1
Pendidikan merupakan sesuatu yang tidak asing bagi kita, terlebih lagi karena
kita bergerak di bidang pendidikan. Kita sepakat bahwa pendidikan diperlukan bagi
semua orang. Bahkan dapat dikatakan bahwa pendidikan ini dialami oleh semua
manusia dari segala golongan. Tetapi seringkali orang melupakan makna dan hakikat
pendidikan itu sendiri.
Pendidikan adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara (Undang-Undang Sisdiknas No.20 tahun 2003).
Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai upaya untuk memajukan
budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup
dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Berdasarkan uraian/penjelasan tersebut maka yang dimaksud dengan
pendidikan dalam penelitian ini adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan
terencana untuk mengembangkan pikiran, serta potensi yang ada pada diri seseorang
untuk menjadi yang lebih baik.
Tujuan pendidikan adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kapada Tuhan
YME, berakhlak mulia, sehat, cerdas, berperasaan, berkemauan, dan mampu
berkarya; mampu memenuhi berbagai kebutuhan secara wajar, mampu mngendalikan
hawa nafsunya; berkepribadian, bermasyarakat dan berbudaya. Implikasinya,
pendidikan harus berfungsi untuk mewujudkan (mengembangkan) berbagai potensi
yang ada pada manusia dalam konteks dimensi keberagaman, moralitas, moralitas,
individualitas/ personalitas, sosialitas dan keberbudayaan secara menyeluruh dan
Fungsi pendidikan adalah menghilangkan segala sumber penderitaan rakyat
dari kebodohan dan ketertinggalan. Sedangkan menurut UUSPN No.20 tahun 2003
menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ilmu Pengetahuan Alam merupakan salah satu mata pelajaran yang terdapat di
kurikulum Sekolah Dasar. Menurut Trianto (2010: 136) IPA adalah suatu kumpulan
teori yang sistematis, penerapannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam,
lahir dan berkembang melalui model pembelajaran ilmiah seperti observasi dan
eksperimen serta menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka, jujur, dan
sebagainya. Berhubungan dengan cara mencari tahu alam secara sistematis, sehingga
IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta,
konsep-konsep atau prinsip saja,tetapi juga merupakan suatu proses penemuan.
Proses pembelajaran IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung
untuk mengembangkan kompetensi agar dapat memahami alam sekitar secara ilmiah.
Pendidikan IPA diarahkan untuk berbuat sendiri sehingga dapat membantu peserta
didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.
Tujuan pembelajaran IPA, diperlukan strategi tertentu agar proses pembelajaran
sesuai dengan yang diharapkan. Proses dalam belajar mengajar guru harus memiliki
strategi, agar siswa dapat belajar secara efektif dan efisien, mengena pada tujuan yang
diharapkan. Salah satu langkah untuk memiliki strategi itu ialah harus menguasai
teknik-teknik penyajian,atau biasanya disebut model pembelajaran mengajar. Fakta
yang kita lihat di sekolah-sekolah, saat kegiatan pembelajaran berlangsung, antara
guru dan siswa di kelas yang pada umumnya masih bersifat komunikasi satu arah,
guru mengajar dan siswa belajar, guru menjelaskan dan siswa menjadi pencatat,
inilah yang akan menghilangkan kreativitas siswa dan membentuk siswa yang hanya
bisa menerima sesuatu yang pasif, kebanyakan siswa menganggap bahwa penjelasan
aktif, kreatif dan inovatif agar mereka bisa mengembangkan pikiran, mandiri dan
mendorong siswa berfikir kritis.
Adanya pendidikan maka akan timbul dalam diri seseorang untuk
berlomba-lomba dan memotivasi diri kita untuk lebih baik dalam segala aspek kehidupan.
Pendidikan merupakan salah satu syarat untuk lebih baik memajukan kehidupan
bangsa.
Pembelajaran IPA dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk
menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta
mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Pembelajaran IPA
di SD/MI menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui
penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah.
Kreatifitas seorang guru dalam mengajar sangat dituntut untuk bisa
menciptakan pembelajaran yang aktif, menarik, efektif, dan menyenangkan. Tanggal
23 Januari 2015, saat peneliti melakukan observasi terhadap mata pelajaran IPA pada
kelas 5 di SD Negeri Plumbon 01 menemukan permasalahan, bahwa guru pada saat
mengajar masih menggunakan model pembelajaran ceramah dan pemberian tugas
seperti mencatat, akibatnya banyak anak yang ramai. Selain itu, banyak siswa yang
tidak mengikuti pelajaran dengan baik yang berakibat pada hasil belajar yang kurang
optimal yang menunjukkan seluruh siswa 100% tidak tuntas dengan KKM ≥ 70.
Salah satu unsur yang menjadikan siswa tidak tuntas adalah hasil belajar hanya
diukur melalui tes saja, seharusnya aspek afektif dan psikomotor perlu dilakukan
pengukuran. Skor rata-rata nilai ulangan IPA semester I tahun 2014/2015 adalah 33,
dibawah KKM ≥ 70.
Berdasarkan uraian di atas, memunculkan keinginan untuk melakukan
penelitian dengan judul “Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPA Melalui Model
1.2Identifikasi Masalah
Berdasarkan observasi lapangan yang dilakukan di kelas 5 SD Negeri Plumbon
01 Suruh semester II Tahun 2014/2015 nampak bahwa, dalam pembelajaran IPA guru
tidak menyiapkan pembelajaran secara tertulis berupa RPP (Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran).
Dalam pelaksanaan pembelajaran, guru tidak nampak melakukan apersepsi dan
menyampaikan tujuan pembelajaran. Siswa tidak tahu arah belajar yang dilakukan
pada saat observasi. Guru menggunakan ceramah dalam membahas materi
pembelajaran tentang Pesawat Sederhana.
Dalam kegiatan inti pembelajaran, nampak guru tidak menyajikan materi
Pesawat Sederhana secara kontekstual, seperti guru tidak memberikan contoh cara
menggunakan pesawat sederhana. Namun yang nampak adalah, guru meminta siswa
untuk membaca buku secara berkelompok. Guru tidak meminta siswa untuk
menyimak kata-kata kunci yang berhubungan dengan materi Pesawat Sederhana.
Siswa tidak diberi kesempatan untuk menceritakan hasil bacaan buku yang terkait
dengan pengalaman yang telah dialami siswa seperti ketika siswa bermain
jungkat-jungkit dimana posisi titik berada di antara beban dan kuasa, ketika mengambil air
pada sumur timba dimana katrol yang digunakan dapat mempermudah mengambil
air. Aktivitas yang nampak siswa hanya diminta untuk berdiskusi secara kelompok
menjawab soal-soal di buku yang telah dibaca oleh siswa. Siswa tidak nampak
menggabungkan peristiwa satu dengan peristiwa lain yang berkesan seperti
bagaimana siswa bermain jungkat-jungkit dan pada saat mengambil air pada sumur
timba. Siswa hanya menghafal materi yang ada di buku siswa. Siswa juga tidak
nampak merumuskan definisi dari materi Pesawat Sederhana seperti merumuskan
beberapa kegiatan yang menggunakan pesawat sederhana, namun yang nampak siswa
hanya memperoleh rumusan definisi pesawat sederhana tersebut dari kesimpulan
yang dibuat oleh guru. Pembelajaran seperti ini termasuk pembelajaran yang tidak
Penilaian yang dilakukan oleh guru pada saat observasi hanya pada akhir
pembelajaran berupa tes uraian dengan jumlah 10 soal, guru hanya mengukur siswa
pada aspek pengetahuan, sedangkan pengukuran sikap dan keterampilan tidak
dilakukan. Nampak ketika siswa berdiskusi dengan kelompok, guru hanya meminta
siswa untuk mengerjakan soal yang ada di buku siswa kemudian dikumpulkan tanpa
memberi nilai, nampak guru juga tidak membuat rubrik penilaian untuk pengukuran
sikap dan keterampilan. Jika hasil belajar hanya diukur dari nilai tes seperti yang
dilakukan guru pada saat obsevasi, tanpa mengukur sikap dan keterampilan siswa
dengan, KKM yang ditentukan sebesar ≥ 70, maka hasil belajar yang diperoleh 32
siswa dengan rincian 21 siswa laki-laki dan 11 siswa perempuan, 100% tidak tuntas.
Skor maksimum yang diperoleh siswa adalah 43, dan untuk skor minimumnya adalah
28. Penilaian semacam ini hanya mengukur kognitif siswa saja, sedangkan 2 aspek
yang lain seperti aspek afektif dan psikomotorik belum diukur.
1.3Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan maka masalah yang
dirumuskan adalah: apakah peningkatan hasil belajar IPA dapat diupayakan melalui
model pembelajaran discovery siswa kelas 5 SD Negeri Plumbon 01 Suruh
Kabupaten Semarang semester II tahun pelajaran 2014/2015.
1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah peningkatan hasil belajar
IPA dapat diupayakan melalui model pembelajaran discovery siswa kelas 5 SD
Negeri Plumbon 01 Suruh Kabupaten Semarang semester II tahun pelajaran
2014/2015.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pembelajaran melalui model
2. Manfaat Praktis
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagi Siswa
1) Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran untuk menemukan sesuatu dari
mata pelajaran IPA.
2) Dapat meningkatkan hasil belajar IPA.
b. Bagi Guru
1) Meningkatkan profesionalisme guru kelas melalui PTK dalam rangka
memperbaiki hasil belajar IPA.
2) Menambah ketrampilan guru dalam pembelajaran IPA melalui model
pembelajaran discovery.
3) Terampil dalam meningkatkan hasil belajar IPA melalui desain model
pembelajaran discovery.
c. Bagi Sekolah
1) Kualitas pembelajaran sekolah meningkat, khususnya untuk pembelajaran
IPA.
2) Sekolah dapat mendorong atau memotivasi guru untuk meningkatkan