• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN PEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN PEN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN PENILAIAN HAKIM TENTANG KETERANGAN SEORANG SAKSI DI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA

DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

Dian Dewi Pulungsari, Diyas Mareti Riswindani

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan pembuktian penilaian hakim tentang keterangan seorang saksi di dalam proses peradilan pidana menurut ketentuan kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP). Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif.

Berdasarkan penelitian ini dihasilkan simpulan, bahwa keterangan seorang saksi bukan merupakan alat bukti yang sah. Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti bebas dan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan serta tidak mengikat hakim. Undang-undang menentukan bahwa alat bukti kesaksian mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Proses pembuktian dalam suatu tindak pidana diatur dalam pasal 183-189 Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Setiap perkara yang masuk ke pengadilan pasti membutuhkan suatu proses pembuktian. hakim tidak boleh menilai kekuatan pembuktiannya, hakim secara bulat harus terikat untuk mempergunakannya dalam putusan dan tidak lagi berwenang untuk menilai secara bebas. Hakim dalam mempergunakan kebebasan menilai kekuatan pembuktian kesaksian harus benar benar bertanggung jawab jangan sampai kebebasan penilaian itu menjurus pada kesewenang-wenangan tanpa moralitas dan kejujuran yang tinggi.

Kata Kunci : Pembuktian, Hakim, Saksi, KUHAP

ABSTRACT

This research aimed at the power of knowing substantiation appraisement judge about particulars a witness at in the process of criminal justice according to the provisions of the criminal procedure code. The research is normative legal research that is both prescriptive.

(2)

Keywords : Substantion, Judge, Witness, The Draft of Criminal Procedure Code

A. PENDAHULUAN

Pembuktian dalam hukum acara pidana diartikan sebagai suatu upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa (Rusli Muhammad, 2007 : 185). Kebenaran yang dicari melalui pembuktian ini adalah kebenaran secara yuridis dan bukan secara mutlak karena kebenaran mutlak itu sulit dicari. Pada tahap pembuktian hakim diharuskan memeriksa alat-alat bukti yang ada sebelum memutuskan seorang terdakwa bersalah atau tidak dalam suatu tindak pidana. Proses pembuktian dalam suatu tindak pidana diatur dalam pasal 183-189 Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Setiap perkara yang masuk ke pengadilan pasti membutuhkan suatu proses pembuktian. Pembuktian merupakan proses yang sangat rumit dan sulit yang selalu menjadi masalah yang dipermasalahkan oleh siapapun akan kebenarannya.

Pembuktian mencari kebenaran dari suatu perkara sesungguhnya kebenaran itu sulit dicari terlebih semua orang yang terlibat tidak mau dipersalahkan dalam perkara tersebut. Pembuktian menurut M.Yahya Harahap merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman-pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan

(3)

pembuktian sebagaimana diatur dalam undang-undang dengan melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa (Darwan Prinst,2002:137).

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian, akan tetapi banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan tentang arti dari pembuktian. Membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa. Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat

diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.

Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwa yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. Penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakannya kepada terdakwa.

Ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, telah diatur pula beberapa pedoman dan penggarisan, Sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang. Terutama bagi hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang diketemukan selama pemeriksaan

(4)

kepada suatu permasalahan yang berhubungan dengan pembuktian, yaitu syarat sahnya keterangan saksi. Alat bukti keterangan saksi tersebut merupakan alat bukti yang paling utama dalam suatu perkara pidana. Nilai dan kekuatan pembuktian, keterangan saksi mempunyai kekuatan pembuktian. Berdasarkan pasal 185 ayat 1 menjelaskan bahwa “Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari keterangan

orang lain atau testimonium de auditu”. Sesuai dengan penjelasan KUHAP bahwa

kesaksian testimonium de auditu tidak diperkenan sebagai alat bukti. Dengan demikian keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain bukanlah alat bukti yang sah. Sesuai dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, untuk melindungi hak-hak asasi manusia. Alat bukti memiliki nilai kekuatan pembuktian yang harus

dipenuhi antara lain:

1. Harus mengucapkan sumpah atau janji. Berdasarkan pasal 160 ayat 3 KUHAP dan pasal 160 ayat 4 KUHAP.

2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti. Berdasarkan pasal 1 ayat 27 KUHAP sehubungan dengan pasal 185 ayat 1 KUHAP, dapat ditarik kesimpulan: pertama, setiap keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri, di luar apa yang dilihat , di luar apa yang dialaminya, tidak dapat dijadikan serta dinilai sebagai alat bukti. Kedua, “testimonium de auditu” atau

keterangan yang diperoleh dari pendengaran orang lain merupakan tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti.

3. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran bukan merupakan keterangan saksi berdasarkan pasal 185 ayat 5 KUHAP.

4. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan yang bertujuan agar saksi dapat dinilai sebagai alat bukti sesuai dengan pasal 185 ayat 1 KUHAP.

5. Keterangan saksi saja dirasa belum cukup. Hal ini sesuai dengan penegasan pasal 183 KUHAP tentang hakim tidak boleh menjatuhkan putusan jika alat bukti sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti (Syaiful Bakhri,2012:58-61). Keterangan saksi yang diberikan di muka persidangan itulah yang benar, karena saksi tersebut menyatakan bahwa ia telah disumpah dan harus memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. Alasan perbedaan

(5)

Berdasarkan teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif adalah hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan oleh undang-undang sehingga hakim memperoleh keyakinan yang akan diambil. Dengan bertitik tolak pandangan tersebut, maka dapat diketahui bahwa pembuktian harus dilakukan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.8 Menurut teori pembuktian yang berdasarkan undang-undang negatif tersebut lebih dipilih oleh sistem pembuktian di Indonesia. Berdasarkan prinsip teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif maka terdakwa dapat dikatakan bersalah atau tidak yaitu:

1. Pembuktian harus menggunakan alat bukti yang sah menurut

undang-undang,

2. Keyakinan hakim juga harus berdasarkan alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Keterangan saksi yang berbeda antara keterangan saksi yang diberikan dalam Berita Acara Pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik dengan keterangan saksi yang diberikan waktu persidangan pada umumnya, majelis hakim lebih menggunakan teori pembuktian menurut undang-undang negatif karena pembuktian keterangan saksi tersebut harus berdasarkan undang-undang selain itu dalam menentukan keyakinan hakim harus berdasarkan undang-undang.

Hakim dalam persidangan hanya mengingatkan seorang saksi untuk memberikan keterangan dengan jujur yang bertujuan untuk membantu pengadilan guna mewujudkan kebenaran materiil. Berdasarkan pasal 163 KUHAP bahwa jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangan yang terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta meminta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan sidang. Bilamana seorang saksi menarik atau mencabut keterangannya dalam Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat penyidik, maka berlakulah ketentuan pasal 185 ayat 1 KUHAP bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Dengan demikian, fungsi keterangan saksi pada Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat di penyidik hanyalah sebagai alat bukti petunjuk yang diatur dalam pasal 188 ayat 2

(6)

B. PRINSIP-PRINSIP PEMBUKTIAN

Hal-hal yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Hal-hal yang

secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau disebut dengan istilah notoire

feiten. Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1) Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian.Yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari perak. yang dimaksud dengan peristiwa misalnya,

pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari Kemerdekaan Indonesia.

2) Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk.

Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip “pembuktian terbalik” yang

tidak dikenal oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”. Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri, Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”. Ini berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri. Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri.

C. TEORI-TEORI ATAU SISTEM PEMBUKTIAN

Ada beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu antara lain:

(7)

Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian “keyakinan” hakim

semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada.Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali. Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada kesan-kesan perseorangan sehingga sulit untuk melakukan

pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Prancis yang membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak mengakibatkan putusan bebas yang aneh (Andi Hamzah,2013 : 252).

2. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (Conviction In Raisonnee)

Sistem pembuktian Conviction In Raisonnee masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis. Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisonnee harus dilandasi oleh“reasoning”atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus“reasonable”yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas (Andi Hamzah,2013 : 253).

(8)

Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem pembuktian conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Teori positif wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan. Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan

harus dipidana.

Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal, oleh karena itu sistem pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Positief wettelijk bewijstheori systeem di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka; dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja (Andi Hamzah, 2013 : 251).

4. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel)

Sistem pembuktian negatief wettelijk terletak antara dua sistem yang berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan sistem pembuktian conviction in time. Artinya hakim hanya boleh menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan apabila ia yakin dan keyakinannya tersebut didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam sistem negatif wetteljik ada dua hal yang merupakan syarat untuk

(9)

bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang dan kedua, Negatif, yaitu adanya keyakinan (nurani) dari hakim, sehingga berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. Antara alat-alat bukti dengan keyakinan diharuskan adanya hubungan causal (sebab akibat). Meskipun terdakwa telah terbukti menurut cara dan dengan alat-alat bukti sah menurut undang-undang, akan tetapi bila hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka ia dapat saja membebaskan terdakwa. Sebaliknya bila hakim yakin akan kesalahan terdakwa, tetapi keyakinannya tidak didasarkan atas alat-alat bukti sah menurut undang-undang, maka hakim harus menyatakan kesalahan terdakwa tidak terbukti. Sistem inilah yang dipakai dalam sistem pembuktian peradilan pidana di Indonesia (Andi Hamzah, 2013 : 254-257).

D. PENGERTIAN ALAT BUKTI BESERTA PENGATURAN MENGENAI ALAT BUKTI

Alat bukti adalah segala sesuatu yang oleh undang-undang ditetapkan dapat dipakai membuktikan sesuatu. Alat bukti disampaikan dalam persidangan pemeriksaan perkara dalam tahap pembuktian. Sedangkan pembuktian adalah upaya yang dilakukan para pihak dalam berperkara untuk menguatkan dan membuktikan dalil-dalil yang diajukan agar dapat meyakinkan hakim yang memeriksa perkara. Berdasarkan ketentuan pasal 184 KUHAP ada lima alat bukti dalam perkara pidana di Indonesia, Yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa (Andi Hamzah,2013:255). Dalam pasal 186 KUHAP semua orang dapat menjadi saksi tetapi dalam pasal ini tercantum kekecualian menjadi seorang saksi sebagai berikut yaitu keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,saudara ibu atau saudara bapak juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga,suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa (Andi Hamzah:2013,256).

Dalam Pasal 187 huruf a KUHAP mengatur bahwa berita acara, termasuk berita acara pemeriksaan saksi merupakan alat bukti surat. Mengenai BAP Saksi

(10)

No. 1 Tahun 1985 tentang Kekuatan Pembuktian Berita Acara Pemeriksaan Saksi dan Visum et Repertum yang dibuat di luar negeri oleh pejabat asing. Ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung ini memberi penegasan bahwa berita acara, termasuk berita acara pemeriksaan saksi, bukan hanya sekedar pedoman hakim untuk memeriksa suatu perkara pidana, melainkan sebuah alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian. Dalam hal ini merujuk pada Pasal 187 huruf a KUHAP BAP merupakan alat bukti surat, termasuk juga berita acara pemeriksaan saksi yang dibuat di luar negeri oleh pejabat asing.

E. ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam

suatu perkara pidana, hampir semua perkara pidana selalu menggunakan pemeriksaan keterangan saksi. Keterangan seorang saksi dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian harus memenuhi aturan sebagai berikut :

Mengucapkan sumpah atau janji seperti yang diatur dalam pasal 160 ayat (3)”

sebelum saksi memberikan keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji yang dilakukan menurut tata cara agamanya masing-masing. Dalam pasal 160 ayat (4) memberikan kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah memberikan keterangan. Dengan demikian saat pengucapan sumpah atau janji pada prinsipnya wajib sebelum saksi memberi keterangan tapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji dapat diucapkan sesudah saksi memberikan keterangan .

Berdasarkan pasal 1 angka 27 KUHAP keterangan saksi yang bernilai adalah keterangan saksi yang saksi lihat,dengar dan mengalami itu sendiri serta menyebutkan alasan dari pengetahuannya tersebut, keterangan yang diberikan diluar penglihatan pendengaran dan pengalamannya sendiri tidak mempunyai kekuatan nilai pembuktian. Begitupula dengan testimonium de auditu keterangan yang diperoleh dari hasil pendengaran orang lain dikatakan tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Menurut Wirjono Projodikoro ”Hakim dilarang memakai sebagai alat bukti suatu keterangan saksi de auditu yaitu tentang suatu keadaan yang saksi itu

(11)

sudah semestinya,akan tetapi harus diperhatikan, bahwa kalau ada saksi yang menerangkan telah mendengar terjadinya suatu keadaan dari orang lain, kesaksian semacam ini tidak selalu dapat disampingkan begitu saja. Mungkin sekali hal pendengaran suatu peristiwa dari orang lain itu,dapat berguna untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian terhadap terdakwa”(Andi Hamzah,2013:266)

Keterangan saksi yang dapat dinyatakan sebagai alat bukti apabila keterangan saksi tersebut berisi mengenai kesaksian yang dilihat,di dengar dan dialami sendiri tentang perkara pidana tersebut serta dinyatakan dalam sidang pengadilan. Menurut pasal 183 keterangan seorang saksi dianggap cukup membuktikan kesalahan seseorang terdakwa apabila mempunyai

sekurang-kurangnya dua alat bukti. pada pasal 185 ayat (2) dalam asas unus testis nullus testis keterangan satu orang saksi saja belum dapat membuktikan kesalahan terdakwa. Apabila saksi hanya berjumlah satu orang maka kesaksian tunggal tersebut harus dicukupi atau ditambahi dengan salah satu alat bukti yang lain, agar supaya keterangan saksi tunggal mempunyai nilai pembuktian yang dapat dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan terdakwa harus dilengkapi dengan salah satu alat bukti lain baik berupa keterangan ahli,surat petunjuk, maupun dengan keterangan/pengakuan terdakwa. Keterangan beberapa saksi itu belum tentu membuktikan kesalahan terdakwa karena belum tentu keterangan saksi tersebut memenuhi kualitatif sebagai alat bukti yang sah membuktikan kesalahan seorang terdakwa. Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika secara kualitatif keterangan mereka saling berdiri sendiri tanpa adanya saling hubungan antara yang satu dengan yang lain yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu.(M.Yahya Harahap,2010:289). Menurut pasal 185 ayat 4 KUHAP“keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada. Hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa,sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: “Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke

(12)

kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku, demikian pula dengan ahli.

Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis), Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Menurut KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi

pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: “Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”. Jadi, ini berarti satu saksi, satu keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk, atau keterangan terdakwa disertai keyakinan hakim cukup sebagai alat

bukti untuk memidana terdakwa dalam perkara cepat.Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip “pembuktian terbalik” yang tidak

dikenal oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”.

Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri, Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa hanya dapat

digunakan terhadap dirinya sendiri. berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri. Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya

Nilai daripada kekuatan pembuktian keterangan saksi dapat dinyatakan sebagai alat bukti yang sah apabila terdapat hubungan yang saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan tertentu. Kebenaran keterangan seorang saksi jelas

(13)

ayat (6) dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus sungguh-sungguh dalam memperhatikan :

1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain. 2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain

3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu.

4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi diberikan saat sidang pengadilan berlangsung dapat diberikan dengan sumpah maupun tanpa sumpah. Berdasarkan pasal

160 ayat (3) sebelum memberi keterangan saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Saksi menolak bersumpah diatur dalam pasal 161, sekalipun penolakan itu tanpa alasan yang sah dan walaupun saksi telah disandera dan saksi tetap menolak untuk mengucap sumpah atau janji. Dalam keadaan seperti ini menurut pasal 161 ayat (2) nilai keterangan saksi yang demikian “dapat menguatkan keyakinan hakim”(M.Yahya Harahap,2010:291).

Keterangan yang diberikan tanpa sumpah sama halnya dengan pasal 161 saksi yang menolak untuk disumpah tidak dapat dhadirkan di dalam persidangan,keterangan saksi yang terdapat dalam berita acara penyidikan dibacakan di sidang pengadilan. Nilai kekuatan pembuktian yang melekat dalam keterangan saksi yang dibacakan dalam sidang pengadilan sekurang-kurangnya dapat dipersamakan dengan keterangan saksi yang diberikan dalam persidangan tanpa sumpah . keterangan yang diberikan tanpa sumpah tetap merupakan alat bukti dapat dijadikan untuk menguatkan keyakinan hakim dan sekaligus menjadi tambahan alat bukti selama keterangan tersebut mempunyai hubungan saling mengikat dan sesuai dengan alat bukti yang sah tersebut.

Saksi yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan terdakwa tidak dapat memberikan keterangannya dalam persidangan kecuali mereka menghendakinya dan disetujui oleh penuntut umum dan terdakwa. Menengok paal 161 ayat (2) an pasal 185 ayat (7) keterangan mereka tidak dapat dinilai sebagai alat bukti tetapi dapat

(14)

sebagai tambahan menguatkan alat bukti yang sah sepanjang keterangan tersebut mempunyai persesuaian dengan alat bukti yang sah lainnya itu dan alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas minimum pembuktian (M. Yahya harahap,2010 : 293).

Kekuatan pembuktian saksi yang disumpah, saksi harus mengucapkan sumpah atau janji bahwa akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya. Keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa pidana yang saksi dengar,lihat dan alami sendiri dengan menyebut secara jelas menyebut sumber pengetahuannya,keterangan saksi harus dinyatakan dalam sidang pengadilan keterangan diluar sidang pengasilan tidak mempunyai kekuatan alat bukti yang sah. Hakim yang menilai dan menentukan kesesuai antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.

Kekuatan pembuktian juga terletak pada bukti yang diajukan, apakah bukti tersebut relevan atau tidak dengan perkara yang sedang disidangkan. Jika bukti tersebut relevan, kekuatan pembuktian selanjutnya mengarah pada apakah bukti tersebut dapat diterima atau diabaikan

Pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Serta merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Karena dengan pembuktian inilah dapat diketahui apakah terdakwa benar melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya atau tidak. Dengan adanya pembuktian juga maka dapat ditentukan pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa yang telah benar terbukti bersalah. Karena apabila hasil pembuktian dari alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan, maka terdakwa dibebaskan dari segala hukuman, dan sebaliknya jika kesalahan terdakwa ternyata dapat dibuktikan, maka terdakwa dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhi hukuman pidana (M. Yahya Harahap,2010:273).

Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi (M. Yahya Harahap, 2010:286). Dalam Pasal 185 ayat (5)

(15)

pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi (Andi Hamzah, 2013:260). Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi tidak hanya dilihat dari unsur pengucapan sumpah atau janji saja. Ada beberapa syarat yang harus melekat pada keterangan itu supaya dapat mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah. Mengenai sampai sejauh mana “kekuatan pembuktian”keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, maupun nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dapat diikuti penjelasan sebagai berikut (M. Yahya Harahap, 2006:294-295).

Pada alat bukti kesaksian tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna (volleding bewijskracht), dan juga tidak melekat di dalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht). Alat bukti kesaksian sebagai

alat bukti yang sah adalah bersifat bebas dan tidak sempurna dan tidak menentukan atau tidak mengikat., nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim. alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu, dan dapat menerima atau menyingkirkannya.

F. SIMPULAN DAN SARAN 1. SIMPULAN

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa keterangan seorang saksi bukan merupakan alat bukti yang sah. Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti bebas dan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan serta tidak mengikat hakim. Undang-undang menentukan bahwa alat bukti kesaksian mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Proses pembuktian dalam suatu tindak pidana diatur dalam pasal 183-189 Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pada alat bukti kesaksian tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna (volleding bewijskracht), dan juga tidak melekat di dalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht). Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan

(16)

hakim. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu, dan dapat menerima atau menyingkirkannya.

Kekuatan pembuktian saksi yang disumpah, saksi harus mengucapkan sumpah atau janji bahwa akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya. Keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa pidana yang saksi dengar,lihat dan alami sendiri dengan menyebut secara jelas menyebut sumber pengetahuannya,keterangan saksi harus dinyatakan dalam sidang pengadilan keterangan diluar sidang pengasilan tidak mempunyai kekuatan alat bukti yang sah. Hakim yang menilai dan menentukan kesesuai antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.

Kekuatan pembuktian juga terletak pada bukti yang diajukan, apakah bukti tersebut relevan atau tidak dengan perkara yang sedang disidangkan. Jika bukti tersebut relevan, kekuatan pembuktian selanjutnya mengarah pada apakah bukti tersebut dapat diterima atau diabaikan. Hakim dalam mempergunakan kebebasan menilai kekuatan pembuktian kesaksian harus benar benar bertanggung jawab jangan sampai kebebasan penilaian itu menjurus pada kesewenang-wenangan tanpa moralitas dan kejujuran yang tinggi.

2. SARAN

Berdasarkan simpulan yang telah disampaikan penulis maka hendaknya, Hakim dalam melakukan penilaian terhadap kekuatan pembuktian keterangan seorang saksi dalam persidangan maka hendaknya hakim boleh tidak terikat terhadap undang-undang semata dan hakim dalam memberikan penilaian keterangan saksi harus dilihat pula dari seberapa besar kesalahan terdakwa dan berdasarkan keterangan saksi maka dari itu hakim dalam memberikan penilaian harus berdasarkan hati nurani secara logis selain itu hakim juga harus cermat serta berlaku bijak dalam mengambil sebuah putusan demi keadilan.

G. PERSANTUNAN/ UCAPAN TERIMAKASIH

(17)

menyelesaikan penulisan jurnal hukum ini. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan terutama kepada :

1. Ibu Prof.DR.Hartiwiningsih,S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum UNS.

2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ibu Zaky Adliyati,S.H.,M.H., selaku Ketua Pengelola Jurnal Verstek Hukum Acara 4. Bapak Lego Karjoko,S.H.,M.H selaku Pembimbing Akademik.

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS.

H. DAFTAR PUSTAKA Buku :

Bakhri,Syaiful,.2012.Beban Pembuktian.Jakarta : Gramata Publishing. Hamzah,Andi.2013.Hukum Acara Pidana Indonesia.Jakarta : Sinar Grafika. Harahap,Yahya.2010.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

(Pemeriksaan Sidang Pengadilan,Banding,Kasasi,dan Peninjauan Kembali).Jakarta : Sinar Grafika.

Muhammad,Rusli.2007.Hukum Acara Pidana Kontemporer.Jakarta : Citra Aditya Bakti. Prints,Darwan.2002.Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar.Jakarta : Sinar Grafika. Subekti.2010.Hukum Pembuktian.Jakarta : Pradnya Paramita.

(18)

Alamat Korepondensi Dian Dewi Pulungsari

Mahasiswa Fakultas Hukum UNS NIM.E0010108

Jl.Lampo Batang Timur 4/1 Mojosongo Jebres Surakarta.HP 085876269599 dian.adhyan@gmail.com

Diyas Mareti Riswindani

Mahasiswa Fakultas Hukum UNS NIM.E0010120

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan tinjauan pustaka dan didukung adanya hasil analisis penelitian yang telah dikemukan sebelumnya serta mengacu pada perumusan masalah yang telah diuraikan pada

Resonansi absorbsi terbesar pada energi absorbsi sekitar 6,67 eV yang mengakibatkan jumlah neutron paling banyak diserap sedangkan pada energi sekitar 50 Kev sangat sedikit

LNW Ibadurrahman Duri merupakan lembaga Nazhir wakaf yang konsisten dalam mengelola dan memberdayakan dana ummat sehingga bermanfaat bagi masyarakat miskin, orang

SE-01 /MEN/ 1978, Nilai Ambang Batas untuk kebisingan di tempat kerja adalah intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima tenaga kerja

Gunakan hukum Keppler ketiga untuk menentukan jari - jari planet A yang mengelilingi matahari 27 kali lebih lama dibanding waktu yang dibutuhkan oleh bumi dan tentukan pula

 Frasa “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu...” dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

Produksi perekatan lapisan serat fiber yang dilakukan dengan metode manual memiliki defect yang tinggi dan lebih dominan pada cacat appearance produk.