• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Distribusi Beras di DKI Jakarta Melalui PIBC

Pasokan dan Distribusi Beras ke dan dari PIBC

Saluran pemasaran dalam perdagangan beras di wilayah DKI Jakarta terdiri dari dua saluran, yaitu saluran pemasaran swasta dan saluran pemerintah. Pemerintah daerah DKI Jakarta menyerahkan pengelolaan Pasar Induk Besar Cipinang (PIBC) sebagai penyalur utama beras di Jakarta ke PT. Food Station Tjipinang Jaya (FSTJ) pada saluran pemasaran swasta. PIBC memiliki 801 ruang usaha terdiri atas toko/los tertutup dan terbuka dengan kapasitas tampung sekitar 25 000 ton beras. Lembaga pemasaran yang ada di PIBC yaitu pedagang grosir sebanyak 700 pedagang melayani dan menampung beras dari daerah produksi yang dibawa pemasok dan menjual secara grosir ke pasar - pasar wilayah DKI Jakarta dan daerah hinterlandnya (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) maupun antar pulau dengan rata-rata penjualan 2 919 ton per hari pada tahun 2011. Pedagang tersebut mendapat pasokan beras dari pedagang daerah langganan yang datang langsung ke PIBC, namun ada juga pedagang grosir PIBC yang mendatangi daerah-daerah sentra produksi beras seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Rata-rata jumlah pasokan beras tahun 2011, sekitar 3 102 ton/hari dari total pasokan 924 419 ton (Tabel 7). Pasokan diantar oleh sekitar 300 truk/hari. Tonase truk berkisar antara 8 sampai 10 ton (tipe kendaraan adalah colt diesel) untuk beras yang berasal dari Subang, Karawang, Indramayu dan Cirebon. Truk besar 15 ton untuk pasokan berasal dari Bandung, Garut, Tasik dan Sumedang juga dari Lampung dan Palembang. Tronton 25 sampai 30 ton untuk pasokan dari Jawa Tengah dan truk gandeng 40 ton untuk pasokan beras dari Jawa Timur, sedangkan pasokan beras dari Makasar menggunakan peti kemas 20 ton melalui pelabuhan Tanjung Priuk. Pemasok yang masuk ke PIBC 71% dari Jawa Barat (Subang, Karawang, Indramayu, Cirebon, Bandung, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, dan Sumedang). Sisanya sekitar 29% dipasok dari Banten (Serang), Jawa Tengah (Tegal, Solo, Demak, Pati), Jawa Timur (Kediri, Lumajang, Surabaya), Lampung, Palembang dan Makasar. Pedagang pemasok PIBC ini berasal dari daerah Pantura Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Luar Jawa (Lampung, Palembang dan Sulawesi Selatan).

Masuknya beras dari luar Jawa seperti Sumatera dan Sulawesi sangat tergantung dari kondisi harga yang terjadi di DKI Jakarta dan kondisi panen/surplus daerah sentra produksi padi di luar Jawa tersebut. Jika harganya cukup bagus, dan di daerah sentra produksi sedang mengalami panen raya, maka banyak juga beras yang berasal dari luar Jawa masuk ke PIBC. Pangsa pasar dari luar Jawa yang masuk PIBC terbesar berkisar antara 10 hingga 15 persen.

Data bulanan pasokan beras ke PIBC tahun 2011 dan 2012 menunjukkan angka yang relatif stabil. Penurunan cukup tajam terjadi pada bulan Agustus (Tabel 7), karena pada bulan tersebut merupakan musim paceklik dan berkurangnya panen di masing-masing wilayah pemasok, akibatnya pasokan ke PIBC ikut berkurang.

(2)
(3)

Wilayah hinterland Jakarta (Provinsi Jawa Barat dan Banten) yang menjadi pemasok utama ke PIBC dengan pasokan melebihi 1 000 ton per tahun pada tahun 2011 adalah Kabupaten Cirebon, Karawang, Bandung, dan Cianjur dari Provinsi Jawa Barat, dan dari Provinsi Banten adalah Kabupaten Serang (Gambar 5). Pemasok tertinggi adalah Kabupaten Cirebon (32.50%) diikuti oleh Karawang (26.38%), hal ini disebabkan kedua wilayah tersebut merupakan sentra produksi beras di wilayah Jawa Barat. Persentase yang cukup tinggi juga terdapat pada jumlah beras yang tersisa di gudang PIBC dan sisa BULOG yang mencapai 16.21 persen (149 833 ton).

Selain dari lima wilayah tersebut, Jawa Tengah merupakan wilayah pemasok dari luar provinsi yang cukup tinggi (97 624 ton atau 10.56% dari total pasokan beras di PIBC), sedangkan Jawa Timur hanya memasok sekitar 1.5 persen (13 861 ton). Namun Jawa Tengah tidak dimasukkan ke dalam analisis spasial interaksi antar wilayah, karena wilayah tersebut bukan merupakan wilayah

hinterland dari Jakarta.

Gambar 5 Pasokan beras ke PIBC tahun 2011

Data hingga bulan Agustus 2012 menunjukkan hal yang sama, dimana Jawa Barat tetap sebagai pemasok utama (72%) dengan persentase pasokan tertinggi dari wilayah hinterland Jakarta adalah Cirebon (25%), Karawang (21%), Bandung (9%), dan Cianjur (<1%), serta dari Serang Banten kurang dari 1 persen (Gambar 6). Pasokan dari Jawa Tengah meningkat hingga mencapai 19.14 persen (109 685 ton), jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Demikian juga dari Jawa Timur yang meningkat menjadi 3.85 persen atau 22 065 ton, sedangkan jumlah beras di gudang PIBC dan sisa BULOG mengalami sedikit peningkatan menjadi 17.67 persen dari total beras di PIBC tahun 2012 (Tabel 7).

(4)

Gambar 6 Pasokan beras ke PIBC tahun 2012

Total beras yang dikeluarkan PIBC pada tahun 2011 mencapai 874 955 ton dengan rata-rata penyaluran beras per hari sekitar 2 919 ton (Tabel 8). Penyaluran beras ke dalam wilayah DKI Jakarta mengalami penurunan dibandingkan lima tahun sebelumnya, dimana lebih dari 50 persen beras PIBC disalurkan ke dalam wilayah Jakarta dan sisanya disalurkan ke pasar non DKI Jakarta. Namun, pada tahun 2011 hanya 49.11 persen beras dari PIBC yang tersalurkan di dalam wilayah DKI Jakarta, sisanya untuk pasar non DKI Jakarta seperti wilayah BODETABEK (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Karawang, Cirebon, Bandung, Sukabumi, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan antar pulau. Hal ini disebabkan oleh pemenuhan kebutuhan beras di wilayah Jakarta selain melalui PIBC juga bisa diperoleh dari pedagang daerah atau melalui agen-agen yang langsung disalurkan ke pasar eceran, perumahan, dan supermarket.

Kebutuhan beras yang disuplai dari PIBC untuk masyarakat Jakarta pada tahun 2011 sekitar 429 654 ton dalam satu tahunnya atau sekitar 2 500 ton per hari. Jumlah tersebut baru memenuhi 60 persen kebutuhan masyarakat Jakarta terhadap pangan yang berasal dari beras. Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan petugas PIBC, kekurangan suplai tersebut diduga masuk melalui „pasar bocoran‟ ke DKI Jakarta sekitar lebih dari 30 persen. „Pasar

bocoran‟ adalah upaya distribusi beras dari pihak swasta atau perorangan (agen)

dari pusat produksi langsung ke konsumen tanpa melalui PIBC. Pasar ini dari sisi kebijakan Pemda DKI Jakarta cukup merugikan, disamping itu dapat mengacaukan data stok beras dan distribusi beras di Jakarta.

Tabel 8 menunjukkan bahwa pengeluaran beras dari PIBC ke pasar non wilayah Jakarta mencapai 51.89 persen dengan persentase tertinggi untuk dikirim ke luar Jawa (antar pulau) sekitar 260 255 ton (29.74%). Pengiriman antar pulau sebagian besar untuk dikirim ke wilayah timur Indonesia, seperti ke Irian Jaya dan Maluku. Wilayah Tangerang merupakan wilayah hinterland Jakarta sebagai penerima beras PIBC tertinggi dibandingkan wilayah lainnya, pada Gambar 7 tampak bahwa wilayah tersebut menerima lebih dari 50 000 ton beras dari PIBC

(5)

pada tahun 2011, sedangkan wilayah lainnya seperti Bogor, Depok, Serang, Sukabumi, Karawang, Lebak, dan Pandeglang berada di area antara 100 ton hingga 25 000 ton beras, kecuali Bekasi yang menerima lebih dari 25 000 ton beras dari PIBC di tahun 2011. Persentase pengiriman ke wilayah Jawa Tengah (2.93%) lebih tinggi sekitar 1 persen dibandingkan ke Jawa Timur.

Gambar 7 Pengeluaran beras dari PIBC tahun 2011

Pola pemetaan seperti ini juga terlihat sama pada tahun 2012, data hingga bulan Agustus 2012 menunjukkan PIBC juga mengeluarkan 54.23 persen berasnya ke pasar non wilayah Jakarta dari total yang dikeluarkan 536 468 ton beras (Tabel 8). Pengeluaran tertinggi masih untuk pengiriman antar pulau (25.73%) dan wilayah Tangerang masih sebagai wilayah hinterland tertinggi penerima beras PIBC, hanya saja penerimaan pada tahun 2012 masih kurang dari 50 000 ton (42 987 ton). Wilayah lainnya seperti Bekasi hanya menerima sekitar 3.96 persen, Bogor (2.86%), Karawang (2.46%), Depok, Serang, Pandeglang, Lebak, Sukabumi, Bandung, dan Cirebon kurang dari 1 persen (Gambar 8).

Rendahnya angka pengeluaran beras ke wilayah tersebut menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan berasnya berasal dari dalam wilayahnya sendiri atau telah terjadi penurunan konsumsi beras di wilayah tersebut, mengingat wilayah hinterland Jakarta merupakan wilayah perkotaan dengan pola konsumsi beras yang relatif lebih rendah dibanding wilayah perdesaan. Perkembangan konsumsi beras penduduk Indonesia sejak 2002 sampai 2010 menunjukkan penurunan konsumsi beras baik di wilayah perkotaan dengan laju penurunan mencapai 1.95 persen maupun perdesaan yang mengalami penurunan konsumsi beras lebih rendah yaitu sebesar 1.28 persen. Disamping itu, tingkat konsumsi beras di wilayah perkotaan juga relatif lebih rendah dibandingkan wilayah perdesaan (Tabel 9). Selain itu, beberapa wilayah seperti Kota Depok memiliki program diversifikasi pangan dengan menetapkan satu hari tanpa beras bagi seluruh pegawai pemerintahan kota, sehingga program ini cukup berpengaruh dalam menurunkan konsumsi beras di wilayah tersebut.

(6)
(7)

Gambar 8 Pengeluaran beras dari PIBC tahun 2012

Tabel 9 Perkembangan konsumsi beras penduduk Indonesia (2002 – 2010)

Wilayah

Konsumsi beras (kg/kapita/tahun) Laju pertumbuhan

(%) 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2002-2010 Perkotaan 111.44 113.13 100.24 97.03 97.45 94.18 98.32 96.23 94.45 (1.95) Perdesaan 118.76 119.45 112.10 112.44 109.23 105.48 110.95 107.82 106.66 (1.28)

Sumber : Susenas 2002 – 2010 BPS diolah BKP-Kementan (Kementan 2010b)

Distribusi Beras dari PIBC ke Wilayah Kabupaten/Kota di Jakarta

Kondisi Umum Sektor Pertanian di DKI Jakarta

Hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk DKI Jakarta sebesar 9 607 787 orang yang terdiri atas 4 870 938 laki‐laki dan 4 736 849 perempuan. Kepulauan Seribu yang memang hanya memiliki luas wilayah kurang dari 1 persen dari total wilayah Jakarta hanya dihuni oleh sebesar 0.22 persen penduduk, sebagian besar persentase lainnya menyebar di Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Utara (Tabel 10).

Jumlah penduduk yang bekerja di bidang pertanian dari total jumlah penduduk tersebut mencapai 28 477 orang, dengan proporsi 26 936 laki-laki dan 1 541 perempuan (Gambar 9). Adapun jumlah Rumah Tangga Usaha Tani (RTUT) di kota ini pada tahun 2009 mencapai 1 100 rumah tangga petani padi yang tersebar di tiga kotamadya, yaitu Jakarta Timur (38%), Jakarta Barat (19%), dan di Jakarta Utara (43%) (BPS 2009). Produsen padi di DKI Jakarta hanya 0.04 persen dari total jumlah rumah tangga yang ada, sedangkan sisanya (99.96%) dipastikan sebagai konsumen (Gambar 10).

(8)

Tabel 10 Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan menurut kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta tahun 2010

Kabupaten/Kotamadya Luas Wilayah Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk per Km2 Km2 % (jiwa) % Kep. Seribu 8.70 1 21 082 0.22 2 423.22 Jakarta Selatan 141.27 21 2 062 232 21.46 14 597.82 Jakarta Timur 188.03 28 2 693 896 28.04 14 326.95 Jakarta Pusat 48.13 7 902 973 9.40 18 761.13 Jakarta Barat 129.54 20 2 281 945 23.75 17 615.76 Jakarta Utara 146.66 22 1 645 659 17.13 11 220.91 DKI Jakarta 662.33 100 9 607 787 100 13 157.63 Sumber: BPS Provinsi DKI Jakarta (2011)

Gambar 9 Distribusi penduduk bekerja di sektor pertanian

Gambar 10 Distribusi RTUT di Jakarta

Sejak tahun 2007, pemerintah melalui Departemen Pertanian melakukan gerakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) dengan sasaran peningkatan produksi yang berkelanjutan. Selama kurun waktu lima tahun terakhir, rata-rata produksi beras di wilayah DKI Jakarta mencapai sekitar 8 946 ton yang dihasilkan dari luas panen 1 699 hektar dengan rata-rata produktivitas 5.2 ton/ha (Tabel 11).

Tabel 11 Luas panen, produksi, dan produktivitas beras di DKI Jakarta (2006 – 2010)

Uraian Tahun Rata-rata

5 tahun

2006 2007 2008 2009 2010

Luas Panen (ha) 1 323 1 544 1 640 1 974 2 015 1 699

Produksi (ton) 6 197 8 002 8 352 11 013 11 164 8 946

Rata2 Produksi (ton/ha) 4.7 5.2 5.1 5.6 5.5 5.2

Sumber: diolah dari BPS Provinsi DKI Jakarta (2011)

Sebagai wilayah konsumen dengan jumlah penduduk yang jauh lebih banyak dibandingkan jumlah produksi berasnya, maka sudah dipastikan bahwa wilayah ini merupakan wilayah defisit. Perbandingan produksi dan konsumsi beras di wilayah ini selama kurun waktu lima tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 12. Selama kurun waktu lima tahun terakhir, DKI Jakarta mengalami defisit beras rata-rata sebesar 772 286 ton per tahun.

Laki-laki 26 936 95% Perempuan 1 541 5% Kep. Seribu 0 0% Jakarta Selatan 0 0% Jakarta Timur 418 38% Jakarta Pusat 0 0% Jakarta Barat 213 19% Jakarta Utara 469 43%

(9)

Tabel 12 Produksi dan konsumsi beras di DKI Jakarta tahun 2006 – 2010

Uraian Tahun Rata-rata

2006 2007 2008 2009 2010 5 tahun

Produksi Berasa (Ton) 3 888 5 020 5 240 6 910 7 004 5 612

Jumlah Penduduk (Jiwa) 8 961 680 7 554 461 7 616 838 8 523 157 9 607 787 8 452 785 Konsumsi Berasb (Ton) 824 475 695 010 700 749 784 130 885 127 777 898 Surplus/Defisit (820 587) (689 990) (695 509) (777 221) (876 912) (772 286) Sumber: diolah dari BPS Provinsi DKI Jakarta (2011)

a

: Konversi padi ke beras sekitar 62.74%. b: Asumsi konsumsi per kapita masyarakat DKI Jakarta 92 kg beras/kap/tahun (Kementan 2010b)

Distribusi Beras dari PIBC ke Wilayah DKI Jakarta

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa beras yang masuk ke PIBC dan disalurkan ke dalam wilayah DKI Jakarta pada tahun 2011 mencapai 429 654 ton dan dari sejumlah tersebut disalurkan ke pasar tradisonal (eceran), supermarket atau toko-toko di perumahan. Jumlah tersebut baru mampu memenuhi sekitar 56 persen defisit beras di DKI Jakarta. Informasi yang diperoleh dari pencatatan oleh petugas di PIBC dan pendekatan konsumsi masyarakat kabupaten/kota di wilayah DKI Jakarta (berdasarkan data Susenas 2010), diperoleh persentase penyebaran pendistribusian beras dalam wilayah Jakarta, yaitu dengan tingkat penerimaan beras tertinggi di wilayah sekitar Jakarta Timur mencapai 28.04 persen, diikuti oleh Jakarta Barat sekitar 23.75 persen dan Jakarta Selatan sebesar 21.46 persen. Kemudian Jakarta Utara hanya menerima sekitar 17.13 persen, dan Jakarta Pusat hanya sekitar 9.4 persen, diikuti oleh Kepulauan Seribu yang menerima paling sedikit, yaitu kurang dari 1 persen (Gambar 11).

Tabel 13 Pemenuhan kebutuhan beras wilayah Jakarta per kabupaten/kota

Kab/Kota Jumlah Penduduk1 (jiwa) Kebutuhan Beras2 (ton/tahun)

Pemasukan dari PIBC Kekurangan kebutuhan beras dari luar

PIBC (ton) ton/tahun % Kep. Seribu 21 082 1 942 943 0.22 (999) Jakarta Selatan 2 062 232 189 985 92 222 21.46 (97 764) Jakarta Timur 2 693 896 248 178 120 469 28.04 (127 709) Jakarta Pusat 902 973 83 187 40 380 9.40 (42 807) Jakarta Barat 2 281 945 210 226 102 047 23.75 (108 179) Jakarta Utara 1 645 659 151 608 73 593 17.13 (78 015)

Total DKI Jakarta 9 607 787 885 127 429 654 100.00 (455 473)

1

: BPS Provinsi DKI Jakarta (2011); 2 : berdasarkan nilai konsumsi beras per kapita DKI Jakarta yaitu 92 kg beras/kap/tahun (Kementan 2010b)

Tabel 13 menunjukkan penyaluran beras tertinggi pada tahun 2011 di wilayah Jakarta Timur (120 469 ton) dikarenakan faktor lokasi yang dekat dengan PIBC sehingga beberapa pasar eceran/tradisional seperti pasar Cawang Kapling, Jatinegara, Rawamangun, Klender, Kramat Jati, Gembrong, Cipinang, mudah mengakses beras dari pasar induk, selain itu wilayah tersebut merupakan wilayah dengan nilai konsumsi beras tertinggi, yaitu mencapai 248 178 ton. Kepulauan seribu menerima beras terendah dari PIBC dikarenakan wilayah tersebut juga

(10)
(11)

menghasilkan beras sendiri untuk pemenuhan kebutuhan pangannya, selain itu nilai konsumsi beras di wilayah ini hanya sekitar 1 942 ton per tahun.

Wilayah perkotaan seperti Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Utara cenderung menerima beras lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain, seperti Jakarta Barat dan Jakarta Timur. Ini menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat Jakarta di perkotaan sudah mulai mengurangi konsumsi beras dibandingkan di wilayah pinggiran, terutama di wilayah Jakarta Timur dimana memiliki angka penyaluran beras tertinggi dari PIBC.

Pemenuhan kebutuhan beras di kabupaten/kota wilayah Jakarta rata-rata hanya terpenuhi kurang dari 50 persen dari kebutuhannya yang berasal dari pengiriman beras PIBC, kekurangannya sekitar 455 473 ton beras diperoleh dari luar PIBC. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan fungsi PIBC sebagai penyalur beras utama di wilayah DKI Jakarta, karena saat ini sebagian besar beras yang diperoleh masyarakat kota/kabupaten di Jakarta berasal dari luar PIBC, dimana pedagang pengecer dapat membeli langsung ke agen atau ke pedagang dari daerah pemasok.

Jumlah pedagang pengecer yang berada di PIBC tersebar ke beberapa pasar tradisional di wilayah Jakarta, hal ini juga mempengaruhi banyaknya beras yang didistribusikan ke pasar di wilayah tersebut. Misalnya di wilayah Jakarta Timur terdapat 6 pasar dengan jumlah pedagang sekitar 96 orang, Jakarta Barat terdapat 5 pasar dengan jumlah pedagang sekitar 43 orang, Jakarta Selatan terdapat 3 pasar dengan jumlah pedagang 26 orang, Jakarta Utara terdapat 4 pasar dengan jumlah pedagang 31 orang, dan Jakarta Pusat terdapat 2 pasar dengan jumlah pedagang 30 orang (Tabel 14).

Tabel 14 Jumlah pedagang pengecer di pasar tradisional (eceran) di wilayah Jakarta yang menyuplai beras dari PIBC tahun 2012

Wilayah Pasar Tradisional/Eceran Jumlah Pedagang Pengecer

Jakarta Timur Rawamangun Klender Kramat Jati Cawang Kapling Cipinang Gembrong 10 10 10 20 20 26 Jakarta Utara Pademangan Barat Sindang Teluk Gong Sunter 15 5 6 5 Jakarta Selatan Pasar Minggu Pondok Labu Tebet Barat 6 14 6

Jakarta Pusat Cempaka Putih

Bendungan Ilir 10 20 Jakarta Barat Palmerah Cengkareng Jembatan Lima Grogol Citra Garden 5 15 10 8 5

(12)

Saluran Pemasaran Beras ke dan dari DKI Jakarta

Secara umum, saluran pemasaran beras dari sentra produksi ke pasar DKI Jakarta melalui PIBC direpresentasikan pada Gambar 14. Rata-rata beras yang disalurkan dari PIBC pada tahun 2011 sekitar 2 919 ton per hari, dari jumlah tersebut didistribusikan ke pasar di luar wilayah Jakarta sebesar 1 900 ton atau 51 persen, sedangkan sisanya diserap oleh pasar DKI Jakarta yaitu untuk supermarket sebesar 12 persen, perumahan sebesar 4 persen dan ke pasar eceran di sekitar wilayah DKI Jakarta sebesar 33 persen. Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan jumlah beras yang masuk ke wilayah DKI Jakarta melalui PIBC dibandingkan 5 tahun sebelumnya, dimana PIBC masih menyalurkan beras ke wilayah DKI Jakarta sebanyak lebih dari 60 persen (Mansyur 2006). Penurunan tersebut disebabkan karena semakin banyaknya beras yang masuk ke wilayah Jakarta melalui pasar lokal ataupun agen beras langsung, tanpa melalui PIBC.

Gambar 12 merepresentasikan saluran pemasaran beras dari pedagang daerah hingga ke tangan konsumen di wilayah DKI Jakarta. Konsumen wilayah DKI Jakarta memperoleh beras dari total delapan kombinasi saluran pemasaran yang melalui tiga saluran pengecer yaitu supermarket, pasar tradisional/eceran, dan pengecer perumahan.

Gambar 12 Saluran pemasaran beras di wilayah DKI Jakarta Pada supermarket terdapat 2 saluran pemasaran yang terjadi yaitu : 1. Pedagang daerah pemasok → PIBC → supermarket → konsumen 2. Pedagang daerah pemasok → supermarket → konsumen

Pada pengecer perumahan terdapat 2 saluran pemasaran yaitu : 1 2 3 4 5 6 7 8 8 5 6 7 4 3 1 Pedagang dari Daerah Pemasok Agen PIBC (100%)

Pasar non DKI Jakarta (51%)

Pasar DKI Jakarta (49%) Supermarket (12%) Perumahan (4%) Pasar Tradisional (33%) Konsumen q

(13)

3. Pedagang daerah pemasok → PIBC → pengecer perumahan → konsumen 4. Pedagang daerah pemasok → agen → pengecer perumahan → konsumen

Sedangkan pada pasar tradisional terdapat 4 saluran pemasaran antara lain : 5. Pedagang daerah pemasok → PIBC → pengecer di pasar tradisional →

konsumen

6. Pedagang daerah pemasok → PIBC → agen → pengecer di pasar tradisional → konsumen

7. Pedagang daerah pemasok → agen → pengecer di pasar tradisional → konsumen

8. Pedagang daerah pemasok → pengecer di pasar tradisional → konsumen

Saluran 1 menunjukkan alur pemasaran beras dari pedagang daerah

pemasok melalui PIBC untuk dijual di supermarket di wilayah Jakarta, secara keseluruhan sekitar 12 persen beras dari total beras di PIBC yang disalurkan ke saluran ini. Supermarket selain memperoleh beras dari PIBC juga bisa mengambil langsung dari pedagang daerah sentra produksi atau daerah pemasok, seperti yang ditunjukkan pada saluran 2. Beras tersebut biasanya dikumpulkan terlebih dahulu di gudang penyimpanan, sebelum didistribusikan ke seluruh cabangnya. Sistem pembayaran dilakukan dengan konsinyasi, dimana seluruh biaya pengangkutan ditanggung oleh pemasok dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Beberapa supermarket yang mendapat pasokan dari PIBC mengemas ulang beras tersebut dengan logo nama dagangnya sendiri, dengan cara ini supermarket dapat memperoleh selisih keuntungan sekitar Rp500 sampai dengan Rp 1 000 per kg dari harga di PIBC.

Saluran 3 merupakan alur pemasaran beras dari pedagang daerah pemasok

melalui PIBC untuk dijual di pengecer perumahan di wilayah Jakarta, secara keseluruhan hanya 4 persen beras dari total beras di PIBC yang disalurkan ke saluran ini. Selain melalui PIBC, pedagang pengecer perumahan juga dapat memperoleh beras dari agen di wilayahnya yang langsung memperoleh beras dari pedagang daerah, seperti ditunjukkan pada saluran 4. Agen merupakan toko yang menyalurkan beras ke pedagang-pedagang baik di perumahan maupun di pasar eceran dengan mendatangkan beras secara langsung dari daerah sentra produksi atau dengan berlangganan ke pedagang grosir di PIBC. Daerah sentra yang menjadi tempat pembelian beras utama para agen adalah Karawang, terutama dilakukan pada musim paceklik. Sedangkan pada saat panen raya para agen biasanya melakukan pembelian beras di PIBC, ini terjadi karena pedagang beras daerah sentra cenderung melepas harga rendah di PIBC bila beras yang dibawanya tidak laku.

Saluran 5 menunjukkan alur pemasaran beras untuk dijual oleh pengecer di

pasar tradisional yang diperoleh dari PIBC, yaitu sekitar 33 persen dari total beras di PIBC. Selain melalui PIBC, ada juga pedagang pengecer yang mengambil beras dari agen yang juga memperoleh beras dari PIBC seperti terlihat pada

saluran 6 sehingga saluran ini merupakan saluran terpanjang dari 8 saluran yang

ada. Informasi yang diperoleh dari beberapa pedagang beras di pasar tradisional/eceran di Jakarta menunjukkan bahwa sebagian besar pengecer memiliki pola yang sama, yaitu pedagang memperoleh beras dari PIBC seperti pada saluran 5 dan 6, namun ada juga sebagian yang memperoleh langsung dari agen (saluran 7) atau daerah sentra (saluran 8), karena selisih harga yang cukup

(14)

besar kadang terjadi antara harga beras di PIBC dengan harga beras di daerah sentra produksi/daerah pemasok.

Pedagang besar di daerah sentra produksi membeli gabah langsung dari petani dan dari buruh panen padi. Pedagang tersebut bekerjasama dengan para tengkulak, yaitu berupa menerima pasokan dari tengkulak atau memberi sejumlah tip untuk tengkulak yang membantu mencari petani yang memiliki hasil panen siap jual. Dalam hal ini pedagang mengambil langsung barang (gabah) ke petani.

Pedagang di PIBC sebagai pelaku utama dalam perdagangan beras di pasar ini adalah pedagang grosir, yaitu pemilik toko yang menampung beras dari daerah sentra produksi untuk dijual ke pasar tradisional (eceran), perumahan, dan supermarket. Hasil wawancara dengan sekitar 40 pedagang grosir di PIBC menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang grosir memperoleh beras dari pedagang daerah sentra produksi yang datang ke PIBC, antara lain berasal dari Karawang, Cirebon, Subang, Indramayu, Bandung, Cianjur, Garut, Demak, Solo, Tegal, Pamanukan, Solok, Lampung, Makasar, dll. Dalam pembelian beras tersebut pedagang grosir harus membayar tunai.

Umumnya pedagang beras di PIBC melakukan pengepakan ulang terhadap beras yang dibelinya dan diberi merk sendiri. Beberapa pedagang lebih memilih menjual beras untuk dikirim ke luar provinsi atau antarpulau dibanding untuk pasar pengecer di Jakarta dengan alasan pembayaran untuk pasar eceran lokal di Jakarta sebagian besar dengan sistem tenggat 1 atau 2 bulan, sedangkan untuk pengiriman ke luar kota sistem pembayarannya cukup cepat, yaitu 50 persen saat beras dikirim dan sisanya dibayar saat beras diterima di tujuan. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya penurunan aliran beras dari PIBC ke dalam wilayah Jakarta.

Selain itu, pedagang pengecer saat ini dapat memperoleh beras langsung dari pedagang daerah yang datang, tidak melalui kios di PIBC. Praktek seperti ini sebenarnya melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh PIBC dan Pemda DKI Jakarta, namun masih sering terjadi karena kurangnya ketegasan hukum. Praktek ini merugikan para pedagang grosir pemilik kios di PIBC, karena akhirnya pedagang pengecer langsung membeli di atas truk, namun pembelian secara langsung ini tidak memberikan harga yang lebih murah dibanding pengecer membeli melalui PIBC, karena berdasarkan pengamatan umumnya harga yang diterima pengecer lebih mahal 2 – 3 persen. Hal ini terjadi karena adanya komisi untuk perantara (calo) yang menjadi penghubung antara pedagang daerah dengan pengecer pasar lokal di Jakarta.

Analisis Interaksi Spasial dari Daerah Pemasok Beras ke DKI Jakarta

Faktor yang Mempengaruhi Volume Pasokan Beras ke PIBC

Pemasaran suatu komoditas antar wilayah akan berlangsung ketika terjadi permintaan dari suatu wilayah dan wilayah lainnya melakukan penawaran, sehingga terjadi perpindahan komoditas antar wilayah. Konsep permintaan dan penawaran yang diamati pada penelitian ini adalah pola pemasaran beras dari wilayah hinterland Jakarta ke PIBC yang berada di wilayah DKI Jakarta.

Hasil analisis model gravitasi untuk aliran pemasaran beras ke PIBC pada tahun 2011 ditampilkan pada Tabel 15. Berdasarkan hasil pada Tabel 12 dapat diketahui bahwa dari tujuh variabel yang diukur terdapat tiga variabel yang

(15)

berpengaruh secara nyata terhadap aliran pemasaran beras ke PIBC (p < 5%). Dalam hal ini terlihat bahwa pemasaran beras ke PIBC sangat dipengaruhi oleh daya dorong dari wilayah asal berupa produksi beras dan jumlah petani di

wilayah asal. Produksi beras di wilayah asal bernilai 3.19 yang berarti bahwa

apabila produksi beras di wilayah asal meningkat 1 persen maka akan meningkatkan aliran beras dari wilayah asal ke PIBC sebesar 3.19 persen. Demikian juga dengan peningkatan jumlah petani di wilayah asal sebesar 1 persen akan meningkatkan aliran beras dari wilayah asal ke PIBC sebesar 2.18 persen.

Tabel 15 Faktor yang mempengaruhi aliran pemasaran beras ke PIBC

Variabel Dugaan Taraf Nyata (p)

Intercept

Produksi beras di wilayah asal (Mi)

Penyaluran beras ke dalam wilayah tujuan PIBC Jakarta (Mj)

Populasi/jumlah petani di wilayah asal (Pi)

Populasi penduduk di wilayah tujuan (Pj)

Harga beras di wilayah asal (Hi)

Harga beras di wilayah tujuan (Hj)

Jarak dari wilayah asal ke wilayah tujuan (Dij)

Koefisien determinasi (R2) -81.60234 3.190303 0.260175 2.181365 0.252474 0.659207 1.007885 -2.211333 70.12% 0.0165 0.0028* 0.8248 0.0035* 0.9525 0.7886 0.8180 0.0698* Keterangan:

*: Berpengaruh nyata pada p < 5%

Sebaliknya variabel yang secara nyata berpengaruh mengurangi interaksi pemasaran antar wilayah adalah jarak dari wilayah asal ke wilayah tujuan, jika jarak tersebut bertambah 1 persen, maka akan menurunkan jumlah pengiriman beras ke PIBC dari wilayah asal sebesar 2.21 persen. Semakin jauh jarak antara pemasok dengan pasar tujuan akan mengurangi interaksi aliran barang ke pasar tujuan, karena pemasok akan lebih memilih pasar terdekat untuk pemasaran berasnya. Hal ini sesuai dengan teori bahwa jarak akan menambah biaya transport dalam pemasaran beras.

Populasi penduduk di wilayah tujuan berpengaruh namun tidak nyata dalam pemasaran beras ke PIBC, tingginya jumlah penduduk di wilayah tujuan dalam hal ini DKI Jakarta cukup menjadi daya tarik dalam peningkatan aliran beras ke PIBC, jika jumlah penduduk meningkat 1 persen, maka hanya akan meningkatkan pengiriman beras dari wilayah asal ke PIBC sebanyak 0.25 persen. Semakin tinggi jumlah penduduk di Jakarta akan semakin meningkatkan aliran beras dari wilayah pemasok ke Jakarta, hal ini patut diwaspadai untuk beberapa tahun ke depan, karena dikhawatirkan wilayah pemasok memiliki keterbatasan penyediaan beras terutama dikaitkan dengan banyak terjadinya konversi lahan di wilayah tersebut. Alternatif wilayah lain diperlukan sebagai pemasok beras ke Jakarta, misalnya dari wilayah Sumatera dan Sulawesi.

Demikian juga dengan jumlah penyaluran beras dari PIBC ke dalam wilayah Jakarta tidak menjadi faktor yang nyata mempengaruhi aliran beras dari wilayah pemasok ke PIBC. Hal ini dapat terjadi karena berdasarkan data penyaluran beras dari PIBC ke Jakarta terlihat bahwa jumlah beras yang disalurkan ke wilayah Jakarta kurang dari 50 persen dari beras yang masuk ke PIBC, artinya penyaluran beras ke Jakarta saat ini tidak hanya melalui PIBC namun bisa melalui pasar lain atau melalui mekanisme lain, seperti adanya penyaluran beras miskin bagi RT miskin di Jakarta. Selain itu, adanya stok beras

(16)

di gudang PIBC serta sisa beras Bulog juga menjadi salah satu alasan mengapa jumlah penyaluran beras ke dalam wilayah Jakarta tidak berpengaruh nyata terhadap aliran beras yang masuk ke PIBC.

Harga di wilayah asal dan wilayah tujuan berdasarkan hasil analisis tidak menjadi faktor yang nyata dalam mempengaruhi aliran pemasaran beras dari wilayah pemasok ke wilayah tujuan (PIBC). Hal ini disebabkan oleh perbedaan harga beras baik di wilayah asal maupun di wilayah tujuan tidak menunjukkan nilai atau rentang perbedaan yang signifikan, dalam arti range harga beras di kedua wilayah tersebut tidak terlalu ekstrim berbeda.

Nilai koefisien determinasi hasil perhitungan menunjukkan bahwa 70.12 persen keragaman laju aliran beras ke PIBC (Tij) dapat dijelaskan oleh

variabel-variabel penjelasnya (Mi, Mj, Pi, Pj, Hi, Hj dan dij) dan sisanya yaitu sebesar 29.88

persen dijelaskan oleh faktor lain di luar model. Ini berarti seluruh variasi Y (Tij) dapat dijelaskan oleh variabel penjelas yang dimasukkan ke dalam model atau dapat dikatakan bahwa model sudah cukup baik, dalam arti pemilihan variabel penjelas sudah tepat. Keputusan ini dapat diterima jika uji F menunjukkan nilai yang besar atau signifikan, berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai F hitung (5.69) lebih besar dibandingkan F tabel (2.61) pada selang kepercayaan 5 persen (α = 0.05), hal ini menunjukkan bahwa seluruh variabel independen nyata menjelaskan variabel dependen (Lampiran 1).

Pemasok Beras dengan Daya Dorong Tertinggi ke PIBC Jakarta

Hasil olahan dengan model gravitasi menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi aliran beras ke PIBC dari wilayah asal atau daerah pemasok bahwa daya dorong wilayah asal menjadi faktor utama yang mempengaruhi pengiriman beras ke PIBC secara spasial. Namun belum diketahui wilayah mana yang merupakan wilayah pemasok beras utama dengan nilai daya dorong tertinggi. Persamaan yang diperoleh berdasarkan hasil olahan data panel adalah sebagai berikut:

ln 𝑇𝑖𝑗 = 𝐾 + 𝛼1𝑙𝑛𝑀𝑖+ 𝛽1𝑙𝑛𝑀𝑗+ 𝛼2𝑙𝑛 𝑃𝑖+ 𝛽2𝑙𝑛𝑃𝑗 + 𝛼3𝑙𝑛𝐻𝑖+ 𝛽3𝑙𝑛𝐻𝑗− 𝑏𝑑𝑖𝑗

ln 𝑇𝑖𝑗= −81.60 + 𝟑. 𝟏𝟗𝑙𝑛𝑀𝑖+𝟎. 𝟐𝟔𝑙𝑛𝑀𝑗+ 𝟐. 𝟏𝟖𝑃𝑖+𝟎. 𝟐𝟓𝑙𝑛𝑃𝑗+ 𝟎. 𝟔𝟔𝑙𝑛𝐻𝑖+ 𝟏. 𝟎𝟏𝑙𝑛𝐻𝑖− 2.21𝑑𝑖𝑗

Berdasarkan teori dalam persamaan gravitasi, apabila nilai α lebih besar dari β, maka interaksi antar wilayah terutama ditimbulkan oleh aktivitas produksi di wilayah asal (model potensial). Namun, jika β lebih tinggi dari α, maka interaksi antar wilayah lebih disebabkan oleh daya tarik aktivitas pasar di wilayah tujuan (model persaingan pasar).

Hasil perhitungan dengan persamaan gravitasi menunjukkan bahwa total nilai α yang dihasilkan sebesar 6.03 (3.19 + 2.18 + 0.66), lebih tinggi 4.51 satuan dibandingkan dengan total nilai β (1.52), hal ini menunjukkan bahwa interaksi antar wilayah untuk aliran beras ke PIBC dari wilayah asal di sekitar hinterland Kota Jakarta lebih disebabkan oleh tingginya aktivitas produksi di wilayah asal sehingga daya dorong dari wilayah asal lebih tinggi dibandingkan dengan daya tarik yang dimiliki oleh Jakarta, dalam hal ini PIBC.

Seharusnya Jakarta lebih mempunyai daya tarik untuk pemasaran beras dari wilayah asal dibandingkan dengan potensi wilayah asal, jika melihat tingginya

(17)

pangsa pasar di Jakarta, karena jumlah penduduk yang relatif lebih tinggi dibandingkan ketersediaan berasnya. Anomali ini bisa terjadi karena variabel yang digunakan sebagai faktor penarik hanya tiga, yaitu jumlah penduduk, jumlah penyaluran beras dari PIBC ke dalam wilayah Jakarta, dan harga beras di PIBC. Kemungkinan hasilnya akan berbeda jika variabel konsumsi atau kebutuhan beras sebenarnya masyarakat Jakarta dapat dijadikan salah satu variabel, namun hal ini tidak dilakukan karena adanya multikorelasi antara variabel jumlah penduduk dengan konsumsi/kebutuhan beras di Jakarta, dimana nilai konsumsi diperoleh berdasarkan angka konsumsi per kapita masyarakat.

Wilayah asal yang memiliki nilai daya dorong tertinggi adalah Karawang, yaitu sekitar 0.56 satuan dibandingkan dengan wilayah lain yang nilainya jauh lebih kecil (Tabel 16). Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa jarak wilayah asal ke wilayah tujuan pemasaran menjadi faktor yang sangat mempengaruhi aliran pemasaran beras ke PIBC. Karawang menjadi wilayah dengan daya dorong tertinggi karena tingginya produksi di wilayah tersebut serta jaraknya yang relatif dekat dengan Jakarta dimana PIBC berada, sedangkan Cirebon mengirimkan pasokan paling tinggi dibandingkan wilayah lain serta angka produksi berasnya juga cukup tinggi, namun memiliki nilai daya dorong terendah, dikarenakan faktor jarak yang relatif jauh dengan Kota Jakarta. Semakin jauh jarak wilayah asal ke tujuan pemasaran, maka akan semakin rendah nilai daya dorong dari wilayah tersebut. Peningkatan biaya transport akan sangat mempengaruhi pembentukan harga di tingkat konsumen.

Tabel 16 Daya dorong wilayah asal

Wilayah Asal Nilai Model Potensial

(Daya Dorong) Karawang Cirebon Bandung Cianjur Serang-Banten 0.56 0.03 0.09 0.21 0.11

Analisis Daya Dukung Lahan di Daerah Pemasok Beras

Hasil analisis keterkaitan antar wilayah menunjukkan bahwa Karawang merupakan wilayah asal pemasok beras ke PIBC yang mempunyai daya dorong tertinggi untuk mengirimkan hasil produksi berasnya ke wilayah DKI Jakarta. Berdasarkan hasil tersebut, dilakukan analisis daya dukung lahan per kecamatan di wilayah sentra produksi beras tersebut untuk mengetahui kemampuannya dalam mensuplai kebutuhan beras Jakarta apakah bisa berlanjut atau tidak.

Jumlah penduduk Kabupaten Karawang pada tahun 2010 mencapai 2 127 791 jiwa, terdiri atas 1 096 892 jiwa penduduk laki-laki dan 1 030 899 jiwa penduduk perempuan. Rata-rata kepadatan penduduk (density rate) 1 214 jiwa/ km² (Tabel 17). Laju pertumbuhan penduduk per tahun selama satu dasawarsa terakhir sebesar 1.76 persen. Penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Karawang Barat yaitu sebesar 155 471 jiwa, karena Kecamatan Karawang Barat merupakan wilayah pusat pemerintahan. Kemudian disusul Kecamatan Klari

(18)

dengan jumlah penduduk sebesar 155 336 jiwa, sedangkan jumlah penduduk terkecil berada di Kecamatan Tegalwaru dengan jumlah penduduk hanya sebanyak 34 154 jiwa. Terdapat 619 566 Kepala Keluarga (KK) di Karawang, dari sejumlah tersebut hanya sekitar 26 persen bekerja di sektor pertanian (159 450 KK).

Tabel 17 Kondisi umum kependudukan Kabupaten Karawang (2010)

No Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah Penduduk (Jiwa) Kepadatan (jiwa/km2) Jumlah KK Jumlah KK Petani 1 Pangkalan 17 934 17 311 35 245 373 10 701 4 669 2 Tegalwaru 17 647 16 507 34 154 396 10 789 7 590 3 Ciampel 19 542 19 798 39 340 357 11 698 4 641 4 Telukjambe Timur 66 958 59 658 126 616 3 155 32 267 613 5 Telukjambe Barat 25 322 23 481 48 803 665 14 562 3 744 6 Klari 79 143 76 193 155 336 2 616 41 394 3 598 7 Cikampek 55 007 52 013 107 020 2 248 29 092 2 580 8 Purwasari 32 153 31 121 63 274 2 149 15 324 2 406 9 Tirtamulya 22 658 21 616 44 274 1 263 14 371 5 017 10 Jatisari 36 971 35 032 72 003 1 351 19 801 9 658 11 Banyusari 26 123 24 889 51 012 922 16 806 4 696 12 Kotabaru 61 566 58 144 119 710 3 931 26 962 2 070 13 Cilamaya Wetan 39 103 36 215 75 318 1 086 25 399 6 645 14 Cilamaya Kulon 30 935 28 845 59 780 946 20 621 2 270 15 Lemahabang 31 307 29 451 60 758 1 295 18 743 10 454 16 Talagasari 31 225 28 938 60 163 1 316 19 599 8 885 17 Majalaya 22 703 21 313 44 016 1 463 12 041 6 894 18 Karawang Timur 61 643 56 358 118 001 3 964 26 786 2 457 19 Karawang Barat 79 923 75 548 155 471 4 616 41 151 3 631 20 Rawamerta 25 198 23 459 48 657 984 15 751 7 099 21 Tempuran 30 374 28 234 58 608 665 19 959 15 637 22 Kutawaluya 28 123 25 618 53 741 1 104 18 224 3 581 23 Rengasdengklok 53 793 50 701 104 494 3 321 32 433 2 239 24 Jayakerta 31 295 28 634 59 929 1 453 17 097 2 605 25 Pedes 36 389 33 779 70 168 1 153 22 689 10 142 26 Cilebar 20 539 18 882 39 421 614 13 214 2 202 27 Cibuaya 25 071 23 589 48 660 558 13 658 4 989 28 Tirtajaya 31 850 30 069 61 919 671 22 366 7 181 29 Batujaya 37 938 37 398 75 336 820 24 666 8 065 30 Pakisjaya 18 459 18 105 36 564 567 11 402 3 192 TOTAL KARAWANG 1 096 892 1 030 899 2 127 791 1 214 619 566 159 450

Sumber: diolah dari BPS Kabupaten Karawang (2011)

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa status daya dukung lahan total di Kabupaten Karawang secara global dari 30 kecamatan menunjukkan bahwa Karawang mengalami defisit. Kecamatan yang memiliki daya dukung lahan surplus ada 11 kecamatan, Kecamatan Pangkalan, Tegalwaru, Talagasari, Rawamerta, Tempuran, Kutawaluya, Cilebar, Cibuaya, Tirtajaya, Batujaya, dan Pakisjaya, sedangkan 19 kecamatan lainnya terjadi defisit daya dukung lahan (Gambar 13). Artinya secara keseluruhan total produksi aktual di 30 kecamatan tersebut yang kemudian disetarakan dengan ketersediaan lahan lebih kecil dibandingkan kebutuhan lahan yang diasumsikan setara luas lahan untuk menghasilkan satu ton setara beras per tahun dari jumlah populasi di wilayah tersebut.

(19)

Gambar 13 Kondisi Daya Dukung Lahan di Kabupaten Karawang

Nilai daya dukung lahan tertinggi di Kecamatan Cilebar dengan perbandingan antara ketersediaan lahan (SL) dan kebutuhan lahan (DL) sebesar

1.64, diikuti oleh Kecamatan Talagasari dengan nilai perbandingan 1.60. sedangkan 9 kecamatan lainnya memiliki nilai perbandingan antara 1.01 – 1.50 (Tabel 17). Pada perhitungan daya dukung khusus beras, diperoleh nilai daya dukung total untuk beras di Karawang masih di atas 1, yaitu 3.78 dengan nilai tertinggi juga dimiliki oleh Kecamatan Talagasari (10.92) dan Cilebar (10.32). Rincian perhitungan daya dukung lahan dapat dilihat pada Lampiran 3.

Dilihat dari sisi ketersediaan beras di Kabupaten Karawang, terdapat beberapa kecamatan surplus beras. Berdasarkan data tahun 2010, total konsumsi beras di Karawang mencapai 222 304 ton, dihitung dari rata-rata konsumsi per kapita untuk masyarakat kota (Cikampek, Karawang Barat, dan Karawang Timur) sebesar 94.45 kg/kapita/tahun dan masyarakat perdesaan (27 kecamatan lainnya) sebesar 106.66 kg/kap/tahun. Namun demikian, jika dibandingkan dengan jumlah total produksi beras di Karawang yang mencapai 856 353 ton, maka diketahui bahwa wilayah ini masih mengalami surplus beras sekitar 634 039 pada tahun 2010. Surplus inilah yang kemudian disalurkan ke wilayah lain di sekitar Karawang, terutama ke Jakarta melalui PIBC. Penyebaran produksi beras menurut kecamatan di wilayah Karawang dapat dilihat pada Tabel 18.

Kecamatan yang mengalami defisit beras hanya di Kecamatan Telukjambe Timur dan Cikampek, dimana ketiga kecamatan tersebut juga merupakan kecamatan dengan nilai daya dukung lahan dan daya dukung khusus beras kurang dari 1. Sedangkan 28 kecamatan lainnya mengalami surplus. Gambar 14 menunjukkan penyebaran kecamatan surplus dan defisit beras di Karawang.

Perhitungan daya dukung dengan menggunakan konsep perhitungan sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 (Kemeneg LH 2009), mengasumsikan kebutuhan lahan dengan 1 ha lahan yang dipergunakan untuk menghasilkan 1 ton beras per tahun untuk hidup layak per penduduk. Kabupaten Karawang secara keseluruhan mempunyai status daya dukung lahan yang defisit (0.63), namun dihitung dari daya dukung lahan khusus beras diperoleh status surplus (3.78) (Tabel 18). Harus disadari bahwa pola konsumsi,

12573 11493 2886 4650 72258131 3492 4837 7525 11558 10601 4242 17621 14449 13606 10654 7190 10833 9562 12327 19084 12,556 10280 9278 15432 16150 14387 19435 18977 12813 8394 9002 9152 36812 12547 37716 26984 17848 10159 18611 14181 25579 26738 15542 14358 6647 10466 32982 36470 11626 15,246 12416 29080 14666 16776 9838 11243 15218 18099 8923 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000

Ketersediaan Lahan (SL) Kebutuhan Lahan (DL)

Lua s ke te rs e di aa n da n ke but uha n la ha n (ha )

(20)

minat konsumsi, tidak selamanya sesuai dengan asumsi dasar yang dipergunakan oleh konsep ini. Status daya dukung lahan ini tidak dapat dibaca secara mentah namun perlu dilihat juga data mengenai kebutuhan dan ketersediaan pangan pokok (beras) untuk melihat kemandirian pemenuhan pangan di wilayah pengamatan agar tidak terjadi kekeliruan dalam melihat permasalahan daya dukung lahan di wilayah pengamatan.

Gambar 14 Penyebaran kecamatan surplus dan defisit beras di Kabupaten Karawang

Dari data penyebaran wilayah surplus beras di Karawang dapat diketahui bahwa sebenarnya untuk kebutuhan pangan pokok (beras) Kabupaten Karawang sudah dapat memenuhinya sendiri. Sedangkan kebutuhan lain seperti jagung, kedelai, daging, susu, telur masih harus dipenuhi dari wilayah lain. Komoditas-komoditas inilah yang menyebabkan rendahnya perhitungan daya dukung lahan di Kabupaten Karawang. Rustiadi (2011) menyebutkan bahwa konsep perhitungan daya dukung lahan yang digunakan ini mempunyai beberapa kelemahan diantaranya adalah asumsi bahwa suatu wilayah memenuhi kebutuhannya sendiri, dan tidak berinteraksi dengan wilayah lain dalam memenuhi kebutuhan pangan. Belum adanya pemilahan kebutuhan akan biohayati pokok maupun yang bisa

(21)

disubstitusikan, serta pola konsumsi yang berbeda di tiap kelompok masyarakat menyebabkan konsep perhitungan daya dukung lahan berdasarkan neraca bioproduk harus disesuaikan dengan masing-masing tipologi wilayahnya.

Tabel 18 Produksi dan konsumsi beras menurut kecamatan di Karawang (2010) No Kecamatan Produksi Beras

1) (Ton) Konsumsi Beras2) (Ton) Surplus/ Defisit SL/DL SB/DB 1 Pangkalan 21 598 3 759 17 839 1.50 6.49 2 Tegalwaru 16 713 3 643 13 070 1.28 5.07 3 Ciampel 6 774 4 196 2 578 0.32 1.54 4 Telukjambe Timur 8 293 13 505 (5 212) 0.13 0.82 5 Telukjambe Barat 17 193 5 205 11 987 0.58 3.48 6 Klari 24 152 16 568 7 584 0.22 1.46 7 Cikampek 5 317 10 108 (4 791) 0.13 0.50 8 Purwasari 11 944 6 749 5 195 0.27 1.69 9 Tirtamulya 23 069 4 722 18 347 0.74 4.67 10 Jatisari 32 752 7 680 25 072 0.62 4.08 11 Banyusari 28 587 5 441 23 146 0.75 5.02 12 Kotabaru 14 544 12 768 1 776 0.17 1.23 13 Cilamaya Wetan 27 941 8 033 19 908 0.66 3.33 14 Cilamaya Kulon 38 185 6 376 31 809 0.93 5.73 15 Lemahabang 33 610 6 480 27 130 0.95 4.96 16 Talagasari 73 240 6 417 66 823 1.60 10.92 17 Majalaya 19 553 4 695 14 858 0.69 3.98 18 Karawang Timur 14 384 11 145 3 239 0.33 1.23 19 Karawang Barat 20 282 14 684 5 598 0.26 1.33 20 Rawamerta 36 683 5 190 31 494 1.06 6.76 21 Tempuran 50 462 6 251 44 211 1.25 7.72 22 Kutawaluya 39 576 5 732 33 844 1.01 6.60 23 Rengasdengklok 18 099 11 145 6 954 0.35 1.55 24 Jayakerta 30 516 6 392 24 124 0.63 4.57 25 Pedes 45 101 7 484 37 617 0.92 5.76 26 Cilebar 45 390 4 205 41 185 1.64 10.32 27 Cibuaya 35 715 5 190 30 525 1.28 6.58 28 Tirtajaya 48 144 6 604 41 540 1.28 6.97 29 Batujaya 42 924 8 035 34 889 1.05 5.11 30 Pakisjaya 25 610 3 900 21 711 1.44 6.28 TOTAL KARAWANG 856 353 222 304 634 049 0.63 3.78

Sumber: diolah dari BPS Kabupaten Karawang (2011)

1)

: Konversi padi ke beras sekitar 62.74 %, 2): Asumsi konsumsi per kapita masyarakat Karawang 94.45 kg beras/kap/tahun untuk perkotaan dan 106.66 kg beras/kap/tahun untuk perdesaan (Kementan 2010b)

Hasil analisis daya dukung ini harus menjadi perhatian khusus bagi wilayah DKI Jakarta, karena ketergantungannya yang sangat tinggi akan beras dari daerah pemasok utama dalam hal ini Karawang. Mengingat kondisi Karawang yang defisit tersebut, diharapkan PIBC dapat menerima pasokan beras dari luar Karawang, terutama dari wilayah luar Jawa seperti Sumatera dan Sulawesi yang merupakan sentra beras di luar Jawa.

(22)

Analisis Pola Harga Beras, Marjin Pemasaran, dan Farmer’s Share

Pola Harga Beras di PIBC periode 2008 – 2012

Setelah melihat kondisi daya dukung di wilayah pemasok utama, perlu juga dilakukan analisis terhadap harga baik di wilayah konsumen maupun di wilayah pemasok utama tersebut agar dapat dilihat efisiensi penyaluran distribusi beras dari wilayah pemasok (Karawang) ke wilayah konsumen, dalam hal ini PIBC di DKI Jakarta.

Identifikasi terhadap plot data time series harga beras IR II (medium) di PIBC Jakarta menunjukkan adanya trend yang meningkat (Gambar 15). Hal ini dapat dilihat dari data bulanan yang berfluktuasi dari periode Januari 2008 sampai Juli 2012, harga beras IR II rata-rata mengalami peningkatan, namun pada periode tertentu, misalnya pada periode antara bulan Februari sampai periode bulan April setiap tahun, harga beras IR II mengalami penurunan. Hal ini disebabkan pada bulan – bulan tersebut merupakan musim panen raya, sehingga harga mengalami penurunan yang nyata. Demikian juga pada periode Desember 2010 sampai dengan periode April 2011, harga beras IR II cenderung menurun terus dan baru meningkat setelah bulan Mei 2011. Namun justru pada tahun sebelumnya, di bulan November 2009 hingga bulan Februari 2010 harga beras IR II mengalami peningkatan. Hal ini dapat disebabkan pada tahun tersebut terjadi penyesuaian harga pembelian pemerintah, sehingga harga dasar gabah/beras meningkat dari periode sebelumnya.

Gambar 15 Data harga beras IR II bulanan di PIBC Jakarta (2008 – 2012)

Harga beras IR II tertinggi umumnya terjadi pada bulan November dan Desember setiap tahunnya sejak tahun 2008 hingga 2012 dan biasanya mulai terjadi peningkatan harga pada bulan Juli dengan tingkat harga tertinggi pada bulan Juli 2012 Rp 7 758 per kg, naiknya harga beras ini disebabkan pada bulan tersebut setiap tahunnya merupakan bulan Ramadhan dan masa panen petani sudah mulai habis. Hal ini biasanya disebabkan karena oknum

-2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 Jan -08 M ar -08 M ay -08 Ju l-08 Sep -08 Nov -08 Jan -09 M ar -09 M ay -09 Ju l-09 Sep -09 Nov -09 Jan -10 M ar -10 M ay -10 Ju l-10 Sep -10 Nov -10 Jan -11 M ar -11 M ay -11 Ju l-11 Sep -11 Nov -11 Jan -12 M ar -12 M ay -12 Ju l-12 B Bulan Ha rg a be ra s (Rp/k g)

(23)

pedagang/distributor bahan pangan memanfaatkan momentum Ramadhan untuk menangguk keuntungan besar. Permintaan yang melonjak membuat mereka leluasa menentukan harga. Kenaikan harga beras ini juga didorong oleh biaya tambahan dalam proses distribusi akibat jalur distribusi sarat kemacetan. Di samping itu, pungutan liar (pungli) di lapangan juga banyak terjadi, sehingga membengkakkan biaya distribusi dan harga di konsumen ikut meningkat.

Selain itu, pada bulan tersebut daerah sentra beras juga mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan baku beras dari wilayah asal, seperti dari Karawang. Namun hal ini bisa diatasi dengan pengambilan gabah dari Lampung kemudian dibawa ke Karawang untuk digiling selanjutnya didistribusikan ke berbagai daerah termasuk Jakarta. Sedangkan harga beras IR II terendah umumnya terjadi pada bulan April setiap tahunnya karena merupakan masa panen raya (Rp 4 832 per kg pada tahun 2008), kecuali pada tahun 2012 harga terendah berada di bulan Januari dengan tingkat harga Rp 7 445 per kg. Kecenderungan data harga beras IR II di PIBC Jakarta juga mengandung unsur musiman bila diamati dalam jangka pendek. Kecenderungan harga beras IR II di Jakarta untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 15.

Perkembangan harga beras di PIBC menunjukkan trend yang serupa apabila dibandingkan dengan jenis beras lain di luar IR II, yaitu meningkat dan mengalami fluktuasi dengan peningkatan harga pada bulan tertentu setiap tahunnya. Pola data harga untuk beras IR-64 I, II, dan II bahkan cenderung sama, titik terendah harga beras tersebut umumnya terjadi pada bulan April, karena pada bulan ini merupakan panen raya dan titik tertinggi pada bulan Januari – Februari atau November – Desember. Berdasarkan data pasokan per bulan ke PIBC, memang terjadi penurunan pasokan beras yang masuk pada bulan-bulan tersebut, sehingga harga menjadi tinggi. Plot data harga beras IR II dibandingkan dengan beras jenis lain di PIBC Jakarta untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16 Plot data harga beberapa varietas beras di PIBC Jakarta

Selama periode Januari 2008 sampai Agustus 2012, harga beras kualitas medium (IR-64 II) di PIBC rata-rata meningkat sekitar 0.66 persen per bulan. Laju kenaikan harga beras paling tinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu rata-rata

-2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 Jan -08 M ar -08 M ay -08 Ju l-08 Sep -08 Nov -08 Jan -09 M ar -09 M ay -09 Ju l-09 Sep -09 Nov -09 Jan -10 M ar -10 M ay -10 Ju l-10 Sep -10 Nov -10 Jan -11 M ar -11 M ay -11 Ju l-11 Sep -11 Nov -11 Jan -12 M ar -12 M ay -12 Ju l-12

IR-64 I IR-64 II IR-64 III IR-42

Ha rg a be ra s (Rp/k g)

(24)

mencapai 1.41 persen per bulan, karena pada tahun tersebut terjadi peningkatan harga pembelian beras oleh pemerintah sehingga meningkatkan harga dasar pembelian gabah/beras di petani yang otomatis meningkatkan harga pada rantai pemasaran berikutnya. Sedangkan terendah pada tahun 2008 hanya sekitar 0.03 persen per bulan, dan pada tahun lainnya dalam kurun waktu lima tahun tersebut rata-rata kenaikan harga beras di PIBC cenderung stabil yaitu antara 0.50 – 0.76 persen per bulan.

Pola Harga Beras di Tingkat Produsen, Penggilingan, dan Konsumen

Data harga beras di setiap tingkat lembaga pemasaran memiliki pola yang sama dengan kecenderungan trend meningkat (Gambar 17). Walaupun pada periode bulan Februari sampai April 2012 menunjukkan penurunan harga yang cukup nyata, khususnya pada harga beras di tingkat petani karena pada periode tersebut merupakan panen raya. Pola data harga tersebut cenderung menunjukkan pola yang sama di tingkat petani, penggilingan dan pedagang grosir seperti PIBC, demikian juga dengan harga di tingkat konsumen di Karawang. Sedangkan pola data harga konsumen di Jakarta cenderung stabil (konstan).

Gambar 17 Plot data harga di tingkat petani, penggiling, PIBC, dan konsumen tahun 2012

Periode bulan Februari – April mengalami penurunan yang cukup nyata, terutama untuk harga di tingkat petani, karena pada periode tersebut merupakan periode musim panen raya, hal ini mengakibatkan harga beras menurun drastis karena persediaan yang melimpah. Pola ini terlihat identik pada masing-masing lembaga, namun cukup konstan untuk harga konsumen di Jakarta. Setelah bulan April, harga cenderung kembali meningkat sampai bulan Juli dan selanjutnya harga di semua tingkat lembaga pemasaran cenderung stabil sampai akhir tahun 2012.

Pada masing-masing lembaga pemasaran terjadi rata-rata kenaikan harga beras sepanjang tahun 2012 dengan rata-rata kenaikan sekitar 0 – 0.51 persen per bulan (Lampiran 2). Rata-rata kenaikan harga beras tertinggi ada pada tingkat petani, yaitu mencapai sekitar 0.51 persen, sedangkan terendah pada tingkat

-1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 7,000 8,000 9,000

Jan-12 Feb-12 Mar-12 Apr-12 May-12 Jun-12 Jul-12 Aug-12 Sep-12 Oct-12 Nov-12 Dec-12

Tingkat Petani (Eq. Beras) Tingkat Penggilingan PIBC Karawang Jakarta

Ha rg a be ra s (Rp/k g)

(25)

konsumen di wilayah produsen (Karawang) yang rata-rata naik hanya sekitar 0.002 persen diikuti oleh harga beras di tingkat konsumen di Jakarta (0.14%), tingkat penggilingan (0.26%) dan tingkat pedagang grosir di PIBC (0.34%).

Marjin Pemasaran

Data harga di setiap lembaga pemasaran menunjukkan adanya rentang yang cukup tinggi antara harga beras di tingkat petani dengan harga beras di konsumen, khususnya di Jakarta terutama pada bulan Februari sampai April 2012. Hal ini menunjukkan besarnya perbedaan marjin di setiap level lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran beras.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa DKI Jakarta memiliki 8 saluran pemasaran beras, baik yang melalui PIBC atau melalui agen untuk disalurkan ke konsumen melalui supermarket, pasar tradisional, dan pengecer perumahan. Dari 8 saluran tersebut, umumnya pedagang daerah yang dimaksud di atas adalah penggilingan dan pedagang grosir/besar di wilayah produsen. Tabel 19 menampilkan data hasil analisis marjin pemasaran dengan pengecer supermarket dan pengecer perumahan. Pemasaran beras melalui PIBC ke supermarket pada

saluran 1 memiliki perbedaan harga jual ke konsumen sekitar Rp 300 lebih

rendah dibandingkan dengan saluran pemasaran 2 tanpa melalui PIBC, namun langsung diambil dari pedagang daerah. Marjin pemasaran pada saluran 1 adalah sebesar Rp 2 706 atau 28.34 persen dari harga jual di supermarket.

Marjin terbesar berada di supermarket sebagai pedagang pengecer yaitu sebesar Rp 1 600 (16.75%) dengan komponen biaya terbesar juga dikeluarkan oleh pedagang tersebut, karena menanggung komponen biaya penyimpanan, pengemasan, sortasi dan grading, dll sebesar Rp 536 (5.61%). Demikian juga pada saluran 2, supermarket menjadi lembaga pemasaran dengan marjin pemasaran tertinggi (15.48%), namun pedagang daerah (grosir) menanggung komponen biaya tertinggi, karena mengantarkan beras langsung ke supermarket sehingga menanggung biaya transport, bongkar muat, dll yaitu sebesar Rp 600 (6.28%) sedangkan supermarket hanya menanggung biaya penyimpanan di gudang, pengemasan, serta sortasi dan grading sekitar Rp 536 (5.44%).

Marjin pemasaran pada saluran pemasaran beras ke pengecer perumahan juga memiliki 2 saluran, selisih harga jual ke konsumen untuk saluran 3 (melalui PIBC) lebih rendah Rp 125 dibandingkan dengan saluran 4 (melalui agen). Marjin pemasaran pada saluran 3 adalah Rp 400 atau 4.85 persen dari harga jual beras di pengecer perumahan. Marjin terbesar berada di lembaga pemasaran pedagang pengecer yaitu sekitar Rp 474 (5.74%) dengan komponen biaya tertinggi yaitu sebesar Rp 260 (3.15%) karena pada lembaga pemasaran ini terjadi perubahan bentuk dari gabah ke beras yang membutuhkan biaya antara lain untuk penjemuran, penggilingan, susut, dll. Total marjin pemasaran pada saluran ini adalah Rp 1 406 atau sekitar 17.04 persen. Pada saluran 4, agen merupakan lembaga pemasaran dengan marjin pemasaran tertinggi sebesar Rp 663 (7.92%). Total marjin pemasaran pada saluran ini adalah Rp 1 531 atau 18.28 persen.

Tabel 20 menunjukkan saluran pemasaran beras dari produsen ke konsumen di Jakarta yang melalui pasar tradisional memiliki 4 saluran pemasaran. Total marjin pemasaran pada saluran 5 adalah Rp 1 576 atau 18.72 persen dari harga jual beras di pengecer pada pasar tradisional. Marjin terbesar berada di lembaga pemasaran pedagang pengecer yaitu sekitar Rp 739 (8.78%) dengan komponen

(26)

biaya tertinggi yaitu sebesar Rp 260 (3.15%). Saluran 6 merupakan saluran terpanjang dan memiliki nilai marjin pemasaran tertinggi, yaitu sebesar Rp 2 106 atau 23.53 persen dari harga jual di konsumen. Komponen biaya tertinggi ditanggung oleh agen, yaitu sebesar Rp 385 (4.3%).

Tabel 19 Marjin pemasaran beras medium dari produsen ke konsumen di DKI Jakarta melalui supermarket dan pengecer perumahan.

Pelaku Pemasaran

Supermarket Pengecer Perumahan Saluran 1 Saluran 2 Saluran 3 Saluran 4 Rp/kg (%)4) Rp/kg (%)4) Rp/kg (%)4) Rp/kg (%)4) 1. Petani a. Harga Jual (GKP) 4 110 43.04 4 110 41.73 4 110 49.82 4 110 49.07 b. Harga Jual1) 6 844 71.67 6 844 69.49 6 844 82.96 6 844 81.72 2. Pedagang Daerah (Penggilingan) a. Harga Beli1) 6 844 - 6 844 - 6 844 - 6 844 - b. Biaya-biaya2) 260 2.72 260 - 260 3.15 260 - c. Keuntungan 214 2.24 214 2.17 214 2.59 214 2.55 d. Marjin 474 4.96 474 4.81 474 5. 74 474 5.66 e. Harga Jual 7 318 76.63 7 318 74.29 7 318 88.70 7 318 87.38 3. Pedagang Daerah (Grosir) a. Harga Beli 7 318 - 7 318 - 7 318 - - - b. Biaya-biaya3) 125 1.31 600 6.09 125 1. 52 - - c. Keuntungan 238 2.49 407 4.13 407 2.88 - - d. Marjin 363 3.80 1 007 10.22 363 4.40 - - e. Harga Jual 7 681 80.43 8 325 84.52 7 681 93.10 - - 4. Pedagang Grosir (PIBC)

a. Harga Beli 7 681 - - - 7 681 - - - b. Biaya-biaya3) 100 1.05 - - 25 0.30 - - c. Keuntungan 169 1.77 - - 144 1.75 - - d. Marjin 269 2.82 - - 169 2.05 - - e. Harga Jual 7 950 83.25 - - 7 850 95.15 - - 5. Agen a. Harga Beli - - - 7 318 - b. Biaya-biaya3) - - - - - - 385 - c. Keuntungan - - - 278 3.32 d. Marjin - - - 663 7.92 e. Harga Jual - - - 7 981 95.30 6. Pengecer a. Harga Beli 7 950 - 8 325 - 7 850 - 7 981 - b. Biaya-biaya3) 536 5.61 536 5.44 110 1.33 110 1.31 c. Keuntungan 1 064 11.14 989 10.04 290 3.52 284 3.39 d. Marjin 1 600 16.75 1 525 15.48 400 4.85 394 4.70 e. Harga Jual 9 550 100.00 9 850 100.00 8 250 100.00 8 375 100.00 Total Marjin Pemasaran 2 706 28.34 3 006 30.52 1 406 17.04 1 531 18.28 1) dikonversi ke harga beras (60.05%); 2) Biaya pengeringan, penggilingan, susut, pengemasan, transportasi, bongkar muat,

dll; 3) Biaya transportasi, bongkar muat, pengemasan, dll; 4) Harga jual di tingkat pelaku/harga jual di tingkat pengecer x

100%

Pada saluran 7 marjin pemasaran tertinggi berada di agen, yaitu sebesar Rp 673 (7.78%) dengan komponen biaya tertinggi sekitar Rp 385 (4.45%) dan total nilai marjin pemasaran pada saluran ini adalah Rp 1 806 (20.88%). Sedangkan

saluran 8 merupakan saluran terpendek dengan total nilai marjin pemasaran

sebesar Rp 1 306 atau 16.02 persen dari harga jual di konsumen akhir. Pemilik marjin tertinggi pada saluran ini adalah pedagang pengecer dengan nilai marjin Rp 469 atau sekitar 5.75 persen dari harga jual di tingkat konsumen.

Hasil analisis marjin pemasaran menunjukkan bahwa pemasaran langsung dari pedagang daerah ke pengecer di pasar tradisional merupakan saluran terpendek dengan marjin paling rendah (saluran 8), sedangkan saluran yang melewati lembaga pemasaran terbanyak memiliki nilai marjin paling tinggi (saluran 6). Saluran pemasaran yang melalui PIBC juga memiliki nilai marjin

(27)

yang relatif lebih rendah dibandingkan melalui agen. Semakin panjang dan banyak lembaga pemasaran yang terlibat, maka nilai marjin pemasaran dalam suatu saluran pemasaran beras akan semakin tinggi, ini berarti harga di tingkat konsumen juga akan meningkat jauh lebih besar dibandingkan dengan saluran yang lebih pendek.

Tabel 20 Marjin pemasaran beras medium dari produsen ke konsumen di DKI Jakarta melalui pengecer pasar tradisional

Pelaku Pemasaran

Pasar Tradisional

Saluran 5 Saluran 6 Saluran 7 Saluran 8 Rp/kg (%)4) Rp/kg (%)4) Rp/kg (%)4) Rp/kg (%)4) 1. Petani a. Harga Jual (GKP) 4 110 48.81 4 110 45.92 4 110 47.51 4 110 50.43 b. Harga Jual1) 6 844 81.29 6 844 76.47 6 844 79.12 6 844 83.98 2. Pedagang Daerah (Penggilingan) a. Harga Beli1) 6 844 - 6 844 - 6 844 - 6 844 b. Biaya-biaya2) 260 3.09 260 2.91 260 3.01 260 3.19 c. Keuntungan 214 2.54 214 2.39 214 2.47 214 2.62 d. Marjin 474 5.63 474 5.29 474 5.48 474 5.81 e. Harga Jual 7 318 86.91 7 318 81.77 7 318 84.60 7 318 89.79 3. Pedagang Daerah (Grosir) a. Harga Beli - - 7 318 - 7 318 - 7 318 b. Biaya-biaya3) - - 125 1.40 125 1.45 125 1.53 c. Keuntungan - - 238 2.66 238 2.75 238 2.92 d. Marjin - - 363 4.06 363 4.20 363 4.45 e. Harga Jual - - 7 681 85.82 7 681 88.80 7,681 94.25 4. Pedagang Grosir (PIBC) a. Harga Beli 7 318 - 7 681 - - - - - b. Biaya-biaya3) 125 1.48 125 1.40 - - - - c. Keuntungan 238 2.83 179 2.00 - - - - d. Marjin 363 4.31 304 3.40 - - - - e. Harga Jual 7 681 91.22 7 985 89.22 - - - - 5. Agen a. Harga Beli - - 7 985 - 7 681 - - - b. Biaya-biaya - - 385 4.30 385 4.45 - - c. Keuntungan - - 176 1.97 288 3.33 - - d. Marjin - - 561 6.27 673 7.78 - - e. Harga Jual - - 8 546 95.49 8 354 96.58 - - 6. Pengecer a. Harga Beli 7 681 - 8 546 - 8 354 - 7 681 - b. Biaya-biaya3) 260 3.09 55 0.61 55 0.64 55 0.67 c. Keuntungan 479 5.69 349 3.90 241 2.79 414 5.08 d. Marjin 739 8.78 404 4.51 296 3.42 469 5.75 e. Harga Jual 8 420 100.00 8 950 100.00 8 650 100.00 8 150 100.00 Total Marjin Pemasaran 1 576 18.72 2 106 23.53 1 806 20.88 1 306 16.02

1)

dikonversi ke harga beras (60.05%); 2) Biaya pengeringan, penggilingan, susut, pengemasan, transportasi, bongkar muat, dll; 3) Biaya transportasi, bongkar muat, pengemasan, dll; 4) Harga jual di tingkat pelaku/harga

jual di tingkat pengecer x 100% Tingkat Penerimaan Petani

Berdasarkan hasil perhitungan total nilai marjin pemasaran di masing-masing saluran, dari 8 saluran pemasaran yang ada terlihat bahwa saluran 8 dengan pengecer pedagang di pasar tradisional merupakan saluran yang paling pendek dan efisien, serta memiliki nilai total marjin terkecil dibandingkan saluran lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada saluran tersebut tingkat harga yang

(28)

diterima petani lebih tinggi dibandingkan saluran lainnya, yaitu 83.98 persen jika dibandingkan dengan harga setara beras atau hanya 50.43 persen penerimaan yang diterima dari nilai harga jual GKP yang petani terima dibandingkan dengan harga jual di tingkat konsumen akhir.

Tingkat penerimaan petani yang paling kecil adalah pada saluran 2, yaitu melalui agen dan supermarket, dimana petani hanya memperoleh sekitar 69.49 persen jika dijual dalam bentuk beras atau hanya 41.73 persen dari realisasi penerimaan harga jual dalam bentuk GKP. Hasil analisis menunjukkan bahwa semakin pendek rantai pemasaran beras maka akan menghasilkan total marjin pemasaran yang rendah, dan tingkat penerimaan petani semakin tinggi. Selain itu, penjualan dalam bentuk beras akan lebih meningkatkan nilai tambah petani agar bisa memperoleh penerimaan yang lebih baik dari saat menjual dalam bentuk gabah walaupun masih harus dilihat dari segi biaya yang dikeluarkan petani untuk mengubah gabah menjadi beras.

Berdasarkan hasil wawancara dengan petani di wilayah Jakarta, umumnya petani mengkonsumsi hasil panennya untuk keperluan pribadi dan keluarganya, ada beberapa yang menjual hasil panennya berupa gabah baik Gabah Kering Panen (GKP) maupun Gabah Kering Giling (GKG). Harga GKP tergantung dari kualitas gabah yang dihasilkan. GKP dengan kualitas standar pemerintah dibeli pemerintah dengan harga Rp 3 300 per kg. Namun, rata-rata petani menjual GKP ke penggilingan swasta seharga Rp 4 100 per kg. Sebelum digiling, GKP diolah terlebih dahulu hingga memenuhi spesifikasi GKG yang siap giling. Proses pasca panen tersebut memberikan margin kepada pengolah baik petani maupun penggiling sebesar Rp 200 per kg sehingga harga GKG menjadi Rp 4 300 per kg. Apabila petani menjual dalam bentuk beras, maka harga jual yang diterima adalah Rp 6 500 per kg beras. Total biaya yang dikeluarkan untuk penggilingan dan biaya angkut sekitar Rp 300 per kg. Rendemen GKG ke beras sekitar 62.74 persen, maka jika petani menjual dalam bentuk beras nilai rasio antara pendapatan dan biaya yang dikeluarkan (R/C ratio) lebih tinggi sedikit, yaitu sebesar 1.51 dibandingkan jika petani hanya menjual dalam bentuk GKP dengan rasio 1.49 (Tabel 21).

Tabel 21 Perbandingan keuntungan yang diterima petani saat menjual gabah atau beras berdasarkan hasil analisis usahatani padi per ha

Uraian Jual GKG Jual Beras

1. Total biaya1 (Rp) 7 068 666 8 666 518 2. Produksi GKP/beras2 (kg) 5 326 3 342 3. Harga (Rp/kg) 3 300 6 500 4. Nilai Produksi (Rp) 17 576 371 21 720 666 5. Pendapatan (Rp) 10 507 704 13 054 148 6. R/C 1.49 1.51

1: asumsi biaya pengolahan dari gabah ke beras sekitar Rp 300/kg; 2: asumsi nilai konversi gabah

Gambar

Gambar 6  Pasokan beras ke PIBC tahun 2012
Gambar 7  Pengeluaran beras dari PIBC tahun 2011
Tabel 9  Perkembangan konsumsi beras penduduk Indonesia (2002 – 2010)
Tabel 10   Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan menurut kabupaten/kota  di Provinsi DKI Jakarta tahun 2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian adalah mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap, kepercayaan ibu dan perilaku tokoh masyarakat dengan status imunisasi campak pada bayi/balita umur 1 –

Rencana Kerja (Renja) Tahun 2015 Dinas Pemuda dan Olahraga ini merupakan langkah yang akan dilakukan dalam rangka mewujudkan Prioritas Pembangunan Kota Padang Tahun 2015 dimana

Kajian mendapati bahawa metode takhrij dan pemahaman terhadap mukhtalif hadis merupakan dua metode yang diusahakan oleh para ulama hadis untuk memelihara kemurnian sunnah

Merujuk pada berbagai kasus bencana di Indonesia, misalnya bencana tsunami Aceh dan gunung merapi Yogyakarta yang terjadi beberapa waktu lalu. Ada banyak langkah

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Andini (2017) yang menyatakan bahwa kualitas air berdasarkan parameter fisika sudah memenuhi per- syaratan kualitas air

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, karunia serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

Rencana operasi tanggap darurat dan pemulihan darurat harus merujuk pada hasil rekomendasi RHA dan informasi penting lainnya dari sektor terkait,

Овај посао је од изузетне важности за Поље „Б”, јер ми „отварамо” угаљ, па се може рећи да ће, што се производње угља тиче, следећа зима овде