• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agung Wahyu Susilo Peneliti Pemuliaan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Ringkasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Agung Wahyu Susilo Peneliti Pemuliaan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Ringkasan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

AKSELERASI PROGRAM PEMULIAAN KAKAO

(THEOBROMA CACAO L.) MELALUI PEMANFAATAN

PENANDA MOLEKULER DALAM PROSES SELEKSI

Acceleration of Cocoa (Theobroma cacao L.) Breeding Programe by Using Molecular

Marker in Selection Process Agung Wahyu Susilo

Peneliti Pemuliaan

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia

Ringkasan

Produktivitas kakao nasional masih tergolong rendah yang disebabkan oleh masalah serangan hama dan penyakit, kualitas bahan tanam yang rendah, dan aplikasi teknik budi daya yang belum optimal. Rendahnya adopsi petani terhadap bahan tanam unggul kakao disebabkan percepatan perolehan bahan tanam unggul kakao tidak sejalan dengan tuntutan pemecahan permasalah di lapangan. Dalam hal ini kendala utama yang dihadapi dalam perakitan bahan tanam unggul kakao adalah daur seleksi yang cukup lama. Perkembangan penelitian teknik biologi molekuler saat ini memberi peluang pemanfaatannya dalam mempercepat siklus seleksi kakao. Beberapa aspek teknik penanda molekuler yang dapat diterapkan dalam pemuliaan kakao adalah analisa diversitas genetik menggunakan teknik sidik jari DNA untuk pemilihan tetua persilangan, dan analisis lokus sifat kuantitatif (quantitative trait loci) untuk mendapatkan pemarka molekuler guna mendeteksi secara dini sifat-sifat unggul terseleksi. Keberhasilan aplikasi teknik tersebut pada komoditas kakao telah dilaporkan beberapa peneliti. Dalam hal ini aplikasinya di Indonesia memerlukan jejaring kerja antarlembaga yang memiliki kompetensi di bidang ini sehingga akan terbentuk mekanisme kerja yang sinergis untuk mewujudkan tujuan tersebut.

Kata kunci : Akselerasi, pemuliaan kakao, penanda molekuler.

Summary

Cocoa productivity in Indonesia is still low as the impact of pest and disease incidence, low quality of planting material, and less attention of farm-ers to apply good agricultural practices. The recommended cocoa planting ma-terial is still not yet well adopted by the farmers due to the mama-terials not so prominently able to address the farmers' problem. In this case the time con-sumed on cocoa selection process has handicapped cocoa breeding acceleration. The progress on biotechnological research would be useful to overcome the problem by shortcutting the time of selection. Some biotechnological methods which can be used to accelerate cocoa selection namely the technique of DNA

(2)

fingerprint-PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Ivory Coast dan Ghana. Produksi kakao Indone-sia mencapai 652.396 ton/tahun atau 16% volume produksi kakao dunia yang diperoleh dari areal seluas 992.448 ha. Dalam hal ini kakao memberi kontribusi nyata terhadap perolehan devisa negara dari sektor per-kebunan dengan nilai sekitar USD 568 per tahun (4,3%) yang menempati urutan ketiga setelah perolehan devisa kelapa sawit dan karet. Di samping itu hal yang lebih penting bahwa kakao memberi kontribusi nyata penciptaan lapangan pekerjaan berbasis masyarakat pedesaan. Pengusahaan kakao melibatkan sebanyak ±965 ribu keluarga petani yang mengelola sendiri pertanaman kakaonya dan ±85 ribu tenaga kerja yang bekerja di perusahaan perkebunan. Selama kurun waktu 25 tahun terakhir terjadi peningkatan luas areal dan produksi kakao secara nyata, masing-masing sebesar 15,2%/ tahun dan 19,43%/tahun. Namun pening-katan luas areal dan produksi tersebut tidak sepadan dengan peningkatan produktivitas tanaman yang hanya mencapai 1,2%/tahun (Ditjen Perkebunan, 2006). Hal ini me-nunjukkan bahwa selama kurun waktu tersebut tidak terjadi perbaikan kinerja pro-duktivitas tanaman.

Produktivitas kakao di Indonesia masih rendah yang mencapai rata-rata 900 kg/ha/thn

(Ditjen Perkebunan, 2006). Beberapa per-masalahan masih dihadapi dalam budi daya kakao menyebabkan rendahnya produk-tivitas tersebut, antara lain beragamnya adopsi petani terhadap teknologi budidaya, keterbatasan ketersediaan bahan tanam unggul, dan adanya serangan hama dan penyakit. Hingga saat ini kemampuan adopsi petani/pekebun terhadap teknologi budi daya masih beragam yang berpengaruh langsung terhadap keragaman produktivitas tanaman. Hasil survei diketahui ada pertanaman kakao yang produktivitasnya hanya mencapai 200 kg/ha/thn, namun di sisi lain dapat pula ditemukan pertanaman yang produktivitasnya mencapai >2 ton/ha/thn (Susilo & Suhendi, 2006). Di samping itu keterbatasan keter-sediaan sumber bahan tanam unggul juga menjadi kendala dalam proses adopsi teknologi budi daya. Kebun benih sumber bahan tanam unggul kakao dalam bentuk hibrida F1 maupun klonal umumnya terdapat di wilayah Sumatera dan Jawa namun pengembangan kakao berada di wilayah Sulawesi dan kawasan Indonesia bagian Timur lainnya. Hama dan penyakit yang menjadi permasalahan penting pada budi daya kakao di Indonesia adalah hama penggerek buah kakao (PBK, Conopomorpha crame-rella Snell.), penyakit busuk buah kakao (Phytophthora palmivora), dan penyakit Vascular-Streak Dieback (VSD, Oncobasidium theobromae). Tingkat kerusakan tanaman dan kehilangan hasil akibat serangan hama dan ing to analyze clone’s diversity, and the analysis of quantitative trait loci to

detect marker for selection. Some researchers reported the successful applica-tion of these techniques on cocoa. A networking system would be important on implementing the technique to support cocoa breeding in Indonesia.

(3)

penyakit tersebut beragam tergantung kondisi lingkungan tumbuh. Pada saat kondisi intensitas serangan tinggi, hama PBK menyebabkan kehilangan hasil hingga 84% (Wardojo, 1980), penyakit busuk buah menurunkan produksi hingga 90% (Keane, 1992), dan penyakit VSD menyebabkan kematian tanaman yang rentan. Hama PBK saat ini masih mendominasi permasalahan kakao secara nasional karena sebaran infestasinya telah merata di seluruh areal pertanaman.

Upaya penyelesaian permasalahan tersebut perlu dilakukan secara terpadu antar berbagai komponen budi daya. Bahan tanam merupakan komponen yang mendasari keberhasilan proses budi daya tanaman namun hingga kini adopsi bahan tanam unggul kakao masih tergolong rendah. Di antara faktor yang memperlambat proses adopsi bahan tanam unggul kakao adalah ketersediaan bahan tanam unggul kakao di daerah sentra pengembangan masih terbatas, dan jenis bahan tanam unggul yang tersedia belum memenuhi sebagian tuntutan petani/ pekebun dalam penyelesaian permasalahan di lapangan. Dalam hal ini, khususnya petani, cenderung akan memanfaatkan bahan tanam asalan yang tersedia di dekat areal pengem-bangan. Hal ini sebagai akibat lambatnya proses akselerasi pengembangan bahan tanam unggul kakao yang di antaranya disebabkan oleh lambatnya capaian hasil-hasil pemuliaan kakao.

Program pemuliaan kakao membutuh-kan waktu lama, sekitar 15—20 tahun per siklusnya karena kakao merupakan tanaman berdaur hidup panjang. Hal ini menjadi

faktor penyebab lambatnya capaian hasil-hasil pemuliaan kakao sehingga penerapan metode-metode pemuliaan perlu disesuaikan dengan kondisi tersebut. Seleksi merupakan tahapan yang menentukan keberhasilan proses pemuliaan tanaman sehingga efek-tivitas prosedur seleksi perlu selalu ditingkat-kan melalui pemanfaatan berbagai teknologi yang berkembang saat ini. Dalam upaya percepatan program pemuliaan kakao, kemajuan di bidang bioteknologi tanaman dapat dimanfaatkan untuk memperpendek siklus pemuliaan melalui aplikasi penanda molekuler dalam proses seleksi. Dalam tulisan ini dipaparkan berbagai hal terkait dengan arah dan strategi pemuliaan kakao serta peluang pemanfaatan penanda molekuler dalam seleksi sehingga sasaran percepatan pemuliaan dapat tercapai.

PEMULIAAN TANAMAN KAKAO

Sasaran program pemuliaan kakao adalah mendapatkan bahan tanam unggul dalam hal produktivitas dan kualitas hasil, serta ketahanan terhadap hama dan penyakit penting seperti tersebut di atas. Kriteria keunggulan tersebut adalah daya hasil >3 ton/ha/thn, kualitas hasil sesuai permintaan pabrikan, yaitu berat per biji kering >1 g, kadar lemak biji >55% dan kadar kulit biji <12%. Secara praktek bahan tanam unggul kakao tersedia dalam bentuk benih dan klonal. Bahan tanam benih umumnya lebih disukai oleh petani/pekebun karena kemuda-han dalam penanamannya dibandingkan bahan tanam klonal meskipun bahan tanam klonal memiliki potensi genetik yang lebih

(4)

baik. Namun demikian saat ini sebagian petani di daerah sentra produksi kakao di Sulawesi sudah mulai memanfaatkan bahan tanam klonal untuk merehabilitasi tanaman tua dengan teknik sambung samping, dan ternyata berhasil meningkatkan produktivitas tanaman. Dalam aplikasinya, keunggulan masing-masing metode perbanyakan tersebut dapat disinergikan sehingga tercapai sasaran peningkatan produktivitas tanaman.

Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan tanaman diploid (2n=20) yang sifat penyer-bukannya spesifik. Secara umum tanaman kakao bersifat menyerbuk silang, namun di-temukan ada genotipe-genotipe yang tidak saling kompatibel melakukan penyerbukan,

sebagian genotipe ada yang bersifat kompatibel menyerbuk sendiri (self-compat-ible) dan sebagian yang lain tidak kompatibel menyerbuk sendiri (self-incompatible). Metode pemuliaan kakao mengacu metode pemuliaan tanaman yang diterapkan pada tanaman menyerbuk silang meskipun tidak seluruh metode dapat diterapkan secara mudah. Dalam hal ini metode seleksi berulang (re-current selection) dianggap lebih aplikatif digunakan untuk pemuliaan kakao karena sasaran mendapatkan bahan tanam hibrida dan klonal dapat dicapai secara bersamaan dalam setiap daur seleksi. Pada Gambar 1 ditunjukkan secara skematis tahapan metode seleksi berulang dalam pemuliaan kakao. Gambar 1. Skema siklus metode seleksi berulang (recurrent selection) dalam pemuliaan kakao.

Figure 1. The scheme of reccurent selection on cocoa breeding.

KLON & HIBRIDA UNGGUL HARAPAN

U

UJJIIMMUULLTTIILLOOKKAASSII KLON UNGGUL

HARAPAN BAHAN TANAM

UNGGUL KLONAL KOLEKSI PLASMA NUTFAH

BAHAN TANAM UNGGUL HIBRIDA S SEELLEEKKSSIIKKLLOONNAALL P PEERRSSIILLAANNGGAANN S SEELLEEKKSSIIKKLLOONNAALL&& P POOPPUULLAASSIIHHIIBBRRIIDDAA T TAAHHAAPPIIII E EKKSSPPLLOORRAASSII S SEELLEEKKSSII I INNTTRROODDUUKKSSII T TAAHHAAPPIIII

(5)

Materi genetik untuk perakitan bahan tanam unggul kakao diperoleh dengan cara introduksi, eksplorasi, dan seleksi. Kakao bukan tanaman asli Indonesia sehingga upaya memperluas keragaman genetik tanaman dilakukan melalui introduksi materi genetik dari daerah pusat penyebaran kakao atau lembaga-lembaga kolektor plasma nutfah kakao dunia. Awal pengembangan kakao di Indonesia menggunakan bahan asal benih yang didatangkan dari Venezuela, kemudian terseleksi klon-klon DR1, DR2, dan DR38 asal pertanaman tersebut. Kegiatan ini merupakan tonggak sejarah dimulainya kegiatan pemuliaan kakao di Indonesia pada tahun 1912. Permasalahan hama dan penyakit

kakao yang spesifik di setiap daerah pengem-bangan maka upaya pencarian materi genetik ketahanan hama/penyakit dilakukan melalui eksplorasi genotipe tahan di daerah endemik serangan. Dalam hal ini pertanaman kakao yang sebagian besar berasal dari benih hibrida digunakan sebagai sumber materi genetik untuk mendapatkan genotipe tahan hama/penyakit melalui kegiatan eksplorasi. Bahan tanam hibrida merupakan hasil persilangan antar tetua klonal yang memiliki keungulan sifat daya hasil, kualitas hasil, dan ketahanan hama atau penyakit sehingga pertanaman hibrida terdiri atas genotipe-genotipe hasil rekombinasi antar sifat-sifat unggul tersebut. Melalui proses adaptasi Gambar 2. Siklus pemuliaan partisipatif sebagai bentuk hubungan timbal balik antara petani, petugas penyuluh

lapangan, dan pemulia.

Figure 2. The cycle of participative breeding on cocoa as the impact of interconnection among farmers, extension and plant breeder.

Pendekatan Petani & penyuluh Perangkat: metode sederhana identifikasi pohon induk unggul

Pendekatan Pemulia & penyuluh Perangkat: - Diseminiasi - Kebun benih Populasi hibrida Pendekatan penyuluh & petani Perangkat: metode sederhana seleksi pohon induk unggul

Pendekatan pemulia

Perangkat: - Metode seleksi hibrida

(rancangan persilangan diallel)

- Rancangan uji adaptabilitas

Hibrida rekomendasi Klon rekomendasi Pendekatan pemulia Perangkat:

- Metode seleksi klon - Rancangan uji adaptabilitas

Klon local terseleksi

Klon harapan

(6)

lingkungan maka dimungkinkan di antara genotipe-genotipe tersebut ada yang tahan terhadap hama/penyakit tertentu. Upaya menggali potensi genetik pada populasi per-tanaman kakao dilakukan melalui pendekatan pemuliaan partisipatif melalui mekanisme hubungan timbal balik antara pemulia tanaman, petugas penyuluh lapangan, dan petani (Gambar 2).

Dalam pemilihan genotipe unggul kakao, baik dalam proses eksplorasi maupun seleksi, diperlukan kriteria seleksi yang dapat menduga potensi genetik tanaman. Sifat pembuahan kakao yang relatif sepanjang tahun menyebabkan proses evaluasi kompo-nen daya hasil dan mutu hasil tanaman tidak dapat dilakukan secara cepat dan akurat. Demikian pula untuk evaluasi ketahanan hama PBK dan penyakit VSD hanya mungkin di lakukan di daerah endemik serangan karena hingga kini belum ditemukan metode inokulasi buatan ketahanan hama/penyakit tersebut. Penampilan fenotipik sifat-sifat tersebut seringkali secara dominan masih terpengaruh oleh faktor lingkungan tumbuh sehingga berpengaruh terhadap efektivitas proses seleksi. Dalam hal ini diperlukan dukungan teknologi bidang molekuler sebagai kriteria tambahan yang mendukung kriteria seleksi berdasarkan keragaan fenotipik tersebut sehingga proses seleksi dapat di-lakukan secara lebih cepat dan akurat.

Seleksi berulang diawali dengan mem-bentuk populasi dasar melalui persilangan antar klon-klon unggul terseleksi. Metode persilangan diallel dapat digunakan untuk tujuan ini yang sekaligus mengetahui kriteria daya gabung sifat-sifat unggul klon tetua per-silangan sebagai dasar penentuan komposisi

tetua dalam pembuatan benih hibrida. Seleksi berbasis individual untuk mendapatkan klon unggul baru maupun berbasis populasi untuk mendapatkan hibrida unggul baru. Klon atau pun hibrida unggul terseleksi selanjutnya dilakukan uji adaptabilitas sifat daya hasil dan mutu hasil di berbagai lingkungan dengan variasi kondisi agroklimat sebagai dasar rekomendasi penanaman. Selanjutnya klon atau pun hibrida unggul dapat dilepas sebagai bahan tanam unggul baru dengan karak-teristik adaptabilitasnya. Pertanaman dengan bahan tanam hibrida unggul baru tersebut selanjutnya merupakan materi genetik untuk proses seleksi tahap berikutnya.

ANALISIS PENANDA MOLEKULER KAKAO Penelitian bioteknologi pada tanaman kakao saat ini lebih banyak diarahkan untuk mencari penanda molekuler (marker-assisted selection) dalam upaya percepatan proses seleksi. Melalui aplikasi penanda molekuler ini diharapkan konfirmasi keunggulan genotipe tanaman dapat dilakukan secara lebih cepat dan akurat karena ekspresinya tidak terpengaruh oleh kondisi lingkungan tumbuh dan umur tanaman. Lingkup kegiatan indentifikasi penanda molekuler kakao yang dilakukan antara lain analisis diversitas genetik dan heterozigositas tanaman, dan analisis lokus pengendali sifat kuantitatif seperti komponen daya hasil dan ketahanan hama/penyakit.

Ukuran genom kakao termasuk kecil, diperkirakan antara 388 Mbp—415 Mbp (Figueira et al., 1992 cit. Figueira 2004) atau sekitar 3 kali ukuran genom

(7)

Arabi-dopsis thaliana yang merupakan tanaman dengan ukuran genom terkecil (Figueira, 2004). Ukuran genom kecil menunjukkan bahwa kloning gen berdasarkan peta lokasi gen akan lebih mudah dilakukan (Figueira, 2004). Keberhasilan pemetaan gen sifat-sifat agronomi penting pada tanaman kakao telah dilaporkan.

Analisis Diversitas Genetik

Berdasarkan keragaman genetik, tanaman kakao dikelompokkan atas jenis Cri-ollo, Forastero, dan Trinitario. Kakao jenis Trinitario merupakan hasil persilangan antara Criollo dan Forastero (Murray, 1975; Urquhart, 1961). Pengelompokan tersebut berdasarkan keragaan fenotipik sifat-sifat agronomi tanaman, terutama sifat vigor tumbuh tanaman dan kualitas hasil yang menunjukkan diversitas genetik luas. Dalam perkembangannya analisa diversitas genetik berdasarkan pengelompokan tersebut kurang aplikatif karena kenyataannya tanaman kakao yang berkembang merupakan hasil per-silangan antar kelompok-kelompok tersebut sehingga pengelompokan atas dasar sifat agronomi menjadi sulit dilakukan. Dalam hal ini aplikasi penanda molekuler diperlukan untuk analisa diversitas genetik koleksi plasma nutfah dan pengelompokan berdasar-kan basis kelompok genetik tersebut. Teknik analisa molekuler yang telah diaplikasikan untuk tujuan tersebut adalah teknik AFLP (amplified fragment lenght polymorphism) dan single sequence repeat (SSR) atau yang dikenal teknik microsatellite karena kedua-nya menghasilkan tingkat polimorfisme yang tinggi (Wilkinson, 2000).

Keberhasilan aplikasi penanda molekuler untuk karakterisasi plasma nutfah kakao dilaporkan Crouzillat et al. (2000a). Klon-klon Nasional Ekuador atau yang dikenal Arriba Cocoa merupakan kakao penghasil biji putih yang tidak diketahui asal usul genetiknya. Hasil analisa molekuler dengan teknik RFLP menunjukkan bahwa klon-klon Arriba cocoa tersebut berbeda secara genetik dengan kelompok Criollo, Forastero, dan Trinitario. Hal ini menunjukkan bahwa proses rekombinasi melalui persilangan antar genotipe kakao memungkinkan terbentuknya kelompok genetik baru. Kondisi plasma nutfah kakao di Indonesia kemungkinan dapat mengalami hal serupa mengingat sebagian koleksi plasma nutfah kakao peroleh melalui eksplorasi yang tidak di-ketahui asal usul genetiknya. Sebagai contoh klon-klon kakao generasi awal, DR1, DR2, dan DR38 yang dikenal dengan Java Criollo sebenarnya bukan jenis Criollo tetapi merupakan hasil seleksi pada populasi Trinitario. Hingga kini belum diketahui secara pasti kondisi diversitas genetik dan pengelompokan genetik klon-klon koleksi plasma nutfah kakao di Indonesia. Analisis diversitas genetik dengan penanda molekuler diperlukan untuk meningkatkan optimalisasi pemanfaatan plasma nutfah kakao tersebut.

Dalam pemuliaan kakao diperlukan informasi heterozigositas genotipe klon-klon yang akan digunakan sebagai tetua per-silangan. Keterbatasan secara alami maupun buatan dalam pembentukan tanaman kakao homosigot menjadi kendala utama pem-buatan varietas hibrida. Karena itu tingkat heterozigositas genotipe klon-klon tetua menjadi kriteria penting dalam pemilihan

(8)

induk pembuatan hibrida unggul. Klon-klon dengan tingkat heterozigositas rendah akan dipilih sebagai tetua pembuatan hibrida unggul karena yang akan menghasilkan pertanaman hibrida F1 relatif seragam. Sedangkan klon-klon dengan tingkat hetero-zigositas tinggi akan dimanfaatkan untuk membentuk rekombinasi baru melalui metode saling silang (intercrossing) guna mendapatkan klon unggul baru. Teknik re-striction fragment lenght polymorphism (RFLP) dan SSR telah dimanfaatkan untuk analisa tingkat heterozigositas klon-klon koleksi plasma nutfah. Risterucci et al. (2000) membandingkan pemanfaatan teknik RFLP dan SSR dengan penanda codominant yang menunjukkan bahwa teknik SSR

menghasilkan tingkat heterozigositas lebih tinggi dibandingkan teknik RFLP. Hasil studi pada beberapa klon koleksi plasma nutfah menunjukkan bahwa teknik SSR menghasilkan tingkat heterozigositas yang lebih tinggi, yaitu 45,6% dibandingkan teknik RFLP yang menghasilkan tingkat heterozigositas sebesar 22,9%. Disebutkan pula bahwa teknik SSR mampu mengiden-tifikasi 5,6 allele per lokus sedangkan teknik RFLP hanya dapat mengidentifikasi 2,4 allele per lokus. Selain kelebihan tersebut, aplikasi teknik SSR lebih cepat prosesnya dengan jumlah sampel yang lebih banyak, serta materi yang dibutuhkan untuk analisa lebih sedikit.

Tabel 1. Data Quantitatif Trait Loci (QTL) untuk komponen hasil kakao dari turunan F1 (Catongo x Pound 12) (Sumber data:

Crouzillat et al., 2000b)

Table 1. Data of QTL analysis for cocoa yield component of F1 hybrids (Catongo x Pound 12) (Crouzillat et al., 2000b)

Keterangan : A : homozigote, H : heterozigote.

AUTOC 1106(22) 686(25) 420 19.8 0.0017 V CCC2 1003(31) 581(24) 422 20 0.0006 IX Indek buah CCG 1135 21.4(25) 25.3(29) 3.9 35.6 <0.0001 II AFACCTGE 21.7(23) 24.6(26) 2.9 21.4 0.0008 IV CCG 899 24.8(27) 22(28) 2.8 18.7 0.001 V Indek biji CCG1135 1.28(25) 1.12(29) 0.16 21.2 0.0005 II CCC1102 1.27(29) 1.11(25) 0.16 23.6 0.0002 V CCG1238 1.26(25) 1.15(30) 0.11 11.9 0.01 IX

Jumlah biji per buah

CCG1102 34.2(29) 39.7(25) 5.5 37.1 <0.0001 V

AS06F 38.5(27) 35(28) 3.5 15.2 0.0033 VII

Jumlah kandung telur

AM10A 44.3(24) 48.6(27) 4.3 23.9 0.007 IV Diameter batang CCG1622 12.4(28) 14.5(27) 2.1 12.6 0.0079 III cTcCIR33 14.7(30) 11.9(25) 2.8 22.5 0.0003 V CCG1238 14.5(25) 12.4(30) 2.1 12.7 0.0076 IX Tinggi jorget CCG1576 129.3(29) 158.3(26) 29 17 0.0018 V R2(%)

Rerata hasil selama 15 thn (Mean yield over 15 years, YM) Penanda

Marker

A H Perbedaan

Difference

p-value Kelompok pertautan

(9)

Analisis Lokus Sifat Kuantitatif (QTL) Kegiatan pemuliaan secara konvensional umumnya hanya mampu mendeteksi aksi gen pengendali sifat tertentu namun tata letak gen-gen tersebut di dalam kromosom belum dapat teridentifikasi. Melalui aplikasi penan-da molekuler tata letak gen-gen di penan-dalam kromosom dapat diidentifikasi sehingga dapat digunakan sebagai penanda dalam proses seleksi (marker-assisted selection). Peman-faatan penanda molekuler akan mening-katkan akurasi identifikasi sifat-sifat ter-seleksi karena ekspresi sifat dapat di-iden-tifikasi pada aras molekuler yang tidak terpengaruh oleh umur tanaman dan faktor lingkungan. Aplikasi penanda molekuler di-harapkan akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses seleksi.

Pada tanaman kakao, sifat-sifat penting seperti daya hasil dan ketahanan hama/ penyakit umumnya dikendalikan oleh banyak gen (polygenic) sehingga terekspresi secara kuantitatif. Identifikasi gen-gen pengendali sifat kuantitatif dilakukan dengan cara analisis lokus pengendali sifat kuantitatif (quantitatif trait loci) atau yang dikenal analisa QTL. Beberapa laporan telah menyebutkan keberhasilan analisa QTL untuk komponen daya hasil (Crouzillat et al., 2000b; Clement et al., 2003) dan ketahanan penyakit busuk buah (Crouzillat et al., 2000) pada tanaman kakao.

Analisa QTL komponen daya hasil kakao dilaporkan Crouzillat et al. (2000b) dan Clement et al. (2003). Materi yang digunakan adalah populasi hibrida F1 persilangan antara klon heterozygous dan klon homozygous. Crouzillat et al. (2000b)

menggunakan hibrida F1 persilangan

Catongo (homozygous) dan Pound 12 (het-erozygous). Sedangkan Clement et al. (2003) meng-gunakan 3 hibrida F1, yaitu DR 1 x Catongo, S52 x Catongo, dan IMC78 x Catongo, di mana ketiga klon induk ini ber-sifat heterozygous. Data fenotipik diperoleh melalui evaluasi sifat-sifat komponen hasil yang dilakukan selama 15 tahun (Crouzillat et al., 2000b) dan 9 tahun (Clement et al., 2003). Crouzillat et al. (2000b) mengukur sifat produksi berdasarkan berat biji kering, sedangkan Clement et al. (2003) berdasarkan berat biji basah. Teknik penanda molekuler yang digunakan adalah RFLP, microsatellite, dan AFLP. Laporan tersebut menyebutkan bahwa sifat produksi berkorelasi positif dengan jumlah buah. Demikian juga vigor tumbuh tanaman, tinggi jorget, diameter batang (Crouzillat et al., 2000b) lilit batang, lebar tajuk (Clement et al., 2003) ber-korelasi positif dengan sifat produksi.

Laporan Crouzillat et al. (2000b) me-nyebutkan bahwa QTL sifat produksi terdeteksi pada 8 kelompok pertautan (lin-kage group), namun frekuensi tertinggi terdeteksi pada kelompok pertautan V dan IX. QTL di kromosom V dan IX tersebut terdeteksi sejak awal masa pembuahan hingga akhir pengamatan yang ekspresinya dianggap stabil berulang antarwaktu pengamatan. Analisa kumulatif menunjuk-kan bahwa QTL di kromosom V dan IX tersebut masing-masing mengekspresikan 19,8% dan 20% ragam fenotip (Tabel 1). Laporan Clement et al. (2003) menyebutkan QTL sifat produksi yang terdeteksi pada ketiga populasi F1 terletak pada kromosom berbeda. QTL sifat-sifat produksi pada populasi IMC78, yang menunjukkan potensi produksi

(10)

tertinggi (2,2 ton/ha/thn), terdeteksi pada kromosom 2, 4, dan 5 (Tabel 2.). Hasil pengamatan antar tahun menunjukkan bahwa QTL yang terletak pada kromosom 5 terekspresi secara stabil antar waktu pengamatan (Tabel 3). Laporan tersebut menunjukkan bahwa QTL sifat produksi pada kromosom 5 dan 9 dapat digunakan sebagai penanda molekuler dalam proses seleksi. Crouzillat et al. (2000b) telah menggunakan penanda molekuler,

CCG-1300 dan Autoc untuk QTL kromosom V, CCC2 dan gTcCIR106 untuk QTL kromosom IX dalam seleksi yang hasilnya stabil antar waktu pengamatan.

Tata letak QTL pada kromosom ternyata tidak selalu terkait dengan bentuk korelasi fenotipik di lapangan. Laporan Crouzillat et al. (2000b) menyebutkan bahwa sifat indeks biji atau berat per biji kering meskipun tidak berkorelasi dengan sifat produksi namun 2 dari 3 QTL terletak pada kromosom yang

Tabel 2. Data QTL untuk sifat hasil dan komponen hasil kakao pada 3 populasi F1 (Sumber data : Clement et al., 2003)

Tabel 2. Data of QTL analysis for cocoa yield component of 3 F1 hybrids (Clement et al., 2003)

Puncak LOD (LOD peak ) R2 Pengaruh QTL (QTL effect ) DR1 4 AF12/6-gTcCIR136 3.9 16.6 1.0 9 cTcCIR228-gTcCIR102 3.0 10.4 -0.8 S52 1 CCG1285-cTcCIR46 2.8 12.9 -1.4 IMC78 2 mTcCIR19-gTcCIR161 2.7 10.0 -9.0 4 AF15/20-AF14/4 2.7 8.1 -1.1 5 gTcCIR106-AF15/11 3.1 11.2 -1.1 DR1 4 AF12/6-gTcCIR136 4.1 19.3 10.0 9 cTcCIR228-gTcCIR102 5.5 18.8 -12.0 IMC78 5 gTcCIR106-AF15/11 3.7 11.8 -9.0 DR1 1 CCG1285-mTcCIR15 7.9 23.6 83.0 4 AF55/3-mTcCIR18 5.0 21.9 -84.0 S52 2 AF12/27-AF50/5 3.4 13.0 -47.0 3 AF27/2-AF52/6 3.7 10.9 -45.0 5 gTcCIR148-AF39/1 4.8 13.8 -54.0 7 AF6/12-AF54/4 3.7 14.7 54.0 IMC78 4 AF15/20-AF11/17 17.3 43.5 -141.0 DR1 4 AF55/3-mTcCIR18 2.5 10.1 4.2 IMC78 4 AF15/20-AF11/17 7.4 22.6 6.2 DR1 10 gTcCIR126-cTcCIR239 3.1 9.7 -2.1 4 AF32/10-AF15/20 5.0 16.7 -3.7 DR1 4 CCG1419-gTcCIR129 4.4 15.4 6.7 S52 2 gTcCIR151-cTcCIR76 4.1 13.6 -5.6 IMC78 4 AF15/20-AF11/17 9.4 24.9 -9.4

Lebar tajuk (canopy

width )

Diameter batang (trunk

circumference )

Berat biji basah (wet

bean weight )

Jumlah buah (pod

number )

Berat buah (pod weight )

Buah busuk (rot pod )

CIM Sifat (traits ) Turunan

(progenies )

Kelompok pertautan (linkage

group )

Jarak penanda (marker

(11)

sama dengan sifat produksi. Demikian juga sifat diameter batang yang berkorelasi positif dengan sifat produksi, 2 dari 3 QTL sifat di-ameter batang juga terletak pada kromosom yang sama dengan sifat produksi. Clement et al. (2003) juga melaporkan bahwa QTL sifat jumlah buah dan produksi yang berkorelasi positif terletak pada kromosom yang sama (Tabel 2). Meskipun letak QTL sifat-sifat tersebut pada kromosom yang sama namun belum dapat dibuktikan bahwa sifat-sifat tersebut di-kendalikan oleh gen yang sama (pleiotropy).

Sifat ketahanan tanaman kakao terhadap penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora) merupakan sifat ketahanan yang dikendalikan oleh banyak gen (polygenic). Mekanisme ketahanan terjadi secara berta-hap, yaitu saat infeksi dan pasca infekasi jamur Phytophthora pada buah. Crouzillat et al., (2000c) melaporkan hasil analisa QTL untuk sifat ketahanan penyakit busuk buah ini. Materi yang digunakan adalah populasi F1 persilangan antara klon Catongo

(homozy-gote) dan Pound 12 (heterozy(homozy-gote) serta populasi back cross 1 (BC1) dengan tetua jantan Catongo. Kedua klon tetua tersebut sebenarnya rentan terhadap P. palmivora namun telah di-laporkan bahwa klon CATIE-1000 yang tahan penyakit busuk buah merupakan turunan persilangan kedua klon tersebut sehingga gen ketahanan kedua klon tersebut dianggap bersifat transgresif. Respons ketahanan tanaman terhadap P. palmivora dievaluasi berdasarkan diameter bercak hari ke-5 (DL5) dan hari ke-10 (DL10) setelah inokulasi buatan pada buah di pohon. Teknik penanda molekuler yang digunakan dalam analisis QTL ini adalah RFLP, RAPD, dan AFLP.

Hasil analisa QTL sifat ketahanan penyakit busuk buah diketahui terdapat 6 lokus pengendali sifat ketahanan ini yang terdapat pada 5 kromosom berbeda (Crou-zillat et al., 2000c). Determinasi terhadap ke-6 lokus tersebut menunjukkan bahwa QTL no. 1 dan 4 berasal dari tetua klon Catongo, dan QTL no. 2, 3, 5, dan 6 berasal

Tabel 3. Data QTL untuk sifat hasil dan jumlah buah yang terdeteksi pada turunan DR1, S52, dan IMC78 selama 9 tahun masa pembuahan (Sumber data : Clement et al., 2003)

Table 3. Data of QTL analysis for yield and number of pod which were detected at the progeny of DR1, S52 andIMC78 during 9 years of harvest periods (Clement et al., 2003)

DR1 S52 IMC78

Ch.

Jarak penanda

(marker interval ) LOD Ch.

Jarak penanda

(marker interval ) LOD Ch.

Jarak penanda (marker interval ) LOD

1990 WBW 1 CCG1285-cTcCIR46 2.8 PN 1991 WBW 2 mTcCIR-gTcCIR161 2.7 PN 4 AF12/6-gTcCIR136 3.2 1992 WBW 9 cTcCIR228-gTcCIR102 3.0 PN 9 cTcCIR228-gTcCIR102 5.5 5 gTcCIR106-AF15/11 2.5 1993 WBW 4 AF12/6-gTcCIR136 3.9 5 gTcCIR106-AF15/11 3.0 PN 4 AF12/6-gTcCIR136 4.1 5 gTcCIR106-AF15/11 3.2 1994 WBW 5 gTcCIR106-AF15/11 3.1 PN 5 gTcCIR106-AF15/11 3.7 1998 WBW 4 AF11/7-AF56/21 2.7 PN 5 gTcCIR106-AF15/11 2.5 1990-1998 WBW 4 AF12/6-gTcCIR136 2.5 5 gTcCIR106-AF15/11 2.8 PN 4 AF12/6-gTcCIR136 2.8 5 gTcCIR106-AF15/11 3.3

Keterangan (note ) : Kromosom (Ch., chromosome ), berat biji basah (WBW, wet bean weight ), jumlah buah (PN, pod number ) Tahun

(year )

Sifat hasil (yield traits )

(12)

dari tetua klon Pound 12. Selanjutnya diketahui bahwa QTL no. 1, 4, dan 6 terdiri atas allel homozygous tetapi allel kedua klon tetua tersebut berbeda. Dalam hal ini diketahui bahwa QTL no. 2 merupakan komponen utama ketahanan penyakit busuk buah karena terdeteksi pada kedua populasi pengujian (F1 dan BC1). Hasil ini mem-buktikan bahwa gen pengendali sifat ketahanan penyakit busuk buah cukup komplek.

APLIKASI PENANDA MOLEKULER KAKAO Keberhasilan identifikasi gen pengen-dali beberapa sifat penting tanaman kakao melalui penanda molekuler sebagaimana tersebut di atas diharapkan dapat diaplikasi-kan untuk mendukung proses seleksi. Sasaran utama aplikasi penanda molekuler ini adalah meningkatkan akurasi penilaian fenotipik keunggulan sifat-sifat genotipe terseleksi sehingga proses seleksi akan lebih efektif dan efisien. Selain itu pemanfaatan penanda molekuler diharapkan dapat memperpendek siklus seleksi karena identifikasi genotipe unggul dapat dilakukan secara lebih cepat. Secara konvensional proses seleksi tanaman kakao membutuhkan waktu sekitar 5—7 tahun dan kemajuan seleksi masih sulit diprediksi karena genotipe-genotipe terpilih diperoleh

melalui hasil eksplorasi atau pun seleksi pohon induk yang proses penilaiannya dilakukan secara cepat. Dalam hal ini aplikasi penanda molekuler digunakan untuk konfir-masi keunggulan genotipe-genotipe terpilih dalam seleksi tahap lanjut, dan penilaian dini keragaan fenotipik genotipe-genotipe tersebut di lapangan.

Berdasarkan hasil analisa QTL beberapa sifat penting tersebut tampak bahwa lokus pengendali sifat tidak selalu terdeteksi selama fase perkembangan tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa proses deteksi keunggulan sifat tanaman kakao dengan teknik penanda molekuler harus dilakukan saat fase perkembangan tanaman mengeks-presikan keragaan sifat-sifat unggul di-maksud. Lokus yang digunakan sebagai kriteria seleksi keunggulan sifat dimaksud adalah yang menunjukkan stabilitas dalam fase perkembangan tanaman. Misalnya QTL sifat produksi yang terletak pada kromosom 5 dan 9 dapat digunakan sebagai penanda dalam proses seleksi potensi daya hasil karena secara stabil terdeteksi dalam masa pem-buahan tanaman. Meskipun demikian seleksi dini pada fase awal perkembangan tanaman belum mungkin menggunakan aplikasi teknik penanda molekuler tersebut.

Dalam hal ini sasaran aplikasi penanda molekuler kakao difokuskan pada aspek seleksi klon tetua persilangan, dan

konfir-Tabel 4. Hasil analisis QTL sifat ketahanan penyakit busuk buah (P. palmivora) (Sumber data : Crouzillat et al., 2000c).

Table 4. QTL analysis for resistance to cocoa pod rot (P. palmivora) (Crouzillat et al., 2000c).

Turunan/sifat Progeny/trait Jumlah QTL QTL’s number Kromosom Chromosome

Ragam Variance, % N Nilai P

P value

BC1/DL5 3 2, 5 & 9 27.5 113 <0.0001

F1/DL5 3 II, IV & V 47.7 42 <0.0001

BC1/DL10 4 1, 2, 5 & 9 39.8 113 <0.0001

F1/DL10 3 II, IV & V 51.6 42 <0.0001

(13)

masi keunggulan genotipe unggul terpilih hasil eksplorasi atau pun hasil seleksi tahap awal. Pemilihan tetua persilangan melalui analisis diversitas genetik dan heterozigositas genotipe tanaman dengan teknik penanda molekuler diharapkan dapat memaksimalkan potensi hybrid vigor hibrida F1 yang akan dijadikan sebagai bahan tanam unggul kakao. Demikian pula aplikasi penanda molekuler untuk konfirmasi keunggulan sifat genotipe-genotipe terpilih akan meningkatkan efektivitas seleksi. ACIAR PHT2000/102 (2006) melaporkan bahwa efektivitas seleksi klon tahan PBK hanya mencapai 5% di mana klon-klon yang digunakan sebagai materi seleksi diperoleh dari hasil eksplorasi ber-dasarkan keragaan fenotipik tanaman. Hal ini sebagai gambaran bahwa efektivitas seleksi yang mendasarkan keragaan fenotipik tanaman masih rendah. Meskipun demikian aplikasi penanda molekuler hanya untuk melengkapi penilaian fenotipik keragaan tanaman di lapangan sehingga genotipe-genotipe yang dimanfaatkan dalam proses seleksi tahap lanjut sudah diketahui potensi genetiknya secara lebih akurat. Dengan demikian diharapkan dapat mengoptimalkan penggunaan biaya proses seleksi dengan hanya mengelola genotipe-genotipe yang sudah diketahui potensi genetiknya secara baik.

KESIMPULAN

Kemajuan bidang bioteknologi tanaman berpeluang digunakan untuk mendukung per-cepatan program pemuliaan kakao sehingga capaian hasil-hasil pemuliaan dapat segera dimanfaatkan oleh pengguna, khususnya petani dan pekebun. Penanda molekuler merupakan salah satu aspek bioteknologi

yang dapat diaplikasikan untuk mendukung percepatan program pemuliaan kakao melalui peningkatan efektivitas dan efisiensi proses seleksi. Teknik-teknik yang digunakan untuk tujuan tersebut sudah tersedia di labora-torium-laboratorium bioteknologi milik beberapa lembaga penelitian maupun perguruan tinggi di Indonesia sehingga teknik pelaksanaannya akan relatif lebih mudah dilakukan. Dalam hal ini diperlukan jejaring kerja antarlembaga yang memiliki kom-petensi di bidang ini, sehingga akan ter-bentuk mekanisme kerja yang sinergis untuk mewujudkan tujuan tersebut. Demikian juga diperlukan komitmen tinggi bagi penentu kebijakan dalam menentukan prioritas pro-gram kegiatan terkait dengan keberlanjutan pendanaan pelaksanaan kegiatan dengan topik-topik permasalahan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

ACIAR PHT/2000/102 (2006). Selection for im-proved quality and resistance of

Phytophthora pod rot, cocoa pod borer,

and vascular streak dieback in cocoa in Indonesia. Annual Report.

Clement, D.; A.M. Risterucci; J.C. Mota-mayor; J. N’Goran & C. Lanaud (2003). Mapping QTL for yield components, vigor, and resistance to Phytophthora

palmivora in Theobroma cacao L. Ge-nome 46, 204—212.

Crouzillat, D.; L. Bellanger; M. Rigoreau; P. Bucheli & V. Pétiard (2000a). Ge-netic structure, characterization and se-lection of Nacional Cocoa compared to other genetic groups. p.47—55. In : F. Bekele, M. End & A. Eskes (Eds.).

Proceeding of the international work-shop on new technologies and cocoa breeding. Kota Kinabalu, Malaysia.

(14)

Crouzillat, D.; B. Ménard; A. Mora; W. Phillips & V. Pétiard (2000b). Quantitative trait analysis in Theobroma cacao using molecular markers. Euphytica, 114, 13—23.

Crouzillat, D.; W. Phillips; P.J. Fritz & V. Pétiard (2000c). Quantitative trait loci analysis in Theobroma cacao using molecular markers. Inheritance of poly-genic resistance to Phytophthora

palmi-vora in two related cocoa populations. Euphytica, 114, 25—36.

Direktorat Jenderal Perkebunan (2006). Road

map komoditas kakao 2005—2025.

Jakarta, Oktober 2006, 27 p.

Keane, P.J. (1992). Diseases and Pest of Cocoa: an Overview. p.1—12. In : P.J. Keane & C.A.J. Putter (Eds.). Cocoa pest and

diseases management in Southeast Asia and Australasia. FAO, Rome.

Murray, D. (1975). The botany of cocoa. p.7— 18. In : G.A.R. Wood (Ed.). Cocoa. 3rd edt. Longman, London.

Susilo, A.W. & D. Suhendy (2006). Laporan

kegiatan: Identifikasi penyebaran klon kakao asal Malaysia di Sulawesi. Pusat

Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 30 p.

Urquhart, D.H. (1961). Cocoa. 2nd edition, Longmans, 293 p.

Wardojo, S. (1980). The cocoa pod borer-A major hindrance to cocoa develop-ment. Indonesian Agric. Research and

Development J., 2, 1—4.

Wilkinson, M.J. (2000). The application and constraints of new technologies in plant breeding. p.12—24. In : F. Bekele, M. End & A. Eskes (Eds.). Proceeding of

the international workshop on new tech-nologies and cocoa breeding. Kota

Kinabalu, Malaysia.

Gambar

Gambar 1. Skema siklus metode seleksi berulang (recurrent selection) dalam pemuliaan kakao.
Gambar 2. Siklus pemuliaan partisipatif sebagai bentuk hubungan timbal balik antara petani, petugas penyuluh lapangan, dan pemulia.

Referensi

Dokumen terkait

Penetapan kualitas air sungai dilakukan pada tiga stasiun monitoring, yaitu Stasiun Monitoring Jembatan Sersan Mesrul, Stasiun Monitoring Jembatan Gurem, dan

QGIS dapat dijalankan pada komputer dengan sistem operasi linux, unix, Mac OSX, windows dan Android, serta mendukung banyak format dan fungsionalitas data vektor, raster,

[r]

Ketika berbicara masalah loyalitas pelanggan, tak dapat dipungkiri kepuasan atas produk dan jasa yang kita tawarkan menjadi faktor menentukan untuk menuju loyalitas. Tantangan

bahwa pelaksanaan hari dan jam kerja bagi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada pertimbangan huruf a, ditetapkan dengan Peraturan Walikota Probolinggo

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa kesulitan yang dialami mahasiswa terletak pada (1) pengetahuan faktual, yang terdiri dari mengingat fakta, memahami fakta,

Melihat perbandingan persentase komposisi serat tersebut, kandungan selulosa kulit pisang jauh lebih tinggi daripada kandungan selulosa kayu lunak sehingga sangat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan dan kontribusi media massa terhadap efektivitas komunikasi Pemkot Surakarta (2005-2012) tidak begitu dominan, tetapi lebih