• Tidak ada hasil yang ditemukan

Iis Setiyaningrum. Oleh : K BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Iis Setiyaningrum. Oleh : K BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

1

tahun 2003

Oleh :

Iis Setiyaningrum

K.5199014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pendidikan di Indonesia sekarang ini sudah lebih maju bila dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu. Kemajuan tersebut dapat dilihat dari jumlah Sekolah Dasar yang semula berjumlah 69.910 menjadi 171.455 dengan jumlah murid 13.069.000 menjadi 29.598.790 (Balitbang dikbud,1994). Apalagi sejak dicanangkannya wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, maka sudah sebagian besar penduduk Indonesia pernah mengenyam pendidikan sampai pada tingkatan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama

Salah satu sasaran pembangunan di bidang pendidikan sebagaimana disebutkan dalam GBHN Tahun 1999 adalah melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional. Oleh karena itu sistem pendidikan perlu

(2)

ditingkatkan terutama hal-hal yang berkaitan dengan kesesuaian pendidikan yang dibutuhkan oleh masing-masing anak didik.

Kurikulum dalam suatu pendidikan merupakan komponen yang sangat penting. Hal ini dikarenakan kurikulum merupakan panutan dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar di sekolah. Komponen kurikulum yang lengkap terdiri dari : tujuan instruksional umum dan khusus, struktur program, garis-garis program pengajaran, dan satuan acara pengajaran atau satuan pelajaran. Mengingat begitu pentingnya kurikulum, maka penyusunannya harus disesuaikan dengan kebutuhan serta ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan.

Untuk menunjang pelaksanaan pendidikan sangat diperlukan fasilitas pendukung yang sesuai dengan materi pelajaran. Kegiatan belajar mengajar akan berjalan baik apabila antara teori dengan praktek dapat seimbang. Sebab menurut penelitian siswa akan lebih mudah dalam memahami isi materi bila disertai dengan praktek. Harus diakui bahwa perkembangan pendidikan di Indonesia sangat lamban dan hal tersebut salah satunya dikarenakan kurangnya sarana dan prasarana yang diperlukan dalam proses belajar mengajar.

Kemampuan guru khususnya guru SD dalam menangani siswanya masih terbatas. Kebanyakan dari mereka cenderung hanya memberikan pelajaran sesuai dengan isi kurikulum tanpa memperhatikan kebutuhan anak didiknya, apakah anak tersebut sudah menguasai materi, mampu memahami atau bahkan mengalami suatu masalah selama mengikuti proses belajar mengajar. Padahal problem yang dialami oleh anak didik tidaklah sesederhana seperti apa yang orang bayangkan.

Dalam proses belajar mengajar kemampuan dasar atau kemampuan awal peserta didik juga perlu diperhatikan. Suatu sekolah akan mampu mencetak lulusan yang baik apabila murid yang diterimanya mempunyai kualitas. Murid yang mempunyai kemampuan dasar yang baik atau paling tidak berkondisi normal maka akan mudah menguasai materi. Sebaliknya bila suatu sekolah banyak terdapat anak yang mengalami suatu problem, misalnya kesulitan belajar, maka

(3)

akan susah untuk menghasilkan lulusan yang bermutu apabila penanganannya tidak tepat.

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa, tidak memasukkan anak berkesulitan belajar sebagai salah satu jenis anak luar biasa. Karenanya anak yang berkesulitan belajar dimasukkan ke dalam sekolah-sekolah umum. Mereka terpaksa harus mengikuti proses belajar mengajar yang bersifat klasikal, padahal metode tersebut kurang memperhatikan perbedaan individual murid. Anak berkesulitan belajar di Indonesia belum mendapatkan layanan yang semestinya, tidak seperti halnya yang terjadi di negara-negara maju.

Harus diakui bahwa sampai sekarang ini belum setiap orang termasuk guru khususnya guru sekolah dasar mengetahui hal yang berkaitan dengan kesulitan belajar atau dalam bahasa asing Learning Disability. Istilah tersebut masih awam dan jarang digunakan ataupun bila ada mereka belum tahu makna sebenarnya. Hal itu berakibat persepsi mereka terhadap anak berkesulitan belajar juga berbeda-beda. Bagi yang belum mengerti benar siapa dan bagaimana anak berkesulitan belajar, mereka dimungkinkan akan mempunyai persepsi yang negatif.

Seseorang yang mengartikan anak berkesulitan belajar sebagai anak yang bodoh dalam segala hal adalah sangat keliru. Karena sebenarnya anak berkesulitan belajar rata-rata mempunyai intelegensi normal dan hanya mempunyai kesulitan dalam beberapa bidang saja. Jadi masih ada kemungkinan untuk diperbaiki. Anak yang mengalami keterbelakangan mental atau mentally retarded mempunyai intelegensi yang rendah, sehingga dalam segala hal mereka pun tidak bisa mengerjakan sesuatu dengan baik. Walaupun penanganannya juga intensif, anak yang mengalami keterbelakangan mental tetap saja tidak sanggup sejajar dengan anak normal dalam hal kemampuan akademiknya.

Dalam menanggapi suatu permasalahan atau suatu keadaan yang sedang dihadapi seseorang akan mempunyai persepsi yang berbeda-beda dengan yang lainnya. Hal tersebut terjadi dikarenakan adanya pengetahuan dan pengertian yang berbeda antara satu sama lain. Dengan perbedaan persepsi tersebut, akan berpengaruh pula pada sikap serta perilaku yang akan diberikan terhadap suatu permasalahan yang terjadi di lingkungan sekelilingnya. Sama halnya dengan

(4)

masalah yang berkaitan dengan anak berkesulitan belajar, guru akan mempunyai persepsi yang berbeda apalagi masyarakat umum yang belum mengetahui dengan benar tentang anak berkesulitan belajar.

Persepsi mempunyai kaitan erat dengan kehidupan bermasyarakat, karena dapat mempengaruhi pembentukan sikap dan perilaku. Seorang guru yang mempunyai persepsi yang salah terhadap anak didiknya, maka akan menumbuhkan atau menghasilkan sikap dan perilaku yang tidak baik. Hal ini tentu saja bisa membuat kondisi belajar mengajar tidak menyenangkan.

Sedangkan persepsi yang positip seorang guru terhadap anak didiknya sangat dibutuhkan dalam kegiatan belajar mengajar. Guru yang mengerti kondisi anak didik akan bersikap bijaksana sehingga dapat membuat perasaan anak menjadi lebih percaya diri. Dengan persepsi yang baik terhadap anak berkesulitan belajar diharapkan akan dapat menumbuhkan dan membentuk sikap yang baik pula dan juga dalam perilaku dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan

Predikat sebagai anak berkesulitan belajar merupakan suatu hal yang sangat tidak diinginkan oleh setiap anak. Mereka tentu saja ingin hidup seperti anak lainnya bisa dengan mudah mengerjakan apa saja yang mereka inginkan. Sebutan anak berkesulitan belajar akan berdampak negatif bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sosial. Perasaan tidak berguna bagi orang lain, rendah diri, tidak percaya diri, dan bersalah yang menyebabkan mereka merasakan adanya jarak dengan lingkungan. Salah satu dampak serius yang mereka alami adalah tekanan batin sehingga menimbulkan perasaan yang merusak diri mereka sendiri. Bila mereka kurang mendapat perhatian dan penanganan secara tepat, maka mereka akan semakin terperosok dan jarak yang memisahkan mereka dengan lingkungan sosial akan semakin bertambah lebar.

Perlunya perhatian dan penanganan khusus terhadap anak yang berkesulitan belajar semakin terasa penting, karena ternyata jumlah mereka cukup besar. Prevalensi anak berkesulitan belajar menurut beberapa literatur rentangannya berkisar 1% - 30 %. Di negara-negara industri seperti Amerika dan Eropa Barat diperkirakan mereka mencapai 15% dari populasi anak-anak SD

(5)

(Wiyono, 1999 : 27). Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, prevalensi anak berkesulitan belajar diperkirakan lebih besar.

Dengan adanya fenomena tersebut, maka upaya yang penting dilakukan terhadap anak berkesulitan belajar di sekolah umum khususnya sekolah dasar adalah pemberian perhatian dan perlakuan yang lebih khusus dari para guru sekolah dasar. Atas dasar latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : “STUDI TENTANG HUBUNGAN PERSEPSI DAN SIKAP GURU DENGAN PERILAKU GURU DALAM MENANGANI ANAK BERKESULITAN BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN JEBRES SURAKARTA TAHUN 2003”.

B. Identifikasi Masalah

Bertolak dari latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka permasalahan yang timbul dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Istilah sekaligus makna dari kesulitan belajar belum banyak dikenal oleh masyarakat termasuk guru sehingga dapat menimbulkan perbedaan persepsi. 2. Persepsi yang negatif kepada anak berkesulitan belajar dapat menumbuhkan

dan membentuk sikap serta perilaku yang negatif pula. Hal tersebut dapat mempengaruhi proses kegiatan belajar mengajar dan prestasi belajar peserta didik.

3. Pemberian layanan terhadap anak berkesulitan belajar di sekolah-sekolah umum belum optimal.

C. Pembatasan Masalah

Untuk mempertegas ruang lingkup penelitian agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan dan untuk mempertegas inti permasalahan, maka di dalam suatu penelitian perlu adanya pembatasan masalah. Adapun dalam penelitian ini penulis membatasi masalah sebagai berikut :

1. Persepsi dan sikap guru terhadap perilaku dalam menangani anak berkesulitan belajar siswa sekolah dasar di Kecamatan Jebres Surakarta

(6)

2. Persepsi yang penulis maksud adalah tanggapan atau respon terhadap sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan siswa berkesulitan belajar yang tergambar dalam skor tertentu.

3. Sikap yang penulis maksud adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan guru dengan adanya anak berkesulitan belajar, apakah mendukung/ memihak ataukah sebaliknya melalui kuesioner khusus yang disiapkan untuk itu.

4. Perilaku yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelayanan yang diberikan oleh guru terhadap anak berkesulitan belajar baik yang dilaksanakan di dalam kelas maupun di luar kelas.

D. Perumusan Masalah

Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang penulis angkat dan untuk mempermudah pembahasan agar lebih terarah dan mendalam sesuai sasaran yang ditentukan, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Adakah hubungan antara persepsi guru dengan perilaku guru dalam menangani Anak Berkesulitan Belajar ?

2. Adakah hubungan antara sikap guru dengan perilaku guru dalam menangani Anak Berkesulitan Belajar ?

3. Adakah hubungan antara persepsi dan sikap guru dengan perilku guru dalam menangani Anak Berkesulitan Belajar ?

E. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui ada dan tidaknya hubungan antara persepsi guru dengan perilaku dalam menangani Anak Berkesulitan Belajar.

2. Untuk mengetahui ada dan tidaknya hubungan antara sikap guru dengan perilaku guru dalam menangani Anak Berkesulitan Belajar.

(7)

3. Untuk mengetahui ada dan tidaknya hubungan antara persepsi dan sikap guru terhadap perilaku guru dalam menangani Anak Berkesulitan Belajar.

F. Manfaat Penelitian

Selain mempunyai suatu tujuan, suatu penelitian juga diharapkan mempunyai manfaat, baik manfaat praktis maupun manfaat teoritis. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Praktis

a. Dapat mengetahui hubungan antara persepsi guru dengan perilaku dalam menangani Anak Berkesulitan Belajar.

b. Dapat mengetahui hubungan antara sikap guru dengan perilaku dalam menangani Anak Berkesulitan Belajar.

c. Dapat mengetahui hubungan antara persepsi dan sikap guru terhadap perilaku dalam menangani Anak Berkesulitan Belajar.

2. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan bagi penelitian sejenis. b. Menambah khasanah kepustakaan, khususnya tentang persepsi, sikap dan

perilaku guru terhadap anak berkesulitan belajar siswa siswa sekolah dasar. BAB II LANDASAN TEORI

Tinjauan Pustaka

Persepsi Pengertian Persepsi

(8)

Sejak individu dilahirkan, maka sejak itu pula individu secara langsung berhubungan dengan dunia luarnya. Mulai saat itu individu secara langsung menerima stimulus atau rangsangan dari luar di samping dari dalam diri sendiri. Individu mengenali dunia luarnya dengan menggunakan alat inderanya. Bagaimana individu dapat mengenali dirinya sendiri maupun dunia sekitarnya, hal ini berkaitan dengan persepsi.

Menurut Daviddoff sebagaimana dikutip Bimo Walgito (1997 : 53) “Persepsi adalah stimulus yang diindera oleh individu, diorganisasikan, kemudian diintepretasikan, sehingga individu menyadari, mengerti apa yang diindera itu”.

Sedangkan Slameto (1995 : 102) berpendapat bahwa :

Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia. Melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya yaitu indera penglihat, pendengar, peraba, perasa dan pencium.

Persepsi adalah proses kognitif yang dipergunakan oleh seseorang untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya. (James L. Gibson, John M. Ivancevich, James H. Donnelly, 1995 : 56 )

Sedangkan Dimyati Mahmud (1990 : 34) berpendapat bahwa persepsi adalah “Menafsirkan stimulus yang telah ada di dalam otak”

Kartini Kartono (1990 : 61) mendefinisikan bahwa persepsi adalah “Pengamatan secara global, belum disertai kesadaran, sedang subjek dan objeknya belum terbedakan satu dari lainnya (baru ada proses “memilih” tanggapan)”.

Persepsi adalah penelitian bagaimana kita mengintegrasikan sensasi ke dalam percepts objek dan bagaimana kita selanjutnya menggunakan percepts itu untuk mengenali dunia (Percepts adalah hasil dari proses perseptual). (Rita L. Atkinson, Richard L. Atkinson, Edward E. Smith, Daryl J. Bem, Edisi Kedua Jilid Satu)

Yusmar Yusuf, (1991 : 108) mengemukakan bahwa “Persepsi merupakan “Pemaknaan hasil pengamatan”, termasuk persepsi tentang lingkungan yang

(9)

menyeluruh, lingkungan dimana individu berada dan dibesarkan, dan kondisi merupakan stimuli untuk suatu persepsi”.

Miftah Thoha (1983 : 138) berpendapat bahwa “Pada hakekatnya persepsi adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman”.

Persepsi atau tanggapan adalah proses mental yang terjadi pada diri manusia bagaimana kita melihat, mendengar, merasakan, memberi, serta meraba (kerja indera) di sekitar kita. (Tri Rusmi Widayatun, 1999 : 110).

Sedangkan William James seperti yang dikutip oleh Tri Rusmi Widayatun (1999 : 110) mengemukakan bahwa “Persepsi adalah suatu pengalaman yang terbentuk berupa data-data yang didapat melalui indera, hasil pengolahan otot dan ingatan”.

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. (Jalaluddin Rakhmat, 2001 : 51).

Sondang P. Siagian (1989 : 100) mengemukakan bahwa “Persepsi dapat dipahami dengan melihatnya sebagai suatu proses melalui mana seseorang mengorganisasikan dan menginterpretasikan kesan-kesan sensorinya dalam usahanya memberikan sesuatu makna tertentu kepada lingkungannya”.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses yang memungkinkan seseorang sadar dan mengerti akan objek atau peristiwa di sekelilingnya sehingga ia mampu mengkategorisasikan atau membedakan antara objek yang satu dengan yang lain berdasarkan rangsang yang diterima.

Unsur-unsur Persepsi

Persepsi merupakan keadaan yang integrated dari individu terhadap stimulus yang diterimanya. Karena persepsi merupakan keadaan yang integrated dari individu yang bersangkutan, maka apa yang ada dalam diri individu, pengalaman-pengalaman individu akan ikut aktif dalam persepsi. Agar individu

(10)

menyadari dapat mengadakan persepsi maka ada beberapa syarat yang perlu diketahui, yaitu :

Adanya objek yang dipersepsi

Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar langsung mengenai alat indera (reseptor), dapat datang dari dalam yang langsung mengenai saraf penerima (sensoris), yang bekerja sebagai reseptor.

Adanya alat indera atau reseptor

Yaitu merupakan alat untuk menerima stimulus. Di samping itu harus ada pula saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan saraf yaitu otak sebagai pusat kesadaran dan sebagai alat untuk mengadakan respons yang diperlukan saraf motoris. Adanya perhatian

Adanya perhatian merupakan langkah pertama sebagai persiapan dalam mengadakan persepsi, tanpa perhatian tidak terjadi persepsi.

Prinsip-prinsip Dasar Persepsi

Prinsip itu relatif bukannya absolut

Manusia bukanlah instrumen ilmiah yang mampu menyerap segala sesuatu persis seperti keadaan sebenarnya. Dalam hubungannya dengan kerelatifan persepsi ini, dampak pertama dari suatu perubahan rangsangan dirasakan lebih besar daripada rangsangan yang datang kemudian.

Persepsi itu selektif

Seseorang hanya memperhatikan beberapa rangsangan saja dari banyak rangsangan yang ada di sekelilingnya pada saat-saat tertentu.

Persepsi itu mempunyai tatanan

Orang menerima rangsangan tidak dengan cara sembarangan. Ia akan menerimanya dalam bentuk hubungan-hubungan/ kelompok-kelompok. Jika rangsangan yang datang tidak lengkap, ia akan melengkapinya sendiri sehingga hubungan itu menjadi jelas.

(11)

Persepsi dipengaruhi oleh harapan dan kesiapan (penerima rangsangan)

Harapan dan kesiapan penerima pesan akan menentukan pesan mana yang akan dipilih untuk diterima, selanjutnya bagaimana pesan yang dipilih itu akan ditata dan demikian pula bagaimana pesan tersebut akan diinterpretasi. Persepsi seseorang/ kelompok dapat jauh berbeda dengan persepsi orang/

kelompok lain sekalipun situasinya sama.

Perbedaan persepsi ini dapat ditelusuri pada adanya perbedaan-perbedaan individual, perbedaan-perbedaan dalam kepribadian, perbedaan dalam sikap/ perbedaan dalam motivasi. (Slameto, 1995 : 103).

Proses Terjadinya Persepsi

Bimo Walgito (1997 : 54) dalam bukunya “Pengantar Psikologi Umum” mengemukakan bahwa :

Proses terjadinya persepsi adalah objek minimbulkan stimulus dan stimulus mengenai alat indera atau reseptor. Proses ini dinamakan proses kealaman (fisik). Stimulus yang diterima oleh alat indera dilanjutkan oleh syaraf sensoris ke otak. Proses ini dinamakan proses fisiologis. Kemudian terjadilah suatu proses di otak, sehingga individu dapat menyadari apa yang ia terima dengan reseptor itu sebagai suatu akibat dari stimulus yang diterimanya. Proses yang terjadi di dalam otak atau pusat kesadaran itulah yang dinamakan proses psikologis. Dengan demikian taraf terakhir dari proses persepsi adalah individu yang menyadari tentang apa yang diterima melalui alat indera atau reseptor.

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa proses terjadinya persepsi melalui tiga tahapan, yaitu : tahap pertama, yang dinamakan tahap fisik atau

kealaman, tahap kedua, yang disebut sebagai tahap fisiologis, dan tahap ketiga yaitu tahap psikologis yang merupakan proses terakhir yang

menyadari apa yang individu terima melalui otak.

Sedangkan Tri Rusmi Widayatun (1999 : 111) mengemukakan bahwa : Proses terjadinya persepsi karena adanya objek/ stimulus yang merangsang untuk ditangkap oleh panca indera (objek tersebut menjadi perhatian panca indera), stimulus/ objek perhatian tadi dibawa ke otak. Dari otak terjadi adanya “Kesan” atau jawaban (response) adanya stimulus, berupa kesan atau response dibalikan ke indra kembali berupa “Tanggapan” atau persepsi atau hasil kerja indra berupa pengalaman hasil pengolahan otak.

(12)

Karakteristik Persepsi Sosial Hubungan langsung.

Antara individu dan objek terdapat hubungan langsung melalui indera penglihatan tanpa indera pendengaran ditutup dan tidak ada gangguan terdapatnya interpretasi dan pikiran.

Memiliki struktur

Manusia mempersepsikan objek sebagai suatu kesatuan yang memiliki organisasi tersendiri dan melihat objek ini sebagai keseluruhan (bukan melihat objek sebagai gabungan dari elemen-elemen yang lepas).

Memiliki stabilitas

Manusia mempersepsikan objek dengan posisi yang menetap sehingga objek yang dipersepsikan selalu sama dan stabil dalam posisinya.

Memiliki arti

Objek yang dilihat mempunyai arti bagi pengamat berdasarkan pengalaman. Selektif

Dalam melihat objek tersebut sifatnya selektif berarti individu menaruh perhatian secara aktif. (Mar’at, 1981 : 33).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Persepsi :

Miftah Thoha (1983 : 143) berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan persepsi seseorang, antara lain :

Psikologi

Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di dalam dunia sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologi. Sebagai contoh, terbenamnya matahari diwaktu senja yang indah temaram, akan dirasakan sebagai bayang-bayang yang kelabu bagi seseorang yang buta warna.

Objek Stimulasi

Sensoris Deproses Indra (input)

Output Indra di otak (pusat syaraf)

Berupa persepsi Rangsangan Pengalaman/ respon

(13)

Famili

Pengaruh yang paling besar terhadap anak-anak adalah familinya. Orang tua yang telah mengembangkan suatu cara yang khusus di dalam memahami dan melihat kenyataan di dunia ini, banyak sikap dan persepsi-persepsi mereka yang diturunkan kepada anak-anaknya. Oleh sebab itu tidak ayal lagi kalau orang tuanya memilih suatu partai maka anak-anaknya juga akan memilih partai yang sama.

Kebudayaan

Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah satu faktor yang kuat di dalam mempengaruhi sikap, nilai dan cara seseorang memandang dan memahami keadaan di dunia ini.

Sedangkan menurut Sondang P. Siagian (1989 : 100), persepsi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu :

1) Orang yang bersangkutan sendiri

Apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan interpretasi tentang apa yang dilihatnya itu, ia dipengaruhi oleh karakteristik individual yang turut berpengaruh seperti sikap, motif, kepentingan, minat, pengalaman dan harapannya.

2) Sasaran persepsi tersebut

Sasaran itu mungkin berupa benda, orang atau peristiwa. Sifat-sifat sasaran itu biasanya berpengaruh terhadap persepsi orang yang melihatnya. Misalnya seseorang yang suka berbicara banyak akan lebih menarik perhatian meskipun tidak selalu dalam arti positif.

3) Faktor situasi

Persepsi harus dilihat secara kontekstual yang berarti dalam situasi mana persepsi itu timbul perlu pula mendapat perhatian. Situasi merupakan faktor yang turut berperan dalam penumbuhan persepsi seseorang. Misalnya, kehadiran orang berpakaian renang di tepian pantai karena persepsi orang tentang orang yang berada di tepi pantai adalah untuk berenang.

(14)

Sikap Pengertian Sikap

Menurut Thurstone yang dikutip oleh Daniel J. Mueller (1997 : 4) “Sikap adalah pengaruh atau penolakan, penilaian suka atau tidak suka atau kepositifan atau kenegatifan terhadap suatu objek psikologis”. Berdasarkan pengertian tersebut, sikap merupakan derajat afek positif/ afek negatif yang dikaitkan dengan suatu objek psikologis.

Berkowitz, sebagaimana dikutip oleh Saifuddin Azwar (1988 : 4) mengemukakan bahwa “Sikap merupakan suatu bentuk evaluatif atau reaksi perasaan. Sikap terhadap objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorabel) ataupun perasaan tidak mendukung (tak favorabel) objek tersebut”.

Sedangkan W.S. Winkel (1991 : 77) berpendapat bahwa “Sikap adalah menerima atau menolak suatu objek berdasarkan penilaian terhadap objek itu, berguna/ berharga baginya atau tidak”.

Menurut Petrus Sardjonoprijo (1982 : 147) “Sikap adalah disposisi perasaan yang tertuju kepada objek tertentu”.

W.J Thomas, sebagaimana dikutip oleh Abu Ahmadi (1991 : 162), memberi batasan “Sikap adalah suatu kesadaran individu yang menentukan perbuatan-perbuatan yang nyata ataupun yang mungkin akan terjadi di dalam kegiatan-kegiatan sosial”.

Menurut Newcomb, sebagaimana dikutip oleh Mar’at (1981 : 11) “Sikap merupakan satu kesatuan kognisi yang mempunyai valensi dan akhirnya berintegrasi ke dalam pola yang lebih luas”.

Gerungan (1996 : 149), berpendapat bahwa :

Pengertian attitude itu dapat kita terjemahkan dengan sikap objek tertentu, yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai oleh kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan objek tadi itu. Jadi attitude tepat diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan beraksi terhadap suatu hal.

Sedangkan M. Ngalim Purwanto (1990 : 141), berpendapat bahwa : Sikap atau dalam bahasa Inggris disebut attitude adalah suatu cara bereaksi terhadap suatu perangsang. Suatu kecendrungan untuk bereaksi

(15)

dengan cara tertentu terhadap sesuatu perangsang atau situasi yang dihadapi. Bagaimana reaksi seseorang jika ia terkena sesuatu rangsangan baik mengenai orang, benda-benda ataupun situasi-situasi yang mengenai dirinya.

Menurut Bruno seperti yang dikutip oleh Muhibbin Syah (1995 : 120) “Sikap (attitude) adalah kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu”.

Mar’at, (1984 : 12) berpendapat bahwa “Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek ini di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut”.

Sedangkan Krech dan Cruthfield seperti yang dikutip oleh David O. Sears, Jonatahan L. Freedman, L. Anne Peplau (1999 : 137) mengemukakan bahwa “Sikap sebagai organisasi yang bersifat menetap dari proses motivasional, emosional, perceptual, dan kognitif mengenai beberapa aspek dunia individu”.

Sikap adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan, yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya (Tri Rusmi Widayatun, 1999 : 218).

Zimbardo dan Ebbesen dalam Abu Ahmadi (1991: 163) mendefinisikan bahwa “Sikap adalah suatu predisposisi (keadaan mudah terpengaruh) terhadap seseorang, ide atau objek yang berisi komponen-komponen cognitie, affective dan behaviour”.

Louis Thurstone mendefinisikan sikap sebagai jumlah seluruh kecenderungan dan perasaan, kecurigaan, dan prasangka, prapemahaman yang mendetail, ide-ide, rasa takut, ancaman dan keyakinan tentang sesuatu hal yang khusus. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996 : 7)

Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa sikap adalah predisposisi yang dipelajari yang mempengaruhi tingkah laku, berubah dalam hal intensitasnya, biasanya konsisten sepanjang waktu dalam situasi yang sama dan komposisinya hampir selalu kompleks terhadap orang maupun barang.

(16)

Komponen-komponen Sikap

Dilihat dari strukturnya, sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang yaitu :

Komponen kognitif

Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai objek sikap. Kepercayaan datang dari apa yang telah kita lihat atau apakah yang telah kita ketahui dan juga dari pengalaman pribadi. Sekali kepercayaan itu terbentuk, maka ia akan menjadi dasar pengetahuan mengenai apa yang dapat diharapkan dan mengenai apa yang tidak diharapkan dari objek tersebut. Tentu saja kepercayaan sebagai komponen kognitif tidak selalu akurat, kadang-kadang kepercayaan itu terbentuk justru dikarenakan tidak adanya informasi yang tepat mengenai objek yang dihadapi.

Komponen afektif

Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Pada umumnya reaksi emosional yang merupakan komponen afektif ini banyak ditentukan oleh kepercayaan atau apa yang kita percayai sebagai benar bagi objek tersebut.

Komponen konatif (perilaku)

Komponen konatif atau perilaku dalam sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Asumsi dasar adalah bahwa kepercayaan dan perasaan mempengaruhi perilaku karena itu adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang akan cenderung dicerminkan dalam bentuk perilaku terhadap objek. (Saifuddin Azwar, 1988 : 24).

Sedangkan Mar’at (1984 :13) menerangkan bahwa komponen sikap adalah :

1. Komponen Kognisi yang hubungannya dengan beliefs, ide dan konsep; 2. Komponen Afeksi yang menyangkut kehidupan emosional seseorang; 3. Komponen Konasi yang merupakan kecenderungan bertingkah laku.

(17)

Karakteristik dan Ciri-ciri Sikap

Suatu sikap mempunyai karakteristik dan ciri-ciri tertentu. Adapun karakteristik tersebut adalah :

Suatu sikap mempunyai arah

Artinya sikap akan menunjukkan apakah seseorang menyetujui atau tidak menyetujui, apakah mendukung atau tidak mendukung, apakah memihak atau tidak memihak terhadap suatu objek sikap.

Suatu sikap mempunyai intensitas

Intensitas atau kekuatan sikap pada setiap orang belum tentu sama. Dua orang yang sama-sama mempunyai sikap positif terhadap sesuatu mungkin tidak sama intensitasnya, dalam arti yang satu bersikap positif tapi yang lain bersikap lebih positif dari pada yang lainnya.

Suatu sikap mempunyai keluasan

Keluasan sikap menunjuk kepada luas tidaknya cakupan aspek objek sikap yang disetujui atau tidak disetujui oleh seseorang. Seseorang dapat mempunyai sikap favorabel terhadap objek sikap secara menyeluruh.

Sikap mempunyai konsistensi

Konsistensi sikap ditunjukkan oleh kesesuaian antara pernyataan sikap yng dikemukakan oleh subjek dengan responnya terhadapp objek sikap. Konsistensi sikap juga ditunjukkan oleh tidak adanya kebimbangan dalam bersikap.

Suatu sikap mempunyai spontanitas

Yaitu sejauh mana kesiapan subjek untuk menyatakan sikapnya secara spontan. Suatu sikap dikatakan mempunyai spontanitas yang tinggi apabila sikap dinyatakan tanpa perlu mengadakan pengungkapan atau desakan agar subjek menyertakan sikapnya. (Abu Ahmadi, 1991 : 176). Menurut Saifuddin Azwar (1995 : 87) sikap mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

(18)

Sikap seseorang tidak dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk dan dipelajari sepanjang perkembangan orang tersebut dalam hubungannya dengan objek. Sikap berbeda dengan sifat manusia yang berupa sifat biogenetis yang dibawa sejak lahir, seperti lapar, haus, kebutuhan istirahat serta penggerak kegiatan manusia yang menjadi pembawaan baginya sejak ia dilahirkan.

Sikap dapat berubah-ubah

Perubahan sikap seseorang dikarenakan sifat tersebut dapat dipelajari. Dengan demikian salah satu cara atau faktor pembentukan sikap adalah melalui pendidikan, baik pendidikan dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.

Sikap itu tidak berdiri sendiri

Sikap adalah selalu ada hubungan antara individu dan objek. Berarti sikap tidak dapat berdiri sendiri tetapi senantiasa mengandung relasi tertentu terhadap suatu objek.Objek berupa suatu hal tertentu, tetapi dapat juga berupa perkumpulan dari hal-hal tersebut

4) Sikap mempunyai segi motivasi dan segi perasaan

Sikap atau ciri inilah yang membedakan sikap dengan kecakapan ataupun pengetahuan. Pengetahuan suatu objek tidak sama dengan sikap terhadap objek. Pengetahuan saja belum menjadi penggerak seperti halnya sikap.

Sedangkan Abu Ahmadi (1991 : 178) mengemukakan bahwa ciri-ciri sikap adalah :

1) Sikap itu dipelajari (learnability)

Sikap merupakan hasil dari belajar sehingga perlu dibedakan dengan motif-motif psikologi yang lain. Lapar dan haus adalah contoh dari motif psikologis yang tidak dipelajari, sedangkan memilih jenis makanan adalah sikap.

(19)

2) Memiliki kestabilan (stability)

Sikap berawal dari dipelajari, kemudian melalui pengalaman sehingga sikap menjadi lebih kuat, tetap dan stabil.

3) Personal – societal significance

Sikap tidak berdiri sendiri akan tetapi melibatkan pihak lain misalnya antara seseorang dengan orang lain, antara seseorang dengan barang atau situasi.

4) Berisi kognisi dan afeksi

Komponen kognisi dari sikap adalah informasi yang faktual atau nyata misalnya sesuatu tersebut menyenangkan atau tidak menyenangkan. 5) Aproach – avoidance directionality

Jika seseorang bersikap favorabel kepada objek, maka dia akan mendekati dan sebaliknya apabila orang tersebut tak favorabel maka dia akan menghindarinya.

Onong Uchjana Effendy (1989 : 124) mengemukakan bahwa ciri-ciri sikap adalah :

1. Sikap bukan merupakan pembawaan manusia sejak dilahirkan, melainkan terbentuk selama perkembangannya, sebagai akibat hubungannya dengan objek-objek di lingkungannya.

Sikap tersebut berbeda dengan sifat motif biogenetis yang merupakan pembawaan sejak manusia dilahirkan.

2. Sikap dapat berubah sebagai hasil interaksi antara seseorang dengan orang lain. Karena itu, sikap adalah hasil pelajaran dari lingkungan dan dapat dipelajari oleh lingkungan.

3. Sikap tidak berdiri sendiri, melainkan senantiasa mengandung relasi dengan suatu objek. Objek ini tidak hanya satu jenis, melainkan bermacam-macam sesuai dengan banyaknya objek yang menjadi perhatian orang yang bersangkutan.

4. Sikap bersangkutan dengan dimensi waktu, yang berarti sikap hanya cocok untuk situasi pada waktu tertentu, yang belum tentu sesuai dengan waktu lain. Karena itu sikap dapat berubah menurut situasi. 5. Sikap tidak menghilang walupun kebutuhan sudah dipenuhi. Hal ini

berbeda dengan motif boigenetis seperti motif lapar, motif dahaga, dan sebagainya.

6. Sikap mengandung faktor-faktor motivasi dan emosi. Sifat inilah yang membedakan sikap dengan pengetahuannya yang terdapat pada seseorang.

(20)

Fungsi Sikap

Menurut Samsi Haryanto (1993 : 21), sikap mempunyai fungsi sebagai berikut :

Fungsi pengetahuan (a knowledge function)

Sebagai fungsi pengetahuan sikap membantu mengorganisasikan dan menggolongkan dunia dalam suatu ragam atau bentuk yang penuh arti dan konsisten, mengandung tata, kejelasan, dan stabilitas dalam kerangka referensi seseorang.

Fungsi penyesuaian diri (adjustive function)

Sebagai fungsi penyesuaian diri sikap dapat menjembatani hubungan antar individu.

Fungsi manfaat (utilitarian function)

Sebagai fungsi manfaat sikap juga membantu memaksimalkan ganjaran atau penghargaan dan menimbulkan hukuman dari lingkungan.

Fungsi pengekspresian nilai (value ex-pressive function)

Sebagai fungsi pengekspresian nilai, sikap dapat mengekspresikan nilai yang penting bagi konsep diri seseorang.

Sedangkan menurut Theodore M. Newcomb, Ralph H.Turner, Philip E. Converse (1978 : 66) fungsi dari sikap adalah :

1) Fungsi penyesuaian

Secara esensiil fungsi ini merupakan pengakuan atas kenyataan bahwa orang-orang berusaha untuk menaikkan sebanyak mungkin hadiah-hadiah di lingkungan luar mereka dan mengurangi sampai sekecil mungkin hukuman-hukuman. Sikap-sikap yang diperoleh guna keperluan fungsi keperluan merupakan alat untuk mencapai tujuan yang diinginkan atau menghindarkan tujuan yang tidak diinginkan maupun berupa asosiasi-asosiasi afektif yang didasarkan atas pengalaman-pengalaman dalam mencapai kepuasan-kepuasan motif.

(21)

Mekanisme-mekanisme yang dipakai individu untuk melindungi egonya terhadap impuls-impulsnya yang tidak dapat diterima dan terhadap pengetahuan tentang kekuatan-kekuatan yang mengancam dari luar dan cara-cara yang dipakainya untuk mengurangi kecemasan-kecemasannya yang ditimbulkan oleh persoalan-persoalan yang demikian, dikenal sebagai mekanisme-mekanisme pertahanan ego. 3) Fungsi menyatakan nilai

Dimana banyak sikap-sikap mempunyai fungsi untuk menghalangi subjek mengungkapkan sifat yang sebenarnya pada diri sendiri dan kepada orang lain, sikap-sikap lain mempunyai fungsi memberikan ekspresi yang positif kepada nilai-nilai sentralnya dan kepada tipe orang sebagai mana ia menanggapi dirinya.

4) Fungsi pengetahuan

Individu-individu tidak saja memperoleh kepercayaan-kepercayaan guna kepentingan memuaskan pelbagai kebutuhan tertentu, mereka juga mencari pelbagai kebutuhan tertentu, mereka juga mencari pengetahuan untuk memberi makna kepada hal-hal yang kalau tidak, akan merupakan suatu alam semesta yang tidak terorganisir dan kacau. Tri Rusmi Widayatun (1999 : 223) berpendapat bahwa fungsi sikap adalah :

1. sebagai instrumental 2. pertahanan diri

3. penerima objek, ilmu, serta memberi arti 4. nilai ekspresif

5. social adjustment 6. eksternalisasi

7. aktifitas adaptif dalam memperoleh informasi 8. reflek kehidupan

Sedangkan menurut Abu Ahmadi (1991 : 179) fungsi (tugas) sikap dapat dibagi menjadi empat golongan, yaitu :

1) Sikap berfungsi sebagai alat untuk menyesuaikan diri.

Bahwa sikap adalah sesuatu yang bersifat comminicabel, artinya sesuatu yang menjalar, sehingga mudah pula menjadi milik bersama. 2) Sikap berfungsi sebagai alat pengatur tingkah laku.

(22)

Kita tahu bahwa tingkah laku anak kecil dan binatang pada umumnya merupakan aksi-aksi yang spontan terhadap sekitarnya.

3) Sikap berfungsi sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman.

Manusia di dalam menerima pengalaman-pengalaman dari dunia luar sikapnya tidak pasif, tetapi diterima secara aktif, artinya semua pengalaman yang berasal dari dunia luar itu tidak semuanya dilayani oleh manusia, tetapi manusia memilih mana-mana yang perlu dan mana-mana yang tidak perlu dilayanai. Jadi semua pengalaman ini diberi penilaian, lalu dipilih.

4) Sikap berfungsi sebagai pernyataan kepribadian.

Sikap sering mencerminkan pribadi seseorang, karena sikap tidak pernah terpisah dari pribadi yang mendukungnya. Oleh karena itu dengan melihat sikap-sikap pada objek-objek tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi orang tersebut.

Sedangkan Smith, Bruner dan White sebagaimana yang dikutip oleh Mar’at (1984 : 49) mengemukakan bahwa fungsi sikap adalah :

1. Social adjustment yang diarahkan pada social relationship (penyesuaian diri pada lingkungan).

2. Externalization, reaksi-reaksi yang menuju pada objek-objek luar. 3. Object appraisal, aktivitas adaptif dalam memperoleh informasi dari

hari ke hari.

4. Quality of expression – reflect the deeperlying patern of his or her life (kedalaman refleksi kehidupan)

Pembentukan dan Perubahan Sikap

Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan sikap adalah :

(23)

Untuk dapat mempunyai tanggapan daan penghayatan seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis. Tidak adanya pengalaman sama sekali dengan sesuatu objek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. Agar dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi harus melalui kesan yang kuat. Karena itu sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.

Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Pada masa remaja dan anak-anak, orang tua biasanya menjadi figur yang paling berarti bagi anak. Namun biasanya apabila dibandingkan dengan pengaruh teman sebaya, maka pengaruh sikap orang tua jarang menang. Bila terjadi pertentangan antara sikap orang tua dan sikap orang sebaya dalam kelompok, maka anak cenderung untuk mengambil sikap yang sesuai dengan sikap kelompok.

Pengaruh kebudayaan

Kebudaayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap terhadap berbagai masalah. Hanya kepribadian individu yang kuat dapaat memudarkan dominasi kebudayaan dalam pembentukan sikap.

Media masa

Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu. Dalam pemberitaan di surat kabar maupun di radio atau media komunikasi lainnya, berita-berita faktual yang seharusnya disampaikan secara objektif seringkali dimasuki unsur subjektifitas. Hal

(24)

ini sering kali berpengaruh terhadap sikap pembaca atau pendengarnya sehingga dengan hanya menerima berita yang sudah dimasuki unsur subjektif itu terbentuklah sikap tertentu.

Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap. Hal tersebut dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Apabila terdapat suatu hal yang bersifat kontroversial, pada umumnya orang akan mencari informasi lain untuk memperkuat posisi sikapnya atau mungkin juga orang tersebut tidak mengambil sikap memihak. Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan maka tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperan dalam pembentukan sikap individu.

Pengaruh faktor emosional

Suatu bentuk sikap kadang-kadang merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang. Akan tetapi dapat pula hal tersebut merupakan sikap yang lebih tahan lama. (Saifuddin Azwar, 1995 : 30).

Sedangkan Tri Rusmi Widayatun (1999 : 220) berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sikap adalah :

1) Kepribadian 2) Inteligensia 3) Minat

Menurut Slameto (1995 : 189), pembentukan sikap terjadi sebagai berikut :

1) Melalui pengalaman yang berulang-ulang, atau dapat pula melalui suatu pengalaman yang disertai perasaan yang mendalam (pengalaman traumatik).

(25)

2) Melalui imitasi

Peniruan dapat terjadi tanpa disengaja, dapat pula dengan sengaja. 3) Melalui sugesti

Seseorang membentuk suatu sikap terhadap objek tanpa suatu alasan dan pemikiran yang jelas, tapi semata-mata karena pengaruh yang datang dari seseorang/sesuatu yang mempunyai wibawa dalam pandangannya.

4) Melalui identifikasi

Seseorang meniru orang lain atau suatu organisasi atau badan tertentu didasari suatu keterikatan emosional sifatnya meniru dalam hal ini lebih banyak dalam arti berusaha menyamai.

Gerungan (1996 : 155) berpendapat bahwa “Pembentukan attitude tidak terjadi dengan sendirinya atau dengan sembarangan saja. Pembentukannya senantiasa berlangsung dalam interaksi manusia, dan berkenaan dengan objek tertentu”.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap antara lain : 1) Faktor intern

Yang dimaksud dengan faktor intern adalah faktor dari dalam diri pribadi manusia itu yakni selektifitasnya sendiri, daya pilihnya sendiri, atau minat perhatiannya untuk menerima dan mengolah pengaruh-pengaruh yang datang dari luar dirinya itu.

2) Faktor ekstern

Faktor ekstern adalah hasil buah kebudayaan manusia yang sampai kepadanya melalui alat-alat komunikasi seperti surat kabar, radio, televisi, buku, risalah, dan lain-lain.

Menurut Kelman, sebagaimana diuraikan oleh Saifudin Azwar (1984 : 64), ada tiga hal yang dapat mempengaruhi perubahan sikap yaitu :

1) Kesediaan (compliance)

Terjadinya proses yang disebut dengan kesediaan adalah ketika individu bersedia menerima pengaruh dari orang lain atau dari kelompok lain

(26)

dikarenakan ia berharap untuk memperoleh reaksi atau tanggapan positif dari pihak lain itu.

2) Identifikasi (identification)

Proses identifikasi terjadi apabila individu meniru perilaku atau sikap seseorang atau sikap kelompok lain dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai hubungan yang menyenangkan antara dia dengan pihak lain tersebut.

3) Internalisasi (internalization)

Internalisasi terjadi apabila individu menerima pengaruh dan bersedia bersikap menuruti pengaruh itu dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa yang ia percayai dan sesuai dengan sistem nilai yang dianutnya.

Sedangkan Slameto (1995 : 190) berpendapat bahwa hal-hal yang mempengaruhi perubahan sikap adalah :

1) Adanya dukungan dari lingkungan terhadap sikap yang bersangkutan 2) Adanya peranan tertentu dari suatu sikap dalam kepribadian seseorang 3) Bekerjanya asas selektivitas

4) Bekerjanya prinsip-prinsip mempertahankan keseimbangan

5) Adanya kecenderungan seseorang untuk menghindari kontak dengan dasar yang bertentangan dengan sikap-sikapnya yang telah ada

6) Adanya sikap yang tidak kaku pada sementara orang untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya sendiri.

Adapun mengenai faktor-faktor yang menunjang dan menghambat perubahan sikap menurut Mar’at (1984 : 28) adalah :

1. Faktor-faktor yang menunjang :

a. dasar utama terjadinya perubahan sikap adalah adanya imbalan dan hukuman, dimana individu mengasosiasikan reaksinya yang disertai dengan imbalan dan hukuman;

b. stimulus mengandung harapan bagi individu sehingga dapat terjadi perubahan dalam sikap;

(27)

c. stimulus mengandung prasangka bagi individu yang mengubah sikap semula.

2. Faktor-faktor yang menghambat :

a. stimulus bersifat indeferent, sehingga faktor perhatian kurang berperan terhadap stimulus yang diberikan;

b. tidak memberikan harapan untuk masa depan (arti psikologik); c. adanya penolakan terhadap stimulus tersebut, sehingga tidak ada

pengertian terhadap stimulus tersebut (menentang).

Sedangkan menurut Saifudin Azwar (1995 : 72) perubahan sikap disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal atau faktor-faktor dari luar yaitu :

1) Komunikator sebagai sumber komunikasi

Penelitian menunjukkan bahwa efektifitas komunikator dalam menyampaikan pesannya (dalam hal ini pesan yang bertujuan untuk pengubahan sikap) akan tergantung pada beberapa hal antara lain kredibilitas komunikator, daya tarik, dan kekuatan komunikator itu. 2) Efektifitas komunikasi

Efektifitas komunikasi dan pengaruhnya terhadap perubahan sikap dapat dilihat dari paling tidak dua aspek, yaitu organisasi komunikasi dan isi komunikasi atau pesan yang disampaikan. Seorang komunikator yang bermaksud menyampaikan pesan persuasif guna mengarahkan sikap tertentu, harus mempertimbangkan apakah suatu komunikasi yang emosional akan lebih efektif daripada suatu komunikasi rasional, ataukah sebaliknya.

3) Model komunikasi persuasif

Dalam proses persuasif terdapat dua langkah lanjutan, yaitu retensi atau pengendapan posisi yang disetujui dan tindakan yang sesuai dengan posisi tersebut. Dengan demikian, persuasi dapat dianggap melibatkan langkah-langkah perhatian, pemahaman, penerimaan, pengendapan, dan tindakan .

(28)

Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung.

Secara langsung

Dalam teknik pengukuran langsung ini, subjek mengetahui bahwa dirinya sedang diukur.

Secara tidak langsung

Dalam teknik tidak langsung ini subjek tidak mengetahui kalau dirinya sedang diteliti.

Beberapa metode yang digunakan untuk mengukur sikap menurut Tien Supartinah (1996 : 92) adalah :

1) Metode perbandingan pasangan (method of paired comparisons)

Metode perbandingan pasangan adalah suatu cara untuk memperoleh frekuensi empiris seringnya stimulus atau pernyataan a diperkirakan sebagai lebih favorabel daripada pernyataan b. Jadi suatu lambang fab berarti frekuensi seringnya pernyataan a lebih favorabel daripada pernyataan b.

2) Metode interval tampak setara (method of equal appearing intervals) Penggunaan metode interval tampak setara sering disebut juga Metode Penskalaan Thurstone disebut juga Skala Thurstone. Perkiraan yang dilakukan bagi setiap pernyataan hanya dilakukan satu kali, yaitu mereka diminta untuk memperkirakan derajad favorabel atau tak favorabelnya masing-masing pernyataan, dan bukan menyatakan kesetujuan dan ketidaksetujuan mereka terhadap pernyataan-pernyataan itu.

3) Metode interval berurutan (method of successive intervals)

Metode ini dilakukan dengan memaksa dispersi pada ujung-ujung kontinum agar lebih menyebar jarak skalanya, sehingga penskalaannya mempunyai hubungan linear dengan penskalaan perbandingan

(29)

pasangan. Hanya akibatnya adalah tidak samanya jarak skala atau interval-interval yang ada pada kontinum psikologis tersebut.

4) Metode rating yang dijumlahkan (method of summated ratings)

Metode rating yang dijumlahkan lebih populer dengan nama Skala Model Likert atau disingkat dengan nama Skala Likert. Dalam metode ini tidak diperlukan kelompok pengira, karena nilai skala setiap pernyataan tidak ditentukan oleh derajat favorabelnya masing-masing, tetapi ditentukan oleh distribusi jawaban setuju atau tidak setuju dari kelompok yang hendak diukur sikapnya.

5) Teknik diskriminasi skala (scale discrimination technique)

Teknik diskriminasi skala dikembangkan oleh Edwards dan Kilpatrick tahun 1948, merupakan contoh pengembangan skala sikap yang menggunakan pendekatan kombinasi metode judgment dan metode respon. Menurut mereka suatu kombinasi cara penskalaan dan cara analisis item akan memungkinkan kita memilih suatu kumpulan pernyataan terbaik yang jumlahnya tidak perlu banyak akan tetapi masih memenuhi persyaratan.

6) Teknik beda semantik (semantic differential technique)

Teknik beda semantik dikembangkan oleh Osgood, Suci dan Tannenbaum pada tahun 1975, dalam studi mereka mengenai pengukuran arti atau makna kata. Menurut mereka teknik beda semantik dapat juga digunakan sebagai salah satu sarana pengukuran psikologis dalam berbagai aspek, seperti kepribadian, komunikasi, sikap dan lain-lain.

Perilaku a. Pengertian Perilaku

(30)

Skinner sebagaimana dikutip oleh A. Suhaenah Suparno (2000 : 65) mengemukakan bahwa “Perilaku adalah gerakan dari suatu organisme yang kerangkanya diatur oleh dirinya atau oleh kekuatan-kekuatan dari luar”. Ia menyimpulkan dari analisis hasil-hasil eksperimennya tentang perilaku, terbanyak merupakan hasil proses penguatan (reinforcement). Perilaku dapat dibentuk oleh usaha penguatan yang sesuai.

Mengenai tingkah laku manusia J.B. Watson, sebagaimana dikutip oleh Sanapiah Faisal dan Andi Mappiare (1978 : 218) berpendapat bahwa :

Tingkah laku manusia tidak lain dari refleks-refleks yang tersusun. Setiap tingkah laku manusia adalah susunan refleks-refleks belaka dan merupakan reaksi terhadap perangsang. Perbuatan yang kompleks ini termasuk reaksi terhadap perangsang; sedangkan gerakan yang sederhana merupakan reaksi dari perangsang dan berlangsung secara reflekstif, otomatis .

Saefudin Azwar (1995 : 9) mengemukakan bahwa “Psikologi memandang manusia (human behavior) sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks”.

Tingkah laku dibagi menjadi dua yaitu : 1) Tingkah laku yang refleksi

Tingkah laku refleksi merupakan tingkah laku yang terjadi atas reaksi secara spontan terhadap stimulus yang mengenai organisme tersebut. Misalnya reaksi gerak lutut bila terkena palu. Stimulus yang diterima oleh organisme atau individu tidak sampai ke pusat susunan saraf/ otak sebagai pusat kesadaran dan sebagai pusat pengendali dari tingkah laku manusia. 2) Tingkah laku non refleksi

Tingkah laku non refleksi merupakan tingkah laku yang dikendalikan atau diatur oleh pusat kesadaran/ otak. Stimulus diterima oleh reseptor kemudian diteruskan ke otak sebagai pusat saraf, pusat kesadaran, baru kemudian terjadi respon melalui afektor.

b. Konsep Tingkah Laku

Rotter sebagaimana yang dikutip oleh Sanapiah Faisal dan Andi Mappiare (1978 : 226) berpendapat bahwa konsep-konsep tingkah laku individu adalah :

(31)

1)Tingkah laku merupakan suatu peristiwa dalam mana organisme individu yang hidup itu sebagai subjeknya.

Individu sebagai subjek tingkah laku mengandung pengertian bahwa individulah yang menentukan apakah lingkungannya memberi arti bagi individu atau social. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di setiap individu dinilainya berdasarkan ukuran keberartian lingkungan tersebut bagi individu.

2)Tingkah laku sebagai satu fungsi bagi system kepribadian itu berlangsung dalam ruang dan waktu

Ruang dan waktu sebagai tempat berlangsungnya tingkah laku dapat diartikan bahwa antara waktu satu dengan waktu lainnya, antara situasi satu dengan situasi lainnya, individu sebagai subjek itu dapat bereaksi yang berbeda terhadap lingkungan sosialnya.

3)Tingkah laku selalu mempunyai aspek arah tujuan dan tujuan ini mendapatkan pengaruh besar dari kondisi-kondisi reinforcement

Tingkah laku selalu mempunyai arah dan tujuan dan tujuan ini mendapatkan pengaruh besar dari kondisi-kondisi reinforcement. Reinforcement merupakan situasi yang menyenangkan yang diterima individu dari lingkungan soaialnya ataupun dari hasil yang dicapai melalui kegiatannya.

4)Tingkah laku ditentukan pula oleh adanya harapan-harapan (expectancy) berdasarkan pengalaman-pengalaman di samping pentingnya motif, tujuan dan besarnya reinforcement

Tingkah laku ditentukan pula oleh adanya harapan-harapan (expectancy) yang diperoleh individu berdasarkan pengalaman-pengalamannya. Seseorang mau melakukan suatu kegiatan tertentu, walaupun saat itu nampaknya belum mempunyai hasil-hasil/ perasaan senang dan sebagainya akan tetap dikerjakannya juga berdasarkan adanya harapan-harapan.

Anak Berkesulitan Belajar Pengertian Anak Berkesulitan Belajar

(32)

Kesulitan belajar merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris learning disability. Terjemahan tersebut sesungguhnya kurang tepat karena learning artinya belajar dan disability artinya ketidakmampuan, sehingga terjemahan yang benar seharusnya adalah ketidakmampuan belajar.

Munawir Yusuf, Sunardi, Mulyono Abdurrahman (2003 : 11) berpendapat bahwa :

Anak berkesulitan belajar adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus maupun umum, baik disebabkan oleh adanya disfungsi neurologis, proses psikologis dasar maupun sebab-sebab lain sehingga prestasi belajarnya rendah dan anak tersebut beresiko tinggi tinggal kelas”.

Tentang Definisi kesulitan belajar The United States Office of Education (USOE) seperti yang dikutip oleh Mulyono Abdurrahman (1996 : 5) mengemukakan bahwa :

Kesulitan belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau berhitung. Batasan tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia dan afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran, atau motorik, hambatan karena tuna grahita, karena gangguan emosional, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi.

Sedangkan The National Joint Committee for Learning Disabilities (NJCLD) sebagaimana dikutip oleh Mulyono Abdurrahman (1996 : 6) mengemukakan bahwa :

Kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, atau kemampuan dalam bidang studi matematika. Gangguan tersebut intrinsik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi sistem syaraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu (misalnya gangguan sensoris, tuna grahita, hambatan sosial dan emosional) atau berbagai pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya, pembelajaran

(33)

yang tidak tepat, faktor-faktor psikogenik), berbagai hambatan tersebut bukan penyebab atau pengaruh langsung.

Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kesulitan belajar tidak dikaitkan secara eksklusif dengan anak-anak, menghindari ungkapan proses psikologi dasar, memisahkan gangguan mengeja dengan kesulitan mengekspresikan bahasa tertulis dan kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan kondisi-kondisi lain.

Sedangkan The Board of the Association for Children and Adulth with Learning Disabilities (ACALD), seperti yang dikutip oleh Mulyono Abdurrahman (1996 : 7), memberi batasan kesulitan belajar sebagai berikut :

Kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber neurologis yang secara selektif mengganggu perkembangan, integrasi, dan atau kemempuan verbal dan atau non verbal. Kesulitan belajar khusus tampil sebagai suatu kondisi ketidakmampuan yang nyata pada orang-orang yang memiliki intelegensia rata-rata hingga superior, yang memiliki sistem sensoris yang cukup, dan kesempatan untuk belajar yang cukup pula.berbagai kondisi tersebut bervariasi dalam perwujudan dan derajatnya. Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap harga diri, pendidikan, pekerjaan, sosialisasi, dan atau aktivitas kehidupan sehari-hari sepanjang kehidupan.

Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kesulitan belajar disebabkan karena adanya disfungsi neurologis dan anak tersebut mengalami kesulitan tugas-tugas akademik serta adanya kesenjangan antara prestasi belajar dengan potensi.

Prevalensi Anak Berkesulitan Belajar

Prevalensi anak berkesulitan belajar terkait erat dengan definisi yang digunakan karena alat identifikasi dan asesmen untuk menentukan prevalensi didasarkan atas definisi tertentu.

Menurut Lerner, Hallahan, Kauffman dan Lloyd sebagaimana dikutip oleh Mulyono Abdurrahman (1996 : 8) “Prevalensi anak usia sekolah yang berkesulitan belajar membentuk suatu rentangan dari 1% hingga 30%”.

Hasil penelitian terhadap 3.125 murid kelas satu hingga kelas enam SD di DKI Jakarta menunjukkan bahwa terdapat 16,52% yang oleh guru dinyatakan

(34)

sebagai murid berkesulitan belajar. (Mulyono Abdurrahman dan Nafsiah Ibrahim, 1994)

Menurut Kazuhito dalam Takeshi Fuji Shima et al sebagaimana yang dikutip oleh Mulyono Aburrahman (1996 : 8) “Estimasi prevalensi anak berkesulitan belajar adalah 1 % hingga 4 %, dengan perbandingan anak laki-laki dan anak perempuan antara 4 berbanding 1 hingga 7 berbanding 1”.

Klasifikasi Anak Berkesulitan Belajar

Secara garis besar kesulitan belajar dapat diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) kelompok yaitu :

Kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan (developmental learning disabilities)

Kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan mencakup gangguan motorik dan persepsi, kesulitan belajar bahasa dan komunikasi, dan kesulitan belajar dalam penyesuaian perilaku sosial.

Kesulitan belajar akademik (academic learning disabilities)

Kesulitan belajar akademik menunjuk pada adanya kegagalan-kegagalan pencapaian prestasi akademik yang sesuai dengan kapasitas yang diharapkan. Kegagalan-kegagalan tersebut mencakup penguasaan keterampilan dalam membaca, menulis, dan atau matematika.

Penyebab Kesulitan Belajar

Penyebab utama kesulitan belajar adalah faktor internal yaitu kemungkinan adanya disfungsi neurologis. Disfungsi neurologis sering tidak hanya menyebabkan kesulitan belajar tetapi juga dapat menyebabkan tuna grahita dan gangguan emosional.

Faktor yang dapat menyebabkan disfungsi neurologis yang pada gilirannya dapat menyebabkan kesulitan belajar antara lain adalah :

1. Faktor genetik

(35)

3. Biokimia yang hilang (misalnya biokimia yang diperlukan untuk memfungsikan saraf pusat).

4. Biokimia yang dapat merusak otak (misalnya zat pewarna dalam makanan)

5. Pencemaran lingkungan (misalnya pencemaran timah hitam) 6. Gizi yang tidak memadai

7. Pengaruh-pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan perkembangan anak (deprivasi lingkungan). Mulyono Aburrahman (1996 : 10)

Faktor-faktor penyebab kesulitan belajar, menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono (1991 : 75) dapat digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu :

1. Faktor Intern (faktor dari dalam diri manusia itu sendiri) yang meliputi :

a. Faktor Fisiologi b. Faktor Psikologi

2. Faktor Ekstern (faktor dari luar manusia) meliputi : a. Faktor-faktor non sosial

b. Faktor-faktor sosial

Peranan Guru terhadap Anak Berkesulitan Belajar

Menurut Lerner yang dikutip oleh Mulyono Abdurrahman (1996 : 87), ada 9 (sembilan) peranan guru khusus bagi anak berkesulitan belajar yaitu :

Menyusun rancangan program identifikasi, asesmen dan pembelajaran anak berkesulitan belajar.

Berpartisipasi dalam penjaringan, asesmen, dan evaluasi anak berkesulitan belajar

Berkonsultasi dengan para ahli yang terkait dan mengintepretasikan laporan mereka

Melaksanakan tes, baik tes formal maupun informal

Berpartisipasi dalam penyusunan program pendidikan yang diindividualkan

Mengimplementasikan program pendidikan yang diindividualkan Menyelenggarakan pertemuan dan wawancara dengan orang tua

(36)

Bekerja sama dengan guru reguler atau guru kelas untuk memahami anak dan menyediakaan pembelajaran yang efektif

Membantu anak dalam mengembangkan pemahaman diri dan memperoleh harapan untuk berhasil serta berkeyakinan kesanggupan mengatasi kesulitan belajar.

Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan pola pikir yang melandasi konsep peneliti dalam upaya mengacu pengkajian hipotesis. Adapun kerangka pemikiran yang penulis kemukakan adalah :

Bahwa semakin positif persepsi guru terhadap anak berkesulitan belajar, maka akan semakin baik perilaku guru terhadap anak berkesulitan belajar. Sebaliknya, semakin negatif persepsi guru terhadap anak berkesulitan belajar, maka akan semakin buruk perilaku guru terhadap anak berkesulitan belajar. Bahwa semakin positif sikap guru terhadap anak berkesulitan belajar, maka akan

semakin baik pula perilaku guru terhadap anak berkesulitan belajar. Sebaliknya, semakin negatif sikap guru terhadap anak berkesulitan belajar, maka akan semakin buruk perilaku guru terhadap anak berkesulitan belajar. Bahwa persepsi dan sikap guru berpengaruh terhadap perilaku guru dalam

menangani anak berkesulitan belajar.

Dari pemikiran di atas dapat disederhanakan menjadi kerangka pemikiran dengan skema kerangka berpikir sebagai berikut :

Persepsi Guru terhadap Anak Berkesulitan Belajar

Sikap Guru terhadap Anak Berkesulitan Belajar

Perilaku Guru dalam Menangani Anak Berkesulitan Belajar

(37)

Perumusan Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara dari suatu masalah yang sedang diselidiki. Dengan demikian kebenarannya perlu diuji terlebih dahulu melalui langkah-langkah penelitian.

Hal ini selaras dengan pendapat Sutrisno Hadi (1997 : 14) yang mengemukakan bahwa “Hipotesis adalah pernyataan yang lemah kebenarannya dan masih perlu dibuktikan kebenarannya”.

Bertitik tolak dari landasan teori dan kerangka pemikiran yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut :

Ada hubungan antara persepsi guru dengan perilaku guru dalam menangani anak berkesulitan belajar di SD wilayah Kecamatan Jebres Surakarta.

Ada hubungan antara sikap guru dengan perilaku guru dalam menangani anak berkesulitan belajar di SD wilayah Kecamatan Jebres Surakarta.

Ada hubungan antara persepsi dan sikap guru dengan perilaku dalam menangani anak berkesulitan belajar di SD wilayah Kecamatan Jebres Surakarta.

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Data

Penelitian ini menyajikan data dari tiga variabel yaitu (1) persepsi guru, (2) sikap guru dan (3) perilaku guru dalam menangani anak berkesulitan belajar siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Jebres Surakarta tahun 2003, yang penulis sajikan sebagai berikut :

1. Persepsi Guru dalam Menangani Anak Berkesulitan Belajar

Dari hasil pengumpulan data tentang variabel persepsi guru diperoleh hasil sebagai berikut : (1) skor tertinggi 85; (2) skor terendah 60; (3) mean sebesar

(38)

72,460; (4) standar deviasi sebesar 5,672. Adapun sebaran frekuesi skor persepsi guru seperti pada tabel berikut:

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Skor Persepsi Guru dalam Menangani Anak Berkesulitan Belajar

Interval Skor Frekuensi Prosentase Frekuensi Kumulatif Prosentase Kumulatif 85 – 89 2 4 2 4 80 – 84 5 10 7 14 75 – 79 10 20 17 34 70 – 74 24 48 41 82 65 – 69 7 14 48 96 60 – 64 2 4 50 100 Total 50 100 - -

Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa persepsi guru dengan interval skor : (1) 60 – 64 sebanyak 2 orang atau sebesar 4%; (2) 65 – 69 sebanyak 7 orang atau sebesar 14,00%; (3) 70 – 74 sebanyak 24 orang atau sebesar 48,00%; (4) 75 – 79 sebanyak 10 orang atau sebesar 20,00%; (5) 80 – 84 sebanyak 5 orang atau sebesar 10,00%; (6) 85 – 89 sebanyak 2 orang atau sebesar 4,00%.

(39)

2 7 24 10 5 2 0 5 10 15 20 25 30 60 - 64 65 - 69 70 - 74 75 - 79 80 - 84 85 - 89 Kelas Interval F re k u e n s i

Grafik 1. Grafik Skor Persepsi Guru dalam Menangani Anak

Berkesulitan Belajar

2. Sikap Guru dalam Menangani Anak Berkesulitan Belajar

Dari hasil pengumpulan data tentang variabel sikap guru diperoleh hasil sebagai berikut : (1) skor tertinggi 98; (2) skor terendah 65; (3) mean sebesar 76,080; (4) standar deviasi sebesar 7,594. Adapun sebaran frekuesi skor sikap guru seperti pada tabel berikut :

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Skor Sikap Guru dalam Menangani Anak Berkesulitan Belajar

Interval Skor Frekuensi Prosentase Frekuensi Kumulatif

Prosentase Kumulatif

89 – 93 2 4 2 4

(40)

79 – 83 11 22 18 36

74 – 78 17 34 35 70

69 – 73 12 24 47 94

64 – 68 3 6 50 100

Total 50 100 - -

Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa sikap guru dengan interval skor : (1) 64 – 68 sebanyak 3 orang atau sebesar 6,00%; (2) 69 – 73 sebanyak 12 orang atau sebesar 24,00%; (3) 74 – 78 sebanyak 17 orang atau sebesar 34,00%; (4) 79 – 83 sebanyak 11 orang atau sebesar 22,00%; (5) 84 – 88 sebanyak 5 orang atau sebesar 10,00%; (6) 89 – 93 sebanyak 2 orang atau sebesar 4,00%.

Dari tabel tersebut dapat dibuat grafik seperti berikut :

3 12 17 11 5 2 0 5 10 15 20 64 - 68 69 - 73 74 - 78 79 - 83 84 - 88 89 - 93 Kelas Interval F re k u e n s i

Grafik 2. Grafik Skor Sikap Guru dalam Menangani Anak Berkesulitan Belajar

3. Perilaku Guru dalam Menangani Anak Berkesulitan Belajar

Dari hasil pengumpulan data tentang variabel perilaku guru dalam menangani anak berkesulitan belajar diperoleh hasil sebagai berikut : (1) skor tertinggi 102; (2) skor terendah 49; (3) mean sebesar 75,280; (4) standar deviasi sebesar 9,641. Adapun sebaran frekuesi skor perilaku guru dalam menangani anak berkesulitan belajar sebagai berikut :

Gambar

Tabel 4.  Distribusi  Frekuensi  Skor  Persepsi  Guru  dalam  Menangani  Anak  Berkesulitan Belajar
Grafik   1.   Grafik  Skor  Persepsi  Guru  dalam  Menangani  Anak  Berkesulitan Belajar
Grafik  2.  Grafik  Skor  Sikap  Guru  dalam  Menangani  Anak  Berkesulitan  Belajar
Tabel 6.  Distribusi  Frekuensi  Skor  Perilaku Guru dalam Menangani Anak  Berkesulitan Belajar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil uji F dapat diketahui bahwa penerimaan usahatani terintegrasi ternak kambing, sayuran dan strawberi secara bersama-sama dipengaruhi oleh variabel

Menimbang : a. Bahwa untuk mendukung keberhasilan pengobatan pasien perlu proses asesmen pasien yang harus segera dilakukan dan berkelanjutan serta pelayanan yang

Korelasi yang negatif antara abnormal return pada hari t=0 dengan CAR pada hari t+2 pada saham losser menunjukkan bahwa peristiwa yang terjadi pada t=0 merupakan sikap investor

Penelitian lain yang sesuai dengan hasil penelitian ini yaitu dilakukan oleh Dundar et al., (2009) dalam penelitiannya disebutkan bahwa latihan yang dilakuakn

Positioning dari Healthy Gym Family adalah usaha jasa fitness center yang siap membantu masyarakat menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh dengan menyediakan

eksplanasi yang signifikan antara siswa yang mengikuti pembelajaran menggunakan strategi RAFT dengan siswa yang mengikuti pembelajaran tanpa menggunakan strategi

Triatmojo (2011) menyatakan bahwa pengu- kuran dengan menggunakan analisis rasio keuangan memiliki kelemahan yaitu tidak mem- perhatikan biaya modal dalam perhitungannya

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif dengan alat analisis Partial Adjument Model (PAM), meliputi estimasi pengamatan model