• Tidak ada hasil yang ditemukan

ACTIVE LEARNING BASED CIVICS LEARNING MODEL : SOME ALTERNATIVES By : Umi Chotimah**)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ACTIVE LEARNING BASED CIVICS LEARNING MODEL : SOME ALTERNATIVES By : Umi Chotimah**)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ACTIVE LEARNING –BASED CIVICS LEARNING MODEL : SOME ALTERNATIVES

By : Umi Chotimah**)

In Indonesia, the subject Civics is a compulsory subject to take for all students from elementary to higher education. Since 1957, Civics curriculum has been changed for seven times, but its implementation is still not fully based on the demands of the curriculum. The research results, showed that many teachers only taught knowledge and not provide enough opportunities for students to do active learning. Therefore the author offered somes

alternatives of active learning: based PKn learning model : VCT,

Reflective Inquiry, PKKBI, Inquiry Social.

Keywords : Civics, active learning, VCT, Reflective Inquiry, PKKBI, Inquiry Social

1. Pendahuluan

Saat ini kurikulum yang berlaku untuk jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah adalah Kurikulum tahun 2006 atau dikenal dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Salah satu mata pelajaran wajib yang yang ada di dalam KTSP adalah mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Peraturan Menteri No 22 Tahun 2006, menyebutkan bahwa :

mata pelajaran PKn bertujuan untuk para siswa memiliki kemampuan berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan; bergabung secara aktif dan bertanggung jawab; bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan anti-korupsi; berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain; berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung; dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Memiliki kemampuan berpikir kritis rasional dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegraaan dan seterusnya sebagai tujuan matapelajaran PKn, mengisyaratkan akan perlunya suatu proses pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk mencapai tujuan tersebut, yang apabila kita kaji lebih lanjut sesungguhnya kemampuan tersebut akan sulit dicapai apabila tidak dilaksanakan melalui suatu proses pembelajaran aktif (active learning).

(2)

Sebelum kurikulum 2006 yang saat ini sedang berlaku, mata pelajaran yang serupa dengan PKn sudah ada, bahkan sudah mengalami perubahan sebanyak beberapa kali (dari tahun 1957 hingga tahun 2006), mulai dari sudut label maupun isinya. Pada kurikulum 1957 dengan label Tatanegara (untuk SMA), yang bertujuan untuk membentuk nation and character building "yaitu sekolah dianggap sebagai sociopolitical Institution. Selanjutnya tahun 1962 berlaku kurikulum Civic (untuk SMP dan SMA), yang materinya digali dari sejarah, geografi, ilmu ekomomi, ilmu politik, pidato-pidato kenegaraan Presiden, deklarasi HAM, dan pengetahuan tentang PBB, Sejarah, Ilmu Bumi Indonesia dan Civic. Tahun 1968 diberlakukan kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) bagi SD, SMP dan SMA. Khusus untuk SMP dan SMA materinya berisikan tentang Sejarah Indonesia, konstitusi UUD 1945. Setelah itu diberlakukan kurikulum 1994, dengan label mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN), materinya disusun secara spiral atas dasar keterangan nilai yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila. Pada tahun 2004, kurikulum PPKN diganti dengan kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), yang materinya pada pendidikan nilai-moral dan norma Pancasila, dengan tujuan untuk membangun dan mengembangkan daya nalar, sikap dan perilaku siswa yang bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai moral Pancasila, serta mengembang-kan pengetahuan, sikap dan keterampilan belajar untuk mengikuti pendidikan lebih lanjut dan untuk hidup dalam masyarakat, pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara. Kemudian pada tahun 2006, diterapkan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan nama yang sama yaitu PKn.

Berdasarkan perkembangan kurikulum PKn di Indonesia sejak tahun 1957 sampai dengan sekarang sudah mengalami perubahan sebanyak tujuh kali. Namun demikian, ternyata masih saja dijumpai pelbagai kelemahan, khususnya dari segi implementasinya. Artinya masih terdapat ketidakselarasan antara kurikulum PKn secara dokumen dengan kurikulum PKn dengan implementasinya. Hal tersebut didukung dari berbagai hasil penelitian, diantaranya Kadarusmadi (1987) menunjukkan bahwa :

(3)

“tujuan PMP belum dapat mencapai keputusan yang memuaskan, karena hanya 2.85% jawaban siswa yang mempunyai kecenderungan perilaku yang positif, yaitu kecenderungan untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral Pancasila. Sebanyak 1.78% pula mempunyai kecenderungan yang negatif, yaitu kecenderungan untuk berperilaku menyimpang daripada tuntutan nilai-nilai moral Pancasila.

Hasil yang kurang memuaskan ini didukung oleh hasil penelitian Sunarno (1992) menyatakan bahwa :

proses belajar mengajar belum mencapai tujuan PMP yang diharapkan. Guru-guru sekadar memberi pengetahuan dan pemahaman tentang nilai-nilai Pancasila kepada pelajar. Guru belum lagi membina dan memandu pelajar untuk menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila itu dalam kehidupan hariannya. Guru yang membina PMP masih banyak menekankan aspek pengetahuan pelajar tentang nilai-nilai Pancasila. Guru belum lagi membina sikap dan tingkah laku pelajar secara nyata sehingga siswa belum terbuka hati nuraninya untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila.

Selain itu hasil penelitian Djuwita (1993), bahwa :

pola mengajar yang dilakukan guru lebih bersifat pemberian pengetahuan tentang Pancasila dan lebih berorientasikan pencapaian hasil berupa angka daripada pembinaan moral, di samping suasana dan situasi pengajaran kurang mengarah pada pembentukan sikap pelajar. Sehubungan itu tujuan Pendidikan Moral Pancasila belum sepenuhnya tercapai.

Selanjutnya hasil penelitian Anwar (1994) tentang pembelajaran segi kewarganegaraan dalam PPKn, menunjukan bahwa :

pola mengajar yang dilakukan guru lebih bersifat pemberian pengetahuan, disamping suasana dan situasi pengajaran kurang mengarah pada pembentukan sikap siswa. Guru belum membina sikap dan perilaku siswa secara nyata. Pada kenyataan akhir-akhir ini diberitakan sering terjadinya perkelahian (tawuran) antar pelajar yang membawa korban jiwa, dan kurangnya disiplin terhadap peraturan berlalu lintas, walaupun pada hakekatnya banyak faktor yang mempengaruhi perilaku siswa (keluarga, masyarakat, maupun sekolah), oleh karena itu paling tidak PPKN dituntut untuk lebih berperan dalam membentuk perilaku siswa.

(4)

Jika dirangkum beberapa hasil penelitian di atas maka ada beberapa hal yang dapat kita ketahui, yaitu :

 tujuan PMP belum dapat mencapai keputusan yang memuaskan, proses belajar mengajar belum mencapai tujuan PMP yang diharapkan,

 guru-guru sekadar memberi pengetahuan dan pemahaman tentang nilai-nilai Pancasila kepada pelajar.

 guru belum lagi membina dan memandu pelajar untuk menghayati dan guru belum membina sikap dan perilaku siswa secara nyata,

 guru yang membina PMP masih banyak menekankan aspek pengetahuan pelajar tentang nilai-nilai Pancasila.

 guru belum lagi membina sikap dan tingkah laku pelajar secara nyata sehingga siswa belum terbuka hati nuraninya untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila,

 pola mengajar yang dilakukan guru lebih bersifat pemberian pengetahuan tentang Pancasila dan lebih berorientasikan pencapaian hasil berupa angka daripada pembinaan moral,

 suasana dan situasi pengajaran kurang mengarah pada pembentukan sikap siswa.

 tujuan PMP belum sepenuhnya tercapai,

 pembelajaran segi kewarganegaraan dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,

 situasi pengajaran kurang mengarah pada pembentukan sikap siswa,  tujuan kurikulum PKn belum tercapai.

Dari rangkuman di atas, dapat dikatakan bahwa tujuan kurikulum PKn (baik kurikulum 1984, 1994, 2004) masih belum tercapai secara optimal, sebab masih banyak kelemahan dari implementasinya. Sejalan dengan pendapat di atas, Malik Fajar (2004:4) mengatakan bahwa :

“sejak tahun 1994, pembelajaran PKn menghadapi berbagai kendala dan keterbatasan. Kendala dan keterbatasan tersebut adalah: (1) masukan instrumental (instrumental input) terutama yang berkaitan dengan kualitas guru serta keterbatasan fasilitas dan sumber belajar, dan (2) masukan lingkungan (instrumental input) terutama yang berkaitan dengan kondisi dan situasi kehidupan politik negara yang kurang demokratis”

Beberapa petunjuk empiris menyangkut permasalahan tersebut antara lain sebagai berikut : Pertama, proses pembelajaran dan penilaian dalam PKn lebih menekankan pada aspek instruksional yang sangat terbatas, yaitu pada penguasaan materi (content mastery). Dengan kata lain lebih menekankan pada dimensi kognitifnya sehingga telah mengabaikan sisi lain yang penting, yaitu

(5)

pembentukan watak dan karakter yang sesungguhnya menjadi fungsi dan tujuan utama PKn. Kedua, pengelolaan kelas belum mampu menciptakan suasana yang kondusif untuk berkembangnya pengalaman belajar siswa yang dapat menjadi landasan untuk berkembangnya kemampuan intelektual siswa (state of mind ). Proses pembelajaran yang bersifat “satu arah” dan pasif baik di dalam maupun di luar kelas telah berakibat pada miskinnya pengalaman belajar yang bermakna (meaningful learning) dalam proses pembentukan watak dan perilaku siswa. Untuk itu sangat penting bagi kita untuk membangun model-model pembelajaran khususnya dalam PKn dalam rangka, menciptakan proses belajar yang menyenangkan, mengasyikkan, sekaligus mencerdaskan.etiga, pelaksanaan kegiatan ektra-kurikuler sebagai wahana sosio-pedagogis melalui pemanfaatan “ hands-on experience” juga belum berkembang sehingga belum memberikan kontribusi yang berarti dalam menyeimbangkan antara penguasaan teori dan pembinaan perilaku, khususnya yang berkaitan dengan

pembiasaan hidup yang terampil dalam suasana yang demokratis dan sadar hukum.

Sehubungan dengan hal di atas, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pembelajaran PKn selama ini lebih menekankan pada penguasaan materi dan lebih cenderung bersifat “teacher-centered” akibatnya, siswa menjadi pasif atau kurang memberikan kesempatan kepada siswa belajar secara aktif (active learning). Oleh karenanya, makalah ini mencoba menawarkan beberapa alternatif model pembelajaran PKn yang dapat mengaktifkan siswa.

2. Pembelajaran Aktif (Active Learning)

Pembelajaran dapat diartikan juga sebagai suatu usaha yang sengaja melibatkan dan menggunakan pengetahuan profesional yang dimiliki guru untuk mencapai tujuan kurikulum. Jadi pembelajaran adalah suatu aktivitas yang dengan sengaja untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan untuk tercapainya suatu tujuan yaitu tercapainya tujuan kurikulum. Gagne dan Briggs (1979:3) mengartikan pembelajaran ini adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses

(6)

belajar siswa yang bersifat internal. Dalam pembelajaran kondisi atau situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar harus dirancang dan dipertimbangkan terlebih dahulu oleh guru.

Pembelajaran aktif (active learning) adalah segala bentuk pembelajaran yang memungkinkan siswa berperan secara aktif dalam proses pembelajaran itu sendiri baik dalam bentuk interaksi antar siswa maupun siswa dengan pengajar dalam proses pembelajaran tersebut. Menurut Bonwell (1995), pembelajaran aktif memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut:

 Penekanan proses pembelajaran bukan pada penyampaian informasi oleh guru melainkan pada pengembangan ketrampilan pemikiran analitis dan kritis terhadap topik atau permasalahan yang dibahas,

 Siswa tidak hanya mendengarkan penjelasan guru secara pasif tetapi mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan materi pelajaran,

 Penekanan pada eksplorasi nilai-nilai dan sikap-sikap berkenaan dengan materi pelajaran,

 Siswa lebih banyak dituntut untuk berpikir kritis, menganalisa dan melakukan evaluasi,

 Umpan-balik yang lebih cepat akan terjadi pada proses pembelajaran.

Di samping karakteristik tersebut di atas, secara umum suatu proses pembelajaran aktif memungkinkan diperolehnya beberapa hal. Pertama, interaksi yang timbul selama proses pembelajaran akan menimbulkan positive inter-dependence dimana konsolidasi pengetahuan yang dipelajari hanya dapat diperoleh secara bersama-sama melalui eksplorasi aktif dalam belajar. Kedua, setiap individu harus terlibat aktif dalam proses pembelajaran dan pengajar harus dapat mendapatkan penilaian untuk setiap mahasiswa sehingga terdapat individual accountability. Ketiga, proses pembelajaran aktif ini agar dapat berjalan dengan efektif diperlukan tingkat kerjasama yang tinggi sehingga akan memupuk social skills.

Figure 1

Simple tasks --- Complex tasks

The Active Learning Continuum

Bagaimana gambaran antara pembelajaran pasif dengan pembelajaran aktif, Edgar Dale (1969) menggambarkan sebagaimana piramida di bawah ini.

(7)

Reading Hearing W ords Looking at Pictures W atching a Video W atching a Dem onstration Seeing it Done on Location Participating in a Discussion Giving a Talk Sim ulating the Real Experience Doing a Dram atic Presentation Doing the Real Thing Looking at an Exhibit PASS IVE  L EA R NI NG   ACT IVE LE A R NIN G Level of Involvem ent Verbal  Receiving Visual  Receiving Participating Doing Tend to Rem em ber about: 90% 70% 50% 30% 10% 20%

Bagan di atas memperlihatkan dua kelompok model pembelajaran yaitu Pembelajaran Pasif dan Pembelajaran Aktif. Gambaran tersebut juga menunjukkan bahwa kelompok pembelajaran aktif cenderung membuat siswa lebih mengingat (retention rate of knowledge) materi pelajaran. Penggunaan cara-cara pembelajaran aktif baik sepenuhnya atau sebagai pelengkap cara-cara-cara-cara belajar tradisional akan meningkatkan kualitas pembelajaran.

3. Model Pembelajaran PKn yang Berbasis Active Learning

Berdasarkan pada konsep active learning di atas, berikut ini akan disajikan beberapa diantara sejumlah alternatif model pembelajaran yang berbasis active learning yang dapat digunakan oleh guru PKn, dalam rangka mengaktifkan siswa, yang pada akhirnya diharapkan dapat mencapai tujuan sebagaimana terdapat di dalam kurikulum PKn (kurikulum sebagai dokumen) diantaranya: a) VCT, b) Model Reflective Inquiry, c) PKKBI, d) Model Inquiry Sosial, dan lain-lain.

3.1 Value Clarification Techniques (VCT)

VCT atau Teknik Klarifikasi Nilai, yaitu suatu teknik belajar-mengajar yang membina sikap atau nilai moral (aspek afektif). VCT dianggap cocok digunakan dalam pembelajaran PKn yang mengutamakan pembinaan aspek afektif, disamping itu menuntut keaktifan belajar siswa. Pola pembelajaran VCT

(8)

dianggap unggul untuk pembelajaran afektif karena pertama, mampu membina dan mempribadikan (personalisasi) nilai-moral. Kedua, mampu mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan nilai-moral yang disampaikan. Ketiga, mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai-moral diri siswa dalam kehidupan nyata. Keempat, mampu mengundang, melibatkan, membina dan mengembang-kan potensi diri siswa terutama potensi afektualnya. Kelima, mampu memberimengembang-kan pengalaman belajar berbagai kehidupan. Keenam, mampu menangkal, meniadakan, mengintervensi dan menyubversi berbagai nilai-moral naif yang ada dalam sistem nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang. Ketujuh, menuntun dan memotivasi hidup layak dan bermoral tinggi.

Menurut A. Kosasih Djahiri (1985) model pembelajaran VCT meliputi; metode percontohan; analisis nilai; daftar/matriks; kartu keyakinan; wawancara, yurisprudensi dan teknik inkuiri nilai. Selain itu dikenal juga dengan metode bermain peran. Metode dan model di atas dianggap sangat cocok diterapkan dalam pembelajaran PKn, karena PKn mengemban misi untuk membina nilai, moral, sikap dan prilaku siswa, disamping membina kecerdasan (knowledge) siswa.

John Jarolimek (1974) dalam menjelaskan langkah pembelajaran dengan VCT dalam tujuh tahap yang dibagi ke dalam 3 tingkat, setiap tahapan dijelaskan sebagai berikut:

a) Kebebasan Memilih. Pada tingkat ini terdapat 3 tahap, yaitu: (1) Memilih secara bebas, artinya kesempatan untuk menentukan pilihan yang menurutnya baik. Nilai yang dipaksakan tidak akan menjadi miliknya secara penuh; (2) Memilih dari beberapa alternatif. Artinya, untuk menentukan pilihan dari beberapa alternatif pilihan secara bebas; (3) Memilih, setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat pilihannya.

b) Menghargai, terdiri atas 2 tahap pembelajaran, yaitu; (1) Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya, sehingga nilai tersebut akan menjadi bagian dari dirinya; (2) Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di depan umum. Artinya, bila kita menggagap nilai itu suatu pilihan, maka kita akan berani dengan penuh kesadaran untuk menunjukkannya di depan orang lain.

c) Berbuat, pada bagian ini terdiri atas dua tahap, yaitu; (1) Kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya (2) Mengulangi perilaku

(9)

sesuai dengan nilai pilihannya. Artinya, nilai yang menjadi pilihan itu harus tercermin dalam kehidupannya sehari-hari.

Kelemahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap adalah proses pembelajaran dilakukan secara langsung oleh guru, artinya guru menanamkan nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa memerhatikan nilai yang sudah tertanam dalam diri siswa. Akibatnya, sering terjadi benturan atau konflik dalam diri siswa karena ketidakcocokan antara nilai lama yang sudah terbentuk dengan nilai baru yang ditanamkan oleh guru. Siswa sering mengalami kesulitan dalam menyelaraskan nilai lama dan nilai baru.

3.2 Reflective Inquiry

Sebenarnya model ini merupakan basis model program “We The People...Project Citizen and the Constitution” yang dikembangkan atas dasar merupakan suatu program pembelajaran tentang sejarah dan prinsip-prinsip demokrasi di Amerika, dimana reflective inquiry menjadi dasar dari program tersebut. Reflective inquiry berkenaan dengan kemampuan individu dalam mengkonstruksi suatu makna. Inkuiri itu sendiri menyatu dengan reflektif dan kolaboratif sebagai aspek dari berpikir dan belajar. Dewey (1938) mengatakan, bahwa reflektif inkuiri dibuat penting, sebagaimana sebuah pengetahuan, ia bukanlah pada posisi yang tetap, untuk itu siswa harus aktif dan menjadi peserta yang bertanggung jawab. Winataputra dan Budimansyah (2007:241) mengatakan bahwa secara generik reflective inquiry memiliki langkah-langkah belajar sebagai berikut :

a) Identifikasi masalah kebijakan publik yang ada dalam masyarakat b) Pemilihan masalah sebagai fokus kajian kelas

c) Pengumpulan informasi terkait masalah yang menjadi fokus kajian kelas d) Pengembangan suatu portofolio kelas, dan

e) Menyajikan portofolio kelas dalam suatu simulasi dengar pendapat.

f) Melakukan kajian pengendapan atas pengalaman belajar yang dilakukan. Pada langkah terakhir, kembali ke kelas untuk melakukan refleksi atau pengendapan dan perenungan mengenai hasil belajar yang dicapai melalui seluruh kegiatan tersebut.

Kemudian dijelaskan bahwa titik berat paket pembelajaran ini adalah peserta didik dalam keseluruhan proses, dan dengan proses itu peserta didik difasilitasi untuk

(10)

mendapatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan” Selanjutnya Winataputra dan Budimansyah (2007:249), untuk model pembelajaran demokrasi dan HAM di sekolah-sekolah rintisan Ditjen Dikdasmen dan Center for Civic Education Indonesia (CCEI) adalah Model Praktik-Belajar Kewarganegaraan...Kami Bangsa Indonesia” (PKKBI).

3.3 Model Praktik-Belajar Kewarganegaraan....Kami Bangsa Indonesia” (PKKBI) Model ini lebih sesuai jika digunakan pada pembahasan tentang tatanegara Republik Indonesia, demokrasi, partisipasi dalam pemerintahan, hak dan kewajiban warganegara. Secara pedagogik model ini dirancang untuk memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik mengenai langkah-langkah dan metode yang digunakan di dalam proses politik. Winataputra dan Budimansyah (2007:250) menyebutkan bahwa : secara khusus kegiatan ini bertujuan untuk mengembangkan komitmen peserta didik terhadap kewarganegaraan dan pemerintahan dengan cara :

 Memfasilitasi peserta didik untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan agar dapat berpartisipasi secra efektif dan bermakna

 Memberikan pengalaman praktis yang dirancang untuk mengembangkan kompetensi kewarganegaraan yang demokratis

 Mengembangkan pemahaman tentang pentingnya partisipasi warganegara secara demokratis

 Program belajar ini diyakini akan menambah pengetahuan peserta didik, meningkatkan keterampilan dan memperdalam pengertian dan hakekat “rakyat” sehingga dapat bekerja bersama-sama menciptakan masyarakat Indonesia yang lebih baik.

3.4 Pembelajaran Inquiry Sosial

Pada awalnya pembelajaran inkuiri banyak diterapkan dalam ilmu-ilmu alam (natural science), kemudian para ahli pendidikan ilmu sosial berusaha mengadopsinya sehingga muncullah pembelajaran inkuiri sosial. Model pembelajaran Inquiry Sosial merupakan salah satu model yang juga termasuk model pembelajaran yang menekan-kan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari, menemukan artinya model ini menempatkan siswa sebagai subjek belajar, dengan demikian beraarti model ini menjadikan siswa belajar aktif (active

(11)

learning). Dalam proses pembelajarannya siswa tidak hanya berperan sebagi penerima pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi merka berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri.

Ada enam tahapan proses pembelajaran inkuiri sosial menurut Sanjaya (2007), adalah sebagai berikut yaitu :

a) Tahap orientasi. Pada tahap guru merangsang dan mengajak siswa untuk berpikir memecahkan masalah. Keberhasilan pembelajaran inkuiri sosial sangat tergantung pada kamauan siswa untuk beraktivitas menggunakan kemampuannya dalam memecahkan masalah; tanpa kemauan dan kemampuan itu tak mungkin proses pembelajaran akan berjalan dengan lancar.

b) Tahap merumuskan masalah. Langkah ini membawa siswa pada suatu persoalan yang mengandung teka-teki. Persoalan yang disajikan adalah persoalan yang menantang siswa untuk berpikir memecahkan teka-teki itu. c) Tahap merumuskan hipotesis, dimana setiap siswa membuat hipotesis dari

suatu permasalahan.secara rasional dan logis.

d) Tahap mengumpulkan data, tahap ini merupakan proses mental yang sangat penting dalam pengembangan intelektual siswa. Proses pengumpulan data bukan hanya memerlukan motivasi yang kuat dalam belajar, akan tetapi juga membutuhkan ketekunan dan kemampuan menggunakan potensi berpikirnya. e) Tahap menguji hipotesis, pada tahap ini siswa mencari tingkat keyakinan atas jawaban yang diberikan, dan mengembangkan kemampuan berpikir rasional. f) Tahap merumuskan kesimpulan, tahap ini siswa menyimpulkan/

mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis.

PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa betapapun kurikulum PKn telah mengalami beberapa kali penyempurnaan, namun tujuan kurikulum PKn (sebagai dokumen) masih belum tercapai secara optimal. Hal tersebut diantaranya disebabkan belum sinkronnya antara kurikulum PKn (sebagai dokumen) dengan implementasi kurikulum PKn (sebagai proses). Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan, pola mengajar guru lebih banyak memberi pengetahuan, ini bermakna bahwa pembelajaran PKn lebih didominasi oleh aktivitas guru, bukan siswa aktif (active learning). Oleh karenanya penulis menawarkan beberapa model pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru PKn sebagai alternatif diantara model pembelajaran berbasis active learning yang ada, diantaranya VCT, Reflective Inquiry, PKKBI, Inquiry Sosial, dan lain-lain.

(12)

DAFTAR RUJUKAN

Anwar, 1997. Pembelajaran Kewarganegaraan Dalam PPKn Di SD : Suatu Studi Naturalistik Pada SD Negeri Di Kotamadya Bandung. Tesis

Edgar Dale. 1969. Audio-Visual Methods in Teaching (3 rd edition) Holt, Tinehart and Winston, 1969

Djahiri, Kosasih. A. 1985. Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral, VCT dan Games dalam VCT. Bandung : Jurusan Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan FPIPS IKIP Bandung.

... 2006. Pendidikan Nilai Moral dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung : Laboratorium PKn.

Gagne, R., Briggs, L., & Wagner, W. (1992). Principles of Instructional Design. Fort Worth: Harcourt Brace Javanovich

Kadarusmadi, 1996. Disertasi : Upaya Orang-Tua Dalam Menata Situasi Pendidikan Di Dalam Keluargastudi Tentang Nilai-Nilai Yang Mendasari Dan Mengarahkan Upaya Orang-Tua Yang Diserap Anak Dalam Situasi Pendidikan Di Keluarga Masyarakat Banda Aceh. Bandung : IKIP

Malik, Fajar. 2004. Pendidikan Kewarganegaraan menuju Nation and Character Building. Makalah, pada Seminar dan Lokakarya Nasional Tentang Revitalisasi Nasionalisme Indonesia menuju Character and Nation Building di Jakarta, Lemhanas UNJ

Sanjaya, Wina.2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Pendidikan. Jakarta : Prenada Media Grup.

Sunarno. 1992. Keragaman Proses Belajar Mengajar di Sekolah Dasar (Studi Deskriptif Analitis Terhadap Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar PMP pada 3 Sekolah Dasar di Kabupaten Klaten). Tesis Magister PPS IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.

Winataputra, Udin dan Budimansyah, Dasim. 2007, Civic Education : Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung : Jurusan Pendidikan Kewarganegaraaan, Sekolah Pasca Sarjana UPI Bandung.

http://sekolah-dasar.blogspot.com/2011/04/langkah-langkah-pembelajaran-dalam-vct.html

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/ReflectiveInquiry,

Referensi

Dokumen terkait

pendapatan daerah sektor pertanian dan informal masih menyumbang pendapatan terbesar di Provinsi Jawa Tengah padahal dengan tingkat produktifitas sumberdaya manusia

Dengan latar belakang madrasah, maka sudah seharusnya lah guru mapel PAI MAN 3 Sleman memiliki dedikasi dan standar kualitas yang tinggi agar tercapainya salah satu

REVISI RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN RENCANA TATA RUANG

Konvensi Jenewa juga senada dengan Pasal 105 UNCLOS yang menyatakan Di Laut Lepas, atau disetiap tempat lain di luar yurisdiksi Negara manapun setiap Negara dapat menyita

Menurut UU No 20 tahun 2008, entitas kecil dan menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha

Komposisi ukuran cakalang yang ter- tangkap dengan pole and line pada kedua zona memiliki pola yang hampir sama yaitu Januari mengalami peningkatan ukuran sam- pai

Adab/Etika dan prinsip-prinsip permakultur inilah yang akan menjadi basis dari implementasi aktivitas Anoa Farm dalam mengembangkan Taman Hutan Pangan yang akan menjadi

Semua mata wang asing yang disimpan tidak boleh dipindah secara langsung dari dan ke Akaun berkemampuan MCF melalui pemindahan dana inter- atau intrabank, iaitu pemindahan