• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah yang muncul dari Jack Welch Forc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Masalah yang muncul dari Jack Welch Forc"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Masalah yang muncul dari Jack Welch “Force Distribution”

dalam penilaian kinerja

karyawan

Posted on 12 Maret 2015 by bondeewijaya1983

Jack Welch. gambar diambil dari http://www.bloomberg.com

Beberapa tahun yang lalu saya mulai bekerja sebagai karyawan baru di sebuah perusahaan yang cukup besar, bagian dari sebuah holding yang cukup terkenal. Sebut saja perusahaan PT XY. Ketika saya masuk saya diminta melakukan review proses pengelolaan kinerja (performance management/PM) yang diterapkan disana. Sebagai orang baru saya kemudian mulai keliling bertanya dengan sebagian orang untuk mengetahui, apa sih masalahnya dari berbagai sudut pandang. Kok sampai harus direview atau dievaluasi programnya. Kebetulan saya punya

pengalaman mengelola proses penilaian kinerja. Beberapa tahun sebelumnya, di perusahaan yang lain.

Ternyata memang bermasalah. PM adalah proses yang sebenarnya simpel. Sebagian besar orang yang bekerja pasti sudah pernah sekolah di SD (Sekolah Dasar). Masih ingat? Ketika itu tiap caturwulan (quarterly) atau sekarang tiap semester (semesterly) kita dievaluasi. Hasil evaluasi dicetak dalam bentuk rapor..mungkin dari kata report. Dalam rapor tersebut kadang nilai kita merah (baca : jelek) atau biru, yang berarti bagus atau di atas rata-rata kelas. Guru dan orangtua jadi tahu mana siswa yang berprestasi, mana yang belum.

Sama saja dengan proses PM. Dalam hal ini atasan dan perusahaan/organisasi ingin tahu seberapa berprestasi tiap karyawan. Bisa dipetakan kelemahan dan kekuatan karyawan.

Kemudian datanya bisa digunakan untuk program-program pengembangan (development). Lalu apa yang terjadi di PT XY? Begini, tiap tahun kantor pusat mengumpulkan nilai kinerja

karyawannya. Nilai tersebut dalam skala 1 (jelek sekali), 2 (jelek), 3 (rata2), 4 (bagus), sampai 5 (bagus sekali). Pada akhir tahun atasan akan menilai bawahannya secara terbuka, karena

(2)

Kantor pusat menganut mazhab “Force Distribution” dari Jack Welch, mantan CEO General Electric (GE). Sebenarnya metode ini sudah terbukti berhasil di GE dan banyak perusahaan lain. Kalau prosesnya dijalankan dengan benar. Itu pada tahun 1980 sampai 1990-an. Masalahnya di PT XY data distribusi nilai kinerja ribuan karyawan tersebut sering tidak nyambung dengan dengan kebijakan budget dan besaran bonus tahunan. Kok bisa? Bisa, karena dalam “distribusi paksa” tersebut nilai karyawan “dipaksa” masuk dalam distribusi. Sebaran nilai jumlahnya sama dengan jumlah karyawan tetap (100%). Kemudian nilai akan dikapling, katakanlah nilai “1” (jelek sekali) dan “2” jumlahnya 10%, nilai “3” 70%, sementara nilai “4” dan “5” 20%. Jadi kapling distribusinya 10-70-20. Kapling ini tidak absolut. Bisa dibuat sesuai kebijakan

perusahaan. Sebut saja XY sudah menetapkan kapling demikian karenanya budget bonus sudah ditetapkan seperti itu juga.

Nah, yang terjadi nilai faktual yang diterima kantor pusat adalah 5-35-60. Apa yang terjadi? Karena sifatnya memaksa, yang 60% harus dikurangi jadi 20%. Kapling tengah harus dinaikin jadi 70%, dan kapling bawah harus ditambah 5% supaya bisa fit 10%. 5-35-60 dipaksa menjadi 10-70-20. Gampangannya, karyawan dengan nilai “5” harus diturunkan jadi “3” atau “4”. Proses ini biasanya dinamakan proses kalibrasi nilai. Hasilnya? Karyawan ngamuk. Minimal jadi demotivasi. Karena nilainya turun. Padahal sudah merasa bekerja keras selama setahun dan merasa berhak untuk mendapatkan nilai tersebut. Jadi di awal tahun perusahaan mentransfer bonus (untuk memotivasi), yang terjadi adalah karyawan dapat duit tapi malah demotivasi. Ironis.

Menurut saya, kesalahan pertama PT XY dalam menerapkan metode Force Distribution adalah sudah menetapkan besaran bonus tahunan bukan dalam bentuk persentase. Kesalahan kedua, dan yang utama adalah sudah menetapkan besaran bonus dalam komponen nilai kinerja. Misalnya nilai “5” dapat bonus 2x gaji, bukan dalam bentuk persentase juga. Diperparah lagi besaran nilai sudah “terkunci” berpuluh tahun dalam PKB (Perjanjian Kerja Bersama) karyawan, dan bonus dibayarkan tanpa prasyarat. Maksud saya prasyarat, misal hanya dibayar kalau perusahaan untung. Kalau bisnis sedang bagus, sebenarnya tidak ada masalah. Malah perusahaan yang untung karena besaran bonus sudah terkunci. Lain halnya kalau bisnis sedang jelek, perusahaan yang akan megap-megap.

(3)

Kritik dan masalah penerapan metode Force Distribution juga ramai belakangan ketika CEO Yahoo! Inc. Merissa Mayer menerapkannya pada September 2012. Sistem penilaian kinerja yang diterapkan di Yahoo! dinamakan Quarterly Performance Review (QPR). QPR merupakan adaptasi dari sistem OKR (Objectives & Key Result) yang dipraktekkan di Google dan berhasil dengan baik bertahun-tahun. Ya, Mayer sebelumnya merupakan karyawan Google. Perbedaannya adalah skor OKR orisinal tidak digunakan untuk “menilai” kinerja karyawan. Tapi utamanya untuk melakukan monitoring proses kerja dan pencapaian hasil kerja. QPR digunakan tidak hanya untuk itu, tapi juga untuk meranking karyawan. Kemudian mengidentifikasi karyawan yang punya nilai “1” kalau di sana disebut “misses goals”. Karyawan dengan nilai “1” selama 2

quarter (penilaian dilakukan quarterly) dalam 1 tahun biasanya akan “ditendang”. Meski Yahoo! tidak mengakui, proses ini sangat berbau Force Distribution.

QPR memaksa setiap manager untuk meranking bawahannya sesuai kapling seperti 10-70-20 yang sudah saya bahas sebelumnya. Sistem ini menghancurkan “teamwork”. Tidak peduli dalam setiap tim itu kinerjanya perform semua, atau under-perform semua. Ranking harus tetap dibuat. QPR hanya melihat satu karyawan dibandingkan dengan karyawan lain dalam satu tim atau satu departemen. Akibatnya karyawan berprestasi tidak mau bekerja dalam satu tim dengan karyawan berprestasi yang lain. Vivek Sharma, salah satu engineer potensial yang bertanggung jawab dalam redesign Yahoo! Mail terkena imbasnya. Meski berprestasi, tapi Sharma dianggap “misses goals” sehingga terpental keluar. Vivek Sharma saat ini bekerja untuk Disney.

Pada tahun 2012 pula Microsoft yang waktu itu dikomandoi CEO Steve Ballmer menerapkan sistem yang serupa juga menggunakan metode Force Distribution dinamakan “The Employee Review” dan gagal. Sejak 4 Februari 2014 Ballmer digantikan oleh Satya Nadella. Sementara Mayer masih bergulat di untuk mereposisi Yahoo! di tengah tumbuhnya ketidakpercayaan karyawan karena QPR yang berantakan. Pada titik ini kemudian kita menanyakan, seberapa efektif metode Force Distribution ini untuk memetakan dan menilai kekuatan sekaligus kelemahan karyawan? Kritik muncul sistem ini kemungkinan tidak bisa cocok di semua perusahaan, bahkan ada yang mengatakan sudah ketinggalan jaman. Hanya cocok pada tahun 1980 – 1990an.

Jack Welch dalam artikelnya di Wall Street Journal 14 November 2013 akhirnya angkat bicara. Welch mengatakan bahwa sistem Force Distribution lebih tepat disebut sistem “Differentiation”. Sistem ini bukan sistem yang parsial. Semua dimulai dari pemantapan visi dan misi perusahaan secara serius dan dilakukan oleh top management. Bukan hanya HRD yang kemudian hasilnya hanya ditempel di dinding kantor. Differentiation performance appraisal tidak hanya berbicara soal nilai, soal skor. Tapi lebih penting adalah soal proses, soal perilaku yang dibentuk bersama-sama antara atasan dan bawahan untuk mencapai goals perusahaan baik dalam bentuk

penyusunan target kerja, monitoring, maupun pemberian umpan balik dan coaching. Welch memang mengakui dengan sistem ini karyawan dengan kinerja terbawah harus diberikan pemahaman bahwa mungkin dirinya tidak cocok dengan perusahaan. Manager punya tanggung jawab untuk memberikan bantuan bagi karyawan untuk bisa mendapat pekerjaan yang baru.

Menurut saya penjelasan Jack Welch sangat manis dan ideal. Mungkin bisa jadi banyak

(4)

upaya untuk mencapai sukses dalam sebuah organisasi harus dilakukan secara bersama-sama dan transparan. Secanggih apapun sistem yang akan diterapkan, tidak akan jalan tanpa ada keseriusan dari setiap CEO untuk selalu melakukan pengawasan sekaligus “mendengar” suara-suara dari seluruh karyawannya.

Bondhan Kresna W | Praktisi HR | http://www.catatanpadawan.wordpress.com

Referensi

Dokumen terkait

216 Nurul Huda Pb.Madukismo Tirtonirmolo Kasihan Bantul. 217 Al-Nur Beran Tirtonirmolo

e. Sambil menunggu keputusan dalam soal politik, tanggung jawab atas tertib tentram dan keselamatan jiwa dan harta benda penduduk dalam daerah- daerah yang dikosongkan

Bentuk kemasan/ penampilan tidaklah terlalu berpengaruh terhadap konsumsi buah lokal, karena sebanyak 166 orang responden atau 41,5% beranggapan bahwa kemasan dari buah lokal

a) Dosen I Jurusan mengusulkan mala kuliah baru. b) Jurusan memeriksa (relevansi) kelerkailan dengan kurikulum. c) Jurusan mendaftar mahasiswa peminat dan ketersediaan dosen.

Berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara dapat disimpulkan bahwa persepsi mahasiswa terhadap pembelajaran yang mengembangkan keterampilan berpikir kreatif yang

Berdasarkan kebutuhan itu, 1 massa dapat diterapkan dalam desain, namun karena kendala lahan terhadap lahan gambut, massa diris dan dibagi bagi menjadi 4 unit massa

MATAKULIAH KONSEP SAINS II PRODI PGSD IKIP PGRI MADIUN", Premiere Educandum : Jurnal Pendidikan Dasar dan Pembelajaran, 2016 Publication nidaalulfahuntoro.blogspot.com

I also almost get nomination as best keyboardist but my score only lost 5 points from school So I can not get the best keyboardist nominees but it does not matter, by getting