A.
Pengertian
Hukum Tindak pidana khusus ini diatur dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU pidana merupakan indikator apakah UU pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU pidana tersendiri. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Pompe yang mengatakan : “Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi
tersendiri” .
B. Dasar Hukum
UU Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU No 7 Drt 1955 (Hukum Pidana Ekonomi), UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2002 dan UU No 1/Perpu/2002 dan UU No 2/Perpu/2002.
Hukum Tindak Pidana Khusus mengatur perbuatan tertentu atau untuk orang/golong- an tertentu. Hukum Tindak Pidana Khusus menyimpang dari Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formal. Penyimpangan diperlukan atas dasar kepentingan hukum. Dasar Hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :
1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepanjang UU itu tidak menentukan lain.
2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).
Perundang-undangan Pidana :
Apabila diperhatikan suatu undang-undang dari segi hukum pidana ada bebebarapa substansi:
1. UU saja yang tidak mengatur ketentuan pidana (seperti UU No 1 Tahun 1974, UU No 7/1989 yang diubah dengan UU No 3/2006, UU No 8/1974 yang diubah dengan UU No 43/1999, UU No
22/1999 yang diubah denghan UU No 32/2004 , UU No 4 / 2004, UU No 23/1999 yang diubah dengan UU No 3/2004).
2. UU yang memuat ketentuan pidana, maksudnya mengancam dengan sanksi pidana bagi
pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu yang disebut dalam Bab ketentuan pidana. (seperti UU No 2/2004, UU No /1999, UU No 8/1999, UU No 7/1996, UU No 18/1997 yang diubah dengan UU No 34/2000, UU No 23/2004, UU No 23/20020, UU No 26/2000).
3. UU Pidana, maksudnya undang-undang yang merumuskan tindak pidana dan langsung mengancam dengan sanksi pidana dengan tidak mengatur bab tersendiri yang memuat ketentuan pidana. (seperti UU No 31/1999, UU No 20/2002, UU No 1/Perpu/2000, UU No 15/2002 yang diubah dengan UU No 25/2003)
4. UU Hukum Pidana adalah undang-undang yang mengatur ketentuan hukum pidana. undang ini terdiri dari undang-undang pidana materil dan formal (undang-undang acara pidana).
Kedua undang-undang hukum pidana ini dikenal dengan sebutan “Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana” (seperti KUHP, UU No 8/ 1981 tentang KUHAP, KUHP Militer).
C. Kekhususan T.P. Khusus.
Hukum Tindak Pidana Khusus mempunyai ketentuan khusus dan penyimpangan
terhadap hukum pidana umum, baik dibidang Hukum Pidana Materiil maupun dibidang Hukum Pidana Formal. Hukum Tindak Pidana Khusus berlaku terhadap perbuatan tertentu dan atau untuk golongan / orang-orang tertentu. Adapun kekhususan dari Tindak Pidana Khusus dapat berupa :
1. Kekhususan Hukum Tindak Pidana Khusus dibidang Hk. Pidana Materil.
Penyimpangan dalam pengertian menyimpang dari ketentuan Hukum Pidana Umum
dan dapat berupa:
- Menentukan sendiri yang sebelumnya tidak ada dalam HPU disebut dengan ketentuan khusus.
- Hukum Pidana bersifat elastis (ketentuan khusus).
- Percobaan dan membantu melakukan tindak pidana diancam dengan hukuman. (menyimpang).
- Pegawai Negeri merupakan Sub. Hukum tersendiri.(ket. khs).
- Mempunyai sifat terbuka, maksudnya adanya ketentuan untuk memasukkan tindak pidana yang berada dalam UU lain asalkan UU lain itu menetukan menjadi tindak pidana (ket.khus).
- Pidana denda + 1/3 terhadap korporasi. (menyimpang). - Perampasan barang bergerak, tidak bergerak (ket. khs).
- Adanya pengaturan tindak pidana selain yang diatur dalam UU itu.(ket.khs). - Tindak pidana bersifat transnasional. (ket.khs).
- Adanya ketentuan yurisdiksi dari negara lain terhadap tindak pidana yang terjadi. (ket.khs).
2. Penyimpangan terhadap Hukum Pidana Formal, dapat berupa :
- Penyidikan dapat dilakukan oleh Jaksa maupun Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Perkara pidana khusus harus didahulukan dari perkara pidana lain; - Adanya gugatan perdata terhadap tersangka / terdakwa TP Korupsi. - Penuntutan Kembali terhadap pidana bebas atas dasar kerugian negara; - Perkara pidana Khusus di adili di Pengadilan khusus (HPE);
- Dianutnya Peradilan In absentia;
- Diakuinya terobosan terhadap rahasia bank; - Dianutnya Pembuktian terbalik;
D. Ruang Lingkup Tindak Pidana Khusus
-
Tindak Pidana Korupsi
- Tindak Pidana Pencucian Uang
- Tindak Pidana HAM Berat
- Tindak Pidana Terorisme
- Tindak Pidana Narkotika
- Tindak Pidana Lingkungan Hidup
- Tindak Pidana Perdagangan Orang
- Tindak Pidana Anak
- Tindak Pidana Kehutanan
Pengelolaan Keuangan Negara / Daerah ?????
PENDAHULUAN
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
Pengertian penegakan hukum dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya
INDONESIA NEGARA HUKUM.
Segala sesuatu yang ada di indonesia diatur oleh hukum, - Hukum yang tertulis.
- Hukum yang tidak tertulis/ adat / kebiasaan. - Hukum
Dilihat dalam garis - garis besarnya, dengan berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama atau sumber pokok hukum pidana, hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang memuat ketentuan-ketentuan tentang :
1. Aturan Umum Hukum Pidana dan Aspek Larangan Berbuat yang
Disertai Ancaman Pidana.
2. Kesalahan dan pertanggungjawaban pidana pada diri sipembuat (Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan).
3. Tindakan dan upaya - upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya.
PEMAHAMAN TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI
Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang
merusak dan mengancam sendi-sendi kehidupan bangsa. Pelbagai peraturan peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan untuk memberantas korupsi telah diterbitkan. Namun, praktik korupsi masih terus berulang dan semakin kompleks dalam realisasinya.
Pada tahun 2010, menurut data Pacific Economic and Risk Consultansy, Indonesia
menempati urutan teratas sebagai negara terkorup di Asia. Jika dilihat dalam kenyataan sehari-hari korupsi hampir terjadi disetiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari mengurus Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Proyek Pengadaan Barang/Jasa di instansi pemerintah, sampai proses penegakkan hukum.
Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar
Kebiasaan berperilaku koruptif yang terus berlangsung di kalangan masyarakat salah satunya disebabkan karena masih kurangnya pemahaman mereka terhadap pengertian korupsi. Selama ini, kosakata korupsi sudah populer di Indonesia. Hampir semua orang pernah mendengar kata korupsi. Dari mulai rakyat yang tinggal di pedalaman, mahasiswa, pegawai negeri, orang swasta, aparat penegak hukum sampai pejabat negara. Namun jika ditanya kepada mereka apa itu korupsi, jenis perbuatan apa saja yang bisa dikategorikan tindak pidana korupsi? Hampir dipastikan sangat sedikit yang bisa menjawab secara benar bentuk / jenis korupsi sebagaimana dimaksud oleh undang-undang.
Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas di dalam Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagian besar pengertian korupsi didalam undang-undang tersebut dirujuk dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lahir sebelum negara ini merdeka. Namun hingga saat ini pemahaman masyarakat terhadap pengertian korupsi masih sangat kurang.
Menjadi lebih memahami pengertian korupsi juga bukan sesuatu hal yang mudah. Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kebiasaan berperilaku koruptif yang selama ini dianggap sebgai hal wajar dan lumrah dapat dinyatakan sebagai Tindak Pidana Korupsi. Seperti Gratifikasi (pemberian hadiah) kepada penyelenggara negara dan berhubungan dengan jabatannya, jika tidak dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menjadi salah satu bentuk Tindak Pidana Korupsi.
Mengetahui bentuk / jenis perbuatan yang bisa dikategorikan
Apa Yang Dimaksud Dengan Korupsi ?
Korupsi bersasal bahasa latin “Corruptio,” atau “Corruptos”
Kata tersebut kemudian diadopsi ke dalam beberapa bahasa, diantaranya yaitu : Bahasa Inggris : Corruption ( Corrupt )
Bahasa Belanda : Corruptie
Bahasa Indonesia : Korupsi
Korupsi secara harfiah bisa berarti :
1. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan
ketidakjujuran
2. Perbuatan yg buruk (penggelapan, uang, penerimaan uang sogok, dsb) 3. Perbuatan yg kenyataan menimbulkan keadaan yg bersifat buruk
Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang dalam 30 buah Pasal
Ketigapuluh bentuk / jenis tindak pidana korupsi tersebut pada
dasarnya dapat dikelompokan sebagai berikut :
1.
Kerugian keuangan negara
2.
Suap - Menyuap
3.
Penggelapan dalam jabatan
4.
Pemerasan
5.
Perbuatan curang
6.
Benturan kepentingan dalam pengadaan
Selain defenisi tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan diatas,
masih ada tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi. Jenis tindak pidana lain tersebut tertuang dalam Pasal 21, 22,
23, dan 24 Bab III UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi.
Janis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi
terdiri atas :
1.
Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi.
2.
Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak
benar.
3.
Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka.
4.Saksi atau Ahli yang tidak memberika keterangan atau memberi
keterangan palsu.
5.
Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan
keterangan atau memberi keterangan palsu.
EKSTRA
ORDINARY CRIME (Kejahatan Luar
Biasa):
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak
terkendali akan membawa bencana yang tidak saja
terhadap kehidupan perekonomian nasional, tetapi
juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara
pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang
meluas dan sistematis juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak
ekonomi masyarakat, dan karena itu maka tindak
pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan
Upaya Penanggulangannya :
Untuk menanggulangi kejahatan yang luar biasa tersebut
diperlukan suatu kebijakan sosial (
sosial policy
).
Kemudian dijabarkan dalam kebijakan penegakan hukum
(
law enforcement policy
).
Pada tataran tersebut dirumuskan dan ditegakkan pula
kebijakan pidana (
criminal policy
).
Dengan demikian tampak bahwa kebijakan pidana
merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum yang
secara keseluruhan berada dalam suatu sistem kebijakan
sosial. Oleh karena itu kebijakan pidana harus memiliki
sinkronisasi dengan kebijakan penegakan hukum,
sedangkan kebijakan penegakan hukum harus pula searah
dan dijiwai oleh kebijakan sosial atau arah kebijakan
Trend Perkembangan :
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas
dalam kehidupan masyarakat. Perkembangannya
terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari
jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian
keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak
pidana yang dilakukan semakin sistematis serta
lingkupnya yang memasuki seluruh aspek
Faktor-faktor penyebab korupsi di
Indonesia meliputi 4 aspek, yaitu:
1.Aspek perilaku individu
,
yaitu faktor-faktor internal yang mendorong
seseorang melakukan korupsi, seperti adanya
sifat tamak, moral yang kurang kuat
menghadapi godaan, penghasilan yang tidak
mencukupi kebutuhan hidup yang wajar,
2. Aspek Organisasi
.
yaitu kurang adanya keteladanan dari pimpinan,
kultur organisasi yang tidak benar, sistem
3.Aspek masyarakat
,
yaitu berkaitan dengan lingkungan masyarakat
dimana individu dan organisasi tersebut
berada, seperti nilai-nilai yang berlaku yang
kondusif untuk terjadinya korupsi, kurangnya
kesadaran bahwa yang paling dirugikan dari
terjadinya praktek korupsi adalah masyarakat
dan mereka sendiri terlibat dalam praktek
korupsi, serta pencegahan dan pemberantasan
korupsi hanya akan berhasil bila masyarakat
ikut berperan aktif. Selain itu adanya penyalah
artian pengertian-pengertian dalam budaya
4.Aspek peraturan perundang-undangan
,
yaitu terbitnya peraturan perundang-undangan
yang bersifat monopolistik yang hanya
menguntungkan kerabat dan atau kroni
penguasa negara, kualitas peraturan
perundang-undangan yang kurang memadai,
judicial review yang kurang efektif, penjatuhan
sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi
tidak konsisten dan pandang bulu, serta
MENGAPA KORUPSI
TERJADI
KORUPSI
Tiga Aspek :
prepared by mulia ardi
Institusi/Administrasi
Manusia
1. Kerugian Keuangan Negara ;
Pasal 2
Pasal 3
2. Suap – Menyuap ;
•
Pasal 5 Ayat (1) huruf a
•
Pasal 5 Ayat (1) huruf b
•
Pasal 13
•
Pasal 5 Ayat (2)
•
Pasal 12 huruf a
•
Pasal 12 huruf b
•
Pasal 11
•
Pasal 6 Ayat (1) huruf a
•
Pasal 6 Ayat (1) huruf b
•
Pasal 6 Ayat (2)
•
Pasal 12 huruf c
3. Penggelapan Dalam Jabatan ;
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10 huruf a
Pasal 10 huruf b
Pasal 10 huruf c
4. Pemerasan ;
Pasal 12 huruf e
Pasal 12 huruf g
Pasal 12 huruf f
5. Perbuatan Curang ;
Pasal 7 Ayat (1) huruf a
Pasal 7 Ayat (1) huruf b
Pasal 7 Ayat (1) huruf c
Pasal 7 Ayat (1) huruf d
Pasal 7 Ayat (2)
6.Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan ;
Pasal 12 huruf i
7.Gratifikasi ;
Pasal 12 B jo. Pasal 12 C
8. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi.
1.
Pasal 21 : Merintangi Proses Pemeriksaan Perkara
Korupsi
2.
Pasal 22 jo Pasal 28 :Tidak Memberi Keterangan
atau Memberi Keterangan Yang Tidak Benar
3.
Pasal 22 jo Pasal 29 : Bank Yang Tidak Memberikan
Rekening Tersangka
4.
Pasal 22 jo Pasal 35 : Saksi atau Ahli Yang Tidak
Memberi Keterangan atau Memberi Keterangan
Palsu
5.
Pasal 22 jo Pasal 36 : Orang Yang Memegang
Rahasia Jabatan Tidak Memberikan Keterangan
atau Memberi Keterangan Palsu
6.
Pasal 24 jo Pasal 31 : Saksi Yang Membuka
UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI
Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk tindak pidana korupsi, harus memenuhi rumusan unsur-unsur sebagaimana termuat dalam masing-masing Pasal, yaitu :
Unsur Pasal 2 :
Setiap orang ;
Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi ; Dengan cara melawan hukum ;
Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Unsur Pasal 3 :
Setiap orang ;
Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
korporasi ;
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana ; Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan ;
Unsur Pasal 5 ayat (1) huruf a :
Setiap orang ;
Memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu ;
Kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara ;
Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya sehingga bertentangan dengan kewajibannya.
Unsur Pasal 5 ayat (1) huruf b :
Setiap orang ;
Memberi sesuatu ;
Kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara ;
Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan
dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Unsur Pasal 13 :
Setiap orang ;
Memberi hadiah atau janji ; Kepada Pegawai Negeri ;
Dengan mengingat kekuasan atau wewenang yang melekat pada
Unsur Pasal 5 ayat (2) :
Pegawai Negeri atau Penyelanggara Negara ; Menerima pemberian atau janji ;
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b
Unsur Pasal 12 huruf a :
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara ; Menerima hadiah atau janji ;
Diketahuinya bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya ;
Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Unsur Pasal 12 huruf b :
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara ; Menerima hadiah ;
Diketahuinya bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau
karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya ;
Patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau
Unsur Pasal 11 :
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara ; Menerima hadiah atau janji ;
Diketahuinya ;
Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dan menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungan dengan jabatannya. Unsur Pasal 6 Ayat (1) huruf a :
Setiap orang ;
Memberi atau menjanjikan sesuatu ; Kepada hakim ;
Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili. Unsur Pasal 6 Ayat (1) huruf b :
Setiap orang ;
Memberi atau menjanjikan sesuatu ;
Kepada Advokat yang menghadiri sidang pengadilan ;
Dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang
Unsur Pasal 6 Ayat (2) :
Hakim atau Advokat ;
Yang menerima pemberian atau janji ;
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf a atau huruf b.
Unsur Pasal 12 huruf c :
Hakim ;
Menerima hadiah atau janji ;
Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. Unsur Pasal 12 huruf d :
Advokat yang menghadiri sidang di pengadilan ;
Menerima hadiah atau janji ;
Unsur Pasal 8
Pegawai Negeri atau selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu ;
Dengan sengaja ;
Menggelapkan atau membiarkan orang lain mengambil atau membiarkan orang lain menggelapkan atau
membantu dalam melakukan perbuatan itu ;
Uang atau Surat Berharga ;
Yang disimpan karena jabatannya. Unsur Pasal 9
Pegawai Negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu ;
Dengan sengaja ; Memalsu ;
Buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
Unsur Pasal 10 hurf a
Pegawai Negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu ;
Dengan sengaja ;
Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai ;
Barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan
atau membuktikan dimuka pejabat yang berwenang ;
Yang dikuasainya karena jabatan.
Unsur Pasal 10 hurf b :
Pegawai Negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu ;
Dengan sengaja ;
Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai ;
Barang, akta, surat, atau daftar sebagaimana disebut pada pasal
Unsur Pasal 10 huruf c
Pegawai Negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu ;
Dengan sengaja ;
Membantu orang lain Menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai ;
Barang, akta, surat, atau daftar sebagaimana dimaksud pada
Pasal 10 huruf a.
Unsur Pasal 12 huruf e :
Pegawai Negeri atau penyelenggara negara ;
Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain ; Secara melawan hukum ;
Memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau
menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya.
Unsur Pasal 12 huruf g :
Pegawai negeri atau penyelenggara negara ; Pada waktu menjalankan tugas ;
Meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang ; Seolah-olah merupakan hutang kepada dirinya ;
Diketahuinya bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang.
Unsur Pasal 12 huruf f :
Pegawai negeri atau penyelenggara negara ; Pada waktu menjalankan tugas ;
Meminta, menerima, atau memotong pembayaran ;
Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau
kepada kas umum ;
Seolah olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain
atau kas umum mempunyai hutang kepadanya.
Unsur Pasal 7 Ayat (1) huruf a :
Pemborong, Ahli Bangunan, atau Penjual Bahan Bangunan ; Melakukan perbuatan curang ;
Pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bahan bangunan ; Yang dapat membahayakan keamanan orang atau keamanan barang
atau keselamatan negara dalam keadaan perang.
Unsur Pasal 7 Ayat (1) huruf b:
Pengawas bangunan atau pengawas penyerahan bahan bangunan ; Membiarkan dilakukannya perbuatan curang pada waktu membuat
bangunan atau menyerahkan bahan bangunan ;
Dilakukan dengan sengaja ;
Sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 Ayat (1) huruf a
Unsur Pasal 7 Ayat (1) huruf c :
Setiap orang ;
Melakukan perbuatan curang ;
Pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI dan atau
Kepolisian negara RI ;
Dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan
Unsur Pasal 7 Ayat (1) huruf d :
Orang yang bertugas mengawasi penyerahan
barang keperluan TNI dan atau Kepolisian RI
Membiarkan perbuatan curang (sebagaimana
dimaksud pada Pasal 7 ayat 1 huruf c) ;
Dilakukan dengan sengaja.
Unsur Pasal 7 Ayat (2) :
Orang yang menerima penyerahan bahan
bangunan atau orang yang menerima
penyerahan barang keperluan TNI dan atau
Kepolisian negara RI ;
Membiarkan perbuatan curang ;
Unsur Pasal 12 huruf h
Pegawai negeri atau penyelenggara negara ;
Pada waktu menjalankan tugas menggunakan tanah negara yang diatasnya ada hak pakai
Seolah olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan ;
Telah merugikan yang berhak ;
Diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Unsur Pasal 12 huruf I :
Pegawai negeri atau penyelenggara negara ;
Dengan sengaja ;
Langsung atau tidak langsung turut serta dalam pemborongan pengadaan atau persewaan.
Pada saat dilakukan perbuatan untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
Unsur Pasal 12 huruf b:
Pegawai negeri atau penyelenggara negara ;
Menerima gratifikasi ;
Yang berhubungan dengan jabatan dan
berlawanan dengan kewajibannya atau
tugasnya.
Penerimaan gratifikasi tersebut tidak
dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu
30 hari sejak diterimanya gratifikasi.
Unsur Pasal 21 :
Setiap orang ;
Dengan sengaja ;
Mencegah, merintangi atau menggagalkan ;
Secara langsung atau tidak langsung ;
Penyidikan , penuntutan dan pemeriksaan disidang
Unsur pasal 22 jo. Pasal 28 :
Tersangka ;
Dengan sengaja ;
Tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu
;
Tentang keterangan harta bendanya atau harta benda istri
suaminya atau harta benda anaknya atau harta benda setiap
orang atau korporasi yang diketahui atau patut diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan
tersangka.
Unsur Pasal 22 jo Pasal 29 :
Orang yang ditugaskan oleh bank ; Dengan sengaja ;
Tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan
palsu tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa.
Unsur Pasal 22 jo. Pasal 35 :
Saksi atau ahli ; Dengan sengaja ;
Tidak memberikan keterangan atau memberikan
Unsur Pasal 22 jo. Pasal 36 :
Orang yang karena pekerjaan, harkat,
martabat atau jabatannya yang diwajibkan
menyimpan rahasia ;
Dengan sengaja ;
Tidak memberikan keterangan atau
memberikan keterangan yang isinya palsu.
Unsur Pasal 24 jo Pasal 31:
Saksi ;
Menyebut nama atau nama alamat pelapor
atau hal-hal lain yang memungkinkan
Menerima Hadiah atau Janji
berhubungan dengan Jabatannya
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta
Pegawai negeri atau penyelenggara negara Menerima hadiah atau janji
Padahal diketahuinya
Atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
Pasal 5 ayat (1) huruf a
Memberi atau menjanjikan sesuatu;
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;
dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya;
yang bertentangan dengan kewajibannya.
Menyuap Pegawai Negeri atau Penyelenggara
Negara
Pasal 7 ayat (1) huruf a
Pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan bangunan; Melakukan perbuatan curang;
Pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bahan
bangunan ;
Yang dapat membahayakan keamanan orang atau keamanan
barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang .
Pemborong Berbuat Curang
Dipidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
Pasal 7 ayat (1) huruf b
Pengawas bangunan atau pengawas penyerahan bahan bangunan; Membiarkan dilakukannya perbuatan curang pada waktu membuat
bangunan atau menyerahkan bahan bangunan ; Dilakukan dengan sengaja ;
Sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) huruf a .
Pengawas Membiarkan Kecurangan
Dipidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
Pasal 12 huruf e
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling
banyak Rp 1 miliar:
Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain;
Secara melawan hukum;
Memaksa seseorang memberikan sesuatu,
membayar, atau menerima bayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi
dirinya sendiri;
Menyalahgunakan kekuasaannya.
Turut Serta Dalam Pengadaan
Pasal 12 huruf i
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling
banyak Rp 1 miliar:
Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
Dengan sengaja;
Langsung atau tidak langsung turut serta dalam
pemborongan, pengadaan, atau persewaan;
Pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau
Pasal 12B ayat (1)
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan
dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
yang nilainya Rp 10 juta atau lebih, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
yang nilainya kurang dari Rp 10 juta pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan pasal 12 B
UU No. 20 Tahun 2001
Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang,
rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan
sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik .
Pengecualian
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) :
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1)
Sanksinya
Pasal 12B ayat (2)
Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling
Pelaporan dan Penentuan Status Gratifikasi
Modus Operandi Korupsi
PENYIMPANGAN PROSEDUR
PENGADAAN BARANG / JASA INSTANSI PEMERINTAH TIDAK SESUAI PERATURAN PER UU AN.
BUKU/DAFTAR YG BIASA DIGUN PEMERIKSAAN ADM
MARK - UP
PERBUATAN CURANG
GRATIFIKASI ( SUAP )
PENGGELAPAN
PEMALSUAN
HARGA / JUMLAH -PERENCANAAN, -PELAKSANAAN -PELAPORAN
PENGADAAN BARANG/JASA TIDAK SESUAI OWNER ESTIMATE
PENERIMA TIDAK MELAPOR KEPADA KPK
UANG DAN SURAT BERHARGA DALAM JABATAN
DALAM JABATAN
PEMERASAN
Sebagaimana UU NO 31 / 1999 yang telah diubah denganUU NO 20 / 2001
Pelaku KORUPSI
-Perbuatan curang, membahayakan keamanan umum (Psl 7)
PEMBORON
-UU Lain yang menyebut ---korupsi
SUBYE
K PERBUATAN AKIBAT
SETIAP ORANG
-Merugikan Ku / ekonomi Negara -Merugikan individu, instansi, dunia usaha & masyarakat
-Bangsa dan negara terpuruk
-Memperkaya diri, orang lain, koorporasi secara melawan hukum (Psl 2)
-Menguntungkan diri, orang lain, koorporasi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana karena jabatan /kedudukan (Psl 3)
-Pegawai negeri -Selain PN
Melawan Hukum untuk Memperkaya Diri dan
Menyalahgunakan Kewenangan
Pasal 2 (Break of Law)
secara melawan hukum;
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi;
Setiap
Pasal 3 (Abuse of Power)
- dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;
- menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
Keuangan / Perekonomian negara
Unsur Keuangan Negara :
Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan (termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
1. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat negara, baik di
tingkat pusat maupun di daerah.
2. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, Yayasan,
Badan Hukum, dan perusahaan yg menyertakan modal negara, atau perusahaan yg menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian degan negara.
Unsur Perekonomian Negara :
Penjelasan Umum UU No.31 Tahun 1999 menjelaskan sebagai berikut :
Pengertian perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat mandiri yg didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengaan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.
Korporasi :
PERLUASAN PENGERTIAN PEGAWAI NEGERI
1.
Orang yang mendapat gaji, upah dari negara atau
korporasi.
2.
Orang yang menerima Modal atau fasilitas dari negara.
PIDANA KHUSUS
PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI
PREVENTIF
(Pencegahan) (Penindakan)REPRESIF
Pelaksanaan Program Binmatkum
UPAYA PENEGAKAN HUKUM :
Preventif
, yaitu strategi yang diarahkan untuk
mencegah terjadinya tindak pidana dengan cara
menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor
penyebab atau peluang terjadinya tindak pidana.
Detektif
, yaitu strategi yang diarahkan untuk
mengidentifikasi tindak pidana yang sering terjadi.
Represif
, yaitu strategi yang diarahkan untuk
PERAN SERTA MASYARAKAT
1. Pasal 41 UU 31/1999 Jo UU 20/2001 : Pada intinya masyarakat dapat
berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
2. Wujud dari peran serta masyarakat tersebut berupa :
Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan
telah terjadi tindak pidana korupsi.
Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan
memberikan informasi adanya dugaan TPK kepada Aparat Penegak Hukum yang menangani perkara TPK.
Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab
kepada penegak hukum yang menangani TPK.
Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya
yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu 30 hari.
Penyelidikan
Adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Tugas penyelidikan adalah sangat penting karena merupakan landasan
yang kuat didalam menunjang tugas penyidikan.
Sumber Informasi Sebagai Dasar Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi
didapat dari :
1.
Laporan atau Pengaduan Masyarakat
2.
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI
3.
Temuan sendiri.
4.
Media massa.
L / satuan operasi L / satuan TO
L / satuan penyelidikan Jaksa Ke
sim
pu
la
Kegiatan penyelidikan dilakukan segera setelah aparat penegak hukum menerima
informasi / laporan / pengaduan tentang dugaan adanya suatu tindak pidana korupsi. Kegiatan penyelidikan ditujukan untuk Mencari, Menggali, Mengumpulkan Bahan Keterangan, dan Data-Data sebanyak dan selengkap mungkin dari berbagai sumber, baik dilakukan secara terbuka maupun tertutup, yang selanjutnya bahan keterangan dan data-data tersebut diolah dalam satu proses sehingga menghasilkan suatu kesimpulan.
Oleh karena tugas penyelidikan berfungsi sebagai dasar untuk tugas penyidikan
selanjutnya maka hasil tugas penyelidikan tersebut diharapkan dapat memberikan kesimpulan bahwa :
Apakah suatu peristiwa pidana itu adalah merupakan suatu kejahatan yang sekaligus dapat menentukan arah dan alat bukti yang telah diperoleh, sehingga dapat mempermudah penyidikanya.
“ BUKTI PERMULAAN “
Dalam hal Penyidik yang melakukan Penyidikan menetapkan seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya patut diduga sebagai tersangka pelaku tindak pidana, maka penetapan Penyidik itu harus didasarkan pada “Bukti Permulaan” (Prima Facie Evident)
Demikian pula dalam hal Penyidik melakukan tindakan penangkapan terhadap seorang yang diduga keras sebagai pelaku tindak pidana, maka perintah penangkapan itu harus didasarkan pada “Bukti Permulaan”
“ BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP “
Adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana.
Sekurang-kurangnya terdapat 2 (dua) alat bukti yang sah.
ALAT BUKTI YANG SAH : 1. Keterangan Saksi 2. Keterangan Ahli 3. Surat
4. Petunjuk
Dalam penjelasan Pasal 17 KUHAP diterangkan bahwa : “Yang dimaksud dengan Bukti Permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bukyi Pasal 1 butir 14”
Pasal tersebut menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul melakukan tindak pidana.
Dengan membaca penjelasan Pasal 17, ternyata apa yang dimaksud dengan Bukti Permulaan (Prima Facie Evident) masih tetap tidak jelas, apakah bukti permulaan itu berbentuk Barang Bukti ataukah berbentuk Alat Bukti Yang Sah.
Hal ini dapat menimbulkan munculnya berbagai penafsiran, berhubung tindakan Penyidikan itu mempunyai tujuan utama untuk mengumpulkan Bukti yang pada akhirnya akan bermuara pada penyajian pembuktian di muka sidang Pengadilan, maka penafsiran terhadap pengertian “Bukti” harus didasarkan dan tidak boleh dilepaskan dari pengertian “Alat-Alat Bukti Yang Sah”
Untuk dapat lebih memahami bahwa yang dimaksud dengan pengertian Bukti Untuk dapat lebih memahami bahwa yang dimaksud dengan pengertian Bukti
Permulaan itu adalah merupakan alat bukti yang sah, maka hal tersebut perlu
Permulaan itu adalah merupakan alat bukti yang sah, maka hal tersebut perlu
dikaitkan dengan keseluruhan proses peradilan perkara pidana yang dimulai
dikaitkan dengan keseluruhan proses peradilan perkara pidana yang dimulai
dari proses PENYIDIKAN, yaitu dalam bentuk serangakaian tindakan
dari proses PENYIDIKAN, yaitu dalam bentuk serangakaian tindakan
PENYIDIK dalam hal dan menurut cara-cara yang diatur dalam KUHAP untuk
PENYIDIK dalam hal dan menurut cara-cara yang diatur dalam KUHAP untuk
mencari serta mengumpulkan “Bukti” (alat-alat bukti dan barang bukti) yang
mencari serta mengumpulkan “Bukti” (alat-alat bukti dan barang bukti) yang
dengan bukti itu tindak pidana yang ditangani menjadi terang / jelas
dengan bukti itu tindak pidana yang ditangani menjadi terang / jelas
(jenis/kualifikasinya, apakah pencurian, penggelapan, penipuan, penganiayaan,
(jenis/kualifikasinya, apakah pencurian, penggelapan, penipuan, penganiayaan,
pembunuhan, atau korupsi) dan sekaligus untuk menentukan dan menemukan
pembunuhan, atau korupsi) dan sekaligus untuk menentukan dan menemukan
siapa orang yang menjadi tersangka pelaku tindak pidana yang sedang
siapa orang yang menjadi tersangka pelaku tindak pidana yang sedang
ditangani oleh Penyidik yang bersangkutan.
ditangani oleh Penyidik yang bersangkutan.
Sebagai target utama dari tindakan penyidikan adalah mengumpulkan bukti Sebagai target utama dari tindakan penyidikan adalah mengumpulkan bukti
yang terdiri dari barang bukti dan alat bukti yang sah.
yang terdiri dari barang bukti dan alat bukti yang sah.
Dengan demikian alat bukti yang dikumpulkan/diketemukan/diperoleh dalam Dengan demikian alat bukti yang dikumpulkan/diketemukan/diperoleh dalam
pemeriksaan Penyidikan tersebut dinamakan sebagai Bukti Permulaan, karena
pemeriksaan Penyidikan tersebut dinamakan sebagai Bukti Permulaan, karena
kedudukan dan dan fungsinya baru sebagai “Calon Alat Bukti Yang Sah”.
kedudukan dan dan fungsinya baru sebagai “Calon Alat Bukti Yang Sah”.
Calon alat bukti tersebut setelah disajikan atau diajukan oleh Penuntut Umum Calon alat bukti tersebut setelah disajikan atau diajukan oleh Penuntut Umum
di muka persidangan, maka calon alat bukti yang sah atau bukti permulaan
di muka persidangan, maka calon alat bukti yang sah atau bukti permulaan
tersebut benar-benar berubah menjadi “Alat Bukti Yang Sah
Penyidikan
Adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya.
Kegiatan penyidikan tindak pidana korupsi bertujuan
untuk mencari dan menemukan unsur-unsur tindak
pidana korupsi berikut alat bukti yang sah. Dengan
demikian dalam kegiatan penyidikan ini diarahkan pada
konstruksi pasal-pasal yang disangkakan.
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 109 Ayat (1)
Sasaran / target tindakan Penyidikan adalah mengupayakan PEMBUKTIAN tentang tindak pidana yang terjadi, agar tindak pidananya menjadi terang / jelas dan sekaligus menemukan siapa tersangka pelakunya.
Adapun yang dimaksud dengan “Pembuktian” adalah upaya menyajikan / mengajukan alat-alat bukti yang sah dan barang bukti di depan sidang Pengadilan untuk membuktikan kesalahan terdakwa sesuai dengan Surat Dakwaan Penuntut Umum.
Dari ketentutan tersebut diatas menimbulkan Penafsiran yang
berbeda-beda tentang pengertian Pra Penuntutan, yaitu :
1.
Pra Penuntutan ditafsirkan sebagai sarana koordinasi antara
Penyidik dengan Penuntut Umum sebelum Berkas Perkara
dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum.
2.
Kewenangan Penuntut Umum untuk memberikan petunjuk dan
pengarahan kepada Penyidik untuk kesempurnaan Berkas Perkara.
3.
Segala tindakan Penuntut Umum yang dilakukanya, sebelum
Berkas Perkara dilimpahkan ke Pengadilan.
DalamDalam Pasal 14 Huruf (b) KUHAPPasal 14 Huruf (b) KUHAP menyebutkan bahwa : menyebutkan bahwa : “
“Penuntut Umum mempunyai wewenang mengadakan Pra Penuntutan apabila Penuntut Umum mempunyai wewenang mengadakan Pra Penuntutan apabila ada kekurangan-kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan
ada kekurangan-kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan
ketentutan Pasal 110 Ayat (3) dan Ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam
ketentutan Pasal 110 Ayat (3) dan Ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam
rangka penyempurnaan dari penyidikan.”
rangka penyempurnaan dari penyidikan.” PRA
PROSES PRA PENUNTUTAN DI KEJAKSAAN
1. Segera setelah Pihak Kejaksaan menerima Surat Perintah Dimulainya
Penyidikan (SPDP) dari Penyidik, maka diterbitkan P-16 (Surat Perintah
Penunjukan Jaksa Penuntut Umum Untuk Mengikuti Perkembangan
Penyidikan Perkara Tindak Pidana).
2. Apabila setelah pengiriman SPDP, namun Penyidik belum juga
menyerah-kan hasil penyidimenyerah-kannya kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU), maka pihak
Kejaksaan menerbitkan P-17 (Surat Permintaan Perkembangan Hasil
Penyidikan)
3. Apabila setelah pengiriman SPDP, Penyidik segera menyerahkan berkas
perkara, maka Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang bersangkutan segera
memeriksa dan meneliti berkas perkara tersebut.
4. Apabila dan pemeriksaan dan penelitian berkas perkara tersebut, JPU
berpendapat masih diperlukan penyempurnaan, maka diterbitkan P-18 dan
P-19 untuk penyidik.
5. Bahwa Penyidik memiliki waktu selama 14 (empat belas) hari untuk
melakukan penyidikan tambahan dalam rangka penyempurnaan berkas
perkara.
6. Apabila dalam kurun waktu 14 hari, ternyata Penyidik belum
menyelesai-kan penyidimenyelesai-kan tambahan atau Penyidik belum mengembalimenyelesai-kan berkas
perkara tersebut ke Kejaksaan, maka pihak Kejaksaan menerbitkan P-20
(Surat Pemberitahuan Bahwa Waktu Penyidikan Tambahan Sudah
Habis).
7. P-21 (Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap) diterbit-kan
oleh Kejaksaan apabila hasil pemeriksaan dan penelitian berkas perkara
yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang ditunjuk untuk
mengikuti perkembangan penyidikan memberikan kesimpulan bahwa
Berkas Perkara tersebut telah memenuhi syarat FORMIL dan MATERIIL.
8. Apabila setelah diterbitkan P-21, namun Penyidik belum juga menyerah-kan
PENYIDIK menyerahkan Berkas Perkara Hasil Penyidikan kepada PENUNTUT UMUM. Penyerahan Berkas Perkara dari PENYIDIK kepada PENUNTUT UMUM dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu :
Penyerahan Berkas Perkara TAHAP PERTAMA
Penyerahan Berkas Perkara TAHAP KEDUA
TAHAP PERTAMA :
Penyidik hanya menyerahkan Berkas Perkara Hasil Penyidikan
TAHAP KEDUA :
Penyidik menyerahkan tanggung jawab Tersangka dan Barang Bukti
PRA PENUNTUTAN PENUNTUTAN
1
PENERIMAAN BERKAS PERKARA TAHAP-1
Setelah berkas perkara diterima dari Penyidik , tugas Jaksa Penuntut Umum adalah melakukan penelitian berkas perkara yang difokuskan kepada :
1. Kelengkapan formal, yakni meliputi segala sesuatu yang
berhubungan dengan formalitas / persyaratan, tata cara penyidikan, yang harus dilengkapi dengan Surat Perintah, Berita Acara. Izin/ Persetujuan Ketua Pengadilan , disamping penelitian kwantitas kelengkapan syarat formal, perlu diteliti pula kwalitan kelengkapan syarat formal, yakni keabsahannya sesuai ketentuan Undang –Undang.
2. Kelengkapan materiil: yakni kelengkapan informasi, data, fakta dan alat bukti yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian. Kriteria yang dapat digunakan sebagai tolok ukur kelengkapan materiil antara lain :
YAKNI meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan formalitas / persyaratan, yang
diantaranya meliputi :
Tatacara penyidikan yang harus dilengkapi dengan surat perintah
Berita Acara
Izin atau persetujuan pengadilan.
Disamping penelitian kuantitas kelengkapan syarat formil perlu diteliti pula kualitas
kelengkapan syarat formal, yakni keabsahannya sesuai ketentuan UU.
KELENGKAPAN MATERIIL
1. Apa yang terjadi (tindak pidana beserta kwalifikasi dan pasal
yang dilanggar);
2. Siapa pelaku, siapa siapa yang melihat, mendengar, mengalami
peristiwa itu (tersangka, saksi – saksi/ ahli);
3. Bagaimana perbuatan itu dilakukan (modus operandi); 4. Dimana perbuatan itu dilakukan (locus delicti);
5. Bilamana perbuatan dilakukan (tempus delicti)
6. Akibat apa yang ditimbulkannya (ditinjau secara victimologis)
7. Apa yang hendak dicapai dengan perbuatan itu (motivasi yang
mendorong pelaku).
8. Kelengkapan materiil terpenuhi bila segala sesuatu yang
PENERIMAAN BERKAS
mengetahui sejauh mana kebenaran tentang :
Keterangan-keterangan tersangka dalam BAP; Identitas tersangka (guna mencegah terjadinya Error in Persona; status tersangka (ditahan/tidak, Residivis atau pemula) maupun
kemungkinan ada tambahan keterangan dari tersangka.
HAL-HAL YANG PERLU DITELITI :
1. Kuantitas (jumlah,
ukuran,
takaran/timbangan atau satuan lainnya)
2. Kualitas (harga, nilai ,
mutu, kadar dan lain lain)
3. Kondisi (baik, rusak,
lengkap/ tidak lengkap).
PENUNTUTAN
Adalah tindakan PENUNTUT UMUM untuk melimpahkan perkara pidana ke
Adalah tindakan PENUNTUT UMUM untuk melimpahkan perkara pidana ke
Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur
Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh
dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh
HAKIM di sidang pengadilan.
HAKIM di sidang pengadilan.
“
“Penuntut Umum berwenang melakukan Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang
penuntutan terhadap siapapun yang
didakwa melakukan suatu tindak pidana
didakwa melakukan suatu tindak pidana
dalam daerah hukumnya dengan
dalam daerah hukumnya dengan
melimpahkan perkara ke Pengadilan yang
melimpahkan perkara ke Pengadilan yang
berwenang mengadili
berwenang mengadili””
( Pasal 137 KUHAP )( Pasal 137 KUHAP )
“
“Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar
Pengadilan Negeri dengan permintaan agar
segera mengadili perkara tersebut disertai
segera mengadili perkara tersebut disertai
dengan Surat Dakwaan
dengan Surat Dakwaan””
PROSES PENUNTUTAN DI KEJAKSAAN
1. Setelah PENYIDIK menyerahkan tanggung jawab tersangka berikut barang buktinya ke Kejaksaan, maka pada saat itu juga JPU melakukan Pemeriksaan terhadap Tersangka dan barang Bukti (Formulir Model : BA-15)
2. Selanjutnya diterbitkan Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Untuk Penyelesaian Tindak Pidana (Formulir Model : P-16 A)
3. Berkaitan dengan penahanan terdakwa, maka diterbitkan Surat Perintah Penahanan / Pengalihan Jenis Penahanan (Formulir Model : T-7)
4.
4. Dalam hal dilakukan penahanan, maka Jaksa Penuntut Umum (JPU) melakukan Dalam hal dilakukan penahanan, maka Jaksa Penuntut Umum (JPU) melakukan penahanan terhadap Tersangka di Rumah Tahanan (RUTAN) setempat.
penahanan terhadap Tersangka di Rumah Tahanan (RUTAN) setempat.
5.
5. JPU merubah dan menyempurnakan Rencana Dakwaan (RENDAK) menjadi Surat JPU merubah dan menyempurnakan Rencana Dakwaan (RENDAK) menjadi Surat Dakwaan (Formulir Model : P-29).
Dakwaan (Formulir Model : P-29).
6.
6. Setelah Surat Dakwaan sempurna, JPU melimpahkan perkara ke Pengadilan Setelah Surat Dakwaan sempurna, JPU melimpahkan perkara ke Pengadilan disertai dengan Formulir Model : P-31 (Tanda Terima Surat Pelimpahan Perkara
disertai dengan Formulir Model : P-31 (Tanda Terima Surat Pelimpahan Perkara
Acara Pemeriksaan Biasa).
Acara Pemeriksaan Biasa).
Pelimpahan tersebut meliputi : Berkas Perkara, Surat Dakwaan, Barang Bukti
7. Setelah JPU menerima “Penetapan Hari Sidang” dari Pengadilan Negeri, maka JPU membuat dan mengirimkan Surat Panggilan kepada:
Saksi - Saksi (Formulir Model : P-37) Terdakwa (Formulir Model : P-38)
Guna hadir di persidangan pada hari yang telah ditetapkan
8. JPU menghadiri seluruh proses persidangan di Pengadilan Negeri
9. JPU membuat dan menyampaikan Surat Tuntutan (Formulir Model : P-42)
10. JPU menyampaikan sikap terhadap Putusan Majelis Hakim. - Menerima Putusan Majelis Hakim
- Melakukan upaya hukum (Formulir Model : P-46)
ALAT BUKTI YANG SAH & BARANG BUKTI
Dalam praktik hukum / praktik penegakan hukum, ternyata bahwa para Pejabat Penyidik pada saat mulai mengayunkan langkah pertamanya dalam melakukan PENYIDIKAN maka secara otomatis dan secara langsung sudah terkait dan sudah terikat dengan ketentuan-ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHAP. Bahkan yang menjadi target penting dalam kegiatan penyidikan adalah upaya mengumpulkan alat-alat pembuktian untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi.
Dengan demikian, meskipun upaya pembuktian yang paling penting dan menentukan itu adalah pada tingkat pemeriksaan perkara di muka sidang pengadilan, namun upaya pengumpulan sarana pembuktian itu sudah berperan dan berfungsi pada saat penyidik mulai melakukan tindakan penyidikan.
Dalam proses PENUNTUTAN, terutama pada saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyusun Surat Dakwaan, semuanya itu sangat dipengaruhi dan didasarkan pada kesempurnaan serta keberhasilan tindakan penyidikan, terutama dalam upaya Penyidik mengumpulkan sarana pembuktian yang akan disajikan atau diajukan oleh JPU di depan sidang Pengadilan.
ALAT BUKTI
Alat Bukti Yang Sah sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut :
1 KETERANGAN SAKSI
2 KETERANGAN AHLI
3
4
5
S U R A T
PETUNJUK
KETERANGAN SAKSI
Adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Keterangan Saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di muka Sidang Pengadilan.
Keterangan dari saksi yang tidak disumpah, meskipun sesuai satu dengan yang lain bukan merupakan alat bukti yang sah. (Pasal 185 ayat 7 KUHAP).
Keterangan Saksi yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan tersebut diberikan dibawah sumpah (Pasal 116 ayat 1), maka keterangan saksi itu berlaku
sebagai alat bukti yang sah.
Keterangan Saksi kepada Penyidik yang dituangkan dalam BAP berlaku sebagai alat bukti “SURAT” (Pasal 187 huruf b atau d KUHAP)
Tidak berlaku sebagai Keterangan Saksi, apabila keterangan itu diperoleh dari orang lain (testimonium de auditu)
Saksi a charge : Saksi yang memberatkan Terdakwa.
KETERANGAN AHLI
Adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki “KEAHLIAN KHUSUS” tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (di Sidang Pengadilan)
Keterangan Ahli adalah apa yang seorang AHLI nyatakan di Sidang Pengadilan. (Pasal 186 KUHAP)
Keterangan Ahli dapat diberikan pada waktu pemeriksaan oleh Penyidik atau Penuntut Umum yang dituangkan dalam bentuk “Laporan” dan dibuat “Dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.”
Jika hal tersebut tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh Penyidik atau Penuntut Umum, maka pada waktu pemeriksaan di Sidang Pengadilan diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam BAP (Sidang). Keterangan tersebut diberikan setelah ia (orang ahli) mengucapkan sumpah atau janji dihadapan Hakim.
ALAT BUKTI SURAT Adalah surat yang dibuat atas jabatan atau dikuatkan dengan sumpahkekuatan sumpah .
A. Berita Acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh Pejabat Umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. B. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau
surat yang dibuat oleh Pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
C. Surat keterangan dari seorang Ahli yang memuat perndapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.
D. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
ALAT BUKTI PETUNJUK
Adalah Perbuatan, Kejadian, atau Keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana.
Petunjuk dimaksud hanya dapat diperoleh dari :
KETERANGAN SAKSI
S U R A T
KETERANGAN TERDAKWA
PERBUATAN
KEJADIAN
KEADAAN
PETUNJUK
Kekuatan pembuktian alat bukti PETUNJUK sangat ditentukan oleh unsur-unsur subjektif (arif bijaksana, kecermatan, keseksamaan dalam hati nurani) dari
KETERANGAN TERDAKWA
Adalah apa yang Terdakwa nyatakan di Sidang Pengadilan
tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri
atau ia alami sendiri
Keterangan Terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal didakwakan kepada Terdakwa. ( Pasal 182 ayat 2 KUHAP )
Keterangan Terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
1. Bisa berisi pengakuan Tersangka / Terdakwa atas Sangkaan / Dakwaan; atau 2. Bisa berisi pengingkaran /
pemungkiran atas Sangkaan / Dakwaan.
BARANG BUKTI
Penyitaan :
Adalah serangkaian tindakan Penyidik untuk mengambil alih atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam Penyidikan, Penuntutan, dan Pengadilan.
Benda sitaan yang berstatus sebagai barang bukti adalah berfungsi untuk kepentingan pembuktian. Namun apabila dikaitkan dengan keberadaan alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, maka dapat diketahui secara jelas bahwa barang bukti “tidak termasuk” sebagai alat bukti yang sah.
Meskipun KUHAP tidak memberikan penjelasan secara tersurat (eksplisit) mengenai kedudukan dan fungsi barang bukti (Corpus Delicti), namun apabila hal tersebut dihubungkan dengan pasal-pasal lain dalam KUHAP, maka barang bukti tersebut dapat berubah atau menghasilkan alat bukti yang sah.
Contoh 2 : Dalam perkara pencurian, penggelapan, atau penipuan, apabila Barang Bukti (benda sitaan)dari hasil kejahatan yang berupa perhiasan cincin, gelang, atau kalung diajukan di muka persidangan maka sesuai dengan Pasal 181 KUHAP – HAKIM KETUA Sidang memperlihatkan kepada Terdakwa segala “Barang Bukti” dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal barang itu. Jika perlu BB itu diperlihatkan juga oleh HAKIM KETUA Sidang kepada Saksi. Apabila atas pertanyaan HAKIM KETUA Sidang terdakwa dan saksi memberikan keterangan bahwa mengenal BB yang diajukan di muka persidangan disertai “Penjelasan” yang berkaitan dengan BB tersebut, maka BB tersebut telah berubah menjadi Alat Bukti Yang Sah dalam bentuk “KETERANGAN SAKSI” dan “KETERANGAN TERDAKWA”
Berdasarkan uraian–uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun Benda Sitaan sebagai Barang Bukti secara yuridis formal tidak termasuk sebagai Alat Bukti Yang Sah, namun dalam proses praktik hukum / praktik peradilan, BB tersebut secara materiil dapat berubah dan berfungsi sebagai Alat Bukti Yang Sah.
`
PROSEDUR PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
PROSEDUR PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
DI KEJAKSAAN REPUBLIK
DI KEJAKSAAN REPUBLIK
INDONESIA
Tidak ada bukti
Tidak ada bukti
`
Saksi, Ahli &
Saksi, Ahli &
`
• Peninjauan Peninjauan Kembali
MEJA MAJELIS HAKIM
KURSI SAKSI / AHLI
PENGUNJUNG SIDANG