LAUT TIONGKOK SELATAN: PROBLEMATIKA
DAN PROSPEK PENYELESAIAN MASALAH179
Ahmad Almaududy Amri180
Abstrak
The discussion on the issue of South China Sea has been there for quite a long time, and many countries are still urging for the resolution of the issue. In the writer’s opinion, the main factors of the issue are economical factor, strategic factor, and political factor. Those three factors are often referred by claimant states in this area in defending their respective rights. This article is trying to examine the problems surounding South China Sea issues in general and try to explain the background of the problem, the bases of reasoning used by the claimant states and the concrete steps achieved. This paper presents the writer’s view on the conflict resolution in the future.
Latar Belakang Masalah
Permasalahan LTS dilatar belakangi oleh tiga faktor penting yaitu ekonomi, strategis, dan politik. Ketiga faktor tersebut merupakan motif
179
Artikel ini sebagian besar bersumber dari tulisan Ralf Emmers (Nanyang Technological University, Singapura) yang berjudul Maritime Disputes in the South China Sea: Strategic and Diplomatic Status Quo yang dimuat dalam buku berjudul Maritime Security in Southeast Asia yang diedit oleh Kwa Chong Guan dan John K. Skogan.
180
Penulis adalah Diplomat Muda Indonesia, Sekdilu angkatan 35 yang saat ini menempuh pendidikan Ph. D. di University of Wollongong, Australia. Fokus utama risetnya adalah mengenai
haknya di wilayah LTS. Yang menjadi objek sengketa para pihak di LTS terfokus pada dua pulau utama, yaitu Spratly dan Paracels. Negara-negara yang menjadi claimant states untuk pulau Spratly adalah Brunei, Tiongkok, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam. Dua negara terakhir juga menuntut kepemilikan akan Paracels yang berada di bawah kontrol Tiongkok seiak tahun 1974.
Kenapa penting dari segi ekonomi? Karena daerah LTS diyakini kaya akan minyak, gas bumi dan prikanan. Kenapa penting secara strategis? Karena penguasaan LTS khususnya bagi Tiongkok akan memperkokoh posisi mereka sebagai salah satu global power. Selain itu, komando dan kontrol atas LTS akan memperkuat posisi negara dari segi
maritime regime mengingat wilayah tersebut merupakan "the heart of Southeast Asia" dari segi aktifitas maritim. Alasan terakhir merupakan
aspek politik, kenapa politik? Karena permasalahan LTS menyangkut masalah klaim teritori. Kekalahan dalam mempertahankan daerahnya akan menimbulkan masalah domestik, sehingga dipandang perlu oleh
claimant states untuk mempertahankannya sesuai dengan penafsiran dan
pandangan masing-masing demi kedaulatan negara.
Jika kita melihat dari segi hukum internasional, khususnya dari
United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS tahun 1982 yang
atas kekayaan laut), maka ketiga aspek penting di atas menjadi sangat realistis. Ketika sebuah negara memiliki batas wilayah darat tertentu yang berbatasan dengan laut, maka kepemilikan tersebut akan berimplikasi pada kepemilikan wilayah laut. Seperti kita ketahui bahwa sebuah negara dapat menikmati zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang dihitung 200
nautical mile (nm) dari baseline. Negara diberikan hak untuk
mengeksplorasi dan mengeksploitasi living and non-living resources atas laut di daerah ZEE. Sedangkan hak atas continental shelf (landas kontinen) yang dapat dihitung hingga 350 nm dari territorial baseline, memberikan kebebasan untuk negara mengeksplorasi dan mengeksploitasi non-living
resources. Ketentuan hukum internasional ini jelas memberi dampak
ekonomis, strategis, serta politik bagi claimant states yang akan di-back up secara hukum jika ingin mengeksplorasi dan mengeksploitasi ZEE dan
continental shelf di daerah LTS, tentu setelah memperoleh kepemilikan.
Dasar klaim LTS
Sebenarnya hanya terdapat 2 aspek yang dijadikan dasar utama dalam klaim LTS. Aspek tersebut adalah historis dan hukum. Jika kita ingin melihat pada aspek historis, maka claimant yang menggunakan dasar ini hanya 3 pihak yaitu Tiongkok, Taiwan dan Vietnam. Bagi Tiongkok, bermula pada masa Nationalist Government of Chiang Kai-Shek pada tahun 1947 yang telah menetapkan "nine interrupted marks" yang mencakup hampir seluruh wilayah LTS. Hal ini ditegaskan kembali oleh
dari delimitasi batas maritimnya. Setelah melakukan ratifikasi UNCLOS tahun 1996, Tiongkok menerapkan 'archipelagic principle' saat menggambar batas maritim di sekitar pulau Paracels. Bagi Taiwan, mereka mengklaim telah menduduki daerah Itu Aba (mencakup sebagian besar wilayah Spratly) sejak tahun 1956. Sedangkan bagi Vietnam, setelah reunifikasi Vietnam, sejak tahun 1975, mereka mengklaim Spratly dan Paracels atas dasar historical claims of discovery dan occupation (kependudukan). Namun perlu diketahui bahwa sebelum terjadi reunifikasi tersebut, Vietnam mengakui kepemilikan Spratly dan Paracels di bawah kekuasaan Tiongkok.
Bagaimana dengan pokok gugatan claimant states lainnya yang merupakan anggota ASEAN? Mereka menggunakan aspek hukum sebagai dasar gugatan. Mereka menggugat bagian tertentu dari pulau Spratly dan menggunakan hukum internasional sebagai dasarnya. Filipina mengklaim sebagian besar daerah Spratly, sebuah wilayah yang disebut dengan Kalayaan pada tahun 1971 dan memperkuat klaimnya dengan melahirkan Peraturan Presiden yang mengatur wilayah tersebut pada tahun 1978. Malaysia memperpanjang wilayah landas kontinennya yang berdampak pada pencakupan beberapa wilayah pulau Spratly. Sedangkan Brunei pada tahun 1998, mengukuhkan wilayah ZEE yang membentang hingga bagian selatan pulau Spratly dan mencakup Louisa Reef. Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia bukan pihak dalam
sengketa LTS, namun memiliki perhatian khusus pada isu ini mengingat para pihak sebagian besar merupakan anggota ASEAN.
Kejadian-Kejadian Penting di Daerah LTS
Terdapat beberapa kejadian penting di daerah LTS yang patut dicermati untuk memahami problematika LTS secara komprehensif, yakni:
1. Untuk mengukuhkan posisinya sebagai negara yang berkuasa atas LTS, Tiongkok mengelurkan peraturan yang mengatur tentang laut teritorial dan wilayah tambahan "Law of the People's Republic of China
on the Territorial Waters and Contiguous Areas". Dengan demikian,
Tiongkok memiliki hak atas Spratly dan wilayah maritim sekitarnya secara hukum nasional.
2. Pada bulan Februari 1995, Tiongkok menduduki wilayah Kalayaan tepatnya pada Mischief Reef. Tidak terima dengan perlakuan Tiongkok, Filipina menghacurkan marka-marka batas wilayah dan menangkap sejumlah nelayan Tiongkok pada tahun 1995. Akibatnya, pada tahun yang sama kedua belah pihak menandatangani kesepakatan penyelesaian secara damai di wilayah tersebut.
3. Pada tahun 1999, Malaysia melakukan perampasan atas Navigator Reef yang diklaim oleh Filipina, hal ini memperburuk hubungan kedua negara serta mengundang kritik dari Brunei, Tiongkok, dan Vietnam.
4. Pada tahun 2002, tentara Vietnam yang sedang beroperasi di salah satu pulau kecil melakukan tembakan peringatan pada pesawat militer Filipina yang sedang bertugas.
5. Pada tahun 2004, Vietnam sengaja mengirimkan sejumlah warga negaranya ke daerah Troung Sa Lon yang merupakan bagian dari Spratly. Tiongkok mengkritik tindakan Vietnam tersebut dan menyebutkan bahwa mereka telah melanggar Declaration on the
Conduct of Parties yang ditandatangani tahun 2002.
Kejadian-kejadian tersebut merupakan beberapa peristiwa penting di daerah LTS yang memicu ketegangan di antara claimant states.
Langkah Konkret
Para pihak telah melakukan beberapa langkah konkret guna menyelesaikan masalah LTS, antara lain:
1. Lokakarya "Managing Potential Conflicts the South China Sea"
Kegiatan pertama dalam rangka menyelesaiakan konflik LTS yang bersifat multilateral tersebut dimotori oleh Indonesia, pertama kali dilangsungkan pada tahun 1990 dan disponsori oleh Kanada. Lokakarya ini bertujuan untuk menjalin "confidence building" di wilayah LTS. Namun karena sifatnya yang 1,5 track (bukan mengatasnamakan negara tapi bukan juga pihak privat), kurang
menyentuh akar permasalahan karena pembahasan dalam lokakarya yang dilakukan setiap tahun ini menghindari masalah-masalah yang berbau jurisdiksi kedaulatan dan hanya fokus pada
low level cooperation. Namun pertemuan tersebut tidak dapat
dipandang sebelah mata karena salah satu pertemuannya yang dilakukan pada tahun 1991 di Bandung merupakan cikal bakal terbentuknya ASEAN Declaration on South China Sea.
2. ASEAN Declaration on South China Sea
Deklarasi yang dilakukan di Manila pada tahun 1992 tersebut merupakan hasil dari lokakarya yang dilaksanakan di Bandung sebagaimana disebutkan di atas. Deklarasi tersebut tidak mencakup permasalahan jurisdiksi kedaulatan melainkan langkah awal untuk memformulasi Code of Conduct (COC) yang bersifat tidak mengikat, berdasar pada penyelesaian sengketa secara damai dan tidak menggunakan kekerasan. Selain itu, deklarasi ini tunduk pada norma dan prinsip Treaty of Amity and Cooperation (TAC) tahun 1976. Tiongkok sebagai salah satu claimant states yang terbesar tidak mendukung deklarasi ini, Tiongkok lebih menginginkan penyelesaian melalui jalur bilateral. Namun pada tahun 1995 Tiongkok sudah mulai membuka diri untuk membicarakan LTS di tingkat multilateral khusus pada kasus pulau Spratly dan sepakat menggunakan UNCLOS sebagai dasar negosiasi.
tahun 1999, Filipina yang didukung oleh Vietnam mengajukan
draft CoC yang pada intinya bertujuan untuk mengalihkan
pendudukan atas objek sengketa, memuat ketentuan yang lebih spesifik dari deklarasi Manila dan mengusulkan untuk melangsungkan joint development di pulau Spratly. Proposal tersebut ditolak oleh Malaysia dan Tiongkok. Malaysia beranggapan hal tersebut terlalu legalistik dan menyinggung perihal kedaulatan.
4. Malaysia pun mencoba peruntungannya dengan mengajukan deklarasi bersama atas pulau Spratly pada pertemuan ASEAN
Ministerial Meeting (AMM) yang ke-35 di Brunei pada tahun 2002.
Langkah tersebut dimentahkan oleh sebagian besar anggota ASEAN karena tidak jelas apakah kesepakatan akan diabadikan dalam bentuk deklarasi atau CoC. Karena konsensus tidak tercapai, para Menteri Luar Negeri sepakat untuk bernegosiasi dengan Tiongkok guna mendeklarasikan bersama "Declaration on
the Conduct of Parties in the South China Sea".
5. Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea
Deklarasi ini ditandatangani oleh Tiongkok dan ASEAN di Phnom Penh pada bulan November 2002. Deklarasi ini bertujuan untuk mengurangi ketegangan dan konflik militer di LTS. Selain itu, deklarasi tersebut juga berpedoman pada UN Charter, UNCLOS, dan TAC.
6. Code of Conduct
Upaya puncak yang dilakukan oleh ASEAN dalam rangka menyelesaikan masalah LTS bentuk COC belum dapat diterima secara bulat oleh negara anggota ASEAN. KTT ASEAN ke-21 yang berlangsung di Phnom Penh belum menyepakati CoC sebagai perangkat yang diyakini dapat menyelesaikan polemik LTS. Namun dengan dibahasnya CoC yang pada awalnya dirancang oleh Filipina ini, menunjukkan iktikad baik para pihak terkait untuk lebih serius menyelesaikan masalah dengan memasukkan konten hukum di dalamnya terutama yang menyangkut dispute
settlement melalui framework ASEAN (TAC) atau melalui
mekanisme yang sejalan dengan hukum internasional temasuk UNCLOS.
Prospek Penyelesaian Masalah
Berubahnya sikap Tiongkok yang semula berpendirian teguh agar negosiasiasi terkait LTS harus dilakukan melalui forum bilateral membuka peluang bagi negara-negara terkait untuk melakukan perundingan secara multilateral. Hal ini memberikan kemudahan untuk negara-negara ASEAN bersatu padu dalam merumuskan sebuah perangkat konkret yang dapat diterima bersama. Pembahasan CoC yang semakin matang mulai sejak pembahasan di tingkat Menteri hingga
terlebih dahulu harus solid secara internal sebelum mengajukan proposal tersebut ke Tiongkok. Sebagaimana digaungkan oleh Menteri Luar Negeri Kamboja dan diamini oleh Sekretaris Jenderal ASEAN bahwa CoC tidak gagal ditingkat ASEAN karena dari segi konsep, ASEAN sudah menyepakati “key element” dari CoC.
Indonesia sebagai inisiator lokakarya "Managing Potential Conflict
in the South China Sea" dan sebagai big brother di ASEAN diharapkan
dapat terus mendukung dan mengambil peranan penting dalam penyelesaian sengketa LTS. Status bukan sebagai claimant state memudahkan Indonesia untuk bertindak sebagai mediator karena posisinya yang netral. Lokakarya perlu terus dilanjutkan guna mendukung 1,5 track dalam menyelesaikan masalah melalui pembahasan
joint development dan riset terpadu di daerah konflik.
Tiongkok diyakini tidak akan memperkeruh masalah dengan memerangi atau memusuhi Taiwan dan negara-negara ASEAN mengingat Tiongkok memiliki perselisihan dengan Jepang atas East China
Sea. Selain itu, Tiongkok tidak mau mengambil resiko dengan melibatkan
Amerika dalam penyelesaian sengketa mengingat beberapa claimant states merupakan "sahabat" Amerika. Dengan demikian, pihak-pihak bersengketa harus memanfaatkan celah ini untuk melakukan perundingan guna perbaikan kondisi di wilayah LTS.