• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI Halaman - Perpustakaan tunanetra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DAFTAR ISI Halaman - Perpustakaan tunanetra"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

v DAFTAR ISI Hal aman

HALAMAN JUDUL i

LEMBAR PENGESAHAN ii

KATA PENGANTAR iii

UCAPAN TERIMAKASIH iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR TABEL x

BAB I PENDAHULUAN

A. Pemahaman Judul I-1

B. Lat ar Belakang I-1

C. Permasalahan dan Persoalan I-4

D. Tuj uan dan Sasaran I-4

E. Lingkup Pembahasan dan Bat asan I-4

F. St rat egi dan Met odologi Rancang Bangun I-5

G. Sist emat ika Penulisan I-7

BAB II KAJIAN DAN TINJAUAN

A. Kaj ian Tunanet ra II-1

1. Pemahaman Tunanet ra II-1

2. Penggolongan Tunanet ra II-2

a. Berdasarkan Tingkat Ket aj aman II-2 b. Bedasarkan Saat t erj adinya Kebut aan II-3 c. Berdasarkan Kelemahan Visual II-4 3. Karakt erist ik / Perilaku Tunanet ra II-5 a. Karakt erist ik Tunanet ra Tot al II-5 b. Karakt erist ik Tunanet ra Kurang Lihat (parsial) II-7 4. Ekspresi Ruang Terhadap Tunanet ra II-8 5. Persyarat an Teknis Aksesibilit as Penyandang Tunanet ra

Berdasarkan Ket et apan Ment eri Pekerj aan Umum Repulik Indonesia nomor 468/ KPTS/ 1998 II-11

B. Kaj ian Perpust akaan II-20

1. Pemahaman II-20

(2)

vi

a. Fungsi Pendidikan II-21

b. Fungsi Kult ural II-21

c. Fungsi Rekreasi II-22

d. Fungsi Dokument asi II-22

3. Jenis Perpust akaan II-22

a. Perpust akaan Umum II-22

b. Perpust akaan Khusus II-22

c. Perpust akaan Sekol ah II-23

d. Perpust akaan Perguruan Tinggi II-23

e. Perpust akaan Nasional II-23

4. Kegiat an Pokok Perpust akaan II-23

a. Pembinaan Bahan Koleksi II-23

b. Pengolahan Bahan Koleksi II-24

c. Pelayanan II-25

d. Organisasi Perpust akaan II-26

5. Perpust akaan Tunanet ra II-28

6. Tipologi Bangunan II-29

7. Preseden Perpust akaan Umum II-31 a. New Seat t le Public Library II-31

b. Mount Angel Library II-34

BAB III TINJAUAN KOTA SURAKARTA

A. Tinj auan Fisik III-1

B. Eksist ensi Penyandang Tunanet ra di Surakart a III-6

1. Jumlah III-6

2. Kondisi Fisik Pelayanan III-6

3. Aspek Kebut uhan III-6

4. Aspek Lingkungan dan Tempat III-7

5. Bent uk Wadah III-7

C. Relevansi Surakart a sebagai Lokasi III-8 D. Preseden Fasilit as Tunanet ra di Surakart a

1. UPT Pant i Tunanet ra dan Tuna rungu wicara ” Bhakt i Chandrasa

2. SLB/ A-YKAB Surakart a III-10

E. Perpust akaan Umum kot a Surakart a III-12

1. Lokasi III-12

(3)

vii

3. Kegiat an III-14

4. Koleksi III-15

5. Ruang III-16

6. Urgensi Permasalahan III-18

F. Lokasi dan Sit e St andard III-18

BAB IV PERPUSTAKAAN TUNANETRA YANG DIRENCANAKAN IV-1

A. Pemahaman IV-1

B. Fungsi IV-1

C. Pelaku dan Kegiat an IV-3

1. Pelaku IV-3

2. Kegiat an IV-4

a. Pengelompokan Kegiat an IV-4

b. Wakt u kegiat an IV-5

c. Sist em Pelayanan IV-5

D. Koleksi Perpust akaan IV-5

BAB V ANALISA PENDEKATAN KONSEP V-1

A. Analisa Makro V-1

1. Analisa Lokasi dan Sit e V-1

2. Analisa Pencapaian V-5

3. Analisa View dan Orient asi V-7

4. Analisa Sirkulasi Sit e V-9

5. Analisa Kebisingan V-10

B. Analisa Mikro V-12

1.Analisa Peruangan V-12

a. Kebut uhan Ruang V-12

1) Kegiat an Penerimaan V-12

2) Kegiat an Inf ormasi Perpust akaan V-13

3) Kegiat an Penunj ang V-14

4) Kegiat an Pengelolaan V-15

5) Kegiat an Servis V-15

b. Luas Ruang V-16

(4)

viii 2) Luas Ruang Kegiat an Inf ormasi Perpust akaan V-16 3) Luas Ruang Kegiat an Pengelolaan V-20 4) Luas Ruang Kegiat an Penunj ang V-22 5) Luas Ruang Kegiat an Servis V-22

c. Tat a Ruang V-24

1) Penzoningan Ruang V-24

2) Pendekat an Sirkulasi Bangunan V-26 2.Analisa Bent uk dan Tampilan Bangunan V-28

a. Bent uk dasar massa V-28

b. Gubahan Massa V-29

c. Fasad bangunan V-30

d. Pendekat an Sist em St rukt ur V-31

3.Ut ilit as V-35

a. Sist em Jaringan Air Bersih V-35

b. Sist em Jaringan Sanit asi dan Drainase V-36 c. Sist em Jaringan Jaringan List rik V-37

d. Sist em Penghawaan Ruang V-38

e. Sist em Penerangan Ruang V-39

f . Sist em Keamanan V-39

BAB VI KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN VI-1

A. Konsep Perencanaan VI-1

B. Konsep perancangan VI-1

1. Konsep Sit e VI-1

2. Konsep Peruangan VI-2

3. Konsep Tampilan Bangunan VI-6

4. Konsep Ut ilit as Bangunan VI-7

DAFTAR PUSTAKA xi

(5)

ix

BAB I PENDAHULUAN

A. PEMAHAMAN JUDUL

Perpustakaan tuna netra ialah suatu perpustakaan yang secara khusus menyediakan koleksi bahan-bahan pustaka dalam format khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan kaum tuna netra.

Dari segi ukuran, biasanya pepustakaan tuna netra dapat berukuran cukup besar, namun lingkup pelayananya tidak terlalu luas. Namun demikian sebaiknya perpustakaan ini menempati bangunan tersendiri.

Perpustakaan tunanetra tidak hanya menyediakan buku-buku braile, buku dalam cetakan besar, rekaman audio, dll, namun juga ikut memproduksi bahan-bahan tersebut sehingga dapat sebagai pusat informasi bagi organisasi Tuna netra, khususnya di jawa tengah. Selain itu juga berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan akan edukasi dan rekreasi bagi kaum Tuna Netra.

Seperti disebutkan diatas, kekhususan dari perpustakaan ini adalah fasiitasnya yang tersedia khusus didesain dan disediakan untuk kaum tuna netra. Namun demikian Perpustakaan ini tidak menutup kesempatan bagi khalayak umum untuk datang dan menggunakan fasilitas perpustakaan seluas luasnya.

B. LATAR BELAKANG

Manusia dikaruniai sedikitnya 5 macam indera untuk dapat menyerap berbagai informasi yang ada di dunia. Indera penglihatan, indera penciuman, indera pendengar, dan indera peraba.

(6)

x berkurang dibandingkan mereka yang berpenglihatan normal. Tak jarang akibat keterbatasan itu dapat mengakibatkan timbulnya berbagai kendala secara psikologis, misalnya perasaan yang lebih sensitive, perasaan inferior (rendah diri), depresi, atau perasaan hilangnya makna hidup.

Mereka yang memiliki keterbatasan visual seringkali mengalami kesulitan dalam memperoleh informasi dibandingkan mereka yang normal. Padahal tak dapat dipungkiri dalam era globalisasi seperti saat ini, dimana arus informasi yang mengalir deras sangat mungkin menyebabkan mereka tertinggal. Karenanya perlu segera diupayakan fasilitas khusus bagi mereka yang ingin belajar dan memperoleh ilmu maupun informasi walaupun dalam keterbatasan yang dimiliki.

Para penvandang tuna netra sendiri sebenarnya rnenghendaki agar pemerintah membuka kesempatan belajar kepada seluruh masyarakat tanpa membedakan kemampuan fisik dan nonfisik. Hal itu mereka ungkapkan dalam aksi damai di depan gerbang Gedung MPR/ DPR, (Kompas Scnin 5 Mei 2003) Selain itu mereka juga meminta masyarakat agar tidak memandang rendah kaum yang memiliki perbedaan fisik dan nonfisik.

Hal ini menunjukkan adanva semangat yang tinggi untuk tetap belajar dan tidak ketinggalan informasi walaupun memiliki keterbatasan fisik. Namun kurangnya fasilitas yang informative dan sikap masyarakat yang kadang kala memandang rendah menjadi penghalang bagi mereka.

(7)

xi berhak memperoleh Pendidikan Luar Biasa (PLB). Sedangkan pada Bab VI pasal 24 ayat 7 disebutkan bagi penyandang cacat berhak memperoleh pelayanan khusus. Disini dapat diartikan mereka juga berhak memperoleh fasilitas pendidikan yang layak seperti sekolah maupun layanan perpustakaan yang berfungsi juga sebagai sarana memperoleh pendidikan formal dan nonformal.

Mengutip Direktur Pendidikan Luar Biasa, Mudjito (1998), Selama ini anak-anak cacat cenderung mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses pendidikan dan pelatihan, sehingga akses memperoleh pekerjaan juga tidak mudah. Selanjutnva hal itu berimplikasi pada penghasilan dan berantai pada gizi dan kesehatan generasi penerusnya, dapat disimpulkan perlunya akses khusus yang dapat berfungsi sebagai pendidikan informative bagi mereka yang cacat.

Sarana pendidikan informative ini dapat diperoleh melalui fasilitas perpustakaan dimana dapat diperoleh sumber bacaan seperti buku, majalah,koran maupun sumber informasi lain seperti fasilitas multi media berupa internet, audio (kaset, cd,mp3) maupun video (vcd,dvd,dan kaset video).

Di sini, perpustakaan memiliki peran penting dalam upaya peningkatan sumber daya manusia. Perpustakaan merupakan salah situ sarana pelestari pustaka sebagai hasil budaya yang mempunyai fungsi sebagai sumber informasi ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan menunjang pembangunan nasional (Keppres no 11 tahun 1983 )

(8)

xii sehingga memberikan kenyamanan maupun kesan psikologis yang mendukung.

Direktur Pendidikan Luar Biasa, Mudjito menilai pemerintah lebih menekankan pendidikan hanya pada masalah pertumbuhan dan kompetisi. Asas keadilan dan kemanusiaan yang menyinggung pada anak-anak yang memiliki keterbatasan, dinilainya masih jauh dari cukup.

Di sini dapat disimpulkan bahwa keberadaan suatu perpustakaan yang dapat memfasilitasi kebutuhan penyandang tuna netra maupun cacat untuk memperoleh sumber pengetahuan informative dengan kondisi yang mendukung secara psikologis merupakan salah satu sarana utama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan mencapai tujuan pembangunan nasional untuk membangun masyarakat Indonesia dan seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

C. PERMASALAHAN DAN PERSOALAN

1. Permasalahan

Berdasarkan bahasan di depan, permasalahan yang muncul adalah merencanakan dan merancang Perpustakaan Tunanetra di Surakarta yang dapat memberikan kemudahan bagi para kaum tuna netra untuk memperoleh sumber informasi, baik melalui buku maupun sumber informasi lain (audio dan multi media, teknologi informasi/internet, dll) sehingga dapat membantu peningkatan kualitas sumber daya manusia secara menyeluruh.

2. Persoalan

Dari permasalahan di atas, persoalan yang muncul adalah bagaimana menentukan

(9)

xiii d. Material dan utilitas

Yang sesuai dengan karakteristik karakteristik tunanetra

D. TUJUAN DAN SASARAN

Tujuan pembahasan ini adalah merencanakan dan merancang fasilitas publik berupa perpustakaan tunanetra di Surakarta dengan menggunakan pendekatan perilaku tunanetra.

Sedangkan sasaran yang ingin didapat adalah konsep perencanaan dan perancangan Perpustakaan Tunanetra yang meliputi konsep perilaku pelaku dan kegiatan, kebutuhan dan luas ruang, lokasi dan site, tata ruang, gubahan masa bangunan, fasad bangunan, tata lansekap, struktur dan utilitas.

E. LINGKUP PEMBAHASAN DAN BATASAN

Lingkup pembahasan berada di seputar disiplin ilmu arsitektur yang berkaitan dengan perpustakaan umum dan arsitektur perilaku. Studi keilmuan lain merupakan pendukung konsep Perpustakaan Tunanetra Surakarta. Sedangkan pembahasan dibatasi hanya pada kajian seputar perpustakaan umum dan arsitektur perilaku dan penerapannya pada bangunan perpustakaan Tunanetra Kota Surakarta.

F. STRATEGI DAN METODOLOGI RANCANG BANGUN

Di dalam strategi dan metodologi rancang bangun, pembahasan dilakukan dalam beberapa tahapan. Masing-masing tahapan terdiri atas metode yang hampir sama, yakni analisa dan sintesa. Menganalisa permasalahan yang ada kemudian menyimpulkannya sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai titik tolak penyusunan konsep perencanaan dan perancangan.

Berikut ini adalah tahapan-tahapan yang dilakukan:

1. Tahap I (PENGUNGKAPAN MAIN IDEA)

Main idea merupakan gagasan awal yang didapat dari suatu topik atau fenomena yang ingin disampaikan. Pengungkapan main idea

(10)

xiv a. Penjabaran Main idea

Pada tahap ini, main idea yang di peroleh dari suatu topik disusun menjadi beberapa pustaka (kutub-kutub). Kutub-kutub yang telah ditentukan tersebut kemudian dijadikan sebagai materi eksplorasi, yang meliputi teori dan data terkait.

Dalam hal ini kutub-kutub yang menjadi materi eksplorasi adalah mengenai Tunanetra, Perpustakaan, dan kota Surakarta.

b. Eksplorasi Main Idea

Eksplorasi dilakukan dengan menguraikan kutub-kutub yang telah ditentukan pada tahap penjabaran main idea. Masing-masing kutub dijabarkan dan diinteraksikan antara satu sama lain untuk mencari hubungan antar kutub yang meliputi permasalahan yang menjadi esensi pemicu yang nantinya dapat dijadikan sebagai strategi rancang bangun. Esensi-esensi pemicu menjadi penyelaras antara persepsi yang ada dengan kondisi yang terjadi di lapangan. Proses eksplorasi ini juga menjadi dasar pemahaman-pemahaman yang diperlukan dalam proses selanjutnya, seperti pada penentuan judul dan proses pendekatan konsep rancang bangun, dsb.

c. Pengumpulan Data pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, yakni:

§ Obervasi lapangan, merupakan kegiatan pengamatan langsung

terhadap Perilaku Tunanetara untuk mengetahui kebutuhan dan karakteristik seorang penyandang tunanetra.

§ Mencari data-data terkait dengan kondisi tunanetra di Surakarta,

dan preseden – preseden bangunan atau fasilitas untuk mewadahi kegiatan tunanetra yang telah ada di Surakarta.

§ Mencari data spesifik dan referensi pustaka untuk mendapatkan

masukan dalam bentuk landasan teori maupun preseden baik dari internet, media cetak/ elektronik, maupun buku acuan.

2. Tahap II (PERUMUSAN JUDUL DAN PENYUSUNAN

KONSEP)

(11)

xv Studi pustaka dan eksplorasi lanjut merupakan proses yang terus dilakukan hingga proses akhir untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang mengalami perkembangan. Studi pustaka dan proses eksplorasi dibutuhkan untuk menyelaraskan persepsi yang ditangkap dengan permasalahan yang berkembang.

b. Pengumpulan Data Tambahan

Perkembangan permasalahan diikuti dengan diperlukannya data-data tambahan untuk mengeliminasi asumsi dengan data-data yang relevan.

c. Reduksi dan Analisa Data

Selama proses pematangan dan penyusunan konsep berlangsung pemenggalan dan penyederhanaan sebagian data atau informasi akan sangat membantu terutama agar proses analisa lebih efisien. Beberapa aspek yang digunakan sebagai dasar dan proses analisa, yakni:

1) Kualitatif, dengan menentukan kriteria karakteristik yang sesuai dengan tuntutan yang memperhatikan hasil evaluasi yang telah dilakukan pada lingkungan objek observasi. Analisis ini digunakan pada:

§ Penentuan tapak berdasarkan potensi dan masterplan.

§ Penentuan ungkapan fisik desain bangunan yang sesuai dengan karakteristik Tunanetra.

2) Kuantitatif, yang merupakan asumsi proyeksi untuk menghasilkan variabel-variabel pasti dari objek. Analisis ini digunakan pada:

§ Penentuan program kegiatan berdasarkan kelompok kegiatan dan kebutuhan ruang

§ Penentuan besaran ruang dan organisasi ruang yang relevan dengan konfigurasi kegiatan.

3. Tahap III (STRATEGI DESAIN)

(12)

xvi diinventarisir dari konsep, diberikan beberapa alternatif desain dengan menggunakan pembobotan. Pembobotan dibuat berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan yang dijadikan acuan dalam menilai alternatif-alternatif yang ada. Alternatif desain dengan nilai pembobotan yang paling mendekati kriteria merupakan produk awal desain (preliminary product).

4. Tahap IV (PRELIMINARY AND FINAL PRODUCT)

Tahap ini merupakan presentasi akhir dari perencanaan dan perancangan perpustakaan tunanetra di Surakarta. Preliminary product

yang didapat dari design approach disatukan sehingga didapat final product. Final product yang disajikan meliputi design approach dan gambar main design maupun complementary design.

G. SISTMATIKA PENULISAN

BAB I. PENDAHULUAN

Mengemukakan abstraksi mengenai uraian singkat permasalahan yang dihadapi, tindakan yang perlu dilakukan dan hal-hal yang ingin dicapai berdasarkan pembahasan secara keseluruhan. Kemudian garis besar uraian ini diterjemahkan ke dalam judul, pemahaman judul, latar belakang masalah, permasalahan, tujuan dan sasaran, kerangka teoritikal pustaka, strategi dan metodologi rancang bangun, dan pelaporan.

BAB II. TINJAUAN TEORI

(13)

xvii yang diwadahi, tipologi bangunan), tinjauan tunanetra (pemahaman, perilaku, penggolongan, dan karakteristik tunanetra).

BAB III. TINJAUAN KOTA SURAKARTA

Menguraikan data mengenai Kota Surakarta, kondisi tunanetradi Surakarta, terutama data-data tentang fasilitas bagi tunanetra dan perpustakaan di Surakarta.

BAB IV. PERPUSTAKAAN TUNANETRA YANG DIRENCANAKAN

Mengemukakan gambaran perpustakaan tunanetra yang akan dibuat.

BAB V. ANALISA PENDEKATAN KONSEP

Menguraikan dasar pertimbangan umum, cakupan analisa (makro dan mikro), proses analisa (makro dan mikro), manifestasi pendekatan perilaku dan karakteristik tunanetra pada desain bangunan, serta sistem support bangunan.

BAB VI. KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

(14)

xviii

BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian Tunanetra

1. Pemahaman Tuna Netra Indera penglihatan adalah salah satu sumber informasi vital bagi manusia. Tidak berlebihan apabila dikemukakan bahwa sebagian besar informasi yang diperoleh oleh manusia berasal dari indera penglihatan, sedangkan selebihnya berasal dari panca indera yang lain. Dengan demikian, dapat difahami bila seseorang mengalami gangguan pada indera penglihatan, maka kemampuan aktifitasnya akan jadi sangat terbatas, karena informasi yang diperoleh akan jauh berkurang dibandingkan mereka yang berpenglihatan normal.

secara umum tunanetra berarti rusak penglihatan. Tunanetra berarti buta,tetapi buta belum tentu sama sekali gelap atau sama sekali tidak dapat melihat. Ada anak buta yang sama sekali tidak ada penglihatan,anak semacam ini biasanya disebut buta total. Disamping buta total,masih ada juga anak yang mempunyai sisa penglihatan tetapi tidak dapat dipergunakan untuk membaca dan menulis huruf biasa. Istilah buta ini mencakup pengertian yang sama dengan istilah tunanetra atau istilah asingnya blind. Untuk memberikan pengertian yang tepat tentang buta itu, perlu dirumuskan pengertian sebagai berikut: Menurut Slamet Riadi adalah “Seseorang dikatakan buta jika ia tidak dapat mempergunakan penglihatannya untuk pendidikan “(Slamet Riadi , 1984, hal. 23). Menurut Pertuni tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisah penglihatan, tetapi tidak mampu menggunakan penglihatanya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meski pun dibantu dengan kacamata (kurang awas).

(15)

xix a. Seseorang dikatakan buta total maupun sebagian (low vision) dari kedua matanya sehingga tidak memungkinkan lagi baginya untuk membaca sekalipun dibantu dengan kacamata.

b. Seseorang dikatakan buta untuk pendidikan bila mempunyai ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang pada bagian mata yang terbaik setelah mendapat perbaikan yang diperlukan atau mempunyai ketajaman penglihatan lebih dari 20/200 tetapi mempunyai keterbatasan dalam lantang pandangnya sehingga luas daerah penglihatanya membentuk sudut tiak lebih dari 20o.

Menurut Alana M. Zimbone, Ph. D. dalam bukunya yang berjudul Teaching Children With Visual and Additional Disabilities (Alana, 1992:59) seseorang dikatakan buta total bila tidak mempunyai bola mata, tidak data membedakan terang dan gelap, tidak dapat memproses apa yang dilihat pada otaknya yang masih berfungsi.

Menurut DeMott (1982:272)dalam bukunya yang berjudul Exceptional Children and Youth istilah buta (Blind) diberikan pada orang yang sama sekali tidak memiliki penglihatan atau yang hanya memiliki persepsi cahaya. Siswa yang buta akan diajarkan Braille. Pengertian penglihatan sebagian (Partialy Sighted) adalah mereka yang memiliki tingkat ketajaman sentral antara 20/70 dan 20/200. Siswa yang digolongkan dalam klasifikasi ini membutuhkan bantuan khusus atau modifikasi materi, atau membutuhkan kedua-duanya dalam pendidikan di sekolah.

2. Penggolongan Tuna Netra Ada beberapa klasifikasi Tuna Netra menurut Dra. Anastasia Widjajantin dan Drs Imanuel Hitipeuw (1995).

a. Berdasarkan tingkat ketajaman Penglihatan (Snellen Tes)

· 6/6 m – 6/16 m atau 20/70 feet – 20/200 feet

Tuna netra ringan, masih dapat dikatakan normal. Mampu mempergunakan fasilitas pendidikan umum. Masih dapat melihat benda kecil seperti mengamati uang logam atau korek api.

(16)

xx sering disebut Tuna Netra kurang lihat atau low vision atau disebut juga partial sighted atau tuna netra ringan. Masih mampu melihat dengan bantuan kacamata.

· 6/60 m lebih atau 20/200 lebih

pada tingkat ini tergolong tuna netra berat. Taraf ini masih mempunyai tingkatan yaitu : Masih dapat menghitung jari pada jarak 6 m, masih dapat melihat gerakan tangan, hanya membedakan terang dan gelap.

· 6/60 m lebih atau 20/200 lebih

Sudah tidak mampu melihat rangsangan cahaya dan tidak mampu melihat apapun (buta total).

b. Berdasarkan saat terjadinya kebutaan

· Tuna netra sebelum dan sejak lahir

Sejak dalam kandungan atau sebelum satu tahun sudah mengalami kebutaan. Tidak memiliki konsep penglihatan. Perlu adanya bantuan dari orang dan lingkungan sekitar untuk melatih indera yang masih dimiliki.

· Tunanetra batita

mengalami tunanetra pada usia dibawah 3 tahun. Konsep penglihatan yang ada akan cepat hilang. Kesan visual (konsep benda dan lingkungan) tidak bermanfaat bagi kehidupan selanjutnya.

· Tunanetra balita

Mengalami tunanetra pada usia dibawah 5 tahun. Pada usia ini konsep penglihatan yang telah terbentuk cukup berarti bagi kehidupan selanjutnya. Kesan yang pernah terbentuk tidak hilang dan harus tetap dikembangkan.

· Tunanetra pada usia sekolah

(17)

xxi merupakan usia dimana anak bermain dan bersekolah.

· Tunanetra remaja

Tunanetra yang terjadi saat usia 13-19 tahun. Kesan visual yang dimiliki sangat dalam.Akan mengalami goncangan jiwa yang berat sebab terjadi konflik batin dan jasmani. Merasakan frustasi karena secara jasmani tak dapat lagi melihat padahal kebutuhannya masih sama saat masih dapat melihat. Membutuhkan bimbingan agar dapat berkemnbang secara utuh Sehingga dapat melakukan interaksi sosial dengan lingkungannya.

· Tunanetra dewasa

Mengalami tunanetra pada usia 19 tahun ke atas. Telah memiliki ketrampilan yang mapan dan kemungkinan pekerjaan yang diharapkan. Kebutaan merupakan pukulan yang cukup berat. tetapi sedikit yang mengkaibatkan goncangan jiwa, frustasi dan putus asa.

c. Berdasarkan kelemahan visual

· Kelemahan visual ringan

Ketajaman penglihatan < 20/25 dan luas lantang pandang < 120°. Masih dapat melakukan tugas sehari-hari. Luas lantang pandang berkurang tidak berpengaruh terhadap kegiatan sehari-hari.

· Kelemahan visual sedang

Ketajaman Penglihatan > 20/60 dan luas lantang penglihatan 600.Memerlukan kacamata untuk melakukan tugas sehari-hari. · Kelemahan visual parah

Ketajaman penglihatan > 20/60 dan luas lantang penglihatan 20°. Penglihatan kacamata tidak berfungsi karena ketajaman visual dan lantang pandang sudah sangat turun.

· Kelemahan visual sangat parah

Ketajaman penglihatan sangat rendah, hanya bisa membaca dan menghitung jari pada jarak 5m dengan lantang pandang 10o

· Kelemahan visual yang mendekati buta total

(18)

xxii dan menghitung jari pada jarak 1 m dengan lantang pandang 5o · Kelemahan visual total

Tidak dapat menerima rangsangan cahaya. Dapat dikatakan buta.

Dari berbagai penggolongan tunanctra tersebut, dapat disimpulkan ada 3 bagian besar penyandang cacat visual, yakni: a. Tunanetra total

b. Tunanetra kurang lihat (low vision)

c. Tunanetra plus (Tunanetra dengan cacat tambahan)

3. Perilaku Penyandang Tunanetra Penyandang tunanetra memiliki beberapa tingkat keterbatasan penglihatan yang berbeda-beda. Dari hasil studi literature menurut buku Ortopedagogik Tunanetra dan melalui internet dengan studi banding The National Library Service for the Blind and Physically Handicapped (AILS), Andrew Heiskell Braille and Talking Book Library, serta wawancara dengan pakar tuna netra didapat karakteristik tunanetra yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat cacat visual yang dideritanya. Berikut ini perilaku/ karakteristik tunanetra menurut tingkat cacat visualnya.

a. Karakteristik Tunanetra Total

· Rasa curiga terhadap orang lain

Keterbatasan akan rangsang visual menyebabkan tunanetra kurang mampu berorientasi terhadap lingkungannya.Mereka sering mengalami sakit hati, kecewa, dan rasa tidak senang akibat peristiwa seperti tabrakan dengan orang lain, terperosok lubang, dsb. Akibatnya mereka selalu berhati-hati dalam tindakan dan menaruh curiga terhadap orang lain.

· Mudah tersinggung

(19)

xxiii · Blindism

Blindism adalah gerakan yang dilakukan tunanetra tanpa mereka sadari. Tindakan ini tidak sedap dipandang mata, seperti selalu menggeleng-gelengkan kepala atau badan tanpa sebab, dll. Gerakan ini tak terkontrol oleh mereka sehingga sehingga orang lain akan pusing bila selalu melihat gerakan-gerakan tersebut.

· Rasa rendah diri.

Perasaan yang muncul saat berinteraksi dengan orang awas (berdasarkan hasil wawancara):

Merasa rendah diri, terisolir atau tersisih. Mereka sudah mencoba berbicara dengan orang awas, tetapi orang awas sulit diajak bicara. Merasa terisolir, jarang orang awas mau berbicara dengan tunanetra, jarang mau menyapa lebih dahulu.

Merasa maki, mencoba beradaptasi dengan kegiatan lingkungan, tetapi masyarakat tidak dapat menerimanya. Merasa sering diejek. mendapat belas kasihan.

· Tangan ke depan, badan rnembungkuk

Bermaksud untuk melindungi tuhuh dari sentuhan benda atau terantuk benda tajarn Sutra melamun

Karena tidak dapat mengamati Iingkungan, mereka cenderung melamun.

· Fantasi yang kuat untuk mengingat suatu objek

Lamunan akan menimbulkan fantasi pada suatu objek yang pernah diperhatikan dengan rabaannya.Tidak jarang dapat menghasilkan lagu atau puisi yang indah.

· Kritis

Keterbatasan dalam penglihatannya dan kekuatan berfantasi mengakibatkan tunanetra sering bertanya-tanya tentang hal yang belum dimengerti agar mereka tidak salah konsep.

· Pemberani

(20)

xxiv lingkungannya.

· Perhatian terpusat (terkonsentrasi)

Karena tingkat kebutaan yang tinggi, maka penderita tidak mampu membaca material cetakan standard. penderita hanya dapat membaca buku Braille atau menunakan buku elektronik. perlenakapan audio Berta Kurtzveil personal reader, suatu piranti yang mengubah tulisan menjadi format audio.

· Akibat dari kebutaannya, penderita pada umumnya memiliki kepekaan yang sangat tinggi pada pendengarannya dan seringkali dijumpai mereka yang memiliki ingatan luar biasa kuat untuk mengenali dan menghafal orang, benda, lingkungan yang pernah dijumpainya. Hal ini karena indcra mereka yang lain menjadi lebih terlatih

· Karenaa dapat dikatakan tidak mcmiliki indera penglihatan. kaum ini biasanya kurang meniperhatikan penampilan

· Penderita dalam usia anak-anak, terutama yang belum mampu mandiri masih menggantungkan diri pada bantuan orang lain pada umumnya bersifat lebih sensitiv, menutup diri, dan menginginkan ruang-an personal yang pribadi.

· Penderita yang sudah lebih dewasa dan telah mampu mandiri pada umumnya masih cukup sensitive dengan orang lain. Namun bersikap lebih ekstrovert terbuka. mudah berinteraksi, ramah, dan menyukai ruang luar daripada ruang dalam yang tertutup

b. Karakteristik Tunanetra kurang lihat (partially sighted)

· Selalu mencoba mengadakan fixation atau melihat suatu benda dengan memfokuskan pada titik-titik benda.

· Menanggapi rangsang cahaya yang datang padanya, terutama benda yang kena sinar, disebut visually function

· Bergerak dengan penuh percaya diri

(21)

xxv · Dapat menghindari rintangan yang besar dengan sisa penglihatannya

(selokan, bate besar, tumpukan kayu, penghalang jalan, d1l)

· Memiringkan kepala untuk mencoba menyesuaikan cahaya yang ada dengan daya lihatnva.

· Mampu meneikuti gerak benda · Tertarik pada benda bergerak

· Berjalan sering mcrnbentur atau menginJak benda kecil

· Berjalan dengan menggeser kaki untuk mendeteksi kemungkinan ada benda kecil yang terinjak.

· Salah langkah karena salah mendeteksi linakungan. Mis: dinding kaca di Mal dikira jalan keluar schingga salah arti.

· Kesulitan mengenali benda jika warnanya tidak kontras.

· sulit melakukan gerakan yang halos atau lernhut, karena gerakan semacam itu tak tertanokap oleh matanya

· Melihat benda secara global (tidak mendetail)

· Koordinasi antara mata dan anggota badan lemah. (misal : memasukkan bola dalam gawang, mengiris sesuatu)

· Kondisi penglihatannya mungkin samar-samar atau ketajamannya sering naikturun

· Petunjuk penting yang berguna bagi low vision akin nampak membingungkan bagi yang melihat atau orang awas

· Sering tidak mampu mengontrol cahaya yang dibutuhkan untuk menggunakan penglihatannya dalam berbagai lingkungan.

· Mereka belajar menggunakan sisa penglihatnnya secara maksimum · Dapat melihat dengan bantuan alat khusus seperti : kacamata dan

lensa kontak, teleskop kecil yang dipegang, kaca pernbesar. prisma dari lens fish eye, fixedfocus stand readers, dan closed circuit TV system.

Dari perilaku / karakteristik tunanetra tersebut diatas dapat disimpulkan kebutuhan mereka secara arsitektural sehingga dapat diperoleh respon arsitektural yang Sesuai.

(22)

xxvi Indera penglihatan adalah salah satu sumber informasi vital bagi manusia. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar informasi yang diperoleh oleh manusia berasal dari indera penglihatannya, sedangkan selebihnya berasal dari panca indera yang lain. Dengan demikian, dapat dipahami jika seseorang mengalami gangguan atau cacat pada indera penglihatannya , maka kemampuan aktifitasnya akan menjadi sangat terbatas, karma informasi yang mereka peroleh akan jauh berkurang dibandingkan mereka yang berpenglihatan normal. Sehingga untuk mengenal ruang mereka hanya mengandalkan keempat indera mereka yang tersisa.

Dalam Perencanaan wadah bagi tuna netra, ada 3 konsep utama, yaitu

► Kenyamanan

Menurut para ahli, ternyata konsep kenyamanan antara penyandang tunanetra dengan orang normal adalah sama. Malah penyandang tunanetra diuntungkan karena tidak mengenal konsep cahaya, warna, dan perspektif.

Oleh karena itu diasumsikan – dalam membaca pun konsep kenyamanan tidak jauh berbeda.

Di sini, faktor pembentuk kenyamanan adalah: Penghawaan, yang tebagi menjadi penghawaan alami (penggunaan ventilasi) dan penghawaan buatan (penggunaan AC sebagai pengatur temperatur dan kelembaban dalam ruangan) serta akustik (penggunaan bahan-bahan akustik di dalam dan di luar ruangan, untuk meminimalisasi sumber-sumber bunyi internal dan eksternal), karena setelah kehilangan sensor visual, maka indera pendengaran dimaksimalkan penggunaanya untuk berkonsentrasi. Okeh karena itu, kepekaan pendengaranya mutlak harus dijaga.

► Kesederhanaan

(23)

xxvii satu tempat ke tempat lain dalam suatu lokasi, tanpa bantuan orang lain (dinamis dan independent).

karena pergerakan dinamis dan mengandung unsure swadaya, maka indera pengganti indera penglihatan dalam dirinya harus dimaksimalkan, yaitu alat pendengaran dan alat peraba (dalam hal ini penggunaan tongkat sebagai detector, yang digunakan dengan cara mengetuk – ngetuk tongkat tersebut ke kiri dan ke kanan untuk memastikan keamanan jalan di depanya sebelum melangkah).

Untuk menterjemahkan kata ‘kesederhanaan’ dapat dilakukan dengan mengatur tata letak (lay out) secara linear/segaris atau pelletakan material-material yang berfungsi sebagai pembentuk sirkulasi.

Berdasarkan pengamatan, para penyandang tunanetra cenderung lebih berani dan luwes jika bergerak maju ke depan, dibandingkan jika berbelok ke kiri atau ke kanan. Malah mereka merasa jauh lebih sulit jika berjalan dengan arah memutar/melingkar.

Secara umum, harapan mereka dalam berjalan (terutama ke arah depan). adalah agar diletakkan benda-benda yang bisa disinggung / disentuh dalam jarak tertentu dengan tongkat mereka yang berfungsi sebagai detector., agar dapat memudahkan mobilitas penyandang tunanetra dalm bergerak. Benda-benda tersebut menurut responden, dapat berwujud tiang (listrik), pot bunga, tong sampah dll.

► Keamanan

Kata ‘keamanan’ diartikan sebagai pergerakan yang bebas dan leluasa serta terhindari dari hal-hal yang membahayakan, misalnya : tersandung, terpeleset, tabrakan/ bersinggungan dengan objek yang tidak diinginkan.

(24)

xxviii (Ts. Soekini Pradopo, Diagnosa anak luar biasa, Penerbit Sinar Baru, Jakarta, 1998, h.47)

Sehingga untuk menjamin keselamatan mereka dalam bergerak di dalam ruangan perlu dilakukan beberapa hal yang menyangkut masalah teknis, antara lain: menghindari perencanaan peil(perbedaan tinggi lantai) yang terlalu sring dan berubah-ubah ataupun penggunaan railing atau bahan material lain, yang berfungsi selain sebagai penmgaman juga sebagai pembentuk sirkulasi , seperti yang banyak dipakai di pusat-pusat perbelanjaan di Amerika Serikat.

Warna kuning merupakan warna yang umum sebagai kode orientasi dan mobilitas bagi tunanetra partial (visual impairment people). Warna kuning ini biasanya dipakai pada tactile paving yang meunjukkan adanya persimpangan jalan atau jalur khusus tunanetra di tempat-tempat umum. Warna kuning dipilih sebagai warna Petunjuk tunanetra karena pada umumnya kontras dengan lingungan sekelilingnya sehingga mudah terlihat oleh tunanetra partial.

Warna abu-abu dalam panduan menentukan warna kontras adalah warna yang paling kontras dengan warna kuning. Maka agar warna bangunan terlihat kontras dan memudahkan bagi tunanetra partial dalam mengenali lingkungannnya, dipakailah kombinasi kedua warna ini.

Warna kuning terutama diapikasikan pada kolom-kolom, kusen pinto dan jendela, railing serta elemen bangunan yang memiliki potensi tak terlihat oleh tunanetra partial jika warnanya tidak kontras. Sedangkan warna abu-abu dipakai sebagai background Warna kuning, sehingga pada umumnya elemen bangunan yang berupa bidang berwarna abu-abu.

(25)

xxix

5. Persyaratan Teknis Aksesibilitas Penyandang Tunanetra

Berdasarkan Ketetapan Menteri Pekerjaan Umum Repulik Indonesia

nomor 468/KPTS/1998

Dengan ditetapkanya Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia nomor 468/KPTS/1998 tanggal 1 desember 1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada bangunan Umum dan Lingkungan, dengan sendirinya telah mengakomodasi pula aspek – aspek tuntutan desain yang aksesibel bagi tuna netra. Namun pengungkapan data ini lebih diarahkan untuk menjadi pedoman dalam mennentukan persyaratan – persyaratan umum dalam memenuhi tuntutan aksesibilitas dalam suatu bangunan, sedangkan dalam menciptakan desain tempat pelatihan tuna netr yang direncanakan lebih mengacu pada pengimplementasian karakteristik dan sensitivitas indera penyandang tuna netra dalam melakukan orientasi dan mobilitas.

Persyaratan – Persyaratan teknis tersebut meliputi :

a. Ukuran Dasar Ruang

(26)

xxx

b. Jalur Pedestrian ► Persyaratan

· Permukaan

Permukaan jalan harus stabil, kuat,tahan cahaya, bertekstur halus tapi tidak licin. Hindari sambungan atau gundukan pada permukaan, kalaupun terpaksa ada, tingginya tidak harus lebih dari 1,25 cm. Apabila menggunakan karpet, maka ujungnya harus kencang dan mempunyai trim yang permanen.

· Kemiringan

Kemiringan maksimum 7o dan pada setiap jarak 9 m disarankan terdapat pemberhentian untuk istirahat.

· Area Istirahat

Terutama digunakan uintuk pengguna jalan penyandang cacat.

· Pencahayaan

Berkisar antara 50-150 lux tergantung pada intensitas pemakaian, tingkat bahaya dan kebutuhan keamanan.

· Perawatan

Dibutuhkan untuk mengurangi terjadinya kecelakaan

(27)

xxxi

· Drainase

dibuat tegak lurus dengan arah jalur yang berkedalaman maksimal 1,5 cm, mudah dibersihkan dan perletakan lubang dijauhkan dari tepi ramp.

· Ukuran

Lebar minimum jalur pedestrian adalah 120 cm untuk jalur searah 160 cm untuk dua arah. Jalur pedestrian harus bebas dari pohon, tiang, rambu – rambu dan benda – benda pelengkap jalan yang menghalangi.

· Tepi Pengaman

Penting bagi pemberhentian roda kendaraan dan tongkat tuna netra ke arah yang berbahaya. Tepi pengaman dibuat setinggi minimum 10 cm dan lebar 15 cm sepanjang jalur pedestrian.

c. Jalur Pemandu

► Persyaratan

· Tekstur ubin bermotif garis – garis menunjukkan arah perjalanan.

· Tekstur ubin peringatan (bulat) memberi peringatan terhadap adanya perubahan situasi disekitarnya.

· Daerah – daerah yang harus menggunakan ubin tekstur pemandu ( guiding blocks), adalah :

→ Didepan jalur lalu lintas kendaraan

→ Didepan pintu masuk/keluar dari dan menuju tangga atau fasilitas persilangan dengan perbedaan ketinggian lantai.

→ Di pintu masuk/keluar pada terminal transportasi umum atau area penumpang

→ Pada pedestrian yang menghubungkan antara jalan dan bangunan

→ Pada pemandu arah dari fasilitas umum ke stasiun transportasi umum terdekat.

d. Area Parkir ► Persyaratan

(28)

xxxii

→ Tempat parkir penyandang cacat terletak pada route terdekat menuju bangunan/fasilitas yang dituju, dengan jarak maksimum 60 m.

→ Jika tempat parkir tidak berhubungan dengan bangunan, misalnya pada parkir taman an tempat terbuka lainya, maka tempat parkir harus diletakkan sedekat mungkin dengan gerbang masuk atau jalur pedestrian.

→ Area parkir harus cukup mempunyai ruang bebas disekitarnya sehingga pengguna parkir terutama penyandang cacat dapat dengan mudah masuk dan keluar dari kendaraanya.

→ Area parkir khusus penyandang cacat ditandai dengan simbol/tanda parkir penyandang cacat yang berlaku.

→ Ruang parkir mempunyai lebar 370 m untuk parkir tunggal atau 620 cm untuk parkir ganda dan sudah dihubungkan dengan ramp dan jalan menuju fasilitas – fasilits lainya.

· Daerah menaik turunkan penumpang

→ Kedalaman minimum dari daerah naik turun penumpang dari jalan atau jalur lalu lintas sibuk adalah 360 cm dan dengan panjang minimal 600 cm.

→ Dilengkapi dengan fasilitas Ramp, jalur pedestrian dan rambu penyandang cacat.

→ kemiringan maksimal 5o dengan permukaan yang rata di semua bagian.

→ Diberi rambu penyandang cacat yang biasa digunakan untuk mempermudah dan membedakan dengan fasilitas serupa bagi umum.

e. Pintu ► Persyaratan

(29)

xxxiii

· Pintu keluar/masuk utama memiliki lebar minimal 90 cm, dan pintu – pintu yang kurang penting memiliki lebar minimal 80 cm.

· Di daerah sekitar pintu masuk sedapat mungkin dihindari adanya ramp atau perbedaan ketinggian lantai.

· Jenis pintu yang tidak dianjurkan panggunaanya adalah : penumpang

→ Pintu geser

→ pintu yang berat dan sulit untuk dibuka/ditutup

→ Pintu yang terbuka ke kedua arah (dorong dan tarik)

→ Pintu dengan bentuk pegangan yang sulit dioperasikan terutama bagi tuna netra.

· Penggunaan pintu otomatis diutamakan yang peka terhadap bahaya kebakaran. Pintu tersebut tidak boleh membuka sepenuhnya dalam waktu lebih cepat dari 5 detik dan mudah untuk menutup kembali.

· Hindari bahan lantai yang licin di sekitar pintu.

· alat – alat penutup pintu otomatis perlu dipasang agar dapat menutup dengan sempurna, karena pintu yang terbuka sebagian dapat membahayakan penyandang cacat.

· Plat tendang yang diletakkan di bagian bawah pintu diperlukan bagi penyandang cacat

f. Ramp

► Persyaratan

· Kemiringan suatu Ramp di dalam bangunan tidak boleh melebihi 7o, Perhitungan kemiringan tersebut tidak termasuk awalan atau akhiran ramp (curb ramp/landing). Sedangkan kemiringan suatu ramp yang ada diluar bangunan maksimum 6o.

· Panjang mendatar suatu ramp (dengan kemiringan 7o) tidak boleh lebih dari 900 cm. Panjang ramp dengan kemiringan yang lebih rendah dapat lebih panjang.

(30)

xxxiv pelayanan angkutan barang harus dipertimbangkan secara seksama lebarnya, sedemikian sehingga dapat dipakai utuk kedua fungsi tersebut, atau dilakukan pemisahan rmp dengan fungsi sendiri – sendiri.

· Permukaan datar awalan atau akhiran suatu ramp harus memiliki tekstur sehingga tidak licin walaupun dihari hujan.

· Lebar tepi pengaman ramp (slow crub) 10 cm. Apabila batasan langsung dengan lalu lintas jalan umum atau persimpangan harus dibuat sedemikian rupa agar tidak menggangg7u jalan umum.

· Ramp harus dilengkapi dengan pegangan rambatan (handrail) yang dijamin kekuatanya dengan ketinggian yang sesuai.

g. Tangga

► Persyaratan

· Harus memiliki dimensi pijakan dan tanjakan seragam.

· Harus memiliki kemiringan tanjakan kurang dari 6o.

· Tidk terdapat tanjakan yang berlubang yang dapat membahayakan pengguna tangga.

· Harus dilengkapi dengan pegangan rambat (haildrail) minimum pada salah satu sisi tangga.

· Pegangan rambat harus mudah dipegang dengan ketinggian 65 – 80 cm dari lantai, bebas dari elemen konstruksi yang mengganggu, dan bagian unungnya harus bulat atau dibelokkan dengan baik ke arah lantai, dinding atau tiang.

· Pengangan rambat harus ditambah panjangnya pada bagian ujung – ujungnya (puncak dan bagian bawah) dengan 30 cm.

· Untuk tangga yang terletak diluar bangunan, harus dirancang sehingga tidak ada air hujan yang menggenag pada lantainya. h. Kamar Kecil

(31)

xxxv

· Toilet atau kamar kecil umum harus memiliki ruang gerak yang cukup untuk masuk dan keluar yang memudahkan gerak penyandang cacat.

· Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai dengan ketinggian pengguana cacat netra (45-50 cm) serta memudahkan untuk mengakses fasilitas ini.

· Toilet atau kamar kecil harus dilengkapi dengan pegangan rambat (haildrail) yang memiliki posisi dan ketinggian disesuaikan dengan perilaku cacat, sehingga memudahkanya untuk menggunakan fasilitas tersebut.

· Letak kertas, tissue, air, kran air,atau pencuran (shower) dan perlengkapan – perlengkapan seperti tempat sabun,dan pengering tangan harus dipasang sedemikian hingga mudah digunakan oleh orang lain yang memiliki keterbatasan fisik dan dijangkau oleh penyandang cacat.

· Kran pengungkit sebaiknya dipasang pada wastafel.

· Bahan dan penyelesaian harus tidak licin.

· Pintu harus mudah dibuka untuk memudahkan pengguna khususnya tuna netra untuk membuka dan menutup.

· Kunci – kunci atau grendel dipilih sedemikian sehingga bisa dibuka dari luar jika terjadi kondisi darurat.

· Pada tempat – tempat yang mudah dicapai seperti pada pintu masuk, dianjurkan untuk menyediakan tombol pencahayaan darurat (emergency light button) bila sewaktu –wktu terjadi padam listrik.

i. Pancuran

► Persyaratan

· Bilik pancuran (shower cubicles) harus memiliki tempat duduk yang lebar dan tinggi disesuaikan dengan cara – cara memindahkan badan pengguna kursi roda.

(32)

xxxvi

· Bilik pancuran dilengkapi dengan tombol alarm atau alat pemberi tanda lain yang bisa dijangkau pada waktu keadaan darurat.

· Kunci bilik pancuran dirancang dengan menggunakan tipe yang bisa dibuka dari luar pada kondisui darurat.

· Pintu bilik pancuran sebaiknya menggunakan pintu geser atau tipe bukaan keluar.

· Pegangan rambat dan setiap permukaan atau dinding yang berdekatan denganya harus bebas dari elemen – elemen yang runcing atau membahayakan.

j. Wastafel ► Persyaratan

· Wastafel harus dipasang sedemikian sehingga tinggi permukaanya dan lebar depanya dapat dimanfaatkan oleh pengguna kursi roda dengan baik.

· Ruang gerak bebas cukup harus disediakan didepan wastafel.

· Wastafel harus memiliki ruang gerak dibawahnya sehingga tidajk menghalangi lutut dan kaki pengguna kursi roda.

· Pemasangan ketinggian cermin dipertimbangkan terhadap penguna kursi roda.

k. Telepon

· Telepon umum disarankan menggunakan tombol tekan, harus terletak pada lantai yang aksesibel bagi semua orang termasuk penyandang cacat, orang tua, ibu – ibu hamil.

· Ketinggian telepon dipertimbangkan terhadap keterjangkauan gagang telepon (120-125 cm).

· Bagi pengguna yang memiliki pendengara kurang, perlu disediakan alat kontrol volume suara yang terlihat dan mudah dijangkau.

(33)

xxxvii

· Panjang kabel gagang telepon harus memungkinkan pengguna kursi roda untuk menggunakan telepon dengan posisi yang nyaman.

· Bilik telepon dapat dilengkapi dengan kursi yang disesuaikan dengan gerak pengguna.

l. Perlengkapan dan peralatan kontrol ► Persyaratan

· Sistem alarm/peringatan

→ Harus tersedia peralatan peringatan yang terdiri dari sistem peringatan suara (vocal alarm), sistem peringatan bergetar (vibrating alarm) dan berbagai petunjuk serta penandaan untuk melarikan diri pada situasi darurat.

→ Stop kontak harus dipasang dekat tempat tidur untuk mempermudah sistem pengoperasian alarm, termasuk peralatan bergetar (vibrating deveces) di bawah bantal.

→ Semua pengontrol peralatan listrik harus dapat dioperasikan dengan satu tangan dan tidak memerluikan pegangan yang sangat kencang atau sampai memutar lengan.

· Tombol Stop Kontak

Tombol dan stop kontak dipasang pada tempat posisi dan tingginya sesuai dan mudah dijangkau oleh penyandang cacat.

m. Perabot ► Persyaratan

· Sebagian perabot yang tersedia di dalam bangunan umum harus dapat digunakan oleh penyandang cacat, termasuk dalam keadaan darurat.

(34)

xxxviii

Tabel 2.1 Kapasitas Tempat Duduk yang Aksesibel

Kapasitas total tempat duduk Jumlah tempat duduk yang

aksesibel

4 - 25 1

26 - 50 2

51 - 300 4

301 - 500 6

>500 6+1 untuk setiap ratusan

n. Rambu

► Persyaratan

· Penggunaan rambu terutama dibutuhkan pada :

→ Arah dan tujuan jalur pedestrian

→ KM/WC umum, telepon umum.

→ parkir khusus penyandang cacat

→ nama fasilitas dan tempat

· Persyaratan rambu yang digunakan :

→ Rambu huruf timbul atau huruf braile yang dapat dibaca oleh tuna netra dan penyandang cacat lain.

→ Rambu yang berupa gambar atau simbol yang mudah dan cepat ditafsirkan artinya.

→ Rambu yang berupa tanda dan simbol internasional.

→ Rambu yang menerapkan metode khusus (misalnya; pembedaan perkerasan tanah, warna, kontras, dll)

→ Karakter dan latar belakang rambu harus dibuat dari bahan yang tidak silau. Karakter dan simbol harus kontras dengan latar belakangnya, apakah karakter diatas gelap atau sebaliknya.

(35)

xxxix

→ Tinggi karakter huruf dan angka pada rambu harus diukur sesuai dengan jarak pandang dari tempat rambu itu dibaca.

· Lokasi penempatan rambu :

→ Penempatan yang sesuai tepat serta bebas pandang tanpa penghalang.

→ satu kesatuan sistem dengan lingkungnya.

→ Cukup mendapat pencahayaan, termasuk penambahan lampu pada kondisi gelap.

→ Tidak mengganggu arus (pejalan kaki, dll) dan sirkulasi (buka/tutup pintu,dl).

B. Kajian Perpustakaan

1. Pemahaman Definisi perpustakaan yang muncul dari konsep keterkaitan perpustakaan dengan buku mengatakan bahwa perpustakaan adalah sebuah ruangan, bagian atau sub bagian dari sebuah gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku, biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu serta digunakan untuk anggota perpustakaan. Definisi lain mengacu pada kumpulan buku / akomodasi fisik tempat buku dikumpul susunkan untuk keperluan bacaan, studi, kenyamanan, maupun kesenangan. Jadi dalam rancangan tempat ini, konsep perpustakaan mengacu pada bentuk fisik penyimpanan buku (dalam arti luas) maupun sebagai kumpulan buku yang disusun untuk keperluan membaca (Basuki. Sulistyo, 1994). Adapun definisi-definiosi lain mengenai perpustakaan, yaitu:

(36)

xl Perpustakaan adalah lembaga pengumpulan koleksi, termasuk tulisan, cetakan atau materi audio visual yang kemudian dikelola untuk pelayanan belajar dan penelitian bagi masyarakat umum (Encyclopedia Britanica, 1960).

Perpustakaan dapat didefinisikan sebagai suatu kumpulan buku-buku dan bahan-bahan pustaka lainnya yang diorganisasikan dan diadministrasikan untuk bacaan, konsultasi dan belajar (Tjoen, 1966).

Perpustakaan berarti tempat, gedung yang disediakan untuk pemeliharaan dan penggunaan koleksi buku, majalah, dan bahan kepustakaan lainnya yang disimpan untuk dibaca dan dipelajari (KBBI).

Dari beberapa pengertian perpustakaan diatas, dapat disimpulkan bahwa, Perpustakaan adalah tempat bagi masyarakat memperoleh informasi. Perpustakaan juga memainkan peran sebagai tempat penyimpanan dan pelestarian materi pustaka untuk keperluan studi, penelusuran informasi dan arsip.

Seiring dengan perkembangan teknologi penyimpanan data digital, penyampaian informasi kepada pengguna perpustakaan telah banyak mengalami diversifikasi. Tidak hanya materi cetak saja, microfilm, piringan data (disc), maupun data digital telah menjadi bagian dari koleksi inti perpustakaan saat ini.

2. Fungsi perpustakaan Perpustakaan merupakan tempat buku-buku dan bahan pustaka lainnnya, serta penyimpanan data-data yang kesemuanya terorganisir dan diatur dengan administrasi serta berfungsi sebagai edukasi, informasi dan rekreasi.

Sesuai dengan pengertiannya, maka perpustakaan memiliki beberapa fungsi pokok (Sulistyo Basuki, 1991:27-29). Fungsi pokok perpustakaan dapat digolongkan sebagai berikut:

(37)

xli Perpustakaan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan merupakan sarana pendidikan formal dalam arti perpustakaan merupakan tempat belajar di luar bangku sekolah maupun tempat belajar dalam lingkungan pendidikan sekolah. Dalam hal ini yang berkaitan dengan pendidikan non formal adalah perpustakaan umum, sedangkan yang berkaitan dengan pendidikan formal adalah perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi. Bagi mereka yang sudah meninggalkan bangku sekolah , maka perpustakaan merupakan tempat belajar yang praktis, berkesinambungan dan murah.

b. Fungsi kultural

Perpustakaan sebagai tempat pemeliharaan karya-karya yang bernilai tinggi hasil budaya manusia dan merupakan tempat untuk mendidik dan mengembangkan apresiasi budaya manusia. Dalam mendidik dan mengembangkan apresiasi budaya manusia dapat dilakukan dengan cara menyelenggarakan pameran naskah-naskah kuno, ceramah, bedah buku, pertunjukan film atau bahkan pembacaan cerita untuk anak-anak, sehingga dengan demikian dapat lebih mengenal budayanya dengan membaca.

c. Fungsi rekreasi

Perpustakaan sebagai sarana penyediaan buku-buku bacaan dan cerita bagi masyarakat. Fungsi rekreasi ini tampak nyata pada perpustakaan umum, dimana perpustakaan melayani setiap orang yang memiliki hobi membaca tanpa memandang perbedaan usia, jenis kelamin, pekerjaan, agama, warna kulit dan status sosial.

d. Fungsi dokumentasi

Perpustakaan sebagai tempat penyimpanan dan pemeliharaan hasil karya manusia dari jaman dahulu sampai sekarang, baik berupa karya cetak seperti buku, majalah, surat kabar, dan lain-lain yang terjaga kelestariannya.

(38)

xlii Perpustakaan dalam segala bentuk dan jenisnya merupakan institusi yang bersifat ilmiah, informatif, edukatif, sehingga semua kegiatannya mengandung nilai dan unsur pembelajaran, penelitian, pembinaan, pengembangan ilmu pengetahuan dan lain-lain yang berorientasi pada pencerahan dan pengayaan wawasan bagi penggunanya. Dalam penggolonganya, pepustakaan dikelompokkan menjadi beberapa jenis. Berdasarkan kerangka kelembagaan, perpustakaan dikelompokkan dalam lima jenis, yaitu:i

a. Perpustakaan umum

Perpustakaan umum adalah perpustakaan yang mempunyai tugas melayani seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan tingkat usia, social, pendidikan dan lain-lain.

b. Perpustakaan khusus

Perpustakaan khusus adalah perpustakaan yang memiliki tugas melayani suatu kelompok masyarakat khusus yang memiliki kesamaan dalam kebutuhan minat terhadap bahan pustaka dan informasi.

c. Perpustakaan sekolah

Perpustakaan sekolah adalah perpustakaan yang ada di sekolah sebagai sarana pendidikan untuk menunjang pencapaian tujuan pendidikan prasekolah, pendidikan dasar dan menengah.

d. Perpustakaan perguruan tinggi

Perpustakaan perguruan tinggi adalah suatu unsur penunjang yang merupakan perangkat kelengkapan di bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

e. Perpustakaan nasional

Perpustakaan nasional adlaah perpustakaan yang dikelola oleh pemerintah pada tingkat nasional yang mempunyai tugas pokok membantu presiden dalam menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan perpustakaan dalam rangka pelestarian bahan pustaka sebagai hasil budaya dan pelayanan informasi ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan.

(39)

xliii Perpustakaan memberikan layanan kepada semua orang, anak-anak, remaja, dewasa, pelajar, mahasiswa, pegawai, ibu rumah tangga, laki-laki maupun perempuan hingga kaum difabel.

Kegiatan pokok yang ada dalam sebuah perpustakaan adalah: a. Kegiatan pembinaan bahan koleksi

Yaitu kegiatan mengumpulkan, mengadakan, menyediakan bahan koleksi untuk dijadikan koleksi perpustakaan. Kegiatan ini dapat dilakukan dalam berbagai cara, yaitu:

1) Pemilihan bahan pustaka

Perpustakaan menentukan dan memilih macam pustaka yang akan dihimpun menjadi koleksi perpustakaan. Prosedur dan tata cara pemilihan/seleksi ditentukan oleh perpustakaan dan seyogyanya dibukukan dalam buku pedoman kerja perpustakaan.

Pemilihan bahan pustaka berdasarkan :

· Profesi pemakai

· Macam-macam koleksi

· Jenis bidang ilmu

2) Pelaksanaan pengadaan bahan koleksi

Pengadaan bahan pustaka adalah proses menghimpun bahan pustaka yang akan dijadikan koleksi suatu perpustakaan. Koleksi perpustakaan hendaknya relevan dengan minat dan kebutuhan, lengkap dengan terbitan mutakhir, agar tidak mengecewakan masyarakat yang dilayani.

Pengadaan bahan pustaka dapat dilakukan dengan cara: 3) Inventarisasi bahan pustaka

· Mencatat semua bahan pustaka dalam buku inventarisasi

· Memberi tanda pengenal pada setiap bahan pustaka. b. Kegiatan pengolahan bahan koleksi

(40)

xliv ditempat-tempat penyimpanan sehingga memudahkan pengguna dalam mencari bahan koleksi perpustakaan yang diperlukan.

1) Klasifikasi

Kegiatan mengelompokkan bahan-bahan koleksi sesuai dengan macam dan bidang ilmunya.

2) Katalogisasi

Adalah kegiatan untuk membuat kartu-kartu catalog setiap bahan-bahan koleksi.

3) Perlabelan

Kegiatan membuat nomor penempatan pada setiap bahan koleksi pustaka dengan label tertentu yang ditempatkan pada cover bahan koleksi pustaka tersebut sesuai dengan ketentuan. Selain itu juga disertai kegiatan pembuatan kartu tanggal peminjaman dan pengembalian.

4) Penyimpanan dan penyusunan bahan koleksi (shelving)

Kegiatan menyimpan bahan koleksi (yang telah diproses) pada rak bahan pustaka berdasarkan susunan kelompok macam dan bidang ilmunya maupun urutan nomor penempatan. Berdasarkan kepentingannya secara umum koleksi dikelompokkan dalam tiga lokasi penyimpanan yaitu:

· Koleksi umum

Dapat dibaca ditempat maupun dibawa pulang

· Referensi

Koleksi yang materinya hanya untuk dibaca ditempat dan tidak untuk dibawa pulang.

· Koleksi berkala

Koleksi yang selalu memiliki edisi terbaru secara berkala seperti jurnal, Koran, majalah dan buletin.

5) Kegiatan lain-lain

· Perbaikan koleksi yang rusak

(41)

xlv Kegiatan pelayanan meliputi bentuk pelayanan dan sistem pelayanan, yang diuraikan sebagai berikut:

1) Bentuk Pelayanan, meliputi

· Pelayanan langsung

Bentuk pelayanan ini berupa pengunjung datang sendiri ke perpustakaan.

· Pelayanan semi langusng

Melalui perpustakaan keliling bertujuan untuk menjangkau tempat atau daerah yang belum mempunyai perpustakaan tetap.

· Perpustakaan tidak langsung

Merupakan bentuk pelayanan cabang, berupa pendistribusian buku-buku yang sudah diklasifikasikan dan diberi kartu catalog, kemudian siap untuk didistribusikan. 2) Sistem pelayanan, meliputi:

Dalam perpustakaan terdapat tiga elemen penting; bahan bacaan, pembaca dan staff perpustakaan yang berhubungan dengan cara yang berbeda-beda tergantung pada kebijakan organisasi perpsutakan; misalnya perpustakaan lingkungan, perpustakaan sekolah dan rumah sakit harus mempunyai sistem terbuka (pembaca dapat langsung mencari buku yang diinginkan pada rak terbuka). Perpustakaan nasional menggunakan sistem tertutup (pengguna tidak dapat mengambil sendiri buku yang diinginkan, melainkan harus melalui petugas dan buku ditelusuri melalui catalog). Perpustakaan besar membagi ruang nya dalam beberapa departemen sesuai dengan disiplin ilmu yang dilayani (umumnya menggunakan sistem terbuka).

· Sistem Pelayanan terbuka

Pengunjung dapat leluasa dan dengan langsung memilih buku yang diinginkan.

(42)

xlvi Peminjam dan pengembalian buku dilakukan oleh petugas perpustakaan

· Sistem pelayanan campuran

Merupakan gabungan dari kedua sistem diatas. Dimana tidak semua buku dapat dipilih secara langsung oleh pengunjung, melainkan untuk beberapa koleksi penting diambilkan oleh petugas perpustakaan.

d. Organisasi perpustakaan

Organisasi di dalam perpustakaan terdiri dari : 1) Makro

Meliputi sebuah sisitem organisasi dari berbagai perpustakaan baik karena kesamaan koleksi maupun karena masih dalam lingkup yang sama.

2) Mikro

Susunan interaksi dan kerjasama antara personil-personil yang terlibat dalam pengelolaan sebuah perpustakaan.

· Pimpinan perpustakaan, memimpin seluruh kegiatan yang dilakukan dalam perpustakaan.

· Unit pengadaan bahan koleksi, pengadaan bahan koleksi yang berupa buku, penerbitan berkala (majalah, bibliografi, dan sebagainya), penerbitab pemerintah (lembaran negara, himpunan peraturan negara, berita negara dan sebagainya)

· Unit pengolahan bahan koleksi, pengolahan atau pemrosesan bahan koleksi agar menjadi koleksi yang siap pakai atau siap dilayankan kepada para pemakai fasilitas perpustakaan.

(43)

xlvii (koleksi buku yang dapat dibawa keluar) bagi para pemakai fasilitas perpustakaan.

· Unit pelayanan referensi, melayani peminjaman dan pengembalian koleksi buku referensi yang hanya dapat dibaca didalam perpustakaan.

· Unit pelayanan administrasi, penunjangan bagi seluruh kegiatan yang dilakukan didalam perpustakaan, terutama yang bersangkutan dengan urusan kepegawaian, keuangan, perlengkpan, tata usaha, dsb.

Sumber Poole, 1981

diagram pengelola perpustakaan Sumber Poole, 1981

5. Perpustakaan Tuna Netra Special Libraries dapat diartikan sebagai suatu perpustakaan khusus yang bukan merupakan perpustakaan universitas, college, sekolah, sosial mauun public. Koleksi perputakaan ini biasanya terbatas dalam beberapa subyek tetapi membahas cukup dalam mengenai subyek

Ka.

Perpustakaan

Administrasi

pengelolaan

Pemilihan dan pengadaan perawatan

Klasifikasi dan katalogisasi

Pelayanan

(44)

xlviii yang bersangkutan. Sikapnya lebih aktif untuk menarik pengunjung untuk datang (tidak seperti pada perpustakaan pada umumnya yang bersifat lebih pasif)

Tidak hanya menyediakan bahan-bahan pustaka, perpustakaan ini juga memproduksi bahan material yang dibutuhkan oleh penggunanya.

Ukuran perpustakaan dapat bervariasi, kecil atau besar, khususnya perpustakaan tuna netra dapat berukuran cukup besar, namun memiliki kecenderungan ‘berbicara’ dalam lingkup yang lebih kecil daripada perpustakaan universitas atau perpustakaan umum. Pada umumnya menempati suatu gedung yang terpisah. (Aan Konya , 1986)

Dengan demikian perpustakaan Khusus ini berfungsi sebagai pusat informasi bagi induk organisasi yang dilayani. Selain itu dapat pula berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan akan edukasi dan rekreasi bagi anggota organisasi yang dilayani.

Dari definisi di atas, suatu perpustakaan tuna netra secara khusus menyediakan koleksi bahan-bahan pustaka dalam format khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan kaum tuna netra.

Dari segi ukuran, biasanya pepustakaan tuna netra dapat berukuran cukup besar, namun lingkup pelayananya tidak terlalu luas. Namun demikian sebaiknya perpustakaan ini menempati bangunan tersendiri.

Perpustakaan ini tidak hanya menyediakan buku-buku braile, buku dalam cetakan besar, rekaman audio, dll, namun juga ikut memproduksi bahan-bahan tersebut sehingga dapat sebagai pusat informasi bagi organisasi Tuna netra, khususnya di jawa tengah. Selain itu juga berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan akan edukasi dan rekreasi bagi kaum Tuna Netra.

Seperti disebutkan diatas, kekhususan dari perpustakaan ini adalah fasilitasnya yang tersedia khusus didesain dan disediakan untuk kaum tuna netra. Namun demikian Perpustakaan ini tidak menutup kesempatan bagi khalayak umum untuk datang dan menggunakan fasilitas perpustakaan seluas luasnya.

(45)

xlix Untuk perpustakaan umum kabupaten atau kota, luas bangunan sekurang-kurangnya 200 m2 dengan luas tanah sekitar 2000 m2. Luas gedung atau ruangannya harus cukup menampung ruang koleksi bahan pustaka, ruang baca dengan kapasitas minimal 10 % dari jumlah masyarakat yang dilayani, ruang pelayanan, ruang kerja pengolahan dan administrasi.

Ruang-ruang di dalam perpustakaan umum ditata dengan pembagian kelompok berdasar usia tanpa harus terpisah oleh ruang yang berbeda.

Perpustakaan umum menerapkan akses terbuka (open access) maka ruang koleksi dapat digabung dengan ruang baca. Ruang kerja pengolahan bahan pustaka dan ruang tata usaha harus dipisahkan dengan dinding, dengan ruang baca/koleksi, agar pelaksanaan pekerjaan pengolahan dan tata usaha tidak menggangu orang membaca di ruang baca/koleksi.

Bentuk ruang yang paling efektif adalah bentuk bujur sangkar, karena paling mudah dan fleksibel dalam pengaturan perabot apalagi bila rak buku yang dimiliki banyak dan lalu lintas yang ramai. Bentuk ini juga paling baik dan mudah dalam pengaturan pencahayaan/ penerangan.

Penerangan harus diatur sehingga tidak terjadi penurunan gairah membaca atau membuat silau. Dapat dilakukan dengan cara menghindari sinar matahari langsung serta memilih jenis lampu yang dapat memberikan sifat dan taraf penerangan yang tepat dengan kebutuhan.

· lampu pijar : memberikan cahaya setempat

· lampu TL/PL/Fluorescent : memberikan cahaya yang merata

· lampu sorot ; memberi cahaya yang terfokus pada obyek tertentu Ventilasi dalam perpustakaan harus diperhatikan untuk pengguna atau orang di dalamnya dan bahan pustaka. Ada 2 macam sistem ventilasi :

· Ventilas pasif

(46)

l lubang angin atau jendela diusahakan sebanding persyaratan dan fasilitas ruang (10 % dari luas ruang yang bersangkutan). Bila menggunakan ventilasi pasif sebaiknya rak tidak ditempatkan dekat jendela demi keamanan koleksi dan terhindar dari sinar matahari langsung.

· Ventilasi aktif

Ventilasi aktif adalah menggunakan sistem penghawaan buatan yaitu menggunakan AC. Karena temperatur dan kelembaban ruang perpustakaan yang kontans dapat menjaga keawetan koleksi.

Sebagai sarana edukatif, perpustakaan tunanetra diharuskan dapat membuat pengunjung mendapatkan ketenangan dalam membaca, mendengarkan kaset/cd dan memperoleh informasi lainya. kenyamanan serta keamanan dalam bangunan tersebut harus diperhatikan, sehingga tunanetra mampu leluasa bergerak sendiri untuk menuju ke tempat-tempat yang diinginkan dengan tanpa ragu-ragu dan takut. Selain dalam format braile, Perpustakaan ini juga harus menyediakan sumber-sumber informasi dalam format lain seperti kaset, cd , buku cetakan besar, internet dengan fasilitas computer bicara, dll. guna memenuhi kebutuhan tuna netra untuk dapat memperoleh informasi sebanyak-banyaknya di perpustakaan ini.

(47)

li dari ruang satu ke ruang yang lain. Sirkulasi yang lancar menuntut perlunya pembagian jalur untuk kegiatan dengan flow gerak yang cukup, penempatan materi pameran yang berurutan dalam satu ruang menurut jenis atau penggolongannya, serta adanya kejelasan sirkulasi dengan menghindari sudut belokan yang tajam sehingga tidak menghambat sirkulasi itu sendiri. Sirkulasi yang nyaman menuntut agar tidak terjadinya cross sirkulasi serta bentuk dan warna yang bersifat membingungkan. Warna bahan untuk lantai dan dinding hendaknya tidak mencolok dan tidak mengkilap untuk menghindari silau.

7. Preseden Perpustakaan Umum

a. New Seattle Public Library

New Seattle Public Library merupakan gedung perustakaan baru dari Seattle Public Library yang dibuka pada 23 Mei 2004, dengan pengunjung 8000 orang tiap hari. Koleksi yang ada berjumlah 1,45 juta meliputi koleksi buku, penerbitan pemerintah, koleksi periodikal, koleksi audio visual serta koleksi yang bisa diakses secara online.

Arsitek principal adalah Rem Koolhaas dan Joshua Ramus of the Office of Metropolitan Architecture (OMA). Bangunan ini didesain bukan hanya menjadi ikon bangunan formal pemerintah namun juga fungsional, dilengkapi pelayanan lengkap yang user-friendly dan merupakan gabungan dari formal dan informal spaces. Koolhas melihat perpustakaan yang baru seperti sebuah “penjaga buku”, tempat untuk memperlihatkan informasi baru, sebuah tempat untuk gagasan, diskusi, refleksi sebuah kehadiran yang dinamis.

(48)

lii

G a m b

ar 2.2 Eksterior New Seattle Public Library

Sumber : www.google.com (diakses tahun 2008)

Bangunan perpustakaan ini dibagi ke dalam delapan lapis layer(lantai), dengan ukuran yang bervariasi berdasarkan fungsinya.

Gambar 2.3 pembagian lantai/lapis layer New Seattle Public Library

Sumber : www.arcspace.com(diakses tanggal 26/04/08, pukul 13:00)

(49)

liii

Gambar 2.4 Interior ruang baca kelompok -”ngobrol” (kiri) dan ruang baca personal (kanan) New Seattle Public Library

Sumber : www.arcspace.com (diakses tanggal 26/04/08, pukul 13:00) Koleksi perpustakaan ditata secara formal (penataan koleksi pada perpustakaan pada umumnya) dan juga secara dinamis sehingga terlihat tidak kaku.

Gambar 2.5 Penataan koleksi dinamis (kiri) dan penataan koleksi secara formal (kanan).

Sumber: www.arcspace.com(diakses tanggal 26/04/08, pukul 13:00) Ruang-ruang seperti ruang untuk kegiatan anak/childrens terlihat dinamis dengan permainan warna dan gambar yang menarik, simpel tapi bagus. Penggunaan warna-warna terang dan mencolok pada interior membuat suasana ruang menjadi lebih dinamis-atraktif-tidak kaku seperti kebanyakan

perpustakaan pada umumnya.

Gambar

Gambar 2.1  Studi gerak
Gambar 2.3 pembagian lantai/lapis layer New Seattle Public Library
Gambar 2.6 Suasana interior dinamis
Gambar 2.7 E-library(kiri) dan shops(kanan). Sumber : www.google.com (diakses tahun 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

In your object graph, your Task objects may need help from the Project object. For instance, when a Task status is marked as Done, the

Konsentrasi gas radon dipermukaan tanah pada siang hari lebih rendah daripada pagi hari seperti di stasiun PO2 di daerah Puspiptek dapat disebabkan karena di stasiun PO2 tersebut

Bab IV berisi analisis dan pembahasan mengenai representasi isu budaya dalam kartun “Pr buat Presiden” karya Benny Rachmadi yang dikaji dengan pendekatan budaya yang

Hasil penelitian berdasarkan analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa variabel mendapatkan Eksekutif , developer, otokratis yang baik dan birokrat berpengaruh

Disini kami De nature indonesia akan memperkenalkan pada anda obat herbal yang sudah terbukti manjur, aman tanpa efeksamping untuk mengobati penyakit sipilis dan

Masyarakat sasaran pada program PKMM ini yaitu pemanfaatan kacang hijau sebagai bahan dasar pembuatan kue buah fantasi kacang hijau adalah ibu-ibu rumah tangga di

Politiikan tutkimuksen oppikirjoissa kuitenkin esitetään, että poliittiset instituutiot ovat niiden käyttäjien muokattavissa, vaikka he joutuvat toiminaan niiden