• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengawetan Buah ( Coater ) - Penggunaan Chitosan Dari Cangkang Udang ( Litopenaeus Vannamei ) Sebagai Pengawet Alami Untuk Buah Stroberi ( Fragaria X Ananassa Duch )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengawetan Buah ( Coater ) - Penggunaan Chitosan Dari Cangkang Udang ( Litopenaeus Vannamei ) Sebagai Pengawet Alami Untuk Buah Stroberi ( Fragaria X Ananassa Duch )"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengawetan Buah ( Coater )

Coater merupakan pemberian lapisan tipis pada permukaan buah untuk

menghambat keluarnya gas, uap air dan kontak dengan oksigen, sehingga proses

pemasakan dan reaksi pencoklatan buah dapat diperlambat serta memberikan

perlindungan terhadap kerusakan mekanis buah (Kusuma, 2008).

Proses pengangkutan, untuk pemasaran buah dibutuhkan waktu, pengemasan

dan penanganan pasca panen yang tepat. Pada umumnya, buah dipasarkan dalam

kemasan kotak plastik pada suhu ruang. Cara ini berpengaruh pada kecepatan

penurunan kualitas, ketersediaan dan pemasaran buah. Penurunan kualitas salah

satunya disebabkan oleh aktivitas hidup buah yang terus berlangsung meskipun buah

telah lepas dari tanamannya, contohnya proses respirasi (Swastawati, 2008).

Pada umumnya proses pengangkutan dan penyimpanan masih berlangsung

setelah buah dipanen. Buah terus mengalami proses metabolisme dengan

menggunakan cadangan makanan yang terdapat di dalam buah. Hal itu menyebabkan

cadangan makanan semakin berkurang. Berkurangnya cadangan makanan tersebut

tidak dapat digantikan karena buah sudah terpisah dari pohonnya (Budiman, 2006).

Seiringan dengan itu, metabolisme akan mempercepat proses hilangnya nilai

gizi buah. Tingkat kerusakan buah dipengaruhi oleh difusi gas ke dalam dan luar

buah yang terjadi melalui lentisel yang tersebar di permukaan buah. Secara alami

(2)

lilin tersebut dapat berkurang atau hilang akibat pencucian yang dilakukan pada saat

penanganan pasca panen (Rukmana, 1998).

Selama pasca panen akan terjadi beberapa perubahan, yang akhirnya

menyebabkan kerusakan. Kerusakan tersebut dapat diakibatkan terjadinya perubahan

dari segi rasa, bau dan tekstur serta keamanannya untuk dikonsumsi. Kerusakan dapat

pula diakibatkan oleh terjadinya pembusukan karena mikroorganisme.

Mikroorganisme yang sering menyebabkan pembusukan seperti adanya kapang.

Konsep dari mempertahankan umur produk holtikultura adalah dengan

menghambat laju respirasi untuk mencegah degradasi nutrisi-nutrisi di dalamnya.

Maka digunakan pelapisan pada permukaan luar buah. Salah satu cara yang telah

banyak dikenal adalah dengan melakukan coating (Nurrachman, 2007).

2.1.1. Teknik Pengawetan ( Coating )

Menurut Grenner (1994), teknik aplikasi pelapisan pada buah ( coating ), yaitu:

1. Perendaman (dipping)

Teknik ini biasanya digunakan pada produk yang memiliki permukaan yang

kurang nyata. Setelah perendaman, kelebihan bahan coating dibiarkan terbuang.

Produk kemudian dibiarkan dingin sampai edible coating menempel. Teknik ini

(3)

2. Penyemprotan (spraying)

Teknik ini dapat menghasilkan produk dengan lapisan yang lebih tipis dan

lebih seragam daripada teknik pencelupan. Teknik ini digunakan untuk produk

yang memiliki dua sisi permukaan, misalnya pizza.

3. Pembungkusan (casting)

Teknik ini digunakan untuk membuat lapisan film yang berdiri sendiri,

terpisah dari produk. Teknik ini diadopsi dari teknik yang dikembangkan untuk

non-coater.

4. Pengolesan (brushing)

Teknik ini dilakukan dengan cara mengoles edible coating pada produk.

Kemampuan coater dalam mengurangi hilangnya air, oksigen, aroma, dan

bahan terlarut pada beberapa produk telah banyak diteliti. Sehingga dapat dijadikan

sebagai salah satu metode paling efektif untuk menjaga kualitas makanan.

Kemampuan ini dapat lebih ditingkatkan lagi dengan menambahkan antioksidan,

antimikroba, pewarna, flavor, fortified nutrient dan rempah.

2.2. Potensi Cangkang Udang Sebagai Pengawet Alami

Sebagai negara maritim, Indonesia mempunyai potensi hasil perikanan laut

yang sangat berlimpah, namun potensi ini masih belum bisa dimanfaatkan secara

optimal. Menurut data Dirjen Perikanan,total potensi ini diperkirakan sebesar 7,2 juta

ton/tahun, dan yang bisa dimanfaatkan baru sekitar 40% atau 2,7 juta ton/tahun

(4)

Salah satu potensi ini adalah udang yang saat ini merupakan komoditas

eksport unggulan hasil perikanan, saat ini budi daya udang dengan tambak telah

berkembang dengan pesat, karena udang merupakan komoditi ekspor yang dapat

diandalkan dalam meningkatkan ekspor non-migas dan merupakan salah satu jenis

biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang di Indonesia pada umumnya diekspor

dalam bentuk udang beku yang telah dibuang bagian kepala, kulit, dan ekornya

(Kaban, dkk., 2006).

Dalam perkembangannya, Indonesia memasukkan udang vannamei

(Litopenaeus vannnamei ) sebagai salah satu jenis udang budidaya tambak, selain

udang windu (Penaeus monodon) dan udang putih/udang rebung (Penaeus

merguiensis) yang sudah terkenal lebih dahulu ( Amri, 2008). Udang windu saat ini

tidak berkembang lagi karena terserang berbagai macam penyakit udang diantaranya

yang ganas adalah white spot atau virus bintik putih. Petambak udang di Indonesia

saat ini banyak memelihara udang putih ( Pennaeus vannamei) (Purwanti, 2010).

Setelah melalui serangkaian penelitian dan kajian akhirnya melalui SK

Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 41/2001 pemerintah secara resmi melepas

udang vannamei sebagai varietas unggul untuk dibudidayakan petambak di tanah air

pada tanggal 12 Juli 2001 (Amri, 2008).

Berikut tata nama udang vannamei menurut ilmu taksonomi ( Haliman, 2008).

Kingdom : Animalia

Subkingdom : Metazoa

Filum : Arthropoda

(5)

Kelas : Malacostraca

Subkelas : Eumalacostraca

Superordo : Eucarida

Ordo : Decapoda

Subordo : Dendrobrachiata

Famili : Penaeidae

Genus : Litopenaeus

Species : Litopenaeus vannamei

Cangkang udang sampai saat ini memang belum banyak mendapat perhatian.

Selama ini orang hanya peduli pada dagingnya saja. Padahal cangkang udang berupa

kulit atau yang juga disebut karapas, yang komposisinya bisa mencapai 50-60 % bisa

dimanfaatkan menjadi berbagai produk. Fungsi cangkang tersebut pada hewan udang

yaitu sebagai pelindung.

Cangkang udang mengandung protein (25% - 40%), kalsium karbonat (45% -

50%), dan chitin (15% - 20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut

tergantung pada jenis udangnya, sedangkan cangkang kepiting mengandung protein

(15,60% 23,90%), kalsium karbonat (53,70% 78,40%), dan chitin (18,70%

-31,20%), hal ini juga tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupya. Kandungan

chitin dalam cangkang udang lebih sedikit dari cangkang kepiting, tetapi cangkang

udang lebih mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak (Kaban, dkk.,

(6)

Meningkatnya jumlah cangkang udang masih merupakan masalah yang perlu

dicarikan upaya pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada

usaha pengolahan udang, akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran

lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan. Saat ini di

Indonesia sebagian kecil dari cangkang udang sudah dimanfaatkan dalam hal

pembuatan kerupuk udang, petis, terasi, dan bahan pencampur pakan ternak.

Sedangkan di negara maju seperti di Amerika Serikat dan Jepang, cangkang udang

telah dimanfaatkan di dalam industri sebagai bahan dasar pembuatan chtitin dan

chitosan. Manfaatnya di berbagai industri modern banyak sekali seperti industri

farmasi, biokimia, bioteknologi, biomedikal, pangan, kertas, tekstil, pertanian, dan

kesehatan serta pembuatan edible film sebagai pengemas ataupun coating pada

berbagai produk makanan, sayur-sayuran, dan buah-buahan (Restuati, 2008).

Chitin yang belum dimanfaatkan sebesar 56.200 metrik ton/tahun. Menurut

hasil survei Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) menunjukkan bahwa

daerah Jabotabek tersedia sekitar 100 ton/bulan cangkang udang kering setara satu

ton chitin, dikonversikan ke dalam nilai mata uang, maka akan diperoleh devisa

sebesar US$ 65 ribu/bulan atau US$ 780/tahun (Amri, 2008).

Dengan memanfaatkan cangkang udang menjadi chitin dan chitosan dapat

dijadikan sebagai pengawet alami untuk berbagai produk makanan, sayur-sayuran,

dan buah-buahan. Tentu saja ini sangat menguntungkan karena bernilai ekonomi

(7)

2.3. Chitosan

2.3.1. Pengertian Chitosan

Gambar 2.1 Serbuk Chitosan

Chitosan yaitu poly-D-glucosamine (tersusun lebih dari 1000 unit glukosamin

dan asetilglukosamin) dengan berat molekul lebih dari satu juta ton, merupakan

dietary fiber (serat yang bisa dimakan) kedua setelah selulosa. Chitosan mempunyai

nama lain selain Chitin yaitu Chitosan Askorbat, NCarboxybutyl Chitosan. Chitosan

diketahui baik untuk kemampuan antimikrobakteri. Volume produksinya di alam

bebas menempati peringkat kedua setelah serat (Swastawati, 2008).

Diketahui bahwa Senyawa ini dapat ditemukan pada cangkang udang,

kepiting, mollusca, serangga, annelida serta beberapa dinding sel jamur dan alga.

Hasil modifikasi chitosan menghasilkan sifat dan manfaat yang spesifik. Secara

komersial telah menghasilkan inovasi diberbagai bidang seperti; industri pangan,

kosmetika, pertanian, farmasi, pengolahan limbah dan penjernihan air (Purwaningsih,

(8)

Chitosan merupakan salah satu polisakarida kationik alami yang diperoleh

dari deasetilasi chitin yang banyak terdapat di alam. Chitin dapat diperoleh dari

crustacean atau berbagai fungi. Chitin merupakan bentuk molekul yang hampir sama

dengan selulosa, yaitu suatu bentuk polisakarida yang dibentuk dari molekul-molekul

glukosa sederhana yang identik (Setyasih, 2009).

Marganof (2002) menjelaskan bahwa chitin merupakan polimer linier yang

tersusun oleh 2000-3000 monomer n-asetil D-glukosamin dalam ikatan ß(1-4) atau

2-asetamida-2-deoksi-D-glukopiranol dengan rumus molekul (C8H13NO5)n. Chitin

mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut dalam air,

asam anorganik encer, dan asam-asam organik, tetapi larut dalam larutan dimetil

asetamida dan litium klorida.

Gambar 2.2. Struktur Chitosan

(9)

2.3.2. Tahapan Pembuatan Chitin dan Chitosan

Reaksi pembentukan chitosan dari chitin merupakan reaksi hidrolisa suatu

amida oleh suatu basa. Chitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai

basanya.Mula-mula terjadi reaksi adisi, dimana gugus OH- masuk ke dalam gugus

NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan suatu

amida yaitu chitosan (Swastawati, 2008).

Chitin merupakan poli (2-asetamido-2-deoski-β-(1->4)-D-glukopiranosa)

yang paling melimpah di alam setelah selulosa. Chitin tidak beracun dan bahkan

mudah terurai secara hayati (biodegradable). Bentuk fisiknya merupakan padatan

amorf yang berwarna putih. Keberadaan chitin di alam umumnya terikat dengan

protein, mineral, dan berbagai macam pigmen (Sugita, 2009). Chitin banyak dijumpai

pada jamur, crustacea, insecta, mollusca dan arthropoda. Dalam cangkang udang,

Chitin terdapat sebagai mukopoli sakarida yang berikatan dengan garam-garam

anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3), protein dan lipida termasuk

pigmen-pigmen (Wardaniati, 2009).

Chitosan adalah senyawa organik turunan chitin, berasal dari biomaterial

chitin yang dapat diperoleh dari deasetilasi chitin. Bentuk fisiknya merupakan

padatan amorf yang berwana putih kekuningan ( Sugita, 2009). Untuk memperoleh

chitin dari cangkang udang melibatkan proses deproteinasi ( penghilangan protein)

dan demineralisasi ( penghilangan mineral). Sedangkan untuk mendapatkan chitosan

dilanjutkan dengan proses deasetilasi ( penghilangan gugus asetil) (Ferdiansyah,

(10)

Mekanisme sederhana sintesis chitosan dari chitin dapat kita lihat pada Gambar 2.3.

NaOH Deasetilasi

Gambar 2.3. Mekanisme Sederhana Sintesis Chitosan Dari Chitin

Sumber : Shahidi. (1999). Aplication of Chitin and Chitosan. Trends in Food Science and Technology. vol 10, no 2.

Deproteinasi chitin merupakan reaksi hidrolisi dalam suasana asam dan basa.

Umumnya hidrolisis dilakukan dalam suasana basa dengan menggunakan larutan

NaOH. Demineralisasi secara umum dilakukan dengan larutan HCL atau asam lain

seperti H2SO4 pada kondisi tertentu. Keefektifan HCL dalam melarutkan kalsium

10% lebih tinggi daripada H2SO4. Hal yang terpenting dalam tahap penghilangan

mineral adalah jumlah asam yang digunakan. Secara stoikiometri, perbandingan

antara padatan dan pelarut dapat dibuat sama atau dibuat berlebih pelarutnya agar

reaksinya berjalan sempurna. Urutan deproteinasi dan demineralisasi juga berperan

penting. Deproteinasi sebaiknya dilakukan lebih dahulu jika protein yang terlarut

akan dimanfaatkan lebih lanjut. Deproteinasi pada tahap awal dapat

memaksimumkan hasil dan mutu protein serta mencegah kontaminasi protein pada

(11)

NaOH atau KOH. Deasetilasi chitin akan menghilangkan gugus asetil dan

menyisakan gugus amino yang bermuatan positif, sehingga chitosan akan bersifat

polikationik. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari polimer chitin, interaksi

antar ion dan ikatan hidrogen dari chitosan akan semakin kuat (Wardaniati, 2011).

Diagram Alir Pembuatan Chitosan

Cangkang Udang

- Cuci air dingin - Cuci air panas

- Dikeringkan dan dihaluskan

- Direndam dalam larutan NaOH 1M perbandingan 1:5 (g rserbuk/ml NaOH) diaduk 1 jam

- Dipanaskan 90°C selama 1 jam

- Didinginkan dan dicuci dengan air sampai pH netral - Dikeringkan

- Cangkang udang berupa serbuk hasil deproteinasi direndam dalam larutan HCL 1M perbandingan 1:10 (gr serbuk/ml NaOH) diaduk 1 jam

- Dipanaskan 90°C selama 1 jam - Didinginkan dan disaring

- Dicuci dengan air sampai pH netral - Dikeringkan

(12)

-2.3.3. Sifat Fisik dan Kimia Chitosan

Sifat dan penampilan produk chitosan dipengaruhi oleh perbedaan kondisi,

seperti jenis pelarut, konsentrasi, waktu, dan suhu proses ekstraksi. Chitosan

berwarna putih kecoklatan. Chitosan dapat diperoleh dengan berbagai macam bentuk

morfologi diantaranya struktur yang tidak teratur, bentuknya kristalin atau

semikristalin. Selain itu dapat juga berbentuk padatan amorf berwarna putih dengan

struktur kristal tetap dari bentuk awal chitin murni (Haliman, 2008).

Chitin memiliki sifat biologi dan mekanik yang tinggi diantaranya adalah

biorenewable, biodegradable, dan biofungsional. Chitosan mempunyai rantai yang

lebih pendek daripada rantai chitin. Kelarutan chitosan dalam larutan asam serta

viscositas larutannya tergantung dari derajat deasetilasi dan derajat degradasi polimer.

Terdapat dua metode untuk memperoleh chitin , chitosan dan oligomernya dengan

berbagai DD, polimerisasi, dan berat molekulnya (BM) yaitu dengan kimia dan

enzimatis (Ramadhan,dkk,2010).

Suatu molekul dikatakan chitin bila mempunyai derajat deasetilasi (DD)

sampai 10% dan kandungan nirogennya kurang dari 7%. Dan dikatakan chitosan bila

nitrogen yang terkandung pada molekulnya lebih besar dari 7% berat dan DD lebih

dari 70% (Zainab, 2010).

Chitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Bila disimpan dalam jangka

waktu yang relatif lama pada suhu sekitar 100°F maka sifat keseluruhannya dan

viskositasnya akan berubah. Bila chitosan disimpan lama dalam keadaan terbuka

(13)

berkurang. Suatu produk dapat dikatakan chitosan jika memenuhi beberapa standar

seperti tertera pada Tabel 2.1

Tabel 2.1. Standard Chitosan

Deasetilasi ≥ 70 % jenis teknis dan

> 95 % jenis pharmasikal

Warna Putih sampai kuning pucat

Sumber : Muzzarelli (1985) dan Austin (1988)

Dua faktor utama yang menjadi ciri dari chitosan adalah viskositas atau berat

molekul dan derajat deasetilasi. Oleh sebab itu, pengendalian kedua parameter

tersebut dalam proses pengolahannya akan menghasilkan chitosan yang bervariasi

dalam penerapannya di berbagai bidang. Misalnya kemampuan chitosan membentuk

gel dalam N-methyl morpholine-N-oxide, belakangan ini telah dimanfaatkan untuk

formulasi obat. Derajat deasetilasi dapat didefinisikan sebagai rasio

2-amino-2-deoxy-D-glucopiranosa dan 2-acetamido-2-deoxy-D-glukopyranose, dan

menunjukkan sejauh mana proses deasetilasi berjalan. Derajat deasetilasi dan berat

molekul berperan penting dalam kelarutan chitosan, sedangkan derajat deasetilasi

sendiri berkaitan dengan kemampuan chitosan untuk membentuk interaksi isoelektrik

(14)

Chitosan dapat dapat berinteraksi dengan bahan-bahan yang bermuatan,

seperti protein, polisakarida, anionik, asam lemak, asam empedu dan fosfolipid.

Chitosan larut asam dan larut air mempunyai keunikan membentuk gel yang stabil

dan mempunyai muatan dwi kutub, yaitu muatan negatif pada gugus karboksilat dan

muatan positif pada gugus NH (Rokhati, 2006).

Menurut Wibowo (2006), kelarutan chitosan dipengaruhi oleh tingkat

ionisasinya, dan dalam bentuk terionisasi penuh, kelarutannya dalam air meningkat

karena adanya jumlah gugus yang bermuatan. Sebagai antibakteri, chitosan memiliki

sifat mekanisme penghambatan, dimana chitosan akan berikatan dengan protein

membran sel, yaitu glutamat yang merupakan komponen membran sel. Selain

berikatan dengan protein membraner, chitosan juga berikatan dengan fosfolipid

membraner, terutama fosfatidil kolin (PC), sehingga meningkatkan permeabilitas

inner membran (IM). Naiknya permeabilitas IM akan mempermudah keluarnya

cairan sel. Pada E. coli misalnya, setelah 60 menit, komponen enzim ß galaktosidase

akan terlepas. Hal ini menunjukkan bahwa sitoplasma dapat keluar sambil membawa

metabolit lainnya, atau dengan kata lain mengalami lisis, yang akan menghambat

pembelahan sel (regenerasi). Hal ini akan menyebabkan kematian sel (Fahmi, 1997).

2.3.4. Manfaat Chitosan

Chitosan telah digunakan secara luas di industri makanan, kosmetik,

kesehatan, farmasi dan pertanian serta pada pengolahan air limbah. Di industri

makanan, chitosan dapat digunakan sebagai suspensi padat, pengawet, penstabil

warna, penstabil makanan, bahan pengisi, pembentuk gel, tambahan makanan hewan

(15)

Chitosan dan chitin mempunyai potensi yang dapat digunakan baik pada

berbagai jenis industri maupun pada bidang kesehatan. Sebagai contoh, untuk

penjernihan air diperlukan mutu chitin dan chitosan yang tinggi sedangkan untuk

penggunaan di bidang kesehatan diperlukan kemurnian yang tinggi (Sari,2008).

Chitosan dan turunannya telah menarik perhatian sebagai bahan untuk

digunakan dalam bidang obat-obatan dan kesehatan. Chitin dan Chitosan

menunjukkan aktivitas antibakteri, antimetastik, antiurikemik dan antiosteoporotik

menunjukkan potensi yang besar dalam meredakan dan mencegah penyakit atau

memberi kontribusi terhadap kesehatan yang baik. Material yang dapat terurai dan

nontoksik dapat mengaktifkan pasien menahan mencegah infeksi dan mempercepat

penyembuhan luka ( Kaban, 2009).

Di industri makanan, chitosan dapat digunakan sebagai suspensi padat,

pengawet, penstabil warna, penstabil makanan, bahan pengisi, pembentuk gel,

pembentuk tekstur, pengental dan pengemulsi produk olahan pangan , flavor, zat gizi

antimikroba, antijamur dan sebagainya ( Haliman, 2010).

Di dalam pangan chitosan dapat dijadikan sebagai bahan antimikroba untuk

memperpanjang waktu penyimpanan makanan karena chitosan mengandung enzim

lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat pertumbuhan

mikroba ( Wardaniati, 2009).

Fungsinya sebagai antimikroba dan antijamur juga diterapkan dibidang

kedokteran. Chitin dan chitosan dapat mencegah pertumbuhan Candida albicans dan

Staphvcoccus aureus. Selain itu, biopolimer tersebut juga berguna sebagai

(16)

pembuat lensa kontak, aditif kosmetik, membran dialisis, bahan shampoo dan

kondisioner rambut, zat hemostatik, penstabil liposom, bahan ortopedik, pembalut

luka dan benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinggi daya kekebalan

antiinfeksi. Sementara di bidang pertanian chitin dan chitosan digunakan antara lain

untuk pencampur ransum pakan ternak, pestisida, herbisida, virusida tanaman, dan

deasidifikasi buah-buahan, sayuran dan penjernih sari buah ( Sugita, 2009).

Chitosan diketahui dapat menginduksi respons ketahanan tanaman terhadap

infeksi patogen (Hadrami et al. 2010). Selain itu, chitosan dapat digunakan untuk

pelapis buah tomat (Sari, 2008) dan leci (Dong et al. 2004). Chitosan dapat

menginduksi enzim kitinase yang dapat mendegradasi chitin, yang merupakan

penyusun utama dinding sel cendawan sehingga dapat digunakan sebagai fungisida

(Ghaouth et al. 1991). Menurut Pamekas (2009), chitosan mampu menghambat

pertumbuhan Colletotrichum musae melalui penghambatan perkecambahan

konidium, memperkecil lebar hifa, memperpendek ruas hifa, dan menyebabkan hifa

lisis.

Perlakuan chitosan secara umum mampu menekan infeksi C. gloeosporioides

secara in vitro dengan THR yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya

konsentrasi chitosan yang digunakan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Rogis et

al. (2007) yang menyebutkan bahwa semakin tinggi konsentrasi chitosan yang

digunakan maka semakin besar pula penghambatan terhadap pertumbuhan C. musae.

Secara in vivo, konsentrasi chitosan yang efektif untuk menekan kejadian dan

(17)

Chitosan sebagai pelapis pada permukaan buah pepaya dapat menghambat

proses respirasi pada tingkat yang sangat rendah. Respirasi rendah dapat

mengakibatkan pemecahan pati termasuk gula berjalan lambat sehingga semakin

rendah respirasi buah maka proses kematangan buah semakin lambat (Suhardjo,

1992). Daya simpan buah menunjukkan besarnya potensi pemanfaatan kitosan dalam

mendukung peningkatan kualitas dan kuantitas buah-buah yang diekspor dari

Indonesia.

Tabel 2.2. Penggunaan Chitosan dan Turunannya Dalam Industri Pangan

Penggunaan Contoh

Antimikroba Bakterisidal, fungisidal, pengukur kontaminasi jamur pada komoditi pertanian.

Edible film Mengatur perpindahan uap antara makanan dan lingkungan sekitar, menahan pelepasan zat-zat antimikroba, antioksidan, nutrisi, flavor, dan obat, mereduksi tekanan parsial oksigen, pengatur suhu, menahan proses browning enzimatis pada buah.

Bahan aditif Mempertahankan flavor alami, bahan Pengontrol tekstur, bahan pengemulsi, bahan pengental, stabilizer, dan penstabil warna.

(18)

2.3.5. Kualitas Chitosan

Chitosan merupakan salah satu biomaterial yang paling menjanjikan untuk

menggantikan bahan sintetis, terutama untuk makanan dan aplikasi kemasan.

Chitosan merupakan polycation yang kepadatan muatan tergantung pada derajat

deasetilasi dan pH. Dengan kualitas chitosan yang baik maka juga akan mendapatkan

chitosan yang memiliki keunggulan dibandingkan biomaterial lain, karena pada

chitosan ini sangat antimikroba. Edible film yang terbuat dari chitosan memiliki daya

tarik yang baik dengan adanya alkilasi. Diketahui bahwa edible film dari chitosan ini

memiliki kecenderungan untuk mengkarakterisasi chitosan sebagai bakteriostatik

daripada bakterisida (Fahmi, 1997).

Kualitas chitosan yang baik memiliki pH rendah dengan pH kurang lebih 6,3.

Keunggulan chitosan ialah antimikroba dan didapatkan dari sifat permeabilitas pada

dinding membran, sehingga terjadi ketidakseimbangan osmotik internal dan

akibatnya menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Chitosan edible film

merupakan sifat penghalang yang baik terhadap gas dan lipid tetapi kurang baik

apabila untuk menghalangi uap air. Alkilasi adalah suatu bahan yang dapat

mengurangi rantai dalam dan luar hydrogen, mengelastiskan molekul dan

meningkatkan daya tahan terhadap uap air. Dalam edible film chitosan ini,

mengandung gliserol yang akan menghasilkan edible film dengan kemampuan

rentang yang tinggi dan meningkatkan tingkat permeabilitas (baik oksigen dan air).

Chitosan edible film ini telah terbukti efektif dalam meningkatkan umur simpan dari

(19)

2.4. Chitosan Tidak Berbahaya Untuk Dikonsumsi

Chitosan adalah serbuk yang dihasilkan dari deasetilasi chitin, senyawa yang

banyak diperoleh di kerangka luar (eksoskeleteon) hewan Crustacea seperti udang,

kerang, dan kepiting (Rhamnosa, 2006). Serbuk yang telah dilepaskan asetilnya

merupakan zat murni, tinggi sifat basanya, serta mengandung banyak molekul

glukosa. Dalam chitosan terdapat unsur butylosar yang bermanfaat bagi tubuh

manusia. Butylosar yang telah didapatkan itu hanya larut dalam asam encer dan

cairan tubuh manusia. Dengan demikian, butylosar dapat diserap oleh tubuh. Zat itu

merupakan satu-satunya selulosa yang dapat dimakan. Zat ini mempunyai muatan

positif yang kuat, dan dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Selain itu,

zat ini mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun ( Purwanti,

2010).

Selain telah memenuhi standard secara mikrobiologi ditinjau dari segi

kimiawi juga aman karena dalam prosesnya chitosan cukup dilarutkan dengan asam

asetat encer (1%) hingga membentuk larutan chitosan homogen yang relatif lebih

aman ( Wardaniati, 2009).

Masalah utama yang dihadapi dalam memproduksi chitin dan chitosan di

Indonesia adalah kualitas produk masih rendah, kontinuitas suplainya belum pasti dan

belum bisa diakses oleh semua kalangan . Selain itu banyak masyarakat yang belum

mengetahui fungsi dari chitin-chitosan ( Swastawati, dkk, 2008).

Jurnal Jonathan Rhodes dan Bob Rastall menyebutkan tentang paten produk di

Rusia yang menggunakan chitosan sebagai pengawet untuk kaviar, yang dinyatakan

(20)

2006). Di Indonesia produksi chitosan dalam skala relatif besar mulai diujicobkan CV

Dinar yang berlokasi di sebuah kawasan nelayan di Jl. Raya Dadap, Tangerang

Banten ( Anonimous, 2006).

2.5. Stroberi (Fragaria x ananassa Duch)

2.5.1. Asal Usul Buah Stroberi (Fragaria x ananassa Duch)

Gambar 2.4 Buah Stroberi

Wilhelm dan Sagen (1974) menerangkan pada bukunya bahwa, stroberi

merupakan jenis tanaman berbunga dalam keluarga mawar Rosaceaea, berwarna

merah dan buahnya dapat dikonsumsi, dan dikembang biakkan dengan baik di daerah

Amerika Utara. Dalam bahasa latin buah ini disebut Fragra yang berarti wangi.

Charles Linneans lah orang pertama yang memberikan nama spesies Fragaria untuk

buah ini. Di Perancis, Italia, dan Spanyol buah ini disebut Fraise yang juga memiliki

makna yang sama yaitu wangi, sementara di Amerika Utara disebut buah

Wuttahimheash atau berry hati (Budiman, 2006).

Stroberi pertama kali digambarkan dalam literatur sekitar 1000 AD, dan

(21)

terjadi antara 234-149 SM dalam tulisan-tulisan Cato, Senator Romawi. Stroberi

tumbuh liar di Italia sejak 234 SM dan ditemukan di Virginia oleh orang Eropa

pertama ketika kapal mereka mendarat di sana pada 1588. Pada zaman Yunani kuno

buah ini diangkat sebagai lambang dewi cinta (Rukmana, 1998).

Etimologi dari asal-usul nama stroberi, di antaranya dari kata straw(sedotan),

sebagai gambaran dari kegiatan tukang kebun yang menggunakan sedotan untuk

menanam buah ini dan melindunginya dari proses pembusukan, juga dari jaman

Anglo-Saxon dari kata strew (menyebar di sekelilingnya). Deskripsi pertama kali

menggambarkannya untuk penggunaan tanaman obat dan bukan untuk manfaat buah.

Untuk Periode waktu abad ke-12 Saint Hildegard von Binger, seorang kepala

biara, berpendapat bahwa stroberi tidak cocok untuk dimakan, fakta bahwa mereka

tumbuh dekat dengan tanah dan mungkin terkontaminasi oleh hewan ular atau katak.

Bersama dukungan teorinya dan beberapa tokoh politik lokal, banyak orang

menghindari buah ini dan popularitasnya terus menurun ( Budiman, 2006).

Pada awal 1600, koloni pertama Amerika membawa buah ini ke Amerika.

Tanaman Stroberi yang ditemukan di Amerika Utara terkenal lebih unggul dari

varietas Eropa dalam ukuran, rasa, dan keindahan. Stroberi mulai dijual bebas di

pasar London sekitar 1831. Kebanyakan di panen dari ladang terdekat atau hutan, dan

bukan dari area produksi komersil. Di Inggris dan daratan Eropa konsumsi stroberi

menjadi lebih populer. Mulai dari kalangan rakyat biasa hingga aristokrat memiliki

lahan kecil di rumah mereka untuk menanam tumbuhan ini. Sementara Perancis

(22)

Setelah 1860 stroberi banyak ditanam dan di budidayakan di California ,dan

sejak 1900 stroberi mulai ditanam diberbagai negara. Hari ini lebih dari 25.000 hektar

stroberi ditanam di Amerika Utara,dan 80 % di Amerika Serikat (Rukmana, 1998).

2.5.2. Klasifikasi Buah Stroberi

Klasifikasi botani tanaman stroberi adalah sebagai berikut (Budiman, 2006) :

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Keluarga : Rosaceae Genus : Fragaria Spesies : Fragria spp

(Dikutip dari : GRIN Taxonomy Database, 2008).

Varitas stroberi introduksi yang dapat ditanam di Indonesia adalah

Osogrande, ePajero, Selva, Ostara, Tenira, Robunda, Bogota, Elvira, Grella, Red

Gantle, Dorit dan Sweet Charlie.

2.5.3. Anatomi Buah Stroberi

Anatomi dari tanaman stroberi adalah sebagai berikut (Rukmana, 1998) :

1. Akar (Radix)

Struktur akar tanaman stroberi terdiri atas pangkal akar (collum), batang akar

(corpus), ujung akar (apex), bulu akar (pilus radikalis), dan tudung akar (calyptras).

Tanaman stroberi berakar tunggang (radix primaria), akarnya terus tumbuh

(23)

tersebut hanya menembus lapisan tanah atas sedalam 15 cm-45 cm tergantung jenis

dan kesuburan tanahnya.

2. Batang (Caulis)

Batang tanaman stroberi beruas-ruas pendek dan berbuku-buku, banyak

mengandung air, serta tertutupi pelepah daun tampak seperti rumpun tanpa batang.

Buku-buku batang yang tertutup oleh sisi daun mempunyai kuncup.

3. Cabang Merayap (Stolon)

Stolon adalah cabang kecil yang tumbuh mendatar atau menjalar di atas

permukaan tanah. Penampakan stolon secara visual mirip dengan sulur. Tunas dan

akar stroberi tumbuh membentuk generasi tanaman baru. Stolon yang tumbuh

mandiri dapat segera dipotong atau dipisahkan dari rumpum induk sebagai bibit.

4. Daun (Folium)

Daun tanaman stroberi tersusun pada tangkai yang berukuran agak panjang,

tangkai daun berbentuk bulat, helai daun bersusun tiga. Bagian tepi daun bergerigi,

berwarna hijau, dan berstruktur tipis. Daun dapat bertahan hidup selama 1-3 bulan,

kemudian daun akan kering dan mati.

5. Bunga (Flos)

Stroberi berbunga sempurna. Struktur bunga terdiri Dari 5 kelopak, 5 daun

mahkota, dan ratusan putik.Setiap mahkota bercabang daun mempunyai empat

macam bunga, yaitu 1 bunga primer, 2 buah bunga sekunder, 4 buah tersier.

6. Buah (Fructus)

Buah stroberi umumnya berbentuk kerucut hingga bulat, buah yang tampak

(24)

berubah bentuk menjadi gumpalan daging buah. Buah muda berwarna hijau namun

setelah tua berubah menjadi berwarna merah atau kuning kemerah-merahan.

7. Biji

Biji stroberi berukuran kecil. Biji itu berukuran kecil,terletak dia antara

daging buah .

2.5.4. Spesies Buah Stroberi

Stroberi memiliki lebih dari 20 spesies dan 700 jenis Ada tujuh jenis

kromosom utama yang terdapat di seluruh spesies. Beberapa spesies adalah diploid

yaitu mempunyai dua pasang dari ketujuh kromosom menjadikan jumlahnya 14

kromosom. Yang lainnya merupakan tetraploid yaitu memiliki empat pasang dari

ketujuh kromosom menjadikan jumlahnya 28 kromosom, hexaploid (6 pasang),

oktoploid (8 pasang) atau dekaploid (10 pasang) (Rukmana, 1998).

2.6. Kandungan Buah Stroberi 2.6.1. Senyawa Fitokimia

Sesuai dengan namanya, senyawa fitokimia merupakan senyawa spesifik yang

terdapat pada jenis tanaman tertentu (fito= tanaman) dengan manfaat yang juga

sangat spesifik. Beberapa senyawa fitokimia yang terdapat pada buah stroberi adalah

(Budiman, 2006).

1. Anthocyanin

Anthocyanin tergolong dalam komponen flavonoid. Senyawa ini merupakan

(25)

2. Ellagic Acid

Ellagic acid merupakan persenyawaan fenolik alamiah yang ditemukan pada

beberapa famili tanaman, seperti Rosaceae, Fagaceae, Saxifragaceae, Cunomirutceae

dan Myrotharnnaceae. Jenis tanaman yang banyak mengandung ellagic acid di

antaranya stroberi dan apel. Pada stroberi, senyawa tersebut terdapat pada bagian biji,

daun, dan daging buah.

3. Catechin,Quercetin,dan Kaempferol

Selain ellagic acid, senyawa folifenol lain yang memiliki aktivitas sebagai

antioksidan adalah cateehin, quer-cetin, dan kaempferoL.

2.6.2. Antioksidan

Antioksidan dapat didefinisikan sebagai suatu zat yang dapat menghambat /

memperlambat proses oksidasi. Oksidasi adalah jenis reaksi kimia yang melibatkan

pengikatan oksigen, pelepasan hydrogen, atau pelepasan elektron. Proses oksidasi

adalah peristiwa alami yang terjadi di alam dan dapat terjadi dimana-mana tak

terkecuali di dalam tubuh (Sari, 2008).

2.6.3. Vitamin & Mineral

Vitamin dan mineral yang terdapat di dalam buah stroberi ( Budiman, 2006).

1. Vitamin C

Vitamin C adalah salah satu jenis vitamin yang larut dalam air dan memiliki

peranan penting dalam menangkal berbagai penyakit. Vitamin ini juga dikenal

dengan nama kimia dari bentuk utamanya yaitu asam askorbat. Dalam setiap 100 mg

(26)

dibandingkan buah jeruk atau orange. Vitamin C sangat bermanfaat sebagai melawan

infeksi.

2. Vitamin A

Vitamin A adalah vitamin yang dibutuhkan oleh retina mata yang mana

molekulnya menyerap cahaya retina, dan mutlak diperlukan untuk melihat

kedua-cahaya (low scotopic visi) dan penglihatan warna. Dalam 100 gram buah stroberi

mengandung 60 Sl vitamin A.

3. Vitamin B1

Vitamin B1, atau tiamina, adalah vitamin yang terlarut dalam air.Tiamina

disintesis dalam bakteri, fungi dan tanaman. Tiamina berperan sangat vital agar otak

dapat bekerja dengan normal. Dalam 100 mg stroberi mengandung 0,03 mg Vitamin

B1.

4. Mineral

Mineral potensial yang ada di dalam 100 gram buah stroberi adalah 28 mg

kalsium, 27 mg fosfor, 0,8 mg zat besi, 10 mg magnesium, 27 mg potassium, dan 0,7

mg selenium.

Buah stroberi mempunyai kandungan gizi yang tinggi dan komposisi gizi

yang cukup lengkap. Kalori sebanyak 37,00 kal, protein 0,80 g, lemak 0,50 g,

karbohidrat 8,30 g, kalsium 28,00 mg, fosfor 27,00 g, zat besi 0,80mg, vitamin A

60,00 SI, vitamin B1 0,03 mg, vitamin C 60,00 mg, air 89,90 g, bagian yang dapat

(27)

Satu cangkir (144 g) stroberi mengandung sekitar 45 kalori (188 kJ) dan

merupakan sumber vitamin C dan flavonoid yang baik. Berikut ini beberapa

kandungan Gizi dalam satu cangkir (144 g) stroberi dapat dilihat pada tabel 2.3

(28)

2.7. Kerusakan pada Buah Stroberi

Kerusakan buah dapat terjadi sejak buah dipanen hingga proses penyimpanan.

Beberapa proses kerusakan yang terjadi pada buah antara lain (Ghaout, 1991).

a. Browning (Pencoklatan)

Proses pencoklatan atau browning sering terjadi pada buah-buahan, seperti

pisang, pir, salak, pala dan apel begitu juga stroberi. Buah stroberi yang memar juga

akan mengalami proses pencoklatan. Pada umumnya, proses pencoklatan dapat

dibagi menjadi dua, yaitu proses pencoklatan enzimatik dan non enzimatik.

Perubahan warna yang utama pada stroberi disebabkan oleh reaksi browning

(pencoklatan). Reaksi pencoklatan terdiri atas pencoklatan enzimatis dan non

enzimatis. Pencoklatan enzimatis disebabkan oleh aktivitas enzim phenolase dan

oliphenolase. Pada buah stroberi utuh, sel-selnya masih utuh, dimana substrat yang

terdiri atas senyawa-senyawa fenol terpisah dari enzim phenolase sehingga tidak

terjadi reaksi browning. Apabila sel pecah akibat terjatuh/memar atau terpotong

(pengupasan, pengirisan) substrat dan enzim akan bertemu pada keadaan aerob

(terdapat oksigen) sehingga terjadi reaksi browning enzimatis.

Pembentukan warna coklat dikarenakan terjadinya oksidasi senyawa-senyawa

fenol dan polifenol oleh enzim fenolase dan polifenolase membentuk quinon, yang

selanjutnya berpolimerisasi membentuk melanin (pigmen berwarna coklat).

b. Loss Mass (Penyusutan Massa)

Susut (losses) kualitas dan kuantitas dapat terjadi sejak pemanenan hingga

saat dikonsumsi. Besarnya susut sangat tergantung pada jenis komoditi dan cara

(29)

(1) mengetahui faktor biologis dan lingkungan yang berpengaruh terhadap terjadinya

kerusakan, (2) menguasai teknik penanganan pasca panen yang dapat menunda

kelayuan atau kebusukan dan menjaga kualitas pada tingkatan tertentu yang mungkin

dicapai.

c. Laju Respirasi dan Produksi Etilen yang Tinggi

Respirasi adalah proses pemecahan komponen organik (zat hidrat arang,

lemak dan protein) menjadi produk yang lebih sederhana dan energi. Aktivitas ini

ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi sel agar tetap hidup. Berdasarkan

polanya, proses respirasi dan produksi etilen selama pendewasaan dan pematangan

produk nabati dapat dibedakan menjadi dua, yaitu klimakterik dan non-klimakterik.

Komoditi dengan laju respirasi tinggi akan menunjukkan kecenderungan lebih

cepat rusak. Menurunkan laju respirasi sampai batas minimal pemenuhan kebutuhan

energi sel tanpa menimbulkan fermentasi akan dapat memperpanjang umur ekonomis

produk nabati. Manipulasi faktor ini dapat dilakukan dengan teknik pelapisan

(coating), penyimpanan pada suhu rendah, atau memodifikasi atmosfir ruang

penyimpan.

Setelah dipanen, stroberi masih terus melakukan respirasi dan metabolisme,

karena itulah komoditi tersebut dianggap masih hidup. Selama proses respirasi dan

metabolisme berlangsung, buah akan mengeluarkan CO2 dan air serta etilen, serta

mengkonsumsi oksigen yang ada disekitarnya.

d. Laju Transpirasi yang Tinggi

Transpirasi adalah pengeluaran air dari dalam jaringan produk nabati. Laju

(30)

terhadap volume, kerusakan fisik, umur panen) dan faktor eksternal (suhu, RH,

pergerakan udara dan tekanan atmosfir). Transpirasi yang berlebihan akan

menyebabkan produk mengalami pengurangan berat, penurunan daya tarik (karena

layu), nilai tekstur dan nilai gizi. Pengendalian laju transpirasi dilakukan dengan

pelapisan, penyimpanan dingin, atau memodifikasi atmosfir (Ebook Pangan, 2006).

e. Sensitivitas Terhadap Suhu

Pemaparan komoditi pada suhu yang tidak sesuai akan menyebabkan

kerusakan fisiologis pada stroberi yang bisa berupa : (1) freezing injuries, karena

produk disimpan di bawah suhu bekunya; (2) chilling injuries, umum pada produk

tropis yang disimpan di atas suhu beku dan diantara 5 – 15ºC, tergantung sensitivitas

komoditi; (3) heat injuries, terjadi karena paparan sinar matahari atau panas yang

berlebihan. Berdasarkan sensitivitasnya terhadap suhu, dikenal dua golongan produk,

yaitu yang bersifat sensitif dan tidak sensitif terhadap pendinginan. Suhu kritis

stroberi berkisar antara 36 – 38°C jika disimpan melebihi suhu tersebut kerusakan

yang dapat terjadi berupa pencoklatan di bagian dalam, bagian tengah coklat, lembek

dan lepuh.

2.8. Mekanisme Kimia Pengawetan Stroberi Dengan Chitosan

Metode yang digunakan untuk memperpanjang umur simpan buah stroberi

adalah salah satunya dengan pemberian chitosan yang akan membentuk lapisan tipis

atau yang disebut dengan coating. Pemberian lapisan tipis pada permukaan buah

untuk menghambat keluarnya gas, uap air dan menghindari kontak dengan oksigen,

sehingga proses pemasakan dan pencoklatan buah dapat diperlambat, merupakan

(31)

buah ini tidak berbahaya dan dapat ikut dikonsumsi bersama buah, salah satunya

adalah menggunakan chitosan. Menurut Ghaouth dkk (1991) dan Ramadhan (2010)

chitosan adalah salah satu bahan yang bisa digunakan untuk pelapisan buah, yang

merupakan polisakarida berasal dari limbah kulit udang, kepiting, dan yang termasuk

ke dalam Crustaceae. Chitosan merupakan suatu senyawa poli (N-amino-2 deoksi β

-D-glukopiranosa) atau glukosamin hasil deasetilasi kitin/poli (N-asetil-2

amino-2-deoksi β- D-glukopiranosa) yang diproduksi dalam jumlah besar di alam. Penggunaan

chitosan sebagai pelapis dalam buah-buahan dapat menghambat difusi oksigen ke

dalam buah sehingga proses respirasi dapat dihambat.

Chitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba, karena

mengandung enzim lysosimdan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat

pertumbuhan mikroba dan efisiensi daya hambat chitosan terhadap bakteri tergantung

dari konsentrasi pelarutan chitosan. Kemampuan dalam menekan pertumbuhan

bakteridisebabkan chitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu

menghambat pertumbuhan bakteri dankapang (Zainab, 2010).

Mekanisme yang terjadi dalam pengawetan buah stroberi yaitu molekul

chitosan memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan senyawa pada permukaan

cell bakteri kemudian teradsorbi membentuk semacam layer (lapisan) yang

menghambat saluran transportasi sel sehingga sel mengalami kekurangan substansi

untuk berkembang dan mengakibatkan matinya sel. Sehingga dapat mencegah

hilangnya kelembaban produk, memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu,

(32)

alami dan bergizi, serta menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan

penambah aroma yang dapat memperbaiki mutu bahan pangan (Donhowe, 1994).

Selain telah memenuhi standard secara mikrobiologi ditinjau dari segi

kimiawi juga aman karena dalam prosesnya chitosan cukup dilarutkan dengan asam

asetat encer (1%) hingga membentuk larutan chitosan homogen yang relative lebih

aman.Penggunaan coater pada buah segar dapat memperlambat penurunan mutu,

karena metode tersebut dapat digunakan sebagai penahan difusi gas oksigen,

karbondioksida dan uap air serta komponen flavor, sehingga mampu menciptakan

kondisi atmosfir internal yang sesuai dengan kebutuhan produk yang dikemas.

Keuntungan penggunaan coater untuk pelapis buah adalah dapat memperpanjang

umur simpan produk karena coater ini dapat dimakan bersama produk yang

dikemasnya (Rokhati, 2006).

Beberapa penelitian menyebutkan kemampuan film atau coating chitosan

dalam memperpanjang masa simpan dan mengendalikan kerusakan buah dan sayuran

dengan lebih baik, yaitu dengan cara menurunkan kecepatan respirasi, menghambat

pertumbuhan kapang, dan/atau menghambat pematangan dengan mengurangi

produksi etilen dan karbondioksida. Chitosan memiliki kemampuan untuk

membentuk film yang sesuai sebagai pengawet makanan dengan menghambat

patogen psikotrofik membuktikan bahwa coating chitosan (2% chitosan dalam 5%

asam asetat) mampu menghambat penurunan kandungan antosianin dan peningkatan

aktivitas polyphenol oksidase pada penyimpanan leci. Ghaouth dkk (1992) juga

melaporkan bahwa coating chitosan (1% dan 2 % dalam 0.25 N HCl) mengurangi

(33)

chitosan akan lebih keras dan lebih sedikit pigmentasi merah jika dibandingkan

dengan sampel kontrol, setelah disimpan selama 4 minggu pada suhu 20°C.

2.9. Kerangka Konsep

Gambar 2.5. Kerangka Konsep Penggunaan Chitosan Dari Cangkang Udang (Litopenaeus Vannamei) Sebagai Pengawet Alami Untuk Buah Stroberi (Fragaria x ananassa Duch)

Larutan chitosan 0%,

0,5 %, 1%, 1,5 %, 2 %

Stroberi

Pembentukan Edible Coating Chitosan dari

Cangkang Udang

Waktu

simpan, dilihat ciri fisik: Tekstur, bau, warna

Coated Stroberi (Stroberi yang telah terlapisi Chitosan)

Uji

Gambar

Gambar 2.1 Serbuk Chitosan
Gambar 2.2. Struktur Chitosan
Gambar 2.3. Mekanisme Sederhana Sintesis Chitosan Dari Chitin
Tabel 2.1. Standard Chitosan
+5

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui perhitungan nilai rata-rata dan standar deviasi hasil belajar siswa, yaitu hasil belajar siswa kelas VII.3 setelah dilakukan proses belajar dengan metode

Peluang pasar yang masih sangat luas dan teknologi pengolahan TBS yang tidak begitu mahal dan rumit merupakan faktor pemicu perkembangan pabrik kelapa sawit

Dari pengamatan yang dilakukan didapatkan nilai expenditure untuk kegiatan naik turun tangga sebanyak 5 kali sebesar 7kcal/menit dan termasuk pada klasifikasi

Hasil uji statistik nilai t=506 dengan p=616, (>0.05) berarti tidak ada perbedaan yang signifikan rerata arus puncak ekspirasi sesudah senam asma pada

As a polder, the junction to the Cakung Drain at the downstream end needs to be closed and the water is pumped up to the Drain in order to keep the water

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara komunikasi interpersonal dengan produktivitas kerja, di mana yang menjadi subjek penelitian ini adalah para customer service

Lebih dari 50% pasien dengan keluhan disfonia disebabkan oleh lesi jinak pada pita suara.4 Polip pita suara merupakan salah satu lesi jinak yang sering terjadi dan tidak

Atas dasar surat tersebut, kami mohon Saudara untuk dapat kiranya memberikan dana talangan Pengabdian kepada Masyarakat untuk para dosen yang mendapatkan hibah