan dalam memacu pertumbuhan usaha peternakan secara nasional

tidak dapat mengimbangi laju permintaan akan kebutuhan daging. Maka

pemerintah melakukan kebijakan impor daging untuk memenuhi kebutuhan dalam

negeri. Impor daging sapi sudah dimulai sejak tahun 1974, dan jumlah impor

cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dengan adanya peningkatan

yang tajam dalam impor daging sapi menimbulkan kekhawatiran terutama oleh

Direktorat Jenderal Peternakan, karena harga yang dijual oleh importir jauh lebih

murah dari daging lokal. Hal ini akan sangat mempengaruhi perkembangan usaha

peternakan rakyat. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut maka Ditjen

Peternakan menetapkan suatu kebijaksanaan dalam pengaturan kebutuhan daging

pada tahun 1995, dalam pertemuan tahunan Ditjen Peternakan dengan seluruh

Dinas Peternakan Provinsi serta kedua Asosiasi yaitu Asosiasi Produsen daging

dan Feedlot Indonesia (APFINDO) dan Asosiasi Pengimpor Daging Indonesia

(ASPIDI) di Lampung yang dikenal dengan konsep Tiga Ung (Gaung) yakni : (1) peternakan rakyat tetap merupakan tulang punggung, (2) industri peternakan

rakyat menjadi pendukung, dan (3) impor daging sebagai penyambung penawaran

dan permintaan.

Berdasarkan kebijakan tersebut maka pemerintah membuat suatu batasan

(18)

dengan kuota yaitu hanya pada batas kekurangan yang tidak dapat diproduksi secara lokal. Dalam upaya untuk membatasi impor daging sapi yang berlebihan,

salah satu upaya adalah melalui pembebanan tarif impor daging sapi yang masuk

ke dalam negeri yang diberlakukan oleh Departemen Keuangan (Direktorat

Jenderal Bea dan Cukai) melalui keputusan Menteri Keuangan. Kebijakan

pengenaan bea masuk berupa tarif impor pada komoditas daging sapi bertujuan

untuk melindungi produsen domestik. Secara bertahap, pemerintah Indonesia

telah bertekad untuk melakukan penyesuaian terhadap tarif impor sebagaimana

yang telah diusulkan dalam Asian Vision Toward 2020 yang sepenuhnya konsisiten terhadap World Trade Organization (WTO) melalui kebijakan deregulasi untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas lini subsistem

agribisnis.

Tarif impor untuk komoditas daging sapi pernah dikenakan sampai sebesar

30 persen. Tarif ini telah diturunkan secara bertahap. Pada tahun 1990 tarif impor

daging sapi sebesar 30 persen, tahun 1995 turun menjadi 25 persen, dan tahun

1997 turun menjadi 20 persen. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 tahun

1995 tentang Kepabeaan untuk periode 1 Januari 1997 sampai dengan 31

Desember 2003 (kesepakatan AFTA), tarif impor daging sapi akan diturunkan

menjadi 5 persen (Dirgantoro, 2004). Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 132.PMK.0.10/2005 tentang Program Harmonisasi Tarif 2005-2010

menetapkan tarif impor daging sapi dari tahun 2005-2010 sebesar 5 persen.

Untuk merangsang perkembangan investasi dalam usaha industri

peternakan sapi potong yang menggunakan sapi impor, maka sejalan dengan

maksud SK. Mentan Nomor 362/1990, dikeluarkan kebijakan oleh Menteri

Keuangan Nomor 522/1991 (salah satu butir PAKJUN 1991), yang berisikan

antara lain tentang penurunan tarif impor sapi bakalan dari 15 persen menjadi

persen. Inpres No.B-089/Setbang/2/1994 tanggal 19 Pebruasi 1994 berisi tentang

pengaturan penataan segmentasi pasar daging dan jerohan. SK. Dirjen Peternakan

yang berkaitan dengan perijinan impor sapi bakalan mensyaratkan minimal 10

persen dari sapi bakalan yang diimpor dikerjasamakan dengan peternak sebagai

(19)

Dirgantoro (2004) mengemukakan beberapa argumen untuk melakukan

pembatasan atau pelarangan impor antara lain: (1) melindungi produsen dalam

negeri dari persaingan yang tidak jujur misalnya praktek dumping, (2) melindungi industri yang baru muncul (infant industry), (3) tujuan tertentu yang terkait dengan kepentingan dan keamanan nasional, (4) memperbaiki neraca

perdagangan, dan (5) redistribusi pendapatan.

Dirjen Peternakan Departemen Pertanian mengemukakan bahwa

pemerintah tidak bisa mengintervensi naiknya harga daging karena daging bukan

merupakan komoditi khusus yang penentuan harganya dilakukan melalui

kebijakan harga tetapi mengikuti mekanisme pasar. Jadi pemerintah hanya

memfasilitasi tersedianya stok sapi hidup yang siap potong, sehat, dan bebas dari

penyakit hewan menular (Portal Nasional Republik Indonesia, 2008).

Kebijakan Input Pakan Ternak

Pakan merupakan salah satu komoditi dari subsistem agribisnis hulu, atau

dengan kata lain penyedia sapronak untuk subsistem budidaya ternak. Pakan

merupakan faktor terpenting untuk menunjang budidaya ternak karena berimbas

pada peningkatan bobot badan ternak dan performa ternak yang diinginkan.

Peningkatan populasi, produksi daging, susu, dan telur sebagai hasil ternak sangat

tergantung dari penyediaan pakan yang baik dan berkualitas. Selain itu dalam

usaha peternakan biaya pakan mencapai persentasi tertinggi dalam biaya produksi

yaitu mencapai 50-70 persen. Distribusi atau peredaran pakan atau bahan baku

pakan melalui jalur ekspor-impor pada era perdagangan bebas akan lebih mudah.

Indonesia harus memperhatikan hal ini karena sebagian besar bahan baku pakan

ternak masih dipenuhi dari impor. Adanya bebas biaya tarif untuk impor harus

diperhatikan karena dapat membuat produsen bahan baku pakan lokal kalah

bersaing (Poultry Indonesia, 2007).

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan telaah terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang tahapan, Tatacara

Hasil penelitian terdahulu yang sesuai dengan penelitian, diantaranya adalah penelitian dari Anggriani (2012) yang dilaksanakan pada siswa kelas VII di SMP N

Hasil analisis didapatkan karir adalah faktor yang paling mempenga- ruhi kinerja perawat sebesar 30 kali lebih tinggi dibandingkan dengan karir yang kurang baik

Seperti pada siklus pertama akumulasi yang diperoleh yaitu 32,5% persentase tersebut menujukan kategori nilai yang sangat kurang, namun kenaikan yang sangat

corethrurus yang diberi perlakuan insektisida karbofuran ternyata senyawa methylcarbomat sangat mempengaruhi hormon pada kokon sehingga jumlah dan daya tetas kokon menu- run.

PENERAPAN STRATEGI PQ4R (PREVIEW, QUESTION, READ, REFLECT, RECITE, REVIEW) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN SISWA KELAS 1V SEKOLAH DASAR.. Universitas

Pendekatan upaya kesehatan berkelanjutan upaya bidan adalah meningkatkan kualitas keselamatan ibu dan bayi terutama dengan melaksanakan pelayanan antenatal

Penelitian ini merupakan uji diagnos- tik untuk menentukan validitas foto polos sinus paranasal 3 posisi dan CT scan potongan koronal sebagai alat diagnosis pada pasien dengan