• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Singkat ASEAN-China Free Trade Area dan Penurunan Tingkat Tarif di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Singkat ASEAN-China Free Trade Area dan Penurunan Tingkat Tarif di Indonesia"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Singkat ASEAN-China Free Trade Area dan Penurunan Tingkat Tarif di Indonesia

ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) adalah kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dengan negara China. Pada bulan November 2001 melalui ASEAN-China Summit di Bandar Sri Begawan-Brunei Darussalam, China menawarkan sebuah proposal ASEAN-China Free Trade Area untuk jangka waktu 10 tahun ke depan. Lima bidang kunci kerjasama adalah pertanian, telekomunikasi, pengembangan sumberdaya manusia, investasi antar-negara, dan pengembangan di sekitar area sungai Mekong. Pertemuan ini ditindaklanjuti pada bulan November 2002 dengan penandatanganan “The Framework Agreement on A Comprehensive Economic

Cooperation (CEC)” yang dihadiri oleh Menteri Ekonomi negara-negara ASEAN

dan China. Naskah ini menjadi landasan bagi pembentukan ACFTA. Kesepakatan CEC dalam pertemuan tersebut juga mengandung tiga pilar yaitu liberalisasi, fasilitasi, dan kerjasama ekonomi. Liberalisasi meliputi perdagangan bebas barang, jasa, dan investasi dalam kawasan ACFTA. Namun, dalam kesepakatan tersebut juga diberikan differential treatment and flexibility bagi negara-negara anggota ASEAN yang belum berkembang seperti Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam.

Peserta ASEAN-China Summit pada bulan November 2004 menandatangani naskah “The Framework Agreement on Trade in Good” yang berlaku pada 1 Juli 2005. Berdasarkan kesepakatan ini, enam negara ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei Darussalam, dan China) sepakat melakukan penurunan tarif secara bertahap dengan target penurunan tarif hingga nol persen. Untuk negara ASEAN yang diberikan

differential treatment and flexibility akan mengikuti kesepakatan ACFTA pada

tahun 2015.

Adapun secara rinci tahapan peristiwa yang akhirnya mencetuskan ACFTA dimana mempengaruhi kesepakatan pemerintah Indonesia terhadap perdagangan bebas dengan ASEAN-China disajikan pada Tabel 1.

(2)

Tabel 1. Tahapan Perjalanan ASEAN Free Trade Area dan ASEAN-China

Free Trade Area

Waktu Peristiwa

1991 Kesepakatan AFTA (dipercepat menjadi tahun 2001)

1991 The People’s Republic of China (PRC) secara resmi menjadi mitra dialog ASEAN

1997 (Desember) Joint Statement kepala negara: ASEAN-PRC sebagai sahabat dan mitra yang saling percaya menyongsong abad 21

2000 (November) Pada KTT ASEAN-PRC para kepala negara menyepakati gagasan pembentukan ACFTA

2001 (Maret) Pembentukan ASEAN-China Economic Expert Group

Pada KTT ASEAN-China para kepala negara menandatangani Framework Agreement on Comprehensive

Economic Cooperation between ASEAN and PRC

2003 Perundingan ACFTA dimulai dan selesai bulan Juni 2004 2003

Bali Concord (proposal Indonesia “ASEAN Community" diterima): AFTA menjadi bagian dari ASEAN Economic

Community (AEC)

2004 (November) Kesepakatan ACFTA untuk barang ditandatangani

2007 Kesepakatan ASEAN Charter dan AEC Blue Print ditandatangani 2008 (Desember) ASEAN Charter berlaku Sumber : Basri (2010)

Perjalanan ACFTA hingga disetujui pemerintah Indonesia cukup lama yaitu dimulai pada tahun 1991. Ketika ASEAN menyepakati China sebagai rekan saing dalam perdagangan bebas, secara tidak langsung kesepakatan ini mengarahkan sistem ekonomi negara anggota ASEAN bertransformasi ke sistem ekonomi liberalis China. Tujuan dari Framework Agreement ACFTA ini adalah (1) memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan dan investasi kedua pihak, (2) meliberalisasikan perdagangan barang, jasa, dan investasi, (3) mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak, dan (4) memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di kedua belah pihak. Selain itu, kedua pihak juga menyepakati untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi melalui (1) penghapusan tarif dan hambatan non tarif dalam perdagangan barang, (2) liberalisasi secara progresif perdagangan jasa, dan (3) membangun rezim investasi yang kompetitif dan terbuka dalam kerangka ACFTA.

(3)

Penurunan dan penghapusan tarif perdagangan barang, telah disepakati melalui tiga skenario yaitu (1) Early Harvest Programme (EHP), (2) Normal

Track Programme, dan (3) Sensitive dan Highly Sensitive. EHP bertujuan untuk

mempercepat implementasi penurunan tarif produk dimana program penurunan tarif bea masuk dilakukan secara bertahap dan efektif dimulai pada 1 Januari 2004 bagi produk EHP dan menjadi nol persen pada 1 Januari 2006. Cakupan produk yang masuk ke dalam EHP adalah produk yang masuk ke dalam Chapter 01 s/d 08 yaitu hewan hidup (01), daging dan produk daging dikonsumsi (02), ikan (03),

dairy product atau produk susu (04), produk hewan lainnya (05),tumbuhan (06),

sayuran dikonsumsi kecuali jagung manis (07), dan buah-buahan dikonsumsi (08). Jumlah kelompok EHP meliputi 530 pos tarif (HS 10 digit), sementara produk– produk spesifik yang ditentukan melalui kesepakatan bilateral antara lain kopi, minyak kelapa (CPO), bubuk kakao, barang dari karet, dan perabotan.

Penurunan tarif bea masuk pada Normal Track Programme dimulai sejak tanggal 20 Juli 2005, yang menjadi nol persen pada tahun 2010, dengan fleksibilitas pada produk-produk yang akan menjadi nol persen pada tahun 2012. Adapun produk-produk dalam kelompok Sensitive, akan dilakukan penurunan tarif mulai tahun 2012, dengan penjadwalan bahwa maksimun tarif bea masuk 20 persen pada tahun 2012 dan akan menjadi 0-5 persen mulai tahun 2018. Komoditas yang masuk daftar High Sensitive List (HSL) seperti beras, jagung, kedelai, dan gula, tarif bea masuknya akan diturunkan atau dihapuskan menjadi 0-50 persen mulai 1 Januari 2015 (Kementerian Keuangan, 2011).

Preferensi penurunan tarif untuk ketiga skenario tersebut disepakati melalui Pengaturan Surat Keterangan Asal Barang (SKA) dengan ketentuan kandungan lokal ACFTA sebesar 40 persen yang secara operasional menggunakan SKA Form E. Penurunan dan penghapusan tarif bea masuk dalam skema ACFTA dilakukan secara bertahap. Hal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga kepentingan perlindungan terhadap produk Indonesia yang dianggap belum mampu untuk bersaing dengan produk negara peserta FTA.

Penurunan tarif di Indonesia telah dilakukan secara sepihak sejak era reformasi. Hal ini terjadi atas dorongan IMF sewaktu Indonesia dilanda krisis pada tahun 1997 yang mengharuskan Indonesia untuk lebih terbuka pada

(4)

perdagangan. Pada prosesnya penurunan tarif di Indonesia dilakukan secara bertahap yaitu dari rata-rata 6 persen, 4 persen di tahun 2008 kemudian dari 4 persen ke 3 persen tahun 2009, dan memasuki tahun 2010 menjadi nol persen melalui Normal Track pada perdagangan ACFTA (Pasaribu, 2010).

2.2. Profil Struktur Industri Gula Indonesia

Gula terdiri dari beberapa jenis yang dilihat dari tingkat keputihannya melalui standar ICUMSA (Internatioal Commission for Uniform Methods of

Sugar Analysis). Semakin putih gula maka semakin kecil nilai ICUMSA dalam

skala internasional unit (IU) sebagai berikut :

Raw Sugar (Gula Mentah)

Raw sugar adalah gula mentah yang berbentuk kristal berwarna kecokelatan dengan bahan baku dari tebu. Gula mentah ini merupakan gula setengah jadi dari pabrik-pabrik penggilingan tebu yang tidak mempunyai unit pemutihan. Jenis gula gula mentah ini yang paling banyak diimpor untuk diolah menjadi gula kristal putih ataupun gula kristal rafinasi. Untuk menghasilkan gula mentah diperlukan proses dari penilaian tebu → penggilingan → pemurnian nira → penguapan → pengkristalan merah (gula mentah).

Refined Sugar (Gula Kristal Rafinasi)

Gula kristal rafinasi ini merupakan hasil olahan lebih lanjut dari gula mentah. Adapun tahapan produksi gula kristal rafinasi yaitu dari raw sugar

preparation affination → karbonasi → penyaringan → pertukaran ion →

evaporasi → sentrifugal → gula kristal rafinasi → pengemasan. Pemasaran gula kristal rafinasi dilakukan secara khusus oleh distributor gula khusus yang telah mendapat persetujuan serta penunjukan dari pabrik gula kristal rafinasi yang disahkan oleh Departemen Perindustrian.

Pemenuhan gula kristal rafinasi dalam negeri sebelum tahun 2000 dilakukan melalui impor. Namun dengan ekspektasi harga yang terus meningkat dan produksi dula dalam negeri yang menurun, pada tahun 2003-2005 mulai terdapat tiga pelaku usaha gula kristal rafinasi. Kemudian pada tahun 2006-2008 usaha industri gula kristal rafinasi bertambah menjadi 7 pelaku usaha, dan bertambah lagi di tahun 2009 menjadi 8 pelaku usaha yang mempu mempunyai

(5)

kemampuan pasokan industri rafinasi mencapai sekitar 2 juta ton per tahun. Berdasarkan data KPPU (2010) pelaku usaha dalam industri gula kristal rafinasi antara lain :

1. PT Angles Product, Bojonagara, Serang-Banten 2. PT Jawamanis, Cilegon-Banten

3. PT Sentra Usahatama Jaya, Cilegon-Banten

4. PT Permata Dunia Sukses Utama, Cilacap-Jawa Tengah 5. PT Dharmapala Usaha Sukses, Cilacap-Jawa Tengah 6. PT Sugar Labinta

7. PT Makassar Tene

8. PT Duta Sugar International.

Pelaku industri gula kristal rafinasi dalam negeri sepenuhnya mengimpor gula mentah untuk kemudian diolah menjadi gula kristal rafinasi. Adanya peningkatan jumlah pabrik gula dalam negeri juga meningkatkan jumlah gula mentah yang diimpor setiap tahunnya. Berikut ini adalah data peningkatan impor gula mentah untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri yang membutuhkan gula kristal rafinasi.

Tabel 2. Jumlah Impor Gula Mentah di Indonesia Tahun 2003-2009

Tahun Perusahaan Rekomendasi (ton) Izin Impor (ton) Jumlah (ton)

2003 5 394 070 398 070 350 582 2004 5 923 000 757 750 478 250 2005 5 1 226 000 999 100 808 200 2006 6 1 081 000 1 056 250 952 387 2007 6 1 492 450 1 447 700 1 255 522 2008 7 1 661 230 1 404 730 1 231 470 2009 8 1 670 000 1 670 000 1 670 000 Sumber : GAPMMI, 2010

Industri yang menjadi konsumen gula kristal rafinasi antara lain industri makanan, minuman, dan farmasi. Sejak tahun 2002 hingga September 2008 pemerintah memperbolehkan industri makanan dan minuman mengimpor sendiri gula kristal rafinasi. Namun seiring dengan berkembangnya industri gula kristal rafinasi dalam negeri dan terus menurunnya harga dunia gula kristal rafinasi yang ternyata berimbas kepada petani gula, maka kemudian pada bulan September 2008 pemerintah membatasi impor gula kristal rafinasi yang dilakukan oleh industri makanan dan minuman. Industri makanan dan minuman tersebut

(6)

kemudian diarahkan untuk melakukan pembelian gula kristal rafinasi dari produk pabrik gula kristal rafinasi dalam negeri.

Gula Kristal Putih (Gula Pasir)

Gula kristal putih merupakan gula yang paling banyak digunakan untuk rumah tangga dan diproduksi oleh pabrik-pabrik gula di dekat perkebunan tebu dengan cara menggiling tebu dan melakukan proses pemutihan. Gula kristal putih dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu gula kristal putih ICUMSA 250, Gula kristal putih 2 dengan nilai ICUMSA 250-350, dan Gula kristal putih 3 dengan nilai ICUMSA 350-450. Semakin tinggi nilai ICUMSA maka warna gula akan semakin cokelat dan rasanya akan semakin manis. Tahapan proses memproduksi gula kristal putih antara lain tebu → gilingan → nira → evaporator → kristal → sentrifugal → sulfitasi → gula kristal putih (gula pasir).

Pelaku industri gula kristal putih didominasi oleh BUMN, yaitu PTPN dan RNI dengan jumlah sebanyak hampir 10 perusahaan yang tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera. Produksi gula kristal putih di dalam negeri sebagian besar berasal dari enam pelaku usaha saja, yaitu PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, RNI, Gunung Madu, dan Sugar Group. Secara keseluruhan pangsa produksi gula kristal putih dapat dilihat dalam gambar berikut :

Sumber : Dewan Gula Indonesia, 2010

Gambar 1. Pangsa Produksi Gula Kristal Putih Perusahaan di Indonesia Tahun 2009 18.96% 18.72% 15.64% 9.16% 8.61% 6.24% 6.16% 5.59% 4.15% 1.78% 1.42% 1.36% 0.98% 0.84% 0.38% (01) Sugar Grop (02) PTPN X (03) PTPN XI (04) PT Gula Madu Plant (05) PT RNI (06) PT Kebon Agung (07) PTPN IX (08) PTPN VII (09) PT RNI II (10) PT Pemuka Sakti Manis Indah (11) PT Madubaru (12) PTPN II

(13) PTPN XIV (14) PT Gorontalo (15) PT Laju Perdana Indah

(01) (02) (03) (4) (05) (06) (07) (08) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)

(7)

Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa PTPN X, PTPN XI, dan Sugar Group merupakan tiga pemain utama yang masing-masing pangsa produksinya di tahun 2009 yaitu 18.72 persen, 15.64 persen, dan 18.96 persen. Sugar Group merupakan satu-satunya perusahaan yang telah efisien dalam industri gula sehingga perusahaan ini mampu menjadi leader dalam industri gula kristal putih. Kemampuan industri gula swasta didukung oleh teknologi modern dan pola usaha integratif yang telah dijalankan, sehingga terbukti mampu memberikan daya saing yang tinggi.

2.3. Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Pergulaan Indonesia

Industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua dan terpenting Indonesia. Industri pergulaan di Indonesia dimulai pada tahun 1673 yaitu sejak berdirinya pabrik gula tebu pertama di Batavia. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930 dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8 persen dan rendemen mencapai 11.0 persen hingga 13.8 persen. Produksi puncak pernah mencapai sekitar 3 juta ton dan ekspor gula mencapai sekitar 2.4 juta ton. Hal ini didukung oleh kemudahan dalam memperoleh lahan yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi, dan disiplin dalam penerapan teknologi (Sudana, 2000).

Sepanjang sejarahnya, industri gula termasuk produk yang paling teregulasi diantara produk-produk lainnya. Industri gula merupakan salah satu yang tingkat distorsinya paling tinggi. Hal ini dikarenakan disamping gula termasuk dalam produk pokok yang bernilai strategis dalam kebutuhan masyarakat, struktur pasar gula oligopoli. Dikatakan ologopoli sebab sekalipun perkebunan tebu diusahakan oleh ribuan petani namun produksi gula hanya dihasilkan oleh puluhan pemain yaitu pabrik gula nasional yang bernaung dibawah pengusahaan negara maupun swasta.

Sebagai komoditas yang strategis, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan yang memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap industri pergulaan nasional. Kebijakan yang diterapkan pemerintah tersebut tidak hanya berkaitan dengan input, produksi, dan pemasaran saja tetapi sudah mencakup

(8)

dimensi yang cukup luas hingga pada kebijakan harga dan kebijakan impor. Kebijakan yang mempengaruhi pasang surut industri pergulaan nasional disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rezim Kebijakan Pergulaan Nasional

Kebijakan Perihal Tujuan

INPRES No. 9 Tahun 1975, 22 April 1975

Intensifikasi tebu (TRI)

Peningkatan produksi gula serta peningkatan petani tebu Kepmen Perdagangan

dan Koperasi

No.122/Kp/III/81, 12 Maret 1981

Tata niaga gula pasir dalam negeri

Menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran gula pasir serta peningkatan pendapatan petani

Kepmenkeu No. 342/KMK.011/1987

Penetapan harga gula pasir produksi dalam negeri dan impor

Menjamin stabilitas harga, devisa, serta kesesuaian pendapatan petani dan pabrik

UU No.12/1992 Budidaya tanaman

Memberikan kebebasan kepada petani untuk

menanam komoditas sesuai dengan prospek pasar Inpres No 5 Tahun 1997,

29 Desember 1997

Program pengembangan tebu rakyat

Pemberian peranan pada pelaku bisnis dalam rangka perdagangan bebas Inpres No. 5/1998, 21 Januari 1998 Penghentian pelaksanaan Inpres No. 5/1997

Kebebasan pada petani untuk memilih komoditas sesuai dengan Inpres No. 12/1992

Kep Menperindag No. 25 /MPP/Kep/1/1998

Komoditas yang diatur tata niaga impornya

Tata niaga impor gula untuk menjaga kelancaran arus barang dilakukan oleh importir produsen (IP)

Kepmenperindag No. 505/MPP/Kep/10/1998

Perdagangan dan distribusi minyak goreng dan gula pasir

Perdagangan dan distribusi gula pasir hasil produksi PT Perkebunan Nusantara/PT Rajawali Nusantara Indonesia ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Kepmenhtbun No. 282/Kpts-IX/1999, 7 Mei 1999 Penetapan harga provenue gula pasir produksi petani

Menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produksi

(9)

Kep Menperindag No. 230/MPP/Kep/6/1999, 4 Juni 1999 Mencabut Kepmenperindag No. 505/MPP/Kep/10/1998 Menciptakan iklim

perdagangan minyak goreng dan gula pasir yang

berorientasi pasar

Kep Menperindag No. 364/MPP/Kep/8/1999, 5 Agustus 1999

Tata niaga impor gula

Pengurangan beban anggaran pemerintah melalui impor gula dengan pembatasa jumlah importir dan izin impor hanya untuk importir produsen

Kep Menperindag No. 717/MPP/Kep/12/1999

Pencabutan tata niaga impor gula dan beras

Impor gula dan beras dapat dilaksanakan oleh importir umum

Kepmenkeu No. 568/KMK.01/1999

Penetapan tarif bea masuk atas impor beras dan gula

Untuk menjaga kepentingan petani dan konsumen tarif bea masuk atas impor gula

sebesar 20 persen (gula mentah) dan 25 persen (gula kristal putih)

Kepmenkeu No. 324/KMK.01/2002 3 Juli 2002

Perubahan bea masuk

Peningkatan efektivitas bea masuk melalui penggantian dari tarif ad-valorem menjadi tarif spesifik

Kep Menperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002, 23 September 2002

Tata niaga impor gula

Pembatasan pelaku impor gula hanya menjadi importir gula produsen dan importir gula terdaftar untuk

peningkatan pendapatan petani/produsen.

SK Menperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004, 17 September 2004

Ketentuan impor gula

Pembatasan pelaku impor gula, jumlah pasokan gula impor, kualitas gula, waktu impor dan harga penyangga atau penjamin Kepmen Perdagangan No.02/M/Kep/XII/ 2004, 7 Desember 2004 Perubahan atas keputusan menteri perindustrian dan perdagangan No. 527/MPP/Kep/9/2004 tentang impor gula

Ketentuan bahwa impor dapat dilakukan jika harga gula kristal putih di tingkat petani mencapai di atas Rp 3 800.00 per kilogram dan atau apabila produksi atau persediaan gula kristal putih tidak mencukupi kebutuhan

(10)

Kep Menperindag No. 08/M-DAG/ Per/4/2005 Perubahan atas Keputusan Menteri Perdagangan No.02/M/Kep/XII/200 4 tentang perubahan atas Keputusan Menperindag No. 527/2004 tentang impor gula

Ketentuan impor gula tidak hanya mengatur tentang harga patokan tetapi juga jumlah pasokan Permendag No. 18/M-DAG/PER/4/2007 Perubahan atas keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 27/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula

Ketentuan bahwa impor dapat dilakukan jika harga gula kristal putih di tingkat petani mencapai di atas Rp 4 900.00 per kilogram dan apabila produksi atau persediaan gula kristal putih tidak mencukupi kebutuhan

Permenkeu No. 86/PMK.010/2005

Keringanan tarif bea masuk atas impor gula

Gula tebu dengan ICUMSA minimal 1200 IU bea masuk menjadi Rp 250 per kilogram dan gula bit, gula murni menjadi Rp 530 per kilogram Permentan No. 57/Permentan/KU.430/7/ 2007 Pedoman pelaksanaan kredit ketahanan Pangan dan Energi

Besar kredit untuk usahatani tebu Rp 12 500 000.00 Permendag No. 19/M-DAG/PER/5/2008 Perubahan atas keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 27/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula

Ketentuan bahwa impor dapat dilakukan jika harga gula kristal putih di tingkat petani mencapai di atas Rp 5 000.00 per kilogram dan atau apabila produksi atau persediaan gula kristal putih tidak mencukupi kebutuhan

Permenperind No.83/M-IND/Per/11/2008

Pemberlakuaan Standar Nasional Indonesia (SNI) gula kristal rafinasi

Penggunaan sertifikat produk tanda standart nasional secara wajib agar menghasilkan gula kristal rafinasi yang sesuai dengan persyaratan SNI

Permenperind No. 91/M-IND/PER/11/2008 Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Pabrik Gula

Dalam rangka mendukung revitalisasi pabrik gula melalui keringanan pembiayaan pembelian mesin/peralatan pabrik gula guna peningkatan kapasitas produksi gula nasional

(11)

Permenperind No.95/M-IND/PER/11/2008 Penunjukan Lembaga Penilaian Kesesuaian dalam rangka Penerapan/Pemberlak uan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Gula Kristal Rafinasi

Untuk melaksanakan

sertifikasi dan pengujian mutu produk gula kristal rafinasi

Permendag No. 560/M-DAG/PER/4/2009 Perubahan atas keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 27/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula

Ketentuan bahwa impor dapat dilakukan jika harga gula kristal putih di tingkat petani mencapai di atas Rp 5 350.00 per kilogram dan apabila produksi atau persediaan gula kristal putih tidak mencukupi kebutuhan SK Mendag No.111/M-DAG/2/2009 Penyempurnaan petunjuk pendistribusian gula kristal rafinasi

Memberi kepastian dan kejelasan bagi semua pihak yang terlibat distribusi gula kristal rafinasi

Permenkeu

No.150/PMK.011/2009 24 September 2009

Penetapan tarif bea masuk atas impor gula

Menjaga stabilitas harga gula dalam negeri tarif bea masuk atas impor gula kristal rafinasi Rp 400 per kilogram dan gula mentah Rp 150 per kilogram

Permenperind No. 44/M-IND/PER/4/2010

Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 91/M-IND/PER/11/2008 tentang Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Pabrik Gula

Memperluas peserta program restrukturisasi mesin/peralatan pabrik gula dengan syarat pabrik gula tidak memproduksi gula kristal rafinasi, mengganti sebagian/seluruh komponen peralatan dengan teknologi yang lebih baik

Sumber : Sudana et al.(2002) dan Susila (2005a), KPPU (2010), Kementerian Perindustrian (2008), Kementerian Perdagangan (2009), dan Kementerian Keuangan (2009)

Pada masa pra 1975 sebagian tanaman tebu diusahakan oleh pabrik gula di atas tanah persewaan. Tarif sewa tanah untuk tanaman tebu setiap tahun ditetapkan oleh pemerintah yang sekaligus meliputi persewaan tanah untuk tanaman tebu, dan tembakau. Penetapan tarif sewa tanah yang rendah setiap tahun menimbulkan masalah karena pemilik tanah hilang minatnya untuk menyewakan

(12)

tanahnya pada pabrik gula. Apabila ditetapkan terlalu tinggi, maka biaya pokok produksi gula akan menjadi tinggi pula. Amang (1993) menjelaskan bahwa pada tahun 1975 melalui Inpres No. 9 Tahun 1975 pemerintah menghapus sistem sewa tanah dan menggantikannya dengan sistem Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Dalam sistem ini diintrodusir paket kredit dan input yang bertujuan mendorong petani perorangan bergantung dalam suatu kelompok untuk menanam tebu ditanahnya. Pada sistem TRI ini juga dimaksudkan agar terdapat suatu pemisahan yang jelas antara tanggung jawab produsen tebu (dilakukan oleh petani) dan pengolahan tebu menjadi gula pasir (oleh pabrik gula).

Pada tahun 1980 pemerintah melakukan modifikasi sistem TRI dengan memberikan pengarahan kepada pabrik gula untuk memberi bimbingan dan bantuan langsung kepada petani melalui Koperasi Unit Desa (KUD) baik dalam hal penyediaan benih, pengelolaan lahan, panen, dan proses pengangkutan. Namun demikian, Hariyati (2003) mengemukakan bahwa sejak dikeluarkannya Inpres No. 9 Tahun 1975 telah merubah sejarah baru yang merombak sistem persewaan perkebunan menjadi sistem tebu rakyat. Sejak saat itu kehadiran petani sebagai partner pabrik gula menyebabkan terjadinya pemisahan tanggung jawab, produksi, dan pengolahan, sehingga dalam produksi gula terbagi menjadi dua segi yaitu produksi tebu dan industri pengolahannya. Pelaku utama dalam produksi gula terbagi menjadi petani dan pabrik gula sehingga kebijakan produksi gula tidak boleh terlepas dari perilaku keduanya.

Harapan bahwa kehidupan ekonomi petani dapat meningkat melalui program TRI tidak terwujud. Selama pelaksanaan Inpres No. 9 Tahun 1975 segala hal menyangkut tebu mulai dari penyediaan lahan, proses tebang, dan angkut tebu serta penggilingan diatur dan dikuasai KUD yang ditunjuk pemerintah. Akibatnya petani menjadi pihak yang dirugikan, tingkat keuntungan yang diperoleh petani dari tanaman tebu lebih kecil daripada jenis tanaman lain, sehingga secara psikologis petani kehilangan kebebasan untuk mengolah lahan pertaniannya sendiri. Menyikapi perkembangan yang negatif akan pelaksanaan TRI serta seiring dengan semakin menurunnya produksi gula nasional dan tingkat kebutuhan konsumsi gula nasional yang terus meningkat pemerintah kemudian mencabut Inpres No. 9 Tahun 1975. Pencabutan kebijakan ini diikuti dengan

(13)

Keputusan Menperindang No. 25/MPP/Kep/I/1998 yang intinya menetapkan BULOG tidak lagi menangani perdagangan gula. Hafsah (2003) menyatakan penerbitan keputusan ini terjadi karena adanya keterikatan Indonesia dengan IMF

(Internasional Monetary Fund) dengan Letter of Intent-nya terutama tentang

pelaksanaan butir nomor 44 dari Letter of Intent tersebut tentang pembebasan tata niaga komoditi pertanian termasuk gula, yang harus dilakukan sejak Januari 1999.

Pada tahun 1999 ketika krisis ekonomi Indonesia mulai membaik harga gula dalam negeri mengalami penurunan. Hal ini disebabkan harga gula dunia yang terus menurun, nilai tukar rupiah yang menguat serta tidak adanya tarif impor. Keputusan pemerintah Indonesia untuk mencabut monopoli BULOG dalam pengadaan gula dan menerapkan tarif impor gula sebesar nol persen mengakibatkan industri gula lokal terancam. Kenyataannya pada saat itu, gula impor lebih murah daripada harga gula lokal menunjukkan ketidakefisienan dari industri gula lokal di Indonesia sehingga banyak pabrik gula domestik terancam bangkrut karena tidak dapat bersaing dengan gula impor. Wibowo (2009) menyatakan kebijakan tersebut telah membawa ekonomi pertebuan nasional berada pada titik nadir menuju liberalisasi yang menekan produksi tebu petani. Tidak ada langkah tegas dari pemerintah untuk merevitalisasi agribisnis tebu sehingga parameter produksi dan produktivitas serta nilai tambah agribisnis berbasis tebu benar-benar menunjukkan kinerja yang memprihatinkan.

Pemerintah mengeluarkan SK Menhutbun No. 228/KPTS-IV/1999 untuk melindungi produsen dalam negeri dengan menetapkan harga provenue gula sebesar Rp 2 500.00 per kilogram. Namun, kebijakan ini tidak didukung oleh rencana dan tindak lanjut dari pemerintah sehingga kebijakan ini menjadi tidak efektif. Sebagai contoh, ketika pemerintah menetapkan kebijakan ini ternyata pemerintah dan BUMN perkebunan tidak memiliki dana yang memadai. Akibatnya kebijakan tersebut tidak terealisasi dan harga gula petani masih mengalami ketidakpastian. Pemerintah kemudian mengambil jalan keluar dengan mengeluarkan SK Menperindag No. 364/MPP/Kep/8/1999 dengan melakukan pembatasan jumlah impor dan hanya memberikan izin impor kepada importir produsen. Melalui kebijakan ini pemerintah mampu mengendalikan volume impor sehingga harga gula dalam negeri dan kesejahteraan petani dapat ditingkatkan.

(14)

Kebijakan importir produsen tersebut ternyata masih kurang efektif, baik untuk mengangkat harga gula di pasar domestik maupun mengontrol volume impor. Walau tidak ada data pendukung yang memadai, kegagalan tersebut terutama disebabkan oleh stok gula dalam negeri sudah terlalu banyak serta masih adanya gula impor ilegal. Situasi ini membuat harga gula di pasar domestik tetap melemah. Desakan petani dan pabrik gula terhadap pemerintah untuk melindungi industri gula dalam negeri semakin kuat (Dewan Gula Indonesia, 1999). Dalam jangka waktu 4 bulan melalui surat keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 717/MPP/Kep/12/1999 pemerintah mencabut tata niaga impor gula dan beras yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2000, sehingga perdagangan komoditas gula diserahkan kepada mekanisme pasar.

Melalui surat Keputusan Menteri Keuangan No. 568/KMK.01/1999 yang mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2000 maka semua importir baik importir umum (IU) maupun importir produsen (IP) termasuk BULOG diperbolehkan mengimpor gula dengan ketentuan dikenakan bea masuk sebesar 20 persen untuk gula mentah dan 25 persen untuk gula kristal putih. Namun, karena dirasa tarif

ad-valorem tersebut kurang efektif maka melalui Keputusan Menteri Keuangan No.

324/KMK.01/2002 tarif tersebut diganti menjadi tarif spesifik yaitu Rp 550.00 per kilogram untuk gula mentah dan Rp 700.00 per kilogram untuk gula putih. Tingkat tarif ini terus berlaku hingga tahun 2004.

Pada tahun 2004 dalam rangka mendukung program akselerasi pemerintah melakukan perbaikan terhadap kebijakan sebelumnya, yaitu dengan menerbitkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527/MPP/Kep/9/2004 dimana pemerintah kembali melibatkan BUMN seperti BULOG dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia dalam perdagangan gula di Indonesia. BULOG mempunyai peran sebagai distributo tunggal untuk memasarkan gula milik PTPN dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) melalui jaringannya yang tersebar diseluruh Indonesia.

Ketentuan impor gula yang tertuang dalam SK Menperindag No. 527/2004 telah mendatangkan permasalahan baru dalam industri pergulaan nasional. Hal ini mengingat dalam kebijakan tersebut pemerintah membagi pemasaran gula menjadi gula kristal putih dan gula kristal rafinasi. KPPU (2010) menyatakan

(15)

bahwa segmentasi pasar yang dilakukan oleh pemerintah menyebabkan tidak seimbangnya pasokan dan permintaan. Pemisahan yang dilakukan untuk menjaga gula kristal putih diatas Harga Dasar Gula (HDG) tidak efektif sebab adanya perbedaan harga yang cukup signifikan. Kondisi ini yang membuat gula kristal rafinasi yang seringkali dimaksudkan untuk kepentingan industri banyak ditemukan beredar dipasaran.

Target produksi gula konsumsi tahun 2009 tidak tercapai, sedangkan sebagian stok gula konsumsi nasional diserap oleh industri makanan dan minuman skala kecil dan menengah serta rumah tangga, sehingga terjadi lonjakan harga di pasar dunia maupun di pasar domestik. Industri makanan dan minuman skala kecil dan menengah sebelumnya menggunakan pasokan gula kristal rafinasi. Oleh karena itu, pada tahun 2009 pemerintah menetapkan penurunan tarif bea masuk impor gula kristal rafinasi dan gula mentah melalui revisi peraturan Menteri Keuangan No. 150/PMK.011/2009, dimana tarif bea masuk gula kristal rafinasi turun 49.4 persen menjadi Rp 400.00 per kilogram dari sebelumnya Rp 700.00 per kilogram dan gula mentah dari Rp 550.00 per kilogram menjadi Rp 150.00 per kilogram. Pemerintah memperpanjang pemberlakuan tarif bea masuk tersebut hingga April 2010.

Tata niaga penyaluran gula nasional pada tahun 2010 dan 2011 tidak tertata dengan baik sekalipun pemerintah telah secara serius mengatur distribusi gula kristal rafinasi melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.111/M-DAG/2/2009 tentang penyempurnaan petunjuk pendistribusian gula. Penyaluran gula kristal rafinasi tidak lagi langsung ditujukan kepada industri pengguna tetapi melalui distributor, sehingga gula kristal rafinasi impor banyak yang masuk ke pasar konsumsi rumah tangga dan industri kecil. Pemerintah tidak melakukan sistem pengawasan yang baik terhadap peredaran gula kristal rafinasi di pasar umum. Hal ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam mewujudkan swasembada gula.

Target untuk swasembada gula sebenarnya telah dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2002 pemerintah untuk tercapai pada tahun 2007. Namun kemudian target tersebut mundur menjadi tahun 2008, lalu mundur lagi menjadi tahun 2009 walaupun dengan catatan swasembada hanya untuk gula konsumsi

(16)

masyarakat atau gula kristal putih dan bukan untuk industri. Kegagalan target swasembada gula ini produksi gula nasional yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nasional dan kurang ketertarikan investor dalam menanamkan modal di sektor perkebunan tebu di Indonesia. Bahkan saat ini target swasembada dicanangkan oleh pemerintah tercapai pada tahun 2014.

2.4. Kebijakan Pergulaan di Negara-Negara Anggota ASEAN-China Free

Trade Area

Perkembangan ekonomi dunia saat ini telah mengarah pada keterbukaan hubungan ekonomi antar bangsa. Dewasa ini, dunia melihat ASEAN sebagai kawasan yang strategis. ASEAN mampu membuktikan diri sebagai perhimpunan yang mampu menciptakan stabilitas di kawasannya serta mampu meningkatkan kekuatan ekonominya. Salah satu mitra dagang terbesar ASEAN adalah China. Kesepakatan perdagangan yang tengah dijalankan oleh kedua pihak tersebut tentunya hanya akan memberikan dampak negatif apabila kedua belah pihak tidak mampu melindungi produk dalam negerinya. Demikian halnya untuk komoditas pertanian seperti gula yang juga menjadi bagian dari kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China. Masing-masing negara ASEAN yang memproduksi gula dan China yang selain produsen juga pengimpor gula turut menerapkan kebijakannya untuk melindungi dan meningkatkan kapasitas produksi gula.

Thailand

Kebijakan industri gula di Thailand dijalankan oleh Thai Cane and Sugar

Board yang memiliki keanggotaan petani (grower), pabrik gula (miller) dan

pemerintah. Dalam berusahatani, para petani tebu di Thailand mendapat bantuan kredit dari bank dengan bunga di bawah harga pasar. Besarnya kredit ini disesuaikan dengan nilai kontrak penyerahan tebu ke pabrik.

Hafsah (2003) menyatakan bahwa Thailand telah menetapkan kebijaksanaan pasar domestik dan impor gulanya dengan cara membagi produksi gula domestik menjadi tiga kuota yaitu kuota A untuk pasar domestik, kuota B untuk ekspor, dan kuota C untuk kelebihan kuota A dan B. Dalam pelaksanaannya jumlah kuota A ditetapkan oleh pemerintah Thailand, sedangkan kuota B untuk ekspor gula dilakukan oleh Thai Cane and Sugar Board. Penetapan harga tebu petani dilakukan oleh pemerintah deengan menggunakan total penerimaan pabrik

(17)

gula dari kuota A dan kuota B sebagai dasar perhitungannya. Tidak hanya itu, harga gula domestik juga ditunjang oleh pengenaan tarif bea masuk impor sebesar 65 persen untuk volume impor dengan minimum akses sebesar 13 105 ton dan pemberlakuan tarif sebesar 104 persen untuk impor gula diatas minimum akses. Filipina

Filipina merupakan salah satu contoh negara yang mempunyai kebijakan pembangunan gula nasional yang komprehensif, saling terkait dan konsisten satu dengan yang lainnya baik di tingkat makro hingga mikro maupun nasional hingga daerah. Sama halnya dengan Indonesia, Filipina juga mencanangkan program swasembada gula sehingga agribisnis gula tidak terlepas dari perhatian utama pemerintahnya. Pambudy, et al. (2005) menyatakan bahwa Filipina mempunyai kemampuan untuk menciptakan lapangan kerja sebanyak 5 juta orang dalam agribisnis gula. Luas lahan tebu Filipina saat ini mencapai 368 ribu hektar dengan produktivitas rata-rata yang baru mencapai 60 ton per hektar yang masih jauh lebih rendah dari produktivitas tebu di Thailand yang mencapai 180 ton per hektar. Namun demikian, data hingga bulan Juni 2003 menunjukkan bahwa produksi gula di Filipina sudah mencapai 2.12 juta ton. Pencapaian jumlah produksi gula yang cepat ini menjadikan target swasembada gula di Filipina tercapai pada tahun 2003, lebih cepat dari target yang dicanangkan yaitu tahun 2007.

Pemerintah Filipina membebankan tanggung jawab pergulaan pada Sugar

Regulatory Administration (SRA) yang bertanggung jawab langsung kepada

Presiden. Lembaga ini mempunyai kemampuan untuk mengikat semua institusi yang terlibat dalam agribisnis gula di Filipina. Lembaga ini mempunyai mandat meningkatkan pertumbuhan dan pengembangan sektor industri gula nasional dengan lebih meningkatkan partisipasi sektor swasta serta meningkatkan kesejahteraan para buruh gula (www.sra.gov.ph).

Kebijakan umum yang diterapkan untuk melindungi industri gula di Filipina antara lain :

1. Free enterprise, yaitu baik penduduk lokal maupun asing dapat berpartisipasi dalam perdagangan gula selama mempunyai kapabilitas keuangan dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah.

(18)

2. Gula yang diproduksi didalam negeri diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan prioritas berikutnya untuk memenuhi kuota ekspor gula ke Amerika Serikat

3. Impor gula diusahakan dalam bentuk raw sugar agar dapat memberikan keuntungan padarefiners. Impor gula harus dididasarkan atas Executive Order yang diterbitkan oleh Presiden atas rekomendasi Departemen Pertanian untuk kemudian ditenderkan diantara traders.

Selain kebijakan umum, pemerintah Filipina juga melakukan proteksi terhadap pasar pergulaan nasionalnya dengan menjaga harga pasar domestik relatif tinggi melalui kebijakan tarif bea impor. Upaya lain yang telah dilakukan oleh pemerintah Filipina adalah dengan menetapkan minimum akses sebesar 150 ribu ton dengan tarif 50 persen dan sebesar 80 persen untuk impor gula atas minimun akses. Sedangkan untuk impor gula di negara ASEAN pemerintah memberlakukan tarif preferensi sebesar 65 persen (Hafsah, 2003).

China

Industri gula China memiliki sejarah panjang dan telah mengalami perubahan yang signifikan dalam beberapa tahun ini. Industri gula China telah tumbuh lebih dari 300 persen sejak reformasi ekonomi dimulai pada tahun 2004. Pertumbuhan industri pergulaan di China disertai dengan berbagai tekanan baik internal maupun eksternal yang telah mengakibatkan restrukturisasi mesin dan peralatan pabrik gula yang signifikan di dalam negeri. Pemerintah China berupaya untuk mengejar pengembangan industri gula melalui serangkaian kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan surplus produsen dan petani, peningkatan kualitas produk gula dan perlindungan yang besar bagi lingkungan. Manajemen teknologi yang kreatif dan inovatif menjadi sarana utama pencapaian pengembangan industri gula China (Zhu, et al. 2007).

Perkembangan konsumsi yang lebih tinggi daripada produksi membuat China saat ini menjadi salah satu konsumen gula terbesar di dunia. Sekalipun China merupakan negara importir, namun pemerintah China juga memberikan kebijakan proteksi dan promosi untuk industri pergulaannya. Dalam merumuskan kebijakannya pemerintah China melibatkan State Development and Reform

(19)

pembangunan industri gula jangka panjang, State Economic and Trade

Commision (SETC) yang bertanggung jawab terhadap pengendalian produksi,

kementerian pertanian yang bertanggung jawab langsung terhadap pengaturan lahan tebu, Kementerian perdagangan yang mengatur ekspor dan impor gula, serta

China Sugar Association yang membantu pemerintah dalam melaksanakan

pengendalian kebijakan makro dan masukan bagi pengembangan industri gula. Adapun serangkaian kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah China dalam mendukung industri pergulaannya antara lain (Pambudy, et al. 2005) :

1. Menerapkan sistem tanggung jawab produksi keluarga di wilayah pedesaan yang membangkitkan antusiasme para petani tebu untuk meningkatkan produksi.

2. Memberikan insentif berupa pangan kepada petani tebu untuk menjamin kecukupan pangan dan menjaga agar tetap menanam tebu.

3. Memberikan subsidi berupa pembangunan irigasi pada lahan-lahan yang ditanami tebu dan pembukaan lahan kering dataran tinggi untuk dijadikan lahan tebu.

4. Melepaskan seluruh kendali pembelian dan kontrak penjualan gula pada mekanisme pasar.

5. Menerapkan pajak pendapatan yang cukup tinggi terhadap pabrik gula sebesar 33 persen dan PPN sebesar 17 persen.

6. Menerapkan kebijakan proteksi dengan menerapkan kuota impor pada tahun 2003 sebesar 1.85 juta ton, dan tahun 2004 sebesar 1.94 juta ton dengan tarif sebesar 30 persen untuk gula putih dan 20 persen untuk gula mentah. Impor diatas kuota yang telah ditetapkan dikenakan tarif impor sebesar 76 persen.

Pemerintah China juga tengah menerapkan konsep pembangunan keberlanjutan untuk industri gula. Li, et al. (2006) menjelaskan konsep pembangunan berkelanjutan industri gula China dilakukan sedemikian rupa sehingga produksi berada dalam kondisi yang seimbang dengan untuk input sumberdaya yang terbarukan seperti energi. Dorongan ini dilakukan dengan menekankan pada pengurangan dampak negatif lingkungan yang signifikan terkait dengan produksi gula di China dan seluruh dunia. Sebagai bagian dari tujuan jangka panjangnya, pemerintah China juga akan melakukan penekanan pada

(20)

pemanfaatan produk hilir yang selama ini hanya dikenal sebagai limbah. Sehingga, arah industri gula di China akan melalui proses produksi yang dikenal dengan 3P atau “Planting-Processing-Production Cycle”.

2.5. Tinjauan Studi Terdahulu

Sanjaya (2009) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan produksi tebu Indonesia jauh lebih responsif jika dilakukan dengan pendekatan intensifikasi, artinya peningkatan penawaran dilakukan dengan meningkatkan produktivitas tanaman tebu. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menetapkan kebijakan-kebijakan terkait dengan kebijakan harga faktor-faktor input produksi produk pertanian seperti kebijakan harga pupuk, harga pestisida, dan tingkat upah buruh. Berdasarkan nilai elastisitas penawaran tebu di Indonesia, jumlah penawaran tebu pada tahun 2025 mendatang diproyeksikan sebesar 70.531 juta ton sedangkan proyeksi jumlah kebutuhan total tebu nasional adalah sebesar 63.158 juta ton sehingga pada tahun 2025 dapat disimpulkan bahwa program swasembada gula dapat tercapai.

Studi mengenai liberalisasi perdagangan gula yang dikaji oleh Hariyati (2003) menyatakan bahwa penerapan liberalisasi gula ditandai dengan penghapusan tarif diikuti dengan pelepasan tata niaga gula yang berarti stok gula sama dengan nol. Kondisi ini berdampak pada penurunan penawaran secara drastis sebesar 35.9 persen dan kenaikan harga gula domestik sebesar 14.3 persen, kenaikan harga gula petani sebesar 10.6 persen meningkatkan produksi gula. Pemenuhan kebutuhan nasional yang dilakukan dengan impor menyebabkan meningkatnya impor gula sebesar 34.5 persen. Kenaikan impor gula indonesia menyebabkan kenaikan harga impor dunia sehingga juga akan mengakibatkan kenaikan harga gula dunia.

Refomasi tarif telah menjadi isu penting di awal dekade kedua sejah abad 20. Tarif yang tinggi dipercaya menjadi penyebab kekacauan ekonomi pada beberapa negara. Ellison, et al. (1995) mempelajari voting Kongres Reformasi Tarif untuk gula pada tahun 1912 untuk menyelidiki pengaruh para konstituen terhadap kebijakan perdagangan terutama kebijakan tarif. Hasil studi yang diperoleh kongres reformasi tarif tersebut terjadi karena adanya sebuah gerakan

(21)

nasional yang memang menginginkan reformasi tarif. Akibat dari hal inilah yang kemudian membuat sebagian kalangan menilai bahwa legislator atau para konstituen memiliki tingkat visibilitas dan akuntabilitas politik yang tinggi dalam pengaturan sebuah kebijakan perdagangan. Selain itu, sifat dari industri gula dan tarif gula itu sendiri menyebabkan munculnya sekelompok produsen yang ingin bersaing. Dalam mengevaluasi efektivitas dari kelompok-kelompok ini, penulis menjelaskan bahwa mereka hanya terkonsentrasi pada pencarian keuntungan yang relatif kurang penting peranannya dalam industri gula. Terbentuknya kelompok-kelompok ini merupakan dampak yang timbul dari kebijakan pemerintah terhadap kebijakan penurunan tarif itu sendiri.

Lebih lanjut studi mengenai tarif juga dikaji oleh Malian dan Saptana (2003) yang menyatakan bahwa penetapan tarif impor gula sebesar Rp 550.00 per kilogram untuk gula tebu (raw sugar) dan Rp 700.00 per kilogram untuk gula putih (refined sugar) dalam kondisi harga gula dunia yang rendah dan nilai tukar rupiah yang makin menguat, belum cukup merangsang petani untuk meningkatkan produksi dan kualitas pasokan tebu. Tanpa adanya perubahan kebijakan atau kebijakan tambahan bagi petani tebu, maka pendapatan bersih petani tebu relatif tidak meningkat. Dengan asumsi harga gula dunia sebesar US$ 225 per ton, nilai tukar rupiah antara Rp 8 500.00 sampai Rp 8 700.00, rendemen tebu 6.00 persen sampai 6.50 persen dan kepada petani diberikan management fee sebesar 20 persen, maka tarif spesifik yang dipandang layak bagi petani tebu berkisar antara Rp 950.00 per kilogram hingga Rp 1 300.00 per kilogram.

Hutabarat (2011) menganalisis dampak pemotongan tarif dalam kerangka Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-China. Metode analisis keseimbangan umum yang dilakukan menggunakan dua skenario yaitu (1) liberalisasi penuh (pemotongan tarif sebesar 100 persen) pada seluruh produk pertanian ASEAN dan China dan (2) liberalisasi penuh pada seluruh produk yang diperdagangkan ASEAN dan China. Pada skenario (1) memberikan hasil tingkat kesejahteraan masyarakat menurun sebesar Rp 128.96 miliar tetapi pada skenario (2) tingkat kesejahteraan meningkat sebesar Rp 2.878 triliun. Untuk kegiatan ekspor, jumlah ekspor hasil olahan pertanian menurun sebesar 0.74 persen sampai 24.64 persen pada skenario (1), sedangkan pada skenario (2) ekspor seluruh produk pertanian

(22)

menurun sebesar 0.6 persen sampai 28.21 persen. Untuk impor produk olahan pertanian pada skenario (1) meningkat antara 0.06 persen sampai 2.62 persen dan pada skenario (2) impor untuk seluruh produk pertanian meningkat antara 0.43 persen sampai 4.08 persen kecuali gandum menurun 0.15 persen. Sehingga skenario liberalisasi penuh bagi komoditas yang diperdagangkan di sektor pertanian belum tentu diikuti dengan perbaikan pada produksi dan ekspor komoditas andalannya.

Hadi dan Nuryanti (2005) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa kebijakan perdagangan yang diperlukan untuk pengembangan perekonomian gula nasional ke depan antara lain (1) mempertahankan kebijakan proteksi dengan pengenaan tarif Rp 550.00 per kilogram untuk gula mentah dan Rp 700.00 per kilogram untuk gula putih yang dikombinasikan dengan pengaturan, pengawasan, dan pembatasan impor, (2) berjuang bersama negara yang tergabung dalam kelompok G-33 agar negara-negara maju dan berkembang tertentu menurunkan subsidi ekspor dan subsidi domestik secara signifikan, dan (3) melakukan upaya-upaya perbaikan efisiensi industri gula nasional, baik pada tingkat budidaya tebu maupun proses pengolahan di pabrik gula.

Hasil studi simulasi kebijakan dalam suatu model ekonometrik industri gula domestik yang dilakukan oleh Susila (2005b), menunjukkan bahwa dalam situasi perdagangan yang distorsif, kebijakan yang berkaitan langsung dengan harga output lebih efektif dibandingkan kebijakan yang berkaitan dengan input, guna mendukung pengembangan industri gula Indonesia. Kebijakan harga

provenue lebih efektif bila dibandingkan dengan tariff-rate quota, tarif impor, dan

subsidi input. Terhadap kebijakan pemerintah, perkebunan rakyat lebih responsif dibandingkan dengan perkebunan milik negara dan perkebunan swasta. Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah menciptakan medan persaingan yang lebih adil, industri gula Indonesia masih memerlukan dukungan kebijakan pemerintah. Kebijakan harga provenue, tarif impor, tarif rate quota, dan subsidi input merupakan beberapa pilihan kebijakan guna pengembangan industri gula Indonesia.

(23)

Hasil penelitian Abidin (2000) tentang liberalisasi perdagangan gula menyatakan bahwa setiap perubahan dalam harga dunia atau tingkat proteksi akan mempengaruhi harga ekspor maupun impornya. Sebagian besar negara eksportir (70 persen) memberikan subsidi ekspor antara 8 persen sampai 102 persen dan 30 persen negara eksportir memberlakukan pajak ekspor antara 6 persen sampai 52 persen yang berarti bahwa negara eksportir pada umumnya merangsang ekspor melalui subsidi. Sedangkan di negara importir, sebagian negara importir (54 persen) memberikan subsidi impor antara 17 persen sampai 48 persen dan 46 persen negara importir lainnya memberlakukan pajak impor atau bea masuk sebesar 7 persen sampai 173 persen. Ini menunjukkan adanya kepentingan yang sangat beragam dari negara eksportir maupun importir yang saling memberlakukan proteksi kepentingan negaranya.

Suparno (2004) yang melakukan penelitian tentang evaluasi perubahan kesejahteraan petani tebu pasca liberalisasi perdagangan gula dari tahun 1995-2002 menjelaskan bahwa kebijakan penghapusan tata niaga gula oleh BULOG menurunkan kesejahteraan bersih (net walfare) masyarakat. Hal ini dikarenakan kenaikan harga eceran gula dapat menurunkan daya beli konsumen yang dipicu oleh intervensi IMF melalui pengurangan subsidi. Selain itu, kenaikan impor gula sebesar 20 persen yang disebabkan penurunan tarif impor nol persen menyebabkan penurunan kesejahteraan baik dari sisi konsumen maupun produsen. Walaupun terjadi kenaikan penerimaan pemerintah, namun tidak mampu mengkompensasi penurunan kesejahteraan tersebut.

Gambar

Tabel 1. Tahapan  Perjalanan  ASEAN  Free  Trade  Area  dan  ASEAN-China  Free Trade Area
Gambar 1. Pangsa Produksi Gula Kristal Putih Perusahaan di Indonesia  Tahun 2009  18.96% 18.72%15.64%9.16%8.61%6.24%6.16%5.59%4.15%1.78%1.42%1.36%0.98%0.84%0.38%(01) Sugar Grop(02) PTPN X(03) PTPN XI
Tabel 3. Rezim Kebijakan Pergulaan Nasional

Referensi

Dokumen terkait

merupakan Skripsi dengan judul “Pembuatan Biosorben Biji Pepaya (Carica papaya) Menggunakan Aktivator Asam Sulfat (H2SO4)’’, berdasarkan hasil penelitian yang Penulis lakukan

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa penolakan dan penilaian negatif dari lingkungan sosial membuat remaja indigo memandang dirinya secara negatif atau dengan kata

Symbolic Precognitive Dream ditandai dengan informasi prekognitif yang abstrak yang pada umumnya tidak disadari hingga kejadian yang sebenarnya terjadi.Hal ini sulit

Saat terbangun dari tidur, ventilasi akan normal kembali dan saturasi oksihemoglobin akan kembali normal serta terjadi hambatan terhadap SNA oleh aferen yang berasal dari

Bank Central Asia, Tbk., Jember melalui kepuasan karyawan ?; (3) Apakah terdapat pengaruh langsung yang signifikan dari komunikasi informal dalam organisasi

Reaktivitas : Tidak ada data tes khusus yang berhubungan dengan reaktivitas tersedia untuk produk ini atau bahan bakunya.... Stabilitas

The characteristic of flash flood by initially defining it as a rapid flooding of low-lying areas, rivers and streams that are caused by the intense rainfall also occur when