• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inovasi teknologi peternakan dalam siste

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Inovasi teknologi peternakan dalam siste"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1)Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor

Riset yang disampaikan pada tanggal 25 Juni 2007 di Bogor.

PENDAHULUAN

Pengembangan subsektor peternakan selama 10 tahun terakhir menunjukkan hasil yang cukup nyata dalam berbagai aspek, di antaranya produksi daging meningkat dari 1.508.200 ton menjadi 2.613.200 ton atau naik 4,01%/tahun, telur meningkat dari 736.000 ton menjadi 1.149.000 ton atau naik 5,6%/tahun, dan susu meningkat dari 433.400 ton menjadi 550.000 ton atau naik 2,69%/tahun. De-ngan tingkat pencapaian produksi terse-but maka tingkat konsumsi masyarakat, khususnya protein hewani asal ternak, meningkat dari 4,19 g menjadi 5,46 g/ kapita/hari atau naik 3,08%/tahun.

Dalam aspek penyerapan tenaga kerja, selama 10 tahun terakhir subsektor peter-nakan menyerap tenaga kerja 1,5 juta orang, dengan asumsi setiap satu orang tenaga kerja membutuhkan investasi Rp5 juta. Namun, tingkat produktivitas tenaga kerja subsektor peternakan masih lebih rendah dibanding sektor industri. Pangsa tenaga kerja peternakan terhadap ang-katan kerja hanya 6,5%.

Dalam aspek pengentasan kemiskinan, subsektor peternakan berperan sangat penting. Berdasarkan data dari Proyek Inpres Desa Tertinggal (IDT), komoditas yang dipilih sebagian besar (60-70%) adalah ternak. Begitu pula dalam Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI), semua lokasi kegiatan menghendaki adanya sistem usaha pertanian yang melibatkan ternak sebagai basis dalam sistem usaha pertaniannya (Kusnadi et al. 2005b).

Subsektor peternakan juga berperan dalam penyediaan bahan baku industri seperti kulit, sepatu, dan obat-obatan. Dalam membantu pelestarian lingkungan hidup, subsektor peternakan dapat men-jadi salah satu mata rantai dalam siklus daur ulang karena dapat meningkatkan kesu-buran tanah dan mereklamasi lahan masam terutama di lahan rawa pasang surut.

Keberhasilan pembangunan subsektor peternakan dalam peningkatan produksi tidak terlepas dari peran dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) peternakan yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian, baik dalam bentuk komponen maupun paket teknologi, yang secara ber-tahap diterapkan dalam sistem usaha per-tanian. Dengan demikian, upaya meng-hasilkan teknologi dan rekomendasi ke-bijakan penelitian dan pengembangan

INOVASI TEKNOLOGI PETERNAKAN DALAM

SISTEM INTEGRASI TANAMAN-TERNAK UNTUK

MENUNJANG SWASEMBADA DAGING SAPI

Uka Kusnadi

(2)

peternakan yang sesuai dengan kondisi spesifik lokasi dan kebutuhan pengguna perlu dilakukan sinkronisasi antara program penelitian dan pengembangan dengan program pengembangan subsektor peternakan.

Visi pembangunan peternakan di masa mendatang adalah mewujudkan peter-nakan yang maju, efisien dan tangguh, kompetitif, mandiri, dan berkelanjutan yang sekaligus mampu memberdayakan eko-nomi rakyat khususnya di pedesaan. Oleh karena itu, pembangunan peternakan diarahkan agar mampu bersaing di pasar internasional, memantapkan ketahanan pangan nasional dengan swasembada daging sapi, serta meningkatkan kontribusi peternakan dalam Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

Untuk mewujudkan visi tersebut maka peran Badan Litbang Pertanian menjadi sangat penting dalam mentransformasikan usaha tani ternak dari sistem tradisional ke sistem usaha tani yang berciri industri. Makalah ini mengemukakan inovasi tek-nologi peternakan dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak (SITT) di beberapa agro-ekosistem (lokasi spesifik) yang dilak-sanakan Badan Litbang Pertanian.

KINERJA, POTENSI, DAN MASALAH PENGEMBANGAN

PETERNAKAN

Sumbangan subsektor peternakan ter-hadap PDB nasional meningkat selama periode tahun 1996-2005, yaitu dari 1,72% menjadi 1,94%. Begitu pula terhadap PDB pertanian, kontribusinya meningkat dari 11,15% menjadi 12,71% sehingga laju pertumbuhan subsektor peternakan sam-pai tahun 2005 mencasam-pai 5% (Direktorat Jenderal Peternakan 2005).

Populasi ternak yang menunjukkan kenaikan selama 5 tahun terakhir (2001-2005) adalah sapi perah, kerbau, kambing, domba, babi, ayam buras, ayam ras petelur, ayam ras pedaging, dan itik masing-masing meningkat 7,78%; 4,07%; 5,76%; 12%; 16,73%; 6,96%; 40,19%; 38,98%; dan 6,88%. Populasi ternak yang menurun adalah sapi pedaging dan kuda, masing-masing -4,1% dan -3,79%.

Dalam periode yang sama, produksi daging naik rata-rata 9,2%, telur 9,3%, dan susu 6,19%/tahun. Telah terjadi pergeseran produksi daging, yaitu sumbangan daging sapi menurun dari 23,52% menjadi 21,95%, daging kerbau menurun dari 3,18% menjadi 1,93%, sebaliknya proporsi daging kam-bing dan domba meningkat dari 5,42% menjadi 5,93% dan daging unggas dari 56,58% menjadi 60,73%. Pergeseran ini dipengaruhi oleh penurunan atau lambat-nya kenaikan populasi sapi dan kerbau di satu pihak, serta peningkatan populasi kambing, domba, dan unggas di lain pihak. Produksi telur juga mengalami pergeseran; sumbangan telur ayam kampung menurun dari 17,75% menjadi 15,75%, juga telur itik dari 18,40% menjadi 15,69%, sedangkan proporsi telur ayam ras meningkat dari 64,22% menjadi 68,56%. Produksi susu selama 5 tahun terakhir juga menurun dari 479.947 ton menjadi 341.986 ton (-5,75%/ tahun). Dalam periode yang sama, secara nasional konsumsi daging meningkat dari 5,15 kg menjadi 7,11 kg/kapita/tahun (7,6%), konsumsi telur meningkat dari 3,48 kg menjadi 4,71 kg/kapita/tahun (5,22%), dan konsumsi susu dari 6,50 kg menjadi 6,80 kg/kapita/tahun (0,92%).

(3)

negeri sehingga volume impor tidak begitu besar, rata-rata hanya 8.000 ton/tahun. Namun mulai tahun 1998 impor daging terus meningkat, bahkan pada tahun 2000 telah mencapai 72.295 ton, tetapi pada tahun-tahun berikutnya mulai menurun sehingga pada tahun 2004 impor daging hanya 50.250 ton. Sejalan dengan itu, volume impor sapi bakalan untuk pengge-mukan makin meningkat, seiring dengan peningkatan permintaan dan didukung oleh adanya kebijakan impor sapi bakalan yang dimulai sejak tahun 1991. Pada saat itu, impor sapi bakalan mencapai 12.500 ekor dengan kenaikan rata-rata 98,5%/ tahun. Pada tahun 1996, sebelum krisis moneter, volume impor telah mencapai 367.000 ekor. Pada tahun 2000-2003, impor sapi bakalan menurun dari 267.700 ekor menjadi 208.000 ekor (7,33%/tahun), namun pada tahun 2004 meningkat lagi menjadi 235.800 ekor.

Dengan prakiraan laju pertumbuhan ekonomi 6,3% dan laju pertumbuhan penduduk 1,45%/tahun dalam 5 tahun ke depan, maka konsumsi daging akan me-ningkat dengan laju 5,8%, untuk telur 6,2%, dan susu 7-8%/tahun. Dengan memper-hatikan preferensi konsumen, tampaknya laju permintaan daging sapi/kerbau dan ayam setingkat lebih tinggi dibanding laju permintaan daging kambing/domba dan babi, dan pada telur tampaknya telur ayam ras lebih tinggi lajunya.

Dengan ketersediaan sumber daya alam dan genetik yang dimiliki Indonesia, sebenarnya melalui inovasi dan rekayasa teknologi di bidang peternakan dapat diciptakan berbagai produk unggulan dengan muatan iptek yang akan memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif karena sifatnya yang lokal spesifik. Dilengkapi dengan penyempurnaan sistem usaha tani ternak, teknik budi daya dan

pengendalian penyakit, serta perbaikan efisiensi usaha maka usaha peternakan di Indonesia sudah dapat memanfaatkan pasar lokal yang begitu potensial, yang di-cerminkan oleh permintaan yang makin meningkat sejalan dengan membaiknya kesejahteraan dan ekonomi masyarakat.

Potensi Pasar

Pada tahun 2004, impor sapi potong mencapai 235.800 ekor dan daging sapi 50.250.400 ton ekuivalen 125.625 ekor sapi. Bila jumlah ini sepenuhnya akan dipenuhi dari dalam negeri maka sedikitnya diper-lukan tambahan sapi induk 500.000 ekor sehingga total populasi bertambah 1-2 juta ekor. Sementara itu bila dalam 5 tahun mendatang konsumsi daging rata-rata meningkat dan mencapai 8,9 kg/kapita/ tahun maka diperlukan tambahan populasi (induk, sapihan dan bakalan) 2-3 juta ekor. Gambaran ini menunjukkan bahwa prospek industri peternakan, khususnya ruminan-sia (sapi, kerbau, domba, kambing) di In-donesia cukup menjanjikan. Bila dalam 5 tahun mendatang kebijakan diarahkan untuk melakukan substitusi impor secara selektif maka sedikitnya diperlukan keter-sediaan lahan dan atau pakan untuk me-menuhi penyediaan pakan akibat pe-nambahan populasi sebanyak 3-5 juta ekor.

Potensi Sumber Daya Alam

(4)

(DAS) di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Papua, dan Sulawesi. Lahan kering dataran rendah, khususnya di daerah transmigrasi Sumatera dan Kalimantan, seluas 125 juta ha juga belum dimanfaatkan secara op-timal, termasuk di Jawa 15 juta ha. Bahkan saat ini masih tersedia lahan kering ka-wasan perkebunan yang relatif kurang ternak yang luasnya lebih dari 15 juta ha (Fagi et al. 1988; Diwyanto et al. 2004).

Lahan rawa pasang surut seluas 24,8 juta ha di Sumatera, Kalimantan, dan Papua baru sebagian kecil dimanfaatkan untuk pertanian tanaman pangan dan sangat potensial untuk pengembangan ternak. Di samping itu, lahan sawah dan tegalan yang belum dimanfaatkan secara optimal lebih dari 10 juta ha. Lahan lainnya yang belum dimanfaatkan secara optimal di Jawa sekitar 1 juta ha dan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi 5 juta ha (Ananto et al. 1998). Iklim di Indonesia, khususnya di daerah-daerah tersebut, seperti curah hujan, suhu, dan kelembapan udara, masih dapat ditolerir oleh hampir semua jenis ternak kecuali sapi perah.

Permasalahan

Petani Indonesia rata-rata hanya mengu-asai 0,98 ha lahan. Di Jawa, penguasaan lahan lebih rendah lagi yaitu 0,34 ha, dan di luar Jawa lebih baik yaitu 1,25 ha. Lahan tersebut terdiri atas lahan sawah dan la-han kering. Dari lala-han kering petani pe-ternak hanya memiliki fasilitas padang rumput 0,94% untuk rata-rata Indonesia, di Jawa hanya 0,42% dan di luar Jawa 1,17%. Jika fasilitas padang rumput dan lahan kering yang sementara tidak digu-nakan dianggap fasilitas untuk peterdigu-nakan maka rata-rata usaha tani di Indonesia

hanya mampu memelihara 0,5 satuan ternak/tahun, untuk Jawa hanya 0,06 sa-tuan ternak dan untuk luar Jawa 1,2 sasa-tuan ternak (satu satuan ternak membutuhkan 14 ton hijauan segar per tahun, Hadi dan Ilham 2002).

Selain lahan, modal merupakan faktor pembatas kedua. Pada saat ini, tingkat pemilikan ternak dalam usaha tani relatif kecil, yaitu sapi 1-2 ekor, kambing/domba 3-5 ekor, dan unggas 5-20 ekor. Penda-patan kotor petani-peternak masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup petani dan keluarganya. Oleh karena itu, usaha ternak hanya merupakan sumber tambahan pendapatan untuk menopang kebutuhan keluarga tani khususnya di pedesaan. Kondisi ini harus segera diubah agar usaha ternak dapat menjadi usaha pokok yang dapat mensejahterakan petani dan keluarganya.

Setelah lahan dan modal, teknologi pe-ternakan merupakan faktor pembatas ketiga. Produktivitas ternak dan hijauan makanan ternak masih rendah. Kenaikan bobot badan pada sapi potong, misalnya, hanya 0,2-0,3 kg/hari. Dengan daya dukung lahan 1 ekor/ha akan dihasilkan daging 73-109,5 kg/ha/tahun. Di samping itu, efisiensi reproduksi pada ternak ru-minansia yang rendah, seperti umur ber-anak pertama, jarak berber-anak, angka ke-matian yang tinggi pada anak dan induk, menyebabkan laju pertambahan populasi menjadi lamban.

(5)

Penelitian sistem usaha pertanian terpadu yang dijabarkan dalam bentuk Sistem Integrasi Tanaman-Ternak (SITT) dengan berbagai pola dan bentuk dirintis oleh Badan Litbang Pertanian sejak tahun 1980 melalui berbagai proyek dan program, antara lain: (1) Penelitian Penyelamatan Hutan Tanah dan Air, (2) Crop Livestock System Research, (3) SUT Sapi dan Padi, (4) Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa, (5) Proyek Pengembangan Perta-nian Rawa Terpadu, (6) Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan, (7) P4MI, serta (8) Sistem Integrasi Kelapa Sawit dan Sapi di Daerah Perkebunan.

Dalam kegiatan tersebut dilakukan penelitian dan pengembangan yang ber-basis sumber daya dan komunitas yang merupakan paradigma baru pada saat itu. Paradigma tersebut dikembangkan sebagai perluasan cakupan penelitian dari basis komoditas yang kental dengan nuansa ego subsektor. Dengan mengintegrasikan ta-naman dan ternak dalam suatu sistem usa-ha tani terpadu, petani dapat memperluas dan memperkuat sumber pendapatan sekaligus menekan risiko kegagalan usa-ha. Melalui kegiatan penelitian dan pe-ngembangan tersebut telah banyak diha-silkan inovasi teknologi yang dapat di-kembangkan lebih lanjut.

INOVASI TEKNOLOGI PETERNAKAN DALAM SISTEM INTEGRASI TANAMAN-TERNAK DI

BEBERAPA AGROEKOSISTEM

Sistem Integrasi Tanaman-Ternak (SITT) dalam sistem usaha pertanian di suatu wilayah merupakan ilmu rancang bangun dan rekayasa sumber daya pertanian yang

tuntas. SITT pada dasarnya tidak terlepas dari kaidah-kaidah ilmu usaha tani yang berkembang lebih lanjut. Ilmu usaha tani itu sendiri merupakan suatu proses pro-duksi biologis yang memanfaatkan sumber daya alam, sumber daya manusia, modal, dan manajemen yang jumlahnya terbatas. Karena sumber daya tersebut jumlahnya terbatas maka penerapan SITT dalam proses produksi pertanian tidak terlepas dari prinsip dan teori ekonomi. Berikut ini hasil-hasil penelitian dan pengembangan dalam upaya meningkatkan pendapatan petani melalui SITT dalam sistem usaha pertanian di beberapa agroekosistem.

Daerah Lahan Kering Dataran Tinggi

DAS bagian hulu merupakan areal per-tanian lahan kering dataran tinggi yang luasnya di Indonesia mencapai lebih dari 150 juta ha (Departemen Pertanian 1987). Masalah utama di daerah ini adalah erosi dan kesuburan tanah rendah sehingga produktivitas tanaman dan ternak juga rendah, yang pada akhirnya pendapatan petani menjadi rendah pula. Hasil survei pendasaran di DAS Citanduy, DAS Jratun-seluna, dan DAS Brantas menunjukkan bahwa tingkat pendapatan petani masing-masing hanya Rp43.500, Rp28.000, dan Rp34.200/bulan (setara dengan 36,2 kg, 23,3 kg, dan 28,5 kg beras) (Fagi et al. 1988). Dari pendapatan tersebut, kontribusi dari hasil ternak berkisar antara 10-15% (Knipscheer and Kusnadi 1983, Levine dan Mulyadi 1986; Levine et al. 1998).

(6)

ternak yang diusahakan didasarkan pada kemiringan lahan, kedalaman tanah, ero-dibilitas, persepsi petani, dan permintaan pasar (Kusnadi dan Prawiradiputra 1989b). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas lahan teras bangku mampu mendukung 11-12 ekor domba atau 2 ekor sapi/ha dengan rata-rata kenaikan bobot badan 150 g/ekor/hari pada domba atau 0,45 kg/ekor/hari pada sapi (Kusnadi dan Prawiradiputra 1989a), padahal di tingkat petani kenaikan bobot badan hanya 50 g/ ekor/hari pada domba (Prasetyo et al. 1988) dan 0,3 kg/ekor/hari pada sapi.

Tingkat kesuburan ternak domba me-nunjukkan angka kelahiran yang cukup baik, yaitu 1,35-1,84 ekor/tahun, bahkan di DAS Citanduy dapat mencapai 213%. Angka kelahiran ini lebih tinggi daripada angka kelahiran rata-rata untuk domba yang dipelihara di pedesaan yang hanya mencapai 1,25 ekor/tahun (Chaniago et al. 1984). Pemeliharaan 11-12 ekor domba atau 2 ekor sapi per hektar dapat menyumbang 36% kebutuhan pupuk kandang dalam setahun (Prawiradiputra et al. 1986). Namun demikian, pemeliharaan sapi dan domba di daerah aliran sungai dapat membantu memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah (Kusnadi dan Prawiradiputra 1989b). Di samping memberikan kontribusi pupuk kandang dalam sistem usaha tani konservasi, ternak domba atau sapi dapat memberikan sumbangan pendapatan yang cukup tinggi, yaitu 47% dari total penda-patan petani dengan pemilikan lahan 0,7-1,2 ha dan 16 ekor ternak domba atau 2 ekor sapi (Kusnadi dan Prawiradiputra 1989b). Introduksi tanaman pakan ke dalam sistem usaha tani konservasi pada lahan miring dapat mengurangi laju erosi tanah sampai 0,8 t/ha/tahun (Sembiring et al. 1990). Sistem usaha tani konservasi ter-sebut kini telah banyak diterapkan petani,

terutama di daerah perbukitan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hal ini merupakan dampak positip dari SITT di DAS bagian hulu.

Daerah Lahan Kering Dataran Rendah

Daerah transmigrasi Batumarta, Sumatera Selatan, mewakili kategori agroekosistem lahan kering beriklim basah yang luasnya 48,3 juta ha di Indonesia (Atmadilaga 1992; Hidayat et al. 2000; Kurnia et al. 2000; Santoso 2003). Masalah yang dihadapi di daerah ini adalah tingkat kesuburan tanah rendah, serta jumlah tenaga kerja dan dana kurang memadai. Untuk mengatasi masalah tersebut telah dirancang pola usaha tani tanaman/ternak sebagai model usaha tani introduksi, dengan tujuan untuk meng-hasilkan teknologi yang dapat mening-katkan pendapatan petani dengan meman-faatkan fasilitas yang dimiliki petani trans-migran.

Dengan pola usaha tani tanaman-ternak, petani mampu mengolah lahan 1,5-2,0 ha, yang biasanya hanya mampu 0,7 ha. Di samping itu, pendapatan petani meningkat hampir dua kali lipat. Bahkan kontribusi ternak terhadap pendapatan rumah tangga petani menggeser tanaman pangan menjadi urutan kedua setelah karet (Ismail et al. 1986; Kusnadi et al. 1986). Model usaha tani introduksi ini telah berkembang ke provinsi lain, yaitu Jambi, Bengkulu, dan Lampung.

Daerah Lahan Sawah

(7)

dekade tahun 1995-2005 produksi gabah makin melandai akibat terkurasnya ke-suburan lahan (Go 1998) dan penerapan teknologi usaha tani yang kurang lengkap. Dalam kaitan ini telah dilakukan upaya untuk meningkatkan produksi ternak sapi dengan tetap melestarikan sumber daya sawah melalui program peningkatan produktivitas padi terpadu dengan Sistem Integrasi PaTernak (SIPT) yang di-dukung oleh penguatan kelembagaan tani. Kegiatan tersebut secara nyata dapat meningkatkan hasil padi dan efisiensi usaha tani. Hasil padi rata-rata meningkat 13,7-28,8% dengan tambahan keuntungan Rp940.000/ha (Kusnadi et al. 2001a; Ananto 2002). Model usaha penggemukan sapi dengan memelihara 32 ekor sapi mem-berikan keuntungan Rp17.785.100 selama 4 bulan atau Rp556.000/ekor, di samping petani memperoleh pupuk kandang 17.664 ton (Kusnadi et al. 2001b). SITT dan model usaha penggemukan sapi di daerah ber-basis padi kini telah berkembang di daerah sentra produksi padi Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan.

Daerah Lahan Pasang Surut

Masalah utama di lahan rawa pasang su-rut adalah pengelolaan air serta sifat tanah yang masam dan ketersediaan tenaga kerja pengolah tanah terbatas, serta sulitnya transportasi untuk mengangkut hasil bumi dan sarana produksi karena prasarana jalan yang buruk (Kusnadi 2005b). Proyek Swamps II, ISDP, dan SUP lahan pasang surut berusaha mengatasi masalah ter-sebut dengan penataan lahan meng-gunakan sistem surjan dan menginteg-rasikan ternak dan tanaman pakan.

Ternak yang diintroduksi di lahan pasang surut adalah sapi, kerbau, domba, kambing, itik, dan ayam buras. Sapi dan kerbau berperan dalam pengolahan tanah dan penyediaan pupuk. Dengan memeli-hara 2 ekor sapi atau kerbau, petani yang biasanya hanya mampu mengolah lahan 0,5-1,0 ha, kini mampu mengolah lahan sampai 2 ha. Berarti produktivitas petani meningkat dua kali lipat. Di samping itu, biaya pembelian pupuk berkurang 20% (Kusnadi et al. 2000). Dampak dari pene-litian ini adalah hampir setiap petani trans-migran di lahan pasang surut memelihara sapi atau kerbau untuk mengolah tanah.

Daerah Lahan Perkebunan

(8)

Daerah Lahan Kering Beriklim Kering

Lahan kering beriklim kering merupakan aset nasional basis ekosistem yang cukup luas, tersebar terutama di Sumatera, Ka-limantan, Sulawesi, dan Papua. Luas lahan marginal mencapai 51 juta ha, yang secara ekonomi tidak memberikan keuntungan yang berarti sehingga petani tetap dalam kondisi miskin. Saat ini telah dikembangkan sistem usaha tani terpadu yang melibatkan ternak, baik sebagai komponen utama maupun penunjang di lahan marginal dengan tujuan untuk meningkatkan pen-dapatan petani melalui inovasi teknologi (Kusnadi 2005a)

Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI) telah mam-pu meningkatkan fungsi dan peran ternak secara signifikan dalam penyediaan pupuk, pemanfaatan sisa/limbah pertanian, dan sumber pendapatan. Di Lombok Timur, produktivitas dan reproduktivitas kambing cukup tinggi dibandingkan rata-rata yang ada di NTB (Kusnadi et al. 2005).

Sistem integrasi tanaman-ternak di lahan marginal, khususnya di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, kini berkembang hampir di setiap kabu-paten lokasi kegiatan P4MI (Kusnadi et al. 2005). Di Sulawesi Tengah, integrasi ta-naman kakao dan kopi dengan ternak sapi mulai menggeser sistem pemeliharaan sapi secara ekstensif ke arah usaha yang in-tensif, karena adanya inovasi teknologi pe-manfaatan kulit buah kakao dan kopi se-bagai pakan sapi potong. Dengan demi-kian, lahan dan teknologi usaha sapi potong sudah tersedia, tinggal bagaimana sebenarnya kondisi, prospek, dan arah pengembangan sapi potong di Indonesia.

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN PETERNAKAN

SAPI POTONG

Kondisi

Usaha sapi potong saat ini sebagian besar dilakukan oleh peternakan rakyat dengan skala usaha relatif kecil. Usaha ini biasanya terintegrasi dengan kegiatan lain sehingga usaha ternak bukan merupakan usaha pokok petani, tetapi hanya sebagai pe-nunjang. Hal ini berkonotasi bahwa pen-dapatan dari ternak relatif rendah.

Di Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi, pemeliharaan sapi umumnya dilakukan secara ekstensif. Pada musim kemarau, sapi tampak kurus dan tingkat kematian tinggi karena kekurangan pakan dan terserang berbagai penyakit. Kondisi pemeliharaan seperti ini tidak akan mampu mengejar laju permintaan daging untuk memenuhi konsumsi dalam negeri 5 tahun ke depan apabila tidak jelas arah tujuan dan program untuk mengatasi masalah tersebut.

(9)

akibat harga daging dan sapi lokal me-nurun. Namun pada tahun 2005, dengan adanya penanggulangan daging ilegal dan naiknya harga sapi impor, para peng-usaha/peternak mulai bergairah kembali untuk menggemukkan sapi lokal karena memberikan keuntungan yang signifikan.

Prospek

Permintaan produk peternakan yang me-ningkat cepat atau bahkan lebih cepat dari laju pendapatan konsumen menunjukkan bahwa struktur konsumsi bahan pangan telah bergeser dari dominan produk karbohidrat ke bahan pangan sumber protein terutama daging sapi. Selain karena meningkatnya pendapatan, kecen-derungan perubahan pola konsumsi juga didorong oleh urbanisasi dan pengetahuan masyarakat akan gizi yang makin baik. Perpaduan antara peningkatan konsumsi per kapita dan penambahan penduduk akan menyebabkan permintaan terhadap produk peternakan terus meningkat de-ngan laju yang makin pesat. Artinya prospek pasar produk peternakan khu-susnya daging sapi cenderung membaik seiring dengan kemajuan ekonomi yang terefleksi dalam indikator kunci, yaitu kapasitas absorbsi pasar makin besar dan harga cenderung meningkat dibanding komoditas pertanian lainnya.

Prospek pasar yang makin membaik merupakan kekuatan penarik yang cukup besar sebagai landasan terjadinya ”revo-lusi merah” di negara-negara sedang ber-kembang termasuk Indonesia. Peternakan akan menjadi sumber utama pertumbuhan baru sektor pertanian yang ditopang oleh inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian.

Arah dan Sasaran Pengembangan

Pengembangan usaha peternakan sapi potong dalam 5 tahun ke depan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi domestik melalui percepatan peningkatan produksi dalam rangka mengurangi ke-tergantungan impor dan pencapaian swa-sembada daging sapi pada tahun 2010. Pencapaian produksi ini dengan asumsi bahwa selama kurun waktu 5 tahun ke depan, populasi sapi potong meningkat 5,9%, jumlah penduduk bertambah 1,45%, dan konsumsi daging sapi per kapita naik 5,3%/tahun.

Pada tahun 2005, jumlah rumah tangga petani mencapai 20.171.140, sedangkan rumah tangga peternak 4.980.302. Dari jumlah rumah tangga peternak tersebut, 58% adalah rumah tangga peternak sapi potong atau sebanyak 2.888.575, dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah dan kontribusi usaha ternak hanya 17-30% terhadap total pendapatan. Apabila target pendapatan petani US$2.500 untuk sektor pertanian maka subsektor peternakan dapat memberikan kontribusi pendapatan US$1.500 (60%) dan sebagian besar (48%) berasal dari usaha sapi potong. Untuk mencapai target tersebut maka arah pe-ngembangan pola usaha sapi potong yang bersifat ekstensif harus diubah ke pola usaha intensif dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang dimiliki petani, khususnya petani berlahan sempit. Pola usaha intensif melalui SITT, selain me-ningkatkan produksi daging dapat pula membangkitkan kembali fungsi dan peran ternak sapi/kerbau sebagai sumber tenaga kerja, pupuk, dan gas bio yang merupakan sumber energi terbarukan.

(10)

secara selektif dapat dikurangi karena sudah tidak efisien lagi dan memerlukan biaya investasi dan operasional yang tinggi, serta berdampak meningkatkan penggunaan BBM. Jika harga traktor Rp15 juta, masa pakai 7-8 tahun, dan biaya operasional Rp5 juta maka dana yang dibutuhkan mencapai Rp20 juta. Setelah masa pakai habis, traktor tidak memiliki nilai lagi karena hanya merupakan besi tua. Apabila dana tersebut digunakan untuk membeli sapi/kerbau maka dapat diperoleh 4 ekor sapi/kerbau, dan selama 7-8 tahun akan bertambah menjadi sedikitnya 20 ekor dengan nilai yang lebih tinggi. Di samping itu, tanah yang kurang subur dapat diper-baiki dengan menggunakan pupuk kan-dang dari kotoran ternak yang jumlahnya sekitar 70-80 ton.

Indonesia dalam beberapa tahun men-datang akan mengalami krisis bahan bakar sebagaimana dialami oleh negara lain, khususnya minyak tanah untuk penerang-an dpenerang-an memasak. Kotorpenerang-an sapi jika difer-mentasi secara anaerob akan menghasilkan gas bio (metan) dalam jumlah banyak bersama CO2. Metan inilah yang dapat dibakar untuk keperluan penerangan dan memasak.

Kontribusi gas bio bagi kehidupan manusia adalah dalam hal suplai bahan bakar, pupuk organik, masalah sanitasi, kesehatan lingkungan, dan kontrol polusi lingkungan. Oleh karena itu, sangatlah tepat bahwa kita sebagai insan peternakan perlu mengembangkan gas bio sebagai sumber energi terbarukan. Hal ini karena kotoran ternak merupakan sumber utama dalam produksi gas bio, serta menjadi sa-lah satu penyebab utama polusi lingkung-an, dan gangguan kesehatlingkung-an, khususnya di daerah peternakan. Digest anaerobics

merupakan salah satu cara atau proses untuk menghilangkan gangguan

lingkung-an. Oleh karena itu, pemanfaatan instalasi gas bio selain difokuskan pada penyediaan bahan bakar untuk keperluan penerangan dan memasak dapat pula diarahkan pada penanggulangan polusi dan pemanfaatan untuk produksi protein bagi ikan dalam

integrated farming system. Di sinilah SITT makin berperan dalam pengumpulan ko-toran ternak dan pengembangan usaha.

STRATEGI KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENGEMBANGAN SAPI

POTONG KE DEPAN

Strategi

Strategi pengembangan sapi potong untuk menuju swasembada daging sapi dilaku-kan secara bertahap melalui perbaidilaku-kan aspek usaha tani, pascaproduksi dan penciptaan nilai tambah, kebijakan pe-merintah serta perbaikan/pengembangan pemasaran dan perdagangan dengan sis-tem kelembagaan yang sinergis. Langkah strategis ini dijabarkan dalam bentuk peta jalan (road map) menuju ”revolusi merah” pengembangan sapi potong seperti pada Gambar 1.

1. Pada aspek usaha tani, untuk memacu produksi perlu dilakukan (a) perluasan kawasan usaha pada lokasi spesifik, (b) perbaikan mutu bibit dan reproduksi, (c) perbaikan budi daya, dan (d) per-baikan pascapanen, yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi usaha tani dan pengolahan hasil.

(11)

i t

e

k

nol

ogi

pe

te

rnak

an dal

am

s

is

te

m

i

nt

e

gr

as

i t

anam

an-t

e

rnak

...

199

Gambar 1. Peta jalan menuju “Revolusi Merah” (road map pengembangan sapi potong)

Usaha tani sapi potong

(on farm)

Perluasan kawasan usaha lokasi spesifik

Perbaikan mutu bibit dan reproduksi

Perbaikan budi daya

Perbaikan pascapanen

Teknologi: Bibit, pakan, reproduksi, kesehatan dan manajemen

Sistem permodalan

Sistem kelembagaan

Sarana dan Prasarana

Kerja sama

Pengembangan unit usaha bersama dan sistem informasi

Populasi meningkat

Jarak beranak pendek

SITT (Integrasi)

Industri pengolah daging

Pengembangan infrastruktur

Pengembangan pasar

Efisiensi pemasaran Dalam usaha tani

dan pengolahan

Stabiltas harga sapi potong

Efisiensi meningkat

Kebijakan

Pendapatan

Produktivitas daging

Daging berdaya saing

Pemasaran perdagangan

Kinerja sapi unggul Swasembada daging tahun 2010

Kinerja sapi saat ini

s

t s

ss

s

s

t

s s

s

s

s

s

s s

(12)

selanjutnya dapat didiseminasikan kepada pengguna.

3. Pada aspek penciptaan nilai tambah, kegiatan yang perlu dilakukan meliputi perluasan jaringan jalan usaha tani dan sarana transportasi, serta renovasi ru-mah potong hewan di daerah sumber produksi sehingga dapat menyediakan daging lebih murah, menambah ke-sempatan kerja, dan meningkatkan per-kembangan ekonomi wilayah. 4. Kebijakan pemerintah yang perlu

di-kembangkan mencakup sistem permo-dalan, kelembagaan, sarana dan pra-sarana, kerja sama baik dalam maupun luar negeri, serta pengembangan unit usaha bersama dan sistem informasi. Kebijakan ini dapat memberikan pe-ngaruh terhadap stabilisasi harga sapi hidup dan daging sapi serta pemasaran yang efisien.

Melalui keempat aspek tersebut, kinerja sapi potong pada tahun 2010 akan berubah menjadi sapi potong unggul dengan ciri-ciri dapat meningkatkan pendapatan pe-tani, meningkatkan produktivitas daging, dan menghasilkan daging yang berkuali-tas sehingga memiliki daya saing yang tinggi.

Kebijakan dan Program

Dengan memperhatikan peta jalan untuk menuju swasembada daging sapi pada tahun 2010 maka diperlukan kebijakan dan program aksi sebagai berikut:

1. Peningkatan produktivitas usaha tani ternak penghasil daging melalui: a. Peningkatan hasil potensial dan

aktual beberapa jenis ternak peng-hasil daging (sapi potong, sapi perah jantan, dan kerbau).

b. Percepatan dan perluasan disemi-nasi serta adopsi inovasi teknologi. Peningkatan produktivitas sapi potong sangat dimungkinkan bila ditinjau dari potensi pengembang-an jenis ternak unggulpengembang-an pengha-sil daging dan kesiapan teknologi sapi potong di Badan Litbang Perta-nian.

c. Peningkatan produktivitas lahan optimal maupun lahan suboptimal khususnya di luar Jawa, seperti la-han sawah tadah hujan, lala-han kering dataran tinggi, lahan rawa lebak/pasang surut, lahan perke-bunan, serta lahan marginal melalui pola SITT.

2. Peningkatan teknik budi daya dan pola usaha dengan cara:

a. Mengembangkan agribisnis sapi potong melalui pola SITT dalam skala yang lebih besar, baik pada daerah potensial maupun subpo-tensial, terutama yang sumber pa-kan hijauannya cukup sehingga dapat menekan input dari luar. b. Mengembangkan dan

memanfaat-kan sapi lokal unggul (PO, Bali, Madura, dan lain-lain) sebagai bibit melalui pelestarian dan seleksi serta persilangan dengan sapi luar. c. Mengembangkan dan

memanfaat-kan produksi gas bio dan kompos secara massal.

d. Memperbaiki teknologi reproduksi dan bibit sapi untuk meningkatkan mutu genetik melalui seleksi pem-bentukan ternak komposit atau

grading up melalui kawin alami atau IB.

3. Peningkatan peraturan serta penyedia-an sarpenyedia-ana dpenyedia-an prasarpenyedia-ana, meliputi: a. Mencegah dan melarang

(13)

ternak muda dengan cara melaku-kan evaluasi dan kontrol yang ketat terhadap peraturan yang berlaku. b. Melarang ekspor sapi betina

pro-duktif, terutama sapi Bali yang memiliki keunggulan produksi dan reproduksi serta adaptasi yang tinggi.

c. Mencegah dan melarang masuknya daging dari negara yang belum bebas penyakit berbahaya, serta mengevaluasi kembali aturan impor daging dan jeroan serta sapi potong dengan bobot badan tinggi. d. Meningkatkan penyediaan sarana

dan prasarana untuk usaha sapi potong pada tingkat praproduksi, produksi, dan pascaproduksi untuk melancarkan distribusi bahan baku dan pemasaran hasil.

4. Dukungan kebijakan investasi. Upaya swasembada daging sapi tahun 2010 perlu didukung oleh ke-bijakan pengembangan program in-vestasi dengan melibatkan pemerin-tah, swasta, dan masyarakat peternak. Kebijakan dalam pemasaran dan per-dagangan akan memegang peran kunci. Keberhasilan implementasi kebijakan pasar daging maupun sapi hidup akan memberi dampak langsung terhadap bagian harga dan pendapatan yang diterima pelaku agribisnis yang pada gilirannya akan memantapkan proses adopsi teknologi, meningkatkan pro-duktivitas dan keuntungan usaha yang pada akhirnya akan menjamin keber-lanjutan investasi di masa depan.

Hal lain yang diperlukan dalam upaya meningkatkan skala usaha, terutama peternak mikro, kecil, dan menengah, adalah peningkatan pe-nyediaan dan aksesibilitas kredit investasi perbankan dan kredit dengan

tingkat bunga rendah. Tingkat suku bunga 7%/tahun dinilai cukup memadai terutama untuk pembesaran sapi peng-hasil bakalan. Kredit investasi ini perlu difasilitasi dengan pendampingan tek-nologi, manajemen usaha, dan pember-dayaan kelompok dalam menuju usaha sapi potong yang tangguh.

KESIMPULAN

1. Dalam 10 tahun terakhir, pengembang-an subsektor peternakpengembang-an telah menun-jukkan hasil yang nyata, terutama kon-tribusinya terhadap PDB. Konsumsi daging, telur, dan susu masing-masing meningkat 7,6%, 5,22%, dan 0,92%. Namun peningkatan konsumsi belum diimbangi dengan peningkatan pro-duksi, terutama daging sapi yang popu-lasinya bahkan menurun sampai 4,1%/ tahun.

2. Berdasarkan potensi pasar domestik, ditinjau dari kesenjangan antara kon-sumsi dan produksi dalam negeri serta volume impor daging yang makin me-ningkat, maka usaha ternak penghasil daging khususnya sapi mempunyai peluang yang besar untuk dikembang-kan.

(14)

fungsi dan peran ternak dalam penye-diaan daging, tenaga kerja, pupuk, gas bio, pemanfaatan limbah, dan pening-katan keuntungan merupakan tekno-logi yang ideal dalam usaha pengem-bangan sapi potong.

5. Usaha peternakan sapi potong diarah-kan untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri melalui perce-patan peningkatan produksi untuk mengurangi ketergantungan impor dan pencapaian swasembada pada tahun 2010, dengan target memberikan kontribusi terhadap total pendapatan US$1.500 (60%) dan target antara penghasil pupuk dan gas bio. 6. Untuk mewujudkan swasembada

da-ging sapi tahun 2010 diperlukan lang-kah strategi kebijakan dan program aksi penelitian dan pengembangan sapi potong, terutama dalam peningkatan produktivitas usaha tani, teknik budi daya, pola usaha, kebijakan pengatur-an, penyediaan sarana dan prasarana, serta dukungan kebijakan investasi. 7. Upaya pencapaian swasembada

da-ging sapi 2010 berimplikasi terhadap penyediaan anggaran, terutama untuk penelitian dan pengembangan, pening-katan kualitas sumber daya manusia, penyediaan sarana dan prasarana, pengaturan teknis dan administrasi, serta promosi dan informasi.

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, A., D.A. Suriadikarta, dan A. Sofyan. 2001. Masalah tanah “sakit” dan peningkatan produktivitasnya. Makalah Pelatihan Pengkajian Crop Livestock System. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor, 22-29 April 2001.

Ananto, E.E., H. Subagyo, I.G. Ismail, U. Kusnadi, T. Alihamsyah, R. Thahir, Hermanto, dan Dewa K.S. 1998. Prospek pengembangan sistem usaha pertanian modern di lahan pasang surut Sumatera Selatan. Proyek Pengembangan Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan, Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian, Jakarta.

Ananto, E.E. 2002. Penanganan panen dan pascapanen padi pada sistem usahatani padi ternak terpadu. Dalam R. Thahir

et al. (Ed.). Laporan Akhir Litkaji Pe-ngembangan Model Pengolahan Padi. Balai Besar Penelitian dan Pengem-bangan Pascapanen Pertanian, Bogor. Atmadilaga, D. 1992. Sekilas gagasan sumbangan ternak sebagai unsur nilai tambah usaha tani dan konservasi tanah pada lahan marginal. hlm. 1-3. Prosiding Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian, Adopsi Tekno-logi Peternakan, Bogor, 19-23 Sep-tember 1991. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Chaniago, T.D., J.M. Obst, A. Parakasi, dan

M. Winugroho. 1984. Growth of Indo-nesian sheep under village and im-proved management systems. Dalam

M. Rangkuti et al. (Ed.). Prosiding Pertemuan Ilmiah Penelitian Rumi-nansia Kecil. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Departemen Pertanian. 1987. Pedoman Pola

Pembangunan di Daerah Aliran Su-ngai. SK Menteri Pertanian No. 175/ KPTS/Rc.220/4/1987. 2 April 1987. Direktorat Jenderal Peternakan. 2005.

Statistik Peternakan 2005. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

(15)

Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi, Bengkulu 9-10 September 2003. Departemen Pertanian bekerja sama dengan Peme-rintah Provinsi Bengkulu dan PT Agri-cinal.

Fagi, A.M., I.G. Ismail, U. Kusnadi, Suwardjo, dan Al Sri Bagyo. 1988. Penelitian sistem usaha tani di daerah aliran sungai. hlm. 1-24. Risalah Loka-karya Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi di Daerah Aliran Sungai, Salatiga 14 Maret 1988. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan Tanah dan Air, Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian, Jakarta.

Go, B.H. 1998. Tanah lapar. Berita HITI 6(17): 11-12.

Hadi, P.U. dan N. Ilham. 2002. Problem dan prospek pengembangan usaha pem-bibitan sapi potong di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 21(4): 148-157.

Hidayat, A., Hikmatullah, dan D. Santoso. 2000. Potensi dan pengelolaan lahan kering dataran rendah. hlm. 197-215.

Dalam Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Ismail, I.G., U. Kusnadi, H. Supriadi, dan S.

Yana. 1986. Penelitian pola usahatani tanaman/ternak di daerah transmigrasi Batumarta. hlm. 3-16. Risalah Lokakarya Pola Usahatani. Buku I. Badan Peneli-tian dan Pengembangan Pertanian dan IDRC.

Knipscheer, H.C. and U. Kusnadi. 1983. The present and potential productivity of Indonesian goats. Working paper No. 29, December 1983, Winrock International Morritton, AR. 72110, USA. Research Institute for Animal Production, Bogor.

Kurnia, U., Y. Sulaeman, dan A. Mukti K. 2000. Potensi dan pengelolaan lahan kering dataran tinggi. hlm. 227-245.

Dalam Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Kusnadi, U., D. Sugandi, A. Gozali N.,

B.R.Prawiradiputra, dan D. Muslich. 1986. Produktivitas ternak dalam usa-hatani tanaman ternak di daerah trans-migrasi Batumarta. hlm. 41-54. Risalah Lokakarya Pola Usahatani, Bogor 2-3 September 1986. Buku I Tanaman/ Ternak. Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian dan IDRC.

Kusnadi, U. dan B.R. Prawiradiputra. 1989a. Produktivitas ternak domba di DAS Citanduy. hlm. 287-294. Risalah Lokakarya Penelitian dan Pengem-bangan Sistem Usahatani Konservasi di DAS Citanduy, Linggarjati 9-11 Agustus 1988. P3HTA dan Badan Penelitian dan Pengembangan Perta-nian, Jakarta.

Kusnadi, U. dan B.R. Prawiradiputra. 1989b. Peranan ternak domba dalam sistem usahatani konservasi lahan kering di DAS Citanduy. hlm. 205-214. Risalah Lokakarya Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Konservasi di DAS Citanduy, Linggar-jati 9-11 Agustus 1988. P3HTA dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

(16)

pada daerah berbasis usahatani padi. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Kusnadi, U., A. Thalib, dan M. Zulbardi, 2001b. Profitabilitas penggemukan sapi PO pada daerah berbasis usahatani padi di Kabupaten Subang. hlm. 435-440. Prosiding Seminar Nasional Tekno-logi Peternakan dan Veteriner, Bogor 17-18 September 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Kusnadi, U. 2005a. Produktivitas dan

re-produktivitas serta sumbangan usaha ternak kambing terhadap pendapatan petani di lahan kering dataran rendah Kabupaten Tangerang. hlm. 267-275. Prosiding Seminar Nasional Pengem-bangan Usaha Peternakan Berdaya Saing di Lahan Kering. Fakultas Peter-nakan Universitas Gadjah Mada dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Kusnadi, U. 2005b. Strategi dan kebijakan pengembangan ayam lokal di lahan rawa untuk memacu ekonomi pedesaan. hlm. 252-259. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengem-bangan Ayam Lokal, Semarang 26 Agustus 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor dan Fakultas Peternakan Universitas Dipo-negoro, Semarang.

Kusnadi, U., K. Diwyanto, dan S. Bahri. 2005. Pengembangan sistem usaha tani ternak-tanaman pangan berbasis kam-bing di Kabupaten Lombok Timur NTB. hlm. 685-692. Prosiding Seminar Na-sional Teknologi Peternakan dan Ve-teriner, Bogor 12-13 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Levine, J. dan A. Mulyadi N. 1986. Potensi dan kontribusi ternak dalam pola usahatani di hulu Daerah Aliran Sungai

Jratunseluna dan Brantas. hlm. 311-344. Risalah Lokakarya Pola Usahatani. Bogor 2-3 September 1986, Buku 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan IDRC.

Levine, J., U. Kusnadi, Subiharta, Wiloeto, dan D. Pramono. 1998. Sistem produksi ruminansia di DAS bagian hulu Jawa Tengah. Prosiding Workshop Pengem-bangan Peternakan di Jawa Tengah. Balai Informasi Pertanian Ungaran. Manti, I., Azmi, E. Priyotomo, dan D.

Sitompul. 2004. Kajian sosial ekonomi sistem integrasi sapi dan kelapa sawit. hlm. 245-260. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi, Bengkulu 9-10 September 2003. Departemen Pertanian bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT Agricinal.

Prasetyo, T., U. Kusnadi, dan Subiharta. 1988. Analisis keragaan produksi dan reproduksi domba di DAS Jratunselu-na. Risalah Lokakarya Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konserva-si di Daerah Aliran Sungai, Salatiga 14 Maret 1988. P3HTA dan Badan Pene-litian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Prawiradiputra, B.R., D. Sugandi, dan U. Kusnadi. 1986. Potensi dan penyediaan pakan dalam pola usahatani tanaman/ ternak di Batumarta. hlm. 55-56. Risalah Lokakarya Pola Usahatani, Bogor 2-3 September, 1986. Buku 1 Tanaman/ Ternak. Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian dan IDRC.

(17)

Sembiring, H., Thamrin, A. Syam, A. Adimihardja, dan S. Sukmana. 1990. Peranan usahatani konservasi dalam pengendalian erosi di Desa Srimulyo Malang DAS Brantas. hlm. 27-40.

Gambar

Gambar 1. Peta jalan menuju “Revolusi Merah” (road map pengembangan sapi potong)

Referensi

Dokumen terkait

nyeburin , tetap tdak dtemukan pengaturan- pengaturan lan yang secara khusus mengatur syarat-syarat, prosedur, atapun akbat hukum perkawnan pada gelahang n dalam Awig- awig

Hasil penelitian ini adalah: (1) pelaksanaan pembelajaran dengan metode jigsaw dilakukan sebanyak 2 siklus pada pokok bahasan cacat pengecatan, dengan pembentukan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh secara simultan dan parsial antara ukuran perusahaan, profitabilitas dan nilai saham terhadap perataan

Pencacahan di lapangan harus menggunakan daftar HKD-2.1, setelah dikoreksi barulah perdesaan dan juga untuk penyusunan Indeks Harga Yang Dibayar Petani Kelompok N

dikejutkan dengan pemberitaan bahwa PB Djarum akan mengakhiri beasiswa Bulu Tangkis yang telah diadakan selama dua belas tahun terakhir. Polemik ini berawal dari

Hasil lainnya yang diperoleh dari simulasi ini adalah kenaikan nilai temperatur udara primer sebesar 463°K dengan kondisi flowrate udara dan batubara pada nilai yang

Santri yang mengikuti pendidikan di madrasah Aliyah Santri yang Belajar di Madrasah

Bioplastik dari pati kulit singkong khitosan dapat terdegradasi dengan bantuan EM 4 selama 10 hari, sehingga bioplastik pati kulit singkong khitosan adalah