BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang disajikan dalam bab ini terdiri atas pengamatan
selintas dan pengamatan utama. Dalam penelitian ini tanaman diamati
berdasarkan parameter pertumbuhan serta parameter hasilnya. Adapun parameter
pengamatan pertumbuhan adalah penghitungan persentase benih yang tumbuh,
penghitungan umur berbunga, pengukuran tinggi tanaman, penghitungan jumlah
anakan, penghitungan umur panen, dan penghitungan persentase tanaman rebah.
Sedangkan parameter hasilnya diamati berdasarkan pengukuran panjang malai,
penghitungan jumlah spikelet, penghitungan jumlah biji yang tidak rontok per
malai, penghitungan jumlah biji rontok per malai, penghitungan jumlah biji
hampa per malai, pengukuran bobot biji per meter persegi, pengukuran bobot biji
empat baris tengah, pengukuran bobot 1000 biji dan pengukuran bobot 1 liter biji.
Seluruh data dalam penelitian ini dianalisis menggunakan analisis sidik ragam dan
uji beda nyata jujur (BNJ) pada taraf kepercayaan 95%.
4.1. Pengamatan Selintas
Pengamatan selintas merupakan pengamatan yang hasil datanya digunakan
untuk menunjang pengamatan utama. Data yang diperoleh sebagian besar tidak
diuji dengan analisis statistik, kecuali data pengamatan hama tanaman yang diuji
dengan analisis sidik ragam.
Berdasarkan penggunaan Software Google Earth lokasi penanaman Dusun
Plalar, Desa Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa
Tengah diketahui memiliki ketinggian 1.255 meter diatas permukaan laut.
Sedangkan analisis tanah yang telah dilakukan menunjukkan lahan penelitian
bertekstur liat. Lahan ini telah kehilangan topsoilnya karena dibuldozer untuk
dipergunakan sebagai lahan parkir. Namun proyek lahan parkir tidak berlanjut dan
digunakan untuk kegiatan pertanian kembali. Lahan yang digunakan dalam
penelitian ini sebelumnya merupakan lahan bera (tidak ditanami). Sedangkan
tanaman yang ada disekitar lahan penanaman selama penelitian berlangsung
20 Curah hujan merupakan salah satu kondisi alam yang turut mempengaruhi
pertumbuhan tanaman gandum. Total curah hujan selama penelitian ini
berlangsung (Februari 2016-Juli 2016) adalah 2.322 mm serta temperaturnya
berkisar antara 180C – 280C. Sedangkan menurut Djaenudin, dkk (2003) selama
siklus hidupnya tanaman gandum akan tumbuh baik pada curah hujan antara
350-1250 mm dan temperatur antara 100C – 250C. Berdasarkan kriteria tersebut maka
dapat dilihat bahwa curah hujan selama penelitian berlangsung tidak mendukung
pertumbuhan tanaman gandum.
Keterangan: Data curah hujan diperoleh dari stasiun klimatologi BPPP, Kec. Getasan dari bulan Februari 2016-Juli 2016
Persentase tanaman yang terserang hama dihitung berdasarkan jumlah
tanaman yang terserang hama dibagi jumlah tanaman dalam setiap petak dikalikan
seratus persen. Adapun hama yang menyerang selama penelitian berlangsung
antara lain, penggerek batang (Scirpophaga inotata), walang sangit (Leptocorisa
acuta) dan Aphids. Pengendalian hama pernah dilakukan dengan cara
menyemprotkan insektisida Interprid 25 wp yang berbahan aktif Imidakloprid
25%. Jumlah tanaman yang terserang hama berkisar antara 0-4%, dan hal tersebut
tidak terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman gandum.
Tabel 4.2 Persentase Tanaman Yang Terserang Hama Tanaman Terserang Hama
Perlakuan Scirpophaga inotata Leptocorisa acuta Aphids
P01 0,13 b 1,67 a 1,15 a
P02 0,00 a 1,56 a 0,69 a
21
Tanaman Terserang Hama
Perlakuan Scirpophaga inotata Leptocorisa acuta Aphids
P04 0,00 a 0,63 a 0,69 a perlakuan, sedangkan angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan.
4.2. Pengamatan Utama 4.2.1 Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan pertambahan baik jumlah maupun ukuran sel,
yang bersifat irrevesible atau tidak dapat kembali ke jumlah dan ukuran
sebelumnya (Campbell, Reece, dan Mitchell, 2003). Dalam penelitian ini
pertumbuhan diamati dengan mengukur komponen komponen pertumbuhan.
Komponen petumbuhan dibatasi dengan penghitungan persentase benih yang
tumbuh, pengukuran tinggi tanaman, penghitungan jumlah anakan, penghitungan
umur berbunga, penghitungan umur panen, dan penghitungan persentase tanaman
rebah.
22 perlakuan, sedangkan angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan.
Persentase benih yang tumbuh diukur saat benih sudah ditanam di lahan
pada saat dua minggu setelah tanam. Pengukuran persentase benih dilakukan
dengan mengukur panjang larikan dari tanaman yang tumbuh dibagi dengan
panjang total larikan dalam setiap petak kemudian dikalikan seratus persen.
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa genotip P04 nyata lebih banyak persentase
benihnya yang tumbuh dibandingkan dengan P13, namun tidak berbeda nyata
dengan genotip lainnya. Tabel 4.3 menunjukkan pula bahwa genotip P3, P6, P07,
P11, P12, P13, P14, P15, memiliki persentase benih yang tumbuh kurang dari
50%. Rendahnya persentase benih yang tumbuh diduga disebabkan pada awal
tanam, terjadi curah hujan yang tinggi dan penggenangan air diantara alur tanam.
Curah hujan yang tinggi selama awal penanaman benih (dapat dilihat pada
lampiran 1, tanggal 22 februari 2016 – 6 maret 2016), sedangkan penggenangan
air dapat dilihat adanya bekas genangan air seperti pada gambar 4.1. Curah hujan
yang tinggi akan menyebabkan pori tanah lebih cepat jenuh dengan air serta
mudah menimbulkan penggenangan (Hardjowigeno, 2007). Genangan air
mengakibatkan pori pori tanah jenuh akan air serta tidak menyisakan ruang bagi
udara tanah. Hal ini akan berdampak tidak tersedia oksigen dalam tanah untuk
respirasi akar. Dalam kondisi tergenang kemampuan katabolisme anaerob
tanaman gandum dan triticale lebih rendah daripada tanaman padi (Thomson dkk.,
1992). Hal tersebut dikarenakan ruang interselluler dan aerenchyma akar tanaman
23 kurang efisien daripada tanaman padi (Thomson dkk., 1992). Genangan air
tersebut mengakibatkan persentase benih yang tumbuh pada genotip-genotip
tersebut diatas menjadi rendah. Gandum merupakan tanaman yang tidak tahan
terhadap genangan air (Simanjuntak, 2002).
Berdasarkan hasil analisis persentase benih yang tumbuh pada seluruh
genotip, maka P01 dan P04 dapat direkomendasikan untuk dilanjutkan dalam
program pemuliaan selanjutnya karena memiliki potensi relatif tahan terhadap
genangan air.
Gambar 4.1 Bekas Genangan Air Pada Area Petak Percobaan
Tinggi tanaman diukur sebanyak tiga kali yakni sebelum masak susu, saat
masak susu, dan setelah masak susu. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan
terhadap tanaman sampel sebanyak sepuluh tanaman dalam setiap petak. Adapun
yang menjadi latar belakang pengukuran tinggi tanaman dilakukan setelah
tanaman mengalami pembungaan adalah disaat tersebut idealnya pertumbuhan
vegatatif tanaman sudah maksimum, disisi yang lain tanaman telah melakukan
penimbunan hasil fotosintesis pada organ biji.
Tabel 4.3 menunjukkan masih terjadi pertambahan tinggi tanaman
sebelum masak susu, saat masak susu, dan setelah masak susu pada semua
genotip. Pertambahan tinggi tanaman menjadi salah satu indikator masih
berlangsung pertumbuhan vegetatif, meski disaat yang sama tanaman telah
melakukan penimbunan hasil fososintesis pada organ biji. Tinggi tanaman setelah
masak susu pada genotip P04 nyata lebih tinggi dibandingkan genotip P08, P09,
P10, P11, P12, P13, dan P16. Faktor genetik dari masing masing genotip sangat
24 didukung hasil penelitian Firouzian (2003) yang menunjukkan nilai heritabilitas
tinggi tanaman gandum yang relatif tinggi yakni antara 75,17%-93,61%. Dengan
keragaan tinggi tanaman yang lebih tinggi berarti genotip P04 dan genotip P01
yang tidak berbeda nyata dengan P04 menghasilkan jerami yang lebih banyak
daripada genotip genotip tersebut untuk pakan ternak.
Tabel 4.4 Jumlah Anakan, Umur Berbunga, Umur Panen, dan Persentase perlakuan, sedangkan angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan.
Jumlah anakan tanaman gandum yang ditampilkan dalam tabel 4.4
menunjukkan tidak beda nyata antar perlakuan, dimana jumlah anakan berkisar 1
sampai 3 anakan. Menurut Paulsen, (1997) anakan tanaman gandum turut
berkontribusi terhadap hasil biji yang akan diperoleh, karena anakan turut
menghasilkan malai dan biji. Hal tersebut didukung dari hasil perhitungan
korelasi yang cukup tinggi yakni 0,62 antara jumlah anakan dan bobot biji empat
baris tengah (tabel 4.7).
Umur berbunga dihitung sejak benih ditanam hingga pada saat sekitar 50%
tanaman dalam setiap petak penelitian telah tampak muncul bunga, sedangkan
25 Umur berbunga berkisar antara 53 hari setelah tanam sampai 70 hari setelah
tanam dan umur panen 96 hari setelah tanam sampai 124 hari setelah tanam.
Pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa genotip P09, P11, dan P16 nyata lebih
pendek umur berbunganya dibandingkan dengan genotip lainnya namun secara
statistika tidak berbeda nyata dengan genotip P10. Umur berbunga yang lebih
cepat tidak hanya dipengaruhi oleh genotip, melainkan juga dapat dipengaruhi
stres yang berlebihan terhadap genotip yang bersangkutan. Menurut Kumar, dkk
(2012), suhu yang lebih tinggi tampak menginduksi pembungaan tanaman lebih
awal dibandingkan dengan suhu yang lebih rendah.
Umur panen pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa genotip P09 tidak
berbeda nyata dengan genotip P10, P11, dan P16, namun berbeda nyata
dibandingkan genotip lainnya termasuk genotip P01 dan P04. Berdasarkan uraian
tersebut dapat dilihat bahwa genotip berumur pendek (umur berbunga) lebih awal
akan mengakibatkan umur panennya pendek juga. Umur berbunga dan umur
panen dipengaruhi oleh potensi genetik masing masing genotip, pengaruh
lingkungan, dan interaksi antara keduanya (Dewi, Sobir, dan Syukur, 2015).
Meskipun demikian ternyata perbedaan antar genotip pada umur berbunga dan
umur panen tidak menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap hasil panen (lihat
tabel 4.7).
Pewarisan sifat umur panen tanaman gandum relatif lebar variasinya. Hal
tersebut didukung hasil penelitian Ahmed, dkk (2007) yang menunjukkan bahwa
heritabilitas umur panen tanaman gandum yang ditanam dalam kondisi
kekurangan air berkisar antara 49,48% - 77,79%.
Persentase tanaman rebah diperoleh dari perhitungan jumlah tanaman
rebah yang diamati sesaat sebelum panen, dibagi dengan jumlah tanaman yang
tumbuh dalam setiap petak dikalikan dengan seratus persen. Tabel 4.4
menunjukkan bahwa persentase tanaman rebah tidak beda nyata antar perlakuan
dan sangat rendah. Di samping itu, persentase tanaman rebah yang tidak berbeda
nyata diduga dipengaruhi oleh kecukupan tanaman akan hara phospor. Menurut
Munawar (2011) kecukupan hara phospor dapat meningkatkan kekuatan jerami
tanaman sereal. Semua genotip yang diuji berpotensi menjadi gandum tipe tegak
26 persentase tanaman rebah menjadikan hasil biji yang layak dipanen menjadi lebih
banyak dibandingkan dengan biji yang berada dipermukaan tanah dan tidak layak
dipanen karena telah mengalami kerusakan.
4.2.2 Kuantitas dan Kualitas Hasil
Komponen hasil terdiri dari kuantitas hasil dan kualitas hasil. Kuantitas
hasil yang diamati dalam penelitian ini adalah panjang malai, jumlah spikelet,
jumlah biji yang tidak rontok per malai, jumlah biji rontok per malai, jumlah biji
hampa per malai, bobot biji per meter persegi, bobot biji empat baris tengah.
Sedangkan kualitas hasil diwujudkan dari pengamatan bobot 1000 biji dan bobot
1 liter biji. Pengamatan komponen hasil seluruhnya berkaitan dengan organ biji,
karena biji merupakan bagian yang akan dipanen dan dimanfaatkan dari proses
budidaya tanaman gandum. Menurut Andriani dan Isnaini (2016) biji gandum
menjadi bagian dari tanaman gandum yang memiliki nilai ekonomis paling tinggi
dibandingkan bagian lain dari tanaman gandum, sehingga dalam setiap proses
budidaya yang diharapkan adalah hasil biji gandum dalam jumlah banyak serta
kualitasnya yang baik.
27 perlakuan, sedangkan angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan.
Panjang malai diukur saat tanaman telah dipanen dengan sampel sebanyak
sepuluh malai dalam setiap petak. Pengukuran dimulai dari lingkar cincin (buku
terujung dari setiap batang) sampai ujung malai, tidak termasuk bulu. Tabel 4.5
menunjukkan genotip P01 memiliki malai yang nyata lebih panjang dibandingkan
genotip P07, P10, dan P11, namun tidak berbeda nyata dengan genotip lain
termasuk P04.
Penghitungan jumlah spikelet, jumlah biji tidak rontok, dan biji hampa per
malai dilakukan setelah tanaman sampel dipanen. Spikelet merupakan organ
tanaman gandum yang terdiri atas beberapa bunga tunggal atau Floret yang
kemudian tersusun membentuk malai (Andriani dan Isnaini, 2016). Tabel 4.5
menunjukkan bahwa genotip P03 berbeda nyata memiliki jumlah spikelet yang
lebih banyak daripada genotip P09, P10, P11, P13, P14, dan P16, namun tidak
berbeda nyata dengan genotip yang lain termasuk P01 dan P04. Jumlah spikelet
per malai berpengaruh terhadap jumlah biji yang mampu dihasilkan dalam setiap
malainya. Parameter jumlah biji tidak rontok menunjukkan tidak berbeda nyata
antar perlakuan. Jumlah biji yang tidak rontok berpengaruh terhadap jumlah biji
per malai. Parameter jumlah biji hampa per malai menunjukkan genotip P03
berbeda nyata memiliki jumlah biji hampa yang lebih banyak daripada genotip
P07, P09, P10, P11, dan P13, namun tidak berbeda nyata dengan genotip lain.
Jumlah biji hampa per malai diduga disebabkan oleh hujan yang terjadi ketika
tanaman berbunga (dapat dilihat pada lampiran 1, tanggal 15 April 2016 – 2 Mei
2016). Menurut Suwandi (2014) curah hujan yang tinggi saat pembungaan
menyebabkan serbuk sari menjadi basah sehingga proses penyerbukan akan
terhambat dan akan menurunkan kuantitas biji gandum.
Pengukuran jumlah biji yang rontok, dilakukan pada biji yang jatuh di
wadah. Wadah dibuat dengan melingkarkan kain kristik pada setiap malai
28 menjadi wadah biji yang rontok agar tidak jatuh ke permukaan tanah atau hilang.
Pemasangan kain tersebut dilakukan saat tanaman sudah masak susu. Tabel 4.5
menunjukkan parameter jumlah biji yang rontok per malai tidak berbeda nyata
antar perlakuan. Sedikitnya jumlah biji yang rontok menunjukkan seluruh genotip
relatif berpotensi tahan terhadap kerontokan biji akibat deraan air hujan.
29 Parameter bobot biji per meter persegi menunjukkan genotip P04 berbeda
nyata lebih berat dibandingkan genotip P06, P08, P10, P11, P12, P13, dan P14,
namun tidak berbeda nyata dengan genotip lainnya. Hal ini diduga karena genotip
P04 persentase benih tumbuhnya relatif tinggi, panjang malai relatif panjang,
jumlah spikelet relatif banyak, dan jumlah biji hampa relatif sedikit. Dengan
demikian dapat dipahami genotip P04 termasuk juga genotip P01 mampu
menghasilkan bobot biji per meter persegi lebih berat dibandingkan genotip lain.
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa bobot biji empat baris tengah tidak berbeda
nyata antar perlakuan. Kondisi curah hujan yang relatif masih tinggi selama
pembungaan hingga panen diduga mengakibatkan stres terhadap seluruh populasi
tanaman gandum. Hal tersebut diduga mengakibatkan proses pengisian biji
menjadi kurang maksimal. Tanaman gandum membutuhkan adanya bulan kering
sejak sebulan sebelum siap panen (Arief, Komalasari, dan Koes, 2016). Bobot biji
empat baris tengah dapat digunakan untuk menduga kapasitas produksi dari setiap
genotip dalam satuan lahan yang lebih luas. Menurut Welsh dan Mogea (1991)
setiap tanaman memiliki kapasitas produksi yang khas secara fisiologis yang
ditentukan oleh energi, zat-zat hara, air, dan sumber alami lain yang diperlukan
tanaman untuk berproduksi.
Bobot 1 liter biji dihitung dengan cara menakar biji kedalam gelas ukur
bervolume 1 liter, selanjutnya biji ditimbang dengan timbangan analitik. Tabel 4.6
menunjukkan bahwa genotip P09 nyata lebih berat hanya dengan genotip P14.
Sedangkan genotip P01 dan P04 beratnya tidak berbeda nyata dengan genotip
P09. Meskipun genotip P09 memiliki bobot 1 liter biji yang relatif paling berat
(690,76 gram) dibandingkan genotip lain, namun masih belum sebaik varietas
Dewata yang menurut deskripsinya mampu menghasilkan bobot 1 liter biji ±848
gram (Suwandi, 2014).
Bobot 1000 biji pada tabel 4.6 menunjukkan bahwa genotip P03 nyata
lebih berat dibanding genotip P06, tetapi tidak berbeda nyata dengan P04 dan P01
serta genotip lainnya. Hal ini berarti bahwa ukuran biji genotip P06 lebih kecil
dibandingkan genotip P03. Tanaman gandum yang dibudidayakan dengan kondisi
curah hujan yang tinggi akan menyebabkan biji gandum memiliki kadar air yang
30 menurunkan kualitas biji (Suwandi, 2014). Biji gandum yang keriput juga
memiliki ukuran yang lebih kecil serta bobot yang lebih ringan dibandingkan
dengan biji yang bernas. Meskipun genotip P03 memiliki bobot 1000 biji yang relatif berat, namun belum sebaik varietas Dewata yang menurut deskripsi
varietasnya mampu menghasilkan bobot 1000 biji ±46 gram (Suwandi, 2014).
Nilai heritabilitas bobot 1000 biji relatif tinggi yakni 85,70% - 96,37% (Firouzian,
2003). Ini berarti bobot 1000 biji dapat diduga dipengaruhi cukup tinggi oleh
genotip atau gen dengan kata lain relatif rendah dipengaruhi oleh faktor
lingkungan.
4.2.3 Korelasi dan Skor
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dan uji beda nyata jujur terhadap
setiap parameter pengamatan dalam penelitian ini belum dapat direkomendasikan
genotip genotip yang layak dibudidayakan. Misalnya, berdasarkan analisis
persentase benih yang tumbuh, genotip P01 dan P04 menjadi yang relatif toleran
terhadap genangan air; Genotip P01 dan P04 memiliki jerami yang lebih banyak
dibandingkan genotip lain; Genotip P03 memiliki bobot 1000 biji yang relatif
berat; dan genotip P09 memiliki bobot 1 liter biji relatif berat. Oleh karena itu
perlu dilakukan analisis korelasi dan skor untuk memudahkan dalam
merekomendasikan genotip yang layak untuk dikembangkan.
Tabel 4.7 Korelasi Masing Masing Variabel Terhadap Bobot 4 Baris Tengah
31
17 Persentase Benih Yang Tumbuh 0,79 12,62
Jumlah 6,28 100,00
Pada tabel 4.7 menunjukkan besar kecilnya nilai korelasi masing masing
parameter penelitian terhadap parameter bobot biji empat baris tengah. Nilai
korelasi berbanding lurus dengan persentase pembobotan. Parameter bobot biji
per meter persegi memiliki persentase pembobotan tertinggi dengan 15,10% dan
nilai korelasinya 0,95. Sedangkan parameter persentase tanaman rebah memiliki
persentase pembobotan terendah dengan 1,03% dan nilai korelasinya -0,06.
Tabel 4.8 Hasil Perhitungan Nilai Skor
Urutan Berdasar Perlakuan Urutan Berdasar skor
Perlakuan Total Nilai Skor Perlakuan Total Nilai Skor
P01 85,54 P14 65,19
Tabel 4.8 menunjukkan nilai skor masing-masing genotip yang berpotensi
dipilih sebagai materi genetik untuk dilanjutkan dalam program pemuliaan
selanjutnya. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa genotip P01 dan
32 genetik untuk progam pemuliaan berikutnya dalam rangka menemukan genotip
gandum yang toleran hujan.
Pada pengamatan pendahuluan (lihat tabel 2.1) dan hasil penelitian saat ini
(lihat tabel 4.8), tampak bahwa penampilan P01 dan P02 tidak stabil.
Ketidak-stabilan tersebut tampak dari perubahan ranking (urutan/skor) genotip yang
bersangkutan. Genotip P01 pada pengamatan pendahuluan di urutan ke 12
(berdasarkan bobot biji per meter pesegi), sementara itu pada penelitian ini
berada di urutan kedua tertinggi. Sedangkan Genotip P02 pada pengamatan
pendahuluan berada di urutan pertama dalam menghasilkan bobot biji per meter
persegi, namun pada penelitian ini berada di urutan ke 4. Di lain pihak, genotip
P04 relatif stabil dalam menghasilkan biji. Genotip P04 berada diurutan kedua
terberat dalam menghasilkan bobot biji per meter persegi pada pengamatan
pendahuluan, sementara itu, pada penelitian ini genotip tersebut menduduki skor
tertinggi. Berdasarkan skor atau kestabilan urutan pengamatan pendahuluan dan
penelitian saat ini, maka direkomendasikan genotip P04 untuk menjadi materi