• Tidak ada hasil yang ditemukan

LOKASI LOKASI POTENSIAL YANG SEDANG MEND

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LOKASI LOKASI POTENSIAL YANG SEDANG MEND"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

LOKASI-LOKASI POTENSIAL YANG SEDANG MENDORONG PERDA

PENGAKUAN MHA DALAM KERANGKA IMPLEMENTASI PUTUSAN MK

35/2012

Oleh Widiyanto

Setelah paparan mengenai perkembangan inisiatif tingkat daerah dan nasional yang sedang mendorong perda pengakuan MHA untuk implementasi Putusan MK

35/2012, penting kiranya menguraikan detil lokasi potensial di antara puluhan lokasi yang saat ini menjadi area intervensi lembaga-lembaga, seperti HuMa, AMAN dan Epistema. Pemilahan lokasi potensial dilakukan dengan mendasarkan pada aspek modalitas yang dimilikinya serta sejauhmana proses pembentukan perda pengakuan sedang berlangsung.

Aspek modalitas di sini saya bagi dalam tiga kategori umum meliputi beberapa indikator di dalamnya. Tiga kategori tersebut merujuk pada klasifikasi ranah

advokasi kebijakan pemenuhan unsur-unsur pengakuan MHA yang tertuang dalam sejumlah peraturan perundang-undangan terkait. Tiga kategori itu adalah

akademik, kerangka legal dan dukungan politik.

Kategori akademik penting untuk meninjau ketersediaan data riset atau penelitian untuk mendukung pengakuan MHA. Prasyarat ini utamanya dapat kita lihat dalam Permen Agraria No.5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Syarat serupa sebenarnya dijabarkan dalam Penjelasan Pasal 67 ayat (2) UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Indikator-indikator dalam kategori akademik meliputi:

 Ketersediaan penelitian, dan  Ketersediaan naskah akademik.

Sedang kategori dukungan politik penting dimasukkan dalam identifikasi peluang untuk mengukur sejauhmana komitmen Pemerintahan Daerah berkomitmen dalam mendorong perda atau SK pengakuan. Dukungan politik ini menjadi penanda bahwa Pemerintahan Daerah serius dalam mendorong instrumen hukum pengakuan. Dukungan politik berpengaruh besar pada keberhasilan pengesahan Perda maupun SK Kepala Daerah untuk pengakuan MHA. Saya memasukkan tiga indikator dalam kategori dukungan politik, yakni meliputi:

 Dukungan sosial dari MHA,

 Dukungan dari bupati/kepala daerah, dan  Dukungan DPRD.

Kategori kerangka legal berisi tentang sejauhmana MHA memiliki jaminan legal pengakuan termasuk juga instrumen hukum apa yang hendak menjadi dasar pengakuan. Kategori legal mencerminkan situasi legal sekarang dan yang

(2)

 Legalitas perda  Pengakuan lewat SK,

 Ketersediaan dokumen Rancangan Perda  Ketersediaan Rancangan SK Kepala Daerah.

Ketersediaan dokumen Rancangan Perda dan SK Kepala Daerah penting sebagai bahan untuk mempercepat advokasi pengakuan. Bagi Donor ini akan memudahkan ruang intervensi advokasi pengakuan.

Upaya mendorong perda maupun SK pengakuan MHA idealnya berpijak pada hasil riset atau penelitian sebagai basis akademik untuk menentukan keberadaan MHA. Laporan penelitian tersebut seharusnya dapat memetakan siapa subyek MHA yang dimaksud dalam perda pengakuan, bagaimana syarat-syarat MHA terpenuhi, dlsb. Berbasis dari hasil riset tahapan berikutnya adalah melihat peluang dukungan politik untuk pengesahan kebijakan. Tahap akhir upaya mendorong kebijakan pengakuan MHA kemudian adalah instrumen legal apa yang hendak disasar. Berdasar modalitas tiga kategori, saya memaparkan hasil identifikasi upaya kabupaten-kabupaten yang sedang mendorong produk hukum daerah untuk pengakuan MHA adalah sebagai berikut:

Peta Identifikasi Upaya Kabupaten Mendorong Pengakuan MHA

NO LOKASI

AKADEM

IK DUKUNGANPOLITIK KERANGKA LEGAL RIS

ET NA MHA EKSE DPRD PERDA KS

RAN PERD

A

RAN PERB

UP 1 Pidie

2 Aceh Barat 3 Lebong 4 Sekadau 5 Paser

(3)

19 Kapuas Hulu 20 Barito Selatan 21 Provinsi Jambi

22

Provinsi Kalimantan Timur

23 Sigi

24 Bulukumba 25 Bombana 26 Malinau 27 Ende 28 Enrekang 29 Luwu

30 Hulu Sungai Tengah 31 Bulungan 32 Alor

33 Lombok Barat 34 Lombok Utara 35 Halmahaera Utara 36 Kaimana 37 Enggano 38 Gunung Mas 39 Tapanuli Utara 40 Nunukan

41 Lampung Barat

Isian kolom-kolom di atas berdasar wawancara dengan PB AMAN, Epistema, dan juga hasil perkembangan riset HuMa. Saat ini AMAN dan Epistema terlibat dalam sebuah koalisi besar bersama Right Resources Institute (RRI) untuk mendorong kebijakan pengakuan MA di banyak wilayah kepengurusan AMAN.

Berdasar peta identifikasi upaya kabupaten dalam mendorong instrumen hukum pengakuan MHA menyebar di wilayah. Akan tetapi dari data di atas hanya beberapa wilayah saja yang telah memiliki basis penelitian atau riset mengenai keberadaan MHA. Banyak daerah langsung berinisiatif mendorong penyusunan naskah

akademik demi memenuhi syarat legal formal perda, sehingga dapat mempercepat proses penyusunan perda pengakuan MHA.

(4)

Daerah-daerah Potensial untuk Intervensi Donor

Dengan hasil identifikasi kabupaten-kabupaten yang sedang berinisiatif mendorong perda pengakuan MHA di atas, dengan waktu yang terbatas untuk intervensi, saya kira Donor dapat melihat dengan sebanyak mungkin kabupaten-kabupaten tersebut memiliki modalitas dalam mendorong kebijakan pengakuan. Semakin banyak

modalitas yang dimiliki di sebuah kabupaten menandakan peluang pembentukan kebijakan pengakuan MHA semakin besar. Sebaliknya, bagi suatu kabupaten yang hanya memiliki sedikit modalitas, maka upaya untuk mendorong percepatan pengakuan masih terbatas.

Donor juga perlu menilai mengenai modalitas yang dimiliki sebuah kabupaten yang sedang mendorong kebijakan pengakuan MHA. Bila modalitas yang dimiliki hanya dalam bentuk dukungan politik, terlebih lagi hanya dukungan Pemda, maka

instrumen hukum yang akan dihasilkan rentan dengan politisasi yang akhirnya membuat instrumen hukum daerah tak implementatif. Donor perlu melihat secara logis alur upaya kabupaten dalam mendorong perda atau SK pengakuan, sehingga dapat memastikan intervensi yang dilakukan menjadi bermakna.

Intervensi Percepatan Pembentukan Kebijakan

Saya mengidentifikasi dari 40an kabupaten yang sedang mendorong perda dan SK pengakuan MHA terdapat 14 kabupaten di 9 provinsi yang memiliki modalitas besar dalam mendorong pembentukan kebijakan daerah. Keempat belas kabupaten

tersebut adalah:

Kabupaten Provinsi

Pidie Aceh

Aceh Barat Aceh Morowali Utara Sulawesi Tengah Mentawai

Sumatera Barat Tanah Datar Sumatera Barat Merangin Jambi

Lebak Banten

Luwu Utara Sulawesi Selatan

Kerinci Jambi

Jayapura Papua Bulukumba Sulawesi Selatan Malinau Kalimantan Utara Halmahera

Utara Maluku Utara

Bulungan

(5)

Palopo Sulawesi Selatan

Dari belasan lokasi di atas, beberapa kabupaten termasuk Kabupaten Morowali Utara tampaknya perlu dikeluarkan dari daftar daerah yang potensial. Kabupaten ini telah memiliki perda pengakuan dan penetapan MHA Suku Wana No.13 tahun 2012. Rancangan peraturan bupati untuk pengakuan wilayah juga telah dikirimkan kepada Biro Hukum Pemda Morowali Utara. Begitu pula Kabupaten Jayapura yang telah memiliki Perda tentang Kampung, SK Bupati penetapan 36 Kampung Adat dan 9 wilayah hukum adat.

Kabupaten Kerinci saya kira perlu dikeluarkan juga dengan situasi yang mirip di Morowali Utara. Hanya saja di Kerinci telah ada perda hutan adat, namun dalam konteks pengakuan atas status hutan, dan tidak pada pengakuan MHA. Kondisi serupa terjadi di Kabupaten Malinau, yang telah memiliki perda pengakuan dan peraturan bupati mengenai badan pengelolaan urusan masyarakat hukum adat. Untuk Bulungan, meski memiliki modalitas yang besar, namun saran saya perlu pertimbangan lebih dalam mengingat substansi pengaturan yang hendak didorong lebih pada pengakuan eksistensi etnis, bukan MHA.

Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, rekomendasi untuk kabupaten-kabupaten yang potensial diintervensi oleh Donor dalam rangka mendorong

pembentukan kebijakan pengakuan MHA mengerucut pada 9 kabupaten dan 1 kota, yakni: Pidie, Aceh Barat, Tanah Datar, Merangin, Bulukumba, Halmahera Utara, Mentawai, Lebak, Palopo dan Luwu Utara. Jika kemudian disaring lagi berdasar keterwakilan provinsi, maka Donor dapat memilih intervensi pada:

 Pidie atau Aceh Barat (Provinsi Aceh);

 Tanah Datar atau Mentawai (Provinsi Sumatera Barat);

 Bulukumba, Luwu Utara atau Kota Palopo (Sulawesi Selatan);  Merangin;

 Lebak;

 Halmahera Utara.

Dari daftar di atas Kabupaten Tanah Datar dan Aceh Barat sekarang sedang dalam tahap mendorong surat keputusan atau peraturan bupati sebagai target advokasi pengakuan. Target kebijakan ini dipilih mengingat di dua kabupaten tersebut telah memiliki perda pengakuan MHA secara umum, yakni Perda Nagari dan Qanun Mukim. Sedang Kota Palopo saat ini sedang mendorong implementasi pengakuan MHA dengan menggunakan skema Permendagri No.52/2014 yang juga mengatur tentang tata cara pengakuan MHA melalui pembentuk Panitia MHA. Pilihan bentuk instrumen pengakuan saya kira tak dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam intervensi bagi Donor mengingat situasi spesifik yang sangat beragam dan dinamika di masing-masing daerah.

(6)

indikator berikutnya. Dari beberapa kabupaten di atas paling tidak terdapat tiga kabupaten yang saya ketahui telah memasukkan inisiatif pembentukan perda dalam prolegda tahun ini, yakni Kabupaten Lebak, Mentawai dan Bulukumba. Tiga

kabupaten ini yang dapat dianggap sebagai kabupaten yang memiliki potensi tertinggi yang seharusnya dapat berhasil mendorong perda pengakuan MHA berdasar modalitas yang dimilikinya.

Di luar tiga kabupaten tersebut, saya kira dua kabupaten di Provinsi Aceh juga memiliki peluang besar dalam mendorong instrumen hukum pengakuan, berdasar kuatnya intervensi dan lobi lembaga pendamping kepada kepala daerah dan DPRD. Halmahera Utara kuat dari sisi dorongan eksekutif karena bupati setempat

merupakan Ketua Dewan Daerah AMAN setempat.

Jika diurutkan berdasar prioritas, maka yang dapat dilihat sebagai daerah potensial untuk intervensi Donor adalah:

1. Kabupaten Lebak; 2. Kabupaten Mentawai; 3. Kabupaten Bulukumba; 4. Kabupaten Pidie;

5. Kabupaten Tanah Datar; 6. Kabupaten Aceh Barat; 7. Kota Palopo;

8. Kabupaten Luwu Utara; 9. Kabupaten Halmahera Utara; 10.Kabupaten Merangin.

Sedang bentuk intervensi terhadap upaya kabupaten-kabupaten di atas yang dapat dilakukan Donor meliputi:

(a) dukungan untuk peningkatan kapasitas pembentuk kebijakan; (b) pemantauan pembentukan kebijakan;

(c) mendorong pembangunan komunikasi yang intensif antara MHA dengan pembentuk kebijakan; atau

(d) dialog kebijakan untuk mempercepat pembentukan kebijakan pengakuan MHA.

Intervensi Kegiatan Menuju Penyusunan Kebijakan Pengakuan MHA Selain perlu mendukung upaya pembentukan kebijakan daerah untuk pengakuan MHA, saya kira Donor perlu juga memasukkan agenda dukungan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh MHA dan CSO pendampingnya menuju penyusunan kebijakan daerah. Yang saya maksud di sini adalah kegiatan seperti penyusunan naskah akademis maupun dukungan lobby untuk mendorong pemahaman Pemda mengenai pentingnya penyusunan produk hukum pengakuan MHA.

Dukungan ini perlu dilakukan dengan pertimbangan bahwa telah tersedia modalitas dasar untuk pembentukan kebijakan, akan tetapi masih terdapat satu kluster

(7)

Dari pemetaan di atas, terdapat sejumlah kabupaten yang potensial didukung melalui skema intervensi kegiatan menuju pembentukan kebijakan pengakuan MHA, terutama dilihat dari aspek modalitas politik maupun sebagian akademik.

Kabupaten-kabupaten yang dapat diintervensi Donor lewat skema kegiatan ini antara lain:

Kabupaten Provinsi Lampung

Barat Lampung

Melawi Kalimantan Barat Sigi Sulawesi Tengah Enrekang Sulawesi Selatan Luwu

Sulawesi Tengah

Lebong Bengkulu

Dari kabupaten-kabupaten di atas beberapa di antaranya masuk dalam wilayah riset identifikasi hutan adat HuMa tahun 2014 lalu, seperti Kabupaten Lebong, Melawi dan Sigi. Epistema terlibat juga dalam upaya mendorong perda pengakuan di Melawi dan Sigi. Sedang Kabupaten Enrekang dan Luwu merupakan wilayah yang selama ini menjadi basis pendampingan PW AMAN Sulawesi Selatan dan AMAN Tanah Luwu. AMAN sebenarnya juga terlibat dalam upaya mendorong perda pengakuan MHA di Sigi lewat PW AMAN Sulawesi Tengah. Akan tetapi HuMa dan mitranya Bantaya mendorong penetapan desa adat di kabupaten yang sama. Sementara Lampung Barat sebagai daerah yang telah menjadi lokasi intervensi sebelumnya oleh Donor dapat dikualifikasikan masuk dalam wilayah intervensi kegiatan menuju penyusunan kebijakan pengakuan MHA. Ini mengingat situasi di Lampung Barat telah memiliki modalitas politik, yang di periode berikutnya akan mendorong pembentukan Tim Pengkajian keberadaan MHA sebagai basis untuk penyusunan Naskah Akademik.

Mengenai daftar prioritas kabupaten yang dapat diintervensi Donor adalah: (1) Kabupaten Lebong; (2) Kabupaten Lampung Barat; (3) Kabupaten Sigi; (4) Kabupaten Melawi, (5) Kabupaten Enrekang; dan (6) Kabupaten Luwu. Saya berpendapat bahwa bentuk intervensi yang dapat dilakukan oleh Donor dalam skema ini adalah dengan:

(a) memfasilitasi kegiatan penyusunan naskah akademik;

(b) memfasilitasi penelitian atau pengkajian sosial pemenuhan unsur-unsur MHA; atau

(c) memfasilitasi pertemuan stakeholders kabupaten dalam rangka menyamakan pemahaman mempercepat pengakuan MHA untuk implementasi Putusan MK No.35/2012.

(8)

Dari belasan wilayah yang memiliki modalitas besar untuk upaya mendorong

mempercepat kebijakan pengakuan masyarakat hukum adat mengerucut pada tiga wilayah kabupaten yang saya rekomendasikan untuk memperoleh intervensi Donor. Tiga kabupaten yang saya maksud adalah Kabupaten Lebak, Bulukumba dan

Lampung Barat. Tiga kabupaten ini—dua kabupaten pertama—memiliki tingkat ekspektasi keberhasilan tinggi mengingat modalitas yang telah dimiliki sangat besar dan ditunjang dengan perkembangan pendamping yang kuat dalam mendorong lobi kebijakan di masing-masing wilayah.

Sementara Kabupaten Lampung Barat dapat merepresentasi kabupaten yang memerlukan intervensi tahapan menuju pengakuan, sebagaimana rekomendasi intervensi tipe kedua dari model intervensi yang saya jelaskan di atas. Keuntungan lain mendorong intervensi Donor di Lampung Barat adalah melanjutkan intervensi dan investasi yang telah dilakukan sebelumnya.

Contoh profil MHA yang sedang didorong pengakuannya

Pada bagian ini saya coba deskripsikan contoh-contoh profil MHA yang saat ini sedang didorong pengakuannya oleh sejumlah organisasi pendamping di banyak kabupaten.

1. Kasepuhan Karang, Kabupaten Lebak

Secara administratif Kasepuhan Karang masuk dalam Desa Jagaraksa, Kecamatan Muncang, Kabupaten Lebak, Banten. Dan secara geografis, Kasepuhan Karang dikategorikan masuk ke dalam areal perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan berada di jalur lintas Kecamatan Sobang Kecamatan Sajira -Kota Rangkas Bitung. Letak Kasepuhan Karang dapat dibilang agak jauh, sekitar 35 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Lebak di Rangkasbitung dengan kondisi jalan beraspal dan sebagian berbatu.

Di Kasepuhan Karang terdapat beberapa sungai yang memiliki peran penting penunjang kehidupan masyarakat untuk kegiatan bersawah, kolam dan digunakan untuk kepentingan sehari-hari seperti mandi, cuci dan kakus. Sungai-sungai tersebut adalah Sungai Cikamarung, Cimapag, Cipondok Aki, Cibedug, Cilunglum, Cikadu dan Cibaro. Jenis ikan, yang ditemukan disungai-sungai di kasepuhan ini adalah lele, beunteur, regis, udang, sarompet, kehkel, bogo dan manyeng.

Umumnya lahan pemukiman (lembur) dan sebagian lahan pertanian sudah memiliki bukti tertulis yang tertera dalam buku letter C yaitu Buku pendaftaran tanah sebagai dasar dari penerbitan Girik yang kemudian diganti menjadi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Sebagian lahan pertanian masyarakat Kasepuhan Karang atau lahan cawisan ada yang masuk dalam klaim Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Masyarakat umumnya menyebut lahan tersebut dengan lahan garapan (anu digarap ku masyarakat). Hasil pemetaan partisipatif yang difasilitasi RMI (2014) menegaskan bahwa dari luas Kasepuhan Karang yang mencapai 388,572 ha, hampir 50% wilayah Kasepuhan Karang diklaim sebagai kawasan TNGHS, yakni mencapai 167,625 ha.

(9)

adalah kawasan yang dijadikan sebagai sumber mata air dan dianggap keramat bagi masyarakat kasepuhan, termasuk dijadikan sebagai tanah makam. Pada kawasan ini masyarakat dilarang melakukan aktifitas seperti menebang pohon atau memanfatkan hasil hutan berupa kayu.

Kawasan lainnya yang dianggap sakral adalah leuweung kolot/Paniisan (secara harfiah berarti tempat istirahat).Paniisanmemiliki fungsi sebagai tempat istirahat, baik yang dimaksud sebagai tempat kasepuhan beristirahat maupun dalam kerangka mengistirahatkan dari kerusakan-kerusakan lingkungan, karena kawasan ini merupakan sumber air bagi warga Kampung Karang.

Seperti yang tertuang dalam filosofinya “Salamet ku Peso, bersih ku Cai“— Pisaumemberikan kehidupan dan Air memberikan kebersihan diri. Dengan kata lain filosofi tersebut memiliki makna warga Karang selalu diingatkan untuk berada dalam kondisi dan situasi yang tepat, sesuai, tajam, selaras dan sederhana dalam setiap keadaan apa pun. Namun jikalau terjadi kesalahan bersegeralah untuk membersihkan diri dan kembali kepada kesesuaian, ketajaman dan kesederhanaan hidup, termasuk dalam konteks mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam. Masyarakat Adat Kasepuhan Karang meyakini bahwa dalam pengelolaan alam, masyarakat harus menitikberatkan pada keseimbangan. Artinya, apa yang diambil, harus berbanding lurus dengan apa yang diberikan terhadap alam.Secara umum, bentuk-bentuk pengelolaan sumberdaya alam di Kasepuhan Karang terbagi menjadi tiga hal, yaitu: hutan, kebun dan sawah.

Dalam konteks kebijakan daerah Kabupaten Lebak, pengakuan masyarakat hukum adat dijamin melalui beberapa peraturan-peraturan daerah, seperti tentang Masyarakat Baduy yang tertuang dalam Perda No. 13 tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat Baduy di Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak. Lalu ada Perda No. 32 tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak ULayat Masyarakat Baduy.

Tidak hanya dalam bentuk Perda, Pemerintah Kabupaten Lebak juga mengeluarkan kebijakan dalam bentuk SK Bupati Lebak tentang perlindungan masyarakat adat kasepuhan di Kabupaten Lebak, yaitu lewat SK Bupati Lebak No. 430/Kep.318/Disporabudpar/2010 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Cisitu Kesatuan Sesepuh Adat Cisitu Banten Kidul di Kabupaten Lebak, yang kemudian disempurnakan dengan lahirnya SK Bupati Lebak No. 430/Kep.298/Disdikbud/2013 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat di Wilayah Kesatuan Adat Banten Kidul di Kabupaten Lebak yang meliputi 17 Kasepuhan didalamnya.

Ke-17 kasepuhan tersebut adalah Cisungsang, Cisitu, Cicarucub, Ciherang, Citorek, Bayah, Karang, Guragog, Pasireurih, Garung, Karangcombong, Jamrut, Cibedug, Sindangagung, Cibadak, Lebaklarang dan Babakanrabig. Kelompok tersebut merupakan komunitas yang memiliki hubungan erat dengan sumberdaya hutan serta memiliki aturan yang telah dijalankan secara turun temurun.***

2. Nagari Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat

(10)

mencari daerah atau wilayah baru untuk dijadikan pemukiman dan membuka ladang untuk bercocok tanam.Ini disebut dengan manaratak.

Suku asli dari masyarakat hukum adat Malalo adalah Suku Jambak, namun karena perkembangan penduduk, suku tersebut dipecah menjadi 11 suku, di antaranya Muaro Basa, Nyiur, Makaciak, Pauh, Simawang, Talapuang, Melayu, Jambak, Pisang, SapuluahDanBaringin.Masing-masing suku yang dibentuk mempunyai struktur masing-masing yang melekat dalam penguasaan dan pengurusan ulayat. Struktur tersebut adalah:

1) Penghulu Pucuk. Penghulu Pucuk merupakan orang yang dituakan, berfungsi sebagai orang pertama memancang hutan dan menjadikan hutan sebagai tempat bercocok tanam. Penghulu Pucuk juga mempunyai kedudukan sebagai orang yang lebih tahu sehingga pendapatnya dijadikan sebagai rujukan disetiap persoalan yang terjadi di nagari;

2) Penghulu suku. Penghulu Suku merupakan pimpinan satu suku atau dalam satu paruik (satu keturunan) yang berwenang untuk mengatur peruntukan ulayat kepada seluruh kemanakan di dalam sukunya;

3) Ampek Jiniah atau empat jenis terdiri dari manti, alim ulama, dubalang, pandito dan penghulu. Ampek jiniah merupakan komponen yang membantu pelaksanaan roda pemerintahan dalam adat, seperti manti untuk administrasi pemerintahan adat, dan dubalang untuk menjaga keamanan dan malin yang mengurusi masalah keagamaan;

4) Tungganai merupakan orang yang dituakan pada suatu kaum atau mamak kepala waris dan secara langsung berkaitan atau berurusan dengan anak kemanakannya;

5) Anak kemanakanmerupakan semua anggota yang terdapat dalam suatu suku. Anak kemanakan merupakan orang yang akan memanfaatkan dan mengelola ulayat.

Wilayah Adat Malalo berdasarkan pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh masyarakat seluas wilayah ± 10,689 10.689 Hektar yang berbatasan langsung dengan dua kabupaten, yakni Kabupaten Solok (Nagari Paninggahan) di sebelah selatan dan Kabupaten Padang Pariaman (Nagari Anduring) di sebelah barat. Di samping itu Malalo berbatas dengan Nagari Sumpur dan Bungo Tanjuang di sebelah utara dan dengan Nagari Simawang di seberang Danau Singkarak di sebelah timur. Nagari Guguk Malalo memiliki wilayah adat sampai ke Nagari anduring, Kabupaten Padang Pariaman.

Hutan adat Malalo merupakan bagian dari wilayah adat Malalo yang difungsikan oleh masyarakat sebagai daerah penyangga dan sumber air untuk pertanian ataupun kebutuhan sehari-hari.Dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan, masyarakat hukumadat Malalo membagi hutan dalam tiga kelompok pemanfaatan yaitu:

a) Hutan Larangan

Adalah hutan ulayat nagari yang belum terbagi kepada sebelas suku yang letaknya di atas patok bosweisen dan tidak boleh dimanfaatkan baik kayunya maupun non kayu, jadi sifatnya dilindungi;

(11)

Terletak diatas boschweisen, belum terbagi kepada sebelas suku akan tetapi memung-kinkan untuk dibagi kepada sebelas suku dan dimanfaatkan sebagai parak ketika jumlah penduduk sudah banyak. Baik kayu maupun non kayu sudah boleh diman-faatkan dengan prosedur tertentu dengan seizin ninik mamak dalam KAN.

c) Hutan Paramuan

Hutan untuk bahan anak kemenakan untuk mengambil kayu untuk rumahhutan ulayat nagari yang sudah terbagi kepada suku-suku dan sudah boleh dimanfaatkan oleh anak nagari untuk memenuhi kebutuhan kayu maupun perladangan cengkeh, pala, kemiri dan tanaman bernilai ekonomis lainnya.

Masyarakat hukum adat Malalo sangat konsisten menjaga hutan adat mereka. Masyarakat meyakinihutan adat berfungsi sebagai sumber air,menjaga kawasan pemukiman dari bencana longsor atau galodo. Masyarakat menerapkan hukum adat yang kuat dalam menjaga hutan dimana ada larangan untuk memasuki hutan cadangan dan hutan larangan. Sanksi adat siap diterapkan terhadap siapa pun yang berani masuk, termasuk kepada petugas dinas kehutanan untuk melakukan penataan batas kawasan hutan.

Masyarakat hukum adat Malalo tidak mengakui klaim Kementerian Kehutanan atas kawasan hutan di Malalo yang dibagi menjadi dua status kawasan, yaituhutan lindung berdasarkan SK. Menhutbun Nomor 422/Kpts-ll/1999 dan hutan cagar alam berdasarkan Gubernur Besluit Nomor.25 Stbl 756 Tanggal 18 Desember 1922.

Perda Kabupaten Tanah Datar No. 4 tahun 2008 tentang Nagari menyatakan bahwa nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas tertentu, berwenang mengatur dan mengurus masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah dan atau berdasarkanasal usul dan adat Minangkabau yang diakui dan dihormati.

Peraturan daerah ini juga memberikan pembedaan antara “wilayah nagari” dengan “wilayah pemerintahan nagari”. Wilayahnagari meliputi wilayah hukum adatdengan batas-batas tertentu yang sudah berlaku secara turun temurun, diakui sepanjang adat dan atau berdasarkan kesepakatan. Sedangkan wilayah pemerintahan nagari meliputi wilayah pemerintahan secara administratif telah ditetapkan batas-batasnya, dan terdiri dari beberapa jorong sebagai wilayah kerja penyelenggaraan administrasi Pemerintahan Nagari dan berada dalam satu wilayah kesatuan masyarakat hukum adat Nagari.

3. Mukim Lango, Kabupaten Aceh Barat, Aceh

Mukim merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang dikenal dan telah berlaku sejak lama, diakui dalam peraturan lokal (qanun) bahkan dalam UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Mukim Lango adalah salah satu mukim di Kecamatan Pante Ceureumen, Kabupaten Aceh Barat. Kemukiman ini berada jauh terpencil di Pedalaman Kecamatan Pantee Ceureumen, dengan jarak tempuh dari pusat kecamatan berkisar 18 km, dan 63 km dari Meulaboh, ibukota Kabupaten Aceh Barat, di hamparan dan Perbukitan Gunung Sikundo.

(12)

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Lango pernah dijadikan sebagai pusat pemerintahan kerajaan. Penguasa pertama menduduki wilayah ini adalah Raja Teuku Tandi Bungkai, yang setelah mangkat digantikan oleh anaknya Teuku Tandi Raja Muda, Setelah Raja Teuku Tandi Raja Muda dipegang oleh Ulee Balang Cut (Mukim), setelah Ulee Balang Cut (Mukim) baru ada Mukim di Lango.

Sedangkan pada masa kolonial Belanda Mukim berada di bawah wedana dan masyarakat tidak boleh secara langsung menghadap wedana tapi harus melalui mukim sehingga semua kegiatan dan persoalan masyarakat, mukim harus tahu. Kemukiman Lango terdiri atas empat buah gampong yaitu; Gampong Lango, Lawet, Canggai dan Sikundo. Berdasarkan Hasil pemetaan Partisipatif dan analisis Sistim Informai Geografis (SIG) luas wilayah Mukim Lango diperkirakan 45.485,41 Ha atau 16,40% dari 277.272,49 Ha luas Kabupaten Aceh Barat. Dari luasan wilayah mukim tersebut terdapat 36.924,51 Ha (81,18%) merupakan Hutan Lindung, 3.546,86 Ha (7,80%) Hutan Produksi, 156,89 Ha merupakan sungai dan 4.857,15 Ha (10,68%) merupakan Areal Penggunaan Lain (APL), termasuk didalamnya pemukiman, kebun dan ladang milik maasyarakat.

Kondisi Hutan Adat Mukim Lango Saat Ini

Pada masa Orde Baru hutan mukim Lango mulai rusak. Kerusakan ini ditandai dengan masuknya perusahaan HPH PT. Rajawali Garuda Mas, sekitar tahun 1997an.Perusahaan ini beroperasi tak lama dan saat konflik meletus paska reformasi di Aceh, perusahaan hengkang dari Aceh dan meninggalkan bekas kerusakan hutan bagi masyarakat Gampong Sikundo.

Saat ini hutan adat kembali menghadapi beberapa ancaman kerusakan diantaranya; masuknya perusahaan perkebunan berskala Besar PT. PBS (Potensi Bumi Sakti) yang mendapat izin dengan luasan konsesi 6.751,68 Ha, selain juga ada penambangan liar dan rencana pemerintah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

Wilayah Kelola Hutan Mukim Lango dari Batas Kebun terluar Masyarakat Gampong sampai dengan 10 km perjalanan kaki. Tata kelola lahan mukim lango dibagi dalam:

1) Lahan Perkebunan 2) Lahan Pertanian 3) Lahan Gambut

4) Hutan (a. Hutan Gampong, b. Hutan Mukim) 5) Sungai

6) Lahan Peternakan.

Luas Hutan Ulayat Mukim Lango yang diusulkan masuk dalam Tata Ruang Wilayah Kabupaten Aceh Barat adalah 29.825,58 Ha atau 65,57% dari luas Mukim Lango. Berdasarkan fungsinya dari luasan usulan tersebut terdiri dari hutan lindung 24.977,82 Ha (83,75 %), hutan produksi 3.546,86 Ha (11,89%) dan APL 1.300,89 Ha (4,36%).

Berdasarkan pemanfaatan hutan ulayat Mukim Lango saat ini, 28.524,68 Ha merupakan wilayah kerja HPH/IUPHHK PT. Raja Garuda Mas Lestari (24.977,82 Hadi Hutan Lindung, 3.546,86 Ha Hutan Produksi) dan 1.300,89 Ha dikuasai HGU PT. Mapoli Raya dari Luas wilayah Mukim Lango.

(13)

meyakini bahwa dampaknya tidak bagus untuk masyarakat itu sendiri. Masyarakat memanfaatkan potensi hutan untuk dijadikan pemenuhan kebutuhan hidup seperti mencari kayu alem, madu, hasil hutan non-kayu, damar, dan lain-lain.

Masyarakat semakin sadar akan fungsi dan keberadaan hutan. Itu terbukti, di mana pihak luar harus melapor jika ingin membuka lahan di satu tempat dan selanjutnya pembukaan lahan seperti yang dilakukan oleh HPH sudah tidak diizinkan lagi.

4. MHA Saibatin Pesisir Krui, Kabupaten Lampung Barat, Lampung

Sejak sekitar seabad yang lalu Masyarakat Adat Saibatin Pesisir Krui membangun Repong Damar. Dimulai dari pembukaan hutan, berladang (padi dan sayuran), berkebun (kopi, lada), yang kemudian membentuk agroforest (kebun-hutan) yang didominasi oleh pohon damar (Shorea javanica) selain buah, kayu dan tumbuhan bermanfat lainnya. Keseluruhan Repong Damar di Pesisir Krui mencapai 50-an ribu hektar. Wilayah masyarakat adat Pesisir Krui berbatasan dengan Samudra Hindia di sebelah Barat dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di sebelah Timur (dulu Cagar Alam Ratu Wilhemina).

Pada zaman Belanda tanah adat diakui sebagai tanah marga dari 16 Marga yang memiliki wewenang di sana. Batas Bochwessen (BW, kawasan hutan) dan tanah marga dihormati oleh pihak Pemerintah Belanda maupun masyarakat sekitarnya. Pada tahun 1991 Menteri Kehutanan menunjuk TGHK Provinsi Lampung dimana sebagian dari tanah marga tersebut menjadi kawasan hutan yang terdiri dengan fungsi produksi terbatas (HPT) dan lindung (HL). Selanjutnya memberikan hak pengusahaan hutan kepada HPH PT Bina Lestari dan kemudian dialihkan kepada PT Inhutani V.

Perubahan status tanah marga tersebut baru diketahui masyarakat pada tahun 1994 pada saat penataan batas mulai dilakukan. Sejak itu masyarakat adat di Pesisir Selatan mulai dilarang melakukan pengelolaan repong damar di dalam wilayah yang diklaim sebagai kawasan hutan negara. Penolakan masyarakat adat terhadap status kawasan hutan negara dilakukan melalui penolakan wilayahnya dimasuki petugas penataan batas, surat petisi dan delegasi yang dikirim ke Pemerintah Daerah serta Departemen Kehutanan. Jawaban pemerintah atas surat dan petisi masyarakat adat adalah dengan menerbitkan SK. Menhut. No.47/KptsII/1998 yang menunjuk 29.000 ha repong di dalam kawasan hutan negara sebagai kawasan dengan tujuan istimewa (KDTI), SK ini memberikan hak pengusahaan kawasan hutan negara yang terdiri atas HPT dan HL kepada masyarakat adat.

Bentuk yang diharapkan masyarakat adat adalah bukan pemberian hak pengusahaan repong damar yang dapat dicabut sewaktu-waktu dan masih kuatnya intervensi pengaturan oleh Kementerian Kehutanan tetapi suatu bentuk hak atas dasar pengakuan keberadaan masyarakat adat, wilayah adatnya serta pola pengelolaanya kebun damarnya sebagai usaha pertanian. Walaupun pemberian hak pengusahaan belum memenuhi harapan masyarakat adat Krui akan tetapi SK ini menunjukan pengakuan atas pola pengelolan sumber daya hutan oleh masyarakat adat dalam bentuk aslinya (repong damar) dan jaminan bahwa pola tersebut dapat dilanjutkan.

(14)

areal yang dicadangkan adalah 24.835 Ha. yang merupakan kawasan KDTI (adat) dan telah dikelola oleh masyarakat sebagai sumber kehidupannya.

5. Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, Bulukumba

Secara administratif wilayah adat Ammatoa Kajang berada di tiga wilayah administratif pemerintahan kecamatan, yaitu: Kecamatan Kajang yang meliputi Desa Tana Toa dan ibukota kecamatan Kajang/Kajang kassi, dan Desa Bonto Biraeng; Kecamatan Bulukumpameliputi Desa Jo’jolo, Desa Bonto Mangiring; dan Kecamatan Ujung Loe meliputi Desa Tammato dan Desa Palangisang. Jarak tempuh dari ibukota Kecamatan Kajang sekitar 20 Km, dari ibukota kabupaten sekitar 60 km, sedangkan dari Makassar, ibukota Provinsi Sulawesi Selatan sekitar 200 km. Wilayah Masyarakat Adat Ammatoa Kajang berbatasan:

o Sebelah barat Desa Tana Toa, Batu Lohe dan Desa Sampeang (Kec. Rilau Ale),

o Sebelah timur ibukota Kecamatan Kajang (Kassi-wilayah pesisir pantai), o Sebelah selatan Desa Jo’jolo (Kec. Bulukumpa), Desa Bonto Biraeng (Kec.

Kajang), Desa Bonto Mangiring (Kec. Bulukumpa), Desa Tammatto (Kec. Ujungloe) dan Palangisang Desa Balleanging (Kec. Ujungloe), batas-batas lahan pertanian, perladangan serta hutan adat yang dihuni oleh warga masyarakat adatAmmatoa Kajang, dan

o Sebelah Utara menunjukkan batas-batas kawasan hutan adat yang memanjang di sekitar perbatasan Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sinjai.

Wilayah adat Ammatoa Kajang yang dimaksud adalah wilayah yang didiami oleh masyarakat adat Kajang dimana hukum-hukum adat masih dijalankan baik sifatnya wajib atau sudah tidak wajib lagi. Luas kawasan hutan Ammatoa sendiri kini menjadi kontroversi. Jika Pemerintah Daerah sendiri menetapkan luas kawasan hanya 331,17 hektar, namun menurut Galla Puto, juru bicara Ammatoa, yang kemudian diperkuat oleh Ammatoa sendiri, luas kawasan hutan Ammatoa Kajang sebenarnya 374 hektar.

Secara garis besar, wilayah adat Ammatoa Kajang dibagi atas dua wilayah yakni Rabbang Seppang dan Rabbang Luara atau biasa juga disebut dengan I Lalang Embayya dan I Pantarang Embayya atau dikenal juga dengan Kajang Dalam dan Kajang Luar.Wilayah adat khusus yang berada di Ilalang embayya atau dikenal juga sebagai rambang seppang merupakan wilayah adat dimana seluruh aturan adat diterapkan dalam semua sendi-sendi kehidupan, termasuk prinsip hidup kamase-mase.

Pandangan masyarakat adat Ammatoa Kajang terhadap sumber daya alam yang ada di wilayah adatnya, menggambarkan hubungan antara masyarakat dengan tanah dan sumber daya alam yang bersifat unik dicirikandengan sistem tenurial lokal berbasis pada kepemilikan bersama sebagai bagian yang menyatu dengan sistem-sistem yang hidup di masyarakat. Sistem tenurial lokal masyarakat adat Ammatoa Kajang dibangun berdasarkan Pasang yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan sosial, ekonomi, hukum, dan kebudayaan.

(15)

empat nilai (realitas) penting bagi kehidupan manusia, yakni realitas religius, realitas historis, realitas ekologis, dan realitas ekonomis.

a. Hutan Adat atau Borong

Hutan (borong) oleh masyarakat adat Ammatoa Kajang, terbagi dalam dua jenis: borong lompoa (hutan besar) dan palleko’na boronga (hutan kecil – selimut hutan). Di wilayah adat Kajang terdapat sebuah lokasi borong lompoa seluas 331,17 hektar yangkondisinya masih utuh. Hutan tersebut dikelilingi oleh delapan palleko’na boronga yang menyebar di sepuluh lokasi.

Di borong lompoa terdapat Saukang atau tempat keramat untuk melaksanakan ritual adat, dua wilayah karrasayya: pa’rasangeng I lau (kampung bagian barat, tempat battasayya/ritual adat ziarah kubur) dan pa’rasangeng I raja (kampung bagian timur, tempat pengambilan udang dan sayuran untuk battasayya dan panganro). Demikian hasil penetapanAmmatoa.

Hutan di Kawasan Ammatoa Kajang sendiri dapat dikategorikan sebagai hutan tropis. Terdapat sejumlah tanaman khas yang tumbuh di hutan ini antara lain kayu nannasa (bitti), uhe (rotan), erasa (beringin), tokka, kaju katinting, pala-pala (pala hutan), ropisi, sattulu (ketapi), rao (zaitun), langsat, bilalang, taru, pakis, asa, oro’ (bamboo) dan anggrek. Untuk anggrek sendiri diperkirakan sejumlah spesies anggrek endemic yang masih ditemui hutan ini.

b. Tanah Kalompoang atau Gallarang;

Merupakan tanah adat yang hak pengelolaannya diberikan kepada pemangku adat, diperuntukan sebagai sumber penghidupan.

c. Tanah Gilirang;

Merupakan tanah milik rumpun keturunan yang dikelola secara bergiliran oleh keturunan satu rumpun masyarakat adat.

d. Tanah Milik Pribadi;

Referensi

Dokumen terkait

Pada zona polen 1 endapan sedimen mula-mula terendapkan pada lingkungan darat yaitu Reparian sampai Mangrove dengan penciri polen Reparian yaitu Chenopodiaceae dan

Sibolga) sedang melakukan razia Rutin dikamar Angrek 3 Blok B kemudian melakukan pemeriksaan dan penggeledahan badan atau pakaian pada penghuni kamar Angrek 3 blok

tercantum dalam Lampiran Keputusan ini dan/atau tercantum pada laman Pengumuman Hasil SBMPTN 2020 Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) dinyatakan Lulus seleksi

Material yang digunakan oleh balon bawah laut yang secara teknis disebut baterai (akumulator) itu, sama seperti yang digunakan untuk menaikkan kapal yang tenggelam dari dasar

10 Apakah telah dilakukan penerimaan daftar potensi pemilih pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dari pemerintah daerah atau DPT Pemilu terakhir paling lambat

Penentuan Rock Region & Porositas dan Hubungan Permeabilitas Tiap Rock Region .... Pengolahan Tekanan

Pos Indonesia (Persero) Cabang Parepare dijalankan dengan baik, akan tetapi dari tiga aspek efektivitas ada satu aspek yang belum optimal dilaksanakan dengan baik

terintegrasi tersebut telah berhasil dirancang dan dibuat (Hermawan, et al., 2009; Hermawan, et al., 2010), namun masih perlu ditingkatkan kinerjanya melalui modifikasi agar