• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obesitas

Obesitas didefinisikan sebagai kandungan lemak berlebihan di simpanan jaringan adiposa. Obesitas terjadi jika selama periode waktu tertentu, kilokalori yang masuk melalui makanan lebih banyak daripada yang digunakan untuk menunjang kebutuhan energi tubuh dan kelebihan energi tersebut disimpan sebagai trigliserida di jaringan lemak. Sebagian faktor yang mungkin berperan adalah gangguan emosi dengan makan berlebihan yang menggantikan rasa puas lainnya, pembentukan sel-sel lemak dalam jumlah berlebihan akibat pemberian makanan berlebihan, gangguan endokrin tertentu, gangguan pusat pengatur kenyang-selera makan (satiety-appetite center) di hipotalamus, kecenderungan herediter, kelezatan makanan yang tersedia dan kurang berolahraga (Sherwood, 2001).

Obesitas terjadi karena adanya kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Gangguan keseimbangan energi ini dapat disebabkan oleh faktor eksogen (obesitas primer) sebagai akibat nutrisional (90%) dan faktor endogen (obesitas sekunder) akibat adanya kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik (meliputi 10%).

Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis, yaitu pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran energi dan regulasi sekresi hormon. Proses dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen (yang berpusat di hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal aferen dari perifer (jaringan adiposa, usus dan jaringan otot).

Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan rasa lapar serta menurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat katabolik (anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek mempengaruhi porsi makan dan waktu makan, serta berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida

(2)

gastrointestinal, yang diperankan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived hormon leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi.

Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah. Kemudian, leptin merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro Peptida Y (NPY) sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan.

Berdasarkan distribusi jaringan lemak, gejala klinis pada obesitas dibedakan menjadi apple shape body (distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian dada dan pinggang) dan pear shape body/gynecoid (distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian pinggul dan paha). Apple shape body sering terjadi pada laki-laki sedangkan pear shape body sering terjadi pada perempuan. Secara klinis kedua tipe ini mudah dikenali, karena mempunyai ciri-ciri yang khas, antara lain wajah bulat dengan pipi tembem dan dagu rangkap, leher relatif pendek, dada membusung dengan payudara membesar, perut membuncit (pendulous abdomen) dan striae abdomen. Lain halnya pada anak laki-laki, dapat ditemukan burried penis, gynaecomastia, pubertas dini, genu valgum (tungkai berbentuk X) dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling menempel dan bergesekan yang dapat menyebabkan laserasi kulit (Hidajat, Siti Nurul Hidayati dan Roedi Irawan, 2006).

Obesitas pada anak merupakan masalah yang sangat kompleks, yang antara lain berkaitan dengan kualitas makanan yang dikonsumsi oleh seseorang, perubahan pola makan menjadi makanan cepat saji yang memiliki kandungan kalori dan lemak yang tinggi, waktu yang dihabiskan untuk makan, waktu

(3)

pertama kali anak mendapat asupan berupa makanan padat, kurangnya aktivitas fisik, faktor genetik, hormonal dan lingkungan (Yussac et al, 2007).

Jumlah lemak tubuh dipengaruhi sejak masa gestasi oleh berat badan dan kenaikan berat badan maternal selama periode antenatal. Selanjutnya, perilaku makan mulai terkondisi dan terlatih oleh asupan dan pola makan sejak bulan-bulan pertama kehidupan. Kenaikan berat badan pada anak kemudian juga dipengaruhi kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi, maupun kebiasaan mengkonsumsi makanan ringan. Keluaran energi rendah dapat disebabkan oleh rendahnya metabolisme tubuh, aktivitas fisik dan efek termogenesis makanan yang ditentukan oleh komposisi makanan. Lemak memberi efek termogenesis lebih rendah (3% dari total energi dihasilkan oleh lemak) dibandingkan dengan karbohidrat (6-7% dari total energi dihasilkan oleh karbohidrat) dan protein (25% dari total energi dihasilkan protein). Hal tersebut menunjukkan pentingnya peranan pola dan asupan makanan dalam terjadinya obesitas (Yussac et al, 2007).

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), obesitas merupakan keadaan Indeks Massa Tubuh (IMT) anak yang berada di atas persentil ke-95 pada grafik tumbuh kembang anak sesuai jenis kelaminnya. Definisi ini relatif sama dengan Institute of Medicine (IOM) di AS, sementara Center for Disease

Control (CDC) AS berargumen bahwa seorang anak dikategorikan obesitas jika

mengalami kelebihan berat badan di atas persentil ke-95 dengan proporsi lemak tubuh yang lebih besar dibanding komponen tubuh lainnya , kategori Overweight apabila sebesar 85 sampai <95 persentil , berat normal apabila sebesar 5 persentil sampai <85 persentil dan Underweight apabila < 5 persentil, (Farmacia, 2007).

2.2 Air Susu Ibu

Keuntungan yang dapat diperoleh dari ASI sangat banyak. Bagi bayi, pemberian ASI dapat mencegah infeksi. Bagi ibu, pemberian ASI dapat memulihkan diri dari proses persalinan dan dapat mencegah kehamilan selama 6 bulan ke depan. Selama masa kehamilan, hormon estrogen dan progesterone menginduksi perkembangan alveoli dan duktus lactiferous di dalam payudara,

(4)

serta merangsang produksi kolostrum. Produksi ASI tidak berlangsung sampai masa sesudah kelahiran bayi ketika kadar hormon estrogen menurun. Penurunan kadar estrogen ini memungkinkan naiknya kadar prolaktin dan produksi ASI. Produksi prolaktin yang berkesinambungan disebabkan oleh menyusunya bayi pada payudara ibu.

Pelepasan ASI berada di bawah kendali neuro-endokrin. Rangsang sentuhan pada payudara (bayi menghisap) akan merangsang produksi oksitosin yang menyebabkan kontraksi sel-sel myoepithel. Proses ini disebut sebagai “refleks prolaktin” atau milk production reflect yang membuat ASI tersedia bagi bayi. Dalam hari-hari dini, laktasi refleks ini tidak dihambat oleh keadaan emosi ibu bila ia merasa takut, lelah, malu, merasa tidak pasti, atau bila merasakan nyeri.

Hisapan bayi memicu pelepasan ASI dari alveolus mamae melalui duktus ke sinus lactiferous. Hisapan merangsang produksi oksitosin oleh kelenjar hypofisis posterior. Oksitosin memasuki darah dan menyebabkan kontraksi sel-sel khusus (sel-sel-sel-sel myoepithel) yang mengelilingi alveolus mamae dan duktus

lactiferous. Kontraksi sel-sel khusus ini mendorong ASI keluar dari alveoli

melalui duktus lactiferous menuju sinus lactiferous, tempat ASI di dalam sinus tertekan keluar, ke mulut bayi. Gerakan ASI dari sinus ini dinamakan let down

reflect atau “pelepasan”. Pada akhirnya, let down dapat dipacu tanpa rangsangan

hisapan. Pelepasan dapat terjadi bila ibu mendengar bayi menangis atau sekedar memikirkan tentang bayinya.

Cairan pertama yang diperoleh bayi dari ibunya sesudah dilahirkan adalah kolostrum, mengandung campuran yang kaya akan protein, mineral, dan antibodi, daripada ASI yang telah “matur”. ASI mulai ada kira-kira pada hari 3 atau ke-4 setelah kelahiran bayi dan kolostrum berubah menjadi ASI yang matur kira-kira 15 hari sesudah bayi lahir. Bila ibu menyusui sesudah bayi lahir dan bayi diperbolehkan sering menyusu maka proses produksi ASI akan meningkat. Komposisi gizi dalam ASI antara lain adalah protein, lemak, vitamin, zat besi, zat anti infeksi, laktoferin, faktor bifidus, lisozim dan taurin. Dibandingkan dengan komposisi protein susu mamalia lain, protein ASI paling rendah, berkisar 1,3

(5)

g/ml pada bulan pertama dengan rata-rata 1,15 g/100ml dihitung berdasarkan total nitrogen x 6,25.

ASI mengandung whey protein dan casein. Casein adalah protein yang sukar dicerna dan whey protein adalah protein yang membantu menyebabkan isi pencernaan bayi menjadi lebih lembut atau mudah dicerna oleh usus bayi. Rasio

whey – casein yang tinggi pada ASI membantu pencernaan bayi dengan

pembentukan hasil akhir pencernaan bayi yang lebih lembut dan mengurangi waktu pengosongan gaster bayi. Rasio casein : whey pada ASI adalah 60 : 40, sedangkan pada susu sapi dan susu formula adalah 20 : 80 dan 18 : 82. Di sini, tampak bahwa casein dalam ASI hanya setengah dari susu sapi. Meskipun kedua susu tersebut sama-sama mengandung whey protein yang baik untuk pencernaan, namun whey ASI terdiri dari alpha-lactalbumin, ASI juga mengandung 4 unsur penting lainnya, yaitu serum albumin, laktoferin, immunoglobulin, dan lisozim.

Lemak ASI terdiri dari trigliserida (98-99%) yang dengan enzim lipase akan terurai menjadi trigliserol dan asam lemak. Enzim lipase tidak hanya terdapat pada sistem pencernaan bayi, tetapi juga dalam ASI. Lemak ASI lebih mudah dicerna karena sudah dalam bentuk emulsi. Salah satu keunggulan lemak ASI adalah kandungan asam lemak esensial, docosahexaenoic acid (DHA) dan

arachnoid acid (AA) yang berperan penting dalam pertumbuhan otak sejak

trimester I kehamilan sampai 1 tahun usia anak. Yang merupakan asam lemak esensial sebenarnya adalah kelompok omega-3 yang dapat diubah menjadi DHA dan omega-6 yang dapat diubah menjadi AA.

Kelebihan ASI yaitu selain mengandung n-3 dan n-6, juga mengandung DHA dan AA. Konsentrasi lemak meningkat dari 2.0 g/100ml pada kolostrum menjadi sekitar 4-4.5 g/100ml pada hari ke-14 setelah persalinan. Kadar lemak juga bervariasi pada saat baru mulai menyusui (fore milk) menjadi 2 – 3 kali lebih tinggi pada akhir menyusui (hind milk). Dibandingkan dengan lemak yang bervariasi konsentrasinya, asam lemak lebih stabil. Dalam ASI, asam lemak terdiri dari 42% asam lemak jenuh dan 57% asam lemak tak jenuh, termasuk DHA dan AA yang sangat dibutuhkan untuk perkembangan otak bayi dan anak kecil.

(6)

Di dalam ASI terdapat vitamin yang larut dalam lemak dan yang larut dalam air. Vitamin yang larut lemak antara lain adalah vitamin A, D, E dan K sedangkan vitamin yang larut dalam air adalah vitamin C, asam nikotinik, B12, B1(tiamin), B2 (riboflavin), B6 (piridoksin). Vitamin A adalah salah satu vitamin penting yang tinggi kadarnya dalam kolostrum dan menurun pada ASI biasa. ASI adalah sumber vitamin A yang baik dengan konsentrasi sekitar 200 IU/dl. Vitamin D dan K sedikit dalam ASI. Untuk negara tropis yang terdapat cukup sinar matahari, vitamin D tidak jadi masalah. Vitamin K akan terbentuk oleh bakteri di dalam usus bayi beberapa waktu kemudian. Vitamin C, asam nikotinik, B12, B1 (tiamin), B2 (riboflavin), B6 (piridoksin) sangat dipengaruhi oleh makanan ibu, namun untuk ibu dengan status gizi normal, tidak perlu diberi suplemen.

Meskipun ASI mengandung sedikit zat besi (0.5 – 1.0 mg/liter), namun bayi yang menyusui jarang terkena anemia. Bayi lahir dengan cadangan zat besi dan zat besi dari ASI diserap dengan baik (>70%) dibandingkan dengan penyerapan 30% dari susu sapi dan 10% dari susu formula.

ASI mengandung anti infeksi terhadap berbagai macam penyakit, seperti penyakit saluran pernafasan atas, diare, dan penyakit saluran pencernaan. ASI sering disebut juga “darah putih” yang mengandung enzim, immunoglobulin, dan lekosit. Lekosit terdiri atas fagosit 90% dan limfosit 10%, yang meskipun sedikit tetap dapat memberikan efek protektif yang signifikan terhadap bayi. Immunoglobulin merupakan protein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai respon terhadap adanya imunogen atau antigen (zat yang menstimulasi tubuh untuk memproduksi antibodi).

Ada 5 macam immunoglobulin, yaitu IgA, IgM, IgE, IgD, dan IgG. Dari kelimanya, secretory IgA (sIgA) disekresi oleh makrofag (disintesa dan disimpan dalam payudara), yang berperan dalam fungsi antibodi ASI melalui alur limfosit

(lymphocyte pathway). Antibodi IgA yang terbentuk dalam payudara ibu

(melalui ASI) setelah ibu terekspos terhadap antigen di saluran pencernaan dan saluran pernafasan disebut BALT (bronchus associated immunocompetent

(7)

Bayi baru lahir mempunyai cadangan IgA sedikit dan karena itulah ia sangat memerlukan tambahan proteksi sIgA dalam ASI terhadap penyakit infeksi.

Laktoferin banyak dalam ASI (1-6 mg/ml), tapi tidak terdapat dalam susu sapi. Laktoferin bekerja sama dengan IgA untuk menyerap zat besi dari pencernaan sehingga menyebabkan terhindarnya suplai zat besi yang dibutuhkan organisme patogenik, seperti Eschericia coli ( E. coli) dan Candida albikans. Oleh karena itu, pemberian suplemen zat besi kepada bayi menyusui harus lebih dipertimbangkan.

Faktor bifidus dalam ASI meningkatkan pertumbuhan bakteri baik dalam usus bayi (Lactobacillus bifidus) yang melawan pertumbuhan bakteri pathogen seperti Shigella, Salmonella dan E.coli yang ditandai dengan pH rendah (5-6), bersifat asam dari tinja bayi.

Lisozim termasuk whey protein yang bersifat bakterisidal dan antiinflamasi dapat melawan serangan mikroorganisme. Taurin adalah asam amino dalam ASI yang terbanyak kedua dan tidak terdapat dalam susu sapi. Berfungsi sebagai neurotransmitter dan berperan penting dalam maturasi otak bayi (Sulistyawati, 2009). Berikut ini adalah tabel perbandingan kompsisi antara ASI, susu formula dan susu sapi ( Kraus, 1998).

(8)

Tabel 2.1

Perbandingan Komposisi ASI, Susu Formula dan Susu Sapi

Sumber : American Academy of Pediatrics (2005). Breastfeeding and the use of human milk. Pediatrics J;115(2):496-506.

2.3 ASI dengan Obesitas

Hubungan antara lamanya durasi pemberian ASI dengan menurunnya risiko obesitas mungkin disebabkan oleh berbagai mekanisme biologik. Menurut Birch dan Fisher (1998) dalam Grummer-Strawn dan Mei (2004) ada beberapa kemungkinan mekanisme biologik yang berhubungan dengan lama durasi pemberian ASI dengan menurunnya risiko terjadinya obesitas yaitu yang pertama, anak-anak yang diberi ASI dapat mengatur jumlah susu yang mereka konsumsi, kemampuan mengatur sendiri pemasukan energi ini berhubungan dengan respons internal mereka untuk menyadari rasa kenyang yang lebih baik daripada anak-anak yang diberi susu botol.

Kemungkinan kedua adalah kadar insulin dalam darah pada anak-anak yang diberikan susu formula lebih tinggi dan memiliki respon insulin yang lebih

(9)

panjang daripada anak-anak yang diberi ASI, hal ini menstimulasi lebih banyak deposisi jaringan lemak, yang mengakibatkan bertambahnya berat badan, obesitas dan resiko Diabetes Melitus tipe 2.

Kemungkinan yang ketiga adalah konsentrasi leptin (hormon yang berfungsi untuk menghambat nafsu makan dan mengatur lemak dalam tubuh) ditemukan dalam konsentrasi yang lebih seimbang pada anak-anak yang diberikan ASI daripada anak-anak yang diberi susu formula. Hipotesis mengenai pemberian ASI dapat menimbulkan efek protektif terhadap obesitas banyak didukung oleh bukti-bukt i epidemiologi, namun masih kontorversial.

Menurut Lucas et al dalam Nguyen (2005), neonatus yang diberi susu botol memiliki perubahan konsentrasi insulin, motilin, enteroglucagon, neurotensin, dan pancreatic polypeptide dalam plasma yang signifikan setelah pemberian susu botol. Tingkat basal polipeptida inhibitorik lambung, motilin, neurotensin dan peptida vasoaktif intestinal meningkat pada bayi yang diberikan susu botol. Hal ini mungkin dapat menjelaskan perbedaan deposisi lemak subkutan dan frekuensi buang air besar antara bayi yang diberikan ASI dan yang diberikan susu botol.

Menurut Hirai et al dalam Nguyen (2005) Banyak faktor pertumbuhan yang terdapat dalam ASI, seperti EGF, IGF-1, FGF, HGF, dan TGH-alfa, hal ini memiliki pengaruh yang kuat terhadap sel intestinal imatur dan akan berpengaruh dalam adaptasi saluran cerna perinatal. Faktor-faktor pertumbuhan ini akan menghambat diferensiasi adiposity in vitro.

Leptin memiliki fungsi regulatorik pada balita dengan menghambat nafsu makan dan jalur anabolik serta menstimulasi jalur katabolik (Casabiel et al dalam Nguyen, 2005). Pemberian ASI menunjukkan penurunan resiko obesitas yang bermakna pada anak-anak usia 39 sampai 42 bulan (Julie Armstrong, John J Reilly, and the Child Health Information Team, 2003). Pemberian ASI yang memiliki banyak keuntungan, efek sampingnya rendah, dan murah, sangatlah berguna untuk melawan tingkat obesitas yang terus meningkat di negara maju maupun negara berkembang. Namun, teori mengenai ini masih perlu

(10)

dikonfirmasi dan diperjelas mekanismenya, maka masih diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut.

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah paket teknologi hasil litbangyasa energi nuklir, isotop dan radiasi di bidang energi, kesehatan, keselamatan radiasi dan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (SDAL)1. Laporan

PERCEPATAN LAYANAN ONLINE PERHUBUNGAN-BKPM REKOMENDASI (5 hari kerja) Pertukaran data ‘SIMLALA’ ‘SPIPISE’ PEMOHON AKSES PERMOHONAN PROSES PENERBITAN SIUP/AL SIOPSUS

Dengan keterbatasan itu, salah satu pilihan adalah dengan menempatkan televisi di sebuah ruang yang menjadi pusat kegiatan atau stand berkumpulnya keluarga,

Bab ketiga adalah berisi tentang pembahasan dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Desa Kranji kecamatan Paciran kabupaten, yang meliputi praktik bilas

Pada menit keempat, time keeper akan memberikan kode berupa ketukan ketiga sebanyak 2x untuk menandakan bahwa waktu menyampaikan argumen telah selesai.. Pada

Kemajuan IPTEK adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari dalam kehidupan ini, karena kemajuan IPTEK akan berjalan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.. Perkembangan

Ini adalah port 0 yang merupakan saluran/bus I/O 8 bit open collector, dapat juga digunakan sebagai multipleks bus alamat rendah dan bus data selama adanya akses ke memori program

Berkaitan dengan masalah pendidikan, filsafat eksistensialisme memandang bahwa pendidikan terdiri dari beberapa aspek, berikut uraian aspek-aspek pendidikan perspektif