• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Pelayanan Kesehatan dan Forced to Pay

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hak Pelayanan Kesehatan dan Forced to Pay"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Hak Pelayanan Kesehatan dan Forced to Pay

Hasbullah Thabrany

Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Beberapa tahun lalu seorang ibu mengalami kecelakaan di Lampung, namun sesampainya di rumah sakit keluarganya diminta membayar uang muka sebesar Rp 5 juta rupiah. Karena keluarganya tidak memiliki uang tunai sebanyak itu, perawatan terpaksa urung. Dalam perjalan mencari pengobatan di tempat lain, ia meninggal dunia.

Seorang anak pegawai negeri yang menderita gagal ginjal bertanya kepada dokter yang mencuci darahnya. “Apakah bulan depan ia bisa mencuci darah lagi”. Pertanyaan itu disampaikan karena ia menayadari bahwa jaminan Askesnya akan habis bulan berikutnya, karena batas usianya. Sang dokter mengangguk getir, karena ia tahu bahwa jika tidak ada lagi jaminan dan tidak ada bantuan dana, anak tersebut akan meninggal bulan depan. Beruntunglah bahwa sang dokter berhati mulya, ia mencarikan bantuan sumber dana agar si pasien tetap mendapatkan layanan hemodialisa.

Di Sulawesi, seorang ibu terpaksa menjual pakaiannya untuk mengobati anaknya ke sebuah puskesmas. Anak tersebut ternyata harus dirawat di rumah sakit. Sang ibupun membawa anaknya ke sebuah rumah sakit, namun ia harus membayar uang muka, sementara uang hasil jual pakaiannya tidak lagi mencukupi. Ia pun terpaksa membawa kembali anaknya untuk mencari uang tambahan. Ajal memang datang tak terduga, anak tersebut meninggal sebelum ia bisa kembali ke rumah sakit. Setelah sang anak meninggal, ibunya memang mendapat cukup banyak uang selawat. Sayang uang itu datang satu hari terlambat. Apalah artinya uang itu sekarang, tangis sang ibu.

Seorang ibu di Jakarta yang memiliki janin di luar kandungan terpaksa harus membayar lebih dari Rp 2 juta di sebuah rumah sakit untuk operasi laparotomi. Ia sebenarnya hanya istri seorang pegawai negeri bergolongan II B. Tentu saja uang sebesar dua juta merupakan jumlah yang besar, untungnya ia mengalami operasi di RS pemerintah. Malangnya, anak tersebut adalah anak

(2)

ketiga, sehingga Askes tidak menjamin kehamilan yang mengalami komplikasi. Dengan uang sumbangan sanak-keluarga dan pinjaman dari kantor, ia pulang ke rumah, dengan gejala sisa yang masih belum terseumbuhkan.

Dalam pekerjaan kita sehari-hari, kita saksikan puluhan bahkan ratusan kejadian serupa di berbagai rumah sakit. Puluhan ribu penduduk setiap tahunnya meninggal dengan cara serupa karena ia tidak memiliki uang atau tidak sedang membawa uang tunai! Berbagai rumah sakit kini sedang mengalami transformasi menjadi rumah sakit Perjan, BUMD, dan Perseroan Terbatas. Banyak rumah sakit pemerintah juga dituntut, atau merasa dituntut, untuk swadana atau mencukupi pendanaan sendiri tanpa subsidi. Rumah sakit swasta keagamaan yang berorientasi karitas, juga dituntut untuk merespons terhadap tuntutan pasar, yang mampu membayar dan harus bersaing dengan rumah sakit lain yang tidak membawa misi tertentu (Trisnantoro, 2000)1. Banyak pihak menilai transformasi tersebut merupakan

konsekuensi era pasar bebas dimana rumah sakit harus ikut gelombang tersebut. Bahkan sebuah draft Rancangan Peraturan Pemerintah tentang rumah sakit mengindikasikan mungkinnya rumah sakit pemerintah bersifat pencari laba sebagai rumah sakit BUMN atau BUMD dan klasifikasi rumah sakit menjadi tiga jenis: pencari laba, bukan pencari laba, dan karitas. Akankah kasus-kasus seperti ilustrasi diatas akan bertambah banyak?

Karena sifat pelayanan rumah sakit yang seringkali income inelastic dan

price inelastic, maka pimpinan rumah sakit maupun para dokter yang

memberikan pelayanan di rumah sakit sering tidak merasakan kejanggalan apabila ilustrasi yang disajikan pada bagian awal tulisan ini terjadi. Kasus pasien tidak mampu tidak begitu tampak di rumah sakit, karena pada umumnya pasien akan membayar tagihan rumah sakit, terlepas dari ia sebenarnya mampu atau tidak mampu membayar. Oleh karenanya jika kita menelaah statustik rumah sakit jumlah pasien yang tidak mampu membayar di berbagai rumah sakit rata-rata hanya sekitar tiga persen dari total pasien rawat inap (Depkes, 2001).2 Apakah hal itu karena memang sedikit sekali

pasien yang sebenarnya tidak mampu membayar? Tidak demikian. Banyak pasien sejak awal menyadari bahwa berobat di rumah sakit menghabiskan banyak uang dan kerenanya mereka memilih tidak berobat. Banyak pihak

(3)

berharap bahwa jumlah kasus seperti itu tidak akan bertambah banyak. Apalagi kini ada program JPS dan ada program PDPSE yang memberikan dana kepada rumah sakit sebagai kompensasi bagi rumah sakit yang menangani pasien tidak mampu. Sebelum ada program JPSBK pun, banyak rumah sakit yang telah memberikan keringanan bahkan pembebasan pelayanan kepada pasien yang tidak mampu. Namun justeru, setelah adanya JPSBK dan PDPSE semakin banyak yang mengkhawatirkan masalah akses pelayanan rumah sakit bagi yang tidak mampu dan karenanya exit strategy perlu dipikirkan (Susilowati dan Setiawan, 1999; Mukti, 2002)3, 4.

Hak Atas Pelayanan Kesehatan

Di seluruh dunia, semua negara mengusahakan cakupan universal pelayanan kesehatan. Semua penduduk harus terjamin pelayanan kesehatannya sesuai dengan kebutuhan medisnya, terlepas dari kondisi

ekonominya! Itu semua dapat terjadi, karena pelayanan kesehatan

diperlakukan sebagai Hak Asasi penduduk. Di Indonesia, pelayanan kesehatan bahkan bukan kebutuhan pokok. Pelayanan kesehatan dianggap sebagai urusan masing-masing penduduk. Bahkan kini pemerintah, melalui RPP Rumah Sakit, memberi angin kepada RS sebagai sumber penghasilan (pencari laba). Dengan rumah sakit pemerintah bersifat pencari laba, pemerintah bahkan bisa menjual penduduknya yang sakit, untuk menambah pendapatan negara atau daerah. Sulit dipercaya bahwa hal itu terjadi di negeri yang mengaku berasas Pancasila dan mengklaim kehidupan beragama, keadilan sosial, dan prikemanusiaan sebagai falsafah hidupnya. Dengan paradigma pencari laba, sudah barang tentu rumah sakit akan berupaya mencari pasien yang mau membayar, baik ia mampu atau tidak mampu. Kalau pasien tidak mampu, ia harus berhutang atau mendapatkan kartu miskin. Namun, penduduk yang tidak tergolong miskin sekalipun dapat menjadi miskin (impoverish) manakalah membutuhkan biaya rumah sakit yang mahal (WHO, 2001).5 Tidak adakah hak mereka untuk mendapatkan pelayanan

rumah sakit?

Lubis6 mengemukakan bahwa hak asasi (human rights) menurut

(4)

ia lahir sebagai manusia. Hak ini termasuk hak untuk hidup, kemerdekaan, dan hak memiliki sesuatu. Lebih lanjut Lubis menyatakan bahwa di dalam UU RIS 1949 terdapat 25 hak penduduk yang tercantum di dalamnya, termasuk diantaranya hak terhadap pelayanan kesehatan (pasal 40). Sementara itu di dalam UUD Sementara tahun 1950 tercantum 27 hak penduduk termasuk hak terhadap pelayanan kesehatan (pasal 42), akan tetapi di dalam UUD 45 yang asli hanya terdapat 15 hak dan tidak tercanum hak terhadap pelayanan

kesehatan.

Selama Orde Baru kita menggunakan landasan hukum UUD 45 yang asli. Jangan heran jika pada masa lalu kesehatan memang tidak mendapatkan tempat yang memadai. Anggaran kesehatan selalu di bawah empat persen dari total anggaran APBN. Akibatnya pembiayaan rumah sakit umum dan fasilitas kesehatan lainnya sangat minim jumlahnya. Pelayananpun tidak mungkin diberikan secara memuaskan, karenanya timbullah kewirastastaan dimana sektor swasta membangun rumah sakit untuk memberikan pelayanan yang lebih baik dari pelayanan di rumah sakit pemerintah. Inilah suatu bentuk kegagalan pemerintah (government failure) yang kemudian menimbulkan dorongan untuk berpaling kepada swasta dengan mengandalkan mekanisme pasar yang kini dipercaya sebagai obat penawar yang ampuh. Tanpa kita sadari, di depan mata menunggu market failure, karena berbagai literatur ekonomi kesehatan telah memperingatkan bahwa mekanisme pasar tidak berfungsi dalam pelayanan kesehaatan. Mekanisme pasar tidak akan mampu menyelesaikan masalah ekuitas. Mekanisme pasar hanya menyelesaikan pasien-pasien yang berduit sementara pasien kelas menengah dan bawah akan menderita. Pasien kelas ataspun akan terpaksa membayar lebih mahal dari yang seharusnya ia bayar. Sehingga penduduk Indonesia menghadapi dua kegagalan sekaligus, government failure dan market failure di dalam sistem kesehatan. Kini kita sedang mencoba lari dari mulut buaya ke mulut singa.

Tampaknya para wakil rakyat di dalam Sidang MPR yang lalu telah menangkap bahaya iminen tersebut. Amendemen UUD45 kedua, tanggal 11 Agustus lalu, menambahkan dua ayat penting pada pasal 34 tentang Kesejahteraann Rakyat. Ayat 2 berisi “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat” dan ayat 3 menggariskan “ Negara bertanggung

(5)

jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas layanan umum yang layak”. Ditambah dengan hasil amendemen pertama tahun 2000 pada pasal 28H, “…setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan …” yang merupakan pengaktifan hak-hak yang pernah masuk dalam UU RIS dan UUDS, maka lengkaplah kini VISI bangsa tentang pelayanan kesehatan. Visi tersebut menggariskan bahwa rakyat menginginkan sistem kesehatan yang egaliter, dimana tidak boleh lagi penduduk yang terpaksa harus membayar (forced to pay) di luar kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan medis seseorang.

Akankah Ada Titik Balik?

Jika kita amati tren yang berkembang dalam bidang perumah sakitan di Indonesia, tampaknya semakin banyak rumah sakit menuju persaingan ketat yang akan mendorong mahalnya biaya perawatan. Dengan undang-undang yayasan yang baru, banyak yayasan pemilik RS yang dulunya mencoba berlindung di balik kedok sosial untuk mencari keuntungan, kini harus berubah diri menjadi bentuk badan hukum lain, baik perseroan maupun koperasi. Artinya, banyak rumah sakit swasta akan bergerak menjadi suatu lembaga pencari laba. Rumah sakit keagamaan pun bisa jadi akan bergerak menuju kesana. Sementara sudah ada suara-suara rumah sakit BUMN harus menjadi RS Persero, yang juga pencari laba. Banyak RSUD yang juga akan berubah menjadi BUMD, yang oleh Kepres 40/2001 dibenarkan. Jika hal ini terjadi, maka Indonesia akan menjadi pemecah rekor dunia dimana rumah sakit pemerintahnya berorientasi pencari laba. Maka semakin banyak rakyat yang sakit, dan terpaksa membayar (forced to pay) karena demand terhadap pelayanan rumah sakit pada umumnya inelastis, maka sekamin untung negara. Ini adalah pemikiran yang kata orang Jawa Barat, “kebijakan lieur”.

Jika sebagian besar rumah sakit swasta berubah bentuk menjadi perusahaan terbatas, seperti yang dianjurkan oleh seorang pejabat Depkes, maka Indonesia akan mengalahkan Amerika yang paling liberal dalam kebijakan kesehatannya. Di Amerika rumah sakit dikelompokkan menjadi: rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta. Rumah sakit swasta dibagi menjadi dua lagi yaitu rumah sakit for profit dan not for profit. Dari seluruh rumah sakit swasta, hanya 11% saja yang bersifat for profit. Tidak ada istilah

(6)

rumah sakit pemerintah for profit. Kalau untuk beberapa pelayanan tertentu, karena bervariasinya jenis pelayanan di rumah sakit, mungkin masih bisa diterima akal. Akan tetapi, kalau secara keseluruhan lembaga RS pemerintah menjadi lembaga pencari laba, maka ini adalah keajaiban dunia. Sebagian kecil RS swasta sebagai pencari laba, dengan kendali dan pengawasan ketat pemerintah, masih bisa diterima. Kalau sebagian besar rumah sakit swasta berubah menjadi lembaga usaha pencari laba, maka prosentase rumah sakit pencari laba di Indonesia melebihi prosentase RS for profit di Amerika. Ini luar biasa. Apabila hal itu terjadi, maka sistem kesehatan kita bukan tidak mungkin akan mengarah kepada sistem yang a sosial. Anehnya tidak tampak upaya pemerintah untuk meluruskan tren ini. Banyak RS swasta yang bingung menghadapi perubahan ini, akan tetapi peraturan pemerintah (PP) tentang rumah sakit tak kunjung datang. Sepuluh tahun lamanya sejak UU Kesehatan diundangkan, PP rumah sakit yang bisa menjadi pedoman kuat bagi rumah sakit daerah dan rumah sakit swasta, yang pro publik, tidak keluar. Anehnya, sebanyak 13 PP RS Perjan dapat keluar dalam tempo setahun saja. Mengapa satu PP RS yang merupakan pedoman bagi 1.300 rumah sakit di Indonesia tidak berhasil disusun selama 10 tahun, namun 13 PP tentang RS vertikal dapat disusun dalam tempo sangat singkat? Tanyalah pada angin yang bergoyang! Maka banyak RS daerah dan swasta yang semakin bingung menghadapi perubahan dan bingung dimana mereka harus berperan dalam pembangunan. Apakah mereka harus berubah jadi badan, BUMD pencari laba, BUMD khusus tidak mencari laba, lembaga pelaksana teknis daerah, dsb.

Dimanapun di dunia, tugas pemerintah adalah menyehatkan dan mencerdaskan bangsa, sehingga penduduk menjadi sehat dan produktif. Penduduk yang sehat dan produktif tersebut kemudian dapat bekerja dan menghasilkan pendapatan. Disinilah pemerintah menarik pajak penghasilan sebagai sumber pembangunan, dari orang sehat dan produktif. Oleh karenanya dalam bidang kesehatan dan pendidikan, pemerintah melakukan investasi jangka panjang dengan membiayai pelayanan kesehatan dan pendidikan. Dimanapun di dunia, rumah sakit pemerintah mendapatkan subsidi, bukan disuruh mandiri apalagi menghasilkan uang bagi kas pemerintah. Bahkan banyak negara memberikan subsidi kepada rumah sakit

(7)

swasta sekalipun, karena rumah sakit swasta juga berperan menyehatkan rakyat. Tampaknya kini di kalangan orang kesehatan sendiri sekalipun, berkembang pemikiran untuk mengurangi subsidi rumah sakit pemerintah. Padahal pembiayaan kesehatan oleh pemerintah kita masih terlalu rendah dibandingkan pembiayaan kesehatan oleh pemerintah negara-negara tetangga, apalagi negara maju.

Kalau kita membaca UUD pasal 34 ayat (3) hasil amendemen 11 Agustus yang lalu, tampak jelas bahwa rakyat menginginkan sesuatu yang konsisten dengan perkembangan di negara lain. Rakyat menginginkan agar pemerintah bertanggung jawab atas penyediaan fasiltias kesehatan, tentu saja yang dimaksudkan akses, kepada fasiltias kesehatan termasuk rumah sakit. Tugas tersebut dicantumkan pada pasal 34 tentang kesejehteraan, bukan pada pasal 33 tentang ekonomi negara. Dalam pasal 34 tersebut juga dicantumkan fasilitas umum. Artinya, rakyat menginginkan bahwa fasiltias kesehatan merupakan fasilitas umum (publik) yang diperlukan semua orang. Rakyat tidak menginginkan rumah sakit menjadi bagian dari ekonomi atau sebagai lembaga usaha pencari laba. Jika RS dijadikan lembaga pencari laba seperti koperasi, maka lembaga ini akan masuk pada pasal 33. Itulah nafas kesejahteraan dalam amanat UUD45 yang diamendemen.

Tampak jelas bahwa tren yang sedang berkembang tidak sesuai dengan amanat UUD45 yang diamendemen. Apakah UUD harus diamendemen lagi agar sesuai tren yang berkembang atau tren yang berkembang harus dikendalikan agar sesuai dengan amanat UUD45? Atau akan terjadi kompromi yang tepat? Kita tunggu saja mana yang lebih kuat. Kemungkinan besar jalan tengah akan keluar sebagai pemenang. Jalan tengah yang mana? Masih harus kita cermati. Yang jelas para eksekutif rumah sakit pemerintah atau swasta harus berkontribusi menyusun jalan tengah yang lurus, yang akan menjadi penyangga pelayanan rumah sakit pada waktu kita tua kelak, pada waktu kita tidak memiliki penghasilan yang memadai, dan pada waktu anak-anak kita harus memiliki tingkat kesehatan yang prima untuk mampu bersaing di dunia global.

(8)

Pelayanan Kesehatan 3(3), 2000: 113-114

2 Depkes. Statistik Rumah Sakit di Indonesia. Ditjen Yanmed Depkes, Jakarta, 2001. 3 Susilowati dan Setiawan, A. Tantangan Program Jaring Perlindungan Sosial Bidang

Kesehatan di Rumah Sakit. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan 2(2), 1999:

57-62

4 Mukti, A. Skema Pelayanan Kesehatan Pra-Upaya Sebagai Strategi Keluar dari

Permasalahan Pemberhentian Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan di DIY. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan 5(1), 2002: 55-60

5 Komisi Makro Ekonomi dan Kesehatan. Genewa, 2001.

6 Lubis, M. T. In Search of Human Rights Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s

Referensi

Dokumen terkait

The purpose of this study was to develope the potentiometric method using CWISE based on chitosan, as an alternative method to determination the presence of chromate in water..

[r]

Kepada peserta Pelelangan yang keberatan, diberikan kesempatan untuk menyampaikan sanggahan khususnya mengenai ketentuan dan prosedur yang telah ditentukan dalam dokumen

Adalah kendali menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah

[r]

tafsir al-Mishba>h karya M.Quraish Shihab yang disandingkan dengan

Shafiyyatul Amaliyyah Medan. --- Kata kunci : pembelajaran Al-Qur’an, metode takrir dan metode muraja’ah. Tujuan penelitian ini adalah 1) Untuk mengetahui perencanaan metode

135 | Jejak Seribu Pena, Langkah Cerdas Menuju Olimpiade Matematika SD Aturan yang digunakan adalah sebagai berikut1. Apabila satu atau keduanya bilangan genap, maka