• Tidak ada hasil yang ditemukan

CRITICAL REVIEW KAJIAN TEORI LOKASI WEBE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "CRITICAL REVIEW KAJIAN TEORI LOKASI WEBE"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

[Document title]

[Document subtitle]

Gusti Putra Pradana

[Ema il a ddress]

Abstract

(2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. REVIEW JURNAL

Industri batu bata merah yang ada di Desa Kejagan, Temon, dan Trowulan Kecamatan

Trowulan Kabupaten Mojokerto merupakan industri padat karya. Industri batu bata merah

menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan peluang bagi masyarakat yang mempunyai

pendidikan rendah untuk meningkatkan perekonomian keluarga. Industri batu bata merah

dapat mengurangi jumlah pengangguran di daerah setempat.

Industri batu bata merah dijadikan sebagai matapencaharian penduduk yang utama.

Industri batu bata merah yang menggunakan bahan baku secara langsung tanpa membeli

akan menggunakan areal pertanian untuk tempat pengambilan bahan baku yang

menyebabkan terjadinya banyak kubangan di area pertanian. Ada juga industi batu bata

merah yang mengambil bahan baku dengan membeli bahan baku di tempat lain. Adanya

perbedaan pengambilan bahan baku untuk proses produksi dan proses pembakaran batu

bata merah berpengaruh terhadap harga jual produksi batu bata merah tersebut. merah

tersebut.

Data yang diperoleh dari prasurvei yang dilakukan peneliti, dalam 6 tahun terakhir.

Industri batu bata mengalami penurunan karena sulit dan mahalnya bahan baku. Beberapa

industri mengambil bahan baku dari lahan pertanian dan menggunakan sistem sewa. Berikut

data jumlah industri batu bata dari tahun 2007-2012 :

Tabel 1.1. Data Jumlah Pengrajin Batu Bata di 3 Desa di Kecamatan Trowulan Tahun 2007-2012

Sumb er : Data Primer Penulis 2012

Pada hakekatnya penentuan lokasi industri tidak terlepas dari proses maupun lokasi

pasar yang akan dilayani perusahaan. Proses produksi mencakup penentuan jenis bahan

baku dan faktor produksi lainnya jumlah bahan baku ditentukan oleh skala produksi yang ada.

Penentuan lokasi industri berorientasi pada biaya angkutan yaitu sumber bahan baku

ditambah biaya optimum ke pasar (Djaldjoeni,1997:59). Ada tiga tipe industri cenderung

(3)

Menurut Weber dalam bukunya yang dikutip oleh Tarigan (2005:140-143)

mendasarkan teorinya bahwa pemilihan lokasi industri didasarkan pada prinsip minimal biaya.

Artinya pemilihan lokasi-lokasi industri berdasarkan tempat-tempat yang mempunyai biaya

yang paling minimum dari bahan mentah yang dibutuhkan, tenaga kerja, serta komsumen

(pasar), yang semuanya ditimbang dengan biaya transportasi. Weber menyatakan lokasi

setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja dimana penjumlahan

keduanya harus minimum. Tempat dimana total biaya transpotasi dan tenaga kerja yang

minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum.

Lokasi industri-industri dipilihkan di tempat-tempat yang biayanya paling minimal,

inilah prinsip dari least cost location , untuk mendapatkan itu perlu diasumsikan enam

pra-kondisi adalah wilayah yang seragam dalam hal topografi, iklim dan penduduknya. Yang

disebut terakhir ini bertalian dengan ketrampilannya dan penguasaanya. Sumberdaya atau

bahan mentah. Misalnya jika hanya menyangkut pasir dan air, ini terdapat dimana-mana,

tetapi tambang besi dan batu bara tentunya hanya terbatas di tempat-tempat tertentu. Upah

buruh. Ada upah yang telah baku, artinya sama dimana-mana, tetapi ada pula upah yang

merupakan produk dari persaingan antar penduduk. Biaya transpotasi yang tergantung dari

bobot bahan mentah yang diangkut atau dipindahkan, serta jarak antara terdapatnya

sumberdaya dan lokasi pabrik. Terdapatnya kompetisi antar industri. Manusia itu berfikir

rasional (Djaldjoeni, 1997:62).

Untuk menemukan manakah industri yang berkiblat bahan mentah dan manakah yang

berkiblat pada pasar, Weber menggunakan alat untuk indeks material dengan perumusan:

= ℎ

Jika indeks material >1 maka industri tersebut berkiblat pada pasaran, dan jika indeks material

<1 maka industri berkibla pada pasaran. Tujuan dari penelitian adalah Untuk mengetahui

orientasi keberadaan industri batu bata merah di Desa Kejagan, Temon, dan Trowulan

Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto berdasarkan Teori Lokasi Weber.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah survey menggunakan analisis deskriptif.

Lokasi penelititan terletak di tiga desa yaitu desa Temon, Trowulan, dan Kejangan,

Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto.Pemilihan lokasi dilakukan dengan purposive

dengan tujuan menemukan daerah yang relevan dengan penelitian. Populasi yang digunakan

adalah seluruh industri yang tersebar di 3 desa sebanyak 438 industri batu bata merah.

Sampel yang digunakan sebesar 10-25% dari populasi, maka besar sampel dari penelitian

adalah 110 industri batu bata merah. Sumber data dalam penelitian menggunakan data

(4)

dokumentasi. Tehnik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dengan

menggunakan teori segitiga Weber.

Hasil Penelitian

Pengelompokan Industri Batu Bata Merah Berdasarka 3 Faktor Penentu Lokasi

Indsustri

Industri batu bata merah di ketiga desa tersebut lebih berorientasi pada lokasi industri

yang dekat dengan bahan baku. Menurut Weber untuk mementukan lokasi industri ada tiga

faktor penentu, yaitu material (bahan baku), konsumsi (pasar), dan tenaga kerja. Ketiga faktor

tersebut oleh Weber diukur dengan ekuavalensi ongkos transport. Berdasarkan 3 faktor

penentu dari Weber, industri batu bata merah di Kecamatan Trowulan dapat dikelompokkan

pada tabel berikut:

Tabel 1.2. Pengelompokan Industri Batu Bata Merah di Desa Kejagan, Temon, dan Trowulan Kecamatan Trowulan Berdasarkan Bahan Baku, Tenaga Kerja, dan Pemasaran Tahun 2012

Sumb er: Data Primer Penulis 2012

Perhitungan Indeks Material

Berdasarkan pengelomopkan pada tabel 1.2. maka perhitungan jumlah IM untuk

masing-masing model industri dapat di kelompokkan pada tabel 1.3. berikut:

Tabel 1.3. Besarnya IM (Indeks Material) Industri Batu Bata Merah di Desa Kejagan, Temon, dan

(5)

Sumb er: Data Primer Penulis 2013

Perhitungan indeks material untuk industry batu bata merah di Desa Kejagan, Temon,

dan Trowulan menunjukkan > 1. Industri batu bata merah di Desa Kejagan, Temon, dan

Trowulan Kecamatan Trowulan berorientasi pada bahan baku. Perbedaan lokasi industri yang

berorientasi pada bahan baku dan pasar akan mengakibatkan perbedaan keuntungan.

Keuntungan maksimum untuk bahan baku beli adalah pada model industri ke 2. Besar

keuntungan pada model industri ke 2 sebesar Rp 2.800.000,-/bulan. Keuntungan minimum

untuk bahan baku beli adalah pada model industri ke 3. Besar keuntungan pada model industri

ke 3 sebesar Rp 1.140.000,-/bulan.

Keuntungan maksimum untuk bahan baku sistem sewa adalah pada model industri ke

6. Besar keuntungan pada model industri ke 6 sebesar Rp 3.000.000,-/bulan. Keuntungan

minimum untuk bahan baku sistem sewa adalah pada model industri ke 7. Besar keuntungan

pada model industri ke 7 sebesar Rp 1.700.000,-/bulan.

Pembahasan

Menurut Weber dalam bukunya yang dikutip oleh Tarigan (2005:140-143)

mendasarkan teorinya bahwa pemilihan lokasi industri didasarkan pada prinsip minimal biaya.

Artinya pemilihan lokasi-lokasi industri berdasarkan tempat-tempat yang mempunyai biaya

yang paling minimum dari bahan mentah yang dibutuhkan, tenaga kerja, serta konsumen

(pasar), yang semuanya ditimbang dengan biaya transportasi. Weber menyatakan lokasi

setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja dimana penjumlahan

keduanya harus minimum. Tempat dimana total biaya transpotasi dan tenaga kerja yang

minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum.

Tabel 1.4. Perbandingan Orientasi Berdasarkan Indeks Material dengan Orientasi pada Kenyataan

(6)

5 5 Sewa Keluarga Tengkulak Bahan baku Bahan baku Minimum

6 6 Sewa Keluarga Langsung Bahan baku Bahan baku Maksimum

7 7 Sewa Tetanga Tengkulak Bahan baku Bahan baku Minimum

8 8 Sewa Tetangga Langsung Bahan baku Bahan baku Minimum

Sumb er: Hasil Pemb ahasan Penulis

Model industri 1-8 tidak sesuai dengan Teori Weber karena model industri 1-4 tersebut

berorientasi pada tenaga kerja dimana seharusnya berorientasi pada bahan baku.

Ketidaksesuaian dengan Teori Weber pada industri model 1-8 juga terlihat pada perolehan

keuntungan. Keuntungan yang diperoleh tidak berdasarkan pada penjumlahan minimum

antara biaya transportasi dengan tenaga kerja.

Biaya angkutan dari bahan baku menuju lokasi industri tidak berpengaruh karena

dibebankan kepada bobot bahan baku. Biaya transportasi dari lokasi industri menuju pasar

juga tidak berpengaruh karena dibebankan pada bobot barang jadi. Biaya tenaga kerja juga

tidak diperhitungkan pada jarak. Sedangkan Weber mengatakan bahwa pemilihan lokasi dari

bahan mentah, pasar, dan tenaga kerja semuanya ditimbang dengan biaya transportasi.

Industri batu bata merah di Desa Kejagan, Temon, dan Trowulan Kecamatan Trowulan

Kabupaten Mojokerto lebih menitikberatkan pada sistem pemasaran.

Meskipun demikian, industri batu bata merah di Desa Kejagan, Temon, dan Trowulan

Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto tidak bisa disesuaikan atau dirubah dengan

bentuk industri pada model segitiga 2 dan 6 yang memiliki keuntungan maksimum.

Keuntungan maksimum diperoleh dengan sistem pemasaran langsung dan tenaga kerja

berasal dari keluarga sendiri. Sistem pemasaran langsung akan mempersulit industri dalam

melakukan pemasaran karena harus mencari konsumen sendiri. Sehingga industri batu bata

merah di Desa Kejagan, Temon, dan Trowulan Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto

lebih banyak berorientasi pada model industri 1,3,4,5,7, dan 8 dengan sistem pemasaran

melalui tengkulak dan tenaga kerja berasal dari tetangga.

Simpulan

Dari ke 8 model industri tersebut tidak sesuai dengan Teori Weber karena besarnya

keuntungan ditentukan oleh sistem pemasaran dan asal tenaga kerja.Keuntungan tidak

(7)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. KONSEP DASAR TEORI LOKASI WEBER

Alfred Weber : Theory of Industrial Location

Teori ini dimaksudkan untuk menentukan suatu lokasi industri dengan

mempertimbangkan risiko biaya atau ongkos yang paling minimum, dengan asumsi sebagai

berikut:

1. Wilayah yang akan dijadikan lokasi industri memiliki topografi, iklim dan penduduknya

relatif homogen.

2. Sumber daya atau bahan mentah yang dibutuhkan cukup memadai.

3. Upah tenaga kerja didasarkan pada ketentuan tertentu, seperti Upah Minimum Regional

(UMR).

4. Hanya ada satu jenis alat transportasi.

5. Biaya angkut ditentukan berdasarkan beban dan jarak angkut.

6. Terdapat persaingan antar kegiatan industri.

7. Manusia yang ada di daerah tersebut masih berpikir rasional.

Persyaratan tersebut jika dipenuhi maka teori lokasi industri dari Alfred Weber dapat

digunakan. Weber menggunakan tiga faktor (variabel penentu) dalam analisis teorinya, yaitu

titik material, titik konsumsi, dan titik tenaga kerja. Ketiga titik (faktor) ini diukur dengan

ekuivalensi ongkos transport. Berdasarkan asumsi tersebut di atas, penggunaan teori Weber

tampak seperti pada gambar berikut ini :

(a) (b) (c)

Gambar 2.1. Weber’s Triangle

Keterangan:

M = pasar

P = lokasi biaya terendah

R1, R2 = bahan bak

(a) : apabila biaya angkut hanya didasarkan pada jarak.

(b) : apabila biaya angkut bahan baku lebih mahal dari pada hasil industri.

(8)

Faktor lokasi menurut Alfred Weber (1909)

1. Berdasarkan kelaziman yang terjadi

 Berlaku umum dan praktis untuk setiap kegiatan industri (biaya transport, baiaya tenaga kerja, biaya lahan, dll)

 Berlaku khusus dan hanya terjadi pada kegiatan tertentu pada bobot (bahan mentah dan produk mudah busuk, kelembaban udara, aliran air)

2. Berdasarkan pengaruh ruang

 Faktor regional dimana industri tertarik pada aspek geografis tertentu, jaringan utama orientasi industri (ketersediaan lahan, simpul transportasi, tempat bonkar muat,

pelabuhan). Faktor regional yang murni ekonomi adalah harga bahan baku, biaya

tenaga kerja, biaya transportasi

 Faktor aglomerasi / deglomersi dimana dalam jaringan utamanya tidak tergantung pada orientasi geografis, antar industri saling terkait atau saling berjauhan ( menekan harga

melalui produksi massal, penggunaan mesin yang lebih baik; internal faktor dan

ketersediaan bantuan; eksternal faktor)

3. Berdasarkan sifat dan keadaan

 Faktor alamiah dan teknis: posisi dan iklim, tingkat upah, kualitas tenaga kerja

(9)

BAB III ANALISA

3.1. ALASAN PEMILIHAN LOKASI

Wilayah Kabupaten Mojokerto memiliki topografi lebih cenderung di tengah dan tinggi

di bagian selatan dan utara. Bagian selatan wilayah Kabupaten Mojokerto merupakan wilayah

pegunungan sehingga karekteristik tanah di daerah tersebut subur. Daerah pegunungan

tersebut meliputi Kecamatan Pacet, trawas, Gondang dan Jatirejo. Wilayah dataran

Kabupaten Mojokerto tersebar di bagian tengah sedangkan, bagian utara merupakan daerah

perbukitan kapur yang kurang subur.

Kabupaten Mojokerto memiliki jenis tanah yang subur dan keadaan topografi yang

berupa daerah pegunungan, sehingga mayoritas penduduk Kabupaten Mojokerto bermata

pencaharian sebagai petani. Maka, jenis tanah yang terdapat di wilayah Kabupaten Mojokerto

sebagian besar adalah Aluvial dan Grumosol dimana jenis tanah tersebut merupakan jenis

tanah yang cocok sebagai lahan pertanian karena sangat subur, tetapi tanah jenis tersebut

pula sangat cocok untuk dijadikan bahan baku untuk industri pembuatan batu bata merah.

3.2. FAKTOR-FAKTOR LOKASI

Faktor penentu lokasi merupakan kualitas suatu wilayah yang terkait dengan daya

tarik wilayah tersebut terhadap keputusan investasi dari calon investor yang sudah ada.

Banyak faktor yang digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan dimanakah

seharusnya lokasi industri yang tepat, khususnya untuk industri batu bata merah. Adapun

faktor-faktor yang diperhatikan dalam memilih lokasi industri yaitu sebagai berikut:

a. Bahan baku

Bahan baku adalah bahan pokok atau bahan utama yang diolah dalam proses

produksi sehingga menghasilkan produk jadi. Cara memperoleh bahan baku pun

bermacam-macam, yaitu bisa menggunakan sistem sewa dan beli atau bahkan bisa

mendapatkan langsung dari sumber bahan baku itu sendiri. Dahulunya industri batu bata

merah yang ada di Kabupaten Mojokerto mendapatkan bahan baku dari lahan pertanian

tetapi sekarang bahan baku didapatkan dengan dua cara yaitu, beli dan sistem sewa.

b. Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan salah satu faktor penting dalam pelaksanaan kegiatan

industri. Tanpa adanya tenaga kerja bisa dipastikan suatu kegiatan industri tidak akan

terlaksana. Pada industri batu bata merah di Kabupaten Mojokerto tenaga kerja yang

digunakan berasal dari keluarga sendiri atau pun tetangga sekitar, sehingga dalam hal ini

industri tersebut menyerap tenaga kerja dan memberkan peluang bagi masyarakat yang

mempunyai pendidikan rendah untuk meningkatkan perekonomian keluarga.

(10)

Biaya transportasi bertambah secara proporsional dengan jarak sehingga titik

terendah untuk biaya transportasi adalah titik yang menunjukkan biaya minimum untuk

angkutan bahan baku dan distribusi hasil produksi. Konsep titik minimum tersebut

dinyatakan sebagai segitiga lokasi. Pada industri batu bata merah di Kabupaten

Mojokerto, hal ini tidak diperhitungkan karena produsen melakukan sistem pemasaran

secara langsung atau tengkulak.

d. Biaya Upah

Produsen cenderung mencari lokasi dengan tingkat upah tenaga kerja yang lebih

rendah dalam melakukan aktivitas ekonomi sedangkan tenaga kerja cenderung mencari

lokasi dengan konsentrasi upah yang lebih tinggi.

3.3. IMPLIKASI TEORI TERHADAP LOKASI YANG DIPILIH

Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya tentang teori lokasi Weber, yaitu

pemilihan lokasi industri didasarkan pada prinsip minimal biaya. Artinya pemilihan lokasi

industri berdasarkan tempat-tempat yang mempunyai biaya yang paling minimum dari

bahan mentah yang dibutuhkan, tenaga kerja, konsumen (pasar), yang semuanya

ditimbang dengan biaya transportasi. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industri

tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja dimana penjumlahan keduanya

harus minimum. Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum

adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum.

Dalam studi kasus industri batu bata merah di 3 desa pada Kecamatan Trowulan

Kabupaten Mojokerto, terlihat bahwa penentuan lokasi industri lebih berorientasi kepada

lokasi bahan baku. Pada Desa Temon, bahan baku yang digunakan sebagai bahan utama

batu bata merah di ambil langsung dari lahan pertanian yang berdekatan langsung dengan

industri batu bata merah. Lain halnya dengan Desa Kejagan yang sama-sama berorientasi

pada lokasi bahan baku, tetapi industri di desa terssebut harus mendatangkan bahan baku

dari luar kecamatan yang berjarak 10-17 kilometer dari lokasi industri.

Adanya penambahan faktor pemasaran dalam penentuan lokasi industri pada industri

batu bata merah. Seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Teori Weber hanya terdapat

3 faktor, yaitu upah bahan baku, upah tenaga kerja, dan konsumsi (pasar) yang semuanya

kemudian akan dikaitkan dengan biaya transportasi. Sehingga apabila terdapat faktor

pemasaran yang terdiri dari pemasaran secara langsung dan tengkulak tentu tidak ada

kaitannya dengan biaya transportasi dari produsen kepada pasar.

Selain itu, dari 8 model industri batu bata merah tersebut yang paling mendapatkan

(11)

kerja melainkan karena tenaga kerja yang berasal dari keluarga sendiri dan pemasaran

(12)

BAB IV PENUTUP 4.1. LESSON LEARNED

Dari pembahasan jurnal “Kajian Teori Lokasi Weber Terhadap Keberadaan Industri

Batu Bata Merah di Desa Kejagan, Temon, dan Trowulan Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto” di dapat beberapa pembelajaran sebagai berikut:

a) Lokasi industri batu bata merah di Desa Temon, Kejagan, dan Trowulan Kecamatan

Trowulan, Kabupaten Mojokerto kurang sesuai dengan implikasi dari Teori Weber. Hal

ini disebabkan karena ada penambahan faktor pemasaran yang membuat indikator

pendapatan keuntungan maksimum tidak memperhatikan biaya transportasi.

b) Kabupaten Mojokerto memiliki jenis tanah yang subur sehingga mayoritas

penduduknya bermata pencaharian utama sebagai petani. Begitu pula tata guna lahan

di kabupaten tersebut yang banyak digunakan sebagai lahan pertanian yang tanahnya

cocok digunakan untuk bahan baku industri batu bata merah.

c) Pemaksimalan keuntungan dapat dilakukan juga dengan memanfaatkan sistem

pemasaran secara langsung.

d) Selain itu, pada studi kasus asal tenaga kerja tidak dipertimbangkan dalam

meminimalkan biaya transportasi tenaga kerja, karena tenaga kerja pada industri batu

bata merah yang terdapat di studi kasus berasal dari keluarga sendiri dan tetangga.

e) Terbukti bahwa suatu industri yang barang jadinya lebih berat dibandingkan dengan

bahan bakunya cenderung akan mendekati sumber bahan baku tersebut. Cara

memperoleh bahan bakunya pun ada 2 macam, yaitu beli dan sistem sewa lahan

pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Santoso, Eko Budi dkk. 2012. Diktat Analisa Lokasi dan Keruangan RP 09-1209. Surabaya: Program Studi Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Gambar

Tabel 1.2. Pengelompokan Industri Batu Bata Merah
Tabel 1.4. Perbandingan Orientasi Berdasarkan Indeks Material dengan Orientasi pada Kenyataan
Gambar 2.1. Weber’s Triangle

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil rekapitulasi skor kreativitas pemecahan masalah yang terlihat pada tabel 3, dapat ditunjukkan bahwa indikatorkreativitas pemecahan masalah yang terdiri dari

Pada Bagan 1.1 dapat dilihat secara keseluruhan penilaian yang diberikan oleh wisatawan mancanegara yang menggunakan jasa penyebrangan Scoot Fast Cruises di Pantai Sanur menuju

Tujuan Computer Vision adalah membuat suatu keputusan dari suatu obyek nyata yang dilihat oleh komputer.. Dalam membuat keputusan dari obyek nyata yang dilihat oleh

Pada Tabel 4 menunjukan bahwa perlakuan pra-pendinginan dapat diketahui kadar total asam buah tomat setiap perlakuan mengalami peningkatan dan penurunan dengan semakin

Calon Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sumatera Utara (STIKes Sumut) Medan yang dinyatakan LULUS melalui SPMB-STIKESSU Tahun 2013 melakukan Pendaftaran

Surat Keterangan Pencatatan Sipil, selanjutnya disingkat SKPS adalah surat keterangan yang diberikan kepada penduduk pengungsi, korban bencana alam dan korban

Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja manajerial seperti partisipasi anggaran, komitmen organisasi, dan job relevant information telah dilakukan

Hipotesis pertama menunjukkanbahwaKepemilikan publik, Ukuran perusahaan, Profitabilitas, jumlah anggota dewan komisaris, proporsi komisaris independen, jumlah anggota