• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASEAN DALAM KISRUH LAUT CINA SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ASEAN DALAM KISRUH LAUT CINA SELATAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ASEAN DALAM “KISRUH LAUT

CHINA SELATAN”

Disusun oleh :

Mustika Jati (151110048)

Ardig Qoniah (151110049)

Nike Yayuk K. (151110060)

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

UPN VETERAN YOGYAKARTA

TAHUN AJARAN 2012/2013

(2)

Peran ASEAN sebagai peredam konflik sangat tergantung pada komitmen bersama anggotanya dengan tidak mengingkari kesepakatan secara regional.

Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak asosiasi regional ini berdiri, praktis tidak pernah terjadi konflik terbuka di antara negara-negara yang bertetangga dengan ASEAN. Berbeda dengan situasi sebelum ASEAN terbentuk, berbagai ketegangan, konflik maupun konfrontasi mewarnai kawasan ini. Dalam hal ini ASEAN mempunyai pengalaman dalam menata hubungan bertetangga baik di antara sesama anggotanya. Akan tetapi, berakhirnya Perang Dingin dan berkurangnya peranan kekuatan militer asing di wilayah ini mempengaruhi hubungan di antara sesama anggota ASEAN. Berkurangnya jaminan keamanan negara-negara besar di kawasan telah mendorong negara-negara ASEAN untuk meningkatkan pertahanannya masing-masing. Apabila negara-negara besar yang terlibat dalam Perang Dingin kini mengurangi pembelanjaan senjata secara besar-besaran, namun situasi yang terjadi di Asia Pasifik, terutama negara-negara dunia ketiga, seperti negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, justru sebaliknya.

Peningkatan kemampuan pembelanjaan senjata demi pertahanan masing-masing negara ASEAN, apabila tetap dalam kerangka kerja sama regional, tentu akan mempunyai pengaruh yang positif bagi pertahanan regional secara keseluruhan. Akan tetapi jika sebaliknya, masing-masing negara anggota ASEAN meningkatkan sistem pertahanan secara sendiri-sendiri tanpa melakukan konsultasi di antara sesama negara anggota, maka justru akan memicu adanya perlombaan senjata. Hal ini jelas sangat mengancam stabilitas dan kondisi keamanan regional pada masa-masa mendatang.

Dalam situasi demikian, apakah ASEAN dapat berperan sebagai peredam konflik bagi anggotanya dan kawasan Asia Pasifik? Peran ASEAN sebagai peredam konflik akan menjadi semakin penting ketika para anggota ASEAN saling mengingatkan bahwa komitmen terhadap

(3)

untuk mencegah konflik yang akan muncul ke permukaan. Selain itu, fungsi ASEAN dalam membangun saling percaya (confidence building measures) yang mempertemukan kepentingan-kepentingan keamanan di kawasan juga perlu ditingkatkan terus agar tercipta perimbangan kepentingan di antara anggotanya.

Perkembangan lainnya, disepakatinya antara ASEAN dengan negara mitra dialog untuk menjadikan ASEAN-PMC sebagai forum dialog mengenai masalah keamanan regional. Selama ini ASEAN-PMC merupakan wadah untuk membicarakan kerja sama ekonomi, teknologi dan sosial budaya antara negara ASEAN dengan mitra dialognya. Pada KTT ASEAN ke-4 di Singapura, Januari 1992 akhirnya dicapai keputusan untuk menggunakan forum ASEAN-PMC sebagai sarana membicarakan masalah-masalah politik dan keamanan. Di samping itu, dalam pertemuan AMM di Singapura Juli 1993 juga telah diputuskan untuk membentuk ASEAN Regional Forum (ARF).

Dibentuknya ARF menunjukkan tiga hal penting: Pertama, selama ini masalah keamanan dalam lingkup ASEAN lebih terpusat pada dinamika hubungan bilateral di antara sesama negara anggotanya. ASEAN merasa enggan untuk membicarakan masalah-masalah keamanan secara multilateral. Namun demikian, perkembangan sekarang ini menghadapkan ASEAN pada masalah keamanan regional yang semakin kompleks dan cakupannya yang semakin luas sehingga bagi ASEAN pendekatan bilateral kini dirasa tidak cukup.

Kedua, keikutsertaan negara-negara besar, seperti AS, Rusia, Cina, Jepang, Australia, Kanada, Uni Eropa di lingkungan Asia Pasifik, menunjukkan bahwa stabilitas dan keamanan wilayah ini sangat tergantung pada kebijakan negara-negara besar tersebut. Ketiga, dibentuknya ARF menunjukkan pengakuan bahwa masalah politik dan keamanan kawasan Asia Tenggara tidak dapat dipisahkan dengan situasi politik dan keamanan Asia Pasifik secara keseluruhan. Sulit bagi ASEAN untuk meraih suatu separate peace hanya di lingkungannya sendiri apabila negara-negara besar di kawasan tidak mendukungnya.

(4)

itu fungsi ASEAN sebagai peredam konflik saja dirasakan tidak cukup. Akan tetapi bagaimana ASEAN mampu berperan sebagai conflict solver dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks ini. Ketidakmampuan ASEAN tampil sebagai conflict solver tampaknya bersumber pada ketidakmampuan untuk mengaktifkan provisi tentang peaceful settlement of disputes.

Terutama adanya ketentuan bahwa High Council hanya dapat berfungsi apabila semua negara anggota ASEAN menyetujui. Tugas ASEAN di masa mendatang adalah mengaktifkan provisi ini dan dengan demikian mendorong negara-negara anggota untuk memulai memanfaatkan High Council. Pemanfaat ini diharapkan dapat mengatasi berbagai potensi konflik yang sewaktu-waktu muncul ke permukaan dan menyelesaikan persoalan secara tuntas. Tanpa kemampuan menyelesaikan konflik internal secara menyeluruh, sulit bagi ASEAN untuk menciptakan suatu komunitas keamanan (security community). Di samping itu peran ASEAN sebagai peredam konflik sangat tergantung pada iktikad baik dan komitmen bersama anggotanya dengan tidak mengingkari kesepakatan secara regional.

Dalam menghadapi masalah klaim di Laut Cina Selatan misalnya, ASEAN harus tampil sebagai "an honest broker" peredam konflik. Keterlibatan beberapa negara ASEAN dalam sengketa Laut Cina Selatan, menjadi semakin penting dilakukannya perundingan damai secara terus-menerus. Terutama ketika harus berhadapan dengan Cina yang mengklaim seluruh wilayah di Laut Cina Selatan.

(5)

II. PEMBAHASAN

I.I. Persengketaan Laut China Selatan

Istilah “Konflik Laut Cina Selatan” merujuk kepada gugusan kepulauan Paracels dan Spratly yang masih dipersengketakan oleh penuntutnya, Cina, Vietnam, dan Taiwan. Menurut Heinzig, beberapa gugusan kepulauan di atas terdiri dari sekitar 170 pulau-pulau kecil, pulau karang, dan banks. Pulau Pratas yang luasnya 12 km2 merupakan pulau terbesar, sedangkan

pulau terbesar di Paracel adalah Woody (1,85 km2) dan yang terbesar di Spratly adalah Itu Aba

(0,4 km2). Masing masing kepulauan itu dikelilingi oleh batu karang yang berbentuk oval atau

bundar. Karena gugus-gugus kepulauan itu terletak di wilayah Laut Cina Selatan yang luas, jarak antara satu gugus dengan gugus yang lain sangat lebar, yang kadang-kadang melampaui jarak 1.000 km.1

Seperti yang dikemukakan sebelumnya, dari keempat gugus pulau yang dipersengketakan, kepulauan Spratly merupakan “titik api” yang cukup potensial untuk berkembang menjadi wilayah konflik-konflik militer di masa mendatang, tidak saja karena adanya tuntutan yang tumpang tindih yang melibatkan keenam penuntutnya (Cina, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei), tetapi juga karena kepentingan negara-negara besar (Jepang, Amerika Serikat, Rusia) di perairan Laut Cina Selatan yang dikhawatirkan akan menjadi konflik terbuka di masa depan.

I.II. Peran ASEAN

Perhimpunan negara-negara Asia Tenggara, ASEAN sudah berhasil menandatangani

code of conduct atau kode perilaku dengan Cina tahun 2002. Berdasarkan perjanjian itu, negara-negara yang mengklaim sepakat "menyelesaikan sengketa teritorial dan yurisdiksi dengan cara damai tanpa penggunaan kekerasan, dan melalui perundingan".Tetapi kejadian akhir-akhir ini menunjukkan Vietnam dan Cina tidak mematuhi semangat kesepakatan itu.

(6)

Dan para menteri luar negeri ASEAN Kamis (21/07) di Bali menyepakati kerangka acuan untuk penulisan kode perilaku dalam penyelesaian konflik ini. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang bertindak sebagai tuan rumah forum ini, mengatakan kerangka acuan ini akan sangat membantu upaya Asean menempuh solusi damai dalam sengketa ini.Marty mengatakan negara-negara ASEAN akan terus membicarakan langkah penyelesaian damai.2

I.II.I. Babak Baru Perang Laut China Selatan

Selain Republik Rakyat China dan Taiwan, empat negara ASEAN turut memperebutkan

wilayah laut china selatan, yaitu Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Fokus

sengketa adalah Kepulauan Paracel dan Spratly. Sejarah membuktikan, sengketa Laut China

Selatan berpotensi menjadi perang. Tahun 1974, China dan Vietnam berkonflik di Paracel,

padahal sebelumnya mereka tenang menduduki bagian masing-masing di kepulauan itu. Menurut

BBC, konflik itu menewaskan lebih dari 70 tentara Vietnam dan 18 tentara China. Setelah perang

itu, China menguasai Paracel. Juni lalu China membangun kota Sansha di Provinsi Hainan dan

memasukkan Paracel sebagai bagian kota tersebut.

Pada tahun 1988 kedua negara itu berkonflik lagi, kali ini di Kepulauan Spratly, tepatnya di

Karang Johnson. China memenangi konflik ini dan 60 orang tewas di pihak Vietnam. Bila

dibandingkan dengan kedua konflik ini, perselisihan antara Filipina, baik dengan China,

Vietnam, maupun Malaysia, tergolong minor.

I.II.II. Saling Klaim

China mendeklarasikan memiliki bagian terbesar teritori Laut China Selatan, mencakup

ratusan kilometer di selatan dan timur Hainan, provinsi paling selatan negara itu. China

mengklaim berhak berdasarkan sejarah berusia dua ribu tahun yang menyatakan Paracel dan

2

Sengketa kepemilikan Laut Cina Selatan

(7)

Spratly sebagai bagian integral bangsa China. Pada tahun 1947 China menerbitkan sebuah peta

yang memerinci klaim wilayahnya, tentu saja menyertakan kedua kepulauan tersebut.

Taiwan, yang memiliki nama resmi Republik China, juga mengklaim Paracel dan Spratly

sebagai bagian teritorinya dengan alasan historis yang sama.

Vietnam jelas menentang klaim peta China tersebut. Vietnam berpendapat China tidak

pernah menyatakan kedaulatannya di kedua kepulauan tersebut sebelum tahun 1940-an. Sama

seperti China dan Taiwan, Vietnam bersikeras Paracel dan Spratly ada di teritorinya. Vietnam

menyatakan memiliki dokumen-dokumen yang membuktikan telah berkuasa di Paracel dan

Spratly sejak abad ke-17.

Sedangkan Filipina hanya menginginkan Spratly. Yang kerap menjadi sengketa adalah

Beting Scarborough, berjarak 160 km dari pulau terluar Filipina dan sekitar 800 km dari daratan

terdekat China. Filipina bersenjatakan Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang menetapkan

zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut (sekitar 321 km) dari garis pangkal

pengukuran lebar laut teritorial.

Sama-sama memakai senjata Konvensi PBB tersebut, Malaysia dan Brunei Darussalam

mengklaim memiliki beberapa pulau kecil di gugus Spratly. Militer Malaysia telah menduduki

tiga pulau kecil di gugus kepulauan tersebut, sedangkan Brunei menyatakan memiliki bagian

terselatan Spratly.

I.II.III. Sumber Daya Alam

Alasan utama sengketa perebutan wilayah Laut China Selatan adalah kandungan gas alam

dan minyak buminya. China menerbitkan estimasi tertinggi, menyatakan Paracel dan Spratly

mungkin mengandung 213 miliar barel minyak bumi. Angka ini sekitar tujuh kali lipat perkiraan

(8)

Energi Amerika Serikat, Laut China Selatan memiliki sekitar 25 triliun meter kubik gas alam,

sama besar dengan cadangan gas alam Qatar. Belum lagi kekayaan ekosistem perairannya. Selain

itu, lebih dari 50 persen perdagangan dunia melewati Laut China Selatan. Lokasinya pun

strategis untuk pos pertahanan militer.

Akhir Februari lalu Filipina mengundang perusahaan-perusahaan asing untuk berinvestasi

melalui eksplorasi minyak bumi di lepas pantai Laut China Selatan. Izin eksplorasi direncanakan

diberikan kepada 15 blok, tiga di antaranya ada di wilayah sengketa. China menyatakan tindakan

Filipina tersebut ilegal karena tanpa izin mereka. Urusan tuduh-menuduh bukan hal baru dalam

sejarah sengketa Laut China Selatan. Tahun lalu Filipina menuduh China masuk tanpa izin ke

wilayah perairannya dan mencoba mengganggu sebuah eksplorasi minyak bumi lepas pantai di

dekat Pulau Palawan. Filipina juga menuduh China mencoba membangun pertahanan militer di

Spratly. Vietnam juga pernah menuduh China mencoba menyabotase dua operasi eksplorasi

Vietnam. Tuduhan ini memicu protes anti-China di jalan-jalan di Hanoi dan Ho Chi Minh.

Sebaliknya, China menuduh Vietnam memprovokasinya karena pernah melakukan latihan

menembak di salah satu pesisirnya.

I.III. ASEAN Terbelah Digoyang Sengketa Laut China Selatan

Kegagalan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Kamboja bulan Juli 2012 yang lalu

untuk menentukan komunike bersama terhadap China terkait dengan sengketa wilayah Laut

China Selatan memperlihatkan persoalan kian memanas. Penyelesaian ke tataran diplomasi

masih belum menunjukkan titik terang. Sengketa tersebut bahkan telah membelah sikap

negara-negara ASEAN.

Kegagalan menghasilkan komunike bersama merupakan peristiwa pertama kalinya dalam 45

tahun keberadaan perhimpunan Asia Tenggara itu. Hal itu menunjukkan betapa China sudah

(9)

terlibat sengketa. Sebaliknya, negara yang bersengketa dengan China–Filipina, Vietnam,

Malaysia,

dan Brunei–merasa ditinggalkan sesama anggota ASEAN. Padahal, keempat negara itu

berharap ada sikap tegas dan kecaman ASEAN terhadap sikap agresif China di wilayah sengketa.

Kamboja yang menjadi tuan rumah bersikap jauh dari harapan. Phnom Penh justru menolak

tindakan-tindakan yang dinilai dapat memicu kemarahan China. Tidak mengherankan bila

Filipina langsung menuding Kamboja yang kukuh menentang setiap pernyataan keras itu sebagai

biang kegagalan tersebut. Sebaliknya, Menteri Luar Negeri Kamboja Hor Namhong menyangkal

tudingan itu. Dia menyatakan kegagalan tersebut adalah kegagalan bersama ASEAN.

Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan tidak bisa menyembunyikan kekecewaan yang

mendalam terhadap kegagalan itu. “Kami membutuhkan waktu untuk pulih,” ungkapnya.

“ASEAN harus belajar untuk mengonsolidasi dan mengoordinasikan sikap jika ingin terlibat

dalam komunitas global.”4

Kekecewaan serupa ditunjukkan Menlu RI Marty Natalegawa. Dia bahkan sempat

mengatakan kegagalan itu sangat tidak bertanggung jawab setelah KTT berakhir, Jumat

(13/7/12). Namun, dia kemudian menyangkal telah terjadi perpecahan di antara anggota.

Menurut Marty, pertemuan itu telah menginspirasinya untuk terus mendorong pemberlakuan

ASEAN Code of Conduct (CoC) mengenai sengketa Laut China Selatan. “Ini akan membuat

saya semakin bertekad untuk mendorong CoC sehingga semua menjadi semakin kontekstual,”

ungkapnya. “Sekalipun ada insiden ini, kita harus tetap memiliki tujuan. Kita harus terus maju

dan bukan terpinggirkan oleh insiden ini,” tegas Marty.

Kawasan Laut China Selatan yang disengketakan diperkirakan memiliki cadangan

kandungan minyak sebanyak 30 miliar metrik ton dan 16 triliun meter kubik gas. Menurut kantor

(10)

itu, tidak berlebihan bila ‘Negeri Tirai Bambu’ yang dikenal haus akan energi itu berkeras

mengklaim hampir seluruh kawasan Laut China Selatan. Klaim China termasuk perairan yang

berada di dekat negara-negara tetangga mereka.

Di sisi lain, Filipina mengatakan wilayah yang disengketakan berada dalam zona eksklusif

ekonomi mereka, yang berjarak 200 mil laut dari bibir pantai. Filipina bersama Vietnam menolak

peta wilayah perairan yang dikeluarkan China sebagai basis bagi pengembangan bersama

kawasan itu. Mereka gencar mencari penyelesaian masalah itu di tingkat regional, terutama

dengan dukungan Amerika Serikat (AS), sekutu Filipina yang juga memiliki kepentingan besar

di wilayah tersebut. Menlu AS Hillary Clinton mendesak setiap negara untuk membuat klaim

wilayah mereka berdasarkan Hukum Laut PBB. Namun, China menolak usulan itu karena bisa

dipastikan mereka bakal kehilangan banyak klaim wilayah.

I.IV. Campur Tangan Internasional

China berusaha bernegosiasi dengan negara-negara lain yang menginginkan kedaulatan di

Laut China Selatan. Namun China cenderung ingin bersepakat di belakang layar, yang kemudian

ditentang pihak seberang meja dengan membawa isu ini ke mediasi internasional.

Salah satu hasil mediasi internasional adalah Konvensi PBB tahun 1982 yang

mencantumkan kesepakatan berisi kerangka solusi. Saat dipraktikkan, konvensi itu malah

memicu salip-menyalip pengakuan kedaulatan. Konvensi itu juga tidak berpengaruh apa-apa

terhadap klaim historis China dan Vietnam atas Paracel dan Spratly.

Pada 4 November 2002, ASEAN dan China juga mendeklarasikan kesepakatan kode etik,

salah satunya menyelesaikan sengketa tanpa ancaman atau penggunaan senjata. Filipina dan

Vietnam juga telah mempunyai perjanjian bilateral dengan China, namun perjanjian itu hampir

(11)

Selain keenam negara yang bersengketa, Amerika Serikat juga punya kepentingan di laut

tersebut. Kepentingan ini berhubungan dengan fakta Laut China Selatan merupakan jalur

pelayaran lebih dari setengah perdagangan dunia. Ada pula kepentingan militer, sehingga tak

heran Amerika Serikat menempatkan pos militernya di sana. Walau menyatakan akan bersikap

netral, ternyata Paman Sam memberikan bantuan militer kepada sekutu lamanya, Filipina.

Bagi AS sendiri persoalannya bukan sekadar China dikhawatirkan akan bisa menguasai

wilayah tersebut. Yang lebih ditakutkan AS akan pengaruh China yang akan semakin menguat

dan secara perlahan akan menggeser dominasi AS sebagai penguasa dunia. Untuk itulah AS

mencoba turut campur dalam penyelesaian sengketa yang terjadi di kawasan Laut China Selatan.

AS bukan hanya ingin mengirimkan pesan bahwa mereka masih hadir di kawasan itu, tetapi

sekaligus menekan China agar tidak berbuat macam-macam. Upaya untuk mengimbangi

pengaruh China memang menjadi strategi global AS. Langkah itu tidak hanya dilakukan melalui

jalur diplomasi, tetapi juga dengan menggunakan kekuatan militer. AS terus memperkuat

keberadaan militer mereka di kawasan Asia Pasifik.

Salah satu yang menjadi bagian dari strategi global mereka adalah penempatan pasukan

marinir di Darwin, Australia. Keberadaan pasukan khusus Angkatan Laut AS di utara Australia

bukan untuk mengancam Indonesia, tetapi untuk memberikan pesan kepada China bahwa mereka

(12)

III. PENUTUP

KESIMPULAN

Solusi

Menurut Hasyim (Anggota Dewan Maritim Nasional), terdapat tiga sasaran penyelesaian

konflik perbatasan, yaitu : pertama, belajar untuk bekerja sama; kedua, mendorong terjadinya

dialog antara pihak untuk menyelesaikan perbedaan; ketiga, mengembangkan rasa saling percaya

yang diciptakan melalui atmosfir kerjasama.3 ASEAN sebagai organisasi kerjasama regional

telah berusaha menciptakan komunitas keamanan dengan menjadwalkan pertemuan rutin dari

ADMM (ASEAN Defence Ministers’ Meeting) dan memperkuat kerjasama dalam ARF (ASEAN

Regional Forum) untuk mewujudkan stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara, di

antaranya menangani masalah-masalah perbatasan termasuk konflik yang timbul dari wilayah

Laut China Selatan. Namun, pada kenyataannya ARF masih sangat jauh dari penyelesaian

konflik walaupun ARF memiliki peluang sebagai wadah mendiskusikan isu keamanan dan

kolaborasi antara negara Asia Tenggara.

Terdapat beberapa kelemahan ARF berhubungan dengan penyelesaian masalah Laut

China Selatan. Di mana, ASEAN sendiri belum mampu menciptakan balance of power untuk

menyokong kekuatan China, adanya sindrom lowest-common-denominator (kelemahan dalam

setiap kebijakan menghadapi kelompok kepentingan yang sedang berkonflik) dan kegagalan

membentuk common-front seperti China.4

IV. REFERENSI

3 Anon. 2011. “Komitmen RI dalam Diplomasi Perbatasan Tidak Pernah Kendur”, [online] tersedia dalam

http://www.hukumkita.com [diakses pada 5 november 2012]

(13)

Akpan Rita. 2003. “ China, The Spratly Islands Territorial Dispute and Multilateral Cooperation- An Exercise in Realist Rhetoric or Mere Diplomatic Posturing? A Critical Review.

Dieter Heinzig, Disputed Islands in The South China Sea (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1976), 13.

Website :

ASEAN Cari Solusi Soal Laut China Selatan

http://www.suarapembaruan.com/home/asean-cari-solusi-sengketa-laut-cina-selatan/22572

ASEAN sebagai Peredam Konflik.

Referensi

Dokumen terkait

dengan negara ASEAN yang terlibat konflik di Laut Cina Selatan

penting karena berdasarkan UNCLOS 1982 pulau-pulau kecil terluar tersebut. digunakan sebagai titik dasar dari garis pangkal kepulauan Indonesia

6HODLQ XQWXN PHQ\HOHVDLNDQ NRQIOLN .RGH (WLN .RQIOLN GL /DXW &LQD 6HODWDQ LQL MXJD GLKDUDSNDQ QDQWLQ\D GDSDW PHQJHPEDQJNDQ NHUMD VDPD GL /DXW &LQD 6HODWDQ DQWDU VHVDPD

Indonesia merupakan Negara kepulauan, Jawa merupakan salah satu pulau dari kepulauan yang ada di Indonesia. Pada hakikatnya masyarakat di Pulau Jawa adalah

terbang dekat ke pantai kurang dari 10 % (sepuluh per seratus) jarak antara titik- titik yang terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut

Negara- negara yang menjadi claimant states untuk pulau Spratly adalah Brunei, Tiongkok, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam.. Dua negara terakhir juga

langkah kedua setelah TAC dalam perwujudan ZOPFAN. Pada KTT IV di Singapura telah mengikrarkan bahwa SEA-NWFZ terus diusahakan, mengingat adanya upaya beberapa

Namun di tengah kerjasama ekonomi yang semakin menguntungkan, diperlukan adanya kerjasama kolektif yang padu dan ADMM dapat menjadi pelopor untuk kerjasama kolektif tersebut, dengan