TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman
Tanaman sorgum dapat diklasifikasikan sebagai berikut Kingdom: Plantae,
Divisio: Spermatophyta, Subdivisio: Angiospermae, Class: Monocotyledonae,
Ordo: Poales, Family: Graminaceae, Genus: Sorghum, Species:
Sorghum bicolor L. (Duljapar, 2000).
Bagian tanaman diatas tanah tumbuh lambat sebelum perakarannya
berkembang dengan baik. Sistem perakarannya terdiri atas akar-akar seminal
(akar-akar primer) pada dasar buku pertama pangkal batang, akar-akar koronal
(akar-akar pada pangkal batang yang tumbuh ke arah atas) dan akar udara
(akar-akar yang tumbuh dipermukaan tanah). Tanaman sorgum membentuk
perakaran sekunder 2 kali lipat dari jagung (http://www.deptan.go.id, 2008).
Batang hermada atau sorgum lurus, berwarna hijau dan beruas-ruas.
Panjang ruas antara 15-20 cm. Diameter batang antara 0,8-1 cm, bila batang di
potong melintang akan tampak bahwa batang tidak berlubang. Warna batang
bagian dalam, putih seperti gabus (Duljapar, 2000).
Luas permukaan daun tanaman sorgum hanya setengah dari daun tanaman
jagung. Permukaan daunnya dilapisi oleh lapisan lilin dan dapat menggulung bila
mengalami kekeringan. Proses evavorasi pada sorgum kira-kira setengah dari
jagung (Departemen Pertanian, 1990).
Yang membedakan jagung dengan sorgum adalah bunga jantan dan betina
berada pada ujung tangkai. Malai dapat lepas dan terbuka, dan relatif tebal.
Warna dari biji sorgum bervariasi tergantung kultivar dan jenisnya ada
yang berwarna putih hingga berwarna kekuningan dari merah hingga berwarna
coklat gelap. Warna pigmen dari biji berasal dari pericarp atau testa bukan dari
endosperm. Endosperm pada sorgum berwarna putih sama seperti yang terdapat
pada jagung putih. Ukuran biji bervariasi tergantung varietas dan jenis dengan
ukuran biji kira-kira 12.000-60.000 biji/pound (Metcalfe and Elkins, 1980).
Syarat Tumbuh Iklim
Sorgum adalah salah satu tanaman yang kuat dan mampu bertahan pada
iklim yang ekstrim lebih dari tanaman serelia lain. Sorgum dapat bertahan pada
bermacam-macam temperatur dari 15,50 C-40,50 C. dengan curah hujan sekitar
35-150 cm pertahunnya (Thakur, 1980).
Sepanjang hidupnya tanaman sorgum memerlukan sinar matahari penuh.
Oleh karena itu, saat tanam yang cocok adalah musim kemarau (Duljapar, 2000).
Menurut hasil penelitian, lahan yang cocok untuk pertumbuhan yang
optimum untuk pertanaman sorgum adalah: suhu optimum 230-300 C,
kelembaban relatif 20% - 40% dan suhu tanah ± 250 C dan ketinggian tempat
≤ 800 m dpl (http://www.deptan.go.id, 2008).
Angin membantu dalam penyerbukan, namun angin yang terlalu kencang
dapat merugikan, karena merusak daun dan mematahkan batang pokok
(Duljapar, 2000).
Tanah
Salah satu yang mendukung pada pengolahan lahan sorgum adalah tanah
pada tanah yang tergenang atau pada tanah rawa. Walaupun sorgum lebih mampu
bertahan pada kondisi air yang tergenang dibandingkan dengan tanaman jagung
namun drainase yang baik lebih cocok ntuk pertumbuhannya (Thakur, 1980).
Selain persyaratan diatas sebaiknya sorgum jangan ditanam di tanah
podsolik merah kuning yang masam, namun untuk memperoleh pertumbuhan dan
produksi yang optimal perlu dipilih tanah ringan atau mengandung pasir dan
bahan organik yang cukup. Tanaman sorgum dapat beradaptasi pada tanah yang
sering tergenang air pada saat banyak turun hujan apabila sistem perakarannya
sudah kuat (http://www.deptan.go.id, 2008).
Sorghum
Sorgum merupakan tanaman yang sangat berpotensi untuk dikembangkan
karena dapat menjadi salah satu tanaman yang mampu memenuhi kebutuhan
pangan, industri dan sumber energi. Sorgum mempunyai potensi sebagai bahan
baku bioetanol yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Sorgum
merupakan tanaman pangan alternative yang sangat produktif dan memiliki
potensi yang cukup baik untuk dikembangkan lebih lanjut. Menurut Gebe (2008)
menyatakan bahwa sorgum mampu menggantikan premium sebagai bahan bakar
minyak alternatif karena batangnya mampu menghasilkan etanol berkadar 96%.
Menurut Singgih dan Hamdani (1998), sorgum merupakan salah satu
tanaman penting sebagai bahan baku pakan ternak. Produksi sorgum perlu
ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan atau pakan. Biji sorgum
memiliki kualitas nutrisi yang sebanding dengan biji-bijian lainnya. Sebagai
perbandingan, biji sorgum mempunyai kandungan nutrisi yang hampir sama
sulit dicari di pasaran. Selanjutnya Ismail dan Kodir (1977), menyatakan bahwa
pembudidayaan tanaman sorgum relatif lebih mudah, tidak memerlukan tanah
yang subur, dan relatif toleran kekeringan. Biji sorgum mengandung 9,8% protein
dan 2,3% lemak sedangkan biji jagung mengandung 9,4% protein dan
4,2% lemak. Oleh karena itu, sorgum layak dipertimbangkan sebagai sumber
pangan dan pakan. Tepung sorgum relatif baik sebagai bahan baku
(Aluko dan Ohegbemi, 1989) atau campuran dengan tepung terigu untuk roti
tawar, roti biasa, atau biskuit. Sorgum dapat pula dimanfaatkan sebagai bahan
baku gula sirup (Mudjisihono, 1991).
Menurut Beti dkk (1990) dan Sudaryono (1996), tantangan pengembangan sorgum meliputi aspek teknologi budidaya dan pascapanen serta jaminan pasar
dan permintaan. Walaupun teknologi budidaya sorgum spesifik lokasi belum
tersedia, teknologi budidaya sorgum hampir sama dengan jagung, sehingga
tantangan yang paling mendasar adalah penyediaan teknologi pasca panen baik
primer maupun sekunder serta jaminan pasar dan permintaan.
Menurut Anonim (1996); Sudaryono (1996), secara umum masalah utama
dalam pengembangan sorgum adalah sebagai berikut:
1) Nilai keunggulan komparatif dan kompetitif ekonomi sorgum relative rendah
dibandingkan komoditas serealia lain.
2) Pascapanen sorgum (peralatan dan pengolahan) pada skala rumah tangga masih
sulit dilakukan.
3) Pangsa pasar sorgum belum kondusif, baik di tingkat regional maupun
4) Penyebaran informasi serta pembinaan usaha tani sorgum di tingkat petani
belum intensif.
5) Biji sorgum mudah rusak selama penyimpanan.
6) Ketersediaan varietas yang disenangi petani masih kurang.
7) Penyediaan benih belum memenuhi lima tepat (jenis, jumlah, mutu, waktu, dan
tempat).
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura (1996), menyatakan
bahwa untuk menciptakan sistem agribisnis dan agroindustri sorgum, ketersediaan
teknologi mutlak diperlukan, yang meliputi teknologi budidaya serta pascapanen/
pengolahan. Dengan demikian terdapat peluang untuk meningkatkan ekspor
sorgum ke luar negeri.
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
Fungsi akar dalam memanfaatkan air dan unsur hara dapat
ditingkatkan salah satunya dengan memberikan mikroorganisme seperti
mikoriza. Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA) sejenis jamur yang
bersimbiosis dengan akar tanaman yang mampu meningkatkan serapan unsur
hara dan meningkatkan efisiensi penggunaan air tanah sehingga mempunyai
laju pertumbuhan vegetatif yang lebih cepat dan resisten terhadap serangan
patogen peningkatan pertumbuhan oleh mikoriza dikarenakan mikoriza
dapat meningkatkan serapan N, P dan, K. Kehadiran mikoriza pada tanah
dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air, meningkatkan nilai tegangan
osmotik sel-sel tanaman pada tanah yang kadar airnya cukup rendah, sehingga
Ada sebagian jenis isolat MVA yang tidak berpengaruh terhadap
pertambahan jumlah daun adalah Gigaspora sp, G. manihotis, Glomus sp. Pada
penelitian ini jenis mikoriza yang dipakai adalah Glomus etunicatum,
Acaulospora sp, Gigaspora sp, G. manihotis dan Glomus sp. Menurut pernyataan
Sitrianingsih (2010), menyatakan bahwa dalam penelitian ini hanya sebagian kecil
jenis mikoriza yang yang memiliki pengaruh terhadap pertambahan jumlah daun
pada tanaman, maka dimungkinkan pemberian MVA tidak memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap pertambahan jumlah daun.
Efektivas setiap jenis CMA selain tergantung dari jenis CMA itu sendiri
juga sangat tergantung dari jenis tanaman dan jenis tanah serta interaksi antara
ketiganya. Menurut Brundrett dkk (1996), bahwa setiap jenis tanaman memberikan tanggap yang berbeda terhadap CMA, demikian juga dengan jenis
tanah, berkaitan erat dengan pH dan tingkat kesuburan tanah. Setiap CMA
mempunyai perbedaan dalam kemampuannya meningkatkan penyerapan hara dan
pertumbuhan, sehingga akan berbeda pula efektivasnya dalam meningkatkan
pertumbuhan tanaman di lapangan.
Menurut Sinwin dkk, (2001) ; dan Sitrianingsih, (2010), yang menyatakan bahwa pengambilan nitrogen, phospor,dan potasium dibatasi oleh tingkat difusi
dari masing-masing nutrien di dalam tanah. Namun dengan adanya MVA dapat
meningkatkan pengambilan nutrient melalui difusi nutrien dari dalam tanah ke
akar karena bidang penyerapan oleh hifa MVA yang lebih luas, sehingga
pertumbuhan tanaman yang diinokulasi MVA akan lebih baik daripada tanaman
Selain faktor unsur hara, faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap
waktu munculnya bunga. Kondisi lingkungan di tempat penelitian pada masa
vegetatif tanaman bersuhu tinggi. Pada suhu yang tinggi kelembaban pun juga
tinggi. Hal ini membuat tanaman sulit berpindah dari fase vegetatif menuju fase
generatif. Pada kondisi ketersediaan air yang tinggi, maka tanaman melakukan
aktivitas maksimal untuk menyerap hara dan air, agar dapat mengakumulasikan
cadangan makanan dan menyimpan energi sebanyak-banyaknya. Dengan air dan
nitrogen yang melimpah, titik tumbuh apikal lebih aktif, sehingga pertumbuhan
vegetatif lebih dominan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sitrianingsih (2010),
yang menyatakan bahwa masa vegetatif terus berlangsung sampai masa generatif
yang diawali dengan pembentukan bunga diikuti pembentukan dan pengisian
buah, pembentukan biji, polong atau sejenisnya, kemudian diakhiri dengan masa
pemasakan. Selain faktor kelembapan juga ada faktor hama yang menghambat
proses munculnya bunga pada tanaman sorgum.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa mikoriza mempunyai
peranan dalam hal pengendalian penyakit tanaman. Menurut Linderman (1988),
menduga bahwa mekanisme perlindungan mikoriza terhadap patogen berlangsung
sebagai berikut: 1) cendawan mikoriza memanfaatkan karbohidrat lebih banyak
dari akar, sebelum dikeluarkan dalam bentuk eksudat akar, sehingga patogen tidak
dapat berkembang, 2) terbentuknya substansi yang bersifat antibiotik yang
disekresikan untuk menghambat perkembangan patogen, 3) memacu
perkembangan mikroba saprofitik disekitar perakaran.
Menurut penelitian Setiadi (1991), salah satu pengaruh positif adanya
air, anakan yang akarnya terinfeksi oleh MVA, cepat pulih dan dapat tumbuh
dengan baik dalam pembibitan, hal ini disebabkan MVA mampu meningkatkan
kapasitas absorbsi air pada tanaman inang. Sedangkan menurut
Sastrahidayat dkk (2001), melaporkan bahwa pada tanaman jagung, akibat pemberian mikoriza MVA Gigospora margarita berat tongkol kering jemur dan berat pipilan kering lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa mikoriza.
Hal ini diakibatkan oleh hifa-hifa external jamur MVA dapat membantu
penyerapan air maupun unsur-unsur hara yang digunakan dalam proses
metabolisme di dalam tubuh tanaman sehingga dapat memacu pertumbuhan
dan perkembangan organ-organ produktif. Inokulasi 10 g spora mikoriza
ditambah tanah bermesilia jamur Scleroderma sp 5% dari volume wadah memberikan pengaruh nyata terhadap diameter batang, tinggi tanaman,
kekokohan semai, kandungan air relatif, indek kualitas semai dan berat
kering total pada bibit meranti merah.
Penelitian Bintoro dkk (2000) dilakukan untuk mengetahui respon tanaman jagung terhadap inokulasi jamur Mikoriza Vesikular Arbuskular dan sludge cair di
tanah Andisol. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa inokulasi mikoriza
memberikan hasil yang terbaik terhadap hampir semua parameter meningkatkan
kandungan P dalam jaringan tanaman, efisiensi penyerapan P, mempercepat umur
berbunga tanaman jagung, meningkatkan N tanah setelah percobaan, dan
meningkatkan hasil tanaman jagung. Sedangkan menurut penelitian yang
dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Tropika (2007), penggunaan mikoriza
sebagai alat biologis dalam bidang pertanian dapat memperbaiki pertumbuhan,
Kompos Kascing
Dewasa ini, pemanfaatan pupuk organik atau yang dikenal dengan istilah
pertanian alami (back to nature farming) dan pupuk hayati banyak dilakukan
untuk mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan pupuk anorganik
sekaligus untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan
pupuk anorganik yang beranalisis tinggi. Salah satu pupuk organik yang banyak
digunakan adalah pupuk kascing (Sirwin dkk, 2007).
Dalam penelitian Hameeda dkk (2007), dosis kompos juga sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan hasil tanaman, karena selain sebagai sumber
unsur hara bagi tanaman, kompos juga sebagai tempat berkembangnya jutaan
mikroorganisme tanah yang bersifat membantu pertumbuhan tanaman. Kompos
menunjukkan perbaikan dalam pertumbuhan tanaman pada dosis 2,5 dan 5 ton per
hektar. Namun, penambahan mikoriza bersama dengan kompos pada konsentrasi
yang lebih tinggi menurunkan pertumbuhan tanaman.
Karbohidrat dihasilkan tanaman dari proses fotosintesis yang bermula dari
karbondioksida. Karbohidrat pada tanaman digunakan sebagai cadangan makanan
untuk pertumbuhan dan dampaknya secara langsung mempengaruhi fisiologis
tanaman. Menurut pernyataan Murbandono (1995), bahwa pemberian kompos
akan memperbaiki sifat fisik tanah yang menyebabkan tanah lebih gembur dan
kandungan airnya lebih tinggi, sehingga proses pengambilan unsur hara dan air
dari akar ke daun berlangsung lebih baik. Dengan terbentuknya daun, maka
aktifitas fotosintesis akan berlangsung, sehingga dibutuhkan unsur hara yang
tersedia bagi tanaman. unsur hara yang tersedia akan menunjang pertumbuhan
Basuki (2000), menyatakan bahwa kompos digunakan dengan maksud
memperbaiki sifat-sifat fisik tanah, yaitu memperbaiki struktur tanah, daya resap
air hujan, daya mengikat air, tata udara tanah dan ketahanan terhadap erosi yang
semakin baik. Pemberian pupuk kompos memberi respon yang positif terhadap
pertumbuhan tanaman.
Bahan organik mempunyai peranan penting dalam mempertahankan
kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah. Tanah yang kaya bahan organik
bersifat lebih terbuka/sarang sehingga aerasi tanah lebih baik dan tidak mudah
mengalami pemadatan dibandingkan dengan tanah yang mengandung bahan
organik rendah. Tanah yang kaya bahan organik relatif lebih sedikit hara yang
terfiksasi mineral tanah sehingga yang tersedia bagi tanaman lebih besar. Hara
yang digunakan oleh mikroorganisme tanah bermanfaat dalam mempercepat
pelepasan hara (Susanto, 2002).
Tanaman telah dapat menyerap unsur hara yang tersedia, jadi walaupun
diberi unsur hara dengan dosis yang lebih tinggi, kemampuan tanaman tersebut
untuk menyerap lagi tidak bisa sehingga terlihat perbedaannya. Dimana
kandungan P dalam tanah tinggi dan pemberian pupuk kascing yang diberi juga
tinggi sehingga membuat menurunkan hasil produksi yang dihasilkannya. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Tuherkih dan Sipahutar (2008), yang menyatakan
bahwa pemupukan P yang dilakukan terus menerus tanpa menghiraukan kadar P
tanah yang sudah jenuh telah pula mengakibatkan menurunnya respon tanaman
terhadap pemupukan P. Dimana peran unsur P berperan dalam pengisian biji. Hal
ini sejalan dengan pernyataan Kartasapoetra dan Sutedja (2005), yang menyatakan
pertumbuhan tanaman muda menjadi tanaman muda umumnya, dapat
mempercepat pembungaan dan pemasakan buah, biji atau gabah dapat
meningkatkan produksi biji-bijian.
Kompos merupakan salah satu bahan organik yang cocok dimanfaatkan
untuk peningkatan produksi tanaman, dan pada dosis tertentu dimana kadar dan
organik sangat menentukan kecocokan alami untuk pertanaman dan menghasilkan
senyawa yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan
pernyataan dari Ngadiman dkk (1992), yang menyatakan bahwa masukan bahan organik ke dalam tanah (pupuk organik) selain memasok berbagai macam hara
tanah juga berdaya membenahi sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Kadar dan
kualitas bahan organik didalam tanah sangat menentukan kecocokan alami untuk
pertanaman, sehingga harkatnya perlu dipertahankam pada kisaran tertentu
dengan pasokan bahan organik. Ini didukung juga dari literatur Isroi (2007) yang
menyatakan bahwa kompos memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan
kandungan bahan organik tanah. Aktivitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi
tanaman akan meningkat dengan penambahan kompos. Aktivitas mikroba ini
membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah dan menghasilkan
senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan organ
vegetatif akan mempengaruhi hasil tanaman. Semakin besar atau kecilnya
pertumbuhan organ vegetatif yang berfungsi sebagai penghasil asimilat (source)
akan meningkatkan atau menurunkan pertumbuhan organ pemakai (sink) yang
akhirnya akan memberikan hasil produksi yang semakin besar atau sedikit juga.
Kompos merupakan sisa-sisa organik yang telah mengalami dekomposisi
berasal dari bermacam-macam sumber. Dengan demikian, kompos merupakan
sumber bahan organik dan nutrisi tanaman. Kompos kascing memiliki spesifikasi