1 1.1 Latar Belakang
Manusia adalah mahluk yang senang akan permainan, hal ini sesuai dengan hakikat manusia sebagai mahluk bermain (homo ludens) (Wijana, 2009:100) dan bahasa merupakan salah satu sarana dalam mengekspresikan konsep tentang permainan karena salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat untuk menyampaikan pesan, makna, pikiran, dan ide. Menurut Crystal (1998:1), permainan bahasa terjadi di saat fitur-fitur linguistik dimanipulasi sehingga menghasilkan sesuatu yang tidak normal dan sering dilakukan untuk kesenangan pribadi ataupun orang lain.
Setiap ragam permainan bahasa mengandung aturan permainan yang mencerminkan ciri khas atau corak dari permainan bahasanya, ada yang berupa kata atau suku kata yang ditambahkan pada susunan kata agar terbentuk sebuah kalimat dengan arti yang menarik dan masuk akal ada juga yang berupa angka yang membentuk sebuah kata. Permainan jenis ini di Jepang dikenal dengan istilah goroawase „permainan kata‟. Ragam-ragam permainan bahasa di atas berfungsi untuk memudahkan dalam mengingat atau menghafalkan sesuatu selain itu juga bisa digunakan sebagai sarana humor.
Dalam Koujien, Shinmura (1989:911) mendefinisikan goroawase (語呂合 わ せ ) sebagai permainan kata. Sedangkan menurut Hayashi (1989:879) goroawase didefinisikan sebagai salah satu jenis permainan bahasa yang awalnya berasal dari peribahasa dan ungkapan yang dibentuk menjadi ungkapan yang lucu. Permainan ini dibuat dengan cara memanfaatkan kemiripan unsur bunyi kata pada peribahasa yang diubah menjadi ungkapan lucu yang berbeda dari makna asalnya, misalnya peribahasa “Neko ni Koban” yang berarti „kucing diberi emas‟. Peribahasa ini mengumpamakan orang yang memiliki harta berharga tetapi tidak tahu kegunaan benda tersebut kemudian dalam goroawase diubah menjadi “Geko ni Gohan” yang berarti „orang mabuk diberi makan nasi‟.
Pada awalnya goroawase hanya digunakan untuk menciptakan ungkapan yang lucu dari sebuah peribahasa dan ungkapan yang sudah ada, namun seiring perkembangan zaman, kini goroawase banyak digunakan sebagai teknik untuk menghafalkan angka atau nomor di Jepang. Sistem angka Jepang adalah sistem bilangan yang digunakan dalam bahasa Jepang. Dalam penulisannya, angka Jepang didasarkan pada angka Cina. Dua set pengucapan untuk angka yang ada di Jepang, yang pertama didasarkan pada cara baca Cina (on-yomi), yaitu pembacaan dari karakter Cina yang pelafalannya telah disesuaikan dengan sistem bunyi bahasa Jepang dan yang lainnya didasarkan pada cara baca Jepang (kun-yomi), yaitu kata asli bacaan Jepang (cara baca Jepang). Ada dua cara penulisan angka dalam bahasa Jepang, angka Arab (1, 2, 3) atau angka Cina yang lebih dikenal dengan tulisan kanji (一, 二, 三). (Pradinata, 2013).
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis merasa bahwa pemakaian goroawase sebagai permainan kata dalam bahasa Jepang jika diangkat sebagai bahan penelitian kebahasaan akan menjadi suatu hal yang sangat menarik, mengingat bahasa Jepang memiliki kekhasan tersendiri, salah satunya terletak pada sistem angkanya. Berikut penulis paparkan beberapa contoh data:
ヒト ミ
Hito Mi (1) 1 月 3 日
Hitomi
„3 Januari (hari pupil)‟
(http://qjphotos.wordpress.com)
Angka Cara baca Angka Goroawase
Kun-yomi On-yomi Ei-yomi
1 Hito Ichi Wan
Hitomi
3 Mi San Surii
Data (1) di atas merupakan goroawase yang tersusun atas dua angka, yakni angka 1 dan 3. Deretan angka tersebut merupakan tanggal diperingatinya hari pupil (hari mata) di Jepang yang bertepatan pada tanggal 3 Januari. Penanggalan di Jepang umumnya ditulis dengan urutan tahun (年/nen), bulan (月/gatsu), dan hari (日/nichi). Tanggal 1 月 3 日 (ichi gatsu mikka) dalam goroawase tidak dilafalkan dengan sistem penanggalan Jepang, namun berdasarkan pada cara baca Jepang (kun-yomi) dengan aturan cara baca yaitu, angka 1 dibaca sebagai /hito/ dan angka 3 dibaca sebagai /mi/ sehingga menghasilkan sebuah bentuk variasi berupa kata yang dibaca sebagai /hitomi/. Pembentukan deret angka di atas menjadi sebuah kata yang memiliki makna, merupakan salah satu fungsi goroawase sebagai alat untuk menjelaskan suatu informasi. Dalam hal ini,
menjelaskan mengenai perayaan hari pupil di Jepang. Makna yang muncul dalam kata “hitomi” ini memiliki makna yang ambigu, yakni makna leksikalnya adalah „pupil (bagian dari mata)‟ dan makna goroawasenya merujuk pada „tanggal 3 Januari‟, yang merupakan tanggal diperingatinya hari pupil (hari mata) di Jepang, meskipun kedua makna yang muncul sama-sama merujuk pada kata “mata” namun makna-makna tersebut tidak saling berkaitan sebab yang satu merujuk pada salah satu bagian dari mata yaitu pupil, sedangkan makna yang lain menyatakan suatu perayaan yang biasa dilakukan masyarakat Jepang. Deretan goroawase di atas merupakan pembentukan goroawase yang berasal dari kata “hitomi” kemudian dibentuk menjadi deret angka 1-3 yang dilakukan untuk mempermudah orang dalam mengingat perayaan yang terjadi pada tanggal tersebut. Untuk selanjutnya penyebutan cara baca Jepang, cara baca Cina, cara baca Inggris, dan permainan kata akan disebutkan dengan menggunakan istilah asli Jepangnya yaitu kun-yomi untuk „cara baca Jepang‟, on-yomi untuk „cara baca Cina‟, ei-yomi untuk „cara baca Inggris‟, dan goroawase untuk „permainan kata‟. Hal ini dilakukan untuk mengefisienkan pemakaian kata-kata dalam pemaparan analisis, sehingga tidak terjadi pemborosan kata dengan menyebutkan istilah asli Jepang disertai padanannya dalam bahasa Indonesia secara berulang-ulang.
ヤ ク ザ Ya Ku Za (2) 8 9 3 Yakuza „893 (Mafia Jepang)‟ (http://www.anneahira.com/yakuza.htm)
Angka Cara baca Angka Goroawase
Kun-yomi On-yomi Ei-yomi
8 Ya Hachi, Ba Eito
Yakuza
9 Kokono Kyuu, ku Nain
3 Mi San (za) Surii
Apabila dijabarkan, data (2) di atas termasuk dalam klasifikasi cara baca gabungan on-kun yang menghasilkan variasi bentuk berupa kata yang dibaca sebagai “yakuza” dengan aturan cara baca yaitu, angka 8 dibaca secara kun-yomi sebagai /ya/, angka 9 dibaca secara on-yomi sebagai /ku/, dan angka 3 dibaca secara on-yomi sebagai /za/ yang telah mengalami penghilangan mora /n/ dari cara baca /san/ kemudian mengalami perubahan konsonan dari cara baca yang diawali dengan konsonan alveolar frikatif tidak bersuara (fonem /s/) yaitu /sa/ menjadi konsonan alveolar frikatif bersuara (fonem /z/) yaitu /za/ (lihat lampiran 1 pada hal. 145). Deret angka 8-9-3 merupakan goroawase yang tersusun atas tiga angka dan berfungsi sebagai alat untuk merahasiakan sesuatu. Dalam goroawase, deretan angka tersebut berasal dari kata “yakuza” yang sengaja dibentuk ke dalam deret angka 8-9-3 untuk simbol atau kode rahasia di masyarakat umum, sebab biasanya kata yakuza tidak diucapkan secara jelas apalagi jika berbicara di luar rumah. Masyarakat menyimbolkan kata “yakuza” dengan cara menggoreskan jari telunjuk ke pipi sendiri atau dengan menyebutkan bilangan 893. Angka ini berasal dari salah satu
kombinasi kartu yaitu 8-9-3 dalam permainan kartu hanafuda, kombinasi kartu tersebut apabila dijumlahkan maka hasilnya 20. Angka 20 tersebut dikenal sebagai “angka sial” di Jepang. Makna leksikal dari kata “yakuza” adalah „nama dari sindikat teroganisir di Jepang (mafia Jepang)‟ sedangkan makna goroawasenya adalah „simbol angka untuk yakuza‟.
イ イ ク ニ I I Ku Ni (3) 1 1 9 2
Ii kuni
„tahun 1192 (negara yang baik)‟
(https://id-id.facebook.com)
Angka Cara baca Angka Goroawase
Kun-yomi On-yomi Ei-yomi
1 Hito Ichi Wan
Ii kuni
9 Kokono Kyuu, ku Nain
2 Futa Ni, ji Tsu
Variasi bentuk yang dihasilkan dari gabungan cara baca pada deret angka 1-1-9-2 berupa frasa yang dibaca sebagai “ii kuni”. Data (3) di atas merupakan goroawase yang tersusun dari empat angka yang merupakan tahun berdirinya Keshogunan Kamakura. Pola pembentukan deret angka di atas berasal angka yang kemudian dibentuk menjadi sebuah frasa dengan memanfaatkan cara baca yang dimiliki oleh setiap angka pada deret tersebut, dalam hal ini adalah bunyi Cina (on-yomi) dengan aturan cara baca yaitu angka 1 dibaca sebagai /i/ yang telah mengalami proses penghilangan mora /chi/ dari cara baca /ichi/, angka 9 dibaca sebagai /ku/, dan angka 2 dibaca sebagai /ni/. Goroawase “ii kuni” dimaksudkan untuk memudahkan orang lain dalam menghapal angka-angka penting di Jepang.
Makna yang muncul dalam frasa “ii kuni”, secara leksikal bermakna „negara yang baik‟ dan dalam goroawase bermakna „tahun 1192‟. Frasa “ii kuni” kemudian dipadankan dengan kata yang lain sehingga menjadi sebuah kalimat yang sekaligus menunjukkan peristiwa yang terjadi pada tahun tersebut, yaitu “Ii kuni tsukurou kamakura bakufu” yang berarti „Mari mendirikan negara baik Keshogunan Kamakura‟.
ヨ イ フ ロ Yo I Fu Ro (4) 4 1 2 6
Yoi furo
„4126 (tempat pemandian yang nyaman)‟
(http://stepanov.lk.net)
Angka Cara baca Angka Goroawase
Kun-yomi On-yomi Ei-yomi
4 Yon, Yo Shi Ho
Yoi furo
1 Hito Ichi Wan
2 Futa Ni, ji Tsu
6 Mu Roku Shikkusu
Data (4) di atas termasuk dalam klasifikasi goroawase yang berfungsi sebagai alat untuk menawarkan suatu produk atau jasa karena deret angka 4-1-2-6 merupakan penggalan nomor telepon salah satu tempat pemandian di Jepang. Deret tersebut berasal dari frasa “yoi furo” yang sengaja dibentuk menjadi sebuah deret angka dengan mencocokkan cara baca yang dimiliki oleh setiap angka pada deret tersebut agar sesuai dengan frasa yang dimaksud dengan tujuan agar pesan yang ingin disampaikan terlihat menarik dan memudahkan konsumen dalam menghafal nomor telepon tersebut. Pola pembentukan cara baca pada deret angka 4-1-2-6 merupakan
cara baca gabungan on-kun dengan aturan cara baca yaitu, angka 4 dibaca secara kun-yomi sebagai /yo/, angka 1 dibaca secara on-yomi sebagai /i/ yang telah mengalami penghilangan mora /chi/ dari cara baca /ichi/, angka 2 dibaca secara kun-yomi sebagai /fu/ yang juga mengalami penghilangan mora /ta/ dari cara baca /futa/ dan angka 6 dibaca sebagai on-yomi sebagai /ro/ yang telah mengalami penghilangan mora /ku/ dari cara baca /roku/. Variasi bentuk yang dihasilkan dari gabungan cara baca yang terdiri atas empat angka tersebut berupa sebuah frasa yang dibaca sebagai “yoi furo”. Makna yang muncul dalam frasa “yoi furo” ini memiliki makna leksikal „pemandian yang nyaman‟ sedangkan makna yang dibentuk dalam goroawase yaitu „4126‟, yang merujuk pada penggalan nomor telepon salah satu tempat pemandian di Jepang.
Berdasarkan uraian di atas, maka pengkajian yang komprehensif terhadap goroawase dalam bahasa Jepang merupakan sesuatu yang sangat diperlukan untuk mengetahui bagaimana sebuah angka dapat berperan penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya di Jepang. Selain itu, kekhasan pola pembentukan goroawase seperti yang dicontohkan pada data di atas menimbulkan minat dan ketertarikan peneliti untuk mengetahui lebih jauh mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi pembentukan goroawase di Jepang. Penelitian ini mengangkat sebuah kajian linguistik yang berorientasi sosial budaya Jepang. Sejauh ini belum ada penelitian terhadap goroawase yang berdasarkan pada kajian semantik. Oleh karena itu, peneliti membatasi penelitian terhadap goroawase dalam bahasa Jepang untuk kajian semantik.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merasa tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai pola-pola pembentukan dalam goroawase bahasa Jepang. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, antara lain:
a. Bagaimana pola pembentukan dan variasi cara baca goroawase dalam bahasa Jepang?
b. Bagaimana variasi bentuk yang dihasilkan dari pola pembentukan goroawase dalam bahasa Jepang?
c. Apa fungsi pembentukan goroawase dalam bahasa Jepang?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang permainan kata dalam bahasa Jepang. Selain itu, penelitian ini memiliki tujuan yang secara khusus dapat dirinci sebagai berikut :
a. Mendeskripsikan tentang pola pembentukan dan variasi cara baca goroawase dalam bahasa Jepang.
b. Mendeskripsikan tentang variasi bentuk yang dihasilkan dari pola pembentukan goroawase dalam bahasa Jepang.
c. Menjelaskan tentang fungsi pembentukan goroawase dalam bahasa Jepang.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan manfaat teoritis maupun manfaat praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pembaca mengenai goroawase yang banyak digunakan sebagai sarana untuk bermain dengan kata-kata dalam bahasa Jepang, dalam hal ini adalah untuk menghapalkan angka-angka penting di Jepang, untuk menawarkan suatu produk atau jasa, untuk membuat kode rahasia, dan lain-lain karena sejauh ini penelitian mengenai goroawase ini masih sangat sedikit ditemukan. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca tentang pola pembentukan dan variasi cara baca goroawase, variasi bentuk yang dihasilkan dalam pembentukan goroawase serta fungsi dari pembentukan goroawase yang kini semakin berkembang di Jepang. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi tambahan untuk kajian selanjutnya mengenai goroawase dalam bahasa Jepang.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian yang berhubungan dengan permainan kata ini sebelumnya pernah dilakukan oleh Wijana (2000) dalam jurnal humaniora dengan judul penelitian “Angka, Bilangan, dan Huruf dalam Permainan Bahasa”. Penelitian ini membahas tentang bentuk kreativitas permainan angka, bilangan dan huruf yang mempresentasikan elemen-elemen bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris di dalam masyarakat yang banyak ditentukan oleh situasi sosiolinguistis sebuah masyarakat, misalnya :
1. Angka sebagai representasi kata atau bagian kata bahasa tertentu, misalnya adalah ber-217-an dan 2-1 rumah. Dalam contoh ber-217-an berarti „berdua satu tujuan‟, dan 2-1 rumah berarti „tuan rumah‟. Contoh pertama merupakan representasi kata dalam bahasa Indonesia sedangkan contoh kedua merupakan representasi kata dalam bahasa Inggris.
2. Angka sebagai visualisasi lambang bunyi, misalnya pada angka 90 yang dapat dibaca sebagai go „pergi‟ kata dalam bahasa Inggris. Secara visual angka Sembilan (9) mirip dengan G „huruf ketujuh‟, dan angka nol (0) mirip atau sama dengan huruf O.
3. Angka sebagai representasi not lagu, misalnya 23761. 23761 maksudnya adalah Remi Sylado, nama seorang artis.
4. Angka sebagai representasi formula satuan matematis, misalnya dan lingkaran lambang perdamaian. Angka pecahan yang merupakan formula satuan matematis dibaca π (phi), sedangkan lingkaran perdamaian dalam bahasa Inggris dibaca peace /pis/. Jadi angka pecahan dan perdamaian tersebut dapat dibaca pipis „buang air kecil‟.
5. Angka sebagai representasi frekuensi pembacaan, misalnya Q2R. Angka dua dalam tulisan tersebut tidak dibaca sebagai frekuensi pembacaan huruf sebelumnya, sehingga tulisan tersebut dibaca, menjadi „kikir‟.
Sedangkan penelitian yang menyangkut tentang goroawase dalam bahasa Jepang sebelumnya pernah dilakukan oleh Fatkul (2004) dalam skripsinya yang berjudul “Pemakaian Goroawase Untuk Cara Baca Nomor Telepon Dalam Iklan Bahasa Jepang”. Penelitian ini membahas tentang usaha yang dilakukan dunia periklanan Jepang untuk menjadikan sebuah komposisi iklan menarik yaitu dengan cara memanfaatkan keberadaan nomor telepon secara maksimal.
1.6 Landasan Teori
Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan landasan yang akan digunakan dalam menganalisis data-data penelitian, maka teori yang menjadi dasar analisis data penelitian ini antara lain teori tentang permainan bahasa, goroawase, pola pembentukan goroawase, dan makna.
1.6.1 Permainan Bahasa
Permainan berasal dari kata “main” yang artinya perbuatan untuk menyenangkan hati (Alwi, 2001:698). Dalam konteks bahasa, permainan berarti suatu aktivitas untuk memperoleh suatu keterampilan berbahasa tertentu dengan cara yang menggembirakan (Mahmud, 2009). Dari pemaknaan tersebut dapat dipahami, bahwa permainan bahasa mempunyai tujuan ganda, di samping untuk memperoleh kegembiraan, juga untuk melatih keterampilan berbahasa tertentu seperti keterampilan berbicara dan menulis.
Apte (1985:179-184) menuturkan bahwa permainan bahasa dapat berupa rima seperti yang digunakan dalam permainan anak, repetisi atau pengulangan, teka-teki, permainan dialek, pun, kata-kata nonce „untuk saat-saat tertentu‟, limerick „puisi jenaka yang berima‟, kata-kata yang tak bermakna, malaporism, spoonerism, dan tounge twister.
Permainan bahasa yang disebut pun merupakan permainan kata yang meliputi penggunaan homonim dalam sebuah konteks di mana hanya satu makna saja yang tepat, sementara makna yang lain dapat muncul (Apte, 1985:179). Goroawase merupakan salah satu permainan kata yang dapat digolongkan ke dalam kelompok permainan bahasa yang disebut pun yang terdapat di Jepang.
Selain bentuk, permainan bahasa juga memiliki kegunaan. Menurut Cook (2000:5), permainan bahasa digunakan dengan tujuan untuk humor, menghina orang lain, dan sebagai media dalam kompetisi di sebuah organisasi sosial. Sedangkan Apte (1985) mengemukakan jenis-jenis permainan bahasa sebagai bentuk-bentuk dari humor dan Crystal (1998) memaparkan bahwa permainan bahasa dilakukan sebagai sumber kesenangan yang pada umumnya adalah humor. Crystal juga menjelaskan bahwa bukan hanya bentuk-bentuk permainan bahasa yang tertulis ataupun bunyi-bunyian dengan makna namun bunyi-bunyi tanpa makna ataupun bunyi yang terdengar lucu seperti suara tokoh Disney Donal Duck termasuk ke dalam bentuk permainan bahasa.
1.6.2 Goroawase ‘Permainan Kata’
Menurut Kindaichi (1988:719), goroawase adalah ungkapan lucu yang dibuat dengan cara meniru bunyi yang ada pada kotowaza „peribahasa‟, seeku „ungkapan‟, dan sebagainya yang selanjutnya dibuat kata baru dengan arti yang berbeda dari makna asal. Kindaichi (1988: 897-898) juga menuturkan bahwa goroawase merupakan salah satu teknik yang ada dalam share. Share adalah teknik permainan bahasa yang digunakan untuk memancing tawa dengan cara memakai homonim atau mengambil salah satu unsur bunyi yang kemudian diubah ke dalam kata yang sama sekali berbeda dengan makna asal. Istilah share adalah berasal dari verba “saru” atau “zaru” yang pada zaman Heian mempunyai banyak arti. Arti kata tersebut adalah „membersihkan debu‟, „disaring‟, „nakal‟, „bermain‟ dan sebagainya. Verba ini kemudian mengalami proses nominalisasi menjadi share, dan zaru atau jaru yang memiliki makna sentral „bermain‟ atau „bercanda‟. Penggunaan istilah share dalam segala sisi kehidupan pada saat itu, mengalami kecenderungan ke arah teknik permainan bahasa.
Goroawase muncul sekitar tahun 1780-an. Teknik percakapan ini telah menggerakkan kekhasan dialek Kanto. Misalnya ungkapan “Izukumo onaji aki no yuugure” „karena sangat kesepian, ketika keluar rumah untuk mencoba melihat sekeliling dimanapun terasa sama dengan sunyinya senja di musim gugur‟ diubah menjadi “mizu kumu oyaji aki no yuugure”. Ungkapan “izukumo onaji” diplesetkan dengan ungkapan yang memiliki unsur kemiripan bunyi menjadi “mizu kumu oyaji” „ayah yang berkumur‟, yang memiliki arti berbeda sama sekali.
Pada awalnya goroawase ini merupakan kiokuhoo „teknik hafalan‟ yang lahir berdasarkan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari, seperti sebelum dikenal rice cooker, dikenal rangkaian kata-kata untuk menunjukkan cara menanak nasi yang baik yaitu “hajime chorochoro naka papa” yang berarti „permulaan dengan api kecil, menjelang nasi tanak dengan api besar sebentar‟. Namun seiring perkembangan zaman, goroawase pun mengalami perubahan fungsi, kini goroawase banyak digunakan sebagai teknik untuk menghafalkan tahun, nomor telepon, dan akar bilangan (heehookon) digunakan teknik goroawase. Misalnya :
a. Nakuyo uguisu heiankyoo „kepodangnya berkicau lho, di Kyoto‟. (tahun 794). “Nakuyo” pada data (5) merupakan teknik yang digunakan untuk menghafalkan tahun mulainya zaman Heian. Angka 794 dibaca /nakuyo/ berasal dari cara baca angka secara kun-yomi angka 7 yang dibaca sebagai /na/, angka 9 yang dibaca secara on-yomi sebagai /ku/, dan angka 4 yang dibaca secara kun-yomi sebagai /yo/. (http://www.japantimes.co.jp).
b. Hakushi ni modosu kentooshi yang berarti „para utusan yang kembali tanpa hasil‟ (tahun 894). “Hakushi” pada data (6) merupakan teknik yang digunakan untuk menghafalkan tahun dihentikannya pengiriman utusan ke Cina pada tahun 894. Kata /hakushi/ berasal dari cara baca angka 8 yang dibaca secara on-yomi sebagai /ha/, angka 9 yang dibaca secara on-yomi sebagai /ku/, dan angka 4 yang dibaca secara on-yomi sebagai /shi/. (http://www.japantimes.co.jp).
c. Hito yo hito yo ni hito migoro yang berarti „setiap malam selalu berubah terlihat seperti orang lain‟ (√2=1.41421356) pada data (7) merupakan teknik yang digunakan untuk menghafalkan rumus matematika. Kalimat di atas diperoleh dari cara baca angka 1 yang dibaca secara kun-yomi sebagai /hito/, angka 4 dibaca secara kun-yomi sebagai /yo/, angka 2 dibaca secara on-yomi sebagai /ni/, angka 3 dibaca secara kun-yomi sebagai /mi/, angka 5 dibaca secara on-yomi sebagai /go/, dan angka 6 dibaca secara on-yomi sebagai /ro/ yang telah mengalami proses penghilangan mora /ku/. (http://www.mognet.net/).
1.6.3 Pola Pembentukan Cara Baca Goroawase
Pola pembentukan cara baca goroawase secara umum mengacu kepada cara baca angka dan bilangan yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Jepang. Angka adalah tanda atau lambang sebagai pengganti bilangan, sedangkan bilangan adalah satuan jumlah. Dalam konsep bahasa Jepang suatu angka dapat berubah menjadi bilangan sekaligus penunjuk nomor urut dengan menambah kata bantu bilangan.
Shinmura (1998:2914-2917) membagi numeralia pokok bahasa Jepang menjadi dua, yakni numeralia bahasa Jepang dan numeralia bahasa Cina. Numeralia bahasa Jepang yaitu angka yang dilafakan dengan cara baca Jepang (kun-yomi), yang digunakan untuk menghitung jumlah suatu benda atau objek sedangkan numeralia bahasa Cina merupakan angka yang dilafalkan dengan cara
baca yang berasal dari bahasa Cina yang pelafalanannya telah disesuaikan dengan sistem bunyi bahasa Jepang, umumnya digunakan untuk menyatakan bilangan, kwantitas atau jumlah suatu benda atau objek. Dalam goroawase, Schourup (2000:132) menemukan cara baca angka yang muncul dari transliterasi dari bahasa Inggris (ei-yomi), yakni sebagai berikut :
Tabel 1.1 Cara Baca Goroawase Angka
Shinmura (1998) Schourup (2000)
Cara Baca Jepang (Kun-yomi)
Cara Baca Cina (On-yomi)
Cara Baca Inggris (Ei-yomi)
0 Maru, wa Rei O, Zero
1 Hito Ichi Wan
2 Futa Ni, Ji Tsu
3 Mi San Surii
4 Yon, Yo Shi Ho
5 Itsu Go Faibu
6 Mu Roku Shikkusu
7 Nana Shichi Sebun
8 Ya Hachi, Ba Eito
9 Kokono Kyuu, Ku Nain
10 Too, To Ju, Ji Ten
Pola pembentukan goroawase sangat berkaitan dengan sistem fonologi dalam bahasa Jepang, huruf vokal pada sistem fonologi bahasa Jepang tidak mempunyai banyak permasalahan, akan tetapi huruf konsonan sangat problematik. Fonem segmental dan suprasegmental membedakan arti. Dalam unit suprasegmental, yaitu silabe dan mora. Kata “shinbun” yang berarti „surat kabar‟ terdiri atas dua silabe, yaitu “shin” dan “bun”, tetapi penutur bahasa Jepang membagi lagi kata tersebut menjadi empat unit, yaitu /shi/, /n/, /bu/, dan /n/, berdasarkan empat grafem kana. Dalam bahasa Jepang, mora adalah suatu unit
yang dapat diwakilkan oleh sebuah grafem kana. Berikut tabel aksara Kana menurut Aronoff (2001:55) via Soelistyowati (2002).
Tabel 1.2 Tabel Aksana kana (Gojuuonzu)
Hiragana Katakana -A -I -U -E -O -A -I -U -E -O Ø あ い う え お ア イ ウ エ オ a i u e o a i U e o K- か き く け こ カ キ ク ケ コ ka ki ku ke ko ka ki Ku ke ko G- が ぎ ぐ げ ご ガ ギ グ ゲ ゴ ga gi gu ge go ga gi Gu ge go S- さ し す せ ぞ サ シ ス セ ソ sa shi su se so sa shi su se so Z- ざ じ ず ぜ ぞ ザ ジ ズ ゼ ゾ za ji zu ze zo za ji zu ze zo T- た ち つ て と タ チ ツ テ ト
ta chi tsu te to ta chi tsu te to
D- だ ぢ づ で ど ダ ヂ ヅ デ ド da ji zu de do da ji zu de do N- な に ぬ ね の ナ ニ ヌ ネ ノ na ni nu ne no na ni nu ne no H- は ひ ふ へ ほ ハ ヒ フ ヘ ホ ha hi fu he ho ha hi fu he ho B- ば び ぶ べ ぼ バ ビ ブ ベ ボ ba bi bu be bo ba bi bu be bo P- ぱ ぴ ぷ ぺ ぽ パ ピ プ ペ ポ pa pi pu pe po pa pi pu pe po M- ま み む め も マ ミ ム メ モ ma mi mu me mo ma mi mu me mo Y- や ゆ よ ヤ ユ ヨ ya yu yo ya yu yo R- ら り る れ ろ ラ リ ル レ ロ ra ri ru re ro ra ri ru re ro W- わ を ワ ヲ wa wo wa wo N ん ン n n
Berkaitan dengan angka atau bilangan, Saussure (1974:38) via Zoest (1996:59-60) menggolongkan bilangan ke dalam dua tanda bahasa yaitu tanda bahasa yang tidak bermotivasi, misalnya kata bilangan eleven, dan tanda bahasa tidak semena absolut, misalnya kata bilangan thirteen, twenty five dan seterusnya karena di dalamnya terkandung unsur satuan dan puluhan. Sedangkan berkaitan dengan tanda bahasa secara umum, Saussure berpendapat bahwa ciri umum tanda bahasa adalah arbiraritas „kesemenaan‟ absolut. Ini dipertentangkannya dengan tanda bahasa yang mempunyai motivasi. Tanda bahasa seperti ini disebut simbol (Zoest, 1996:59-60).
1.6.4 Makna
Bahasa dapat dipandang sebagai sistem yang dikendalikan oleh aturan tertentu sesuai dengan bahasa yang digunakan, tapi sebenarnya masih ada metode lain untuk memahami cara kerja dan tujuan digunakannya bahasa tersebut. Hal inilah yang akan difokuskan dalam penelitian ini. Sebagai contoh, biasanya bahasa digunakan untuk mengatakan apa yang menjadi maksud yang ingin disampaikan. Namun proses dari terbentuknya “maksud” atau makna ini sangat rumit. Untuk menjelaskannya, maka harus dibuat semacam “model” dari makna. Model adalah sebuah cara berpikir yang bisa membantu kita untuk memulai menelaah sebuah ide secara sederhana (Thomas, 2007:9).
Salah satu model yang dibuat untuk menjelaskan makna mengatakan bahwa untuk semua kelompok bunyi atau huruf yang ada dalam sebuah kata, ada hubungan satu-persatu (one to one relation) dengan sebuah makna, dan untuk semua makna yang bisa dipikirkan, akan selalu ada satu kelompok bunyi (kata lisan) dan kelompok huruf (kata tertulis) yang mewakilinya, misalnya pada pembentukan goroawase. Makna-makna yang muncul dari hasil gabungan cara baca angka yang terdapat pada deret angka dalam goroawase menghasilkan variasi bentuk berupa kata, frasa, klausa bahkan kalimat yang memiliki makna yang berbeda dengan makna aslinya.
Dalam buku metode linguistik, Djajasudarma (1999:5) mengemukakan bahwa pengertian makna (sense) dibedakan dari pengertian arti (meaning) di dalam semantik. Makna bertalian dengan sistem hubungan yang kompleks yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Sementara Lyons (1977:204) via Djajasudarma (1999:5) menyebutkan bahwa mengkaji atau memberi makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dengan kata-kata yang lain.
1.7 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta kebahasaan yang ada atau fenomena-fenomena yang memang secara empiris hidup pada penuturnya. Penelitian ini menggunakan tiga macam metode. Ketiga metode itu adalah metode pengumpulan data, metode analisis dan metode penyajian hasil analisis data.
1.7.1 Sumber Data
Data dalam penelitian ini berasal dari beberapa telusuran internet seperti <www.facebook.com>; < http://stepanov.lk.net >; < http://rick.cogley.info > dan lain-lain, sebab penggunaan goroawase umumnya dipakai untuk beberapa tujuan tertentu sehingga masih sangat sulit untuk menemukan buku-buku sumber yang berhubungan dengan goroawase. Selain itu, penulis memakai korpus elektronik bahasa Jepang (Goroawase Generator) yang bersumber pada situs <http://seoi.net/goro/?n=> untuk menguji kevalidan data yang didapat dan juga untuk menjaga reabilitas penelitian. Data-data yang didapat kemudian dikonsultasikan kepada informan yang adalah penutur asli.
Data-data dalam penelitian ini penulis batasi menjadi goroawase yang tersusun atas dua angka, tiga angka, empat angka, lima angka, enam angka, dan tujuh angka. Data-data yang terkumpul merupakan data-data yang diperoleh dari tanggal 11 September 2013 sampai dengan tanggal 17 Januari 2014.
1.7.2 Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan sebagai pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode simak yaitu dengan cara menyimak penggunaan bahasa dengan cara mencari data-data dari beberapa telusuran internet. Teknik yang digunakan dalam metode ini adalah teknik catat, yaitu dengan mencatat semua data yang didapat pada kartu data yang kemudian dilanjutkan dengan klasifikasi data.
Untuk mempermudah pemahaman, data yang dianalisis ditulis miring dengan huruf kecil dan diberi tanda petik, sementara definisinya ditulis dengan huruf kecil yang diapit dengan tanda petik tunggal. Sejumlah data yang diperoleh dicatat pada kartu data. Pencatatan pada kartu data untuk memudahkan pengklasifikasian.
Sumber data adalah kata-kata yang diambil dari hasil pencarian melalui beberapa telusuran internet yang kemudian diuji kevalidannya dalam korpus Goroawase Generator pada situs <http://seoi.net/goro/?n=>. Berikut ini adalah tahapan dalam menguji data goroawase dari situs Goroawase Generator yang selanjutnya disingkat menjadi GG.
1) Masuk ke situs Goroawase Generator (GG) yang tampilan situsnya seperti berikut:
3) Klik tombol „Enter‟ kemudian akan keluar hasil seperti berikut :
4) Penulis menyalin dan menyimpan keluaran hasil pencarian goroawase melalui GG ke format Microsoft Word.
5) Data yang diperoleh dianalisis dan disajikan dengan penomoran urut sesuai dengan nomor data yang digunakan dalam pembahasan.
1.7.3 Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam analisis “Goroawase dalam Bahasa Jepang” adalah metode padan. Padan merupakan kata yang bersinonim dengan kata banding dan sesuatu yang dibandingkan mengandung makna adanya keterhubungan sehingga padan di sini diartikan sebagai hal menghubung-bandingkan (Mahsun, 2005:112). Peneliti menggunakan metode padan ekstralingual karena yang akan dihubungpadankan berkenaan dengan unsur yang berada di luar bahasa (ekstralingual), seperti hal yang menyangkut makna, informasi, dan sebagainya.
Tahap-tahap analisis data dimulai dengan mengklasifikasikan data berdasarkan sistem penggabungan angka dalam goroawase yakni goroawase yang tersusun atas dua, tiga, empat, lima, enam dan tujuh angka kemudian dilihat juga bentuk variasi yang dihasilkan dari gabungan baca angka pada deret angka tersebut.
Selanjutnya pemaparan analisis dilakukan berdasarkan definisi makna yang muncul dalam goroawase dan makna asli pada kata-kata yang terbentuk yang telah dicatat pada kartu data. Sebagai data primer, kata-kata tersebut didefinisikan terlebih dahulu setelah itu dipadankan dengan kata dalam kamus bahasa Jepang-Indonesia yang disusun oleh Matsuura (1994). Makna kata yang terbentuk dari goroawase ini tidak didefinisikan, tetapi disinonimkan dengan makna asli pada kata dalam bahasa Jepang.
1.7.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Metode penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode penyajian informal dan metode penyajian formal (Mahsun 2005:255). Penyajian informal adalah bentuk penyajian dengan menggunakan rumusan kata-kata biasa yang digunakan untuk merumuskan variasi dan tipe-tipe goroawase dalam bahasa Jepang. Sementara dalam penyajian formal peneliti menggunakan tanda dan lambang atau dalam bentuk tabel atau rumus.
1.8 Sistematika Penyajian
Penelitian „Goroawase Dalam Bahasa Jepang‟ disajikan dalam lima bab, antara lain: Bab 1 berisi pendahuluan yang akan memaparkan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian. Bab 2 mendeskripsikan pola pembentukan dan variasi cara baca goroawase dalam bahasa Jepang. Bab 3 mendeskripsikan variasi bentuk yang dihasilkan dari pola pembentukan goroawase dalam bahasa Jepang. Bab 4 mendeskripsikan fungsi pembentukan goroawase dalam bahasa Jepang, dan bab 5 berisi simpulan dan saran.