• Tidak ada hasil yang ditemukan

DARI TRADISI KE ATRAKSI BUDAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DARI TRADISI KE ATRAKSI BUDAYA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

DARI “TRADISI” KE “ATRAKSI BUDAYA”: Potret Budaya Komunitas Tionghoa-Manado

Hendri Gunawan

Staf Teknis Balai Pelestarian Nilai Budaya Manado Jalan Katamso, Bumi Beringin Lingkungan V Telepon (0431) 855311/Faksimile. (0431) 864926

Pos-el: hendrygunawan2010@yahoo.com

Warga komunitas Tionghoa di Manado atau sehari-hari dikenal dengan sebutan “Cina-Manado” adalah salah satu kelompok komunitas yang hidup bersama dengan warga kelompok komunitas etnis lainnya semenjak Manado tumbuh-kembang menjadi salah satu bandar di masa VOC. Lokasi pemukimannya pun ditentukan oleh Penguasa VOC, bertetangga dengan lokasi “benteng”, di pusat kota dan pelabuhan.

Sebagian besar warga komunitas Tionghoa adalah keturunan-campuran, hasil perkawinan antara para pendatang dari daratan Tiongkok maupun daerah lainnya di Nusantara, dengan warga penduduk setempat khususnya Minahasa. Sebagai warga perantau baik semasa pemerintahan Hindia Belanda maupun setelah kemerdekaan, warga komunitas Tionghoa-Manado menjalankan “tradisi” dan budaya yang diwarisi turun-temurun, terutama yang berhubungan dengan agama dan kepercayaan. Kehadiran sejumlah klenteng sejak dua abad lalu menjadi salah satu pusat peribadatan, dan pada masa ketika keberadaan Konghucu di Indonesia belum diakui sebagai agama resmi, klenteng-klenteng yang ada menjadi pusat pelaksanaan “tradisi leluhur”.

Semenjak Presiden Abdurrahman Wahid mengakui keberadaan Konghucu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia, peranan klenteng sebagai pusat peribadatan semakin jelas. Keberadaan “budaya Tionghoa” pun mengemuka. Upacara-upacara ritual keagamaan yang dilaksanakan semakin meriah dan tidak hanya sebatas halaman klenteng. Jika pada masa Orde Baru, setiap pelaksanaan upacara ritual keagamaan memerlukan ijin dari pemerintah, hal yang terjadi setelah era reformasi adalah pemerintah menjadikan setiap upacara ritual sebagai “atraksi budaya” yang diagendakan serta tercantum dalam berbagai leaflet promosi daya tarik wisata.

(2)

Pendahuluan

Penulisan atau pemaparan tentang keberadaan sebuah komunitas di Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah sebagai wilayah kerja Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Manado, selama ini terlalu berkonsentrasi pada kajian antropologi dan sosiologi. Padahal, dalam historiografi umum, ini dapat ditilik dan menjadi ranah kajian Ilmu Sejarah seperti Sejarah Sosial maupun memaparkannya dalam bentuk biografi tokoh-tokoh pilihan yang dapat dijadikan representasi dari warga komunitas yang dipelajari atau dikaji.

Salah satu kelompok komunitas yang ada di ketiga wilayah kerja Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Manado adalah komunitas Tionghoa yang menetap berkelompok dan membentuk satu kawasan pemukiman maupun hidup dan menetap terpencar membaur di tengah kelompok-kelompok komunitas setempat. Kehadiran mereka di daerah ini sudah sejak beberapa abad lampau. Keterangan seperti ini dapat diperoleh dari berbagai dokumen dan publikasi sejak masa Hindia Belanda. Namun, belum ditemukan hasil kajian khusus yang memaparkan keberadaan komunitas Tionghoa di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah, seperti halnya kajian tentang komunitas Jawa-Tondano di Minahasa yang dilakukan oleh Tim Babcock atau juga biografi tentang tokoh-tokohnya. Hanya beberapa percahan dan dapat dibaca dalam: Graafland (1991[1869]); Nas (1995); Wahyuno (1996); Henley (2005); Ulaen (2010); Anggraeni (2010), dan; Makkelo (2010). Sementara, karya ilmiah khusus mengenai komunitas Tionghoa Manado “hanya” kami temukan dalam bentuk Skripsi Sarjana dari: Toar (1978); Gunawan (1996); artikel oleh Sumampouw (2012); dan (Gunawan, 2012a; 2012b). Termasuk juga, artikel di surat kabar harian lokal dari Sofyan Jimmy Yosadi (Tribun Manado, 12-14 November 2012). Ini menandakan, bagian mengenai kehadiran komunitas Tionghoa di Manado perlu mendapat perhatian khusus dari kita. Karena penulisan tersebut disusun dari sumber-sumber yang berserakan.

(3)

leluhur. Klasifikasi di atas masih dapat dipilih-pilah lagi berdasarkan alasan serta pertimbangan sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.

Kedatangan warga Tionghoa di Manado diperkirakan terjadi pada tahun 1655. Mereka didatangkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa di wilayah Manado. Maksud dari didatangkannya warga Tionghoa ini di Manado adalah untuk membantu dalam pembuatan benteng pertahanan yang dikenal dengan nama De Nederlandsche Vastiegheid dan setelah diperbaharui diberi nama Fort Amsterdam (Toar, 1978: 38).

Orang-orang Tionghoa yang membangun benteng tersebut kemudian menetap dan membuat rumah-rumah mereka di sekitar benteng. Wilayah tempat tiggal mereka dikenal dengan nama “Kampung Cina” yang terletak di Kecamatan Manado Tengah yang merupakan pusat perdagangan di wilayah Manado. Perluasan tempat tinggal warga komunitas Tionghoa lebih banyak terjadi di sekitar wilayah “Kampung Cina” sehingga Kecamatan Manado Tengah menjadi wilayah yang paling banyak dihuni oleh warga Tionghoa.

Wilayah Kota Manado sekarang yang banyak dihuni dan ditempati oleh warga Tionghoa adalah di sekitar wilayah Dendengan Luar, Paal Dua, Pinaesaan, Tikala Ares dan Tikala Kumaraka. Sedangkan di Kecamatan Manado Utara hanya ada satu wilayah saja yaitu wilayah sekitar Kelurahan Wawonasa.

Warga komunitas Tionghoa yang berada di Indonesia telah berakulturasi ke dalam masyarakat setempat. Hubungannya dengan negeri leluhur tidak lagi tebal kecuali mereka tetap mengadakan kegiatan yang dilakukan oleh leluhur mereka. Seperti diketahui warga Tionghoa yang datang ke Indonesia terdiri dari beberapa suku bangsa yang berbeda satu dengan yang lainnya. Di Manado warga Tionghoa terdiri dari beberapa suku bangsa yaitu :

1. Hokkian

2. Kanton (disebut juga Kwongfu) 3. Hakka (disebut juga Keh) 4. Hainan

(4)

beragama Kristen ataupun Katolik. Dalam kenyataannya sebagian masih mengikuti dan melaksanakan adat kebiasaan tradisional Tiongkok.

Berdasarkan pemaparan di atas, tulisan ini bertujuan memaparkan dinamika pelaksanaan ritual orang Tionghoa di kota Manado sejak jaman Orde baru hingga saat ini. Secara sederhana, dapat dikatakan tulisan ini bersifat diakronis. Hal lain yang perlu digaris bawahi, karya ini mencoba memberikan perspektif baru mengenai latar sejarah dan kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia yang kajian-kajiannya selama ini terlalu berkonsentrasi di bagian barat Indonesia atau terlalu “west-oriented” (Purcell, 1963; Marzali, 2010; Poerwanto, 2005). Memperhatikan hal tersebut, tulisan ini mencoba menjelaskan:

1. Bagaimana dinamika interaksi komunitas Tionghoa di Manado dengan masyarakat lokal ?

2. Bagaimana kebijakan pemerintah baik pusat dan lokal berpengaruh terhadap perubahan “ritual” komunitas Tionghoa menjadi “atraksi budaya”?

Penulisan ini datanya bersumber dari data sekunder terutama arsip otentik yang tersimpan diberbagai instansi terkait. Tidak kalah pentingnya adalah pemanfaatan bahan pustaka yang tersebar diberbagai perpustakaan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat sehingga orang akan saling menghargai sesamanya tanpa melihat perbedaan suku, agama..

Penelitian komunitas Tionghoa di Manado ini menggunakan metode wawancara mendalam (in depth interview). Melalui metode wawancara mendalam diharapkan diperoleh data kualitatif mengenai Komunitas Tionghoa di Manado. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman pertanyaan yang terkait dengan masalah yang ingin diangkat. Wawancara dilakukan terhadap informan yang tahu dan paham mengenai masalah penelitian yang diangkat dalam penulisan ini.

Tak Hanya Berniaga: Proses Kedatangan dan Menetap di Manado

(5)

berhubungan dengan bangkitnya nasionalisme Tiongkok, juga muncul di Batavia dan di Jawa baru meluas hingga wilayah Keresidenan Manado. Pertimbangan ini pula yang mendasari paparan pada bagian ini mulai dari keberadaan komunitas Tionghoa di Jawa, dan selanjutnya diselang-selingi dengan keberadaan mereka di wilayah Keresidenan Manado.

Sebelum pertengahan kedua dari abad ke-20, orang Tionghoa di Indonesia sebagian besar terdiri dari para pedagang dan pengrajin Hokkian. Meskipun belum ada kajian yang mendasar tentang hubungan antara semangat merantau dengan latar etnis, dari berbagai keterangan yang diperoleh dari warga Tionghoa berlatar Hokkian – baik di Jawa maupun di Manado – dapat diduga bahwa letak geografis wilayah Hokkian yang berpusat di Provinsi Fujian yang berada di bagian selatan daratan Tiongkok memudahkan mereka merantau ke selatan atau ke Nusantara. Alasan sosio-kultural lainnya adalah perilaku mereka yang saling tolong menolong antara sesama etnis Hokkian membuat mereka lebih berani merantau ke Nusantara. Tidak sedikit para perantau yang sudah berhasil di Nusantara baik di Jawa maupun di Manado membantu para pendatang baru dengan cara memodali usaha mereka.

Secara umum, jumlah perantau juga disebabkan oleh alasan sulitnya angkutan laut. Ada juga alasan politis-administratif, yakni adanya Dekrit Kekaisaran dari Dinasti Ching yang secara resmi melarang orang Tionghoa untuk meninggalkan dan masuk kembali ke negeri Tiongkok, maka migrasi massal ke Nusantara tidak pernah terjadi, dan yang ada ialah migrasi perorangan atau juga sebatas satu dua keluarga-batih. Pada tahun 1717 semua orang Tionghoa di luar Tiongkok dipanggil kembali ke daratan Tiongkok dan setelah tahun 1726, perantau Tionghoa tidak boleh kembali lagi ke Tiongkok. Setelah tahun 1860, larangan bagi warga Tiongkok untuk merantau mulai mengendor dan memungkinkan para perantau Tionghoa leluasa bepergian ke luar negeri. Perkembangan berikutnya terjadi pada tahun 1898. Pemerintah kekaisaran Tiongkok menghapuskan larangan mengenai kembalinya orang Tionghoa ke negeri Tiongkok. Sebenarnya, banyak orang Tionghoa telah kembali bahkan sebelum larangan itu dengan resmi dicabut (Suryadinata, 1986: 20).

(6)

pergaulan. Bahasa ini kemudian diperkaya dengan meminjam kata-kata dari bahasa Belanda dan bahasa barat lainnya. Menjelang akhir abad ke-19, bahasa itu telah berkembang menjadi bahasa Melayu Betawi, dan dalam abad ini dikenal sebagai bahasa Melayu Tionghoa. Bahasa ini menjadi bahasa umum dari warga komunitas Tionghoa peranakan di seluruh Jawa.

Hal yang terjadi di Jawa dimana warga Tionghoa-peranakan memiliki darah Tionghoa dari pihak ayah dan darah pribumi dari pihak ibu juga terjadi di wilayah Keresidenan Manado. Hal mana berpengaruh besar dan seakan menjadi cikal-bakal pencantuman nama marga yang kelak disandang oleh keturunannya yang pada umumnya adalah nama-nama marga atau dalam bahasa setempat disebut fam, berasal dari kata bahasa Belanda familie; adalah nama keluarga pihak ibu, seperti Inkiriwang, Waworuntu, Sondakh, dan sebagainya.

Seperti telah diuraikan di atas bahwa warga Tionghoa-peranakan sebagian besar memiliki darah Tionghoa dari garis ayah dan darah pribumi dari ibunya; hal ini terjadi terutama pada generasi kedua dari para perantau yang semula datang bersama istri mereka, atau juga yang dilakoni oleh para perantau berstatus bujangan dan belum berhasil dalam usahanya sehingga mau tidak mau harus mencari pasangan hidup mereka di Nusantara karena kalau kembali mencari pasangan hidup di daratan Tiongkok memerlukan biaya yang besar.

Menjelang abad ke-19, masyarakat itu kemudian berdiri sendiri dalam arti bahwa kaum peranakan itu kawin sesama mereka, dan hal ini mungkin terjadi karena jumlah lelaki dan perempuan hampir sama besarnya. Para perantau baru membentuk satu kelompok peralihan kecil dan dengan cepat terasimilasi karena tidak terjadi imigrasi besar-besaran. Sekalipun warga Tionghoa-peranakan terasimilasi ke dalam masyarakat setempat, mereka masih tetap terpisah dari golongan-golongan ras lainnya, terutama sebagai akibat struktur masyarakat kolonial dan politik Belanda. Pada waktu itu terdapat tiga lapisan ras yang besar di Hindia Belanda, yaitu golongan Eropa yang menduduki tempat teratas, golongan timur asing di tengah dan golongan Indonesia pribumi di lapisan bawah. Belanda menerapkan cara berpakaian bagi setiap golongan ras untuk mempertahankan tradisi berpakaian dan adat istiadatnya.

Adat kebiasaan tradisional Tionghoa yang bersifat magis-religius antara lain pemujaan terhadap leluhur yang dilakukan dengan cara sembahyang. Kegiatan sembahyang pada leluhur ini, mereka lakukan baik di rumah sendiri maupun di rumah-rumah sembahyang terutama di Klenteng. Kalau dilakukan di rumah sendiri biasanya keluarga tersebut memiliki meja sembahyang.

(7)

dan batang dupa. Bagi keluarga Tionghoa yang kaya, meja sembahyang biasanya diatur sedemikian rupa sehingga kelihatan sangat indah.

Sembahyang terhadap leluhur biasanya dilakukan pada hari-hari raya Tahun Baru, Ceng-Beng, Peh-Cun dan Cio-Ko atau Pho-Tou. Sehari menjelang Tahun Baru Tionghoa, orang-orang Tionghoa melakukan sembahyang Tahun Baru. Sembahyang ini dilakukan untuk arwah leluhur mereka (Lan, 1961: 142-157).

Hari raya Ceng-Beng, biasanya dilakukan pada tanggal 5 atau 6 April pada setiap tahunnya. Sem-bahyang Ceng-Beng biasa-nya dilakukan di rumah-rumah. Pada hari itu, warga Tionghoa berziarah ke makam leluhur mereka dengan membawa batang dupa, lilin, kertas sembahyang dan sesajen. Bersamaan dengan itu pula makam leluhur dibersihkan. Ceng-Beng bukanlah hari raya untuk berpesta melainkan hari untuk peringatan bagi anggota keluarga yang sudah meninggal.

Hari raya Peh-Cun di Manado, lebih dikenal dengan nama Pelo-pelo. Pelo-pelo merupakan satu kegiatan memperingati seorang patriot besar, seorang menteri di jaman Chuo yang bernama Kut Goan (340 SM – 278 SM).

Warga komunitas Tionghoa di Manado biasanya melakukan sembahyang pelo-pelo di rumah-rumah ibadah yang ada kemudian melakukan kegiatan ibadah tersebut dilanjutkan dengan perayaan pelo-pelo yang biasanya dilakukan di pantai. Selepas melakukan ibadah singkat di pantai diteruskan dengan melepas sesajen ke lepas pantai. Perayaan ini juga ditandai dengan mendirikan sebuah telur di atas sebuah batu.

Sembahyang Cio Ko adalah sembahyang untuk arwah-arwah nenek moyang yang tidak dilakukan oleh sanak keluarganya. Kegiatan ini dilakukan menurut kepercayaan orang Tionghoa bahwa orang-orang yang telah meninggal dan tidak diziarahi dan juga tidak disembahyangi oleh sanak keluarganya akan menjadi kelaparan dan selalu berkeliaran untuk mencari makan. Kegiatan ini biasanya ditandai dengan meja sembahyang yang berupa sebuah meja besar yang berisi makanan yang berjumlah banyak dan enak-enak. Kegiatan sembahyang Cio Ko di Manado lebih dikenal dengan nama sembahyang Barampas.

(8)

yang sudah ditentukan kemudian kembali ke klenteng lagi, maka warga komunitas Tionghoa akan mendapat berkah pada tahun yang berjalan.

Menjadi Orang Manado, Memegang Teguh Tradisi

Memahami dinamika kehidupan warga komunitas Tionghoa di Manado tidak dapat disajikan dalam sebuah paparan yang sifatnya umum semata. Paparan seperti itu akan menjebak penulis dan pembaca pada sebuah gambaran pada permukaan semata dan terperosok pada pencitraan atau stereotipe yang tidak beralasan. Bahwa ada kelompok warga Tionghoa yang masih mempertahankan tradisi dan pola hidup yang diwarisi dari ajaran leluhur, masih mempertahankan perkawinan terutama hanya dalam kelompoknya sendiri, merupakan kenyataan yang tidak dapat diingkari. Sebaliknya, tidak sedikit di antara mereka yang sudah meninggalkan tradisi leluhurnya, mengawini warga setempat. Ada yang masih menggunakan marga aslinya, seperti halnya Lie Tjeng Tjoan atau dikenal dengan John Lie, dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009 yang mewakili etnis Tionghoa Indonesia sekaligus dari Manado (Sulawesi Utara), sekalipun oleh beberapa kalangan penetapan ini dianggap sangat terlambat. Kisah hidupnya sudah dibukukan dalam bentuk Biografi (Nursam, 2008).

Kita bisa melihat latar belakang John Lie secara sekilas sebagai potret kehidupan warga keturunan di Manado yang begitu melebur dan bergaul sangat dalam dengan penduduk lokal hingga akhirnya mengakui diri sebagai orang Manado dan sebagai orang Indonesia, bukan lagi warga keturunan Cina yang benar terseparasi secara sosial dengan penduduk lain. Lahir 9 Maret 1911 di daerah Kanaka yang saat ini masuk di kelurahan Pinaesaan Kecamatan Wenang, ia menjalani masa kecil hingga dewasa disana. John Lie yang kemudian mengganti nama dimasa tua menjadi Jahja Daniel Dharma telah menyangkal, secara sekaligus, anggapan orang banyak di jamannya bahkan hingga kini bahwa nasionalisme orang Tionghoa dan Manado, apalagi yang beragama Kristen tipis (Gunawan, 2012: 1-14).

(9)

Pemahaman secara periodikal juga akan menghasilkan kenyataan bagaimana warga komunitas Tionghoa baik semasa Era Orde Lama maupun pada era Orde Baru, sepertinya dalam menjalankan tradisi leluhur lebih terpusat pada “meja sembahyang” atau “altar sembahyang” yang ada di rumah-rumah pribadi. Pelaksanaan upacara di Klenteng-klenteng lebih bersifat ritual sakral dan hanya dalam situasi tertentu ada arak-arakan Tang sien keluar dari halaman klenteng. Nanti setelah Presiden Gus Dur mengeluarkan peraturan yang memulihkan hak-hak kewarganegaraan komunitas Tionghoa, barulah perayaan-perayaan hari besar baik itu Perayaan Imlek, dan lain-lain sebagainya sesuai tradisi-tradisi leluhur dan kegiatan keagamaan dilaksanakan secara spektakuler dan terbuka kepada khalayak. Tetapi bukankah itu hal yang berlaku secara nasional. Di Manado, lumrah kita menemukan ingatan kolektif warga, foto-foto, laporan-laporan, reportase tentang perayaan Cap Go Meh dengan atrakasi ince pia yang sangat populer dan terjadi di jaman Orde Baru. Masa yang secara nasional dikenal sebagai era ‘pengekangan’ tradisi warga keturunan. Disini kita melihat, ini menjadi semacam perayaan (tontonan) publik bersama secara luas dan kompromi toleransi yang tidak berlaku secara nasional. Ini juga penanda sejauh apa warga keturunan melebur dengan penduduk lokal.

(10)

Kemudian, secara lokal, setelah kebijakan di era Gus Dur tersebut, beberapa peristiwa tradisi leluhur oleh pemerintah kota dan provinsi lebih “dipertajam”, “dikomodifikasi” dengan menjadikannya agenda pariwisata yang diandalkan oleh pemerintah kota sebagai daya tarik. Tetapi, ini tidak mencakup semua rumah sembahyang atau klenteng. Masih ada beberapa yang mempertahankan sikap bahwa upacara-upacara ritual yang ada tetap diselenggarakan di dalam rumah sembahyang atau klenteng dan hanya diijinkan ditonton khalayak jika diberi restu.

Realita kultural yang sering dianggap sebagai salah satu bentuk atau wujud dari proses pemertahanan identitas budaya adalah keberadaan rumah sembahyang dalam hal ini misalnya klenteng-klenteng yang berlokasi di kota Manado seperti Klenteng Ban Hing Kiong, Klenteng Kwan Kong, Klenteng Lo Tjia, Klenteng Altar agung, Vihara Darma Dhipa; maupun rumah-rumah sembahyang yang didirikan dalam beberapa tahun terakhir ini baik itu di kota Manado maupun di kota-kota lainnya di Sulawesi Utara seperti di Bitung, Tomohon, dan Amurang. Dari sekian banyak rumah sembahyang baik itu klenteng maupun vihara dan pagoda, yang dianggap rumah sembahyang pertama dan tertua adalah klenteng Ban Hing Kiong.

Kehadiran rumah sembahyang atau klenteng di Manado memiliki sejarah yang panjang. Salah satu keterangan tertulis berjudul: “Tuturan Ringkas Tentang berdirinja rumah2

Toapekong, Kongteksoe dan Tjeng Beng serta riwayat Tangsien (tangtjhie) dan perkumpulan Kap Tan dengan urusan2 sembahjang jang ada terikat dalamnya, serta adanja perkumpulan

(11)

seorang “kapiten Cina” di Manado, menjadi sumber utama dalam tulisan ini dan diperkaya oleh keterangan para tokoh warga komunitas Tionghoa di Manado. Oey Pek Yong sendiri tidak dapat memastikan kapan Klenteng Ban Hing Kiong didirikan. Dalam tulisannya yang dirujuk di atas, disebut kurang lebih sudah berusia 140 tahun, atau didirikan pada sekitar tahun 1817. Klenteng ini semula dibangun dengan mengandalkan partisipasi warga Tionghoa yang tersebar di Sulawesi Utara atau di wilayah Keresidenan Manado kala itu, sangat sederhana, berdindingkan kulit nibong dan atapnya dari daun rumbia. Nanti setelah tergalangnya dana yang mencukupi pembangunan klenteng yang memadai, barulah mereka mendatangkan para tukang dari Tiongkok dan Singapura. Begitu pula dengan segala ornamen, patung-patung dan berbagai hiasannya didatangkan dari daratan Tiongkok, termasuk atap genteng yang didatangkan dari Singapura. Kesemuanya dapat terlaksana karena jasa dari para penyumbang yang nama-namanya tercatat pada bagian dalam dinding bangunan tersebut, kecuali nama-nama penyumbang pendirian klenteng awal yang sudah hilang.

Selain klenteng Ban Hing Kiong, juga terdapat beberapa klenteng antara lain seperti Klenteng Kwan Kong, Kwan Im Tong, Klenteng Lo Tjia Miao dan Klenteng Altar Agung. Selain klenteng, wujud dari eksistensi identitas kultural tampak dalam pelaksanaan berbagai upacara serta tradisi yang berhubungan dengan hari-hari raya, terutama dengan hari raya Cap Go Meh sejak era Reformasi terkesan mengalami proses komodifikasi dalam artian tidak lagi sekedar sebagai upacara ritual keagamaan bagi umat Konghucu melainkan menjadi atraksi tontonan baik bagi warga kota Manado dan sekitarnya maupun dijadikan agenda pariwisata oleh pemerintah kota Manado dan provinsi Sulawesi Utara sebagai salah satu daya tarik pelancong mancanegara.

Peralihan upacara Cap Go Meh atau dalam bahasa Melayu Manado disebut “pasiar toapekong”, dari sekedar upacara keagamaan dan kemudian menjadi tontonan bagi masyarakat luas seperti sudah disentil di atas tidak berlaku umum. Maksudnya, pengurus klenteng besar seperti Ban Hing Kiong dan beberapa klenteng lainnya tetap mempertahankan upacara Cap Go Meh sebagai upacara keagamaan yang sakral. Sedangkan pengurus Klenteng Kwan Kong, lebih terbuka dan memberi peluang bagi pemerintah kota terutama Dinas Pariwisatanya dengan mengagendakan upacara tersebut sebagai agenda wisata.

Persoalan interaksi antara warga Tionghoa dengan warga lokal merupakan pertanyaan yang tidak hanya dapat dijawab dengan kata “ya” atau “tidak”, karena realita hidup mengungkapkan banyak hal yang memerlukan penjelasannya secara kasus per kasus.

(12)

rumah tinggal itu semakin berkurang dan banyak warga Tionghoa memilih untuk menetap di pemukiman-pemukiman warga setempat. Dari sisi aktivitas, “Kampung Cina” sebagai lokasi aktivitas perdagangan tidak lagi didominasi oleh pedagang-pengusaha warga Tionghoa. Hasil amatan dan perhitungan kasar menunjukkan bahwa warga komunitas etnis Gorontalo dan Bugis-Makassar lebih banyak beraktivitas di wilayah ini dibandingkan dengan warga Tionghoa. Warga etnis Gorontalo umumnya berjualan di emperan atau juga di bagian pintu toko-toko warga Tionghoa, ada yang merupakan bagian dari toko-toko yang ada, namun lebih banyak menjalankan usaha sendiri seperti halnya para pembeli emas, reparasi jam tangan dan sebagainya. Keadaan seperti ini membuahkan interaksi aktif antara mereka, mulai dari soal ijin berjualan di depan pintu toko, dan sebagainya.

Berkaitan dengan pemukiman, hal menarik lainnya adalah pemukiman yang bertetangga dengan “Kampung Cina” bagian timur dan dikenal dengan nama “Kampung Arab”. Semula memang rumah-rumah yang ada merupakan milik warga keturunan Arab dan Timur Tengah lainnya. Namun, sejak paroh kedua tahun 1900-an, warga Tionghoa yang menetap di pemukiman ini sudah hampir setengah dari jumlah penduduk yang ada di pemukiman tersebut.

Berbaur dan menyendiri pun tidak hanya tampak dalam pemukiman tetapi juga “pemukiman orang yang sudah meninggal” atau pekuburan. Ada “kubur Cina”, ada kubur khusus marga-marga tertentu seperti “kubur marga Liang”, tetapi tidak sedikit warga Tionghoa yang memilih untuk dikuburkan di kompleks pekuburan umum atau pekuburan yang beradasarkan agama seperti pekuburan Katolik dan pekuburan Kristen. Fenomena ini dapat dijadikan petunjuk bahwa pilihan untuk dikuburkan di lokasi tertentu sangat dipengaruhi oleh “dunia pergaulan” dari warga Tionghoa yang meninggal dan di mana ia berpesan untuk dikuburkan.

Semasa hak-hak kewarganegaraan dan hak menjalankan tradisi leluhur serta pelaksanaan ibadah keagamaan (Konghucu, Budha) belum direhabilitasi, tampak seperti adanya dikotomi bagi warga dalam menjalankan keyakinannya. Menjadi umat Katholik dan umat Kristen merupakan pilihan yang menunjukkan keberagamaan warga Tionghoa, sementara keikutsertaan dalam upacara di klenteng menjadi semacam kegiatan menjalankan tradisi leluhur. Hal mana sejak era Presiden Abdurahman Wahid yang mengembalikan hak-hak kewarganegaraan warga Tionghoa, dikotomi tersebut tidak lagi menonjol, karena status Konghucu dan Budha yang setara dengan agama-agama lainnya.

(13)

kebutuhan untuk pelaksanaan sebuah upacara misalnya, akan jelas menunjukkan adanya pelibatan tenaga dari penduduk lokal, terutama dari pihak tetangga dan kenalan.

Kenyataan seperti itu pula menghadirkan realita sosial seperti adanya situasi keharmonisan hubungan antara warga komunitas Tionghoa dengan penduduk lokal. Hubungan antara orang Tionghoa yang ada di Manado dengan penduduk lokal telah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama. Jika kita melihat lagi pergaulan warga komunitas Tionghoa di Manado, maka akan nampak bahwa warga komunitas Tionghoa tidak hanya bergaul dengan golongan mereka sendiri.

Catatan Akhir

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, Dewi, Mereka Bilang Aku China; Jejak Mendaki Menjadi BagianBangsa (Jakarta: Bentang Pustaka, 2010)

Graafland, N., Minahasa; Negeri, Rakyat dan Budayanya (Jakarta: Grafiti, 1991[1869]) Gunawan, Hendri, Yok Tjae dan Chung Hwa: Perkembangan Sekolah Cina di Manado

1915-1959 (Skripsi di Universitas Sam Ratulangi Manado, 1996)

_______________,“Komunitas Tionghoa Di Manado : Sebuah Catatan Awal”, di dalam Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol 11No. 20, Tahun VII (Manado: BPNB Manado, 2012a) hlm. 1-14

__________________, “Sekilas Perkembangan Konghucu di Manado”, di dalam Kure Jurnal Sejarah dan Budaya, No. 7, Tahun VII (Manado: BPNB Manado, 2012b) hlm. 55-60 Henley, David, Fertility, Food and Fever; Population, Economy and Environment in North

and Central Sulawesi 1600-1930 (Leiden: KITLV, 2005)

Lan, Nio Joe, 1961, Peradaban Tionghoa; Selayang Pandang, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2013 [1961]

Makkelo, Ilham Daeng, Kota Seribu Gereja; Dinamika Keagamaan dan Penggunaan Ruang di Kota Manado (Yogyakarta: Ombak, 2010)

Marzali, Amri, “Pemetaan Sosial Politik Kelompok Etnik Cina di Indonesia”, di dalam Masyarakat Indonesia Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia, Edisi XXXVII, No. 2 (Jakarta: LIPI, 2011)

Nursam, M., Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda John Lie (Yogyakarta: Ombak, 2008)

Poerwanto, Hari, Orang Cina Khek dari Singkawang (Jakarta: Komunitas Bambu, 2005) Purcell, Victor, The Chinese in Southeast Asia (2nd ed.) (Kuala Lumpur: Oxford University

Press, 1980[1951])

Sumampouw, Nono Stevano Agustinus, “Asimilasi Sempurna?: Sketsa Kehidupan Komunitas Cina-Manado”, di dalam Kure Jurnal Sejarah dan Budaya, No. 7, Tahun VII (Manado: BPNB Manado, 2012) hlm. 99-106

Suryadinata, Leo, 1986. Politik Tionghoa Peranakan di Jawa, 1917-1942 Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Toar, D., Orang Cina di Manado, Tesis Universitas Sam Ratulangi (Manado: Fakultas Sastra, 1978)

(15)

Abad ke XIX: Pengantar Kajian Kesejarahan Tanah Minahasa, Sulawesi Utara (Manado: MarIn CRC, 2010)

Yosadi, Sofyan Jimmy, “Nasionalisme Etnis Tionghoa”, Bagian 1 (Tribun Manado, Senin 12 November 2012) hlm. 10

____________________, “Nasionalisme Etnis Tionghoa”, Bagian 2 (Tribun Manado, Selasa 13 November 2012) hlm. 10

Gambar

Gambar 1.Tang-Sin saat upacara Cap Go Meh 2013 dan partisipasiwarga kota yang meriah (Sumber: Koleksi Pribadi)

Referensi

Dokumen terkait

Menyusun kubus menyerupai stupa, digunakan untuk , mengenalkan warna mengenalkan jumlah motorik halus konsentrasi Harga Rp.45.000,- Menara Balok Digunakan untuk :

tinggi dapat dilihat juga pada ibu yang bekerja sebagai buruh di Jepara akan membayar orang untuk mengasuh anaknya, yang bisa oleh tetangga atau keluarga, dengan upah

Kredit merupakan total kredit yang diberikan kepada pihak ketiga (tidak termasuk antar Bank).. Dana Pihak Ketiga mancakup giro, tabungan, dan deposito (tidak termasuk

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia yang telah diberikan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh

Walaupun disudutkan secara tidak langsung oleh pihak lain, akan tetapi dengan kebesaran hati dan tidak terlepas dari rasa persatuan kebangsaan Muhammadiyah tetap

Keempat risk level tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor seperti jenis kegiatan yang dilakukan untuk memproduksi sebuah link berbeda-beda, menggunakan mesin atau alat yang

(1) Struktur tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (2) huruf b Peraturan Daerah ini, ditetapkan berdasarkan kelompok pelanggan dan volume/ blok konsumsi air

Gerçek şu ki, Kadim Sümer ve Mısır’da boynuzlar sadece kötü tan- rıları değil, Hıristiyan Kilisesi tarafından Pagan inançlarının kökünü kurutmak için kullanılan pek