• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hutan Hujan Tropis

Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 10o LU dan 10o LS (Vickery,

1984). Menurut Ewusie (1980), ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah hujan berlimpah, sekitar 2000-4000 mm per tahun. Temperatur rata-rata berkisar atas 25-26 oC dengan kelembaban udara rata-rata sekitar 80%.

Mulyana et al. (2005) mendefinisikan hutan hujan tropis sebagai hutan yang selalu hijau, tidak pernah menggugurkan daun, tinggi 30 m (biasanya jauh lebih tinggi), bersifat higrofil, serta banyak terdapat liana berbatang tebal dan epifit berkayu maupun bersifat herba. Karakteristik umum sekaligus keunggulan yang dimiliki hutan hujan tropis adalah (1) keanekaragaman jenis yang tinggi, (2) lingkungan yang konstan atau sedikitnya perubahan musim, dan (3) siklus hara tertutup.

Hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B (menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson) dan dapat dikatakan bahwa tipe ekosistem tersebut berada pada daerah yang selalu basah. Pada daerah tersebut biasanya memiliki jenis tanah Podsol, Latosol, Aluvial, dan Regosol, dengan drainase yang baik dan terletak jauh dari pantai (Santoso 1996 dalam Indriyanto 2006).

Menurut ketinggian tempat dari permukaan laut, hutan hujan tropis dibedakan menjadi 3 (tiga) zone, yaitu hutan hujan bawah (2-1000 m dpl), hutan hujan tengah (1000-3000 m dpl), dan hutan hujan atas (3000-4000 m dpl). Pada hutan hujan bawah, jenis kayu penting yang biasanya mendominasi di hutan ini berasal dari suku Dipterocarpaceae dengan genus seperti Shorea, Hopea, Dipterocarpus, Vatica, dan Dryobalanops. Selain itu, terdapat juga genus-genus lainnya seperti Agathis, Altingia, Dialium, Duabanga, Dyera, Koompasia, Octomeles, dan lain-lain (Soerianegara & Indrawan, 1998).

(2)

Sedangkan pada hutan hujan tengah, jenis kayu umum yang sering dijumpai terdiri dari suku Lauraceae, Fagaceae, Castanea, Nothofagus, Cunoniaceae, Magnoliaceae, Hamamelidaceae, dan lain-lain. Sementara pada hutan hujan atas, jenis kayu utamanya terdiri dari Coniferae (Araucaria, Dacrydium, Podocarpus), Ericaceae, Loptospermum, Clearia, Quercus, dan lain-lain (Soerianegara & Indrawan, 1998).

Komponen penyusun hutan hujan tropis terdiri dari 2 (dua) macam komponen, yaitu abiotik dan biotik. Menurut Ewusie (1980), komponen penyusun abiotik terdiri dari suhu, curah hujan, kelembaban atmosfer, angin, cahaya, dan karbondioksida. Sedangkan komponen biotik yang menyusun hutan hujan tropis antara lain adalah pepohonan yang tergabung dalam tumbuhan herba, perambat, epifit, pencekik, saprofit, dan parasit.

2.2. Suksesi

Masyarakat hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu masyarakat yang dinamis. Masyarakat hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan, penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh, dan stabilisasi. Proses ini disebut suksesi atau sere (Soerianegara & Indrawan, 1998).

Gopal dan Bhardwaj (1979) menyebutkan bahwa suksesi adalah perubahan langsung secara keseluruhan pada selang waktu lama, bersifat kumulatif, di dalam komunitas tertentu, dan terjadi pada tempat yang sama. Suksesi secara keseluruhan berkembang sebagai akibat dari interaksi organisme-organisme dengan lingkungannya. Perubahan selama suksesi terjadi akibat pengaruh faktor-faktor eksternal seperti input unsur hara. Suksesi terjadi sebagai proses perkembangan komunitas yang sesuai dengan hukum alam.

Waktu berlangsungnya suksesi tergantung pada siklus hidup sebagian besar organisme dalam ekosistem. Suksesi terrestrial dimulai terbentuknya endapan abu vulkanik baru sampai terbentuknya hutan dalam ukuran dekade sampai abad (McNaughton & Wolf, 1977).

Shukla dan Chandel (1982) menyatakan bahwa evolusi komunitas tanaman melibatkan beberapa proses penting, diantaranya adalah:

(3)

b. Migration including initial colonisation, yaitu cara dimana tumbuh-tumbuhan sampai pada daerah yang terbuka, bisa dalam bentuk germules, propagulae, atau migrules. Biji atau benih tumbuhan tersebut tersebar ke daerah-daerah tersebut terbawa oleh angin, aliran air, hewan-hewan tertentu, manusia, glasier, dan sebagainya;

c. Ecesis, yang merupakan proses perkecambahan, pertumbuhan, berkembang biak dan menetapnya tumbuhan baru tersebut. Sebagai hasil ecessis individu-individu dari spesies tumbuh baik di suatu tempat. Tanaman pertama yang tumbuh pada area yang baru tersebut dinamakan pioner colonisers;

d. Agregation, dimana pada awalnya tanaman-tanaman pionir berada dalam jumlah yang sangat sedikit dan tumbuh secara berjauhan dengan yang lainnya. Seiring berjalannya waktu, individu-individu tersebut berkembang dan menghasilkan struktur reproduktif yang akan tersebar disekelilingnya dan setelah berkecambah akan membentuk kelompok (beragregasi). Ada dua tipe agregasi, yaitu Simple Agregation dan Mixed Agregation;

e. Evolution of community relationship, yaitu suatu proses dimana daerah kosong ditempati spesies yang berkoloni, spesies tersebut akan berhubungan satu sama lainnya. Hubungan yang terjadi dapat membentuk tiga tipe, yakni

exploitation, mutualism, dan Co-existence;

f. Invation, yaitu dalam proses kolonisasi, biji tumbuhan yang telah beradaptasi dalam waktu yang relatif panjang, pada tempat tersebut biji tumbuh dan menetap;

g. Reaction, yaitu terjadi perubahan habitat yang disebabkan oleh tumbuhan itu sendiri. Kondisi ini sebagai dampak dari interaksi antara vegetasi dan habitat.

Reaction merupakan proses yang terus menerus dan menyebabkan kondisi

yang kurang cocok bagi tumbuhan yang telah ada dan lebih cocok pada individu yang baru. Dengan demikian, reaction memiliki peranan yang sangat penting didalam pergantian jenis tumbuhan.

h. Stabilization, yaitu suatu proses dimana telah terbentuk individu yang dominan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur vegetasi yang sudah dapat dikatakan relatif konstan;

(4)

i. Klimaks, yaitu tahap akhir perubahan vegetasi, keadaan habitat dan struktur vegetasi konstan, karena pembentukkan jenis dominan telah mencapai batas. Jenis dominan dari komunitas klimaks hampir mendekati harmonis dengan habitat dan lingkungannya.

Selama suksesi berlangsung hingga tercapai stabilisasi atau keseimbangan dinamis dengan lingkungan, terjadi pergantian masyarakat tumbuh-tumbuhan hingga terbentuk masyarakat yang disebut vegetasi klimaks. Dalam masyarakat yang telah stabilpun selalu terjadi perubahan-perubahan, misalnya karena pohon yang tua tumbang dan mati, timbullah anakan-anakan pohon atau pohon-pohon yang selama ini hidup tertekan. Demikian, setiap ada perubahan, akan ada mekanisme atau proses yang mengembalikan keadaan kepada keseimbangan (Soerianegara & Indrawan, 1998).

2.3. Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII)

Sistem silvikultur adalah proses penanaman, pemeliharaan, penebangan, penggantian suatu tegakan hutan untuk menghasilkan produksi kayu, atau hasil hutan lainnya dalam bentuk tertentu. Sesuai dengan asas kelestarian hasil yang mendasari pengelolaan hutan, maka pemilihan sistem silvikultur memerlukan pertimbangan yang seksama, mencakup keadaan atau tipe hutan, sifat fisik, struktur, komposisi, tanah topografi, pengetahuan profesional rimbawan, dan kemampuan pembiayaan (Troup 1966 dalam Departemen Kehutanan 1992).

Sistem Tebang Pilih Tanam Indonessia Intensif (TPTII) adalah regime silvikultur hutan alam yang mengharuskan adanya tanaman pengkayaan pada areal pasca penebangan secara jalur, tanpa memperhatikan cukup tidaknya anakan yang tersedia dalam tegakan tinggal. Keunggulan dari TPTII adalah (Departemen Kehutanan, 2005):

a. Kontrol pengelolaan baik oleh perusahaan sendiri, maupun pihak luar lebih efisien, mudah dan murah;

b. Pada awal pembangunannya telah menggunakan bibit dengan jenis yang terpilih dan rotasi berikutnya telah menggunakan bibit dari hasil pemuliaan, sehingga produktivitasnya bisa meningkat 5 (lima) kali, kualitas produk lebih baik;

(5)

c. Target produksi bisa lebih fleksibel tergantung pada investasi tanaman; d. Keanekaragaman hayati, kondisi lingkungan lebih baik; dan

e. Kemampuan perusahaan meningkat.

2.4. Pertumbuhan Tanaman

Menurut Sitompul dan Guritno (1995) pertumbuhan adalah proses dalam kehidupan tanaman yang mengakibatkan perubahan ukuran tanaman semakin besar dan juga yang menentukan hasil tanaman. Davis dan Jhonson (1987) juga mendefinisikan pertumbuhan sebagai pertambahan dari jumlah dan dimensi pohon, baik diameter maupun tinggi yang terdapat pada suatu tegakan. Pertumbuhan ke atas (tinggi) merupakan pertumbuhan primer (initial growth), sedangkan pertumbuhan ke samping (diameter) disebut pertumbuhan sekunder

(secondary growth).

Nyakpa et al. (1988) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah faktor genetis dan faktor lingkungan. Salah satu peranan penting dari faktor genetis adalah kemampuan suatu tanaman untuk berproduksi tinggi. Potensi hasil yang tinggi serta sifat-sifat lainnya seperti ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit berhubungan sangat erat dengan susunan genetik tanaman. Faktor lingkungan yang diketahui dapat mempengaruhi pertumbuhan antara lain adalah suhu, ketersediaan air, energi surya, mutu atmosfer, struktur dan komposisi udara tanah, reaksi tanah, serta organisme tanah.

Diameter merupakan salah satu dimensi pohon yang paling sering digunakan sebagai parameter pertumbuhan. Pertumbuhan diameter dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi fotosintesis. Pertumbuhan diameter berlangsung apabila keperluan hasil fotosintesis untuk respirasi, penggantian daun, pertumbuhan akar dan tinggi telah terpenuhi (Davis & Jhonson, 1987).

Pertumbuhan tinggi pohon dipengaruhi oleh perbedaan kecepatan pembentukan dedaunan yang sangat sensitif terhadap kualitas tempat tumbuh. Setidaknya terdapat 3 (tiga) faktor lingkungan dan 1 (satu) faktor genetik yang sangat nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, yaitu kandungan nutrien mineral tanah, kelembaban tanah, cahaya matahari, serta keseimbangan sifat

(6)

genetik antara pertumbuhan tinggi dan diameter suatu pohon (Davis & Jhonson, 1987).

Laju pertumbuhan pohon tropis biasanya diukur dengan perubahan dimensi berdasarkan lingkar batang atau diameter. Pohon tropis dapat lebih mudah diukur dan akurat dengan pengukuran pertumbuhan rata-rata yang dimulai dari pengukuran awal (Gardner et al. 1991)

2.5. Kondisi Ekologis Shorea leprosula Miq.

Dipterocarpaceae merupakan kelompok kayu perdagangan utama (meranti dan balau (Shorea), mersawa (Anisoptera), keruing (Dipterocarpus) dan kapur (Dryobalanops)). Batangnya silinder, dan banyak yang mencapai ukuran sangat besar, 30 m atau lebih (tinggi bebas cabang).

Menurut Ashton (1982), famili Dipterocarpaceae memiliki tiga sub famili, yaitu Dipterocarpadeae, Pakaraimoideae, dan Monotoideae. Diantara ketiga sub famili tersebut, Dipterocarpadeae merupakan sub famili yang terpenting karena memiliki jumlah jenis yang banyak dan bernilai komersil. Sub famili Dipterocarpaceae ini memiliki 13 genus dan 470 jenis. Famili Dipterocarpaceae yang terdapat di Indonesia adalah Anisoptera (Mersawa), Cotylelobium,

Dipterocarpus (Keruing), Dryobalanops (Kapur), Hopea (Giam), Parashorea, Shorea (Meranti), Vatica (Resak) dan Upuna (Alrasyid et al. 1991).

Shorea leprosula Miq. memiliki nama lokal meranti merah atau meranti

tembaga (Indonesia) dan beberapa nama daerah seperti kontoi bayor, lempung kumbang, engkabang (Kalimantan), meranti, banio, ketuko (Sumatra), dan kayu bapa (Maluku). Penyebaran alami S. leprosula terdapat di semenanjung Thailand dan Malaysia, Sumatra hingga Kalimantan (Joker, 2002).

Pohon S. leprosula dapat mencapai tinggi 60 meter dengan tinggi bebas

cabang mencapai 35 meter dan diameter sampai 175 cm (Sutarno & Riswan, 1997). Batangnya mempunyai kulit luar yang berwarna abu-abu atau coklat, sedikit beralur tidak dalam, mengelupas agak besar-besar dan tebal. Penampangnya berwarna coklat muda sampai merah, bagian dalamnya kuning muda, kayu gubal berwarna kuning muda sampai kemerah-merahan, kayu teras berwarna coklat muda sampai merah (Heyne, 1987). Cabang-cabangnya besar,

(7)

tumbuh secara horizontal, jumlahnya tidak banyak dan cepat gugur. Ranting-rantingnya banyak dan halus. Daunnya tunggal berbentuk bulat telur sampai jorong (Sastrapradja et al. 1977), panjangnya 8-14 cm dan lebar 3,5-5,5 cm (Lemmens & Soerianegara 1994). Tangkai daun berbulu halus lebat, panjangnya 1-2 cm (Prawira & Tantra, 1986). Pada daun yang muda terdapat domatia mulai dari pangkal ibu tulang daun sampai hampir di ujungnya membentuk semacam garis (Rudjiman, 1997). Permukaan atas daun berwarna hijau dan licin, sedangkan permukaan bawah kelabu, coklat atau kekuning-kuningan serta tertutup oleh bulu yang sangat rapat.

Kayu S. leprosula mempunyai kerapatan 300-865 kg/m3 pada kadar kelembaban 15% (Lemmens & Soerianegara, 1994). Kayu S. leprosula termasuk kelas awet III-V dan kelas kuat II-IV, mudah dikerjakan, tidak mudah pecah atau mengkerut. Kayunya terutama dipakai untuk vinir dan kayu lapis, disamping itu dapat juga dipakai untuk bangunan perumahan dan dapat juga dipakai sebagai kayu perkapalan, peti pengepak, peti mati dan alat musik (Martawijaya et al. 1981). Resinnya yang sering disebut damar daging dihasilkan diantara akar-akarnya digunakan sebagai bahan obat. Kulitnya dipakai untuk bahan pewarna (Sutarno & Riswan, 1997).

2.6. Sifat Fisik Tanah dan Sifat Kimia Tanah

Tanah merupakan suatu media tumbuh bagi tanaman yang memiliki fungsi sebagai tempat akar mencari ruang untuk berpenetrasi, baik secara lateral atau horizontal maupun secara vertikal. Kemudahan tanah untuk dipenetrasi ini tergantung pada ruang pori-pori yang terbentuk di antara partikel-partikel tanah (tekstur dan struktur), sedangkan stabilitas ukuran ruang ini tergantung pada konsistensi tanah terhadap pengaruh tekanan. Kerapatan porositas tersebut menentukan kemudahan air untuk bersirkulasi dengan udara (drainase dan aerasi) (Hanafiah, 2005).

Menurut Hanafiah (2005) tekstur tanah menunjukkan komposisi partikel penyusun tanah yang dinyatakan sebagai perbandingan proporsi relatif antara fraksi pasir (berdiameter 2,00 – 0,20 mm), debu (berdiameter 0,20 – 0,002 mm), dan liat (berdiameter < 0,002 mm). Berdasarkan kelas teksturnya maka tanah

(8)

digolongkan menjadi: (i) tanah bertekstur kasar atau tanah berpasir (mengandung minimal 70% pasir atau bertekstur pasir atau pasir berlempung), (ii) tanah bertekstur halus atau tanah berliat (mengandung minimal 37,5% liat atau bertekstur liat, liat berdebu atau liat berpasir), (iii) tanah bertekstur sedang atau tanah berlempung. Peran dari tekstur tanah sendiri akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman.

Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur ini terjadi karena butir-butir pasir, debu, dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik, oksida-oksida besi, dan lain-lain. Gumpalan-gumpalan ini memiliki bentuk, ukuran, dan kemantapan yang berbeda-beda (Hardjowigeno, 2003).

Bulk density atau bobot isi menunjukkan perbandingan antara berat tanah

kering dengan volume tanah termasuk volume pori-pori tanah. Bulk density merupakan petunjuk kepadatan tanah. Makin padat suatu tanah makin tinggi bulk

density, yang berarti makin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman.

Pada umumnya bulk density berkisar antara 1,1 – 1,6 g/cc (Hardjowigeno, 2003). Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang terdapat dalam satuan volume tanah yang dapat ditempati oleh air dan udara, sehingga merupakan indikator kondisi drainase dan aerasi tanah. Tanah yang poreus berarti tanah yang cukup mempunyai ruang pori untuk pergerakan air dan udara masuk-keluar tanah secara leluasa (Hanafiah, 2005).

Reaksi tanah (pH tanah) menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ di dalam

tanah, semakin masam tanah tersebut. Selain H+, di dalam tanah dapat ditemukan pula ion OH- yang jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya H+. Nilai pH berkisar antara 0 – 14 dengan pH 7 disebut netral sedangkann pH kurang dari 7 disebut masam dan pH lebih dari 7 disebut alkalis (Hardjowigeno, 2003).

Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan banyaknya kation yang dapat dijerap oleh tanah per satuan berat tanah (biasanya per 100 g). kation-kation yang telah dijerap oleh koloid-koloid tersebut sukar tercuci oleh gravitasi, tetapi dapat diganti oleh kation lain yang terdapat dalam larutan tanah. KTK dinyatakan dalam

(9)

satuan miliekuivalen per 100 g (me/100 g). KTK merupakan sifat kimia tanah yang berkaitan erat dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi dapat menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK

Referensi

Dokumen terkait

Téhnik anu digunakeun dina ieu panalungtikan téh nya éta téhnik tés. Téhnik tés dina ieu panalungtikan miboga tujuan pikeun nyangking data boh saméméh boh

Pembahasan: Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang hubungan status fungsional dengan tingkat depresi pasien stroke diharapkan dapat mengetahui penyebab dan tanda gejala

Proses usahatani padi rawa di Desa Sukanagara memiliki perbedaan yaitu cara penanganan yang disesuaikan dengan kondisi genangan air dan dalam hal budaya; seperti

Kalimantan (rute selatan) yang menghubunghkan Kalimantan Barat dengan Kalimantan Tengah. Menggantikan sistem transportasi yang sudah ada sebelumnya antara Tayan dan Piasak

Dari hasil penelitian ini akan terlihat bagaimana mahasiswa menerapkan peraturan tata guna lahan pada hasil tugas SPA 3 sesuai ketentuan yang telah diatur dalam RTRW

Desa sobangan terletak di kecamatan Mengwi kabupaten Badung, Provinsi Bali. Secara geografis, desa ini terletak persis ditengah pulau bali. Desa sobangan letaknya cukup

Puji Syukur Penulis panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul Efektivitas

Dalam hal ini, penerapan konsepsi pemukiman tradisional masyarakat Bali yang memiliki 4 (empat) atribut utama, yaitu aspek sosial, simbolik, morfologi dan fungsional