• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021"

Copied!
201
0
0

Teks penuh

(1)

TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)

Oleh

Putri Aliffia Darmawan 11160130000070

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Achmad Bachtiar, M. Hum.

Penelitian ini berfokus pada analisis mengenai pengembangan dan perubahan yang terjadi akibat transformasi yang dilakukan oleh sutradara N. Riantirano terhadap buku dan pementasan yang digarapnya, serta kekuatan-kekuatan pementasan tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif ditujukan untuk menguraikan unsur-unsur yang membangun dalam novel Mahabarata Jawa dan pementasan drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat transformasi perubahan melalui ciri fisik, psikologis, dan sosial tokoh. Dalam hal ciri fisik, terdapat perubahan dan pengembangan konsep dari bentuk tubuh, wajah, kostum, properti dan warna suara tokoh. Melalui ciri psikologis, terdapat kesamaan, perubahan, dan pengembangan terkait watak, kegemaran, tempramen, ambisi, dan kompleks psikologis yang dialami tokoh. Melalui ciri sosial, penggubahan yang terjadi juga memperlihatkan adanya kesamaan, pengurangan, perubahan, dan pengembangan seperti status sosial, jabatan, keturunan, dan ras yang ditetapkan pada diri tokoh. Transformasi tokoh yang terjadi di atas panggung pun bukan hanya pada akting pemain, melainkan juga direalisasikan secara visual melalui multimedia layar animasi. Bentuk transformasi ini muncul sebagai akibat dari adanya konsekuensi penyesuaian bentuk karya sastra yang berbeda dari novel ke pementasan drama. Selain itu, dengan menggunakan pendekatan yang diajukan Elam mengenai semiotika teater dan drama, dapat diketahui bahwa ketiga unsur yakni dialog, akting, dan teknologi dapat mentransformasi sesuatu yang kosong menjadi bermakna dan mentransformasi sesuatu yang biasa menjadi luar biasa di atas panggung. Penelitian ini terdapat pula implikasinya terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMA, yaitu sebagai kontribusi dalam pengenalan kebudayaan Indonesia, sebagai sarana mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai pengetahuan, sosial, moral, dan keagamaan agar dapat menghayati dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Selanjutnya, agar peserta didik mendapat informasi dan pemahaman baru mengenai perbandingan unsur intrinsik novel dan drama, transformasi tokoh dalam dua bentuk karya yang berbeda, serta unsur lainnya melalui dua media yang berbeda.

Kata Kunci: Novel Mahabarata Jawa, Pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa,

(6)

v

ABSTRACT

Putri Aliffia Darmawan NIM: 11160130000070, " The Transformation of Characters in the Novel Mahabarata Jawa by N. Riantiarno into the Drama Performance Mahabarata: Asmara Raja Dewa by N. Riantiarno and Their Implications for Learning Indonesian Language and Literature in High School" Department of Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University, Jakarta. Supervisor: Ahmad Bahtiar, M. Hum.

This study focuses on the analysis of the development and changes that occur as a result of the transformation made by director N. Riantirano on the books and performances he works on, as well as the strengths of these performances. The research method used in this research is a qualitative method. The qualitative method is intended to describe the constructive elements in the Mahabharata Jawa novel and the drama performance Mahabarata: Asmara Raja Dewa. The results showed that there were a transformation of change through the physical, psychological, and social characteristics of the characters. In terms of physical characteristics, there are changes and developments in the concept of body shapes, faces, costumes, properties and voice colors of characters. Through psychological characteristics, there are similarities, changes and developments related to the character, hobbies, temperament, ambition, and psychological complexes. Through social characteristics, the composition that occurs also shows the existence of similarity, reduction, change and development such as social status, position, descent, and race assigned to the character. The character transformation that occurs on stage is not only in the acting of the players, but is also realized visually through a multimedia animated screen. This form of transformation arises as a result of the consequence of adjusting different forms of literary works from novels to drama performances. In addition, by using the approach proposed by Elam regarding the semiotics of theater and drama, it can be seen that the three elements, namely dialogue, acting, and technology, can transform empty things into meaning and transform ordinary things into extraordinary things on stage. This research also has implications for learning Indonesian literature in high school, namely as a contribution to the introduction of Indonesian culture, as a means of developing students' sensitivity to knowledge, social, moral, and religious values so that they can live and apply them in life. Furthermore, students are able to get new information and understanding regarding the comparison of the intrinsic elements of novels and dramas, the transformation of characters in two different forms of work, and other elements through two different media.

Key Words: Javanese Mahabarata Novel, Mahabarata Performance: Asmara Raja Dewa,

(7)

vi Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur peneliti sampaikan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas izin serta kuasa-Nya peneliti akhirnya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Transformasi Tokoh dalam Novel Mahabarata Jawa Karya N. Riantiarno ke dalam Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa Karya N. Riantiarno dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA. Skripsi ini merupakan tugas akhir yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Strata 1 di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Adanya ide penulisan skripsi ini berawal dari mata kuliah “kajian drama 1” saat melaksanakan magang di Teater Koma dan “sastra bandingan” saat pembahasan dan penugasan pada materi alih wahana. Peneliti yang sebelumnya melaksanakan magang di Teater Koma mengetahui bahwa pementasan Mahabarata: Asmara Asmara Raja Dewa yang berlangsung merupakan sebuah karya alih wahana dari novel karya Nano Riantiano, menemukan ide untuk mengkajinya pada mata kuliah sastra bandingan. kemudian, peneliti berusaha mendalami kembali dengan menganalisis transformasi yang terjadi pada novel ke pementasan tersebut. Akhirnya dalam pencarian, peneliti menemukan bahasan yang tepat, yakni mengenai tokoh yang terdapat dalam novel dan pementasan. Hal tersebut dipilih karena dari dua bentuk karya sastra tersebut, tokoh di dalam novel dan pementasan menjadi sesuatu yang penting dan dominan yang mengalami transformasi. Penelitian menggunakan beberapa kajian sebagai alat untuk menganalisis perbedaan intinsik yang ada di dalam novel dan pementasan, serta bagaiamana bentuk transformasi yang dialami para tokohnya dalam dua karya tersebut.

Selanjutnya, dengan segala hormat dan kegembiraan peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada para pihak yang turut berjasa dalam penyelesaian

(8)

vii

skripsi ini. Melalui kesempatan ini, ungkapan terima kasih yang dalam ingin peneliti sampaikan secara khusus kepada:

1.

Bapak Darmawan, ayah terbaik yang selalu memotivasi peneliti, orang yang peduli, dan berusaha melakukan segala yang terbaik semasa hidupnya untuk anak gadisnya ini. Kemudian Ibu Rofiah, ibu yang selalu kuat dan berusaha membantu, mendoakan, bekerja, dan menyemangati peneliti di saat sedih maupun bahagia. Terima kasih yang tak terhingga untuk mereka selaku kedua orang tua peneliti yang selalu setia memberikan doa, bantuan, dan semangat baik berupa moril maupun materil;

2.

Dr. Sururin, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.

Dr. Makyun Subuki, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

4.

Ahmad Bahtiar, M. Hum., selaku Dosen Pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, semangat, motivasi, dan ilmu yang sangat bermanfaat kepada peneliti.

5.

Danendra Dwi Darmawan dan Radithiya Thufail Darmawan, adik-adikku yang ganteng dan tercinta. Terima kasih telah banyak memberikan semangat, canda, tawa, dan dukungan cemilan untuk menghilangkan penat.

6.

Nano Riantiarno, Ratna Riantiarno, dan Sari Madjid yang telah banyak memberikan ilmu dan kesempatan kepada peneliti untuk belajar secara langsung dengan menjadi bagian dari Teater Koma pada pementasan Mahabarata; Asmara Raja Dewa, sehingga peneliti bisa mengkaji skripsi ini dengan lebih baik.

7. Mas Zulfi Ramdoni yang telah memberikan dorongan semangat dan nasihat, serta membantu peneliti untuk berhubungan dengan Teater Koma dalam penyelesaian skripsi ini.

(9)

viii

Febriyanti, kesayangan yang selalu ada kapan pun dan di mana pun. Terima kasih atas dukungan dan semangat membara yang tiada putus-putusnya diberikan kepada peneliti untuk menghadapi segala masalah di tengah-tengah proses penulisan di masa pandemi ini.

10. Lisa Fania Aprista, sahabat yang selalu ada dan meluangkan waktu untuk membantu peneliti menghadapi kebigungan hingga terselesaikannya skripsi ini. 11. Para sahabat seperjuangan; Muvarriha Niser, Vina Nur Farihani, Desi Nurjanah, Lailia Mawaddah, dan Aida Noer Asti, teman seperjuangan selama kuliah yang sampai saat ini terus memberikan hal-hal positif dan kebahagiaan. 12. Teman-teman PBSI angkatan 2016 lainnya yang senantiasa berbagi semangat

dan membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih kepada semua pihak yang peneliti hormati dan sayangi karena telah membantu proses penyelesaian skripsi ini. Demikianlah semoga Allah membalas segala kebaikan atas bantuan yang telah diberikan kepada peneliti dengan lebih baik. Aamiin Ya Rabbal’alaamiin. Semoga laporan ini dapat berguna bagi peneliti khusunya dan bagi pembaca pada umumnya, serta dapat memberikan sumbangsih bagi kemajuan khazanah ilmu pengetahuan.

Jakarta, 7 Desember 2020

(10)

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... i

LEBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6 C. Batasan Masalah ... 7 D. Rumusan Masalah ... 7 E. Tujuan Penelitian ... 7 F. Manfaat Penelitian ... 8 G. Metodologi Penelitian ... 8

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

A. Transformasi... 11

B. Semiotik ... 14

(11)

x

G. Penelitian Relevan ... 35

BAB III BIOGRAFI PENGARANG DAN PEMIKIRANNYA ... 38

A. Biografi Nano Riantiarno ... 38

B. Penghargaan Nano Riantiarno ... 40

C. Karier Nano Riantiarno ... 41

D. Sikap Kepengarangan Nano Riantiarno ... 43

BAB IV PEMBAHASAN ... 51

A. Struktur Narasi Novel Mahabarata Jawa dan Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa ... 51

B. Transformasi Tokoh Novel Mahabarata Jawa Karya N. Riantiarno ke dalam Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa Karya N. Riantiarno ... 86

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ... 140

BAB V PENUTUP ... 148 A. Simpulan ... 148 B. Saran ... 151 DAFTAR PUSTAKA ... 152 LAMPIRAN ... 158 RIWAYAT PENULIS ... 187

(12)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Bentuk Transformasi Fisik Tokoh dari Novel Mahabarata Jawa ke dalam Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa ... 87 Tabel 2 Bentuk Transformasi Psikologis Tokoh dari Novel Mahabarata Jawa ke

dalam Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa ... 109 Tabel 3 Bentuk Transformasi Sosial Tokoh dari Novel Mahabarata Jawa ke dalam

Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa ... 125

(13)

xii

Gambar 1 Wujud ketampanan Manikmaya di atas panggung ... 169

Gambar 2 Wujud Manikmaya setelah bergelar Batara Guru ... 169

Gambar 3 Batara Guru berleher biru ... 170

Gambar 4 Batara Guru berubah menjadi Denawa bertaring ... 170

Gambar 5 Wujud ketampanan Manan di atas panggung ... 171

Gambar 6 Wujud Manan menjadi Narada ... 171

Gambar 7 Wujud ketampanan Antaga sebagai dewa ... 172

Gambar 8 Wujud Antaga sebagai Togog ... 172

Gambar 9 Wujud ketampanan Ismaya di atas panggung ... 173

Gambar 10 Wujud Ismaya menjadi Semar ... 173

Gambar 11 Wujud kecantikan Dewi Umiya di atas panggung ... 174

Gambar 12 Umiya saat hendak berubah menjadi sosok rakseksi ... 174

Gambar 13 Wujud Dewi Umiya menjadi rakseksi di atas panggung ... 175

Gambar 14 Dewi Umiya sebagai Dewi Umarakti ... 175

Gambar 15 Wujud animasi Gading Permoni berselubung api di atas panggung ... 176

Gambar 16 Wujud kecantikan Gading Permoni, putri berselubung api di atas panggung ... 176

Gambar 17 Wujud Gading Permoni mengenakan busana Kahyangan... 177

Gambar 18 Wujud Gading Permoni setelah pertukaran jiwa ... 177

(14)

xiii

Gambar 20 Kesaktian tokoh Antaga saat beradegan di atas panggung yang didukung oleh layar animasi panggung ... 178 Gambar 21 Antaga mengeluarkan jurus di balik layar animasi panggung ... 179

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kisah pewayangan bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat Indonesia. Berbagai kisah yang diangkat dalam kisah pewayangan pun tidak membosankan untuk diikuti dan dinikmati. Para penikmat seni pertunjukan wayang atau penikmat cerita wayang, pasti tidaklah asing dengan kisah-kisah yang diambil dari karya sastra kuno, mulai dari Ramayana hingga kisah terkenal Mahabarata.

Di Indonesia, khususnya Jawa, mitologi wayang merupakan tradisi dan budaya yang telah mendasari dan berperan besar dalam membentuk karakter dan eksistensi bangsa Indonesia, khususnya yang beretnis Jawa.1 Oleh sebab itu, nilai-nilai tradisional atau mitologi pewayangan turut berpengaruh terhadap penulisan karya sastra Indonesia modern. Hal ini tentunya dapat dilihat dari beberapa pengarang Indonesia yang menciptakan karya-karyanya berdasar kisah pewayangan dan juga ditransformasikan menjadi sebuah cerita bernuansa baru di dalam karyanya.

Munculnya unsur cerita wayang dan bentuk-bentuk transformasinya pada karya fiksi Indonesia secara intensif baru terlihat pada pertengahan tahun 70-an, yaitu dengan terbitnya cerpen panjang Sri Sumarah karya Umar Kayam, dan beberapa tahun sebelumnya Danarto menulis cerpen Nostalgia yang bersumber pada cerita Abimanyu gugur.2 Setelah itu, menyusul karya-karya berikutnya yang muncul dengan pengaruh wayangnya, seperti Burung-burung Manyar dan Durga Umayi (Mangunwijaya), Pengakuan Pariyem (Linus

1 Burhan Nurgiyantoro, “Wayang dalam Fiksi Indonesia”, Humaniora, Vol. 15, No. 1, Februari

2003, h. 2.

(16)

2

Suryadi), Para Priyayi (Umar Kayam), Anak Bajang Menggiring Angin (Sindhunata), Canting (Arswendo Atmowiloto), Asmaraloka (Danarto), Perang (Putu Wijaya), Wisanggeni Sang Buronan, Kitab Omong Kosong dan Drupadi (Seno Gumira Aji Darma), serta pengarang lainnya. Hal itu menunjukkan bahwa para pengarang dari Jawa dan Bali tersebut, banyak mentransformasikan cerita wayang ke dalam sastra Indonesia.

Transisi Mahabarata digubah Vyasa sekitar 500 tahun Masehi. Sezaman dengan kitab Aranyakas dan Puranas. Mahabarata Jawa Kuna, bersumber dari dalam karya Vyasa. Tapi tidak bisa dipungkiri, tokoh-tokoh baru bermunculan. Selain itu, terjadi juga adanya berbagai pengembangan dan perubahan cerita. Bahkan kisah serta jalan pikiran lokal pun masuk, sehingga sosok Mahabarata, akhirnya menjadi “sangat Jawa”. Di zaman Majapahit, terjadi pula upaya penyaduran seperti itu oleh para empu.3

R. Ng Ranggawarsita, menggubah banyak lakon wayang secara mendalam dan indah. Upaya itu pun terus menerus berlanjut. Para penggubah tersohor yang karyanya sering dikutip adalah Pakoe Boewana IV-VII dan Jasadipoera I. Selanjutnya, banyak penggubah lain sesudah mereka, baik yang tercatat namanya maupun yang tidak tercatat. Juga, ada banyak dalang penggubah lakon versi, carangan atau sempalan.4 Mereka ini yang kemudian malah justru memperkaya jagat pewayangan. Mereka mampu melahirkan sastra yang indah, penuh metafora, unik, dan takkan habis digali atau ditafsirkan, malah senantiasa aktual dan banyak digemari.

Pengangkatan cerita wayang tidak selalu sama bentuk dan intensinya. Ada karya yang mengambil secara samar, tetapi menyangkut inti dan hakikat, ada pula karya yang secara nyata memfungsikannya dalam jalinan cerita. Hal itu menunjukkan betapa lekatnya budaya pewayangan pada masyarakat Jawa

3 N. Riantiarno, Mahabarata Jawa, (Jakarta: PT Grasindo, 2016), h. viii. 4Ibid., h. viii.

(17)

sehingga begitu berpengaruh dan menjadi sumber rujukan dalam penulisan sastra Indonesia.5.

Karya sastra seperti novel maupun drama banyak yang mengangkat kisah pewayangan, khususnya Mahabarata, sebagai lakon atau isi di dalam cerita. Tak dapat dipungkiri bahwa cerita-cerita yang diangkat mempunyai kekhasan tokoh dan penokohan di dalamnya. Tokoh yang diangkat dari dunia pewayangan ke dalam sebuah karya sastra tentu memiliki transformasi dari beberapa segi. Transformasi unsur pewayangan ke dalam aspek penokohan karya fiksi itu sendiri terlihat dalam dua hal, yaitu penamaan dan perwatakan (karakter) tokoh.6 Dalam novel, tokoh dapat dideskripsikan dengan sangat detail menggunakan pengungkapan fisik maupun wataknya melalui kata-kata. Berbeda dengan pementasan drama yang kebanyakan ditampilkan melalui visual tubuh dan visual tambahan seperti multimedia. Pengungkapan melalui dialog naskahnya pun terbatas karena ada durasi waktu yang tidak mungkin bertele-tele hanya dengan mengungkapkan siapa tokoh itu. Dalam sebuah transformasi karya sastra, ada hal-hal yang memang pasti akan berubah. Apalagi jika transformasi itu terjadi melalui novel ke dalam sebuah pementasan drama. Banyak hal-hal yang pasti berubah dan ciri khas pada penokohannya pun ditampilkan.

Salah satu pengarang sekaligus dramawan terkenal yang banyak mengangkat kisah pewayangan sebagai dasar pijakan cerita yang dibuatnya adalah Nano Riantiarno. Nano Riantiarno membuat cerita Mahabarata dengan mengambil dari berbagai sumber, baik dari sumber awal, India, maupun sumber kedua, Jawa. Sumber tersebut di antaranya adalah karya agung Vyasa, KGPA Mangkoe Negara VII, dan R. Ng. Ranggawarsita III. Bahkan, kisah serta jalan

5 Burhan Nurgiyantoro, Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia,

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), h. 3.

(18)

4

pikiran lokal pun masuk sehingga isi dan sosok Mahabarata menjadi sangat Jawa.7

Lakon Mahabarata dipentaskan oleh Teater Koma selama sepuluh hari pada 16-25 November 2018, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta. Lakon ini merupakan hasil dari alih wahana dari novelnya yang terbit pada tahun 2016 yang berjudul Mahabarata Jawa. Lakon ini bersumber dari buku tersebut, yaitu, Episode Satu: Kitab Satu: TIGA DUNIA. Episode Satu memuat Empat kisah, antara lain: Dari Yang Kosong, Manikmaya, Semar dan Togog, dan Garis Dewa. Fokus penceritaan yang ditampilkan di dalam lakon adalah tentang tiga dewa, khususnya Batara Guru dari lahir, kemudian menjadi Raja Dewa, hingga menikah dan memiliki anak, yang dibalut dengan berbagai permasalahan dan perselisihan. Diangkat dari salah satu kisah yang ada di dalam novel Mahabarata Jawa, lakon tersebut memberi suguhan yang apik dan menawan. Transformasi yang dilakukan oleh sutradara terhadap novelnya itu, membuat peneliti tertarik untuk mengkaji dan melihat bagaimana perubahan yang terjadi, akhirnya menjadi sebuah karya lain yang cemerlang, apik, dan menghibur. Dalam hal ini, transformasi tokoh novel ke dalam pementasannya menjadi bahan kajian yang peneliti pilih.

Nano menjelaskan di dalam booklet pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa bahwa karena kisah ini jarang dipentaskan, maka ia pun mementaskannya bersama Teater Koma. Paling tidak, terutama generasi muda harus tahu, bahwa inilah lakon yang pernah diterjemahkan (dari India) pada Zaman Mpu Sendok (928-947). Terjemahan itu, pada Zaman Majapahit, disadur lagi dan berkembang sedemikian rupa yang berbeda sama sekali. Contohnya pada tokoh Togog dan Semar. Sebenarnya, kedua tokoh ini tidak

7 Muhammad Agung Wibisono dan Widowati, Unsur Pewayangan Cerita Mahabarata Versi Nano Riantiarno dalam Novel Wisanggeni Sang Buronan Karya Seno Gumira Ajidarma: Kajian Intertekstual, Caraka, Vol 4 No. 2, Edisi Juni 2018, h. 54.

(19)

ada di dalam kisah versi India. Kedua tokoh itu milik Nusantara-Indonesia hasil dari kreativitas penyaduran sebuah karya sastra.8

Penelitian ini ingin menganalisis apa saja pengembangan dan perubahan yang terjadi akibat transformasi yang dilakukan oleh sutradara N. Riantirano dari buku terhadap pementasannya, khususnya pada tokoh di dalam cerita, serta kekuatan-kekuatan pementasan tersebut sehingga berhasil memaku penonton untuk betah duduk dalam waktu kurang lebih empat jam.

Bila dilihat dari perspektif pendidikan, permasalahan kurangnya minat siswa untuk memahami seni pertunjukan atau apresiasi drama, juga menjadi tantangan besar bagi guru. Selain itu, masih jarang sekali guru yang memberikan ketertarikannya terhadap pementasan drama sebagai salah satu media pendukung dalam proses pembelajaran drama di sekolah. Padahal, pementasan drama bisa menjadi salah satu alternatif bagi guru untuk mempermudah siswanya agar bisa mengetahui dan memahami drama itu sendiri.

Media teater dalam menunjang pembelajaran apresiasi drama sebenarnya sangat membantu guru. Teater telah menjadi sebuah ilmu yang dipelajari, diajarkan, dianalisa, sementara teater itu sendiri terus berkembang, bertumbuh, serta berubah dengan segala bentuk pengekspresian dan konsep-konsepnya sehingga ilmu teater juga terus mengucur.9

Teater sendiri merupakan potensi yang sangat penting dalam kehidupan, khususnya untuk membentuk dan memahami karakter pribadi dan persona lainnya, serta masyarakat sekitar. Teater dapat memberikan pengajaran kepada siswa terkait kepekaan yang lebih kuat dan cinta yang lebih murni untuk memanusiakan manusia lainnya. Selanjutnya, dalam peningkatan keterampilan siswa terkait berakting, teater bisa menjadi solusi untuk memudahkan siswa

8 N. Riantiarno, Booklet Mahabarta: Asmara Raja Dewa, 2018.

9 N. Riantiarno, Menyentuh Teater Tanya Jawab Seputar Teater Kita, (Jakarta:Program

(20)

6

melihat secara langsung bagaimana para aktor itu berperan dengan apik di atas panggung.

Tujuan penting dalam pembelajaran drama adalah siswa dapat memahami bagaimana suatu tokoh harus diperankan dengan sebaik-baiknya. Namun, untuk mempelajari pementasan tidaklah mudah, apalagi bagi siswa yang belum mengenal sama sekali sebuah pementasan drama. Oleh karena itu, guru harus bisa memperkenalkan kepada siswa-siswanya untuk mengenal dan memahami seluk beluk sebuah pementasan drama. Hal ini salah satunya adalah dengan menggunakan teater sebagai media pembelajaran untuk mengenal pementasan drama.

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk membuat penelitian yang berjudul Transformasi Tokoh dalam Novel Mahabarata Jawa Karya N. Riantiarno ke dalam Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa Karya N. Riantiarno dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA. B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka dapat teridentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

1. Belum adanya penelitian yang membahas tentang pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa karya N. Riantiarno.

2. Belum adanya penelitian yang menganalisis transformasi buku Mahabarata Jawa Karya N. Riantiarno ke dalam pementasan drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa karya N. Riantiarno.

3. Kurangnya penelitian terkait transformasi dari sebuah karya sastra ke dalam pementasan drama.

4. Kurangnya pembahasan sastra bandingan terkait transformasi karya sastra ke dalam pementasan drama yang diimplikasikan terhadap pembelajaran sastra di sekolah.

(21)

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka perlu adanya batasan masalah di dalam penelitian ini, agar penelitian yang dilakukan tidak keluar dari konteks permasalahan yang akan dibahas. Oleh karena itu, batasan masalah dalam penenelitian adalah transformasi tokoh dalam novel Mahabarata Jawa Karya N. Riantiarno ke dalam pementasan drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa karya N. Riantiarno dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Penelitian ini akan menggunakan teori alih wahana dan pendekatan yang diajukan Elam mengenai semiotika teater dan drama.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka didapatkan rumusan masalah yang diteliti seperti berikut:

1. Bagaimana transformasi tokoh dalam novel ke panggung yang terjadi dalam novel Mahabarata Jawa ke dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa karya N. Riantiarno?

2. Bagaimana implikasi transformasi tokoh dalam novel Mahabarata Jawa ke dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa karya N. Riantiarno terhadap pembelajaran sastra di sekolah?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang akan diteliti, maka tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk transformasi tokoh dalam novel ke panggung yang terjadi dalam buku Mahabarata Jawa ke dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa.

(22)

8

2. Mendeskripsikan implikasi dari transformasi tokoh dalam novel Mahabarata Jawa ke dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa karya N. Riantiarno terhadap pembelajaran sastra di sekolah.

F. Manfaat Penelitian

Pelitian tentang “Transformasi Tokoh dalam Novel Mahabarata Jawa Karya N. Riantiarno ke dalam Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa Karya N. Riantiarno dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA” diharapkan mampu memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu sastra Indonesia, khususnya terkait sastra bandingan transformasi novel ke dalam panggung pementasan drama. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pembelajaran drama khususnya di SMA, agar siswa bisa mengetahui bagaimana berakting di atas panggung. Selain itu, untuk memberikan pengetahuan sederhana kepada siswa terkait proses transformasi sastra ke dalam seni pertunjukan. Hal ini dapat bermanfaat untuk empat hal penting, yaitu: (1) mendorong pendidikan kreativitas dan rasa cinta siswa terhadap seni pertunjukan; (2) memudahkan pemahaman terhadap hakikat seni pertunjukan kepada siswa; dan (3) untuk menanamkan pendidikan karakter kepada siswa. (4) memberikan wawasan kepada siswa terkait kekuatan teknologi di atas panggung.

G. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode sastra bandingan khususnya alih wahana. Objek penelitian yang dipakai adalah buku Mahabarata Jawa yang ditulis oleh N. Riantiarno dan diterbitkan oleh Gramedia Widiasarana pada tahun 2016, dengan ketebalan halaman sebanyak 528 halaman. Objek penelitian selanjutnya yaitu pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa yang digelar selama sepuluh hari, mulai tanggal 16 November 2018 sampai 25 November 2018, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta.

(23)

Pementasan ini berdurasi kurang lebih empat jam dengan pembagian dua babak, yakni babak pertama adalah Dari Yang Kosong dan babak kedua Manikmaya.

Sapardi Djoko Damono menjelaskan, alih wahana merupakan suatu perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain.10 Alih wahana dapat mencakup kegiatan penerjemahan, penyaduran, dan pemindahan dari satu “kendaraan” ke jenis “kendaraan” lain. Pada penelitian kali ini, alih wahana yang diteliti adalah alih wahana novel menjadi sebuah drama atau dramatisasi. Hampir sama dengan alihwahana pada film (ekranisasi), hanya saja dalam drama, penampilan visual tokoh dan latar, disetting sedemikian rupa dalam dialog panggung secara tatap muka langsung dengan para penonton.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan struktural yang terdapat dalam novel Mahabarata Jawa dan pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa. Kemudian dilanjutkan dengan pendekatan semiotik dengan menganalisis perubahan wujud dan lambang-lambang untuk mengetahui makna yang ada di dalamnya. Melalui pendekatan ini dapat dilihat bagaimana makna dicetuskan melalui elemen-elemen yang terlibat dalam penulisan teks drama, dan sekaligus juga bagaimana makna diciptakan dalam konteks pertunjukannya. Pendekatan semiotika memungkinkan seorang peneliti lebih menyadari akan proses dalam penciptaan drama dan teater.11 Dalam kajian ini, konteksnya mengacu pada proses transformasi dari bentuk tulisan “novel” ke dalam pementasan yang dilihat secara “audiovisual” yang memunculkan berbagai makna menggunakan lambang-lambang selain bahasa, yakni panggung dan elemen-elemen pendukung lainnya.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Menurut Moleong, dalam buku Ismail Nurdin dan Sri Hartati, penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami

10 Sapardi Djoko Damono, Sastra Bandingan, (Ciputat: Editum, 2015), h. 145.

11 Nur Sahid, Semiotika untuk Teater, Tari, Wayang Purwa, dan Film, (Yogyakarta: Gigih

(24)

10

fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.12 Metode kualitatif ditujukan untuk menguraikan unsur-unsur yang membangun dalam novel Mahabarata Jawa dan pementasan drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa . Sesuai dengan tujuan peneliti, yakni mengungkapkan persamaan, perbedaan, dan perubahan-perubahan dalam tranformasi karya sastra tersebut. Peneliti memberikan batas agar penelitian itu sendiri terfokus pada alih wahana.

Langkah kerja yang akan peneliti lakukan mencakup dua cara, yakni; pengumpulan data dan analisis data. Sumber data utama yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yakni; (1) novel Mahabarata Jawa karya N. Riantiarno, episode Kitab Satu Tiga Dunia yaitu bagian satu Dari Yang Kosong mulai halaman 251 dan bagian dua Manikmaya mulai halaman 314 hingga 384. (2) Pertunjukan pementasan drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa yang telah didokumentasikan dalam bentuk video. Penelitian ini juga menggunakan sumber data pendukung, yakni naskah lakon pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa yang ditulis oleh N. Riantarno. Pertunjukan pementasan drama atau teater Mahabarata: Asmara Raja Dewa, digelar selama sepuluh hari, mulai tanggal 16 November 2018 sampai 25 November 2018, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta. Pertunjukan ini digunakan peneliti untuk mengetahui bentuk adegan dan penceritaan setelah diubah ke dalam bentuk lakon visual.

12 Ismail Nurdin dan Sri Hartati, Metodologi Penelitian Sosial, (Surabaya: Media Sahabat

(25)

11 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Transformasi

Menurut KBBI edisi V, transformasi adalah perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya). Transformasi karya ke karya lainnya identik dengan istilah adaptasi. Adaptasi merupakan wujud transformasi yakni perpindahan ke medium yang berbeda (remediasi).1

Sebagai sebuah produk, karya adaptasi merupakan sebuah perluasan dan pemindahan kode tertentu (transcoding) sehingga proses penciptaan dan penerimaan dari aspek-aspek yang lain perlu diperimbangkan. Sebagai sebuah proses, karya adaptasi merupakan reinterpretasi kreatif dan intertekstualitas.2

Pudentia dalam Pana Pramulia, menjelaskan bahwa transformasi berkaitan dengan perubahan karya sastra yang menyangkut struktur cerita, tokoh, latar, tema, dan lain-lain.3 Transformasi bisa dikenal juga dengan istilah alih wahana. Pembicaraan mengenai alih wahana tidak akan terlepas dari konsep peralihan. Dalam arti tertentu alih wahana akan memberikan keleluasaan pada kita untuk menemukan dan menguraikan masalah yang sebenarnya tidak disadari pentingnya. Seperti halnya kajian-kajian sastra bandingan dan terjemahan, kajian alih wahana menuntut suatu kesediaan untuk berpikir secara multidimensional karena kajian ini beroperasi paling tidak dalam dua ranah yang berbeda, dan bahkan bisa lebih. 4

1 Alfian Rokhmansyah, Studi dan Pengkajian Sastra: Perkenalan Awal Terhadap Ilmu Sastra,

(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h. 177.

2 Ibid., h. 179.

3 Pana Pramulia, “Transformasi Cerita Wayang Kulit ke dalam Bentuk Cerita Mini Sebagai

Media Pengembangan Karakter Anak”, Seminar Nasional Sastra Anak, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, Sabtu, 28 Mei 2016, pukul 13.00—13.10, h. 244.

(26)

12

Menurut Damono, beberapa istilah yang bisa dikenal dalam kaitannya dengan kegiatan atau hasil transformasi antara lain ekranisasi, musikalisasi, dramatisasi, dan novelisasi. Ekranisasi berasal dari bahasa Prancis, I’ѐcran, yang berarti layar; jadi istilah itu mengacu ke alih wahana dari suatu benda seni (biasanya yang termasuk sastra) ke film. Musikalisasi umumnya mencakup pengalihan puisi menjadi musik; dramatisasi adalah pengubahan dari karya seni ke drama; novelisasi adalah kegiatan mengubah film atau karya sastra lain menjadi novel.5

Transformasi memiliki arti perubahan. Nurgiyantoro menyatakan, makna kunci “transformasi” adalah “perubahan,” yaitu perubahan terhadap suatu hal atau keadaan. Ia menambahkan jika suatu “hal atau keadaan” itu adalah budaya, budaya itulah yang mengalami perubahan. Menurutnya, perubahan itu terjadi jika budaya tersebut—budaya itu sendiri terdiri dari banyak elemen—muncul dalam kondisi dan atau lingkungan yang berbeda, misalnya karena sengaja atau dipindahkan ke dalam kondisi atau lingkungan yang berbeda tersebut.6 Perubahan budaya itu sendiri dapat mencakup satu atau beberapa aspek atau bahkan sebagian besar aspek budaya tersebut.

Trasformasi penting berlangsung ketika naskah diwujudkan ke dalam pementasan. Transformasi pada tahap ini berkenaan dengan media ungkap, yaitu dari bahasa tulis menjadi peragaan perilaku manusia dalam ruang, waktu, dan konteks material yang melingkupinya. Ide-ide yang terungkap dalam bahasa tulis dalam pertunjukan ditransfer ke dalam tubuh manusia pemeran tokoh-tokoh yang ditemukan dalam teks.7 Untuk itu, maka segala yang ada di

5 Ibid., h. 12.

6 Burhan Nurgiyantoro, Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia, (Yogyakarta:

Gadjahmada University Press, 1998), h. 15.

(27)

panggung menjadi sebuah bagian dari upaya transformasi itu, yang melingkupi tubuh pemain, peralatan, musik, dan ujaran.

Menurut Nurgiyantoro pada kasus transformasi unsur pewayangan dalam fiksi Indonesia, transformasi dapat diartikan sebagai “pemunculan, pengambilan, atau pemindahan unsur-unsur pewayangan ke dalam unsur fiksi dengan perubahan. Jadi, untuk dapat disebut mengalami transformasi, unsur-unsur pewayangan itu harus dimunculkan ke dalam karya fiksi, baik secara eksplisit maupun implisit dengan pemunculan yang berbeda jika dibandingkan dengan unsur aslinya sebagaimana yang terdapat di dalam pakem cerita wayang.8 Damono menjelaskan, dalam kebudayaan Jawa, seni pertunjukan wayang kemudian mengalami transformasi, ditulis seperti halnya drama modern.9 Jadi dalam hal ini peneliti menyimpulkan bahwa transformasi atau bisa disebut juga alih wahana, dapat diartikan sebagai suatu perubahan bentuk, sifat, maupun fungsi terhadap suatu hal atau keadaan (sebuah karya) baik menyangkut struktur cerita, tokoh, latar, tema, dan lain-lain.

Pada umumnya perubahan dilakukan dari novel ke film. Relatif jarang perubahan dilakukan dari novel ke pementasan drama atau sebaliknya. Apalagi perubahan tersebut dilakukan oleh penulis yang sama. Hal yang menarik terjadi pada pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa. Karya yang ditulis oleh N. Riantiarno dalam buku Mahabarata Jawa kemudian diubah dalam bentuk naskah drama yang dipentaskan dengan begitu banyak penonton di setiap hari pementasannya.10 Untuk itu, melalu teori-teori tersebut, peneliti akan memfokuskan penelitian pada pertunjukan Mahabarata: Asmara Raja Dewa

8 Nurgiyantoro, Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia, Op. cit., h. 18. 9 Damono, Alih Wahana, Op. cit., h. 155.

10 Dalam sepuluh hari pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa, terdapat kurang lebih 800

penonton yang memenuhi gedung Graha Bhakti Budaya di setiap harinya. Dari ketersediaan jumlah tiket seluruhnya yakni 7.977, telah terjual sebanyak 7.512 tiket untuk pementasan yang digelar selama sepuluh hari, mulai tanggal 16 November 2018 sampai 25 November 2018.

(28)

14

yang disutradarai oleh Nano N. Riantiarno, sebagai hasil dari alih wahana buku N. Riantiarno yang berjudul Mahabarata Jawa.

B. Semiotik

Teori semiotik adalah sebuah teori mengenai lambang yang dikomunikasikan. Teori ini lazim dipergunakan dalam berbagai disiplin ilmu termasuk kajian seni pertunjukan, yang difungsikan dalam usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni.11 Semiotik atau semiologi sebagai ilmu tanda menjadi makin populer dan makin luas bidangnya karena melingkupi tidak hanya ilmu bahasa dan sastra tetapi juga aspek atau pendekatan tertentu dalam ilmu seni (estetika), antropologi, budaya, filsafat, dan lainnya.12 Dalam kajian ini, teori semiotik digunakan untuk mengkaji aspek-aspek verbal terutama dialog atau teks nyanyian, dan aspek-aspek nonverbal seperti mimik wajah, gerakan, audiovisual panggung, warna, tata busana, dan lain-lain.

Banyak teori yang disadur, bahkan diadopsi dari linguistik tentang teori umum mengenai tanda. Proses penandaan sama halnya seperti ilmu komunikasi. Ilmu tanda diperkenalkan oleh dua orang pakar terkenal dan pemikir modern abad ini, yaitu Ferdinand de Saussure—seorang linguis dari Swiss—dan Charles Sander Peirce – seorang filosof dari Amerika. Saussure dikenal sebagai bapak ilmu bahasa modern yang mempergunakann istilah semiology, sedangkan Peirce memakai istilah semiotik. Jika semiotik model Saussure bersifat semiotik struktural, maka lain halnya dengan model Peirce yang lebih bersifat semiotik analitis. Adanya ketidaksamaan antara keduanya

11 Abdul Latiff Abu Bakar, Aplikasi Teori Semiotika Dalam Seni Pertunjukan, Etnomusikologi,

Vol 2 No. 1, Mei 2006, h. 28.

(29)

lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka berasal dari dua disiplin ilmu yang berbeda. Saussure mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum. Kekhasan teorinya ada pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sebuah sistem tanda. Lain hal dengan Peirce yang memusatkan perhatiannya pada berfungsinya tanda pada umumnya dengan menempatkan tanda-tanda linguistik pada tempat yang penting, tetapi bukan hal yang utama.

Menurut Alex Preminger, dkk., ilmu tanda-tanda menganggap fenomena masyarakat dan kebudayaan sebagai tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.13 Menurut Hoed dalam Nurgiyantoro, semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Jadi, yang dapat menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan melingkupi berbagai hal lain dalam kehidupan ini. Walau begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa memang bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap dan sempurna. Tanda-tanda itu dapat berupa gerakan anggota badan, gerakan mata, mulut, warna, bendera, goresan atau bentuk tulisan, pakaian, asesoris, maupun karya seni: sastra, film, patung, lukis, musik, dan hal lainnya yang berada di sekitar kehidupan kita. Dengan demikian, teori semiotik bersifat multidisiplin sebagaimana diharapkan oleh Peirce agar teorinya bersifat umum dan dapat diterapkan pada segala macam tanda.14 Tanda itu sendiri sebenarnya membentang di sekitar kehidupan kita seperti pada gerak isyarat, lampu lalu lintas, sesaji dalam upacara ritual,

13 Jabrohim, Teori Penelitian Sastra Kumpulan Materi Penataran Penelitian Sastra Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Insitut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Muhammadiyah Yogyakarta Tahap I Angkatan I, II, dan III – Lampiran 1 Semiotik (Semiologi), (Yogyakarta: Masyarakat Poetika

Indonesia), h. 114.

14 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

(30)

16

upacara pernikahan dll. Dalam hal ini, struktur yang membangun sebuah karya teater, sastra, film, tari, musik, dll, itupun dapat disebut sebagai tanda.15

Semiotik juga dipergunakan di bidang teater. Teater merupakan wahana komunikasi yang kompleks karena ia melibatkan hubungan antara pelakon/pemain dengan khalayak. Proses menghasilkan makna dalam teater tertakluk (tunduk) kepada sistem tertentu yang melibatkan gabungan lambang lisan dan lambang bukan lisan. Sistem itu penting untuk membolehkan khalayak menginterpretasi fenomena yang dipaparkan.16

Dalam bukunya The Semiotics of Theatre and Drama, Elam membicarakan bahwa ada dua jenis teks, yakni teks pertunjukan (performance text) dan teks drama (dramatic text). “These two potential focuses of semiotic attention will be indicated as the theatrical or performance text and the written or dramatic text respectively”.17 Elam menyebutkan bahwa dua-duanya, yakni drama dan teater sebagai teks. Ia menegaskan bahwa hubungan-hubungan antara teks drama dan teks pertunjukan bukan sekadar masalah mana yang lebih menentukan, tetapi lebih merupakan tarik-menarik yang rumit dan memerlukan pendekatan intertekstualitas. Menurutnya, tiap-tiap teks mengandung jejak-jejak teks lainnya: teks pertunjukan mengasimilasikan aspek-aspek teks dramatik yang ditulis berdasarkan model pertunjukan atau kemungkinan model pertunjukan yang telah menjadi dasar pijakan penulisannya. Bukan hanya teks naskah saja yang menjadi aspek penting di dalam pertunjukan, tapi semua yang berada di atas panggung ketika di dalam sebuah pertunjukan. Semua yang berada di atas panggung pasti memiliki makna sekaligus sebagai media komunikasi bagi penonton. Untuk itu, adanya sebuah dramatisasi atas karya

15 Nur Sahid, Semiotika untuk Teater, Tari, Wayang Purwa, dan Film, (Yogyakarta: Gigih

Pustaka Mandiri, 2016), h. 15.

16 Abdul Latif Abu Bakar, Op. cit., h. 30.

(31)

sastra, ketika masuk ke dalam sebuah pementasan atau pertunjukan, makna-makna yang diungkapkan oleh sutradara bukan hanya melalui sebuah dialog, melainkan melalui semua unsur yang ada di dalam sebuah pertunjukan.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa teori semiotik adalah ilmu mengenai lambang atau tanda-tanda untuk menerangkan bahwa setiap aspek komunikasi memiliki arti atau makna tertentu. Teori ini meletakkan lambang atau tanda sebagai bagian dari sebuah komunikasi. Hal-hal yang kemudian dapat menjadi tanda pun bukan hanya bahasa saja, melainkan melingkupi berbagai hal lain dalam kehidupan ini, seperti mimik wajah, gerak isyarat tubuh, warna, dan sebagainya.

C. Novel

Di Indonesia, sebuah novel modern diperkirakan muncul pada akhir dekade kedua abad ke-20, suatu masa yang dalam sejarah politik disebut sebagai masa Kebangkitan Nasional. Saat itu terbit karya-karya di antaranya adalah karya Merari Siregar (antara lain Azab dan Sengsara, 1920). Novel tersebut merekam suara atau semangat dunia pergerakan. Novel yang diposisikan sebagai tonggak munculnya novel Indonesia modern adalah Belenggu karya Armijn Pane yang terbit 1940.

Novel pada awalnya berasal dari bahasa Italia, novella, yang berarti ‘sebuah kisah, sepotong berita.’ Novel merupakan sebuah prosa naratif fiksional yang panjang dan kompleks yang menggambarkan secara imajinatif pengalaman manusia melalui rangkaian peristiwa yang saling berhubungan dengan melibatkan sejumlah orang (karakter) di dalam setting (latar) yang spesifik.18

18 Warsiman, Membumikan Pembelajaran Sastra yang Humanis, (Malang: UB Press, 2016), h.

(32)

18

Menurut Nurgiyantoro, novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya, tentu saja, juga bersifat imajinatif.19 Riswandi dan Kusmini menjelaskan bahwa novel dapat diartikan sebagai cerita yang berbentuk prosa yang menyajikan permasalahan-permasalahan secara kompleks, dengan penggarapan unsur-unsurnya secara luas dan rinci.20

Novel menyampaikan cerita, ide, amanat atau maksudnya dengan pertolongan kata-kata. Oleh sebab itu, kata-kata menempati kedudukan penting dalam novel. Seorang novelis hanya bisa menyampaikan cerita atau amanatnya dengan kata-kata. Seorang novelis membangun alur, penokohan, latar, dan suasana dengan bantuan kata-kata.21

Fungsi novel pada dasarnya untuk menghibur para pembaca. Novel pada hakikatnya adalah cerita yang terkandung juga di dalamnya tujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca. Melalui novel, pengarang dapat menceritakan tentang aspek kehidupan manusia secara mendalam termasuk berbagai perilaku manusia.22

Sebagai sebuah cerita naratif, novel memiliki unsur-unsur pembentuknya. Unsur-unsur pembangun sebuah novel yang kemudian secara bersama membantuk sebuah totalitas itu di samping unsur formal bahasa, masih banyak lagi macamnya. Namun, secara garis besar berbagai macam unsur tersebut secara tradisional dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, walau pembagian ini tidak benar-benar terpilah. Pembagian unsur yang dimaksud

19 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

2012), h. 25.

20 Bode Riswandi dan Titin Kusmini, Kamar Prosa, (Tasikmalaya: Langgam Pustaka, 2018),

h. 45.

21 Pamusuk Eneste, Novel dan Film, (Jakarta: Nusa Indah, 1991), h. 16.

(33)

adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik.23 Namun dalam penelitian ini hanya unsur intrinsik novel Mahabarata Jawa yang akan dikaji oleh peneliti. Unsur-unsur yang dikaji yakni hanya tema, tokoh dan penokohan, latar, dan alur.

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra.24 Unsur intrinsik ini secara langsung akan turut serta membangun cerita. Unsur-unsur pembentuk tersebut pastinya dijumpai ketika seseorang membaca novel. Unsur-unsur pembentuk yang dimaksud adalah tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa. Namun, dalam penelitian ini, analisis unsur intrinsik dilakukan hanya pada tokoh dan penokohan, latar, alur, dan tema.

Tokoh adalah pelaku cerita. Tokoh ini tidak selalu berwujud manusia, tergantung pada siapa yang diceritakannya itu dalam cerita. Watak/karakter adalah sifat dan sikap para tokoh tersebut. Tokoh sekurang-kurangnya diberi empat pengertian, yaitu (1) rupa (wujud dan keadaaan), macam atau jenis, (2) bentuk badan, perawakan, (3) orang yang terkemuka, kenamaan, dan (4) pemegang peran dalam roman atau drama.25Adapun penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh-tokoh dan watak-wataknya itu dalam cerita.26 Baik unsur tokoh di dalam novel maupun drama, penggambaran watak tokoh dapat dipetakan melalui aspek perwatakan berdasarkan keadaan fisik, psikis, dan sosial. Ciri-ciri fisik dapat dilihat dari bentuk tubuh, wajah, dan warna suara. Ciri-ciri psikis berkaitan dengan watak, kegemaran, standar moral, tempramen, ambisi, cita-cita, dan kompleks psikologis yang dialami tokoh. Ciri

23 Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Op. cit., h. 23. 24 Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Op. cit., h. 23.

25 Samsuddin, Buku Ajar Pembelajaran Kritik Sasta, (Yogyakarta: Deepublish. 2019), h.

24-25.

(34)

20

sosiologis berkaitan dengan keadaan sosiologis tokoh seperti status sosial dan jabatan, kelas sosial, ras, agama, dan ideologi.27

Selain tokoh, unsur intrinsik lainnya adalah latar. Latar dalam novel atau roman merupakan tempat dan waktu terjadinya peristiwa. Latar mempunyai hubungan yang erat dengan perwatakan tokohnya. Hal ini berarti pemilihan latar difungsikan untuk mengungkapkan watak atau sifat tokoh. Latar alam kadang-kadang difungsikan untuk memproyeksikan keadaan jiwa atau suasana kejiwaan tokoh-tokoh yang sedang dimabuk asmara, oleh pengarang ditempatkan pada latar alam yang membangkitkan suasana romantis, pantai indah, danau yang tenang, pepohonan yang rimbun dan sepi, jauh dari kebisingan.28 Antara latar dengan penokohan mempunyai hubungan yang erat dan bersifat timbal balik. Sifat-sifat latar, dalam banyak hal, akan mempengaruhi sifat-sifat tokoh.29

Latar dalam cerita dapat diklasifikasikan menjadi latar tempat, latar waktu, dan latar suasana. Latar tempat, yaitu latar yang merupakan lokasi tempat terjadinya peristiwa cerita, baik itu nama kota, jalan, gedung, rumah, dll.30 Terkadang, penyebutan latar tempat yang tidak ditunjukkan secara jelas namanya, mungkin disebabkan perannya dalam karya yang bersangkutan kurang dominan.31

Latar waktu, yaitu latar yang berhubungan dengan saat terjadinya peistiwa cerita, apakah berupa penanggalan penyebutan peristiwa sejarah, penggambaran situasi malam, pagi, siang, sore, dll.32 Latar waktu berhubungan

27 Suroso, Drama Teori dan Praktik Pementasan, (Yogyakarta: Elmetera Publisher, 2015), h.

13.

28 Riswandi dan Kusmini, Op. cit., h. 75.

29 Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Op. cit., h. 225. 30 Riswandi dan Kusmini, Op. cit., h. 75.

31 Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Op. cit., h. 229. 32 Riswandi dan Kusmini, Op. cit., h. 75-76.

(35)

dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.33 Latar sosial, yaitu keadaan yang berupa adat istiadat, budaya, nilai-nilai/ norma, dan sejenisnya yang ada di tempat peristiwa cerita.34 Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat serta berhubungan dengan status sosial tokoh yang diceritakan dalam karya fiksi.

Unsur intrinsik selanjutnya yaitu alur. Alur atau istilah lainnya plot adalah pengembangan jalan cerita dalam cerita rekaan atau fiksi. Alur merupakan kronologi cerita dari awal kisah hingga kisah itu selesai.35 Dalam novel Mahabarata Jawa, alur yang digunakan adalah alur episode. Alur episode termasuk dalam kategori multi plot. Alur episode adalah plot cerita yang terdiri dari bagian per bagian secara mandiri, dimana setiap episode memiliki alur cerita sendiri. Setiap episode dalam lakon tersebut tidak ada hubungan sebab akibat dalam rangkaian cerita, tema, maupun tokoh. Namun, pada akhir cerita, alur yang terdiri dari episode-episode ini akan bertemu.36

Unsur intrinsik terakhir yaitu tema. Tema ialah persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya sastra.37 Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema dalam banyak hal bersifat “mengikat” kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa-konflik-situasi tertentu, termasuk berbagai unsur intrinsik yang lain, karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan.38

33 Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi Op. cit., h. 230. 34 Riswandi dan Kusmini, Op. cit., h. 76.

35 Rahma Barokah T. J., Berfikir Cerdas dengan Bahasa Indonesia, (Bogor: Guepedia, 2021),

h. 238.

36 Dina Gasong, Apresiasi Sastra Indonesia, (Yogyakarta: Deepublish, 2019), h. 151.

37 Marwoto, Tema dan Amanat dalam Cerita Pendek Indonesia, (Semarang: Alprin, 2020), h.

1.

(36)

22

Tema dibagi menjadi dua, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor artinya makna pokok yang menjadi pokok cerita yang menjadi pokok dasar atau gagasan dasar umum karya itu.39 Tema minor atau tema tambahan artinya makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita yang dapat diidentifikasi sebagai makna bagian atau makna tambahan sebuah cerita. Makna pokok cerita bersifat merangkum berbagai makna khusus dari makna tambahan yang terdapat pada karya itu. Begitupun sebaliknya, makna-makna tambahan itu bersifat mendukung atau mencerminkan makna-makna utama yang ada dalam keseluruhan cerita.

D. Drama dan Teater

Menurut Ahmadi dalam Suwardi, dari aspek etimologi, istilah drama berasal dari akar tunjang “drama” dari bahasa Greek (Yunani Kuno) drau yang berarti melakukan (action) atau berbuat sesuatu. Berbuat berarti memang layak dilihat. Wijayanto dalam Suwardi sedikit berbeda, katanya drama dari bahasa Yunani, dram, artinya bergerak. Kiranya, gerak dan aksi adalah mirip. Jadi, tindakan dan gerak merupakan ciri utama drama.40 Untuk itu, drama berarti perbuatan dengan gerak dan aksi sebuah lakon.

Ferdinan Brunettiere dan Balthazar Verhagen dalam Nurgiyantoro, menjelaskan bahwa drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dan harus melahirkan kehendak manusia dengan action dan perilaku. Kemudian Krauss dalam bukunya Verstehen und Gestalten, mendeskripsikan “Gesang und Tanz des altgriechiscen Kultus stammende künstelerische Darstellungsform, in der auf der Bühne im Klar gegliederten dramatischen DIALOG EIN Konflikt und seine Lösung dargestellt wird”, artinya drama

39 Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Op. cit., h. 82.

40 Suwardi Endraswara, Metode Pembelajaran Drama (Apresiasi, Ekspresi, dan Pengkajian),

(37)

adalah suatu bentuk gambaran seni yang datang dari nyanyian dan tarian ibadat Yunani kuno, yang di dalamnya dengan jelas terorganisasi dialog dramatis, sebuah konflik dan penyelesaiannya digambarkan di atas panggung.41

Ibnu Wahyudi dalam Melanie Budianta, dkk., juga memaparkan bahwa drama merupakan kehidupan sehari-hari yang dipentaskan dengan sistematis dan menarik. Drama berisi dialog antara beberapa tokoh disertai akting yang sesuai dengan petunjuk pemeranan. Jadi, secara singkat drama dapat diartikan sebagai sebuah seni atau karya sastra yang dipentaskan secara sistematis di atas panggung.42

Edwin Wilson menjelaskan dalam bukunya The Theater Experience bahwa Theater is art, and as such it mirrors or reflects life.43 Menurutnya, adalah seni karena ia adalah cermin atau refleksi kehidupan. Semua istilah drama berasal dari bahasa Yunani (draomai) yang berarti “perbuatan, tindakan, atau aksi”. Istilah teater pun juga berasal dari Yunani Greek, yaitu dari kata theatron yang diturunkan dari kata theomai yang berarti takjub melihat atau memandang. Jadi, kata theatron sudah mewakili sekaligus pengertian gedung pertunjukan dan publik yang melihat, menyaksikan, dengan sendirinya, tercakup pengertian adanya materi kesenian yang terdapat di dalam gedung dan disaksikan oleh para penonton.

Teater bisa juga diartikan mencakup gedung, pekerja (pemain dan kru panggung), sekaligus kegiatannya (isi-pentas/peristiwa). Sementara itu, ada juga yang mengartikan teater sebagai semua jenis dan bentuk tontonan, baik di panggung maupun di arena terbuka. Jika peristiwa tontonan mencakup ‘tiga’ (pekerja-tempat-komunitass penikmat/penonton), atau ada ‘tiga unsur’

41 Tato Nuryanto, Apresiasi Drama, (Depok: Rajawali Press, 2017), h. 4.

42 Emzir, dkk., Tentang Sastra: Orkestra Teori dan Pembelajarannya, (Yogyakarta:

Garudhhawacana, 2018), h. 46.

(38)

24

(bersama-saat-tempat), maka peristiwa itu adalah teater.44 Dalam hal ini, sesuatu dapat dikatakan teater apabila bentuknya yang merupakan sebuah pertunjukan atau tontonan dengan melibatkan unsur pelaku/pemain dan penonton, serta menambahkan unsur tempat di dalamnya. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa teater sebagai pertunjukan melibatkan unsur pelaku dan penonton.

K. Elam dalam bukunya menyebutkan bahwa:

Theatre’ and ‘drama’: this familiar but invariably troublesome distinction requires a word of explanation in this context, since it has important consequences with regard to the objects and issues at stake. ‘Theatre’ is taken to refer here to the complex of phenomena associated with the performer-audience transaction: that is, with the production and communication of meaning in the performance itself and with the systems underlying it. By ‘drama’, on the other hand, is meant that mode of fiction designed for stage representation and constructed according to particular (‘dramatic’) conventions.45

Elam dalam Sahid menyebut “drama” sebagai karya fiksi yang didesain untuk representasi panggung dan dikonstruksi menurut konvensi-konvensi drama yang spesifik. Dengan kata lain, “teater” terbatas pada apa yang terjadi antara pemeran dan penonton, sedangkan “drama” mengindikasikan jaringan faktor-faktor yang bertalian dengan fiksi yang direprentasikan. Dengan demikian, ruang lingkup kerja semiotikawan teater berhadapan dengan dua materi teks sekaligus, yaitu teks drama (tertulis), dan teks teater (pertunjukan teater).46

Drama sebagai salah satu bagian dari genre sastra tidaklah jauh berbeda dengan genre karya sastra yang lainnya. Di dalam naskah drama terdapat pula

44 Riantiarno, Menyentuh Teater Tanya Jawab Seputar Teater Kita., (Jakarta:Program

Bimbingan Anak Sampoerna, 2003), h. 7.

45 Elam, Op. cit., h. 1-2. 46 Sahid, Op. cit., h. 18.

(39)

unsur-unsur struktural yang membangun. Unsur-unsur struktural yang ada tak jauh berbeda secara umum dengan prosa, yaitu seperti tema, alur, latar dan penokohan yang juga terdapat dalam drama. Kemudian unsur ekstrinsik di dalam drama yaitu meliputi biografi pengarang dan latar belakang sosial budaya. Dalam drama pentas, peran seorang sutradara sangat dominan untuk menghasilkan akting yang berkualitas dari para pemain dan seluruh kru panggung.47

Semakin lama drama semakin berkembang sesuai dengan selera masyarakat dan perkembangan zaman.48 Saat ini drama sudah menjadi tontonan yang menarik, khususnya bagi pecinta teater, karena sudah dilengkapi dengan lakon yang baik, pemain yang terlatih, iringan musik yang bagus, tata panggung yang memadai dan sesuai, tata cahaya yang memukau, dan tata rias juga tata busana yang apik dan sempurna. Grup-grup drama/ teater lalu bermunculan, bahkan masih eksis hingga saat ini, seperti Bengkel Teater Rendra, Teater Mandiri, dan Teater Koma.

Berdasarkan massanya, kita bisa mengenal adanya dua bentuk drama, yakni drama tradisional dan drama modern. Drama tradisional atau drama rakyat adalah drama yang lahir dan diciptakan oleh kaum masyarakat tradisional. Hal ini berbeda dengan drama modern yang lahir pada masyarakat industri. Dalam konteks penelitian ini, drama modernlah yang digunakan sebagai bahan penelitian, yaitu dari pementasan drama karya N. Riantiarno yang berjudul Mahabarata: Asmara Raja Dewa. Pada penyajiannya, drama modern sudah mencoba memasukkan unsur teknologi modern di dalamnya. Dalam seni teater modern, tata busana, tata rias, tata lampu, tata ruang, dan tata

47 Nugraheni Eko Wardani dan Endang Widiyastuti, Jenis-jenis Teater Wayang di Surakarta,

(Surakarta: UNS Press, 2013), h. 5.

(40)

26

panggung dikemas secara modern, bahkan sudah ada yang menggunakan teknologi modern semacam film, animasi ataupun komputer.

Pementasan dan Sarana Pendukung:

1) Pentas: Teknik Penempatan dan Komposisi

Pementasan drama, terutama drama modern, tidak mungkin dapat terjadi tanpa pentas. Komposisi pentas dapat diartikan sebagai penyusunan yang artistik dan berdaya guna atas properti, perlengkapan, serta para pemain pada pentas pertunjukan.49 Oleh karena itu, komposisi pentas dari segala bentuk atau benda-benda yang ada di panggung harus diperhatikan dengan baik untuk menampilkan suatu seni pertunjukan.

Dalam menyusun properti, perlengkapan, serta para pemain di atas pentas, dibutuhkan keterampilan untuk menguasai keadaan pentas yang akan digunakan pada pertunjukan atau pementasan drama. Bentuk pentas atau panggung memengaruhi laku aktor dan posisinya, serta sudut pandang penonton. Dengan mengetahui pengaruh posisi pentas maka pemain dapat melakukan laku drama atau akting dengan maksimal.

2) Kostum

Kostum merupakan segala yang dikenakan pemain pada saat pementasan. Jika kostum dipandang sebagai sebuah pakaian, maka kostum berkaitan dengan perlengkapan yang dikenakan para pemain ketika pentas. Jika kostum dianggap sebagai salah satu sarana pendukung para pemain pementasan, maka kostum memiliki peran dan fungsi untuk: 1) mendukung

(41)

pengembangan watak pemain, 2) membangkitkan daya saran dan suasana, 3) personalisasi pemain.50

Dalam suatu pementasan, tidak tertutup kemungkinan seorang pemain harus tampil beberapa kali dengan dengan kostum yang berbeda. Pertukaran kostum yang dilakukan akan menyebabkan pertukaran atau perubahan watak/karakter yang harus didramatikkan. Hal ini biasanya terjadi jika dalam kelompok teater kekurangan pemain dan hal lainnya. Untuk itu, penting bagi para pemain yang akan melakukan pertukaran kostum untuk mengenal dan mendayagunakan kostumnya dengan baik.

3) Tata Rias

Tata rias pada seni pertunjukan diperlukan untuk menggambarkan atau menentukan watak tokoh di atas pentas.51 Menurut Hasanuddin, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk kepentingan pelaksanaan tata rias , yaitu: 1) tata rias dilakukan untuk kepentingan penegasan karakter, sehingga penonton dengan mudah dapat menangkap kesan-kesan tertentu menyangkut karakter tokoh yang sedang mereka saksikan, 2) tata rias dilakukan untuk membantu pemain menghayati peran yang dibebankan kepadanya, di samping untuk menumbuhkan kepercayaan diri pemain dalam melakukan akting (laku dramatik) di pentas, dan 3) tata rias dilakukan untuk membantu lancarnya peristiwa yang harus disaksikan penonton, membangkitkan kesan dan suasana tertentu.52

50 Emila Contessa dan Shofiyatul Huriyah, Perencanaan Pementasan Drama, (Yogyakarta:

Deepublish, 2020), h. 138.

51 Iwan Pranoto, Bahan Ajar Tata Rias dan Busana (Seni Drama, Tari, dan Musik),

(Ponorogo:Uwais Inspira Indonesia, 2019), h. 4.

(42)

28

4) Pencahayaan

Pencahayaan adalah sarana yang harus diperhitungkan di dalam pementasan drama. Sebab, jika pementasan berada di dalam ruangan dan dilakukan pada malam hari, maka pencahayaan tentu sangat penting. Pencahayaan di dalam suatu pementasan drama selain bermaksud untuk memberikan penerangan, juga bertujuan untuk menimbulkan efek dramatilk, estetik, dan artistik.53

Hasanaddin menyebutkan bahwa fungsi pencahayaan di dalam pementasan drama mencakup beberapa hal yakni: 1) menerangi dekor pentas dan properti dengan cara tertentu untuk menimbulkan efek suasana tertentu, misalnya suasana ceria, suasana muram, seram, berkabung, dan lain-lain, 2) menerangi seseorang atau sekelompok pemain dengan tujuan mempertegas efek laku dramatik, dan 3) menerangi dan menyinari wajah (face) seorang pemain atau sekelompok pemain untuk tujuan mempertegas karakter dan ekspresi pemain yang telah dibentuk melalui tata karakter dan ekspresi pemain yang telah dibentuk melalui tata rias.54

5) Tata Suara dan Ilustrasi Musik

Tata suara berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut tentang sesuatu yang harus didengar atau diperdengarkan di dalam pementaan drama. Di dalam pementasan drama, aspek yang mendominasi adalah aspek suara. Dialog-dialog di dalam pementasan disampaikan lewat suara para tokoh yang kemudian memengaruhi alur cerita yang akan ditangkap oleh penonton. Untuk kepentingan pementasan, suara pemain haruslah jelas, merdu, dan keras.

53 Contessa dan Huriyah, Op. cit., h. 139. 54 Hasanuddin, Op. cit., h. 159.

(43)

Musik pengiring untuk kegunaan pentas drama disebut juga dengan ilustrasi musik. Ilustrasi musik dapat meningkatkan kesan menarik di dalam sebuah pementasan drama. Selain itu, musik juga dapat mengukuhkan imajinasi penonton ataupun pemain. Dalam hal ini, gunanya bagi penonton adalah untuk memudahkan penginterpretasiannya. Berbeda halnya dengan pemain, yaitu untuk menunjang akting dan penghayatan terhadap peran.

E. Mahabarata

Mahabharata berasal dari kata maha yang berarti ‘besar’ dan kata bharata yang berarti ‘bangsa Bharata’. Pujangga Panini menyebut Mahabharata sebagai “Kisah Pertempuran Besar Bangsa Bharata”.55

Mahabharata adalah epos agung yang lahir di India dan diperkirakan mulai ditulis 300 tahun SM. Selama sekitar 7 abad kisah ini dikembangkan dengan penambahan cerita, syair, dongeng, dan pengayaan karakter sampai akhirnya menjadi naskah yang dianggap asli tulisan Bhagawan Vyasa sepanjang 10.000 seloka dalam 18 Parwa. 56

B. A. van Nooten mengatakan dalam sebuah pengantar buku Mahabharata karya William Buck bahwa Mahabarata adalah epic India yang dalam bahasa Sansekerta aslinya mungkin menjadi yang terbesar yang pernah disusun.

The Mahabharata is an Indian epic, in it’s original Sanskrit probably the largest ever composed. Combined with a second great epic, the Ramayana, it embodies the essence of the Indian cultural heritage.57 Sudah sejak lama orang mengenal kisah Mahabharata. Para pecinta karya sastra mengenalnya dari berbagai sumber tulisan berupa naskah-naskah

55 Nyoman S Pendit, Mahabharata, (Jakarta: PT Graedia Pustaka Utama, 2003), h. xi.

56 Wagiono Sunarto, Transformasi Visual Tokoh Mahabharata dalam Sejarah Komik Indonesia, Jurnal Seni & Budaya Panggung, Vol. 23, No. 1, Maret 2013, h. 2.

Gambar

Tabel  1  Bentuk  Transformasi  Fisik  Tokoh  dari  Novel  Mahabarata  Jawa  ke  dalam  Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa ..............................................
Gambar 20 Kesaktian tokoh Antaga saat beradegan di atas panggung yang didukung  oleh layar animasi panggung ....................................................................................

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini diberitahukan kepada sudara, apabila dikuasakan harus disertai dengan surat kuasa atau surat tugas dari direktur kepada penerima kuasa atau penerima tugas dan

Untuk itu kami meminta kepada saudara untuk menunjukan asli dokumen yang sah dan masih berlaku ( beserta copynya ), sebagaimana yang terlampir dalam daftar isian

4.3.2 Tata cara Pengemasan Limbah B3 Pelumas Bekas (waste packaging) Berdasarkan Keputusan Kepala Bapedal Nomor 01/09/1995 Tentang Tata Cara Persyaratan Teknis Penyimpanan dan

Single-mode dapat membawa data dengan bandwidth yang lebih besar dibandingkan dengan multi-mode fiber optik, tetapi teknologi ini membutuhkan sumber cahaya dengan

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini tepat pada waktunya, dalam usaha memenuhi

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menyumbangkan wacana baru dalam bidang psikologi pendidikan terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan siswa ditinjau

Adi Sarana Armada (ASSA) Logistik Surabaya yang diukur dari kemampuan intelektual dan kemampuan fisik yang perlu mendapatkan perhatian adalah kemampuan memahami intruksi

Dengan arah tersebut pendidikan (baca pengajaran) bahasa Indonesia dirumuskan menjadi enam butir tujuan, yaitu (1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai