• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN KACANG KACANGAN LOKAL MENDUK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMANFAATAN KACANG KACANGAN LOKAL MENDUK"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN KACANG-KACANGAN LOKAL

MENDUKUNG DIVERSIFIKASI PANGAN

1)

Winda Haliza, Endang Y. Purwani, dan Ridwan Thahir

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Jalan Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16114

Telp. (0251) 8321762, 8350920, Faks. (0251) 8321762 e-mail: bb_pascapanen@litbang.deptan.go.id Pengembangan Inovasi Pertanian 3(3), 2010: 238-245

1)Bagian dari naskah yang diterbitkan pada

Bu-letin Teknologi Pascapanen Pertanian Volume 3 Nomor 1, Tahun 2007, hlm. 1-8.

PENDAHULUAN

Pemantapan ketahanan pangan mempu-nyai peran strategis dalam agenda pemba-ngunan nasional karena: (1) akses terha-dap pangan dengan gizi yang cukup me-rupakan hak yang paling azasi bagi ma-nusia; (2) kualitas pangan dan gizi yang dikonsumsi merupakan unsur penentu yang penting bagi pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas; (3) keta-hanan pangan merupakan salah satu pilar utama yang menopang ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelan-jutan. Oleh karena itu, diperlukan keter-sediaan pangan yang cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi dan beragam de-ngan harga yang terjangkau masyarakat, dan diutamakan berasal dari pangan lokal. Diversifikasi pangan lokal sangat pen-ting untuk meningkatkan ketahanan pa-ngan masyarakat. Sebagai negara agraris yang dianugerahi sumber daya alam me-limpah, Indonesia memiliki sumber daya kacang-kacangan lokal yang potensial. Be-ragam jenis kacang-kacangan lokal yang potensial memiliki kandungan nutrisi

ham-pir sama dengan kedelai. Namun, potensi tersebut sampai saat ini belum dikembang-kan secara optimal sehingga pemanfaat-annya relatif terbatas.

Diversifikasi pangan lokal khususnya kacang-kacangan lokal diperlukan dan potensial untuk dikembangkan, mengingat produksi kedelai nasional belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional. Sampai saat ini, pemerintah masih meng-andalkan impor untuk memenuhi kebu-tuhan kedelai nasional. Namun, krisis ke-delai yang terjadi pada akhir tahun 2007 telah mengakibatkan gangguan terhadap stabilitas ketahanan pangan. Hal tersebut harus dihadapi sebagai konsekuensi ke-tergantungan pada kedelai impor.

(2)

macam industri seperti kecap, susu kedelai, dan makanan ringan (Departemen Per-tanian 2004). Kandungan gizi tahu dan tempe mampu bersaing dengan bahan pa-ngan hewani seperti daging, telur dan ikan, baik kandungan protein, vitamin, mineral maupun karbohidratnya. Rasa yang enak dan harga yang relatif murah menyebab-kan kedua produk olahan kedelai tersebut disukai dan terjangkau masyarakat. Pe-ningkatan kesadaran masyarakat terhadap manfaat kesehatan dari kedelai juga meru-pakan faktor pendorong meningkatnya konsumsi produk olahan berbasis kedelai. Studi pola konsumsi pangan menun-jukkan bahwa tempe dan tahu dikonsumsi minimal tiga kali dalam satu minggu oleh masyarakat. Konsumsi tempe dan tahu masing-masing meningkat dari 4,42 kg dan 4,63 kg/kapita/tahun pada tahun 1990 menjadi 7,70 kg dan 8,27 kg/kapita/tahun pada tahun 2002 (Soejadi et al. 1993). Se-lanjutnya pada tahun 2006, laju konsumsi kedelai per kapita meningkat rata-rata 6,3%/ tahun sehingga konsumsi kedelai men-capai 8,31 kg/kapita/tahun. Kondisi kon-sumsi ini kontradiktif dengan produksi. Pada satu sisi produksi demikian rendah, pada sisi lain konsumsi meningkat 4,3%/ tahun (Nuryanti dan Kustiari 2007).

Pemerintah terus berupaya mening-katkan produktivitas dan produksi kedelai melalui berbagai langkah strategis untuk mengatasi kekurangan pasokan di dalam negeri. Langkah strategis yang ditempuh antara lain adalah perluasan areal tanam, penyiapan bibit unggul, pemberian benih gratis kepada petani, dan insentif lainnya demi terwujudnya swasembada kedelai. Langkah-langkah strategis tersebut ber-hasil meningkatkan produksi kedelai pada tahun 2009 mencapai 974.512 ton dengan luas tanam 722.791 ha, dibandingkan 808.353 ton pada tahun 2005 (BPS 2010).

Kebijakan peningkatan produksi ke-delai tidak cukup ditempuh hanya melalui peningkatan produksi, tetapi juga perlu mengoptimalkan potensi kacang-kacangan lokal selain kedelai. Upaya ini dirasa sangat rasional mengingat beragam jenis kacang-kacangan lokal yang potensial tumbuh di Indonesia. Kacang tunggak (Vigna ungu-iculata), misalnya, dapat tumbuh pada tanah sulfat masam. Kacang faba (Vicia faba), meskipun berasal dari wilayah sub-tropik, mampu tumbuh pada lahan kering dataran tinggi (>1.000 m dpl). Kacang bogor (Vigna subterranea) tumbuh di daerah tropis dengan ketinggian sampai 1.600 m dpl. Kacang komak (Dolichos lablab) sa-ngat toleran terhadap kekeringan, ber-adaptasi baik pada lahan kering dengan ketinggian 0-2.100 m dpl. Kacang tunggak umumnya ditanam di lahan kering pada musim kemarau, namun dapat pula di lahan sawah setelah padi. Hal ini terkait dengan salah satu sifat unggul kacang tunggak yang lebih toleran terhadap kekeringan dibanding jenis kacang-kacangan lainnya. Ditinjau dari ketersediaan bibit, beberapa varietas unggul kacang tunggak telah tersedia (Kasno et al. 1991; Adisarwanto 2002; Marwoto dan Suhartina 2002; Trustinah dan Kasno 2002; Kurniawan et al. 2004).

(3)

sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik mutu maupun jumlahnya, aman, merata, dan terjangkau. Oleh karena itu, paradigma pembangunan ketahanan pangan difokus-kan pada pengembangan komoditas ter-tentu menjadi lainnya yang sesuai dengan potensi dan sumber daya daerah.

Secara tradisional, masyarakat Indo-nesia telah mengonsumsi beragam jenis pangan. Kacang-kacangan lokal dapat di-manfaatkan dalam membuat tempe, bahkan secara komersial sudah dikenal di beberapa tempat, misalnya tempe benguk (terbuat dari kacang koro benguk) di Yogyakarta, dan tempe gembus di Jawa Timur. Namun, pemanfaatannya masih terbatas pada daerah tertentu.

PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN

KACANG-KACANGAN LOKAL

Peluang

Setiap tahun Indonesia mengimpor kedelai dalam jumlah yang cukup besar untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat. Produksi kedelai do-mestik tidak sepesat pertumbuhan kon-sumsinya. Pemenuhan konsumsi kedelai lebih banyak berasal dari impor. Selain har-ga kedelai impor lebih murah, keberlan-jutan pasokan kedelai impor lebih terjamin dibanding kedelai nasional. Impor kedelai mencapai 2,3 juta ton setiap tahun (1996-2005). Separuh dari volume impor tersebut berasal dari negara maju. Amerika Serikat mendominasi impor kedelai Indonesia, mencapai hampir 50% dari total impor setiap tahun (Sawit et al. 2006). Volume dan

nilai impor kedelai masing-masing tumbuh 8,4% dan 7,9%/tahun (1996-2006). Sampai dengan September 2006, volume impor kedelai mencapai 3,38 juta ton (BPS 2010). Kondisi ini mengharuskan upaya pemenuh-an kebutuhpemenuh-an kedelai tidak dapat hpemenuh-anya dilakukan melalui peningkatan produksi, tetapi juga diperlukan kebijakan di bidang pengolahan atau diversifikasi pangan.

Salah satu kebijakan dan strategi yang dapat ditempuh adalah mengoptimalkan potensi kacang-kacangan lokal sebagai pengganti kedelai. Kebijakan ini sangat mungkin dilakukan mengingat berbagai penelitian menunjukkan kacang-kacangan lokal dapat dimanfaatkan sebagai bahan pensubstitusi dalam pembuatan tempe, seperti tempe dari kacang gude (Damardjati dan Widowati 1995; Indrasari et al. 1992) atau kacang tunggak (Richana dan Da-mardjati 1999). Substitusi kedelai dengan kacang gude hingga 30% masih dapat menghasilkan tempe yang diterima kon-sumen (Indrasari et al. 1992). Kacang tung-gak tanpa dicampur kedelai dapat meng-hasilkan tempe dengan kualitas yang baik (Purwani et al. 2006).

(4)

Sifat Fisik Kacang-kacangan

Ketidakmampuan kacang-kacangan lokal (kacang tunggak, kacang komak, dan se-bagainya) bersaing dengan kedelai tam-paknya bukan disebabkan oleh ketidak-mampuannya tumbuh, tetapi karena per-bedaan sifat. Sifat fisik maupun kimia ka-cang-kacangan sangat menentukan fungsi dan pemanfaatannya lebih lanjut. Ukuran dan bentuk termasuk salah satu sifat fisik yang memiliki arti penting. Biji kedelai yang berukuran besar lebih disukai produsen tempe. Namun sifat tersebut tidak diper-lukan pada pengolahan tahu maupun susu kedelai. Oleh karena itu, ukuran dan bentuk termasuk salah satu sifat yang memberi nilai tambah pada kedelai.

Warna dan tingkat kekerasan biji ka-cang-kacangan lokal bervariasi, begitu pula warna dan ukurannya. Kendala yang sering ditemui pada pengolahan kacang-kacangan lokal (misalnya untuk tempe) adalah kulit biji sulit dikupas atau dipisah-kan. Biji gude perlu dimasak (3 jam) dan direndam (18 jam) lebih lama dibandingkan dengan kedelai untuk membuang kulit se-belum diolah menjadi tempe (Sambudi dan Buckle 1992) karena biji gude lebih keras. Masalah biji keras juga ditemui pada biji kecipir dan komak. Kondisi ini menjadi alasan bagi petani untuk memanen kecipir atau kacang gude saat masih muda untuk dikonsumsi sebagai sayur.

Sumber Nutrisi Pangan

Ditinjau dari aspek gizi, kacang-kacangan merupakan sumber protein, lemak, dan karbohidrat. Kacang-kacangan lokal tidak kalah dalam kandungan protein, begitu pula kualitas protein yang ditentukan oleh susunan asam amino. Secara umum,

ka-cang-kacangan lokal memiliki kelebihan asam amino esensial lisin, tetapi keku-rangan asam amino sulfur seperti metionin dan sistin. Namun, kekurangan ini dapat dikompensasi dengan cara mengombinasi-kannya dengan protein serealia yang me-ngandung metionin dan sistin.

Berdasarkan analisis kandungan zat gizi, tidak ada satu jenis pangan pun yang mengandung zat gizi lengkap yang mampu memenuhi semua zat gizi yang dibutuhkan manusia. Satu bahan pangan mungkin kaya akan zat gizi tertentu, namun kurang me-ngandung zat gizi lainnya. Padahal untuk dapat hidup sehat, seseorang paling tidak memerlukan 40 jenis zat gizi yang diperoleh dari makanan. Untuk hidup sehat, orang perlu mengonsumsi pangan yang beragam, termasuk pangan pokoknya.

Pengertian penganekaragaman pangan mencakup peningkatan jenis dan ragam pangan, baik dalam bentuk komoditas (bahan pangan), pangan semiolahan dan olahan, maupun pangan siap saji. Pende-katan penganekaragaman tersebut dalam program pembangunan nasional dikenal dengan istilah diversifikasi horisontal dan vertikal. Melalui pengembangan budi daya berbagai komoditas pangan (diversifikasi horisontal) akan dihasilkan beragam bahan pangan seperti kacang tunggak, gude, koro, dan komak. Dengan pengembangan aneka produk pangan olahan akan dihasil-kan produk seperti tempe, tahu, susu, dan kecap (diversifikasi vertikal).

Selain zat gizi, hampir semua kacang-kacangan, termasuk kedelai, mengandung senyawa antigizi seperti trypsin inhibitor, asam fitat, dan tanin. Trypsin inhibitor

(5)

menurun. Tanin membentuk senyawa kompleks dengan protein dan karbohidrat. Kadar zat antigizi pada setiap jenis kacang berbeda. Pada kacang-kacangan lokal, kandungan zat antinutrisi seperti tanin secara eksplisit terlihat dari warna kulit biji yang lebih gelap. Senyawa antigizi dapat dihilangkan atau dikurangi melalui proses pengolahan, antara lain fermentasi, penge-cambahan, perendaman maupun pema-sakan. Tanin umumnya terkonsentrasi pada kulit biji sehingga dapat dihilangkan dengan cara mengupas kulit biji.

Senyawa fenol termasuk salah satu senyawa fitokimia penting yang memiliki aktivitas antioksidan atau antimutagen. Senyawa fenol pada kedelai, terutama iso-flavon, telah diteliti secara intensif. Seba-liknya informasi senyawa fenol pada ka-cang-kacangan selain kedelai sangat ter-batas. Kacang tunggak mengandung se-nyawa fenol berupa ester protokatekat (protocatechuic) yang selanjutnya ter-hidrolisis menjadi asam protokatekat be-bas. Senyawa ini diduga memiliki fungsi tertentu dalam diet.

Salah satu faktor penyebab petani enggan membudidayakan kacang-kacang-an lokal adalah terbatasnya pengetahukacang-kacang-an dan kemampuan dalam mengolah maupun memanfaatkannya. Oleh karena itu, tek-nologi pengolahan dan pemanfaatan ka-cang-kacangan lokal perlu terus dikem-bangkan.

PENGEMBANGAN KACANG TUNGGAK SEBAGAI

PENGGANTI KEDELAI

Salah satu teknologi yang sangat mungkin diterapkan untuk mengembangkan kacang-kacangan lokal adalah pengolahan menjadi tempe. Proses pembuatan tempe cukup

sederhana dan umumnya masyarakat Indonesia mengenal produk ini. Berbagai penelitian menunjukkan, kacang-kacangan lokal dapat diolah menjadi tempe, seperti tempe dengan bahan baku kacang gude (Indrasari et al. 1992; Damardjati dan Wi-dowati 1995) atau kacang tunggak (Richana dan Damardjati 1999). Substitusi kedelai dengan kacang gude hingga 30% meng-hasilkan tempe yang diterima konsumen (Indrasari et al. 1992).

Kacang tunggak tanpa dicampur ke-delai dapat menghasilkan tempe dengan kualitas yang baik. Kacang tunggak, sete-lah diosete-lah menjadi tempe, mempunyai kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Se-tiap 100 g tempe kacang tunggak mengan-dung protein 34 g, lemak 3 g, karbohidrat 53 g, serat 3 g, dan abu 1 g. Kandungan asam amino esensial (asam amino yang tidak dapat disintesis tubuh) pada kacang tunggak relatif sama dengan kedelai. Asam ferulat yang terkandung dalam tempe mampu menurunkan tekanan darah dan kandungan glukosa darah. Senyawa fenil-propanoid lainnya, yaitu asap p-koumarik mampu melemahkan zat nitrosamin yang menjadi salah satu penyebab penyakit kanker. Uji preferensi terhadap responden yang berasal dari Bogor dan Mataram menunjukkan, tempe kacang tunggak da-pat diterima dan disukai responden (Haliza

et al. 2007)

(6)

petani, meskipun hasilnya masih terbatas untuk konsumsi sendiri. Harga jualnya pun cukup baik; harga kacang tunggak di ting-kat petani berkisar antara Rp3.500-Rp4.000/ kg, hampir sama dengan harga kedelai lokal di tingkat petani. Namun, saat panen raya, harga kacang tunggak lebih murah, sekitar Rp2.500/kg. Penanaman secara monokul-tur biasanya dilakukan setelah panen tem-bakau.Tumpang sari kacang tanah dan ka-cang tunggak dilaksanakan dengan meng-atur waktu dan jarak tanam, seperti yang dipraktekkan petani di Lombok Timur dan Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Ko-moditas ini menjadi pilihan petani di wi-layah tersebut karena harga jualnya sangat baik dan dapat meningkatkan pendapatan di luar usaha tani padi atau kacang tanah.

STRATEGI IMPLEMENTASI

Kebijakan Penyediaan Sarana Pengolahan

Pemanfaatan kacang-kacangan lokal se-bagai bahan baku tempe memiliki peluang cukup besar. Substitusi kedelai dengan kacang-kacangan lokal dapat dilaksana-kan pada berbagai tingkatan. Teknologi pengolahannya telah tersedia dan dikenal masyarakat. Namun, perlu diperhatikan ke-tersediaan sarana dan prasarana proses. Pengolahan tempe dari kacang-kacangan lokal membutuhkan sarana pengupasan kulit.

Penguatan Kelembagaan Pengolah Tempe

Pengupasan kulit biji menjadi titik kritis dalam pengembangan industri pengolahan pangan berbasis kacang-kacangan lokal.

Tidak semua petani dapat melaksanakan pengupasan kulit. Bila hal ini tidak dapat diterapkan di tingkat petani, perlu meman-faatkan Kopti. Produsen tempe umumnya bergabung dalam Kopti sehingga lembaga tersebut dapat berperan dalam penyediaan kacang tanpa kulit. Cara lain yang dapat ditempuh adalah menumbuh-kembangkan lembaga jasa pengupasan kulit kacang-kacangan.

Sosialisasi Produk Tempe Nonkedelai

Saat ini masyarakat belum terbiasa me-ngonsumsi tempe selain dari kedelai. Pro-dusen juga perlu diinformasikan bahwa substitusi kedelai dengan kacang-kacang-an lokal bukkacang-kacang-an merupakkacang-kacang-an pemalsukacang-kacang-an. Sosialisasi dapat dilakukan dengan mem-berdayakan peran penyuluh.

Dukungan Penelitian

Produk fermentasi seperti tempe kacang-kacangan lokal sebagian sudah dikenal masyarakat dan secara komersial sudah ada di beberapa tempat, seperti tempe benguk di Yogyakarta dan tempe gembus di Jawa Timur. Penelitian sifat dan karakteristik kacang-kacangan lokal untuk menghasil-kan produk khas (tempe) perlu dilakumenghasil-kan terus sebagai pendukung diversifikasi pa-ngan. Di samping itu, pola dan tingkat pe-nerimaannya oleh masyarakat terhadap produk tersebut perlu menjadi acuan pe-nelitian.

(7)

pe-luang peningkatan penerimaan pangan berbasis kacang-kacangan lokal.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

1. Kacang-kacangan lokal, khususnya ka-cang tunggak mempunyai potensi un-tuk dikembangkan sebagai pengganti kedelai. Salah satu produk olahan pa-ngan yang berpeluang dikembangkan untuk mengurangi konsumsi kedelai dan mendukung diversifikasi pangan adalah tempe nonkedelai.

2. Diversifikasi pangan melalui peman-faatan kacang-kacangan lokal memberi manfaat bagi kesehatan karena kan-dungan unsur-unsur gizi, protein, le-mak, dan karbohidrat yang cukup ting-gi.

3. Diversifikasi pangan melalui pengo-lahan tempe nonkedelai membutuhkan dukungan lembaga jasa pengupas kulit biji serta kebijakan yang memungkin-kan petani/pengolah memperoleh sa-rana pengupas kulit biji dengan mudah.

Implikasi Kebijakan

1. Pada saat ini, areal pertanaman kacang-kacangan lokal masih terbatas sehing-ga harsehing-ganya relatif mahal. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan pengem-bangan areal pertanaman kacang-ka-cangan lokal yang berpotensi tinggi untuk dimanfaatkan.

2. Perlunya melengkapi program penyu-luhan dengan materi pengetahuan pengolahan kacang-kacangan lokal dan manfaatnya.

3. Menyusun skim kredit atau melengkapi kebijakan bantuan peralatan pasca-panen dengan alat pengupas kulit ka-cang-kacangan lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T. 2002. Manfaat dan pros-pek pengembangan kacang faba. hlm. 60-90. Dalam Pengembangan Kacang-kacangan Potensial Mendukung Keta-hanan Pangan. Pusat Penelitian dan Pe-ngembangan Tanaman Pangan, Bogor. Departemen Pertanian. 2004. Statistik Pertanian 2004. Departemen Pertanian, Jakarta.

BPS (Badan Pusat Statistik). 2010. Luas tanam, produktivitas dan produksi kedelai seluruh provinsi. http://www. bps.go.id/tnmn_pgn. php?eng=0. Damardjati, D. dan S. Widowati. 1995.

Prospek pengembangan kacang gude di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian IV(3): 53-59. Haliza, W., E.Y. Purwani, I. Agustinisari, Triyantini, H. Setiyanto, dan E. Savitri. 2007. Teknologi pemanfaatan kacang-kacangan untuk produk tempe. La-poran Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca-panen Pertanian, Bogor.

Indrasari, S.D., D.K. Sadra, and D.S. Damardjati. 1992. Evaluation of pro-ducer acceptance on soy-pigeon pea tempe production in Puwakarta District, Indonesia. p. 604-615. Proc. the 4th Asean Food Conference 1992.

IPB Press, Bogor.

(8)

ke-butuhan akan kacang-kacangan. War-ta Penelitian dan Pengembangan PerWar-ta- Perta-nian XIII(1): 6-7.

Kurniawan, I.H. Somantri, T.S. Silitonga, S.E. Pudiarti, Hadiatmi, Asadi, S.A. Rais, N. Zuraida, Sutoro, T. Suhartini, N. Dewi, dan M. Setyowati. 2004. Ka-talog data paspor plasma nutfah ta-naman pangan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. Marwoto dan Suhartina. 2002. Kacang bogor: Budidaya, potensi dan pengem-bangan. hlm. 83-92. Dalam Pengem-bangan Kacang-kacangan Potensial Mendukung Ketahanan Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanam-an PTanam-angTanam-an, Bogor.

Nuryanti, S. dan R. Kustiari. 2007. Me-ningkatkan kesejahteraan petani kedelai dengan kebijakan tarif optimal. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. 12 hlm.

Purwani, E.Y., W. Haliza, E. Sukasih, I. Agustinisari. H. Herawati, Triyantini, S. Usmiati, T. Marwati, Haeruddin, H. Setiyanto, dan Widaningrum. 2006. Tek-nologi pemanfaatan kacang-kacangan sebagai substitusi kedelai untuk pro-duk tempe. Laporan Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian dan Pengem-bangan Pascapanen Pertanian, Bogor. Richana, N. dan D.S. Damardjati. 1999. Karakteristik fisiko-kimia biji kacang

tunggak (Vigna unguiculata L. Walp) dan pemanfaatannya untuk tempe. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 18(1): 72-77.

Sambudi, S.H.E and K.A. Buckle. 1992. Soaking and boiling on microstructure of winged bean seeds. p. 503-517. In

O.B. Liang, A. Buchanan, and D. Fardiaz (Eds.). Development of Food Science and Technology in South East Asia. Proc. the 4th Asean Food Conference

1992. IPB Press, Bogor.

Sawit, H.M., S. Bachri, S. Nuryanti, dan F.B.M. Dabukke. 2006. Fleksibilitas Penerapan Special Safe-guard Mecha-nism (SSM) dan Kaji Ulang Kebijakan

Domestic Support (DS) untuk Special Product (SP) Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Eko-nomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Soejadi, E.Y. Purwani, dan D.S. Damardjati. 1993. Studi pola konsumsi dan tata menu masyarakat di beberapa daerah di Indonesia. Reflektor 6(1-2): 18-25. Trustinah dan A. Kasno. 2002.

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 4.11 Tanya jawab siswa dengan pengajar 70 Gambar 4.12 Halaman Leaderboard / Ranking 71. Gambar 4.13 Halaman Forum

Dengan Mathematica , untuk menentukan bentuk eselon baris tereduksi suatu matriks, dapat digu- nakan perintah RowReduce, kemudian dalam kurung siku isikan matriks yang

Untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran reciprocal teaching (terbalik) terhadap motivasi dan hasil belajar matematika siswa pada materi turunan fungsi atau diferensial kelas

Tanggung jawab pemegang saham sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya tidak berlaku apabila pemegang saham terbukti, antara lain: persyaratan Perseroan

dari sembarang orang, harus dari kalangan sahabat Nabi SAW. Karena, seperti dijelaskan sebelumnya, merekalah orang-orang yang memiliki kedudukan terbaik dari umat

kerja yang berurutan dengan tujuan untuk mendapatkan jawaban dari1. mendapatkan jawaban dari permasalahan permasalahan.( .(Uma Uma

Namun dari semua ayat tentang jihād tersebut beberapa diantaranya berkaitan langsung dengan konsep sabar yang berada dalam satu redaksi ayat dengan kata jihād ,