• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Dana Perimbangan terhadap Kesenja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dampak Dana Perimbangan terhadap Kesenja"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK

DAMPAK DANA PERIMBANGAN PADA ERA DESENTRALISASI

TERHADAP KESENJANGAN ANTARWILAYAH DI INDONESIA

Diantha Arafia (1), Prof. Ir. Tommy Firman, M.Sc., Ph.D. (2) (1)

Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB. (2)

Kelompok Keahlian Perencanaan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB.

Abstrak

Sistem desentralisasi dan desentralisasi fiskal telah berkembang di Indonesia sejak tahun 1999. Salah satu komponen dari desentralisasi fiskal adalah dana perimbangan yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antarwilayah yang diharapkan dapat memeratakan pembangunan di Indonesia sehingga masalah kesenjangan antarwilayah dapat dikurangi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dampak dari adanya sistem dana perimbangan terhadap kesenjangan antarwilayah atau antarprovinsi di Indonesia beserta dengan alasan-alasannya. Dalam memenuhi tujuan tersebut, studi ini menggunakan metode korelasi r-pearson dan deskriptif. Hasil studi ini adalah kesenjangan antarwilayah di Indonesia berada dalam kategori tinggi dalam periode tahun 2000-2011 dan masing-masing komponen dana perimbangan memiliki hubungan yang kurang kuat dengan kesenjangan antarwilayah. Namun, bila Provinsi DKI Jakarta tidak diikutsertakan dalam perhitungan, kesenjangan menurun dan hubungan antara dana perimbangan dengan kesenjangan antarwilayah menjadi kuat. Berdasarkan hasil analisis deskriptif, diindikasikan bahwa DAU, DAK, DBH, dan keseluruhan dana perimbangan tidak memiliki dampak yang berarti bagi kesenjangan antarwilayah di Indonesia karena DKI Jakarta masih jauh lebih menonjol dari daerah lainnya, formulasi dan pengalokasian dana perimbangan yang belum efektif, serta campur tangan politik dana pelaksanaan sistem. Dari hasil tersebut, dapat dirumuskan rekomendasi berupa perlu adanya terobosan dari pemerintah untuk menambah kebijakan baru terkait spasial untuk meratakan pembangunan, merombak formulasi DAU, DAK, dan DBH serta merevisi Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 agar menjadi lebih efektif.

Kata-kunci: Desentralisasi Fiskal , Dana Perimbangan, DAU, DAK, DBH, Kesenjangan Antarwilayah, Indonesia

PENDAHULUAN

Indonesia telah mengadopsi sistem pemerintahan terdesentralisasi yang didukung dengan kebijakan desentralisasi fiskal berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah agar sistem desentralisasi lebih optimal. Kebijakan desentralisasi fiskal ini memiliki beberapa tujuan, salah satunya adalah mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah serta antardaerah. Hal ini sejalan dengan fungsi dari salah satu komponen penting desentralisasi fiskal yaitu dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil yang memiliki proporsi terbesar dalam sistem tersebut. Dari perspektif pengembangan wilayah, adanya pemerataan fiskal antardaerah akan berimplikasi pada pengurangan kesenjangan pembangunan antarwilayah di Indonesia Namun, berdasarkan kenyataan yang ada, masalah kesenjangan antarwilayah masih terjadi di

Indonesia. Selama 12 tahun berjalan, sistem dana perimbangan yang menjadi tumpuan desentralisasi fiskal di Indonesia juga masih dianggap belum efektif dan efisien baik dilihat dari formulasi pengalokasian maupun dalam pelaksanaan dan penggunaannya. Selain itu, ternyata alokasi belanja daerah di Indonesia maish fokus kepada belanja pegawai, bukannya belanja langsung untuk kepentingan pembangunan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah dengan adanya sistem dana perimbangan dengan keadaan sistem desentralisasi yang masih belum stabil ini dapat berfungsi dengan baik dan tetap memberikan dampak terhadap pengurangan masalah kesenjangan antarwilayah di Indonesia.

(2)

dengan kesenjangan antarwilayah di Indonesia. Pembahasan pada jurnal ini akan dilanjutkan dengan metode penelitian, kajian literatur, gambaran umum, analisis yang menjawab tiap sasaran, kesimpulan, rekomendasi, dan daftar pustaka.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini mencakup dua materi besar yaitu kesenjangan antarwilayah di Indonesia dan dana perimbangan pada era desentralisasi di Indonesia. Penelitian ini memiliki unit analisis provinsi di Indonesia dan periode waktu penelitian adalah tahun 2000-2011 yang mewakili masa berjalannya era desentralisasi di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif dan metode kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan berdasarkan data sekunder dari Badan Pusat Statistik, BAPPENAS, dan Kementerian Keuangan. Tahapan analisis dilakukan berdasarkan dua sasaran penelitian dan tujuannya. Berikut adalah penjelasannya:

a. Analisis Kesenjangan Antarwilayah di Indonesia

Analisis ini menggunakan metode analisis deskriptif dengan perhitungan Indeks Williamson sebagai ukuran kesenjangan. Data yang digunakan adalah PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 dan jumlah penduduk per provinsi.

b. Analisis Hubungan dan Dampak Dana Perimbangan terhadap Kesenjangan Antarwilayah di Indonesia

Analisis ini menggunakan metode analisis korelasi R-pearson untuk melihat hubungannya serta analisis deskriptif untuk menjabarkan indikasi dampak dari

dana perimbangan terhadap kesenjangan

antarwilayah di Indonesia dari penelitian, fakta, dan informasi yang ada. Menurut Sugiyono (2012), klasifikasi nilai r adalah:

0 - 0,199 : Sangat lemah 0,20 - 0,399 : Lemah

0,40 - 0,599 : Sedang/Kurang Kuat 0,60 - 0,799 : Kuat

0,80 - 1,0 : Sangat kuat

KAJIAN LITERATUR

Kesenjangan adalah suatu gambaran terhadap fakta atau kondisi yang tidak homogen, yang di dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan yang membutuhkan perhatian (Bappenas, 2012). Masalah ketimpangan merupakan hal yang wajar terjadi dalam perkembangan suatu wilayah, namun hal ini menjadi masalah ketika ada wilayah yang merasa bahwa

kesenjangan yang terjadi disebabkan oleh sistem pemerintahan dan pembangunan yang salah yang menyebabkan adanya backwash effect atau ketika wilayah yang kaya diuntungkan oleh adanya wilayah tertinggal sehingga wilayah kaya semakin kaya dan yang tertinggal semakin mundur.

Pemerintah berupaya untuk mengurangi

ketimpangan pembangunan antarwilayah di

Indonesia dengan berbagai cara, salah staunya dengan menerapkan sistem desentralisasi dan desentralisasi fiskal. Definisi desentralisasi menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah

penyerahan wewenang pemerintahan oleh

pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mendukung efektivitas kebijakan ini maka disusunlah kebijakan desentralisasi fiskal yaitu instrumen keuangan yang digunakan oleh pemerintah dalam

mengelola pembangunan guna mendorong

perekonomian daerah maupun nasional. Tujuannya adalah untuk memperbaiki kinerja keuangan melalui

peningkatan keputusan dalam menciptakan

penerimaan dan pengeluaran yang rasional. Komponen penting dari desentralisasi fiskal di Indonesia adalah transfer fiskal atau dana perimbangan (DAU, DAK, dan DBH).

DAU merupakan dana block grant yang harus dialokasikan oleh pemerintah pusat sebesar 26% dari Penerimaan Dalam Negeri Neto di APBN. Tujuannya adalah untuk meminimumkan ketimpangan fiskal antardaerah dan memiliki alokasi terbesar sebagai sumber penerimaan daerah di Indonesia. DBH dibagi menjadi dua yaitu DBH Sumberdaya Alam dan Pajak. Fungsi dari DBH adalah meminimumkan ketimpangan fiskal vertikal. DAK merupakan dana

matching grant yang berfungsi untuk mendanai kebutuhan pembangunan sarana dan prasarana prioritas nasional untuk memeratakan pembangunan di Indonesia. Ketiga dana ini memiliki fungsi yang hampir sama namun tetap berbeda dan apabila dilaksanakan dan digunakan dengan efektif dan efisien akan menimbulkan pemerataan pembangunan di Indonesia.

Penelitian ini mengaitkan sistem dana perimbangan dan kesenjangan antarwilayah karena secara teoritis dengan adanya sistem dana perimbangan yang memiliki jumlah yang besar akan

berdampak positif terhadap pengurangan

(3)

GAMBARAN UMUM KEADAAN

KESENJANGAN ANTARWILAYAH DAN DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA

Berdasarkan penelitian terdahulu, Indeks Williamson yang mewakili kesenjangan antarwilayah di Indonesia tanpa sektor minyak dan gas cenderung terus meningkat dari tahun 1976 hingga tahun 2000 yang mewakili era Orde Baru. Penelitian Tadjoedin,

et.al. (1998) menunjukkan angka yang amat tinggi yaitu diatas 0,9 dari tahun 1993-1998. Faktor utama yang meningkatkan tingkat kesenjangan antarwilayah di Indonesia adalah karena Indonesia merupakan negara berkembang yang masih dalam masa perkembangan menuju pembangunan yang lebih merata. Selain itu, faktor migrasi dan urbanisasi juga menunjukkan bahwa kecenderungan untuk berpindah ke Pulau Jawa sangat tinggi karena pembangunan terfokus di Pulau Jawa (Tirtosuharto, 1999). Selain melihat kesenjangan wilayah di Indonesia secara agregat, melihat kesenjangan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) juga kerap dilakukan. Berdasarkan penelitian berdasarkan Tirtosuharto (2009), 80% dari investasi baik domestik maupun luar negeri pada tahun 1994-1997 lebih banyak dilakukan di Kawasan Barat Indonesia yang terdiri dari Jawa, Bali, dan Sumatera karena pembangunan di KBI lebih pesat dibanding di KTI. Kebijakan desentralisasi dan desentralisasi fiskal di Indonesia telah berjalan selama kurang lebih 12 tahun dan telah memasuki masa stabilitas menurut fase yang disusun oleh pemerintah. Namun, pada kenyataannya hingga kini sistem desentralisasi fiskal masih dianggap belum efektif dan masih dalam tahap penyempurnaan. Sistem dana perimbangan yang menjadi komponen penting desentralisasi fiskal di Indonesia terus mengalami peningkatan dalam

Tabel 1. Hasil Perhitungan Indeks Williamson

pengalokasiannya, namun masih diperdebatkan keefektifan keberjalanannya dan belakangan ini muncul wacana untuk merombak Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah karena masih belum menimbulkan kepuasan bagi daerah-daerah di Indonesia.

ANALISIS DAMPAK DANA PERIMBANGAN TERHADAP KESENJANGAN

ANTARWILAYAH DI INDONESIA

Untuk mengetahui dampaknya, penelitian ini akan menganalisis tren kesenjangan antarwilayah di Indonesia setelah era desentralisasi dan mengindentifikasi hubungan antara masing-maisng dana perimbangan dengan Indeks Williamson nonmigas yang menjadi representasi kesenjangan antarwilayah di Indonesia.

Analisis kesenjangan antarwilayah pada penelitian ini akan melihat tren kesenjangan dari tahun 2000-2011 menggunakan tiga variasi yaitu menggunakan Data PDRB ADHK 2000 dengan migas, PDRB ADHK 2000 tanpa migas, dan PDRB ADHK tanpa migas tetapi mengeluarkan Provinsi DKI Jakarta dari perhitungan. Variasi ini dilakukan mengingat sektor migas yang dominan di Indonesia hanya dimiliki oleh beberapa provinsi saja antara lain Aceh, Kalimantan Timur, dan Riau dan pendapatan hasil dari sektor minyak dan gas tidak kembali pada daerah itu saja namun juga ditransfer ke daerah-daerah lainnya (Akita dan Alisjahbana, 2002). Untuk variasi ketiga, pendapatan per kapita di Provinsi DKI Jakarta yang jauh diatas rata-rata atau jauh lebih banyak dibanding provinsi-provinsi lainnya mengindikasikan adanya dominasi DKI Jakarta dalam penentuan kesenjangan antarwilayah. Berikut adalah hasil perhitungannya.

Tahun Indeks

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Williamson

Migas 0.84 0.90 0.84 0.83 0.85 0.79 0.79 0.80 0.81 0.80 0.80 0.81

Williamson

Non-Migas 0.83 0.89 0.84 0.85 0.92 0.80 0.80 0.82 0.83 0.81 0.82 0.83

Williamson

Non DKI 0.65 0.66 0.62 0.57 0.57 0.54 0.53 0.53 0.52 0.53 0.53 0.47

(4)

Dari Tabel 1, terlihat bahwa ketimpangan antarwilayah di Indonesia, baik dengan PDRB dengan migas maupun non-migas, menunjukkan ketimpangan yang tinggi karena lebih dari 0,5 dan dapat dikategorikan sangat tinggi karena mendekati angka 1,00. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara indeks perhitungan PDRB dengan migas dari tahun 2000 hingga tahun 2011 karena nilai indeks hanya berada di antara 0,79-0,90 dan nilainya fluktuatif. Begitu pula dengan perhitungan indeks menggunakan data PDRB tanpa migas, kisaran angka Indeks Williamson juga berada di antara 0,80-0,92 dan juga fluktuatif. Dengan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara indeks perhitungan PDRB dengan migas dan tanpa migas, bahkan lebih tinggi Indeks Williamson tanpa migas, mengindikasikan adanya penurunan kontribusi sektor minyak dan gas terhadap pembangunan ekonomi regional di Indonesia, sesuai dengan argumentasi pada penelitian Akita dan Alisjahbana (2002).

Pada perhitungan Indeks Williamson dengan

data PDRB dengan migas namun tidak

mengikutsertakan Provinsi DKI Jakarta dalam perhitungan dengan alasan yang telah dijelaskan sebelumnya, walaupun masih dalam kategori tinggi karena lebih dari 0,5, namun menunjukkan perbedaan yang cukup besar dari kedua Indeks Williamson sebelumnya. Selain itu, terlihat tren kesenjangan cenderung menurun dari tahun 2000 hingga tahun 2011. Bahkan, pada tahun 2011, Indeks Williamson di Indonesia tanpa Provinsi DKI Jakarta adalah 0.47, atau masuk ke dalam kategori rendah. Fenomena kesenjangan antarwilayah di Indonesia ini dapat dijelaskan oleh beberapa hal. Pertama, adanya gap

pendapatan per kapita yang amat besar di Indonesia. Perbedaan pendapatan perkapita yang tertinggi dan terendah pada tahun 2001 mencapai Rp26.316,08 ribu rupiah dan pada tahun 2011 meningkat 2 kali lipat menjadi Rp40.451,20 ribu rupiah.

Provinsi yang memiliki pendapatn tertinggi adalah DKI Jakarta, Kaltim, Kep. Riau, dan Papua. Tingginya pendapatan perkapita di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2001 dan 2011 dapat disebabkan oleh status DKI Jakarta sebagai ibukota dan menjadi pusat kegiatan sektor industri, jasa, dan perdagangan internasional. Provinsi Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, serta Papua memiliki sumberdaya alam seperti minyak dan gas bumi, bahan tambang, serta sumberdaya hutan yang berlimpah serta jumlah penduduk yang relatif sedikit, sehingga memiliki pendapatan perkapita yang tinggi.

Berdasarkan nilai Indeks Williamson dan

melihat penyebabnya melalui perbandingan

pendapatan perkapita, terlihat bahwa Provinsi DKI Jakarta menjadi salah satu faktor utama yang menjadikan kesenjangan antarwilayah di Indonesia menjadi sangat timpang. Dominasi DKI Jakarta dalam kesenjangan antarwilayah di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal yaitu :

1. DKI Jakarta merupakan ibukota negara yang memiliki struktur ekonomi kota yang sangat berbeda dengan provinsi (Sjafrizal, 2002), bahkan menempati posisi ke 17 dari 200 metropolitan dunia yang menunjukkan kinerja ekonomi terbaik (Investor Daily, 27 Februari 2013)

2. Pembangunan infrakstruktur dan sistem transportasi yang terpusat di ibukota. 3. Perbedaan struktur ekonomi daerah yang

besar dibandingkan dengan provinsi lainnya (Sjahrizal, 2002)

Setelah mengetahui nilai Indeks Williamson di Indonesia dari tahun 2000-2011 beserta trennya, dapat disimpulkan bahwa setelah kebijakan desentralisasi diberlakukan di Indonesia ternyata kesenjangan antarwilayah masih terjadi bahkan masih berada dalam kategori tinggi dan belum ada penurunan yang signifikan. Untuk melihat hubungan antara kesenjangan antarwilayah dengan sistem dana perimbangan akan dilakukan analisis korelasi. Berikut adalah hasil perhitungannya.

Tabel 2. Hasil Analisis Korelasi

Komponen Nilai r

Hubungan dengan Indeks Williamson

DAU -0.528 Kurang Kuat

DAK -0.544 Kurang Kuat

DBH -0.488 Kurang Kuat

Dana Perimbangan -0.523 Kurang Kuat

Sumber: Hasil Analisis, 2013

(5)

menurun, begitupun sebaliknya. Pada kenyataannya, ketika DAU, DAK, DBH, dan dana perimbangan meningkat, Indeks Williamson memang turun, namun penurunan yang terjadi tidak berarti karena kesenjangan yang terjadi masih tetap tinggi. Hal ini menguatkan temuan statistik korelatif yang menunjukkan hubungan yang ada antarvariabel tidak begitu kuat.

Selain itu, temuan pada analisis kesenjangan yang mengindikasikan bahwa Provinsi DKI Jakarta sebagai faktor utama kesenjangan antarwilayah di Indonesia memberikan variasi baru

untuk melihat analisis korelasi tanpa

mengikutsertakan Provinsi DKI Jakarta dalam perhitungan. Berikut adalah hasilnya.

Tabel 3. Hasil Analisis Korelasi Tanpa DKI

Komponen Nilai r

Hubungan dengan Indeks Williamson

DAU -0.861 Sangat Kuat

DAK -0.858 Sangat Kuat

DBH -0.776 Kuat

Dana Perimbangan -0.853 Sangat Kuat

Sumber: Hasil Analisis, 2013

Dari tabel di atas, diketahui bahwa baik DAU, DAK, maupun dana perimbangan secara keseluruhan memiliki hubungan negatif yang sangat kuat, kecuali DBH hanya memiliki hubungan yang kuat dengan kesenjangan antarwilayah. Hal ini menunjukkan apabila DAU, DAK, DBH, dan dana perimbangan meningkat, pada saat yang bersamaan Indeks Williamson atau kesenjangan antarwilayah menurun, begitupun sebaliknya. Pada kenyataannya, ketika DAU, DAK, DBH, dan dana perimbangan tanpa DKI Jakarta meningkat, Indeks Williamson tanpa DKI Jakarta turun signifikan hingga pada tahun 2011 menyentuh angka 0,47 atau termasuk dalam kategori kesenjangan rendah. Sangat kuatnya hubungan DAK, DAU, dan dana perimbangan serta kuatnya hubungan DBH dan Indeks Williamson tanpa Provinsi DKI Jakarta ini mengindikasikan bahwa tanpa DKI Jakarta, Indonesia memiliki tingkat pemerataan yang lebih baik dan sistem dana perimbangan cenderung lebih berguna untuk membantu daerah-daerah di Indonesia dalam meningkatkan pemerataan antarwilayah di Indonesia

sesuai dengan tujuannya yaitu untuk memeratakan fiskal antara pusat dan daerah serta antardaerah yang menurut konteks pengembangan wilayah pada

akhirnya akan menghasilkan pengurangan

kesenjangan antarwilayah karena masing-masing daerah memiliki sumber dana yang memadai untuk memajukan daerahnya masing-masing sesuai dengan kebutuhannya.

Setelah melihat hasil statistik, indikasi dampak dari dana perimbangan terhadap kesenjangan antarwilayah di Indonesia akan dilakukan dengan pendekatan deskriptif kualitatif, yaitu memaparkan teori, fakta, dan informasi yang terkait dan mendukung hasil temuan statistik korelasi sebelumnya dari berbagai literatur, baik dokumen kebijakan, laporan penelitian terdahulu, undang-undang, formulasi, dan dokumen-dokumen terkait lainnya. Dari dokumen-dokumen tersebut, akan dibuat inferensi yang berguna untuk penyusunan rekomendasi kepada pemerintah, baik bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Berikut adalah ringkasan dari dampak masing-masing variabel yaitu DAU, DAK, DBH, dan dana perimbangan.

Berdasarkan hasil perhitungan statistik, DAU memiliki hubungan negatif yang sedang atau kurang kuat dengan kesenjangan antarwilayah secara keseluruhan. Temuan statistik ini sejalan dengan fakta yang ada hingga saat ini bahwa DAU masih belum maksimal dalam menjalankan fungsinya sebagai equalization grant yang berfungsi untuk

pemerataan kemampuan keuangan daerah

berdasarkan evaluasi time series dengan indikator koefisien variasi dan Indeks Williamson karena ketimpangan fiskal tidak mengalami perubahan yang signifikan (Kementerian Keuangan, 2012), yang mengakibatkan pemerataan pembangunan di daerah pun terhambat. Selain itu, BPK (2007) memaparkan bahwa Tidak adanya harmonisasi dan konsistensi dalam pengalokasian DAU serta data dasar perhitungan DAU direkayasa dan tidak valid dan Shah (2012) mengatakan bahwa DAU belum mampu berfungsi secara maksimal karena formulasinya

maish belum sempurna. Sehingga, dapat

diindikasikan bahwa DAU cenderung memiliki dampak namun sangat kecil terhadap kesenjangan antarwilayah di Indonesia karena belum mampu melaksanakan fungsinya dengan maksimal sebagai

pemerata keuangan daerah untuk mendanai

pelayanan dasar sesuai dengan standar minimal

(6)

ketidaktransparanan, dan ketidakadilan dalam formulasi alokasi DAU serta akuntabilitas pemerintah baik pusat maupun daerah yang masih buruk.

DAK, dengan alokasi yang jauh lebih kecil dari DAU, ternyata memiliki hubungan dengan kesenjangan antarwilayah yang hampir sama dengan DAU yaitu kurang kuat namun signifikan pada temuan statistik pertama. Pada saat ini, DAK sudah tidak lagi berada dalam koridor utamanya yaitu membiayai wilayah terpilih dengan kegiatan terpilih sehingga tidak dapat dianggap khusus lagi. Padahal, dana ini menjadi tumpuan pemerintah daerah dalam menyempurnakan sarana dan prasarana di daerahnya masing-masing. Berdasarkan temuan BPK (2007), masalah dari DAK adalah perhitungan alokasi tidak mengikuti kriteria yang telah ditentukan, adanya kesalahan perhitungan DAK, dan pencairan DAK tidak sesuai ketentuan (dicairkan pada akhir tahun). Shah (2012) juga mengatakan bahwa DAK tidak memiliki perspektif perencanaan untuk kekurangan infrastruktur dan kriteria umum, khusus, dan teknis untuk pengalokasiannya terlalu rumit. Adanya temuan-temuan tersebut mengindikasikan bahwa DAK memiliki dampak namun sangat kecil terhadap kesenjangan antarwilayah. Adanya masalah-masalah penyelewengan DAK dan keterlambatan penyaluran DAK, kriteria teknis, umum, dan khusus yang diabaikan dalam pengalokasian DAK, serta arah DAK yang menjadi tidak jelas karena tidak bersifat khusus lagi membuat DAK tidak berfungsi secara sempurna, tidak tepat guna, dan program-program pembangunan yang dijadikan prioritas nasional untuk peningkatan kualitas pelayanan menjadi terbengkalai. DBH, yang dibagi menjadi dua yaitu DBH Pajak dan DBH Sumberdaya Alam, sebagai dana yang mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah, ternyata juga memiliki korelasi yang kurang kuat serta tidak signifikan dengan Indeks

Williamson yang mewakili kesenjangan

antarwilayah. Temuan statistik ini menunjukkan bahwa apabila DBH meningkat maka kesenjangan antarwilayah menurun ternyata berkontradiksi dengan pendapat bahwa DBH memang menjadi kunci pemerataan kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah, namun memperburuk ketidaksetaraan fiskal horizontal yang berujung pada peningkatan kesenjangan antarwilayah (Firman, 2003). Namun, hubungannya yang kurang kuat mengindikasikan bahwa bisa jadi DBH memang tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesenjangan

antarwilayah. Beberapa penelitian yang mendukung adalah Firman (2003) yang mengatakan bahwa DBH menjadi kunci untuk pemerataan kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah tetapi memperburuk ketidaksetaraan fiskal horizontal yang berujung pada peningkatan kesenjangan antarwilayah. BPK (2007) juga mengatakan bahwa DBH memiliki masalah keterlambatan penyaluran dana dan mekanisme pemungutan pajak belum jelas. Hal ini diperkuat dengan artikel di Harian Bisnis Indonesia (2009) yang mengatakan bahwa keterlambatan penyaluran DBH menyebabkan pembangunan di daerah tidak berjalan lancar dan mengganggu keefektifan APBD. Masalah lain dari DBH menurut Bappenas (2011) adalah adanya perbedaan persepsi dalam pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan serta penentuan daerah penghasil SDA yang tidak jelas. Hal ini mengindikasikan bahwa DBH memiliki dampak

namun sangat kecil terhadap kesenjangan

antarwilayah karena mengalami hambatan dan keterlambatan dalam pengalokasian, alokasi yang tidak tepat sasaran, serta sistem pengalokasian masih menimbulkan kesenjangan fiskal antardaerah.

Berdasarkan analisis korelasi, jumlah keseluruhan dana perimbangan memiliki hubungan negatif yang kurang kuat dengan Indeks Williamson yang merepresentasikan kesenjangan antarwilayah. Temuan statistik pertama dari penelitian ini yang menyatakan adanya hubungan negatif walaupun kurang kuat berkontradiksi dengan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun 2008 bahwa pelaksanaan otonomi daerah dan adanya peranan dana perimbangan justru semakin memperbesar

kesenjangan pembangunan antarwilayah dan

pemerataan pendapatan tidak tercapai karena terindikasi adanya permasalahan dalam alokasi distribusi pendapatan di Indonesia sehingga kue pembangunan hanya dinikmati dan berputar oleh sejumlah pihak tertentu dan di wilayah tertentu.

Temuan BPK (2008) ini didukung dengan

kesimpulan penelitian Sinaga dan Hermanto (2005) yang mengatakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal belum efektif dalam mengurangi kesenjangan output (PDRB) antardaerah walaupun mampu mendorong peningkatan output, pendapatan, dan tenaga kerja. Lebih lanjut dijelaskan bahwa hal tersebut bisa jadi disebabkan oleh kurang tepatnya rumus yang digunakan dalam penentuan dana perimbangan dan belum adanya aturan standar dalam pengalokasian pengeluaran atau hanya sekitar 20%

(7)

Menurut dua temuan penelitian tersebut, hal ini membuat daerah yang kaya atau maju semakin

berkembang dan wilayah marginal semakin

tertinggal.

Seperti masalah yang telah dipaparkan pada dampak masing-masing dana perimbangan, campur tangan politik dan penyelewengan dana perimbangan juga belum hilang dari sistem desentralisasi fiskal terutama pengalokasian dana perimbangan. Salah satu kasus yang sempat mencuat adalah masalah pemarkiran dana perimbangan sebesar Rp50 triliun di SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dan Surat Utang Negara (SUN) juga dapat menjadi sumber ketidakoptimalan sistem dana perimbangan yang diidentifikasi telah terjadi sejak tahun 2007 yang terbukti memarkirkan dana sebesar Rp91 triliun. Buruknya perencanaan dan pelaksanaan

anggaran yang menyebabkan terhambatnya

pengesahan anggaran juga pasifnya pemerintah

dalam menjalankan kebijakan-kebijakan

pembangunan dapat menjadi penyebab pemarkiran dana ini.

Devas (1988) dalam Bappenas (2009) mengemukakan tujuh kriteria untuk merancang sistem perimbangan keuangan yaitu simplicity

(kesederhanaan atau formula alokasi yang mudah dimengerti), adequacy (kecukupan untuk membiayai kebutuhan dasar daerah), elasticity (penyesuaian terhadap inflasi), stability and predictability (jumlah alokasi relatif stabil dan mudah diprediksi), equity

(adanya aspek pemertaan antardaerah/tingkatan

pemerintahan), economic efficiency (mampu

menjamin efisiensi penggunaan dana), dan

decentralization and local accountability (menjamin otonomi daerah dan akuntabilitas lokal). Namun, dalam pelaksanaannya di Indonesia, alokasi dana perimbangan masih dinilai sangat kompleks yang

berujung pada kurangnya transparansi,

ketidakmerataan, dan ketidakjelasan karena juga mempertimbangkan faktor non-ekonomi atau faktor non-formulasi dalam penentuannya serta banyaknya campur tangan politik dalam pengalokasian dana perimbangan sehingga keputusan ad-hoc terjadi (Shah, et.al., 2012 dan Siddik, 2002). . Hal ini mengindikasikan bahwa era desentralisasi dan sistem desentralisasi fiskal terutama sistem dana perimbangan yang menjadi fokus dalam penelitian

ini cenderung belum bisa mengintervensi

kesenjangan antarwilayah di Indonesia dengan alasan yang dipaparkan pada analisis-analisis sebelumnya.

Namun, dari analisis korelasi yang menghubungkan Indeks Williamson dengan DAU, DAK, DBH, dan dana perimbangan tanpa mengikutsertakan DKI Jakarta, ditemukan fakta bahwa hubungan negatifnya menjadi sangat kuat. Hal ini mengindikasikan bahwa mengindikasikan bahwa memang DKI Jakarta menjadi faktor yang menyebabkan kesenjangan antarwilayah di Indonesia menjadi tinggi, seperti kesimpulan pada analisis sebelumnya. Temuan ini sejalan dengan pendapat dari Irman Gusman (2013) dalam Rapat Koordinasi Nasional Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Perbankan dan Finansial yang menyatakan bahwa Kawasan Barat Indonesia, terutama DKI Jakarta memberikan kontribusi yang dominan sebesar 80,4% dari KBI dan 13,4% dari DKI Jakarta sendiri untuk PDB Indonesia. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sektor-sektor ekonomi di luar Jawa masih belum berkembang dan sektor yang berkembang pun masih didominasi oleh sektor primer yang dikelola oleh orang dari luar wilayah tersebut karena demokratisasi masih terbatas pada bidang politik dan pemerintahan saja, belum berimbas pada bidang ekonomi. Hal ini bisa ditekan apabila manajemen otonomi daerah di Indonesia dijalankan dengan baik. Namun, melihat masih adanya dominasi DKI Jakarta dalam sektor ekonomi dan investasi, mengindikasikan bahwa sistem desentralisasi dan desentralisasi fiskal masih belum mampu mengangkat perekonomian wilayah-wilayah lain dan justru menguntungkan wilayah-wilayah DKI Jakarta yang mendapat banyak kesempatan, untuk mengembangkan wilayah dengan lebih maju dan pesat karena adanya sistem desentralisasi fiskal. Menonjolnya DKI Jakarta pada pembangunan di Indonesia justru menimbulkan masalah backwash effect yang besar. DKI Jakarta mendapatkan jatah Dana Bagi Hasil dari Pajak Bumi dan Bangunan paling besar atau mencapai sekitar 11 triliun rupiah pada tahun 2010 dan bahkan jauh melebihi dana bagi hasil bagi wilayah lainnya walaupun mendapatkan jatah DAU yang kecil dan tidak mendapatkan jatah DAK. Ringkasnya, sistem desentralisasi dan desentralisasi fiskal justru membuat Provinsi DKI Jakarta melaju lebih pesat meninggalkan wilayah-wilayah lainnya.

KESIMPULAN

(8)

Williamsonnya, baik dengan sektor migas maupun sektor nonmigas. Tren kesenjangan wilayah berdasarkan Indeks Williamson dengan sektor migas dari tahun 2000-2011 menunjukkan adanya fluktuasi angka namun angkanya selalu berkisar antara 0,80-0,90. Tren kesenjangan wilayah dengan Indeks Williamson tanpa sektor migas pada tahun 2000-2011 juga menunjukkan adanya fluktuasi dengan angka berkisar 0,80-0,90 dan hampir sama dengan analisis dengan mengikutsertakan sektor migas, namun dilihat dari grafiknya, nilai Indeks Williamson tanpa sektor migas selalu di atas grafik Indeks

Williamson dengan sektor migas. Namun,

kesenjangan antarwilayah di Indonesia menjadi menurun bila Provinsi DKI Jakarta dikeluarkan dari dalam perhitungan.

Hal ini menunjukkan adanya penurunan kontribusi sektor minyak dan gas terhadap perkembangan ekonomi di Indonesia dan peran yang besar dari Provinsi DKI Jakarta dalam meningkatkan kesenjangan antarwilayah karena adanya perbedaan struktur ekonomi daerah yang timpang dengan daerah-daerah lainnya. Hal ini sesuai dengan teori

backwash effect yang dicetuskan oleh Gunnar Myrdal.

Kesenjangan wilayah di Indonesia yang tidak ada perubahan dari tahun 2000-2011 atau pada era desentralisasi fiskal ini menunjukkan bahwa agenda kebijakan pemerintah untuk mengurangi kesenjangan wilayah belum berhasil. Sebnarnya, agenda kebijakan ini memang tidak dapat langsung bekerja dalam waktu yang singkat. Namun, kinerja kelembagaan pusat dan daerah yang belum sinkron dan belum efektif dalam pelaksanaan agenda kebijakan dalam rangka mengurangi kesenjangan memperburuk keadaan kesenjangan antarwilayah di Indonesia.

Berdasarkan hasil analisis untuk melihat hubungan dan dampak dari dana perimbangan, didapat hasil bahwa DAU, DAK, DBH, serta jumlah total dana perimbangan memiliki hubungan terhadap Indeks Williamson atau kesenjangan antarwilayah. Hubungan yang terjadi adalah hubungan negatif yang kurang kuat karena nilai hubungan berada di angka 0,4-0,6. Untuk Dana Bagi Hasil, hubungan yang terjadi tidak signifikan, sedangkan untuk variabel lain didapatkan hubungan yang signifikan. Namun, ketika analisis korelasi dilakukan antara variabel DAU, DAK, DBH, dan jumlah total dana perimbangan namun Provinsi DKI Jakarta ditiadakan berdasarkan hasil analisis sebelumnya yang menyatakan DKI sebagai faktor utama kesenjangan antarwilayah di

Indonesia, hubungan yang terjadi adalah negatif, kuat, dan signifikan. Hal ini makin memperkuat indikasi bahwa DKI Jakarta memang merupakan faktor utama kesenjangan antarwilayah di Indonesia dan sistem dana perimbangan belum mampu membuat wilayah lain mengejar pertumbuhan DKI Jakarta dan justru mempercepat pertumbuhan DKI Jakarta.

(9)

beriringan pun tidak memiliki dampak yang berarti dan belum berjalan secara efektif.

REKOMENDASI

Melihat sistem dana perimbangan yang belum

berdampak terhadap masalah kesenjangan

antarwilayah, maka penulis ingin memberikan rekomendasi untuk pemerintah agar sistem desentralisasi fiskal dapat berjalan lebih efektif dan pada akhirnya dapat berkontribusi terhadap pengurangan kesenjangan antarwilayah, yaitu:

1.Dengan adanya temuan bahwa Provinsi DKI Jakarta justru lebih mendapatkan

keuntungan dengan adanya dana

perimbangan dan kebijakan

desentralisasi fiskal ini, maka diindikasikan sistem dana perimbangan dan kebijakan desentralisasi fiskal perlu dikaji ulang atau diberikan kebijakan baru lainnya berupa kebijakan spasial yang mengiringi kebijakan desentralisasi fiskal terutama pengalokasian sistem dana perimbangan;

2.Perlu adanya insentif dan penguatan dalam pemungutan dan pengelolaan pajak daerah serta perbaikan sistem pinjaman daerah agar sistem desentralisasi fiskal tidak hanya bertumpu kepada dana perimbangan saja atau fokus pada

expenditure autonomy saja agar sistem lebih efektif;

3.Pemerintah harus mengubah formulasi perhitungan DAU, DAK, dan DBH serta membuat pendekatan keseimbangan fiskal yang komprehensif dengan cara segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah menjadi lebih sederhana agar lebih transparan, mudah dalam pengalokasian, adil, serta mudah dievaluasi dalam keberjalanannya sehingga dapat berfungsi dengan efektif; 4.Perlu adanya insentif dan penguatan dalam pemungutan dan pengelolaan pajak daerah serta perbaikan sistem pinjaman daerah agar sistem desentralisasi fiskal tidak hanya bertumpu kepada dana perimbangan saja atau fokus pada

expenditure autonomy saja agar sistem lebih efektif;

5.Pemerintah harus mengubah formulasi perhitungan DAU, DAK, dan DBH serta membuat pendekatan keseimbangan fiskal yang komprehensif dengan cara segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah menjadi lebih sederhana agar lebih transparan, mudah dalam pengalokasian, adil, serta mudah dievaluasi dalam keberjalanannya sehingga dapat berfungsi dengan efektif; 6.Penyempurnaan formula dan kinerja DAU

dengan ketentuan:

o Perlu adanya pengelompokkan

daerah berdasarkan ukuran

penduduk, wilayah, dan

kemampuan kelembagaan

pemerintah daerah karena satu ukuran tidak cocok untuk semua

(pemerataan belum tentu

keadilan);

o Indeks Williamson yang dianggap

rumit dan bisa menimbulkan campur tangan politik diganti dengan rata-rata nasional menurut ukuran dan kelas sebagai standar penyetaraan;

o Membuang penggantian gaji

(alokasi dasar) dan pemakaian indeks-indeks rumit seperti IPM

dan menggunakan ukuran

kebutuhan berdasarkan penduduk penerima pelayanan untuk setiap kategori pelayanan;

o Evaluasi pengalokasian DAU oleh

pihak berwenang secara ketat melihat alokasi dari daerah yang masih belum efisien dan efektif. 7.Penyempurnaan formula dan kinerja DAK

dengan ketentuan:

o Simplifikasi pendekatan kriteria

teknis, umum, dan khusus dengan rumus-rumus yang sederhana; o Penyusunan perspektif perencanaan

untuk melihat kekurangan

infrastruktur, bidang pelayanan prioritas, dan standar pelayanan

(10)

pembiayaannya dalam RPJM Nasional;

o Simplifikasi birokrasi dan sistem

tender terhadap proyek-proyek prioritas agar berjalan lebih cepat dan efektif;

o Penyediaan dana pendamping untuk

daerah-daerah yang memenuhi

syarat untuk menumbuhkan rasa kepemilikan;

o Pemberian DAK yang dilakukan

dengan evaluasi ketat agar

penyimpangan yang biasa terjadi

dapat dicegah dan program

pembangunan berjalan mulus. 8.Penyempurnaan formula DBH dengan

ketentuan:

o Menjelaskan secara terperinci

dengan dasar-dasar dan teori yang akurat masing-masing formula pembagian hasil sehingga daerah merasa pengalokasian DBH lebih transparan;

o Penetapan daerah-daerah penghasil

dengan lebih akurat dan terus dievaluasi agar tidak ada daerah yang tidak dapat atau yang mendapatkan jatah tidak sesuai dengan potensinya.

o Melihat DKI Jakarta mendapatkan

keuntungan yang sangat besar dari

Pajak Bumi dan Bangunan,

diharapkan pembagian hasil pajak untuk wilayah maju terutama DKI Jakarta ditinjau kembali karena

adanya kondisi kesenjangan

pembangunan antarwilayah yang amat tinggi di Indonesia.

9.Peningkatan fungsi dana hibah (grant) atau penambahan jenis dana hibah untuk

segera menuju pemerataan

pembangunan di daerah melihat fungsi dana sekarang yang belum menuju pemerataan pembangunan, melainkan fokus pada sistem formulasi dan uji-coba.

10. Sistem dana perimbangan tidak akan berjalan dengan efektif juga bila alokasi belanja daerah masih belum sempurna karena dua hal ini pada dasarnya selalu terkait. Oleh karena itu, perlu adanya

penyusunan APBD yang lebih fokus

terhadap pembangunan dan

pengembangan wilayah dibanding

dengan pengeluaran di bidang belanja pegawai dan belanja tidak langsung lainnya. Pihak legislatif perlu mengevaluasi dan merombak APBD daerah-daerah agar lebih ringkas dan mengarah ke satu tujuan, perbaikan pembangunan regional dan perlu ada tindakan kritis dan berani dari pihak pemerintah agar campur tangan politik tidak mengganggu pos penganggaran seperti yang sering terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Akita, Takahiro, and Armida S. Alisjahbana. 2002.

“Regional Income Inequality in Indonesia and The Initial Impact of the Economic Crisis”. Bulletin of Indonesia Economic Studies 38 (2): 201-220.

Aris, Achmad. 2010. “Keterlambatan Dana Perimbangan Belum Teratasi”. Harian Bisnis Indonesia.

Bappenas. 2012. Analisis Kesenjangan Antarwilayah 2012. Direktorat Pengembangan Wilayah: Jakarta.

Firman, Tommy. 2003. “Potential Impacts of Indonesia’s Fiscal Decentralisation Reform on Urban and Regional Development: Towards a New Pattern of Spatial Disparity”. Space and Polity 7 (3): 247-271.

Juanda, Bambang, et.al. 2012. Reformulasi DAU Untuk Memperkuat Peran Sebagai Equalization Grant. Jakarta: Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal.

Keuangan, Kementerian. 2009. Grand Design Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Jakarta.

Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan

Pembangunan Daerah. Jakarta: Erlangga. Majalah Triwulanan BPK RI. “Pemeriksa Bebas dan

Objektif: Pemeriksaan Dana Perimbangan”. No 112/April-Juni 2008.

Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran Republik Indonesia, 2013.

Shah, Anwar. 2012. “Pilihan Pembiayaan Pemda di Indonesia” dalam Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan: Jakarta

Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Niaga Swadaya.

Gambar

Tabel 1. Hasil Perhitungan Indeks Williamson
Tabel 2. Hasil Analisis Korelasi
Tabel 3. Hasil Analisis Korelasi Tanpa DKI

Referensi

Dokumen terkait

Jadi, berdasarkan uraian di atas, penelitian ini merupakan penelitian yang datanya berupa kata-kata atau ujaran seperti apa adanya dari penutur untuk menjaring medan makna verba

Peran saksi anak sangat penting peranannya dalam membantu proses penegakan hukum untuk menyelesaikan perkara anak dalam sistem peradilan pidana anak, karena tanpa

Apabila kaidah Fiqih tadi bertentangan dengan banyak ayat Al-Quran ataupun Hadits yang bersifat dalil kulli (general), maka dia tidak akan menjadi kaidah

Metode ini mirip dengan metode auscultatory namun yang digunakan untuk mendeteksi denyutan pembuluh darah bukan stetoskop tetapi sebuah sensor tekanan yang terhubung dengan udara

Petrokimia Gresik yang dimulai sejak tahun 1994 tanpa berhenti beroperasi setiap harinya selama 24 jam, maka kegagalan dari masing – masing komponen itupun

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di ruangan Santa Theresia Rumah Sakit Santa Elisabet Medan tentang peran serta orang tua dengan dampak hospitalisasi pada anak

Hal ini biasa dinyatakan dalam fungsi ketebalan plat tersebut seperti 2T, 3T atau 4T dimana 2T berarti jari-jari minimum yang diijinkan untuk dilakukan proses bending

21 Per- spektif industri/ekonomi kreatif untuk: (1) menganalisis kesiapan dan potensi kreativitas para perempuan seni tradisi; (2) menganalisis peran dan usaha