LAGU GENJER-GENJER:
SASTRA DAN SYAIR LAGU YANG TERANIAYA
Teguh Hindarto, MTh.
Peminat Kajian Teologi, Sejarah dan Fenomena Sosial
November 2014 lalu, Koran Kedaulatan Rakyat melansir berita sbb: “Intelejen Kodim 0734
Yogyakarta menyita sebuah Memori Card (MMC) dari HP milik warga Danurejan, Yogyakarta yang berisi lagu Genjer-genjer. Lagu yang identik dengan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tersebut diamankan dari seorang warga berinisial H (45). Ia tak menyadari jika lagu yang sering diputarnya itu dianggap „terlarang‟ dan dikaitkan dengan gerakan komunis tahun
1965”1
. Kejadian di atas tentu menimbulkan sejumlah interpretasi. Bagi kelompok agama dan sipil yang tidak berafiliasi dengan ideologi kiri khususnya militer yang terlibat dengan penumpasan
Partai Komunis Indonesia (PKI) pada periode tahun 1965 maka kemunculan lagu tersebut dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk kebangkitan kembali ideologi kiri yang dikonstruksi oleh pemerintah Orde Baru sebagai bahaya laten bagi ideologi Pancasila. Namun bagi generasi muda yang lahir di akhir tahun 1990-an dimana arus Reformasi telah menumbangkan rezim Orde Baru yang telah memerintah selama 32 tahun dan mengubah konstelasi sosial dan politik, kemunculan lagu Genjer-Genjer tentu tidak memiliki sentuhan emosional secara ideologis dan politis.
Siapa pengarang lagu Genjer-Genjer? Apa yang salah dengan lagu Genjer-Genjer sehingga harus mengalami pelarangan oleh rezim Orde Baru? Masihkah relevankah melakukan pelarangan peredaran lagu Genjer-Genjer di Era Reformasi? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul sebagai konsekwensi logis tindakan aparat yang masih begitu sensitif melakukan tindakan penangkapan terhadap masyarakat yang kedapatan mendengarkan atau memperdengarkan lagu tersebut.
Sebelum menjawab sejarah dan makna lagu Genjer-Genjer dan nasib buruk yang menimpanya kemudian, kita akan menelusuri terlebih dahulu tindakan kontra ideologi kiri yang dimulai oleh rezim Orde Baru paska peristiwa penculikan tujuh jenderal pada tanggal 30 September 1965 (G-30-S/PKI) atau kudeta 1 Oktober 1965 yang ditudingkan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah itu kita akan meletakkan peristiwa pelarangan terhadap lagu Genjer-Genjer tersebut dalam konteks historisnya agar kita memiliki pemahaman yang tidak terlepas dari konteksnya.
Orde Baru dan Pembersihan Ideologi Kiri (Komunis)
Paska peristiwa 30 September 1965 (G-30-S/PKI) atau kudeta 1 Oktober 1965, pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Suharto melakukan pembersihan besar-besaran terhadap ideologi kiri (komunis). Produk undang-undang yang dikeluarkan sebagai dasar legitimasi proses pembersihan adalah adalah TAP MPRS no XXV/MPRS/1966 yang berisikan
1
Lagu Genjer-genjer Terdengar di Danurejan
pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan bahwa Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi terlarang serta pelarangan penyebarluasan ajaran Komunisme-Marxisme-Leninisme. Sebelum produk undang-undang tersebut di atas, telah dikeluarkan Instruksi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan No. 1381/1965, dimana lebih dari 70 karya orang yang dianggap terlibat dalam G 30 S dinyatakan terlarang, dalam waktu singkat pelarangan buku ini terus bertambah hinga diperkirakan mencapai 2000 judul, dan ini merupakan pelarangan massal terbesar2. Stanley wartawan dan staf Institut Studi Arus Informasi (ISAI) mengatakan dalam artikelnya, “Jumlah buku terlarang kian membengkak setelah tak lama kemudian, pada Maret
1967, Orde Baru mengeluarkan sebuah kebijakan yang merupakan tindak lanjut upaya penumpasan semua pengaruh G30S, khususnya di bidang mental ideologis. Saat itu, Tim Pelaksana/Pengawasan Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dan Marxisme-Mao Tse Tungisme mengeluarkan sederetan daftar buku dan majalah dalam dan luar negeri. Daftar tersebut melibatkan ratusan buku yang terlarang untuk disimpan, diedarkan da n diperdagangkan di wilayah hukum DKI Jaya. Total yang masuk dalam daftar berjumlah 174 judul. Karya sastra hanya berjumlah 13 judul, termasuk di antaranya beberapa karya Pramoedya Ananta Toer dan Utuy Tatang Sontani. Rekor ini secara perlahan, tapi pasti, terus menanjak. Baru pada dekade 1980-an grafik menunjuk kurva yang agak mendatar, yaitu rata -rata ada 14 buku yang dilarang per tahun. Rekor 1980-an hanya disamai oleh tahun 1986. Pada tahun itu ada 26 buku dinyatakan
terlarang”3
. Pelarangan tidak hanya berhenti pada buku yang merepresentasikan ideologi kiri (komunis) melainkan, “…kliping, majalah, koran, buletin, jurnal, almanak, kaset rekaman dan
"bahkan" selebaran gelap serta pamflet. Dalam dekade 80-an, yang paling banyak dilarang adalah buku dan kaset yang berbau ajaran keagamaan. Barangkali kurun ini bisa dicermati lebih lanjut dengan adanya tekanan terhadap kelompok agama tertentu dan pemaksaan diterimanya azas
tunggal oleh pemerintah”4
.
Beberapa judul buku yang dilarang oleh pemerintahan Orde Baru al., Di Bawah Lentera Merah (Soe Hok Gie), Tan Malaka (Harrye Poeze), Militer dan Politik di Indonesia (Harold Crouch) Kapitalisme Semu (Yoshihara Kunio). Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis
(Frater Wahono Nitiprawiro). Indonesia the Rise of Capital (Richard Robison) dan buku ini sekarang diterbitkan Komunitas Bambu dengan judul Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia.
Beberapa novel khususnya karya Pramoedya Ananta Toer yang dilarang al., Subuh, Pertjikan Revolusi, Keluarga Gerilya, Mereka yang Dilumpuhkan, Ditepi Kali Bekasi, Bukan Pasar Malam, Tjeritera dari Blora, Gulat di Jakarta, Tjeritera Tjalon Arang, Sekali Peristiwa di Banten
2
Fauzan Mahdami, Pelarangan Buku: Sebuah Pembodohan Massal (4)
https://kumpulanfiksi.wordpress.com/2013/03/05/pelarangan-buku-sebuah-pembodohan-massal-4-catatan-fauzan-mahdami/
3
Stanley, Orde Baru 31 Tahun, 2000 Judul Buku Dibredel
http://tempo.co.id/ang/min/01/29/kolom3.htm
4
Selatan, Panggil Aku Kartini Sadja, Djilid I, Panggil Aku Kartini Sadja, Djilid II, 13. Hoa Kiau di Indonesia, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa5
Yang menarik, pembersihan ideologi kiri (komunis) tidak hanya melalui pelarangan buku, kliping, majalah, koran, buletin, jurnal, almanak melainkan produk-produk kebudayaan mulai dari kesenian, film dan sastra sebagaimana diulas oleh Wijaya Herlambang, “Melalui produk-produk budaya seperti ideologi negara (Pancasila), museum, monumen, hari-hari peringatan, penataran, buku-buku pegangan siswa dan terutama film dan karya sastra, muatan ideologis narasi utama Orde Baru ditransformasi ke dalam bentuk-bentuk seni”6. Dalam kajiannya terhadap produk-produk kebudayaan seperti seni dan sastra serta film, Wijaya Herlambang menelusuri bagaimana normalisasi kekerasan terhadap orang-orang komunis ditransformasikan dan dilestarikan secara langsung dan tidak langsung melalui seperti film (karya sutradara Arifin C. Noer) dan novel (karya penulis Arswendo Atmowiloto) berjudul Pengkhianatan G30S.PKI. Dengan menggunakan analisis Johan Galtung dalam bukunya Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civization, Wijaya Herlambang mengangkat terminologi Cultural Violence (kekerasan budaya) yang didefinisikan sbb: “Dengan „kekerasan budaya‟, maksud kami adalah aspek-aspek kebudayaan, bidang-bidang simbolis dari keberadaan kita – seperti agama dan ideologi, bahasa dan seni, pengetahuan empiris dan pengetahuan normal (logika, matematika) – yang dapat
dipergunakan untuk membenarkan atau melegitimasi kekerasan langsung dan struktural”7
. Bagaimana cara kerja Cultural Violence (kekerasan budaya) bekerja dalam struktur sosial manusia? Herlambang melanjutkan, “Secara umum, cara kerja kekerasan budaya adalah dengan mengubah
warna moral sebuah tindakan, misalnya, membunuh dengan alasan membela negara adalah tindakan yang dapat diterima namun pembunuhan yang dilakukan secara individual adalah salah. Cara lain bagaimana kekerasan budaya bekerja adalah dengan membuat kenyataan menjadi kabur (melalui bahasa, seni, pengetahuan dan simbol-simbol lain) sehingga kita tidak melihat kekerasan itu dilakukan atau paling tidak kita melihatnya sebagai tindakan yang tidak terlalu keji atau sebuah
tindak kekerasan yang masih dapat diterima”8
Genjer-Genjer dan Stigmatisasi Kesenian Kiri
Jika Wijaya Herlambang mengkaji sejumlah ideologi anti komunisme yang disusupkan dalam sejumlah produk kebudayaan dan kesenian termasuk film yang melegalisasi serta menormalisasikan tindakan kekerasan kebudayaan, maka lagu Genjer-Genjer menjadi korban kekerasan budaya melalui stigmatisasi yang dilekatkan kepadanya sebagai lagu yang merepresentasikan ideologi kiri.
Lagu Genjer-Genjer adalah lagu populer berbahasa Osing (bahasa daerah Banyuwangi) yang diciptakan oleh seniman asal Banyuwangi, Muhammad Arief, pada tahun 1940-an. Pada
5
Buku-Buku Pramoedya Ananta Toer Yang Dilarang 1965-1995
http://lawanpelaranganbuku.blogspot.com/2010/01/buku-buku-pramoedya-ananta-toer-yang.html
6
Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti Komunisme Melalui Sastra dan Film, Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2013, hal 10
7
Ibid., hal 35
8
sekitar tahun 1942, berkembang lagu Kesenian Angklung yang terkenal berjudul Genjer-Genjer. Syair lagi ini diciptakan oelh M. Arif, seorang seniman pemukul alat instrumen Angklung. Berdasarkan keterangan teman sejawat almarhum Arif, lagu Genjer-Genjer itu diangkat dari lagu dolanan yang berjudul Tong Alak Gentak. Lagu rakyat yang hidup di Banyuwangi itu, kemudian diberi syiar baru seperti dalam lagu genjer-genjer. Syair lagu Genjer-Genjer dimaksudkan sebagai sindiran atas masa pendudukan Jepang ke Indonesia. Pada saat itu, kondisi rakyat semakin sesangsara dibanding sebelumnya. Bahkan genjer (Limnocharis flava) tanaman gulma yang tumbuh di rawa-rawa sebelumnya dikosumsi itik, namun menjadi santapan yang lezat akibat tidak mampu membeli daging.9 Untuk mendekatkan pemahaman kita terhadap lagu Genjer-Genjer, berikut syair lengkap dan terjemahannya:
Genjer-genjer nong kedo‟an pating keleler
Genjer-genjer nong kedo‟an pating keleler
Ema‟e thole teko-teko mbubuti genjer
Ema‟e thole teko-teko mbubuti genjer
Oleh satenong mungkur sedot sing toleh-toleh
Genjer-genjer saiki wis digowo mulih
Genjer-genjer esuk-esuk didol neng pasar
Genjer-genjer esuk-esuk didol neng pasar
Dijejer-jejer diuntingi podo didasar
Dijejer-jejer diuntingi podo didasar
Ema‟e jebeng podo tuku gowo welasar
Genjer-genjer saiki wis arep diolah
Terjemahannya :
Genjer-genjer ada di lahan berhamparan
Genjer-genjer ada di lahan berhamparan
Ibunya anak-anak datang mencabuti genjer
ibunya anak-anak datang mencabuti genjer
9
Genjer-Genjer
Dapat sebakul dipilih yang muda -muda
Genjer-genjer sekarang sudah dibawa pulang
Genjer-genjer pagi-pagi dibawa ke pasar
Genjer-genjer pagi-pagi dibawa ke pasar
Ditata berjajar diikat dijajakan
Ditata berjajar diikat dijajakan
Ibu saya beli genjer dimasukkan dalam tas
Genjer-genjer sekarang akan dimasak10
Apa hubungan lagu Genjer-Genjer dengan Partai Komunis Indonesia? Di era tahun 1960-an ketika terjadinya kontestasi ideologi kiri (komunis) dan ideologi kanan (agama) serta nasionalis maka masing-masing kelompok berusaha merebut hati rakyat dengan dan melalui kesenian sebagai salah satu penarik masa. Setiap kelompok ideologi memiliki sejumlah lembaga keseniannya sendiri-sendiri seperti, Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan Lembaga Kesenian Nasional (LKN),
Partai Nahdlatul Ulama (NU) dengan Lesbumi, Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) serta Masyumi dengan Himpunan Seni dan Budaya Islam (HSBI). M. Arif kemudian digandeng oleh para seniman Lekra. Sejak digandeng Lekra, kesenian Banyuwangi-an semakin dikenal. Banyak lagu-lagu Banyuwangi yang sering dinyanyikan di acara-acara PKI dan
underbownya termasuk lagu Genjer-genjer yang diciptakan di tahun 1943 dan lagu Nandur Jagung
dan lagu Sekolah. Seniman yang dulu bernama Syamsul Muarif itu juga diminta mengarang lagu yang senapas degan ideologi PKI. Seperti lagu berjudul Ganefo, 1 Mei, Harian Rakyat, Mars Lekra dan Proklamasi11. Saking tenarnya lagu Genjer-Genjer, artis Bing Slamet12 maupun Lilis Suryani13 pernah menyanyikannya dan menjadi idola masyarakat pada zamannya.
Pelarangan terhadap lagu Genjer-Genjer oleh rezim Orde Baru bukan semata-mata lagu tersebut dihubungkan dengan aksi pembersihan terhadap organ-organ yang berbau ideologi kiri namun juga dihubungkan dengan sebuah anggapan yang ditransmisikan melalui film
Pengkhianatan G30S.PKI dimana dalam adegan film diperlihatkan bagaimana orang-orang
10
Ibid.,
11
Asepta L. Virgot, Gendjer-gendjer, Propaganda & Pembelokan Sejarah
http://sep2sip.blogspot.com/2012/10/gendjer-gendjer-propaganda-pembelokan.html
12
Bing Slamet Genjer-Genjer
https://www.youtube.com/watch?v=Kt23kMYyrzo
13
Genjer-Genjer, Lilis Suryani
komunis khususnya Gerwani saat mengeksekusi para jenderal yang diculik menyanyikan lagu
Genjer-Genjer namun dengan syair berbeda yaitu:
Jendral Jendral Nyang ibukota pating keleler
Emake Gerwani, teko teko nyuliki jendral
Oleh sak truk, mungkir sedot sing toleh-toleh
Jendral Jendral saiki wes dicekeli
Jendral Jendral isuk-isuk pada disiksa
Dijejer ditaleni lan dipulosoro
Emake gerwani teko kabeh melu ngersoyo
Jendral-jendral maju terus dipateni14
Relevankah Pelarangan Lagu Genjer-Genjer di Era Reformasi?
Kebudayaan didefinisikan oleh Edward B. Taylor sebagai, “Kompleks keseluruhan yang
meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan serta lain-lain kecakapan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”15. C. Kluckhon dalam bukunya, Universal Categories of Culture menyebutkan adanya tujuh unsur kebudayaan secara universal sbb: sistem pengetahuian, sistem organisasi, sistem sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, bahasa serta kesenian16. Jika disederhanakan, kebudayaan memiliki tiga wujud sebagaimana dijelaskan Koentjaraningrat yaitu: Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebaginya. Kedua, wujud kebudayaan sebagai kompleks aktifitas serta berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia17.
Seni dan kesenian adalah salah satu “unsur kebudayaan” (istilah C. Kluckhon) atau “wujud
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia” (istilah Koentjaraningrat). Lagu Genjer-Genjer secara historis adalah produk sebuah karya seni yang mengadaptasi karya seni sebelumnya yaitu Tong Alak Gentak. Dengan demikian lagu Genjer-Genjer adalah produk kebudayaan berupa kesenian suara yang lahir dalam konteks masyarakat tertentu. Dalam hal ini, lagu Genjer-Genjer
sejak awal diciptakannya hendak merefleksikan keprihatinan dan kesengsaraan rakyat di zaman
14
Ibid.,
15
William A. Haviland, Antropologi Jilid I (terjemahan R.G. Soekadijo), Jakarta: Erlangga 1995, hal 332-333
16
Ruddy Agustyanto dkk, Pengantar Antropologi, Tanggerang: Universitas Terbuka 2011, hal 5.33-5.34
17
kolonialisme Jepang sehingga mereka akhirnya harus mengonsumsi genjer yang biasanya untuk pakan hewan ternak.
Namun dikarenakan lagu Genjer-Genjer dipopulerkan melalui seniman-seniman yang tergabung dengan Lekra yang merupakan underbouw partai komunis dan ditahun 1965 dituding bertanggung jawab terhadap penculikkan tujuh jendral Angkatan Darat dalam peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S/PKI) atau kudeta 1 Oktober 1965 maka sebagaimana pembalasan yang mengerikan terhadap orang-orang kiri (komunis), maka demikianlah terjadi pemusnahan terhadap segala sesuatu yang berbau kiri (komunis) baik itu sistem politiknya, produk kebudayaannya, karya intelektual mereka (buku-buku yang mewakili epistemologi kiri) ataupun karya sastra (novel dan syair) baik melalui kekerasan langsung, kekerasan struktural maupun kekerasan budaya, meminjam istilah Johan Galtung yang disitir Wijaya Herlambang.
Di era Reformasi dimana sejarah silam mulai banyak ditelaah kembali dalam perspektif baru, demikianlah seharusnya lagu Genjer-Genjer dikembalikan pada konteks historisnya sebelum dilekatkan dengan aktifitas perjuangan kiri (komunis) dan kemudian distigmatisasi sebagai lagu yang merepresentasi kekejaman orang-orang komunis saat mengeksekusi para jenderal yang diculiknya. Setidaknya, dalam pelajaran sejarah dan sastra eksistensi historis lagu Genjer-Genjer
selayaknya diperkenalkan pada anak didik agar mereka mengetahui makna lagu ini dari perspektif historis sebelum kemudian lagu ini mendapatkan stigmatisasi dan kekerasan budaya. Dengan mengembalikan konteks historis dan makna lagu Genjer-Genjer, maka karya sastra dan syair lagu yang saat ini teraniaya dibersihkan namanya dan dikembalikan sebagai produk kebudayaan pada zamannya yang menyuarakan getirnya kemiskinan dan kemelaratan sehingga mendorong anak didik untuk memerangi kemiskinan yang masih menjadi musuh laten sejak republik ini diresmikan bernama Indonesia.
Artikel ini di posting di link berikut: