• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler termasuk ke dalam ordo Galliformes, family Phasianidae

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler termasuk ke dalam ordo Galliformes, family Phasianidae"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Ayam Broiler

Ayam broiler termasuk ke dalam ordo Galliformes, family Phasianidae dan spesies Gallus domesticus. Ayam broiler merupakan ayam tipe berat pedaging yang lebih muda dan berukuran lebih kecil. Ayam broiler ditujukan untuk menghasilkan daging dan menguntungkan secara eknomis. Ayam broiler tumbuh sangat cepat sehingga dapat dipanen pada umur 6-7 minggu. Sifat pertumbuhan yang sangat cepat ini diceriminkan dari tingkah laku makanannya yang sangat lahap. Nilai konversi ransum ayam broiler sewaktu dipanen sekarang ini mencapai nilai dibawah dua (Amrullah, 2004).

Hardjosworo dan Rukmiasih (2000) menyatakan bahwa ayam broiler dapat digolongkan ke dalam kelompok unggas penghasil daging artinya dipelihara khusus untuk menghasilkan daging. Umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: kerangka tubuh besar, pertumbuhan badan cepat, pertumbuhan bulu yang cepat, lebih efisien dalam merubah ransum menjadi daging.

Jenis strain ayam ras pedaging yang banyak beredar di pasaran adalah: Super 77, Tegel 70, ISA, Kim cross, Hyline, Vdett, Missouri, Hubbard, Shaver Starbro, Pilch, Yabro, Goto, Arbor arcres, Tatum, Indian river, Hybro, Cornish, Brahma, Langshans, Hypeco-Broiler, Ross, Marshall”m”, Euribrid, A.A 70, H&N, Sussex, Bromo, CP 707 dan Lohman 202 (Cahyono, 2001)

Jenis strain ayam broiler yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah Lohman 202 yang diberi nama strain New Lohman MB 202. Strain ini diproduksi

(2)

oleh PT. Multibreeder Adirama Indonesia yang merupakan anak perusahaan dari PT. Japfa Comfeed Indonesia, Tbk dimana induk usahanya adalah JAPFA GROUP. Adapun karakteristik strain New Lohman (MB 202) yang menjadi “Broiler Productions Targets “ adalah seperti Tabel 1.

Tabel 1. Karakter Produksi Strain New Lohman (MB 202)

Umur Konsumsi Pakan Bobot badan FCR

(hari) (gr/hari/ekor) (gr/ekor) (%)

0 3 42 - 1 5 53 0,23 2 8 66 0,41 3 11 81 0,55 4 14 97 0,66 5 18 116 0,76 6 21 136 0,83 7 24 159 0,89 8 28 185 0,91 9 32 213 0,94 10 37 244 0,98 11 41 278 1,01 12 48 314 1,04 13 52 354 1,07 14 59 396 1,11 15 63 441 1,14 16 71 489 1,17 17 75 540 1,20 18 81 595 1,22 19 87 652 1,25 20 91 711 1,27 21 97 773 1,30 22 103 838 1,32 23 109 905 1,34 24 115 974 1,37 25 120 1045 1,39 26 127 1119 1,41 27 131 1193 1,43 28 137 1270 1,45 29 143 1348 1,48 30 147 1428 1,50 31 153 1509 1,52 32 157 1590 1,54 33 161 1673 1,56 34 165 1756 1,58 35 170 1839 1,60

(3)

Fadilah (2004) mengatakan bahwa kegiatan pertama yang harus dilakukan saat day old chick (DOC) datang adalah memperhatikan dan memeriksa keadaan DOC secara keseluruhan, baik kualitas maupun kuantitasnya. Day old chick (DOC) yang berkualitas baik antara lain mempunyai ciri kakinya besar dan basah seperti berminyak, bulu cerah dan penuh, terlihat aktif dan beratnya tidak kurang dari 37gr. Kartasudjana dan Suprijatna (2006) menambahkan bahwa kualitas DOC yang dipelihara harus yang terbaik, karena performa yang jelek bukan saja dipengaruhi oleh faktor pemeliharaan tetapi juga oleh kualitas DOC pada saat diterima.

Ransum Ayam Broiler

Ransum adalah bahan ransum ternak yang telah diramu dan biasanya terdiri dari berbagai jenis bahan ransum dengan komposisi tertentu. Pemberian ransum bertujuan untuk menjamin pertumbuhan berat badan dan menjamin produksi daging agar menguntungkan (Santoso, 2008). Konsumsi ransum ayam pedaging tergantung pada strain, umur, aktivitas serta temperatur lingkungan (Wahju,1992).

Konsumsi ransum setiap minggu bertambah sesuai dengan pertambahan bobot badan. Setiap minggunya ayam mengonsumsi ransum lebih banyak dibandingkan dengan minggu sebelumnya (Fadilah, 2004). Menurut Rasyaf (1994), konsumsi ransum ayam broiler merupakan cermin dari masuknya sejumlah unsur nutrien ke dalam tubuh ayam. Jumlah yang masuk ini harus sesuai dengan yang dibutuhkan untuk produksi dan untuk hidupnya. Kartasudjana dan Suprijatna (2006) menambahkan bahwa pertumbuhan pada ayam broiler dimulai

(4)

dengan perlahan-lahan kemudian berlangsung cepat sampai dicapai pertumbuhan maksimum setelah itu menurun kembali hingga akhirnya terhenti. Pertumbuhan yang paling cepat terjadi sejak menetas sampai umur 4-6 minggu, kemudian mengalami penurunan.

Tujuan utama dalam pemberian ransum pada ayam pedaging adalah menjamin penambahan bobot badan selama pertumbuhaan dan penggemukannya. Pada ayam pedaging, kebutuhan zat-zat nutrisi berbeda jumlahnya pada setiap fase atau tingkatan umur ayam. Kebutuhan zat nutrisi untuk ayam broiler seperti tabel di bawah ini.

Tabel 2. Kebutuhan Nutrisi Ayam Broiler

Nutrisi Fase Awal Fase Akhir

Protein 21 – 23 % 19 – 21 %

Energi 2900 – 3200 Kkal/Kg 2900 – 3200 Kkal/Kg

Lemak 5 – 8 % 5 – 8 %

Serat Kasar 3 – 5 % 3 – 5 %

Kadar Abu 4 – 7 % 4 – 7 %

Sumber: Rasyaf, (2004)

Menurut Fadilah (2004), kandungan protein dalam ransum untuk ayam broiler umur 1-14 hari adalah 21 - 24% dan untuk umur 14-39 hari adalah 19 - 21%. Kebutuhan protein untuk ayam yang sedang bertumbuh relatif lebih tinggi karena untuk memenuhi tiga macam kebutuhan yaitu untuk pertumbuhan jaringan, hidup pokok dan pertumbuhan bulu (Wahju, 1992). Lebih lanjut Rizal (2006) mengatakan bahwa kebutuhan anak ayam (starter) akan kalsium (Ca) maksimum 1% dan ayam sedang tumbuh dan finisher adalah 0,6%, sedangkan kebutuhan ayam akan fosfor (P) bervariasi dari 0,2-0,45% dalam ransum.

(5)

Jenis Ransum Berdasarkan Bentuk Fisik

Ransum merupakan makanan yang disediakan bagi ternak untuk memenuhi kebutuhannya selama 24 jam (Anggorodi, 1995). Ransum yang baik adalah ransum yang mengandung semua zat makanan yang diperlukan oleh hewan dalam perbandingan yang sesuai dengan kebutuhan. Namun, ransum yang sudah lengkap kandungan zat makanannya belum dapat menjamin penampilan broiler akan lebih baik. Efisiensi suatu bahan ransum ditentukan oleh kemampuan ternak dalam mencerna bahan ransum karena tidak semua zat makanan dapat dicerna dan diserap oleh alat pencernaan.

Konsumsi ransum harus seimbang antara energi, protein, lemak, vitamin dan mineral sehingga kebutuhan pokok, pertumbuhan ataupun produksi telur dapat terpenuhi (Wahju, 1997). North dan Bell (1990) menyatakan bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh stain broiler, ukuran tubuh, bobot badan, tahap produksi, suhu lingkungan dan keadaan energi ransum.

Sifat Fisik Ransum

Wirakartakusumah (1992), menyatakan bahwa sifat fisik ransum merupakan sifat dasar dari suatu bahan yang mencakup aspek yang sangat luas akan tetapi informasi hasil penelitian mengenai sifat fisik bahan ransum masih sangat terbatas. Pemahaman tentang sifat-sifat bahan serta perubahan yang terjadi pada ransum dapat digunakan untuk menilai dan menetapkan mutu ransum, disamping itu pengetahuan tentang sifat fisik dapat digunakan juga untuk menentukan keefesienan suatu proses penanganan, pengolahan dan penyimpanan.

(6)

Sifat fisik bahan ransum banyak dipengaruhi oleh kadar air dan ukuran partikel dari suatu bahan, juga dipengaruhi oleh distribusi ukuran partikel, bentuk ransum dan karakteristik permukaan partikel suatu bahan (Wirakartakusumah, 1992). Khalil (1999) menyatakan bahwa kandungan air, ukuran partikel, sifat bahan pakan dan jenis bahan pakan sangat mempengaruhi sifat fisik ransum.

Tilman, et al. (1991) mengatakan bahwa ada beberapa bentuk ransum ayam yaitu tepung halus, tepung kasar/crumble, pellet. ransum tepung halus digunakan untuk fase starter, tepung kasar/crumble untuk fase grower selanjutnya ransum ayam finisher berbentuk pellet. Lebih lanjut menurut Rasyaf (2004), ransum bentuk butiran atau pellet merupakan perkembangan dari bentuk tepung komplit. Ransum bentuk pellet ini juga ransum bentuk tepung komplit yang kemudian diproses kembali dengan prinsip pemberian uap dengan panas tertentu sehingga ransum ini menjadi lunak kemudian dicetak berbentuk butiran dan pellet. Bentuk fisik ransum yang berbeda menjadikan adanya pilihan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan ransum.

Pergantian ransum starter dengan ransum finisher sebaiknya tidak dilakukan sekaligus, tetapi secara bertahap. Hari pertama diberi ransum starter 75% ditambah ransum finisher 25%, pada hari berikutnya diberi ransum starter 50% ditambah ransum finisher 50%, hari berikutnya diberi ransum starter 25% ditambah ransum finisher 75% dan hari terakhir diberi ransum finisher seluruhnya. Jika tahapan ini tidak dilakukan maka nafsu makan ayam menurun untuk beberapa hari dan dikhawatirkan akan menghambat pertumbuhan (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).

(7)

Ransum Berbentuk Tepung ( Mash )

Program pemberian ransum sangat tergantung kepada rencana ayam itu dipanen, jika ayam yang akan dipanen berukuran kecil sampai sedang, pemberian ransum menggunakan program dua jenis ransum. Tepung (mash) biasanya diberikan pada anak ayam hingga ayam berumur 2 minggu. Butiran (crumble) merupakan jenis ransum yang umum digunakan oleh peternak untuk ayam broiler. Bentuk ransum tepung atau mash lebih mudah dicerna dan lebih murah harganya karena tidak membutuhkan alat khusus lagi tetapi jika dipakai lebih dominan atau lebih lama dibandingkan dengan bentuk crumble/ pellet maka bisa menyebabkan nilai konversi ransumnya semakin naik (Fadilah, 2004).

Bentuk Tepung (mash) seluruh bahan baku yang digunakan, digiling menjadi tepung, kemudian dicampur menjadi homogen. Bentuk ini lebih dikenal dengan nama tepung lengkap (all mash), karena di dalam campuran ransum tersebut sudah terkandung seluruh kebutuhan nutrisi yang diperlukan ayam. Bentuk ini menjadi salah satu pilihan termurah untuk ransum ternak unggas, walaupun ada beberapa kekurangan jika digunakan sebagai ransum broiler. Kekurangannya adalah mudah tercecer karena terjadinya segregasi. Segregasi ini akan menyebabkan ransum yang dikonsumsi menjadi tidak seimbang. Kekurangan lainnya adalah ransum banyak yang melekat di paruh ayam. Akibatnya, tempat minum menjadi kotor dan ransum banyak yang terbuang, sehingga nilai FCR menjadi lebih besar dibandingkan dengan bentuk lainnya. Disamping itu, bentuk ransum ini kurang diminati ayam pedaging, sehingga bobot akhir pada umur yang sama akan lebih ringan dibandingkan bentuk

(8)

Ransum berbentuk Crumble

Ransum berbentuk crumble diperoleh dari proses crumbling. Crumbling adalah proses penggilingan/pemecahan pellet menjadi partikel berbentuk granular. Ransum berbentuk crumble biasanya digunakan untuk ternak pada periode starter dan grower (Perry et al, 2003).

Bentuk crumble diperoleh dengan memecah pellet menjadi bentuk remah, sehingga cocok untuk dikonsumsi ayam mulai masa starter hingga masa

finisher (Ichwan, 2005). Selanjutnya, menurut Agustina dan Purwanti (2009),

bentuk crumble ukurannya lebih kecil, disukai oleh ternak dan tidak mempunyai kesempatan memilih. Jadi biasanya ayam lebih baik pertumbuhannya dibanding dengan ayam yang memperoleh ransum bentuk mash. Crumble ini dapat diberikan mulai ayam umur satu hari.

Ransum berbentuk crumble dibagi 3 ukuran lagi, yaitu : fine crumble,

crumble dan coarse crumble (crumble kasar). Ransum berbentuk fine crumble

merupakan bentuk ransum yang paling kecil ukuran fisiknya. Kalau ransum berbentuk crumble merupakan bentuk ransum yang besar ukuran fisiknya antara

fine crumble dengan coarse crumble, sedangkan ransum berbentuk coarse crumble merupakan bentuk ransum yang paling besar ukuran (PT. Japfa Comfeed

Indonesia, 2008).

Ransum berbentuk Pellet

Ransum berbentuk pellet diperoleh dari proses pelleting. Proses pelleting adalah proses mengkompresikan ransum berbentuk tepung dengan bantuan uap panas (steam) untuk menghasilkan ransum yang silinderis. Pelleting memberikan keuntungan: ransum tidak berdebu, kandungan zat nutrisi dalam setiap pellet

(9)

tersebut seragam dan homogen, akan mengurangi sisa ransum terbuang, membatasi sifat memilih dari ternak dan pada akhirnya akan meningkatkan performans ternak yang bersangkutan (Amrullah, 2004)

Menurut Ichwan (2003), menyatakan bahwa adapun kelebihan ransum berbentuk pellet adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan selera makan ayam/palatabilitas

2. Pemborosan ransum akibat tumpah/terbuang dapat ditekan.

3. Dapat mengefesienkan formula ransum, karena setiap butiran pellet mengandung nutrisi yang sama.

4. Ayam tidak diberi kesempatan untuk memilih-milih makanan yang disukai.

Adapun kelebihan yang lain menurut Amrulah (2004), menyatakan bahwa penyajian dalam bentuk pellet dari ransum yang mengandung serat kasar tinggi lebih memperlihatkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan menyajikan ransum berbentuk pellet yang kadar serat kasarnya rendah, ransum yang berbentuk pellet akan menghemat waktu yang diperlukan ayam untuk makan. Kendatipun banyak bergantung pada kepadatan ransum, kalau diperlukan 1 jam untuk menghabiskan sejumlah ransum pellet, maka untuk bobot yang sama ransum bentuk butiran akan memerlukan waktu selama 1,8 jam; 2,1 jam untuk ransum pellet yang dihancurkan ulang; dan 2,4 jam untuk ransum berbentuk tepung. Ransum berbentuk crumbel atau pellet memang dapat memperbaiki penampilan ayam yang dipelihara terutama karena dapat meningkatkan kepadatan zat makanan. Ransum berat jenisnya meningkat dan lebih banyak ransum yang dapat ditampung di dalam tembolok per satuan waktu. Rasa kenyang ayam lebih

(10)

banyak ditentukan oleh peregangan temboloknya. Lebih lanjut Rasyaf (2004) menyatakan bahwa ransum berbentuk pellet menghasilkan ayam dengan bobot badan tertinggi dibandingkan ransum tepung komplit. Namun, ransum berbentuk campuran antara butiran dengan crumble (butiran pecah) mempunyai konversi ransum terbaik. Ransum berbentuk pellet ini hanya digunakan untuk ayam broiler masa akhir.

Bentuk ransum pellet akan lebih efisien dalam menghasilkan berat badan jika dibadingkan dengan ransum dalam bentuk tepung. ransum bentuk tepung akan banyak yang terbuang sebagai debu. Salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi produksi unggas adalah ransum. ransum yang baik juga mempengaruhi kualitas dan pertumbuhan berat badan unggas. Pellet merupakan ransum yang sangat baik untuk pertambahan berat badan (Santoso, 2008).

Protein

Protein merupakan komponen terpenting penyusun jaringan sekaligus nutrisi terbanyak yang terkandung dalam jaringan otot ternak (Church dan Pond, 1978). Definisi lain protein menurut Murray (2003) protein adalah struktur penyusun jaringan tubuh terbesar setelah air. Dijelaskan lebih lanjut bahwa protein merupakan senyawa organik yang mengandung atom karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen, setiap protein mengandung 16% nitrogen.

Menurut Anggorodi (1995) konsumsi protein merupakan konsumsi senyawa organik yang mengandung unsur karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, dan fosfor. Unggas yang sedang tumbuh konsumsi protein digunakan untuk hidup pokok, pertumbuhan jaringan, dan pertumbuhan bulu (Scott et al., 1982). Kebutuhan protein dan asam amino pada ternak dipengaruhi oleh umur,

(11)

laju pertumbuhan, reproduksi, iklim, tingkat energi, penyakit, bangsa, dan galur (Anggorodi, 1995).

Menurunnya tingkat energi dalam ransum akan meningkatkan konsumsi ransum sehingga konsumsi protein juga akan meningkat (Tillman et al., 1991). Selanjutnya dijelaskan bahwa kelebihan konsumsi protein dari ransum akan disimpan dalam bentuk energi, sedangkan kekurangan protein dapat menyebabkan gangguan pemeliharaan jaringan tubuh, pertumbuhan terganggu, dan penimbunan daging menurun. Pendekatan yang dilakukan untuk menentukan efisiensi pemamfaatan protein adalah Retensi Protein dan Rasio Efisiensi Protein (Protein

Efficisiency Ratio) (Anggorodi, 1995)

Retensi Protein

Retensi protein merupakan gambaran dari banyaknya protein yang diberikan, yang dapat diserap dan dimamfaatkan untuk membangun ataupun memperbaiki sel-sel tubuh yang sudah rusak, serta dimamfaatkan tubuh bagi metabolisme sehari-hari. Retensi protein itu sendiri merupakan hasil konsumsi protein yang dikurangi ekskresi protein dan protein endogenous. Sibbald (1985) menyatakan bahwa protein endogenous ialah protein yang terkandung dalam ekskreta yang berasal dari selain bahan ransum yang terdiri dari peluruhan sel mukosa usus, empedu dan peluruhan sel saluran pencernaan. Genetik, umur dan bahan ransum merupakan faktor yang mempengaruhi retensi protein karena tidak semua protein yang masuk ke dalam tubuh dapat diretensi (Wahju, 1997).

Selain itu menurut NRC (1994), nilai retensi protein berbeda untuk setiap jenis ternak, umur dan faktor genetik. Banyaknya protein yang diretensi dalam tubuh ternak akan mengakibatkan ekskreta mengandung sedikit protein dan energi

(12)

dibandingkan dengan ternak yang tidak meretensi protein. Faktor lain yang mempengaruhi kecernaan adalah suhu, laju perjalanan ransum melalui pencernaan, bentuk fisik dari bahan ransum dan komposisi ransumnya (Prawitasari et al, 2012).

Pengukuran retensi protein ransum bertujuan untuk mengetahui nilai kecernaan protein ransum. Retensi protein dapat bernilai positif atau negatif tergantung pada konsumsi protein. Retensi protein akan negatif apabila protein yang dikeluarkan melebihi konsumsi protein, sebaliknya retensi protein akan positif apabila protein yang dikonsumsi melebihi protein yang dikeluarkan melalui ekskreta (Parakkasi, 1990). Lebih lanjut Hanifiasti (2006) menyatakan bahwa semakin sedikit protein yang dibuang bersama ekskreta, maka akan meningkatkan nilai daya cernanya. Prawitasari et al. ( 2012) menyatakan kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein di dalam ransum. Ransum yang kandungan proteinnya rendah, umumnya mempunyai kecernaan yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada kandungan protein ransum dan banyaknya protein yang masuk dalam saluran pencernaan. Rasio Efisiensi Protein (REP)

Rasio Efisiensi Protein (REP) merupakan metode yang digunakan sebagai pembanding kualitas protein yang diartikan sebagai pertambahan bobot badan (gram) per konsumsi protein (gram) (Anggorodi, 1994). Iqbal et al. (2012) menyatakan bahwa jumlah konsumsi protein berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan, ini disebabkan karena pertambahan bobot badan tersebut berasal dari sintesis protein tubuh yang berasal dari protein. Peningkatan pertambahan berat badan berbanding terbalik dengan konversi ransum dan rasio efisiensi protein.

(13)

Semakin besar nilai pertambahan berat badan yang dihasilkan, maka nilai konversi ransum dan rasio efisiensi protein menjadi kecil.

Nuraini (2009), menyatakan bahwa jumlah ransum yang dikonsumsi menentukan besarnya pertambahan bobot badan yang dihasilkan. Lebih lanjut Mahfudz et al. (2010) menyatakan bahwa rasio efisiensi protein (REP) dipengaruhi oleh dua hal yaitu pertambahan bobot badan (PBB) dan konsumsi protein. Dijelaskan lebih lanjut bahwa semakin bertambahnya umur akan menurunkan nilai REP karena konsumsi ransum meningkat tetapi pertambahan bobot badan relatif tetap, sehingga efisiensi protein menurun. Mc Donald et al. (1988) menyatakan bahwa semakin rendah nilai REP maka semakin efisien pemanfaatan protein yang dikonsumsi oleh ternak tersebut.

Salah satu kondisi ransum diantaranya ukuran partikel size ransum yang pada akhirnya dapat mempengaruhi pemformans (konsumsi ransum, pertambahan

bobot badan dan konversi ransum) unggas ayam dan efisiensi dari penggunaan suatu ransum (penyerapan protein/nitrogen dan energi metabolisme dan efisiensi

ekonomis) (CPI (2006). Lebih lanjut, Notrh and Bell (1990) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum adalah nutrisi, lingkungan, kesehatan ternak dan keseimbangan ransum serta fisik ransum yang

(14)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak, Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian ± 25 m diatas permukaan laut. Penelitian ini berlangsung selama 5 hari mulai tanggal 2 sampai tanggal 6 Februari 2012.

Bahan dan Alat Penelitian Ternak

Jenis strain ayam broiler yang dipakai dalam penelitian ini adalah Lohman 202 yang diberi nama strain New Lohman MB 202 umur 35 hari sebanyak 18 ekor. Dimana 15 ekor digunakan untuk mengetahui nilai kecernaan protein ransum kemudian 3 ekor lainnya digunakan untuk mengetahui nilai protein endogenus. Bobot badan ayam broiler yang digunakan adalah 1708,78±52,83 gram.

Ransum

Ransum yang digunakan adalah ransum komersil yang diproduksi PT. Indojaya Agrinusa (Group PT. Japfa Comfeed Indonesia, Tbk) yaitu ransum dengan merk dagang BR I dan BR II Dimana ransum BR 1 size Mash (tepung) ,

Fine Crumble, Crumble, Coarse Crumble, dan Pellet .Selama penelitian juga

dibutuhkan air minum, obat-obatan (Consumix Plus®), vitamin (Perfexsol®), Biocid dan kapur.

(15)

Air Minum, Obat – obatan, Desifektan dan Vaksin

Air minum diberikan secara ad libitum dengan campuran Perfecksol® atau

Teraphy sebagai anti stres. Rodalon digunakan sebagai detergen pada saat

mencuci tempat air minum.

Kandang dan Perlengkapan

Kandang yang digunakan pada saat pengumpulan sampel untuk penentuan retensi protein, rasio efisiensi Protein penggunaan ransum broiler adalah kandang metabolis berukuran 50 x 45 x 45 cm sebanyak 18 buah. Masing-masing kandang terdiri dari 1 ekor broiler. Kandang ini dilengkapi dengan tempat air minum serta plastik penampung ekskreta. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan digital, oven 600C, H2SO4 0.01N, label, sendok dan kantong plastik. Alat penerang/pemanas berupa lampu pijar 40 Watt sebanyak 15 buah. Kabel sepanjang sebagai bagian instalasi dari alat penerang/pemanas. Termometer sebagai alat untuk mengukur suhu ruangan.

Metode Penelitian

Adapun rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan 3 ulangan dan sehingga diperoleh 15 susunan perlakuan.

a) P1 = Ransum stater berbentuk Tepung b) P2 = Ransum stater berbentuk Fine Crumble c) P3 = Ransum stater berbentuk Crumble

d) P4 = Ransum finisher berbentuk Coarse Crumble e) P5 = Ransum finisher berbentuk Pellet

(16)

Peubah Penelitian 1. Retensi Protein

Persentase retensi protein dapat diperoleh dengan menghitung selisih protein yang dikonsumsi dengan protein ekskreta yang kemudian dibagi dengan konsumsi protein yang hasilnya dikalikan 100%.

KP – (PE - PEn)

RP = x 100 %

KP Keterangan :

RP : Retensi Protein (%) KP : Konsumsi Protein (g/ekor) PE : Protein Ekskreta (g/ekor) PEn : Preotein Endogenus (Scott et al., 1982)

2. Rasio Efisiensi Protein (REP)

Anggorodi (1994) menyatakan rasio efisiensi protein diperoleh dengan cara menghitung pertambahan bobot badan dibagi dengan konsumsi protein kemudian dikali dengan 100%. Konsumsi protein diperoleh dengan jalan persentase kandungan protein (dari hasil analisis proksimat) dikalikan dengan konsumsi bahan keringnya.

PBB

REP = x 100 %

KP Keterangan :

REP : Rasio Efisiensi Protein (%) PBB : Pertambahan Bobot Badan (g) KP : Konsumsi Protein (g/ekor)

(17)

Pelaksanaan Penelitian Persiapan Kandang

Sebelum kandang dan peralatan kandang dipergunakan terlebih dahulu dibersihkan atau dicucihamakan dengan desinfektan yaitu rodalon.

Pengacakan Broiler

Broiler terlebih dahulu ditimbang, diambil standar defiasinya, diacak, kemudian dimasukkan kedalam setiap plot kandang dengan tujuan untuk memperkecil nilai keragaman.

Pemeliharaan

Perbedaan perlakuan terdapat pada bentuk fisik ransum yang dikonsumsi

Mash, Fine Crumble, Crumbel. Coarse Crumble dan pellet). Sebelum penelitian

dilakukan pemuasaan dilakukan terhadap semua perlakuan selama 24 jam.

Selama penampungan ekskreta dan endogenus dilakukan penyemprotan H2SO4 0,01 N sekali dalam dua jam. Penyemprotan ini dilakukan agar nitrogen sebagai bagian dari protein tidak menguap sehingga data protein ekskreta yang diperoleh benar-benar akurat. Selama penelitian semua ternak mendapatkan perlakuan yang sama, setiap hari selama empat hari ternak mengonsumsi ransum sebayak 120 gram/ekor.

Prosedur Pengambilan dan Analisis Data Pengambilan Data

• Ditimbang bobot badan awal ayam broiler (g/ekor) • Dihitung pertambahan bobot badan ayam broiler (g/ekor) • Ditimbang ekskreta (g/ekor)

(18)

• dioven 600

C selama 24 jam

• Dianalisis jumlah protein ransum (g/ekor) • Dianalisis jumlah protein ekskreta (g/ekor)

(19)

Alur pengukuran retensi protein di tampilkan pada Gambar 1.

(Masa pemeliharaan broiler)

Pemuasaan (24 Jam) Koleksi Ekskreta

- dikumpulkan dan ditimbang - dibekukan selama 24 jam - dicairkan pada suhu ruang - dioven 600C selama 24 jam - dihaluskan

- dibersihkan dari kotoran dan bulu - dianalisis

Gambar 1. Alur pengukuran retensi protein dan efisiensi protein

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis berdasarkan sidik ragam. Bila hasil analisis ragam menunjukkan perbedaan maka akan dilakukan uji lanjut dengan metode Beda Nyata Jarak (BNJ).

Day Old Chick (DOC)

Broiler (umur 35 hari)

Ekskreta

Perhitungan retensi protein dan rasio efisiensi protein

Gambar

Gambar 1. Alur pengukuran retensi protein dan efisiensi protein

Referensi

Dokumen terkait

Adapun proses dalam usaha keramba ikan kerapu ini yaitu di mulai dari memasukkan benih ikan kerapu kedalam keramba, pemberian pakan yang berupa segala jenis ikan kecil,

Pesan yang ingin disampaikan dalam karya musik Parikarma ini adalah membuka cara pandang tentang pemahaman bahwa dengan karya komposisi ini, penggabungan kedua mantra

[r]

Disini, kaidah interaksi manusia dan komputer dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menilai apakah menu atau tampilan layar ATM sudah sesuai yang diinginkan nasabah atau

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan akuntansi Pembiayaan Mudharabah pada BPRS Bangun Drajat Warga dan BPRS Madina Mandiri Sejahtera yang meliputi: (1) Perlakuan

Sebagai contoh, sebuah organisasi yang menggunakan alamat IP yang tidak teregistrasi di dalam jaringan privat dapat menggunakan tunneling untuk memfasilitasi komunikasi melalui

Kegiatan terprogram mengacu pada RKH (Rencana Kegiata Harian) atau RPPH (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Harian) yang dibuat oleh pendidik. Berdasarkan kajian

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dirumuskan dan beberapa kajian teoritis yang telah dibahas, hipotesis dalam penelitian ini adalah Current Ratio dan Debt to Equity Ratio