• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV EKSPLORASI BATUBARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV EKSPLORASI BATUBARA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

33

BAB IV

EKSPLORASI BATUBARA

4.1. Pembahasan Umum

Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami proses fisika dan kimia yang mengakibatkan pengayaan pada kandungan karbonnya (Anggayana, 2002).

Endapan batubara adalah endapan yang mengandung hasil akumulasi material organik yang berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang telah melalui proses litifikasi untuk membetuk lapisan batubara. Material tersebut telah mengalami kompaksi, ubahan kimia dan proses metamorfosis oleh peningkatan panas dan tekanan selama periode geologis. Bahan-bahan organik yang terkandung dalam lapisan batubara mempunyai berat lebih dari 50% atau volume bahan organik tersebut, termasuk kandungan lengas bawaan (inherent moisture), lebih dari 70% (BSN, 1998).

4.1.1. Pembentukan Batubara

Terdapat dua proses utama yang berperan dalam proses pembentukan batubara, yaitu proses penggambutan (peatification) dan pembatubaraan (coalification). Gambut sendiri merupakan tahap awal dari terbentuknya batubara. Beberapa faktor yang berpengaruh dalam pembentukan rawa gambut menurut Bend (1992) dalam Diessel (1992) yaitu:

 Evolusi tumbuhan

Aneka ragam tumbuhan seperti yang ditemui saat ini sebelumnya telah mengalami proses evolusi yang panjang yang dimulai dari Jaman Devon. Dimulai dari satu jenis tumbuhan seperti alga atau ganggang pada jaman sebelum Devon menjadi bermacam-macam jenis tumbuh-tumbuhan pada waktu-waktu berikutnya. Proses evolusi ini perlu diketahui karena terdapat beberapa tumbuhan yang hanya hidup pada waktu tertentu saja,

(2)

34 sehingga beberapa tumbuhan ini dapat digunakan untuk interpretasi genesanya.

 Iklim

Iklim pada suatu daerah banyak mempengaruhi terbentuknya gambut pada daerah tersebut. Hal ini dikarenakan iklim suatu daerah dapat mempengaruhi kecepatan tumbuhan untuk tumbuh, jenis tumbuhan yang tumbuh, serta kecepatan dekomposisi tumbuhan. Di daerah beriklim tropis, dengan melimpahnya sumber air dan sinar matahari, akan menghasilkan lapisan gambut yang banyak dan tebal yang terbentuk dari batang kayu besar. Peningkatan suhu suatu daerah akan mempercepat laju pertumbuhan tanaman dan juga proses dekomposisinya. Sebagai contohnya adalah ditemukannya rawa yang luas dipenuhi gambut dengan ketebalan lebih dari 30 meter di daerah yang beriklim tropis (Taylor dkk., 1998).

Geografi dan struktur daerah

Gambut dan batubara akan terbentuk di daerah dengan kondisi kenaikan muka air yang lambat. Apabila kenaikan muka air tanah pada suatu daerah terlalu cepat, maka endapan rawa akan berubah menjadi limnik atau terjadi pengendapan sedimen marin. Sebaliknya,apabila terlalu lambat, maka material tumbuhan akan membusuk dan gambut yang terbentuk akan tererosi. Lalu adanya perlindungan rawa terhadap pantai atau sungai juga dibutuhkan agar sedimen yang terbentuk di rawa dapat terendapkan dan terjadi pembentukan gambut. Energi yang relatif rendah atau tenang juga akan mempengaruhi pembentukan gambut dan batubara, yaitu pada suplai sedimen yang ada sehingga gambut dapat terproses dan terbentuk tanpa banyak gangguan dari sedimen lain.

4.1.1.1. Penggambutan (Peatification)

Gambut adalah sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari timbunan hancuran atau bagian tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam kondisi tertutup udara (di bawah air), tidak padat, memiliki kandungan air lebih dari 75% (berat) dan kandungan mineral lebih kecil dari 50% dalam kondisi kering (Anggayana, 2002). Pembentukan gambut merupakan tahap awal pembentukan

(3)

35 batubara. Dalam tahap ini proses yang terpenting adalah proses pembentukan humic substance (humification). Pembentukan humic substance (humification) ini dikontrol oleh beberapa faktor, yaitu kenaikan temperatur, suplai oksigen, fasies, dan lingkungan alkali.

Proses penggambutan ini merupakan proses awal dalam pembentukan batubara, yang meliputi proses perubahan kimia (biochemical coalification) dan mikrobial. Dalam proses ini penggambutan akan bergantung pada faktor keberadaan air pada lingkungan pengendapan dan mikroorganisme (bakteri). Setelah proses tersebut kemudian dilanjutkan dengan proses perubahan geokimia (geochemical coalification), yang dalam prosesnya tidak melibatkan bakteri lagi.

Tumbuhan tersusun oleh berbagai unsur, yaitu C, H, O, dan N. Setelah mati tumbuhan akan mengalami proses degradasi biokimia. Adanya mikroorganisme (bakteri) menyebabkan terurainya unsur-unsur pada tumbuhan tersebut, sehingga akan memotong ikatan kimia tumbuhan tersebut dan menyebabkan tumbuhan akan mengalami pembusukan dan terurai menjadi humus. Unsur H, O, dan N akan terurai dan dilepaskan dalam bentuk air (H2O) dan NH3. Sedangkan sebagian unsur C akan dilepaskan dalam bentuk gas CO2, CO, dan metana (CH4).

Semakin bertambahnya kedalaman maka suplai oksigen akan semakin berkurang. Hal ini mengakibatkan bakteri aerob tidak dapat bertahan hidup dan hanya terdapat bakteri anaerob. Karena jumlah bakteri hanya sedikit, pada kedalaman lebih dari 10 meter bisa dikatakan bakteri tidak memiliki peranan penting lagi dan yang terjadi adalah proses kimiawi (polomerisasi, kondensasi, dan reaksi reduksi). Dengan bertambahnya kedalaman maka kandungan karbon (C) menjadi bertambah pula.

Pada tahap geokimia, lapisan sedimen akan semakin tertekan oleh lapisan sedimen diatasnya. Hal ini akan menyebabkan adanya kenaikan tekanan pada lapisan sedimen sehingga kandungan air akan berkurang dengan cepat. Kandungan air yang terdapat pada lapisan sedimen gambut dapat digunakan sebagai parameter tingkat diagenesa gambut yang baik. Kemunculan selulosa bebas, yaitu selulosa yang tidak bercampur dengan lignin juga dapat dijadikan parameter tingkat diagenesa gambut.

(4)

36 Dalam kenyataannya tidak seluruh bagian tumbuhan mengalami pembusukan. Akumulasi dari sisa-sisa bagian tumbuhan yang tidak mengalami pembusukan inilah yang akan menjadi gambut. Gambut akan terbentuk apabila tumbuhan terendam air dengan cepat dan terhindar dari proses pembusukan yang diakibatkan oleh bakteri.

Setelah menjadi gambut, maka proses yang akan bekerja selanjutnya adalah proses pembatubaraan. Proses ini meliputi proses geologi dan perubahan geokimia (geochemical coalification).

4.1.1.2. Pembatubaraan (Coalification)

Kelanjutan proses dari penggambutan adalah proses pembatubaraan (coalification). Proses ini meliputi perkembangan dari gambut (peat) menjadi batubara lignit (brown coal), sub bituminous, bituminous, dan anthracite. Proses ini dikontrol oleh beberapa hal, yaitu temperatur, tekanan, dan waktu.

Pada saat proses perubahan gambut menjadi lignit, proses yang terjadi adalah kenaikan temperatur dan penurunan porositas. Terjadinya proses kenaikan temperatur yang diikuti penurunan porositas ini diakibatkan karena adanya pembebanan material-material sedimen diatasnya. Akibat tertekan sedimen diatasnya maka lapisan tersebut akan mengalami kompaksi dan terbentuklah lignit.

Apabila pada lapisan lignit terjadi peningkatan temperatur dan tekanan yang cukup lama dalam waktu geologi maka lignit ini akan terubah menjadi batubara sub bituninous dan bituminous. Dalam proses perkembangannya, proses pembatubaraan ini akan mengalami peningkatan presentase karbon (C) karena unsur-unsur lainnya seperti H, O, dan N akan terlepas sebagai gas O2, H2, dan N2. Kemudian, apabila batubara bituminous mengalami peningkatan temperatur yang cukup lama, maka unsur H dalam batubara akan terlepas dengan cepat. Peningkatan temperatur ini biasanya diakibatkan oleh adanya gradien geothermal dan tekanan overburden pada lapisan sedimennya. Akibat unsur H yang terlepas pada batubara, maka lapisan batubara ini akan mengandung unsur H yang lebih sedikit dan terbentuklah batubara tipe antrachite.

Menurut Sudarsono (2000), berdasarkan asal tumbuhan pembentuk gambut terdapat dua macam batubara, yaitu:

(5)

37  Batubara autochtone, merupakan batubara yang gambutnya berasal dari tumbuhan-tumbuhan yang tumbang di tempat tumbuhnya dan tidak mengalami transportasi ke tempat lain. Jenis batubara autochtone memiliki penyebaran yang luas dan merata serta memiliki kualitas yang lebih baik karena kadar abunya relatif lebih rendah.  Batubara allochtone, merupakan batubara yang gambutnya berasal

dari bagian tumbuhan yang terbawa aliran sungai dan terendapkan di daerah hilir sungai tersebut. Jenis batubara allochtone ini memiliki penyebaran tidak luas dan dijumpai pada beberapa tempat dan tidak merata. Kualitas batubara yang terbentuk dengan cara ini memiliki kualitas yang kurang baik karena banyak mengandung material pengotor yang terangkut bersama pada saat tumbuhan tertransportasi dari tempat asalnya. Endapan batubara allochtone relatif lebih banyak mengandung mineral dibandingkan endapan authochtone.

Kenaikan temperatur dan waktu merupakan dua faktor utama penyebab proses pembatubaraan. Biasanya batubara dengan tingkat tinggi (anthracite) ditemukan berdekatan dengan intrusi-intrusi batuan beku. Terjadinya kontak metamorfisme intrusi batuan beku terhadap lapisan batubara ini membuat peringkat batubara semakin tinggi. Selain itu, peringkat batubara akan semakin tinggi akibat naiknya temperatur karena bertambahnya kedalaman lapisan batubara. Sedangkan semakin bertambahnya waktu apabila temperatur pembatubaraan tinggi, maka pada daerah yang terkena struktur geologi, seperti daerah patahan atau lipatan, proses pembatubaraan akan semakin cepat karena adanya tekanan dan temperatur yang tinggi pada daerah tersebut.

4.1.2. Lingkungan Pengendapan Batubara

Pembentukan batubara tidak dapat dipisahkan dengan kondisi lingkungan dan geologi sekitarnya. Ketebalan, persebaran, kompisisi, dan kualitas batubara banyak dipengaruhi oleh lingkungan pengendapannya. Lingkungan yang memungkinkan untuk terbentuknya endapan batubara yaitu lingkungan yang memiliki tumbuhan yang cukup banyak, terdapat mikroorganisme (bakteri), dan digenangi air dalam kurun waktu cukup lama.

(6)

38 Lingkungan pengendapan rawa dapat dibagi menjadi dua jenis,yaitu:

 Rawa paralis, merupakan rawa yang terdapat di lingkungan tepi laut. Contohnya seperti rawa pinggir laut, laguna, dan delta.

 Rawa limnik, merupakan rawa yang terdapat di lingkungan tepi danau. Contohnya seperti rawa meadow dan tepi danau.

Batubara sendiri umumnya banyak ditemukan pada lingkungan pengendapan rawa paralis, terutama lingkungan pengendapan delta. Lingkungan pengendapan batubara di daerah delta (Gambar 30) dapat dibagi menjadi empat bagian (Horne dkk, 1978), yaitu:

1. Lingkungan back barrier, memiliki ciri-ciri endapan batubara dengan lapisan yang tipis, penyebaran lateral tidak menerus, dan memiliki kandungan sulfur yang tinggi.

2. Lingkungan lower delta plain, memiliki ciri-ciri endapan batubara dengan lapisan yang tipis, penyebaran luas, dan distribusi kandungan sulfur bervariasi.

3. Lingkungan transisi antara lower dan upper delta plain, memiliki ciri-ciri endapan batubara dengan lapisan tebal, penyebaran lateral luas, serta rendah sulfur.

4. Lingkungan upper delta plain - fluvial, memiliki ciri-ciri endapan batubara dengan lapisan cukup tebal, setempat dan umumnya penyebaran lateral tidak merata dengan kandungan sulfur yang rendah.

(7)

39 Gambar 30. Lingkungan pengendapan batubara pada daerah delta

(Horne dkk., 1978)

Untuk lingkungan pengendapan batubara berdasarkan lingkungan sedimenternya (Gambar 31), dapat dibagi menjadi empat (Diessel, 1992), yaitu:

1. Braided Plain

Braided plain adalah dataran aluvial yang terdapat diantara pegunungan. Di daerah ini memiliki energi transportasi sedimen yang tinggi karena masih berada dekat dengan sumber air, sehingga endapan sedimennya pun berukuran kasar (>2mm). Batubara yang terbentuk pada lingkungan ini memiliki penyebaran yang terbatas dan ketebalan sekitar 1,5 meter.

Kandungan abu, total sulfur, dan vitrinitnya umumnya rendah, tetapi pada daerah tropis kandungan vitrinitnya umumnya lebih tinggi. Kandungan abu yang kadang ditemukan cukup tinggi (20%) kemungkinan berasal dari banjir musiman dan keluarnya air tanah ke permukaan. Bagian tengah gambutnya kaya akan maseral inertinit (28%) karena suplai nutrisi terbatas. Kandungan inertinit (khususnya semifusinit) yang tinggi menyebabkan nilai TPI (Tissue Preservation Index)-nya relatif tinggi. Hal ini dapat menunjukkan bahwa asal tumbuhan ini didominasi oleh tumbuhan berkayu. Sementara itu,

(8)

40 dengan nilai GI (Gelification Index) rendah dan warna batubara yang kusam menunjukkan bahwa permukaan gambut mengalami kekeringan dan proses oksidasi secara berkala.

2. Alluvial Valley dan Upper Delta Plain

Kedua lingkungan ini memiliki kesamaan litofasies dan juga kondisi pembentukan batubaranya. Lingkungan ini merupakan transisi dari lembah dan dataran aluvial dengan dataran delta. Umumnya melewati daerah sungai meander (meandering river). Lapisan batubaranya memiliki tebal bervariasi dan profil sedimennya umumnya berupa perselingan batupasir dan lanau atau lempung.

Gambut yang terbentuk di lingkungan ini dapat terakumulasi pada beberapa morfologi, seperti pada rawa, dataran banjir, bagian luar dari saluran sungai, dan lain-lain. Batubara yang terbentuk memiliki kandungan abu dan sulfur yang rendah serta didominasi oleh maseral televitrinit atau humotellinit. Permukaan gambut relatif hampir selalu basah setiap musimnya dan jarang mengalami periode kekeringan karena kemarau, sehingga endapan batubara yang dihasilkan memiliki nilai TPI dan GI relatif tinggi dan warna yang mengkilap.

3. Lower Delta Plain

Lingkungan lower delta plain dapat dibedakan dengan upper delta plain berdasarkan besarnya pengaruh pasang air laut terhadap proses sedimentasi. Batas keduanya yaitu daerah batas tertinggi dari air pasang. Endapan pada lingkungan ini terdiri dari batulanau, batulempung, dan serpih dengan sisipan batupasir halus.

Ketika air laut pasang maka akan membawa berbagai nutrisi ke dalam rawa gambut, sehingga menyebabkan banyaknya pertumbuhan tanaman di daerah ini. Akibat pasang air laut ini juga akan membawa material sedimen klastik halus yang kemudian akan terendapkan pada rawa gambut dan menjadi pengotor dalam batubara.

Kandungan batubara yang terbentuk pada lingkungan ini umumnya akan memiliki kandungan pirit yang berasal dari reduksi sulfat pada air laut yang terbawa ke lingkungan ini. Menurut Horne

(9)

41 dan Ferm (1987) dalam Diessel (1992), batubara yang terendapkan pada lingkungan ini memiliki penyebaran lateral yang luas tetapi ketebalannya relatif tipis. Kandungan inertinit dalam batubaranya rendah dengan nilai GI yang tinggi. Kandungan vitrinit atau huminitnya didominasi oleh detrovitrinit atau humotellinit, yang menyebabkan nilai TPI-nya relatif rendah. Hal tersebut menunjukkan adanya biodegradasi pada pH tinggi dan melimpahnya tumbuhan berjaringan lunak (soft-tissued plant).

4. Barrier Beach

Morfologi garis pantai pada lingkungan ini dikontrol oleh rasio suplai sedimen dengan energi pantai, yaitu gelombang dan arus. Apabila nilai rasionya tinggi maka akan terbentuk lingkungan delta. Sedangkan apabila nilai rasionya rendah maka sedimentasi akan terdistribusi di sepanjang pantai.

Permukaan rawa gambut di lingkungan ini lebih rendah dari muka air laut, sehingga daerah ini akan sering mengalami kebanjiran dan ditumbuhi alang-alang. Rawa gambut pada lingkungan ini sangat dipengaruhi oleh peristiwa transgresi dan regresi.

Gambar 31. Sketsa lingkungan pengendapan dan kondisi akumulasi gambut (Diessel, 1992)

(10)

42 4.1.3. Analisis Kualitas Batubara

Kualitas batubara berperan penting dalam menentukan kelas batubara. Terdapat lima unsur utama pembentuk batubara, yaitu Karbon (C), Hidrogen (H), Sulfur (S), Nitrogen (N), Oksigen (O2), dan fosfor. Penentuan kualitas batubara dapat diperoleh dengan cara mengetahui parameter kualitas pada batubara. Hal ini dapat diketahui menggunakan analisis kimia dan pengujian laboratorium terhadap sampel batubara. Analisis kualitas batubara terdiri dari dua jenis, yaitu analisis ultimat dan analisis proksimat.

Analisis ultimat adalah analisis sederhana yang digunakan untuk mengetahui unsur-unsur pembentuk batubara dengan hanya memperhatikan unsur kimia pembentuk yang penting dan mengabaikan keberadaan senyawa kompleks yang ada di dalam batubara.

Salah satu senyawa yang umum dijumpai pada endapan batubara adalah sulfur. Beberapa jenis sulfur yang umum dijumpai pada batubara, yaitu:

Pirit (FeS2), dijumpai berupa bentukan makrodeposit, seperti lensa, urat, dan rekahan (joint).

 Sulfur organik, secara kimia terikat dalam endapan batubara dengan jumlah antara 20 – 80%.

 Sulfur sulfat, umumnya dijumpai berupa kalsium sulfat dan besi sulfat dengan jumlah relatif kecil.

Analisis proksimat digunakan untuk menentukan kelas (rank) batubara. Analisis ini memiliki empat parameter utama yang digunakan, yaitu:

1. Kadar air (moisture), yaitu kandungan air yang terdapat pada batubara. Kadar air sendiri dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:

Kadar air bebas (free surface moisture), yaitu air yang menempel pada permukaan batubara yang berasal dari air hujan dan juga air semprotan yang mana akan mudah menguap dalam kondisi laboratorium.

Kadar air bawaan (inherent moisture), yaitu air yang terdapat pada rongga (pori) dan mineral yang terdapat dalam batubara. Air ini dapat dihilangkan dengan suhu pemanasan 1050-1100C.

(11)

43  Kadar air total (total moisture), merupakan jumlah dari kadar

air bebas ditambah dengan kadar air bawaan.

2. Kadar abu (ash), yaitu kandungan bahan inorganik yang tertinggal atau tidak terbakar sewaktu batubara dibakar pada suhu 8150C.

3. Zat terbang (volatile matter), yaitu komponen-komponen dalam batubara yang dapat lepas atau menguap pada saat dipanaskan di ruang hampa udara pada suhu 9000C. Zat terbang ini meliputi zat terbang mineral (volatile mineral matter) dan zat terbang organik (volatile organic matter).

4. Karbon tertambat (fixed carbon), merupakan jumlah karbon yang tertambat pada batubara setelah kandungan-kandungan air, abu, dan zat terbangnya dihilangkan.

4.1.4. Klasifikasi Batubara

Untuk mengetahui tingkat (rank) dari batubara maka diperlukan analisis klasifikasi batubara. Klasifikasi yang saat ini umum digunakan yaitu klasifikasi yang dibuat oleh ASTM (American Society for Testing and Materials) (ASTM, 1981, dalam Wood dkk, 1983) (Tabel 1).

Parameter dasar yang digunakan dalam klasifikasi ASTM, yaitu:

Untuk batubara berperingkat tinggi (fixed carbon > 69%), parameter yang digunakan adalah jumlah karbon tertambat (fixed carbon) dan zat terbang (volatile matter).

Untuk batubara berperingkat rendah (fixed carbon < 69%), maka parameter yang digunakan adalah nilai kalori (calorific value)-nya. Parameter tambahan, berupa sifat karakter penggumpalan (coking).

(12)

44 Tabel 1. Klasifikasi Peringkat Batubara oleh ASTM

(ASTM, 1981, dalam Wood dkk, 1983)

Rank Group Fixed carbon percentage (dry, mineral matter free basis) Volatile matter percentage (dry, mineral matter free basis)

Calorivic value (moist, mineral

matter free basis) Agglomerating character Brithish thermal

units per pound

Megajoules per kilogram Anthracitic Meta-anthracitie >98 <2 non agglomerating Anthracite 92-98 2-8 Semianthracite 86-92 8-14 Bituminous Low-volatile bituminous 78-86 14-22 commonly agglomerating Medium-volatile bituminous 69-78 22-31 High-volatile A bituminous <69 >31 >14.000 >32,6 High-volatile B bituminous 13.000-14.000 30,2-32,6 High-volatile C bituminous 11.500-13.000 26,7-30,2 10.500-11.500 24,4-26,7 agglomerating Subbituminous Subbituminous A 10.500-11.500 24,4-26,7 non agglomerating Subbituminous B 9.500-10.500 22,1-24,4 Subbituminous C 8.300-9.500 19,3-22,1 Lignitic Lignite A 6.300-8.300 14,7-19,3 Lignite B <6.300 <14,7

Hasil analisis proksimat yang dilakukan pada laboratorium memiliki nilai kalori pada basis pelaporan air dried basis (adb). Pada basis adb ini, conto batubara ditempatkan pada ruangan udara terbuka, sehingga secara perlahan kadar airnya akan mencapai titik kesetimbangan dengan kelembaban udara.

Sedangkan untuk penggolongan batubara menggunakan klasifikasi ASTM, batubara digolongkan berdasarkan nilai kalori pada basis pelaporan dry mineral matter free (dmmf). Analisis dengan menggunakan basis dmmf ini akan memberikan gambaran mengenai komposisi organik murni pada batubara.

Untuk mengkonversi nilai kalori dalam basis adb menjadi dmmf digunakan Parr Formulas (ASTM, 1981, dalam Wood dkk, 1983) dengan rumus sebagai berikut:

(13)

45 4.1.5. Metode Perhitungan Sumberdaya Batubara

Perhitungan sumberdaya batubara dilakukan dengan tujuan mengetahui berapa banyak endapan batubara yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pertambangan. Menurut Koesoemadinata (2000), sumberdaya adalah kuantitas dari suatu cebakan berdasarkan atas penafsiran geologi saja, dengan penafsiran pertambangan belum dimasukkan. Sedangkan cadangan adalah kuantitas dari suatu cebakan yang telah memasukkan semua dampak dan aspek pertambangan, sehingga ukuran, bentuk kedalaman, dan kadar dari sumberdaya dapat diketahui dengan baik.

Sumber daya batubara adalah bagian dari endapan batubara yang diharapkan dapat dimanfaatkan. Sumber daya batubara ini dibagi dalam kelas-kelas sumber daya berdasarkan tingkat keyakinan geologi yang ditentukan secara kualitatif oleh kondisi geologi atau tingkat kompleksitas dan secara kuantitatif oleh jarak titik informasi. Sumberdaya ini dapat meningkat menjadi cadangan apabila setelah dilakukan kajian kelayakan dinyatakan layak (BSN,1998).

Cadangan batubara adalah bagian dari sumber daya batubara yang telah diketahui dimensi, sebaran kuantitas, dan kualitasnya, yang pada saat pengkajian kelayakan dinyatakan layak untuk ditambang (BSN, 1998).

(14)

46 Metode yang digunakan untuk menghitung sumberdaya batubara bermacam-macam, seperti Metode Circular USGS, Metode Penampang, Metode Blok, dan Metode Poligon. Penentuan penggunaan metode perhitungan sumberdaya batubara didasarkan atas kualitas dan jenis data yang diperoleh di lapangan dan metode penambangan yang akan digunakan.

Data yang diperoleh selama penelitian di lapangan adalah data singkapan, sehingga dalam perhitungan sumberdaya batubara daerah penelitian metode yang cocok digunakan adalah Metode Circular USGS.

Untuk menghitung besarnya sumberdaya batubara dengan menggunakan Metode Circular USGS (Wood dkk, 1983), terdapat beberapa langkah kerja yang harus diikuti, yaitu:

1. Pembuatan peta sebaran batubara daerah penelitian

2. Pembuatan lingkaran (circular) pada tiap titik singkapan batubara yang ditemui, dengan mengacu pada tabel 2 berikut ini:

Tabel 2. Jenis sumberdaya batubara mengacu pada jarak radius dari titik singkapannya (Wood dkk, 1983)

Radius (meter) Jenis Sumberdaya Batubara

0-400 Sumberdaya Terukur (Measured Resource) 400-1200 Sumberdaya Tertunjuk (Indicated Resource) 1200-4800 Sumberdaya Terkira (Inferred Resource)

3. Setelah mendapatkan lingkaran dengan radius di atas pada tiap singkapan batubara, apabila terdapat titik-titik perpotongan antara lingkaran yang telah dibuat maka digabungkan menjadi satu daerah. Sehingga dari penggabungan lingkaran-lingkaran dari tiap titik singkapan batubara tersebut didapatkanlah suatu daerah dengan luas tertentu dan kemudian dapat dihitung jumlah sumberdaya batubaranya (Gambar 32).

(15)

47 Gambar 32. Perhitungan sumberdaya batubara menggunakan Metode Circular dan

(16)

48 Rumus yang digunakan dalam Metode Circular USGS (Wood dkk, 1983) untuk menghitung sumberdaya batubara adalah sebagai berikut:

 Untuk kemiringan lapisan (α) < 300,

Sumberdaya = Luas area (m2) x Tebal batubara (m) x Berat Jenis (ton/m3)  Untuk kemiringan lapisan (α) > 300,

Sumberdaya = Luas area (m2) x Tebal batubara (m) x Berat Jenis (ton/m3)

cos α

Perhitungan sumberdaya batubara di Indonesia sendiri sudah memiliki acuan terhadap metode perhitungan sumberdaya batubara yaitu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dibuat oleh Badan Standardisasi Nasional-BSN (1998). Metode perhitungan sumberdaya berdasarkan SNI ini dibuat karena masih beragamnya cara perhitungan sumberdaya dan cadangan di Indonesia. Dengan adanya SNI ini maka dapat digunakan sebagai pedoman dan acuan dalam penafsiran berbagai istilah dalam sumberdaya dan cadangan batubara di Indonesia secara seragam.

Metode perhitungan besarnya sumberdaya batubara berdasarkan SNI (BSN, 1998) prinsipnya adalah sama dengan metode circular USGS (Wood dkk, 1983). Perbedaannya hanya terletak pada radius dari jarak titik informasi batubara yang mengacu pada kondisi geologi daerah tersebut. Untuk menghitung besarnya sumberdaya batubara berdasarkan SNI (BSN, 1998) dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini:

Tabel 3. Jenis sumberdaya batubara mengacu pada jarak titik informasi menurut kondisi geologi (BSN, 1998)

Kondisi

Geologi Kriteria Hipotetik Terkira Sumberdaya Tertunjuk Terukur Sederhana Jarak titik informasi

(m)

Tidak

terbatas 1000<x=1500 500<v=1000 x=500 Moderat Jarak titik informasi

(m)

Tidak

terbatas 500<x=1000 250<x=500 x=250 Komplek Jarak titik informasi

(m)

Tidak

(17)

49 4.2. Endapan Batubara Daerah Penelitian

Berdasarkan hasil pemetaan geologi di daerah penelitian, singkapan batubara ditemui pada 20 lokasi singkapan, yaitu pada titik PT-78, PT-82, PT-93, PP-1, PP-2, PP-3, PP-4, PP-15, PP-16, PP-17, PP-39, PP-42, PP-43, PP-51, PP-53, PP-57, PP-61, PP-62, PP-70, dan PP-71. Ciri endapan batubara di daerah penelitian yaitu terdiri dari lapisan batubara yang berlapis-lapis dengan kenampakan fisiknya yaitu berwarna hitam, getas, gores cokelat, kilap kaca-kusam, pecahan conchoidal - sub-conchoidal, resinous, dan terdapat struktur kayu.

Pada daerah penelitian memiliki pola jurus umum lapisan batubara yang sama, yaitu berarah timurlaut-baratdaya dengan kemiringan sekitar 300 ke arah tenggara. Ketebalan lapisan batubara yang ditemui antara 0,3-34 meter dengan sisipan batupasir dan batulempung.

Berdasarkan korelasi yang dilakukan antar singkapan batubara yang ditemui, dengan melihat ciri fisik dan posisi titik singkapan sebagai dasar penentuan korelasi, maka di daerah penelitian terdapat 13 lapisan batubara yang dapat dilihat pada Peta Penyebaran Batubara (Lampiran C4) dan dibagi menjadi tiga kelompok umum, yaitu kelompok batubara A, kelompok batubara B, dan kelompok batubara C.

4.2.1. Kelompok Batubara A

Kelompok batubara A terdiri dari dua lapisan utama batubara dan tersingkap di daerah penelitian pada titik PT-82 dan PT-93. Ketebalan kelompok batubara A ini sekitar 0,5-2 meter dengan jurus relatif berarah timurlaut-baratdaya dan kemiringan lapisan 30-320 ke arah tenggara (Gambar 33 dan 35).

Ciri-ciri batubara pada kelompok ini yaitu berwarna hitam, getas, gores cokelat, kilap kaca, pecahan conchoidal, mengandung pirit (Gambar 34).

(18)

50 Gambar 33. Kontak batupasir-batubara pada lokasi PT-82

Gambar 34. Pirit yang dijumpai pada singkapan batubara PT-82 Gambar 35. Kontak batulempung-batubara pada lokasi PT-93 Mineral pirit Batupasir Batubara Batubara Batulempung

(19)

51 4.2.2. Kelompok Batubara B

Kelompok ini memiliki tiga lapisan utama batubara. Singkapan yang didapat berada pada titik PT-78, PP-51, dan PP-53. Lapisan batubara pada kelompok ini memiliki ketebalan antara 0,5-3 meter dengan jurus berarah timurlaut-baratdaya dan kemiringan lapisan 280-330 ke arah tenggara.

Batubara pada kelompok B ini memiliki ciri-ciri berupa warna hitam, getas, gores cokelat, kilap kusam, pecahan sub-conchoidal, resinous, dan terdapat struktur kayu (Gambar 36 dan 37).

Gambar 36. Kontak batubara-batupasir pada lokasi PP-51 Gambar 37. Kontak batubara-batupasir pada lokasi PP-53 Batubara Batupasir Batubara Batupasir

(20)

52 4.2.3. Kelompok Batubara C

Pada kelompok batubara C ditemui 8 lapisan utama batubara. Lapisan-lapisan tersebut tersingkap di 15 lokasi, yaitu pada titik PP-1, PP-2, PP-3, PP-4, 15, 16, 17, 39, 42, 43, 57, 61, 62, 70, dan PP-71. Batubara pada kelompok ini memliki ketebalan yang bervariasi antara 0,3-34 meter. Batubara pada kelompok ini memiliki khas yaitu berlapis-lapis (Gambar 38). Lapisan batubara pada kelompok ini memiliki jurus berarah timurlaut-baratdaya dan kemiringan lapisan 250-350 ke arah tenggara.

Ciri-ciri batubara pada kelompok C yaitu warna hitam, getas, gores cokelat, kilap kusam, pecahan sub-conchoidal, resinous, dan terdapat struktur kayu (Gambar 39). Secara fisik adanya struktur kayu ini menandakan bahwa batubara tersebut masih berumur muda dengan kalori yang tidak terlalu tinggi.

Gambar 38. Singkapan batubara PP-15, menunjukkan lapisan batubara yang tebal dan berlapis-lapis

(21)

53 Gambar 39. Struktur kayu pada batubara kelompok C

4.3. Analisa Kualitas dan Klasifikasi Batubara Daerah Penelitian

Berdasarkan analisis proksimat, kualitas batubara di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Data-data ini diperoleh dari laporan final report PT Arutmin Indonesia (2010). Dari hasil analisis proksimat tersebut didapatkan nilai dari parameter-parameter yang akan digunakan untuk menentukan klasifikasi batubara.

Hasil dari pelaporan analisis proksimat yang didapatkan masih dalam basis adb, sedangkan untuk mengklasifikasikan batubara menggunakan klasifikasi ASTM, nilai kalori batubara harus dikonversi dari adb menjadi dmmf terlebih dahulu menggunakan Parr Formulas (ASTM, 1981, dalam Wood dkk., 1983) seperti yang telah dijelaskan pada bab 4.1.4. mengenai klasifikasi batubara.

Setelah dikonversi menjadi basis dmmf, maka batubara di daerah penelitian secara umum memiliki nilai Fixed Carbon (FC) 48,9%, dengan nilai FC minimum 37,66% dan maksimum 63,32%. Nilai Volatile Matter (VM) umum sebesar 51,1%, dengan nilai VM minimum 62,34% dan maksimum 36,68%. Karena memiliki nilai FC<69%, maka parameter yang digunakan untuk menentukan kelas batubara menggunakan klasifikasi ASTM adalah dengan cara melihat dari nilai Calorific Value (CV)-nya.

(22)

54 Tabel 4. Hasil analisis kualitas batubara di daerah penelitian

Umum Minimum Maximum

TOTAL MOISTURE, % as received basis 36 32 42

PROXIMATE ANALYSIS, % air dried basis

Moisture 20,5 16 28

Ash 5,5 4 8

Volatile Matter 38 35 42

Fixed Carbon 36 30 40

PROXIMATE ANALYSIS, % as received basis

Ash 4,4 3 7

Volatile Matter 30,6 29 34

Fixed Carbon 29 26 31

CALORIFIC VALUE, kcal/kg

Gross air dried 5.031 4.750 5.350

Gross as received 4.050 3.750 4.350

Net as received 3.692 3.392 3.992

HGI 60 50 70

ULTIMATE ANALYSIS, % dry ash free basis

Carbon 71,5 70 76 Hydrogen 4,84 4 5,5 Nitrogen 1,01 0,8 1,3 Sulfur 0,47 0,25 0,8 Oxygen 22,2 18,5 24,5

SULFUR, % air dried basis 0,35 0,2 0,6

CHLORINE, % air dried basis <0,01 <0,01 0,01

PHOSPHORUS, % dry basis in coal 0,015 0,003 0,01

Berdasarkan hasil analisis kualitas batubara setelah dikonversi dari adb menjadi dmmf, maka klasifikasi kelas batubara di daerah penelitian umumnya berada pada kelas subbituminous C dengan nilai kalori 9.458,04 Kal/g. Sedangkan untuk kualitas batubara terendah berada pada kelas lignite A dengan nilai kalori 8.242,18 Kal/g dan kualitas batubara tertinggi berada pada kelas high-volatile C bituminous dengan nilai kalori 11.689,64 Kal/g (Tabel 5).

(23)

55 Tabel 5. Hasil analisis kualitas batubara berbasis dmmf dan klasifikasi kelas batubara di daerah penelitian berdasarkan klasifikasi peringkat batubara ASTM

(1981) dalam Wood dkk. (1983)

Umum Minimum Maximum

Fixed Carbon (dmmf) 48,9 37,66 63,32

Volatile Matter (dmmf) 51,1 62,34 36,68

Calorific Value (dmmf) 9.458,04 8.242,18 11.689,64

Klasifikasi Kelas Batubara Subbituminous C Lignite A High-volatile C Bituminous

4.4. Sumberdaya Batubara Daerah Penelitian

Berdasarkan perhitungan sumberdaya batubara menggunakan metode circular USGS (Wood dkk, 1983) pada tiga kelompok batubara di daerah penelitian (Lampiran D), maka diperoleh hasil (Tabel 6), yaitu pada kelompok A terdapat sumberdaya terukur sebesar 378.164 ton dan sumberdaya tertunjuk sebesar 2.312.419 ton; pada kelompok B terdapat sumberdaya terukur sebesar 965.576 ton dan sumberdaya tertunjuk sebesar 7.839.238 ton; dan pada kelompok C terdapat sumberdaya terukur sebesar 42.766.414 ton dan sumberdaya tertunjuk sebesar 139.867.088 ton.

Tabel 6. Hasil perhitungan sumberdaya batubara terukur dan tertunjuk pada daerah penelitian dengan metode Circular USGS (Wood dkk, 1983)

Lapisan Batubara

Sumberdaya (ton) Sumberdaya Total (ton) Terukur Tertunjuk Terukur Tertunjuk A A1 255.124,43 1.681.844,91 378.164 2.312.419 A2 123.039,64 630.574,26 B B1 118.852,87 977.448,38 965.576 7.839.238 B2 480.970,30 3.914.086,65 B3 365.752,77 2.947.702,83 C C1 727.517,71 4.027.730,19 42.766.414 139.867.088 C2 2.275.851,19 8.334.935,49 C3 7.940.789,12 19.499.425,13 C4 15.296.729,79 57.372.455,58 C5 1.946.921,36 12.221.299,94 C6 10.206.218,9 19.373.223,68 C7 3.606.083,43 15.864.553,34 C8 766.302,66 3.173.464,71 TOTAL 44.110.154 150.018.745

(24)

56 Sehingga, menurut perhitungan sumberdaya batubara menggunakan metode circular USGS (Wood dkk, 1983) pada daerah penelitian terdapat total sumberdaya terukur sebesar 44.110.154 ton dan total sumberdaya tertunjuk sebesar 150.018.745 ton (Tabel 6).

Tabel 7. Hasil perhitungan sumberdaya batubara terukur, tertunjuk, dan terkira pada daerah penelitian dengan metode SNI (BSN, 1998)

Lapisan Batubara

Sumberdaya (ton) Sumberdaya Total (ton) Terukur Tertunjuk Terkira Terukur Tertunjuk Terkira A A1 115.798,44 339.501,54 1.232.064,47 175.471 506.770 1.700.405 A2 59.672,82 167.268,65 468.340,92 B B1 58.026,85 174.215,72 704.345,26 462.527 1.390.758 5.620.384 B2 229.396,42 688.238,11 2.800.785,67 B3 175.104,21 528.304,1 2.115.253,44 C C1 352.679,94 1.074.971,27 3.276.639,54 21.551.234 48.365.222 117.284.652 C2 1.379.065,56 2.647.992,54 6.785.136,18 C3 4.557.309,6 9.042.137,4 16.705.322,76 C4 8.118.669,72 19.211.279,22 46.706.488,08 C5 958.049,18 2.843.359,39 10.989.152,26 C6 3.430.679,4 8.739.303,48 17.050.796,28 C7 2.289.834,72 3.929.325,6 12.984.571,92 C8 464.946,18 876.853,08 2.786.544,6 2.189.232 50.262.750 124.605.441 Sedangkan berdasarkan perhitungan sumberdaya batubara menggunakan metode SNI (BSN, 1998) pada tiga kelompok batubara di daerah penelitian (Lampiran E), maka diperoleh hasil (Tabel 7), yaitu pada kelompok A terdapat sumberdaya terukur sebesar 175.471 ton, sumberdaya tertunjuk sebesar 506.770 ton, dan sumberdaya terkira sebesar 1.700.405 ton; pada kelompok B terdapat sumberdaya terukur sebesar 462.527 ton, sumberdaya tertunjuk sebesar 1.390.758 ton, dan sumberdaya terkira sebesar 5.620.384 ton; dan pada kelompok C terdapat sumberdaya terukur sebesar 21.551.234 ton, sumberdaya tertunjuk sebesar 48.365.222 ton, dan sumberdaya terkira sebesar 117.284.652 ton.

Sehingga, menurut perhitungan sumberdaya batubara menggunakan metode SNI (BSN, 1998) pada daerah penelitian terdapat total sumberdaya terukur sebesar 2.189.232 ton, total sumberdaya tertunjuk sebesar 50.262.750 ton, dan total sumberdaya terkira sebesar 124.605.441 ton (Tabel 7).

(25)

57 Berdasarkan perhitungan sumberdaya batubara dengan menggunakan dua metode yang berbeda, yaitu metode Circular USGS (Wood dkk, 1983) dan metode SNI (BSN,1998), didapatkan hasil sumberdaya batubara yang berbeda. Pada perhitungan menggunakan metode SNI (BSN, 1998) menghasilkan sumberdaya batubara yang lebih kecil daripada metode Circular USGS (Wood dkk, 1983). Adanya perbedaan ini dikarenakan pada perhitungan sumberdaya batubara menggunakan metode SNI (BSN,1998) memperhitungkan faktor kondisi geologi suatu daerah, sedangkan pada metode Circular USGS (Wood dkk, 1983) tidak memperhatikan parameter kondisi geologinya dan menganggap kondisi geologi pada tiap daerah adalah sama. Sehingga untuk perhitungan sumberdaya batubara, metode SNI lebih akurat dibandingkan dengan metode Circular USGS karena kondisi geologi pada tiap daerah berbeda-beda.

Gambar

Gambar 31. Sketsa lingkungan pengendapan dan kondisi akumulasi gambut  (Diessel, 1992)
Tabel 2. Jenis sumberdaya batubara mengacu pada jarak radius dari titik  singkapannya (Wood dkk, 1983)
Tabel 3. Jenis sumberdaya batubara mengacu pada jarak titik informasi menurut  kondisi geologi (BSN, 1998)
Gambar  34.  Pirit  yang  dijumpai pada singkapan  batubara PT-82  Gambar  35.  Kontak  batulempung-batubara  pada lokasi PT-93 Mineral pirit Batupasir Batubara  Batubara  Batulempung
+5

Referensi

Dokumen terkait

Standar Nasional Pendidikan adalah jenis terendah yakni aturan skema pendidikan di Indonesia yang bertumpu pada standar-standar: materi, kajian, penilaian,

Gambar 1.1 Kedudukan RPIJM dalam sistem Perencanaan Pembangunan Infrastruktur Bidang Cipta Karya. Sesuai dengan skema di atas, integrasi dan sinkronisasi setiap

Perpanjangan kesepakatan pengurangan produksi minyak OPEC sampai akhir 2018 memberi sinyal yang lebih kuat bahwa keseimbangan pasar minyak dapat mempercepat dan

Transfer Umum, yaitu sekurang-kurangnya 25% untuk belanja infrastruktur daerah (UU Nomor 18 Tahun 2016 tentang APBN) Untuk mendukung pembangunan. infrastruktur agar dipastikan

H301 - Toksik jika tertelan H311 - Toksik jika kontak dengan kulit H331 - Toksik jika terhirup H314 - Menyebabkan luka bakar parah pada kulit dan kerusakan mata H335 - Bisa

Dalam studi kasus konflik perang sipil Nigeria, peran tokoh agama Muslim dan Kristen sangat memberi pengaruh yang signifikan bagi proses perundingan damai melaui

[r]

Konsistensi Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/2/PBI/2012 dalam ketentuan batas minimum usia calon pemegang kartu kredit terhadap KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun