• Tidak ada hasil yang ditemukan

31 BAB III TEOLOGI ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "31 BAB III TEOLOGI ISLAM"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

31 A. Pengertian Teologi Islam

Teologi sebagaimana diketahui, membahas ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya, mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang berdasarkan kepada landasan kuat yang tidak mudah diombang-ambingkan oleh peredaran zaman.

Dalam istilah Arab ajaran-ajaran dasar itu disebut Ushul al-Din dan oleh karena itu buku yang membahas soal-soal teologi dalam islam selalu diberi nama kitab Ushul al-Din oleh nama pengarangnya. Ajaran-ajaran dasar disebut ‘Aqa’id

atau keyakinan-keyakinan. Teologi dalam Islam disebut juga ilmu al-tauhid. Dalam istilah asing sudah sering pula dikenal untuk nama ilmu ini dengan sebutan teologi yang terdiri dari dua kata yaitu “theos” dan “logos” yang berarti “Tuhan” dan “ilmu”. Jadi teologi berarti ilmu tentang ketuhanan.

Berdasarkan informasi di atas, nyatalah persoalan prinsip yang dibahas dalam ilmu (teologi) adalah:

1. Esensi Tuhan itu sendiri dengan segenap sifat-sifatnya. 2. Manusia dan seluruh alam, serta hubungannya dengan Tuhan. 3. Hubungan yang mempertalikan antara Tuhan sebagai pencipta

(2)

Oleh karena itu teologi bersifat umum, artinya bisa berbagai aliran kepercayaan atau agama mempergunakannya, baik kepercayaan yang bersumber dari wahyu ataupun kepercayaan yang bersumber dari hasil pemikiran filosofis, untuk melakukan penelitan yang mendalam yang membedakan satu agama dengan agama lainnya, perlu diberi kualifikasi terhadap kata teologi itu sendiri, sehingga dijumpailah istilah teologi Kristen, teologi Yahudi, teologi Islam, artinya yang menjdi pokok perbincangan adalah segala sesuatu persoalan keyakinan tentang ketuhanan menurut ajaran Islam.

Dalam Islam teologi itu disebut juga dengan ‘ilm al-tauhid ‘ilm al-kalam, ajarannya yang berpatokan pada agama. Teologi Islam juga disebut sebagai suatu disiplin ilmu yang tumbuh pada zaman klasik.

Teologi dikalangan umat Islam ada yang bersifat liberal atau rasional dan ada pula yang bersifat tradisional. Yang dimaksud dengan teologi rasional adalah pikiran yang bersifat filosofis dan ilmiah yang muncul dikalangan pemikiran Islam klasik. Teologi ini juga mempunyai konsep bahwa Tuhan mengatur alam ini sesuai dengan Sunnatullah, yaitu hukum ciptaan Tuhan. Adapun ciri-ciri teologi rasional ini adalah;

a. Akal mepunyai kedudukan tinggi

b. Manusia bebas berbuat dan berkehendak

(3)

d. Teologi ini mempercayai adanya hukum yang ada di alamnya. sedangkan teologi tradsional adalah teologi yang dihasilkan oleh ulama klasik yang hanya bersumber pada ajaran dasar, ajaran al-quran dan hadis, sedangkan ciri-ciri teologi Tradisional antara lain:

a. Akal mempunyai kedudukan yang rendah

b. Manusia tidak bebas berbuat dan berkehendak, karena akal lemah manusia bergantung pada kehendak mutlak Tuhan, karena itu tidak adanya paham sunnatullah dalam teologi ini.

B. Sejarah Lahirnya Teologi Islam

Latar belakang munculnya teologi Islam ini ada dua, yaitu Sebab-sebab dari dalam

a. Ketika kaum muslimin membuka negeri baru untuk masuk islam, mereka mulai tentram dan tenang fikirannya itu, di samping limpahnya rezki. Di sinilah mulai membahas persoalan agama da berusaha mempertemukan nash-nash agama yang kelihatannya saling bertentangan.

b. Sebab yang kedua adalah soal politik. Untuk soal ini ialah soal khilafah (pimpinan pemerintahan negara).

(4)

bagaimana cara menentukan siapa pengganti Rasulullah sebagai kepala pemerintahan, hanya di dalam al-Qur’an dan kemudian menjadi tradisi kaum muslimin dibawah pimpinan nabi, untuk melakukan permusyawaratan dalam memecahkan masalah-masalah duniawi termasuk masalah-masalah kenegaraan.

Sejarah menyebutkan bahwa Abu Bakar-lah yang disetujui oleh masyrakat Islam di waktu itu, pengganti nabi dan mengepalai negara. Kemudian Abu Bakar digantikan oleh ‘Umar Ibn al-Khatab dan Umar oleh ‘Usman Ibn Affan.

Diantara Khulafa ar-Rasyidin yang empat, Usman terhitung paling lama memerintah yaitu 12 tahun (24-35 H). Namun pada masanya yang cukup lama tidak seluruhnya menjadinya menjadi saat gemilang. Enam tahun pertama ia popular, enam tahun kemudian ia menyedihkan. Di sini keadaan berbalik mundur. Timbul gejala-gejala politik, huru-hara silih berganti, petisi dan intrik merajalela yang membuahkan pembunuhan diri Usman pada hari Jum’at, tanggal 8 Zulhijjah tahun 35 H. Kerusuhan yang berlanjut dengan terbunuhnya Usman sendiri yang dinilai para perusuh sebagai tidak adil dan tidak bijaksana.

(5)

peperangan di antara kaum muslimin sendiri. Sebab sejak waktu itu timbullah orang menilai tentang peristiwa pembunuhan itu, di samping menilai amal perbuatan sendiri sewaktu hidupnya. Segolongan kecil megatakan bahwa Usman itu kafir dan pembunuhanya adalah benar, sebab Usman dianggap salah satu akhir masa jabatannya. Pihak lain mengatakan bahwa pembunuhan terhadap usman itu adalah kejahatan besar dan pembunuhnya adalah kafir.

c. Peristiwa Tahkim

Khlifah keempat segera terpilih setelah Usman terbunuh. Khlifah ke-empat, Ali Bin Abi Thalib menantu Nabi memikul tanggug Jawab yang berat, yaitu menyelesaikan masalah politik dan hukum atas peristiwa pembunuhan khalifah Usman.

Kemuculan persolan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Usman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifaan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib mengkristal menjadi perang siffin yang berakhir dengan peristiwa

tahkim.

(6)

juga menimbulkan aliran-aliran dalam teologi. Keputusan Ali yang mau menerima penyelasaian konflik dengan jalan tahkim, walaupun dilakukan dengan terpaksa, ternyata menimbulkan rasa tidak puas di kalangan pasukan. Mereka yang tidak puas ini memisahkan diri dari Ali dan membentuk kelompok tersendiri yang selanjutnya dikenal dengan sebutan kaum khawarij.

Selanjutnya golongan khawarij ini mengeluarkan pernyataan-pernyatan yang berbau theologis. Mereka misalnya memandang bahwa Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Amr ibn al-Ash, Abu Musa Al-Asy’ari dan orang-orang yang menerima arbitrase adalah kafir.

Persolan ini telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam, yaitu:

1. Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam, atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.

(7)

3. Aliran Mu’tazilah, yang tidak menerima pendapat di atas. Bagi mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir tapi bukan mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir, yang dalam bahasa arabnya dikenalnya dengan manzilah baina manzilatain (posisi diantara dua posisi).

C. Corak Teologi Islam

Aliran-aliran teologi yang timbul dalam Islam terdapat lebih dari suatu aliran, namun yang terkenal dalam termasyhur hanya tiga aliran teologi yaitu: Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Maturidiah. Corak teologi yang pertama adalah corak teologi rasional liberal. Corak ini terdapat pada aliran Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand. Kedua corak teologi tradisional dan fatalis. Corak ini terdapat pada aliran Asy’ariah dan Maturidiyah Bukhara.

Disini penulis lebih memfokuskan pembicaraan pada dua aliran yang sangat terkenal yaitu Mu’tazilah dan Asy’ariah.

1. Mu’tazilah

(8)

buruk, mengetahui kewajiban, mengetahui mengerjakan yang baik dan menghindari yang buruk.

Bagi Mu’tazilah keempat persoalan di atas dapat diketahui dengan akal, karena dengan perantara akal maka kewajiban-kewajiban dapat diketauhi dengan pemikiran dan kekuatan akal. Paham Mu’tazilah ini didasarkan pada surat al-Fusshilat ayat 53







53. “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakkah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu”.

(9)

kehendak Mutlak Tuhan, konsep keadilan Tuhan, dan perbuatan-perbuatan Tuhan, konsep Iman.

Untuk mengetahui corak ajaran Mu’tazilah selanjutnya dapat dilihat dalam ajaran-ajaran pokok Mu’tazilah. Menurut Harun Nasution ajaran-ajaran pokok Mu’tazilah diberi nama pancasila atau al-ushul al-khamsah, yaitu al-tauhid, al-adl, al- wa’ad wa al-wa’id, al-manzilah baina manzilatain, dan al-‘amr bin ma’ruf wa al- nahy an munkar.

Pandangan rasional kaum mu’tazilah dapat dilihat pada kedudukan akal, bahwa akal dapat mengetahui Tuhan, kewajiban mengatahui Tuhan, mangenai baik dan jahat, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat.

Untuk dapat dipahami bahwa ciri-ciri dari teologi rasional adalah: a. Kedudukan akal yang tinggi

b. Kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan

c. Kebebasan berfikir hanya dilihat oleh ajaran-ajaran dasar dalam al-Quran dan Hadis yang jumlah sedikit

d. Percaya adanya Sunnatullah

e. Mengambil arti metaforis dari teks wahyu f. Dinamakan dengan sikap dan berfikir

(10)

Paham teologi Asy’ariah merupakan paham teologi tradisional. Dengan ciri-ciri sebagai berikut:

a. Kedudukan akal rendah

b. Ketidak bebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan c. Kebebasan berfikir yang banyak diikat dengan dogma d. Ketidak percayaan pada Sunnatullah

e. Statis dalam berfikir dan berbuat

Melihat dari ciri-ciri di atas maka, Asy’ariah jelas dapat dikelompokkan menjadi teologi tradisional karena teologinya yang bersifat mengambil makna harfiah, manusia tidak bebas berbuat karena adanya ikatan-ikatan berupa dogma, sehingga manusia berjalan sesuai menurut ketentuan yang ada, di samping itu adanya kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Asy’ari juga menempatkan manusia pada posisi yang lemah. Berikut ini penulis akan mencoba mengulas sedikit tentang persolan-persoalan di atas dan dibatasi kepada dua persoalan yang nantinya sangat berkaitan dengan pembahasan selanjutnya.

Aspek-aspek tersebut antara lain, akal dan wahyu, perbuatan manusia. a. Akal dan wahyu

(11)

yang ada dalam diri manusia, berusaha untuk sampai kepada Tuhan, dan wahyu sebagai konfirmasi dari alam yang disampaikan kepada manusia yang ada mencakup mengenai Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, dalam arti kata berusaha untuk sampai kepada Tuhan, yang mana tujuan utama adalah mengenai Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia.

Sedangkan sistem teologi yang dapat digunakan terhadap aliran-aliran teologi Islam berpendapat bahwa akal manusia bisa sampai kepada Tuhan, sebagaimana pertanyaan yang dimajukan adalah sebagai berikut:

1. Sampai dimanakah kemampuan akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia? 2. Sampai manakah besarnya fungsi wahyu dalam kedua

hal di atas?

(12)

kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu, manusia wajib berterimah kasih kepada Tuhan. Sedangkan baik dan jahat wajib diketahui dengan akal, demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib.

Sebagaimana pendapat Asy’ari segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui dengan wahyu, akal tidak menjadi wajib diketahui melalui wahyu, akal tidak wajib mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia.

Disamping itu juga dikatakan bahwa akal tak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban manusia. Untuk itu wahyu diperlukan, sedangkan akal dapat mengetahui baik dan jahat itu jelas dalam karangan-karangan Asy’ari.

(13)

Sedangkan pendapat yang dikemukakan Muhammad Abduh juga dikatakan dalam bukunya Hasyiah ‘ala al-Aqa’id al-Adudiah’

sebagaimana komentar tentang Al-Ijl bahwa akal tidak dapat menentukan baik atau buruknya suatu perbuatan, bagi kaum Mu’tazilah dan kaum Maturidiah, menurut Muhammad Abduh perintah dan larangan Tuhan erat hubungannya dengan sifat dasar.

Sedangkan baik dan buruknya suatu perbuatan tidak tergantung pada sifat yang ada di dalamnya, tetapi bergantung pada perintah larangan Tuhan, bagi Mu’tazilah dan kaum Maturidiah berpendapat bahwa baik dan buruk, yang mana perbuatan itu bisa diketahui dari perintah atau larangan yang diturunkan Tuhan terhadap perbuatan itu. Sedangkan pendapat Al-Maturidi yang dipandang benar oleh Muhammad Abduh tidak memberi penjelasan yang pasti. Tapi disini Al-Maturidi lebih menjelaskan mengenai Al-Ijl yang berbicara mengenai baik dan buruk dan bukan mengenai kewajiban berbuat baik dan larangan berbuat jahat.

(14)

dapat mengetahui tiga persolan pokok dan yang ketiga adalah kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui hanya melalui wahyu.

Dari fenomena di atas dapat dibandingkan pendapat antara aliran Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Maturidiah. Menurut Asy’ariah dan Maturidiah golongan Bukhara berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban berterimah kasih kepada Tuhan, akal juga tidak menentukan kewajiban-kewajiban bagi manusia.

(15)

a. Free Will dan Predistination

Menurut kaum Mu’tazilah dalam sistem teologi, manusia dipandang mempunyai daya yang mengandung paham kebebasan, lain halnya dengan Al-Juba’i bahwa manusia yang menciptakan perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri.

Sedangkan menurut ‘Abd al-Jabbar, perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia , tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan, perbuatan itu muncul karena adanya daya yang bersifat baharu, Tuhan menciptakan daya di dalam diri manusia, jadi dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai pelaksana segala perbuatan dan Tuhan sebagai pemberi daya pada manusia.

Bertitik tolak dari paham Mu’tazilah di atas lebih memfokuskan, bahwa daya dari manusia dan bukan daya dari Tuhan untuk mewujudkan perbuatan manusia. Jadi perbuatan adalah sebenarnya perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan.

(16)

manusia sendiri, tetapi manusia diberi daya. Menurut Asy’ari kasb (pemberian daya-daya) tidak bisa terjadi kecuali daya yang diciptakan dalam diri manusia.

Mengenai daya untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan Al-Asy’ari berpendapat bahwa itu lahir dari dalam diri manusia itu sendiri, diri manusia kadang berkuasa kadang tidak berkuasa. Di samping itu Al-Maturidiah menyebut daya yang diciptakan, tetapi tidak ia jelaskan apakah daya itu merupakan daya manusia, sedangkan mengenai kehendak manusialah yang menentukan pemakaian daya, baik itu untuk kebaikan maupun untuk kejahatan. Sedangkan menurut Al-Bazdawi mengatakan bahwa di dalam perwujudan perbuatan, terdapat dua perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia, perbuatan Tuhan adalah menciptakan perbuatan manusia dan bukan penciptaan daya.

D. Ruang Lingkup Kajian Teologi Islam

(17)

Di antara persoalan-persoalan yang sering dibicarakan dan diperdebatkan oleh mutakallimin tersebut adalah akal dan wahyu, fungsi wahyu, free will dan

predestination, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, keadilan tuhan, sifat-sifat Tuhan. Dalam pembahasan ini akan digambarkan pendapat atau pandangan aliran-aliran teologi Islam terhadap persoalan-persoalan teologi beserta argmentasi dari masing-masing aliran teologi di atas.

Dalam menggambarkan pembahasan ruang lingkup kajian teologi Islam, penulis memfokuskan tiga aliran teologi Islam saja, agar pembahasan ini lebih terarah dan lebih jelas, yang mana ketiga aliran teologi ini merupakan aliran teologi terbesar sepanjang sejarah umat Islam dan juga ketiga aliran teologi inilah yang paling besar pengaruhnya dan yang mewarnai corak pemikiran di dunia Islam. Ketiga aliran tersebut ialah aliran Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah.

1. Akal dan Wahyu

(18)

Akal dan wahyu merupakan dasar dan menjadi tolak ukur dalam menganalisa dan menilai setiap persoalan kalam. Dalam teologi Islam, akal dan wahyu dihubungkan dengan persoalan mengetahui Tuhan dan persoalan baik dan buruk. Persoalan pertama berkembang menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengenai Tuhan, persoalan kedua berkembang menjadi mengetahui baik dan buruk dan mengetahui wajibnya mengerjakan yang baik dan mengetahui yang jahat. Dengan demikian, ada empat persoalan yang berkaitan dengan akal wahyu. Keempat persoalan ini telah dibicarakan oleh keempat mazhab kalam, yaitu Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah Samarkhan dan Bukhara.

Polemik yang terjadi antara-antara aliran teologi Islam yang bersangkutan ialah, yang manakah diantara keempat masalah itu yang dapat diperoleh melalui akal dan mana yang melalui wahyu. Masing-masing aliran mempunyai paradigma dan pendapat serta jawaban-jawaban yang berbeda.

(19)

keagamaan, namun demikian mereka juga masih tetap berpegang pada wahyu.

Bagi Mu’tazilah, mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan jahat dan mengetahui wajibnya menjauhi yang jahat itu diketahui dengan akal. Tanpa wahyu pun akal manusia mampu mengetahui keempat persoalan tersebut.

Kaum Asy’ariah, sebaliknya berpendapat bahwa akal tidak begitu besar daya kekuatannya. Diantara keempat masalah di atas akal dapat sampai hanya kepada adanya Tuhan. Soal kewajiban manusia terhadap Tuhan, soal baik dan buruk, dan kewajiban berbuat baik serta kewajiban menjauhi kejahatan, itu tidak dapat diketahui akal manusia. Itu diketahui manusia hanya melalui wahyu yang diturunkan Tuhan melalui para Nabi dan Rasul.

Asy’ariah, lebih bergantung kepada wahyu, selain itu baru memberi argumen-argumen rasional terhadap teks atau nash al-qur’an. Sebab menurut pandangan mereka akal tidak dapat mengetahui semua persoalan Tuhan, tetapi akal hanya dapat mengetahui Tuhan saja. Dalam hal ini aliran Asy’ariah berpandangan akal sebagai konfirmasi dan sebagai informasi, jadi akal tidak dapat mengetahui seandainya tidak ada informasi wahyu.

(20)

Perbincangan tentang Free Will dan Predestination yang dalam pemikiran kalam tersebut dengan istilah jabariah selalu dikaitkan dengan dinamika dan fatalisnya manusia. Sebagaimana diketahui pemikiran kalam yang secara sederhana, diartikan membahas soal-soal yang berkaitan dengan Tuhan dan hubungannya dengan manusia, memang menampilkan dua pandangan di atas. Pola hubungan manusia dengan Tuhan dalam keyakinan seseorang merupakan faktor utama dalam mewujudkan persepsi dunia bagi dirinya.

Paham Free Will dan free act atau qadariah, yang memandang manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan, mungkin manusia bersikap dinamis. Paham ini dianut oleh Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand. Sedangkan paham predestination atau jabariah, yang memandang manusia telah ditentukan semenjak asal, mungkin manusia bersikap fatalis. Paham ini dianut oleh aliran Asy’ariah dan Maturidiah Bukhara.

Dari penjelasan di atas, kedua paham tersebut memberikan informasi bahwasanya dalam kajian Teologi Islam terdapat dua hal yang mempengaruhi manusia dalam beraktifitas yaitu paham dinamis dan fatalis, yang mana implementasinya tergantung dari masing-masing individu yang memaknai kedua paham ini.

(21)

Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah memiliki kehendak dan kekuasaan yang berbatas meski yang membatasinya adalah kehendaknya sendiri. Menurut Mu’tazilah yang membatasi kehendak dan kekuasaan Allah itu adalah:

a. Kebebasan yang telah diperbaiki-Nya kepada manusia untuk memilih dan melakukan perbuatannya

b. Sunnah-Nya dalam mengatur alam semesta dan makhluknya c. Norma keadilan

d. Kewajiban yang telah ditetapkan-Nya atas diri-Nya terhadap manusia

Sebaliknya Asy’ariah mengatakan bahwa Allah memiliki kehendak yang mutlak. Karena itu, dia dapat berbuat apa saja secara sewenang-wenang pada makhluk-Nya, sesuai dengan kehendak-Nya tanpa ada yang membatasi dan melarang-Nya.

4. Keadilan Tuhan

(22)

Paham keadilan Tuhan banyak bergantung pada paham kebebasan manusia dan paham sebaliknya, yaitu kekuasaan mutlak Tuhan. Kaum Mu’tazilah, karena percaya pada kekuatan akal dan kemerdekaan serta kebebasan manusia, mempunyai tedensi untuk meninjau wujud ini dari sudut rasional dan kepentingan manusia. Memang dalam paham Mu’tazilah semua makhluk lainnya diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia.

Referensi

Dokumen terkait

Namun demikian, belum semuanya dapat tertampung, sebagai akibatnya masih banyak tenaga kerja yang pada umumnya kurang trampil mau dan bersedia bekerja apa saja, asal mendapat upah

positif dan signifikan antara Pemanfaatan Internet (Web Kegamaan) Terhadap Motivasi Belajar mahasiswa PAI Angkatan Tahun 2014/2015 IAIN Curup berdasarkan

During the internship the task that were done are arranged the working paper, matched the initial balance in 2015 with the audited balance in 2014,

Kasus kekerasan seksual anak menjadi fenomena yang semakin marak di Indonesia, salah satunya disebabkan oleh ketidakpekaan dan ketidakpedulian masyarakat terhadap

Kedua, persamaan struktural model awal subtruktural 2 yang menyatakan pengaruh kecepatan reaksi kaki, keseimbangan, indeks massa tubuh dan motivasi terhadap

Perbandingan data-data pembebanan Trafo sebelum dan sesudah dipasang PHB-SR untuk dapat melakukan pengukuran dan analisa ketidak seimbangan beban yang menyebabkan

Penurunan muka tanah tebing dapat terjadi kapan saja, terlebih lagi jika pada musim penghujan tiba, pergerakan tanah tersebut dapat mengakibatkan turunnya