• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penegakan Hukum Terhadap Penangkapan Ika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penegakan Hukum Terhadap Penangkapan Ika"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

I Nyoman Ngurah Suwarnatha

Dosen Fakultas Hukum Undiknas Denpasar

INTISARI

Praktek IUU Fishing (Illegal, unreported, unregulated fishing) di wilayah laut Indonesia hingga kini masih marak. Kerugian negara akibat penangkapan ikan secara liar (illegal fishing) oleh kapal-kapal penangkap ikan nelayan asing dikhawatirkan kian meningkat sejalan dengan semakin banyaknya jumlah kasus-kasus pelanggaran bidang perikanan. Untuk mencegah segala tindak pidana khususnya illegal fishing yang terjadi di Zona Ekonomi Eksklusif, Indonesia sebagai negara berdaulat menetapkan produk-produk hukum yang berupa peraturan perundang-undangan. Aparat penegak hukum dapat mengambil segala tindakan terhadap pelaku tindak pidana illegal fishing yang dilakukan oleh kapal bebendera asing yang terjadi di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Kata kunci: illegal fishing, Zona Ekonomi Eksklusif, tindak pidana

ABSTRACT

The practices of IUU F ishing (Illegal, unreported, unregulated fishing) around the Indonesian sea still frequently take place. The loss suffered by the state resulting from illegal fishing done by foreign flagged ships is increasing and this line with the number of cases related to illegal fishing. To prevention every criminal offense, especially illegal fishing, from taking place around the Indonesian exclusive economic zone, Indonesia, as an independent state, should create legal products which are in the forms of rules and regulations. The upholders of the law should take every criminal offense against the illegal fishing around the Indonesian exclusive economic zone done by the foreign flagged ships.

Key words: illegal fishing, Exclusive Economic Zone, criminal offense.

A. Pendahuluan

Perjuangan Indonesia dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa yang utuh di seluruh wilayah nusantara, pertama kali dimunculkan dengan adanya

“Deklarasi Djuanda” pada tanggal 13 Desember 1957, menyatakan bahwa seluruh kepulauan Indonesia dianggap merupakan suatu kesatuan dan laut antara pulau Indonesia dianggap sebagai perairan pedalaman,1 yang mendasari perjuangan bangsa Indonesia untuk menjadi rezim negara kepulauan (Archipelagic State).

Perjuangan tersebut dilanjutkan dengan perjuangan di konferensi Hukum Laut Internasional ke III yang diselenggarakan oleh PBB atau United Nations

1 Syahmin A.K., 1988, Beberapa Perkembangan dan Masalah Hukum Laut Internasional

(2)

Conference on the Law of the Sea (UNCLOS). Dalam konferensi internasional itu Indonesia aktif memperjuangkan asas kepulauan. Dengan singkat dapat dikemukakan bahwa perjuangan yang dilakukan sejak tahun 1957 baru berhasil setelah diterimanya Hukum Laut Internasional yang sesuai dengan konsep nusantara pada tahun 1982 yang telah ditandatangani hampir semua negara di dunia.2

Konsep Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) diakui dunia setelah United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang disahkan pada tanggal 10 Desember 1982 dan Indonesia telah meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Pengakuan Indonesia sebagai negara kepulauan tersebut merupakan anugerah besar bagi bangsa Indonesia karena perairan yurisdiksi nasional Republik Indonesia bertambah luas.

Indonesia terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan kawasan laut seluas 5,8 juta, dinilai memiliki keanekaragaman kekayaan yang terkandung didalamnya sangat potensial bagi pembangunan ekonomi negara.3 Luas laut Indonesia meliputi ¾ (tiga per empat) dari seluruh luas wilayah Negara Indonesia. Wilayah perairan yang demikian luas menjadi beban tanggung jawab yang besar dalam mengelola dan mengamankannya. Untuk mengamankan laut yang begitu luas, diperlukan kekuatan dan kemampuan dibidang maritim berupa peralatan dan tekhnologi kelautan modern serta sumber daya manusia yang handal untuk mengelola sumber daya yang terkandung di dalamnya, seperti : ikan, koral, mineral, biota laut dan lain sebagainya.

Geografis Indonesia terdiri dari ¾ (tiga per empat) wilayah laut dan ¼ (satu per empat) wilayah daratan, membuka kerawanan terhadap sejumlah dimensi terpenting dari keamanan. Tanpa pengamatan terintegrasi yang memadai, letak geografis Indonesia yang strategis membuka peluang terjadinya pencurian dan pemanfaatan sumberdaya laut secara ilegal oleh pihak-pihak yang merugikan negara apabila kemampuan pengawasan terbatas.

Masalah penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing), masih marak terjadi diperairan Indonesia. Kemampuan dalam melakukan pengawasan dan pengendalian dinilai terbatas, karena kemampuan sarana dan prasarana pengawasan yang kita miliki belum cukup mendukung untuk tugas-tugas pengawasan. Juga masalah pemanfaatan hasil laut secara illegal, pemerintah cukup banyak menghadapi masalah dalam hal perusakan dan pencemaran lingkungan laut seperti penangkapan ikan dengan bahan peledak, pengambilan terumbu karang secara besar-besaran dan pencemaran laut akibat tumpahan minyak, serta pembuangan zat-zat yang berbahaya dari kapal-kapal.

Praktek IUU Fishing (Illegal, unreported, unregulated fishing) di wilayah laut Indonesia hingga kini masih marak. Bahkan akibat pencurian ikan tersebut, negeri bahari ini mengalami kerugian hingga mencapai Rp 30 triliun pertahun.4 Duta Besar (Dubes) Thailand untuk Indonesia, Chaiyong Satjipanon, mengakui

2 Lembaga Pertahanan Nasional, 1992, Kewiraan Untuk Mahasiswa , PT. Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 30.

3 Siaran Pers: Utama, 28/01/05, situs internet: http://www.dkp.go.id/content.php?c=1750

4

Info Aktual: IUU Fishing, 16/04/08, situs internet:

(3)

banyak nelayan dari negaranya mencuri ikan di perairan Indonesia.5 Mafia pencurian ikan semakin marak di perairan Indonesia. Kerugian negara akibat penangkapan ikan secara liar (illegal fishing) oleh kapal-kapal penangkap ikan nelayan asing dikhawatirkan kian meningkat sejalan dengan semakin banyaknya jumlah kasus-kasus pelanggaran bidang perikanan. Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (DKP Ardisu Zainuddin, di Medan mengungkapkan, pada tahun 2005 jumlah pelanggaran yang ditangani DKP 174 kasus, tahun 2006 naik menjadi 216 kasus, sementara hingga September 2007 sudah ada 160 kapal ikan liar yang diproses secara hukum. Sebagian besar pelaku kasus illegal fishing yang terungkap itu, menurut Ardius, adalah kapal ikan asing seperti dari Vietnam, Thailand, China, Myanmar dan Malaysia.6

Dengan banyaknya kasus pelanggaran penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) yang dilakukan oleh kapal berbendera asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) maka pemerintah Indonesia harus melakukan upaya penegakan hukum untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana illegal fishing di ZEEI.

B. Hak Berdaulat dan Yurisdiksi Indonesia Atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

Secara tradisionil serta menurut teori-teori yang berlaku, hukum internasional memandang negara sebagai subyek utama dari hukum internasional.7 Dengan demikian negara merupakan pengemban hak dan kewajiban internasional, mempunyai hak mengikatkan diri dalam perjanjian internasional, mengajukan tuntutan-tuntutan apabila terjadi pelanggaran terhadap suatu perjanjian internasional di depan mahkamah internasional serta hak-hak khusus dan kekebalan diplomatik. Negara adalah pemegang kekuasaan yang sah atas rakyat dan wilayahnya.8 Istilah negara merdeka menunjuk pada status bahwa negara tersebut secara penuh menguasai hubungan luar negerinya tanpa didikte oleh negara lain.

Konvensi Montevideo tahun 1933, tentang hak dan kewajiban negara, menetapkan kesepakatan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi negara sebagai subyek hukum internasional. Adapun syarat-syarat itu ialah adanya penduduk yang tetap, wilayah yang pasti, pemerintah dan kemampuan untuk mengadakan hubungan internasional.9

Untuk mengetahui hak dan kewajiban Indonesia sebagai negara pantai, tidak dapat dilepaskan dari sudut pandang terhadap kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia sebagai negara kepulauan. Negara pantai adalah10 negara yang wilayah daratannya, setidak-tidaknya sebagian daripadanya, berbatasan dengan laut.

5

http://www.indomedia.com/timikapos/2002/08/06/060805.html

6

http://www.kapanlagi.com/h/0000193871.html Kamis, 04 Oktober 2007

7 Chairul Anwar, 1989, Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa -Bangsa,

Penerbit Djambatan, Jakarta, hlm. 26.

8

Ibid, hlm. 27.

9 Sugeng Istanto, 1994, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atma Jaya

Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 20.

(4)

Sedangkan istilah kedaulatan menurut sejarah asal kata, kata ini dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah souvereignity berasal dari kata Latin superanus

berarti yang teratas. Negara dikatakan berdaulat karena kedaulatan merupakan sifat atau ciri hakiki dari negara. Bila dikatakan bahwa negara itu berdaulat, dimaksudkan bahwa negara itu mempunyai kekuasaan yang tertinggi.11 Kedaulatan disini bukan menunjuk pada satu hubungan antara orang dengan orang, juga bukan pada kemerdekaan negara itu sendiri, tetapi kepada sifat hak atas wilayah.12

Kedaulatan sebagai kekuasaan negara tertinggi dijabarkan dalam kewenangan-kewenangan atau hak negara, antara lain dalam yurisdiksi (membuat dan menegakkan peraturan hukum). Kedaulatan, yurisdiksi dan hak-hak lain Indonesia atas perairannya ditetapkan dalam berbagai produk Hukum Nasional dan Internasional serta dilaksanakan dengan kegiatan penegakkan kedaulatan dan hukum di laut.

Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat memiliki yurisdiksi termasuk hak berdaulat atas wilayahnya, termasuk di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Yang dimaksud dengan ZEE adalah13 suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rezim hukum khusus yang ditetapkan dalam bab ini berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan Konvensi ini. Sedangkan yang dimaksud dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) adalah14 jalur di luar dan berbabatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.

Lahirnya UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEEI merupakan realisasi yuridis perluasan wilayah laut yang menyangkut keadaan ekonomi dalam pengelolaan, pengawasan dan pelestariannya sehingga upaya untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa dengan cara memanfaatkan sumber daya alam laut dapat dilaksanakan sebaik-baiknya.

Mengenai yurisdiksi penulis hukum internasional Rebecca M. M. Wallace menyatakan sebagai berikut:15

jurisdiction is an attribute of state so vereignty...jurisdiction is primarily exercised on a territorial basis...

Adapun dasar yang dipergunakan sebagai pelaksanaan yurisdiksi adalah: a. prinsip teritorial

b. prinsip nasional

11

Mochtar Kusumaatmadja, 1987, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, hlm. 14.

12 J. L. Brierly, 1996, Hukum Bangsa -Bangsa Suatu Pengantar Hukum Internasional,

Penerbit Bhratara, Jakarta, hlm. 123.

13

Pasal 55 Konvensi Hukum Laut PBB 1982

14 Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

15 Chairul Anwar, 1995, ZEE Di Dalam Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta,

(5)

c. prinsip protektif

d. prinsip personalitas pasif e. prinsip universal

Seperti disinggung oleh Wallace diatas, bahwa pada prinsipnya yurisdiksi dilaksanakan atas dasar teritorial.

Menurut asas teritorial berlakunya undang-undang hukum pidana dari suatu negara didasarkan pada tempat di mana perbuatan itu dilakukan, dengan catatan bahwa tempat tersebut harus terletak dalam suatu wilayah di mana undang-undang hukum pidana tersebut berlaku.

Rezim hukum internasional tentang ZEEI yang telah dikembangkan oleh masyarakat internasional dimaksudkan untuk:16

1. Melindungi negara pantai dari bahaya kemungkinan dihabiskannya sumber daya alam hayati di dekat pantainya oleh kegiatan negara-negara lain dalam mengelola perikanan berdasarkan rezim laut bebas. Dengan bantuan bahwa sumber daya alam hayati selain tidak mengenal batas wilayan dan juga akan dapat pulih kembali, namun tidak menutup kemungkinan habisnya sumber tersebut apabila tidak diperhatikan jumlah tangkapan dan frekuensi penangkapan.

2. Melindungi kepentingan-kepentingan negara pantai di bidang pelestarian lingkungan laut serta penelitian ilmiah kelautan dengan upaya memanfaatkan sumber daya alam di zona tersebut.

Pada ZEE, Indonesia mempunyai dan melaksanakan:17

1. Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pengelolaan dan berupaya untuk melindungi, melestarikan sumber daya alam yaitu menjaga dan memelihara keutuhan ekosistem laut.

2. Hak untuk melaksanakan penegakan hukum dilakukan oleh aparat yang menangani secara langsung, dalam upaya untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan perdamaian.

3. Hak untuk melaksanakan hot porsuit terhadap kapal-kapal asing yang melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan ZEEI.

4. Hak eksklusif untuk membangun, mengijinkan dan mengatur pembangunan, pengoperasian dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunannya.

5. Hak untuk menentukan kegiatan ilmiah berupa penelitian-penelitian dengan diterima/tidaknya permohonan yang diajukan kepada pemerintah.

Jadi ZEE tidak tunduk pada kedaulatan penuh negara pantai. Negara pantai hanya menikmati hak-hak berdaulat dan bukan kedaulatan. Aspek-aspek kebebasan di laut lepas berlaku juga di ZEE.18

Pada ZEE, Indonesia tidak dapat semena-mena menerapkan hukum nasionalnya, kecuali tidak bertentangan dengan hukum internasional yang berasal dari perjanjian, konvensi, dan sebagainya. Bagi negara Indonesia, ZEEI

16 P. Joko Subagyo, 1993, Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 63. 17 Ibid, hlm. 69-70.

(6)

merupakan wilayah yang mempunyai kedualatan penuh dalam kaitannya dengan masalah ekonomi.

Kewajiban negara yang berupa kewajiban hukum internasional, antara lain:19

1. Menghormati hak-hak negara lain dalam melakukan pelayaran maupun penerbangan, yang merupakan kebebasan dari negara-negara dalam melintasi wilayah dimaksud, dan kebebasan dalam melakukan pemasangan kabel-kabel, pipa-pipa di bawah laut.

2. Dalam pengelolaan salah satu jenis sumber daya alam yang terdapat di ZEEI, seperti halnya ikan. Kewajiban bagi pemerintah Indonesia untuk menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch), sehingga diketahui secara pasti berapa jumlah tangkapan secara keseluruhan dan kemampuan negara Indonesia mengusahakan lingkungan dan tangkapannya. Dalam hal ini juga memberikan kesempatan pada perikanan asing untuk ikut memanfaatkan dari sisa jumlah tangkapan.

Sebagai negara pantai Indonesia memiliki yurisdiksi. Mengenai yurisdiksi negara pantai meliputi:20 yurisdiksi atas pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan; yurisdiksi dibidang riset ilmiah kelautan; yurisdiksi dibidang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

C. Kebijakan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan

Alasan utama sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun yaitu, Indonesia memiliki sumber daya laut yang besar dan sumber daya di sektor kelautan dan perikanan merupakan sumber daya yang selalu dapat diperbaharui (renewable resources) sehingga bertahan dalam jangka panjang jika diikuti dengan pengelolaan yang arif.

Dari sisi keamanan penegakan hukum di laut, upaya pendayagunaan potensi sumber daya tersebut menghadapi berbagai masalah. Masalah yang selama ini cukup serius dan sangat menghambat pembangunan sektor kelautan dan perikanan adalah adanya praktek illegal fishing yang antara lain dilakukan oleh kapal ikan berbendera asing dan kapal ikan asing yang mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia serta penggunaan anak buah kapal yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu pemerintah harus berusaha keras untuk menanggulangi praktek perikanan ilegal melalui langkah-langkah kebijakan operasional dan tindakan nyata di lapangan sehingga illegal fishing dapat ditekan seminimal mungkin dan penegakan hukum di bidang perikanan dapat dilakukan secara tegas dan konsisten.

Kapal diperlukan untuk mengarungi lautan, baik untuk kepentingan perniagaan maupun untuk keperluan penangkapan ikan. Kapal-kapal yang berlayar di laut memperoleh perlindungan dari suatu negara tertentu, yang dengan negara tersebut kebangsaan suatu kapal selalu dikaitkan. Hal tersebut dapat dilihat dalam dokumen pendaftaran kapal, dan hak untuk mengibarkan bendera negara tersebut oleh kapal yang bersangkutan.

19 Joko Subagyo, Op. Cit, hlm. 71

(7)

Konvensi Geneva tentang Laut Lepas dan Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan Tahun 1958 serta Konvesi Hukum Laut PBB 1982 menempatkan hukum yang berkaitan dengan penggunaan kapal-kapal di laut dalam konteks hukum laut yang mengatur laut lepas. Walaupun demikian kebangsaan dan status dari kapal-kapal serta hak dan kewajiban dari negara bendera kapal dapat diterapkan pada kawasan laut lainnya di luar laut lepas. Kapal dipandang memiliki suatu kebangsaan untuk kepentingan hukum internasional.21

Suatu kapal didaftarkan menurut perundang-undangan suatu negara tertentu dan berdasarkan perundang-undangan negara tersebut kapal bersangkutan diberi hak untuk memakai bendera negara bersangkutan dan memiliki kebangsaan dari negara tersebut.

Kebangsaan kapal dan status hukum kapal diatur oleh Konvensi Hukum Laut (KHL) PBB 1982. Mengenai kebangsaan kapal diatur dalam Pasal 91 KHL PBB 1982 dan mengenai status kapal diatur dalam Pasal 92 KHL PBB 1982.22

Bagi warganegara asing yang menangkap ikan di ZEE harus memenuhi tindakan konservasi serta ketentuan lain yang tertuang dalam aturan perundang-undangan negara Indonesia. Jadi, penangkapan ikan yang dilakukan di ZEEI dengan tidak memenuhi tindakan konservasi serta ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia maka disebut penakapan ikan secara ilegal (illegal fishing). Materi peraturan perundang-undangan tersebut harus sesuai dengan ketentuan KHL PBB 1982. Aturan itu dapat memuat hal-hal sebagai berikut:23

a) Pemberian ijin penangkapan ikan termasuk penentuan jenis kapal dan peralatannya, kewajiban membayar bea dan bentuk pengaturan lain.

b) Penetapan jenis (species) ikan yang boleh ditangkap dan menentukan kuota-kuota penangkapan jenis ikan yang berada dalam jangka waktu tertentu atau jumlah yang dapat ditangkap oleh WNA dalam jangka waktu tertentu.

c) Pengaturan tentang musim penangkapan; lokasi penangkapan; macam, ukuran dan jumlah alat penangkap ikan; serta macam, ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan.

d) Penentuan ukuran ikan dan jenis lain selain ikan yang boleh ditangkap.

e) Perincian keterangan tentang suatu kapal penangkap ikan termasuk stastik penangkapan, usaha penangkapan serta laporan posisi kapal.

f) Persyaratan tentang dilangsungkannya program riset perikanan tertentu dibawah penguasaan dan pengawasan negara pantai.

g) Penempatan tenaga peninjau pada kapal penangkap ikan oleh negara pantai. h) Penurunan seluruh atau sebagian hasil tangkapan di pelabuhan negara pantai. i) Pengaturan persyaratan berkenaan dengan usaha patungan atau ketentuan

kerjasama lainnya.

21 Chairul Anwar, Op. Cit, hlm.49.

22 Pasal 91 Konvesi Hukum Laut PBB 1982 ”Seetia

p negara akan menetapkan persyaratan untuk pemberian kebangsaan kapal, untuk pendaftaran kapal di dalam wilayahnya dan untuk dapat mengibarkan bendera negara tersebut pada kapal-kapal yang memiliki kebangsaan dari negara yang benderanya berhak dipakai oleh kapal tersebut.” Pasal 92 Konvensi Hukum Laut PBB 1982 ”Kapal-kapal berlayar hanya di bawah bendera satu negara saja, kecuali apabila ditetapkan lain berdasarkan suatu perjanjian internasional.”

23 I Made Pasek Diantha, 2002, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Berdasarkan Konvensi

(8)

j) Pegaturan tentang persyaratan latihan personil dan pengalihan tekhnologi perikanan, termasuk peningkatan kemampuan negara pantai untuk melakukan riset perikanan.

k) Prosedur untuk melakukan penegakan keamanan di ZEE.

Permasalahan penegakan hukum kelautan dan perikanan yang dihadapi antara lain adalah:24

a. Over Fishing

Kurangnya pengawasan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan mengakibatkan di beberapa daerah mengalami tekanan over fishing yang melampaui daya dukung perairan. Hal ini mengakibatkan penurunan pendapatan dan kesejahteraan nelayan sehingga mendorong nelayan melakukan penangkapan ikan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

b. Pelanggaran Penggunaan Alat Penangkap Ikan dan Daerah Penangkapan Sistem pengawasan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan yang selama ini diterapkan, belum menunjukkan hasil yang menggembirakan sehingga belum dapat mengurangi pelanggaran penggunaan alat penangkap ikan dan daerah penangkapan secara drastis.

c. Tuduhan-Tuduhan Internasional

Pemanfaatan sumber daya ikan oleh kapal perikanan asing dan kapal asing berbendera Indonesia yang tidak terkontrol, maka banyak tuduhan internasional bagi pemerintah Indonesia. Sehingga Indonesia seakan-akan tidak dapat mengelola pemanfaatan sumber daya ikan secara bertanggung jawab.

d. Pelanggaran Perijinan

Diduga saat ini sebagian besar (70%) kapal perikanan berbendera Indonesia yang memperoleh ijin beroperasi di perairan ZEE Indonesia masih dimiliki oleh pihak asing.

e. Kerugian Negara

Jumlah devisa negara yang hilang akibat illegal fishing yang dapat dihitung diperkirakan sebesar US$ 2 Miliar, yang antara lain: penangkapan ikan di ZEE dan ekspornya tidak termonitor sekitar 4.000 kapal dan kapal-kapal illegal fishing yang melanggar daerah penangkapan sebanyak 1275 unit kapal. f. Penyelesaian Kasus Pelanggaran dan Tindak Pidana Bidang Perikanan

Penyelesaian kasus pelanggaran dan tindak pidana perikanan yang kurang memuaskan seperti Putusan Pengadilan Negeri Pontianak terhadap 20 kapal Thailand berbendera Indonesia yang hanya memberi hukuman denda Rp. 20.000.000,- tiap kapal dirasakan terlalu ringan dan tidak setimpal dengan kesalahan yang dilakukan baik tindak kejahatan maupun tindak pidana pemalsuan dokumen.

g. Perijinan

24 Wignyo Handoko, 2004, Kebijakan Pengawasan Sumber Daya Kelautan Da n

(9)

Akhir-akhir ini banyak dijumpai ijin-ijin kapal perikanan yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan yang mestinya bukan menjadi kewenangannya.

D. Upaya Penegakan Hukum Terhadap Illegal Fishing

Mafia illegal fishing yang semakin marak terjadi di perairan Indonesia yang berhasil ditangkap oleh aparat penegak hukum, merupakan bukti bahwa masih banyak terjadi pelanggaran di wilayah perairan Indonesia termasuk juga dalam wilayah ZEEI.

Berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (1) sub (b) KHL PBB 1982, maka Indonesia sebagai Negara pantai memiliki yurisdiksi terbatas di ZEE. Keterbatasan tersebut adalah wajar karena ZEE bukan merupakan wilayah Indonesia.

Terjadinya illegal fishing yang dilakukan oleh kapal ikan asing, menurut ketentuan Pasal 56 ayat (1) sub (a) KHL PBB 1982, jelas dikatakan bahwa negara pantai mempunyai hak berdaulat atas pemanfaatan (eksplorasi dan eksploitasi) atas sumber daya alam di ZEE. Secara teori hukum dapat dirumuskan bahwa barang siapa memiliki hak atas suatu benda maka sebagai konsekwensi dari pemilikan itu timbullah hak untuk mempertahankannya. Hak untuk mempertahankan adalah konsekwensi logis dari hak pemilikan suatu benda. Jika premise ini diterapkan pada hak negara pantai untuk memanfaatkan sumber daya alam (khususnya ikan) di ZEE maka konsekwensi logisnya adalah sumber daya alam itu. Salah satu perwujudan dari hak mempertahakan itu adalah berupa penerapan yurisdiksi pidana. Jadi kalau negara pantai memiliki hak berdaulat untuk mengelola/memanfaatkan sumber daya alam berupa ikan di ZEE maka seyogyanya atas tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing) di ZEE, negara pantai haruslah dipandang memiliki yurisdiksi pidana. Pengakuan adanya yurisdiksi pidana negara pantai atas tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing) di ZEE dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 73 ayat (3) KHL PBB 1982.25

Meningkatnya berbagai pelanggaran hukum di laut termasuk illegal fishing merupakan ancaman aspek maritim. Apapun jenis ancaman yang terjadi di perairan dalam wilayah yurisdiksi Indonesia pada dasarnya mengarah kepada ancaman dan kedaulatan hukum di laut.

Dalam memelihara keadaan ZEEI, merupakan kewajiban aparat penegak hukum untuk mengambil segala tindakan pencegahan terhadap pelanggaran, termasuk didalamnya illegal fishing serta pengamanan terhadap wilayah ZEEI.

Secara formil harus memperhatikan dan tunduk pada dua ketentuan hukum yaitu hukum nasional dan hukum internasional.

Dasar hukum bagi penegakan hukum terhadap illegal fishing terdiri dari: 1. UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

Undang-undang ini dibuat untuk menampung segala permasalahan yang terjadi pada ZEEI, sehingga secara dini dapat dicegah yang berarti pula

25 Pasal 73 ayat (3) Konvensi Hukum Laut PBB 1982 “Hukuman negara pantai yang

(10)

menunjukkan kewaspadaan Indonesia dalam menjangkau segala kemungkinan yang dapat merugikan maupun menimbulkan bahaya kelestarian laut.

2. UU No. 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi KHL PBB 1982

Undang-undang ini merupakan persetujuan Negara Indonesia untuk terikat pada Konvensi Hukum Laut Internasional.

3. UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Undang-Undang ini lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan demikian perlu diatur secara khusus mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menangani tindak pidana di bidang perikanan.

4. PP No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Di ZEEI

Dalam melaksanakan pengelolaan serta konservasi sebagai upaya yang bertujuan melindungi dan melestarikan sumber daya alam di ZEEI, ditetapkan tingkat pemanfaatannya oleh PP ini, dengan maksud supaya dalam setiap pengelolaan selalu memperhatikan tujuannya.

Dalam rangka menindaklanjuti perundangan di bidang perikanan, maka Departemen Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan ketentuan-ketentuan guna mendukung pengamanan laut dan penegakan hukum sebagai berikut:26

1. Keputusan Menteri No. 45 Tahun 2000 tentang Perijinan Usaha Perikanan 2. Keputusan Menteri No. 46 Tahun 2001 tentang Pendaftaran Ulang Perijinan

Usaha Penangkapan Ikan

3. Keputusan Menteri No. 67 Tahun 2001 tentang Pembentukan Tim Terpadu Penanggulangan Penyalahgunaan di Bidang Perikanan

4. Keputusan Menteri No. 58 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan SISWASMAS

5. Keputusan Menteri No. 2 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Penangkapan Ikan

6. Keputusan Menteri No. 3 Tahun 2002 tentang Log Book Penangkapan dan Pengangkutan Ikan

Peraturan-peraturan tersebut menjadi dasar dalam melaksanakan tugas-tugas pengawasan dalam upaya untuk penertiban dan penegakan hukum di bidang perikanan.

Penegakan hukum di bidang perikanan guna penanggulangan illegal fishing bertujuan untuk menekan sekecil mungkin terjadinya kegiatan illegal fishing sehingga terwujud pengelolaan perikanan secara tertib dan bertanggung jawab, serta meningkatkan penataan dan penegakan hukum secara sistematis, konsisten dan tegas.

Dalam upaya penegakan hukum di ZEEI khususnya untuk menghadapi tindak pidana illegal fishing dibutuhkan strategi yang tepat. Strategi yang digunakan sebagai upaya penegakan hukum meliputi:27 penataan perijinan,

(11)

peningkatan pengawasan operasional, pemberian sanksi yang keras dan setimpal dalam proses peradilan, pemberian insentif terhadap penegak hukum yang dapat melaksanakan penertiban pelanggaran dan kejahatan perikanan.

Dalam rangka penataan perijinan kapal berbendera asing, saat ini telah diterbitkan Keputusan Menteri No.:60/Kepmen/2001 tentang Tata Cara Penanganan Perijinan Kapal Ikan Asing atau eks asing melalui skema sewa beli angsur, kerjasama penanaman modal dan atau licensi, sepanjang masih terdapat surplus JTB (jumlah tangkapan yang diperbolehkan). Hingga saat ini, terdapat indikasi terjadinya surplus dalam pemanfaatan sumber daya ikan di perairan ZEEI. Berdasar ketentuan yang berlaku secara internasional, pemerintah harus memberi kesempatan kepada negara lain untuk memanfaatkan surplus sumber daya ikan di ZEEI.28

Untuk mendukung terwujudnya tertib perizinan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap membentuk Tim Teknis Pemeriksa Fisik dan Dokumen Kapal Perikanan atau Pengangkut Ikan yang ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Adapun dasar pertimbangan dilakukannya pemeriksaan fisik dan dokumen kapal perikanan adalah untuk memperoleh Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) atau Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) perlu dilakukan pemeriksaan terhadap fisik dan dokumen kapal perikanan yang akan digunakan, pemeriksaan fisik dan dokumen kapal perikanan merupakan prasyarat dan sebagai dasar pertimbangan dapat atau tidaknya izin kapal perikanan diterbitkan, dan untuk melaksanakan pemeriksaan fisik dan dokumen kapal perikanan perlu dibentuk TIM Pemeriksa Fisik dan Dokumen Kapal Perikanan atau Pengangkut Ikan dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap.

Peningkatan pengawasan operasional di ZEEI perlu ditingkatkan guna mencegah tindak pidana illegal fishing. Masalah penegakan hukum di ZEEI29 juga berkaitan dengan KAMLA (Keamanan Laut) dalam kaitan dengan pelaksanaan

”constabulary function”. Dalam lingkup nasional direpresentasikan sebagai

keamanan nasional di laut yang utamanya menjadi tanggung jawab TNI AL dalam penanggulangannya. Upaya-upaya yang ditempuh dalam rangka pengamanan perikanan ialah menerapkan prinsip-prinsip pengaturan sumber daya ikan dengan pendekatan yang mengandung langkah preventif dan kuratif yang dikenal sebagai

sistem ”Monitoring, Control and Surveillance” (MCS).30

Hingga dewasa ini upaya yang dilakukan adalah kegiatan monitoring dan sebagian dari control yang masih memerlukan penyempurnaan. Upaya-upaya

monitoring meliputi pengisian formulir tentang data produksi, alat tangkap, daerah operasi dan memberi tanda pada kapal dengan warna/kode tertentu, wajib lapor ekspor belum berjalan efektif. Kewajiban untuk memberikan tanda pada kapal perikanan asing yang beroperasi di ZEEI juga belum sepenuhnya dipatuhi. Adapun sasaran dari monitoring ialah untuk mengetahui setiap perubahan di dalam kepadatan pemanfaatan sumber perikanan dan untuk mencegah penangkapan ikan yang berlebihan. Selanjutnya control merupakan kunci dari

28 Lihat Pasal 62 Konvesi Hukum Laut PBB 1982 29 Chairul Anwar, Op. Cit, hlm 184.

(12)

manajemen perikanan yang sukses. Dengan menggunakan mekanisme control

kegiatan-kegiatan penangkapan ikan yang sah dan yang tidak sah dapat dikenali dan diadakan deteksi. Kemudian surveillance adalah suatu komponen pengumpulan data intelijen. Dengan surveillance kegiatan-kegiatan illegal fishing

kapal perikanan asing akan ditemukan. Sasaran dari surveillance adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang kegiatan perikanan di dalam peraian yang berada di dalam yurisdiksi RI untuk memastikan agar kegiatan kapal perikanan mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku. Fungsi dari surveillance adalah:31 a. Mengamati kapal perikanan yang beroperasi secara tidak sah.

b. Mengamati kapal riset yang bekerja secara tidak sah.

c. Melakukan inspeksi atas alat tangkap yang dipakai apakah sesuai dengan ketentuan licensi.

d. Memberikan bantuan atas kapal dalam musibah.

Saat ini TNI AL bekerjasama dengan pihak-pihak terkait seperti DKP dan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) untuk meningkatkan kemampuan keamanan laut. Dengan adanya program MCS yang direalisasikan oleh DKP. Keluaran dari program tersebut, setelah diolah, hasil identifikasinya akan dilanjutkan dengan penyidikan dan penindakan yang dilaksanakan oleh kapal-kapal TNI AL yang berada di bawah komando Gugus Keamanan Laut (Guskamla) maupun Gugus Tempur Laut (Guspurla).32

Pengembangan tekhnologi pengawasan melalui pelaksanaan MCS didukung oleh Vessel Monitoring System (VMS), yaitu suatu sistem pemantauan kapal yang bertujuan untuk mempermudah inspeksi kapal ikan dengan cara mengidentifikasi kapal ikan, memonitir posisi kapal, aktivitas kapal, jenis dan jumlah kapal serta informasi lainnya; Sistem Informasi Terpadu atau

Computerized Data Based (CDB), yaitu sistem informasi berbasis komputer; dan didukung pula oleh pengembangan kelembagaan pengawasan (organisasi, sarana dan prasarana, SDM dan peraturan perundangan).

Dalam rangka meningkatkan pengawasan operasional guna menekan terjadinya pelanggaran dalam penangkapan ikan, maka dalam tahun anggaran 2002 dan seterusnya, dilakukan kegiatan:33

a. Gelar Operasi Penertiban Keamanan Laut bersama TNI AL. b. Gelar Operasi Penertiban Keamanan Laut bersama POLAIR.

Dari hasil Gelar Operasi ini memberikan dampak yang cukup berarti yakni semakin menurunnya tingkat pelanggaran. Indikasi adanya tindakan illegal fishing semakin berkurang.

Pemberian sanksi yang keras dan setimpal dalam proses peradilan dimaksudkan untuk memberi efek jera bagi pelaku illegal fishing. Ketentuan-ketentuan penegakan hukum ZEEI, mengatur hal-hal sebagai berikut:34

31

Ibid, hlm. 186.

32 Bernard Kent Sondakh, 2004, Pengamanan Wilayah Laut Indonesia , Jurnal Hukum

Internasional, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional – Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 26.

33 Wignyo Handoko, Op. Cit, hlm. 124-125.

34 Lihat Ketentuan Pasal 13, 14, 15 UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi

(13)

1. Penangkapan terhadap kapal-kapal dan atau orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran di ZEEI meliputi tindakan penghentian kapal sampai dengan diserahkannya kapal atau orang-orang tersebut di pelabuhan yang di tempat tersebut perkara bersangkutan dapat diproses lebih lanjut.

2. Penyerahan kapal atau orang tersebut harus dilakukan secepat mungkin dan tidak boleh melebihi jangka waktu 7 hari kecuali dalam keadaan force majeure.

3. Penegak hukum di bidang penyidikan di ZEEI adalah Perwira TNI AL. 4. Penuntut umum adalah jaksa pada Pengadilan Negeri bersangkutan.

5. Pengadilan Negeri yang mempunyai wewenang mengadili pelanggaran terahadap ketentuan ZEEI adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi pelabuhan tempat dilakukan penahanan atas kapal atau orang-orang. 6. permohonan untuk membebaskan kapal atau orang-orang yang ditangkap

dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada keputusan dari pengadilan berwenang, dengan membayar sejumlah uang jaminan yang layak yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri yang berwenang.

UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juga memuat ketentuan pidana. Dari ketentuan yang dimuat yang berlaku untuk ZEEI sebagai wilayah perikanan Indonesia adalah sebagai berikut:35

1. Membentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum. Pengadilan perikanan pertama kali dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual.

2. Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

3. Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Penyidik dalam melaksanakan tugasnya dapat melakukan koordinasi dengan aparat terkait.

4. Penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan oleh Jaksa Agung dan/atau pejabat yang ditunjuk.

5. Hakim pengadilan perikanan terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc. 6. Setiap orang yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan

berbahaya yang dilarang dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000, 00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).

7. Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan berbahaya yang dilarang dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000, 00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).

35 Lihat Ketentuan Pasal 71, 72, 73, 74, 75, 77, 77, 78, 84, 92, 93 ayat (2), 97, 102, 104

(14)

8. Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan yang melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan berbahaya yang dilarang dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua miliar rupiah).

9. Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, yang tidak memiliki SIPI dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp20.000.000.000, 00 (dua puluh miliar rupiah).

10.Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan, yang selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).

11.Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa alat penangkapan ikan lainnya dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000, 00 (satu miliar rupiah).

12.Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).

13.Ketentuan tentang pidana penjara dalam Undang-Undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia (ZEEI), kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan. 14.Permohonan untuk membebaskan kapal dan/atau orang yang ditangkap karena

melakukan tindak pidana di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia (ZEEI), dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada keputusan dari pengadilan perikanan dengan menyerahkan sejumlah uang jaminan yang layak, yang penetapannya dilakukan oleh pengadilan perikanan. Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara.

Berkaitan dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam maka bagi kapal perikanan asing yang melakukan penangkapan ikan tanpa ijin (illegal fishing) dapat dimasukkan kedalam golongan tindak pidana.

Selain berupa produk-produk hukum, upaya penegakan hukum di kawasan ZEEI perlu dilakukan koordinasi antar instansi yang saling berkaitan supaya penegakan hukum menjadi lebih optimal. Koordinasi instansi terkait meliputi: 1. Mahkamah Agung, untuk memberikan advisory opinion terhadap putusan

(15)

2. Kejaksaan Agung, selaku penuntut umum supaya melakukan penuntutan terberat sesuai dengan perundang-undangan.

3. Departemen Perhubungan, dalam hal ini Ditjen Perhubungan Laut, untuk mencabut dokumen-dokumen kapal perikanan yang tidak sah.

4. Departement Keuangan, dalam hal ini Ditjen Pajak, untuk melakukan penelitian mengenai pembayaran pajak kapal perikanan.

5. TNI AL dan POLAIR/POLRI, untuk melakukan penegakan hukum secara tegas dan konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengenai Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat atau dikenal dengan SIWASMAS adalah sistem pengawasan yang melibatkan peran aktif masyarakat dalam mengawasi dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan secara bertanggung jawab supaya dapat diperoleh manfaat secara berkelanjutan. Apabila SISWASMAS telah berkembang di seluruh perairan Indonesia, maka akan sangat membantu dalam meningkatkan kemampuan pengawasan dan penegakan hukum di laut. Upaya penegakan hukum di ZEE dapat juga dilakukan dengan cara membangun kerjasama luar negeri guna memperkuat pengamanan laut baik secara bilateral maupun multilateral. Kerjasama meliputi pelatihan bersama aparat penegak hukum dan aparat pengamanan di laut, pertukaran informasi intelijen, membangun dan meningkatkan koordinasi patroli bersama antar negara-negara tetangga serta melaksanakan pengembangan tekhnologi pengawasan dengan negara-negara maju.36

Perlu dirancang dan ditetapkannya sistem pemberian insentif melalui dana PNBP, yang sebagian besar untuk memberikan insentif kepada para penegak hukum yang berhasil dalam melakukan penertiban dan penegakan hukum kepada para pelaku tindak pidana perikanan khususnya illegal fishing yang dilakukan oleh kapal berbendera asing.

Hal lain yang berkaitan erat dengan masalah penegakan hukum ialah suatu pengaturan yang dikenal dalam hukum laut sebagai pengejaran seketika (hot porsuit). Pengejaran seketika (hot porsuit) adalah pengejaran secara sah dari kapal asing di laut lepas sebagai pelanggaran terhadap perundang-undangan negara yang melakukan pengejaran. Pengejaran seketika diatur dalam Pasal 111 KHL 1982.37

Dalam melakukan pengejaran seketika berkaitan dengan dua hal yang penting, yaitu tuduhan dari negara pantai harus mempunyai dasar yang kuat, dan pelanggaran tersebut harus merupakan pelanggaran dari perundang-undangan yang diumumkan oleh negara pantai atas ZEEnya yang sesuai dengan sistem KHL PBB 1982. pengejaran seketika hanya dilakukan oleh kapal perang, pesawat militer, kapal atau pesawat lain milik pemerintah.

Adanya jaminan penegakan hukum di laut merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya pengelolaan laut yang optimal yang dapat mencegah serta menanggulangi illegal fishing.

36 Wignyo Handoko, Op. Cit, hlm. 125-127.

37 Pasal 111 ayat (1) KHL 1982 “Menentukan bahwa hak pengejaran seketika dapat

(16)

E. Penutup

Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) merupakan wilayah laut yang berada di jalur luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Dalam wilayah tersebut melekat suatu kedaulatan di bidang ekonomi, sehingga setiap tindakan yang berkaitan erat dengan masalah pengelolaan laut dan tanah di bawahnya harus mendapat ijin dari pemerintah Indonesia. Indonesia sebagai negara pantai memiliki hak berdaulat untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang terdapat di ZEEI dan yurisdiksi yang berkaitan dengan pelaksanaan hak tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEEI bahwa segala bentuk eksplorasi dan eksploitasi smuber daya alam harus dilengkapi ijin dari pemerintah RI.

Di ZEEI Indonesia mempunyai yurisdiksi atas pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan; yurisdiksi dibidang riset ilmiah kelautan; yurisdiksi dibidang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

Jika kapal-kapal asing yang masuk ke ZEEI menimbulkan suatu kecurigaan atau telah melakukan kegiatan illegal fishing, maka kewenangan pemerintah Indonesia melalui aparatnya untuk menghentikan atau menangkap kapal asing dengan seluruh krunya menuju ke pelabuhan terdekat. Bertitik tolak dari Pasal 56 ayat (1) sub (a) KHL PBB 1982 yang menyatakan bahwa negara pantai mempunyai hak berdaulat atas pemanfaatan (eksplorasi dan eksploitasi) atas sumber daya alam di ZEE. Sehingga dapat dirumuskan, barang siapa memiliki hak atas suatu benda maka sebagai konsekwensi logis dari pemilikan itu timbullah hak untuk mempertahankannya. Jika premise ini diterapkan pada hak negara pantai untuk memanfaatkan sumber daya alam (khususnya ikan) di ZEE maka konsekwensi logisnya adalah sumber daya alam itu. Salah satu perwujudan dari hak mempertahankan itu adalah berupa penerapan yurisdiksi pidana. Jadi negara Indonesia sebagai negara pantai yang memiliki hak berdaulat untuk mengelola dan memanfaatkan ikan di ZEE maka atas tindak pidana illegal fishing

maka Indonesia dipandang memiliki yurisdiksi pidana.

Dalam menjaga kegiatan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan untuk mencegah segala tindak pidana khususnya illegal fishing

yang terjadi di ZEE, Indonesia sebagai negara berdaulat menetapkan produk-produk hukum yang berupa peraturan perundang-undangan. Hanya hukum yang ditetapkan oleh suatu negara berdaulat yang dipatuhi oleh masayarakat dunia. Oleh karena itu produk-produk hukum suatu negara hakekatnya wujud dari kedaulatan negara tersebut.

Dasar hukum bagi penegakan hukum terhadap illegal fishing terdiri dari: UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, UU No. 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi KHL PBB 1982, UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, PP No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Di ZEEI.

(17)

diduga melakukan illegal fishing meliputi tindakan penghentian kapal sampai dengan diserahkannya kapal tersebut di pelabuhan terdekat yang di tempat tersebut perkara bersangkutan dapat diproses lebih lanjut. Aparat juga dapat melakukan pengejaran seketika (hot porsuit) terhadap kapal berbendera asing yang diduga atau ditemukannya bukti permulaan yang cukup telah melakukan

illegal fishing.

Upaya-upaya pemerintah yang diwujudkan dalam penataan perijinan pengembangan kelembagaan dan tekhnologi pengawasan, pemebuhan sarana dan prasarana pengawasan, peningkatan SDM pengawas, peningkatan operasional pengawasan, pengembangan SISWASMAS, peningkatan koordinasi antar instansi terkait serta pengembangan jaringan kerjasama internasional diharapkan dapat meredam terjadinya illegal fishing yang semakin marak terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

A.K., Syahmin, 1988, Beberapa P erkembangan dan Masalah Hukum Laut Internasional (Sekitar Penegakan Hukum di Perairan Yurisdiksi Nasional Indonesia Dewasa Ini), Binacipta, Bandung.

Anwar, Chairul, 1989, Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Penerbit Djambatan, Jakarta.

Chairul Anwar, 1995, ZEE Di Dalam Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta.

Brierly, J. L., 1996, Hukum Bangsa-Bangsa Suatu Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Bhratara, Jakarta.

Handoko, Wignyo, 2004, Kebijakan Pengawasan Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan, Jurnal Hukum Internasional, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional – Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Istanto, Sugeng, 1994, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.

Kent Sondakh, Bernard, 2004, Pengamanan Wilayah Laut Indonesia, Jurnal Hukum Internasional, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional – Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Kusumaatmadja, Mochtar, 1987, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung.

Lembaga Pertahanan Nasional, 1992, Kewiraan Untuk Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Pasek Diantha, I Made, 2002, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Berdasarkan Konvensi Hukum Laut P BB 1982, Mandar Maju, Bandung.

Prijanto, Heru, 2007, Hukum Laut Internasional, Bayu Media, Malang. Subagyo, P. Joko, 1993, Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.

SURAT KABAR

(18)

INTERNET

http://www.indomedia.com/timikapos/2002/08/06/060805.html

http://www.kapanlagi.com/h/0000193871.html Kamis, 04 Oktober 2007

Info Aktual: IUU Fishing, 16/04/08, situs internet:

http://www.dkp.go.id/content.php?c=5118

Siaran Pers: Utama, 28/01/05, situs internet:

http://www.dkp.go.id/content.php?c=1750

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Konvensi Hukum Laut PBB 1982 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KHUAP

Referensi

Dokumen terkait

Pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan desa telah dilakukan oleh Pemerintah Desa Putat Lor dan Desa Putat Kidul dengan adanya laporan realisasi selama dua semeseter

Menetapkan : KEPUTUSAN WALIKOTA TASIKMALAYA TENTANG URAIAN TUGAS UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS PERALATAN DAN PERBENGKELAN PADA DINAS LINGKUNGAN HIDUP

3. Berpedoman pada ketentuan yang berlaku yang mengatur tentang sistem pembibitan ternak nasional. Kegiatan pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya genetik ternak seperti

Berdasarkan pengolahan dan analisis nilai resistivitas rendah ( ρ < 20,9 Ωm ) pada lintasan 1, 2, dan 3 yang memotong perlapisan antara batuan yang memiliki nilai resistivitas

faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap bencana banjir rob pada 6 kelurahan di Kawasan Pantai Utara Surabaya.. dilakukan menggunakan

Illegal fishing adalah suatu kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh orang atau kapal asing di suatu perairan yurisdiksi suatu negara tanpa izin dari negara yang bersangkutan,

Demikian juga dalam pembudidayaannya, bahkan penyakit tersebut dapat menyerang ikan dalam jumlah besar dan dapat menyebabkan kematian ikan, sehingga kerugian yang

Biosurfaktan dapat dihasilkan dari asbuton melalui proses biologis dengan menggunakan mikroba indigen yang secara alami hidup pada asbuton itu sendiri. Ada tujuh