• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi percakapan bahasa batak toba dalam acara ‘jou-jou tano batak’

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Strategi percakapan bahasa batak toba dalam acara ‘jou-jou tano batak’"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PERCAKAPAN BAHASA BATAK TOBA

DALAM ACARA ‘JOU-JOU TANO BATAK’

SKRIPSI

OLEH:

EMSI SIGIAN

NIM 030701035

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan. September 2007

Emsi Siagian

(3)

STRATEGI PERCAKAPAN BAHASA BATAK TOBA DALAM ACARA ‘JOU-JOU TANO BATAK’

Emsi Siagian

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji strategi percakapan bahasa Batak Toba dalam acara ‘Jou-Jou

Tano Batak’ yang meliputi bagaimana cara memulai dan mengakhiri percakapan, cara

pengambilan giliran bicara, cara membetulkan ujaran-ujaran yang tidak jelas, cara mengembalikan dan mengalihkan topik, serta implikatur. Acara ‘Jou-Jou Tano

Batak’ adalah sebuah acara radio karisma yang menggunakan bahasa Batak Toba.

(4)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberkati penulis sehingga skripsi yang berjudul Strategi Percakapan Bahasa Batak Toba dalam acara

‘Jou-Jou Tano Batak’ dapat diselesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis juga menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis hendak menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada pihak-pihak di bawah ini.

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sastra USU. 2. Bapak Drs. Parlaungan Parlaungan, M.Hum., selaku Ketua Departemen Sastra

Indonesia Fakultas Sastra USU.

3. Ibu Dra. Mascahaya, M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU.

4. Bapak Drs. Asrul Siregar, M.Hum., selaku Pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan dan masukan kepada penulis sejak penulisan proposal sampai penulisan skripsi ini.

5. Ibu Dra. Sugihana Br. Sembiring, M.Hum., selaku Pembimbing II yang telah banyak mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Bapak dan Ibu staf pengajar Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra

USU, yang telah memberikan bekal dan pengetahuan, baik dalam linguistik, sastra, maupun bidang-bidang umum lainnya.

7. Kak Fitri yang telah membantu penulis dalam hal administrasi di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU.

(5)

9. Saudara penulis, Miar, Ronny, Delpi, Roy, Martin, Herwin dan Belman yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis agar tetap semangat mengerjakan skripsi ini bahkan yang telah membantu penulis secara materi. 10.Teman-teman sepelayanan saya di K.O Gloria, Melda, Lasma, Kak Wasti,

Saurma, Desmi, Roy, Hendrik, dan teman-teman saya yang lain yang tidak dapat saya sebut namanya satu persatu.

11.Teman-teman satu kos Cantika, Devi, Deni, Lisa, Ahad, Ika, Selvi, Efelina dan Sri yang terus memberikan penulis semangat.

12.Teman-teman satu angkatan Sastra Indosesia 2003.

13.Adik-adik di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU angkatan 2004-2007.

Sebagai manusia, penulis menyadari kekurangan yang ada dalam diri penulis. Kekurangan-kekurangan tersebut mungkin saja tercermin dalam skripsi ini sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun sehingga kekurangan yang ada dapat disempurnakan di masa mendatang.

Akhirnya penulis berharap, skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membaca.

Penulis,

(6)

Daftar Singkatan

BBT : Bahasa Batak Toba JJTB : Jou-Jou Tano Batak

M : Kata benda atau kata ganti yang berbentuk pasif yang artinya ‘oleh’ atau ‘dari’

PA : Pertikel afirmatif yang fungsinya untuk membenarkan atau menegaskan sebutan

PK : Partikel kosesif yang fungsinya memberi harapan atau memberi kelonggaran PN : Partikel naratif yang fungsinya melancarkan kisah

PR : Peserta PY : Penyiar

VK : Seruan (vokatif) yang maknanya mengatakan keheranan

(7)

DAFTAR ISI

Pernyataan

Abstrak

Prakata

Daftar Singkatan

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.1.1 Latar Belakang ... 1

1.1.2 Masalah ... 5

1.2Batasan Masalah ... 5

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.3.1Tujuan Penelitian ... 5

1.3.2Manfaat Penelitian ... 5

1.4Metode dan Analisis Data ... 6

1.4.1Metode Pengumpulan Data ... 6

1.4.2Metode Analisis Data ... 6

1.5Landasan Teori ... 9

1.5.1Wacana ... 9

1.5.2Analisis Percakapan dan Pragmatik ... 10

1.5.3Strategi Percakapan ... 11

1.5.2.2. Kaidah Pertuturan ... 18

BAB II PEMBAHASAN

(8)

dalam acara “Jou-Jou Tano Batak’ ... 21

2.1.1 Cara Memulai dan Mengakhiri Percakapan ... 21

2.1.2 Cara Pengambilan Giliran Bicara ... 32

2.1.3 Cara Membetulkan Ujaran-Ujaran yang Tidak Jelas ... 47

2.1.4 Cara Mengembalikan dan Mengalihkan Topik ... 50

2.2 Implikatur Bahasa Batak Toba dalam acara “Jou-Jou Tano Batak’ ... 55

BAB III SIMPULAN DAN SARAN 3.1 Simpulan ... 62

3.2 Saran ... 63

Daftar Pustaka

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang dan Masalah

1.1.1 Latar Belakang

Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi yang digunakan manusia untuk menyampaikan buah pikiran, ide/gagasan dan perasaannya kepada orang lain (Lubis, 1993:3). Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia terutama dalam berinteraksi dengan manusia lain sehingga tidak mengherankan jika bahasa menjadi sebuah pembahasan yang sangat menarik.

Berdasarkan medianya, komunikasi dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu komunikasi lisan dan tulisan (Rani dkk. 2004). Kedua bentuk komunikasi ini sama-sama melibatkan dua pihak yaitu pendengar dan pembicara untuk komunikasi lisan dan untuk komunikasi tulisan pihak itu adalah pembaca dan penulis.

(10)

pembicara sebelumnya. Salah satu contoh komunikasi lisan ini adalah percakapan melalui telepon.

Acara Jou-Jou Tano Batak (selanjutnya disingkat dengan JJTB) merupakan salah satu acara radio yang disiarkan oleh stasiun radio Karisma yang terletak di kabupaten Toba Samosir, tepatnya di Balige. Acara ini dipancarluaskan dari gelombang 89,80 FM dan disiarkan setiap hari pada pukul 12.00-14.00 WIB.

Acara JJTB yang menggunakan bahasa Batak Toba (selanjutnya disingkat dengan BBT), berisikan percakapan antara seorang penyiar yang memandu acara JJTB dengan seorang pendengar yang bergabung melalui sambungan telepon. Pendengar yang bergabung melalui sambungan telepon tersebut akan disebut sebagai peserta saja. Percakapan antara penyiar dan peserta merupakan percakapan yang telah menyepakati topik pembicaraan terlebih dahulu. Hal itu terbukti dari ujaran penyiar ketika memulai acara JJTB.

Adapun topik dari percakapan itu adalah perkenalan, meminta lagu (request) dan menyampaikan salam kepada pendengar lain. Penyiar ingin mengetahui identitas dari peserta dan peserta menginginkan sebuah lagu untuk diputar serta diberi kesempatan untuk menyampaikan salam kepada teman-temannya.

(11)

setuju sehingga pihak yang tidak setuju ini membutuhkan suatu cara untuk mengembalikan topik pembicaraan ke topik yang disepakati. Dalam kondisi seperti inilah dibutuhkan strategi percakapan. Bahkan penyiar dan peserta yang ingin membicarakan topik di luar dari topik yang sudah disepakati, juga memerlukan strategi percakapan agar lawan bicaranya tidak tersinggung atau terkejut ketika topik dialihkan.

Contoh: 1. Data Percakapan 25. JJTB, 18 Mei 2007. Penyiar (PY) adalah Karina dan peserta (PR) adalah Kevin.

PY: “Mangido lagu aha Ito?” Minta lagu apa Ito? ‘Minta lagu apa Ito?’

PR: “Trio Lamtama, Cintaki Holan tu Ho.” Trio lamtama, Cintaki Holan tu Ho.

‘(lagu) Trio Lamtama, Cintaki Holan tu Ho.’ PY: “Ndang adong, Ito.”

Tidak ada, Ito.

‘Lagunya (Cintaki Holan tu Ho), tidak ada.’ PR: “Molo ndang

Fungsi strategi percakapan bukan hanya mewujudkan tujuan pembicaraan tetapi meliputi cara memulai dan mengakhiri sebuah percakapan. Dalam percakapan bertemu muka, strategi ini mungkin didukung dengan bahasa tubuh dari peserta percakapan. Seseorang yang sering melihat jam tangannya saat berbincang-bincang,

, cintaku holan tu Ito pe taho. Boi do Ito?”

Kalau tidak, cintaku hanya untuk Ito PK bolehlah. Bisa PA Ito? ‘Kalau tidak, cintaku hanya untuk Ito sajalah. Bisa kan Ito?’ PY: “Adong dope sidohononni Ito?”

Ada masih dikatakakan Ito?

(12)

mungkin dapat kita tafsirkan makna dari tindakannya itu, misalnya dia akan segera mengakhiri pembicaraan. Namun, dalam percakapan acara JJTB, hal itu tidak mungkin dijumpai karena peserta percakapan tidak bertemu muka sehingga segala sesuatu yang diperlukan dalam percakapan itu akan dinyatakan secara verbal.

JJTB sebagai acara yang menggunakan BBT secara tidak langsung telah membantu perkembangan BBT. Acara ini sangat diminati oleh masyarakat Batak Toba. Hal ini terbukti dari keberadaan acara ini yang telah bertahan selama belasan tahun. Inilah salah satu alasan penulis mengkaji JJTB sebagai bahan penelitian.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui strategi percakapan yang dipergunakan oleh penyiar dan peserta dalam acara JJTB. Strategi percakapan ini membahas proses mengawali dan mengakhiri pembicaraan, cara pengambilan giliran bicara, cara membetulkan ujaran-ujaran yang tidak jelas serta cara mengembalikan serta mengalihkan topik. Selanjutnya, percakapan yang dilakukan oleh penyiar maupun peserta akan dikaji berdasarkan kaidah pertuturan.

Penelitian sebelumnya pernah dilakukan Josefino. S (2005) dalam bahasa Minangkabau, dalam jurnalnya yang berjudul Gambit Percakapan Minangkabau

dalam ‘Pesona Bapantun’. Beliau membahas strategi percakapan Minangkabau

(13)

yang berjudul Pragmatik Bahasa Indonesia juga telah meneliti percakapan bahasa Indonesia.

1.1.2 Masalah

Adapun masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah strategi percakapan BBT dalam acara JJTB?

2. Sejauh manakah kerja sama antara penyiar dan peserta untuk melakukan percakapan dalam acara JJTB?

1.2Batasan Masalah

Adapun masalah yang akan dianalisis dalam penelitian ini mencakup bagaimana strategi percakapan yang dilakukan seorang penyiar dan peserta. Strategi ini meliputi cara mengawali dan mengakhiri pembicaraan, cara pengambilan giliran bicara, cara membetulkan ujaran-ujaran yang tidak jelas serta cara mengembalikan serta mengalihkan topik. Selanjutnya, percakapan yang dilakukan oleh penyiar dan peserta akan dikaji berdasarkan kaidah pertuturan.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui strategi percakapan BBT yang terdapat dalam acara JJTB.

2. Mengetahui sejauh mana kerja sama antara penyiar dan peserta untuk melakukan percakapan dalam acara JJTB.

(14)

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Menambah wawasan pengetahuan pembaca dan penulis tentang kebahasaan khususnya tentang strategi percakapan.

2. Memberi deskripsi tentang strategi percakapan BBT secara mendalam

3. Masukan bagi peneliti lain yang ingin membicarakan strategi percakapan BBT.

1.4 Metode Penelitian

1.4.1 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan penulis dengan menggunakan metode simak, karena cara yang digunakan untuk memperoleh data adalah menyimak penggunaan bahasa yang diteliti (Mahsun, 2005: 90), yaitu dalam BBT dalam acara JJTB. Penyimakan ini dilakukan setelah semua percakapan penyiar dan peserta terekam dalam bentuk pita kaset. Untuk merekam data ini diperlukan teknik rekam yang alat bantunya adalah tape recorder (Sudaryanto, 1997:133). Data yang direkam adalah percakapan penyiar dan peserta dari tanggal 14 Mei 2007 – 14 Juni 2007. Selanjutnya teknik rekam ini dilanjutkan dengan teknik catat. Data yang telah terekam itu kemudian ditranskripsikan dalam bentuk tulisan. Setelah itu penulis,

mengelompokkan data tersebut berdasarkan tujuan dari penelitian ini.

1.4.2 Metode Analisis Data

(15)

metode padan pragmatik, yaitu metode yang alat penentunya lawan bicara. Lawan bicara akan menimbulkan reaksi seperti berkomunikasi dengan seinformatif mungkin. Analisis data dilakukan dengan menghubungkan data penelitian dengan konteksnya. Contoh: 2. Data Percakapan 27. JJTB, 20 Mei 2007. Penyiar (PY) adalah Hendrik, dan peserta(PR) adalah Nusa.

PY : “Lagu aha di ho, Nusa?” Lagu apa di kamu, Nusa? ‘Lagu apa sama kamu, Nusa?’ PR : “Didia Rongkapi. Adong Abang?

Didia Rongkapi. Ada Abang?

‘Didia Rongkapi. Ada Bang?’

PY : “Ba, naso dapot dope rongkapmu Nusa?” VK, belum dapat juga jodohmu Nusa? ‘Ya, belum ketemu juga jodohmu, Nusa?’

PR: “Dang dapot dope, Bang. Adong do lagu i Bang?” Belum dapat juga, Bang. Ada PA lagu itu Bang? ‘Belum dapat juga Bang. Ada tidak lagunya Bang?’ PY: “Adong. Adong huputar pe annon.”

Ada. Ada saya-siar PK nanti. ‘Ada, ada. Nanti saya siarkan.’

Pada contoh cuplikan di atas peserta meminta sebuah lagu dengan judul Didia

Rongkapi. Peserta menanyakan apakah judul lagu yang dimintanya itu ada atau tidak.

(16)

dari pandangan peserta tesebut, biaya telepon yang ia keluarkan untuk acara ini akan jauh lebih banyak atau mungkin dengan alasan lain sehingga dia langsung menanggapi pertanyaan penyiar dengan seinformatif mungkin, Ndang dapot dope,

Bang dan kembali menanyakan topik semula Adong do lagu i, Bang?. Ini salah satu

strategi yang digunakan untuk mengembalikan topik percakapan yang telah disepakati.

Apabila dilihat percakapan penyiar dan peserta pada contoh di atas, maka dapat dikatakan ada percakapan yang seolah-olah tidak memiliki hubungan semantik. Peserta menanyakan sebuah judul lagu kepada penyiar Didia Rongkapi. Adong

Abang? ‘Didia Rongkapi. Ada Bang?’. Namun, penyiar menjawabnya dengan

pertanyaan yang isinya menanyakan jodoh peserta Ba, naso dapot dope rongkapmu

Nusa? ‘Ya, belum ketemu juga jodohmu, Nusa?’. Bila kedua ujaran itu tidak

dihubungkan dengan konteksnya, akan sulit menerima kedua ujaran itu sebagai satu kesatuan dalam percakapan. Akan tetapi, jika kedua ujaran itu dibahas berdasarkan kaidah pertuturan, keduanya memiliki hubungan semantik.

Makna dasar kedua ujaran itu adalah seorang peserta bertanya kepada penyiar tentang sebuah lagu dengan judul ‘Didia Rongkapi’. Saat penyiar mendengar pertanyaan itu, ia memberikan jawaban berupa pertanyaan yang isinya menanyakan jodoh peserta.

(17)

sesuai dengan topik yang dibicarakan. Jika salah satu maksim dari prinsip kerja sama tidak dipenuhi maka ujaran itu memiliki implikasi.

Kemungkinan implikasi ujaran itu adalah usaha penyiar untuk mengalihkan topik karena kemungkinan judul lagu yang diminta peserta tidak ada. Atau implikasi yang lain adalah senda gurau penyiar kepada peserta.

Namun, bila ujaran itu dihubungkan dengan konteksnya maka implikaturnya adalah senda gurau penyiar kepada peserta. Peserta meminta sebuah lagu yang didalamnya menceritakan tentang jodoh yang belum ditemukan. Penyiar menyangka orang yang belum meminta lagu itu kemungkinan besar adalah orang yang belum menemukan jodohnya sehingga dia mencoba memastikan perkiraannya itu dengan mengajukan pertanyaan kepada peserta dengan cara bersenda gurau.

1.5 Landasan Teori

1.5.1 Wacana

Wacana merupakan penggunaan bahasa dalam komunikasi baik lisan maupun tulisan (Brown dan Yule, 1983). Wacana yang dimaksudkan adalah satu kesatuan semantik dan bukan kesatuan gramatikal. Kesatuannya dilihat dari kesatuan maknanya bukan dari bentuknya (morfem, klausa, kata atau kalimat)

(18)

bahasa lisan. Wacana lisan ini misalnya khotbah (spontan), percakapan telepon, siaran langsung acara radio, tv.

Dalam komunikasi lisan, makna dari setiap ujaran sangat dipengaruhi oleh konteks. Wacana lisan hanya bersifat temporer yang fana (artinya setelah diucapkan langsung hilang) penafsirannya harus melibatkan konteks ketika ujaran diucapkan.

Bidang ilmu yang mengkaji wacana ini adalah analisis wacana. Ini didukung oleh pendapat Stubbs (dalam Rani dkk 2004: 9) menjelaskan bahwa analisis wacana menekankan kajian penggunaan bahasa dalam konteks sosial, khususnya dalam interaksi antarpenutur. Kajiannya meliputi penggunaan bahasa lisan dan bahasa tulis. Cook (1986) juga mengatakan bahwa analisis wacana merupakan kajian yang membahas wacana.

1.5.2 Analisis Percakapan dan Pragmatik

Analisis percakapan sebagai salah satu cabang dari analisis wacana merupakan kajian yang membahas teks lisan yang berupa percakapan. Menurut J S Parera:

Analisis percakapan tidak mempersoalkan apa yang menjadi isi pembicaran bagaimana cara penyampaian isi dari percakapan itu. Analisis hanya akan membahas bagaimana pengelolaan suatu percakapan agar tercapai tujuan percakapan, yakni berbagai informasi dan hubungan yang baik.

(19)

Setting meliputi waktu dan tempat situasi itu terjadi. Kegiatan merupakan semua tingkah laku yang terjadi dalam interaksi berbahasa. Salah satu kegiatan adalah berbahasa itu sendiri. Akan tetapi, yang termasuk dalam kegiatan itu juga interaksi nonverbal antarpenutur. Relasi meliputi hubungan antara peserta bicara dan tutur. Hubungan itu dapat ditentukan oleh jenis kelamin, umur, kedudukan dan sebagainya.

Menurut Brown dan Yule (1983) untuk menganalisis wacana, seharusnya menggunakan pendekatan pragmatik untuk memahami penggunaan bahasa. Sebagai contoh, penganalisis wacana haruslah mempertimbangkan konteks tempat terdapatnya bagian sebuah wacana.

Bidang ilmu yang mengkaji bahasa dan konteksnya adalah pragmatik (Leech, 1993) Pragmatik adalah ilmu yang mempelajari makna dari sebuah ujaran dalam situasi tertentu. Sementara itu, Harimurti Kridalaksana dalam Kamus Linguistik (1983: 137) mengatakan, pragmatik adalah syarat-syarat yang mengakibatkan serasi/tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi dan ilmu yang menyelidiki pertuturan, konteks dan maknanya.

1.5.2.1Strategi Percakapan

(20)

melanjutkannya dengan topik yang ingin dibicarakan. Kalimat yang dimulai dengan kata-kata omong-omong ini merupakan cara pembicara untuk mendapatkan informasi lain karena informasi dari topik sebelumnya sudah cukup atau mungkin sudah tidak menarik lagi dibicarakan.

Keller (Richard, 1995), mendefinisikan strategi percakapan sebagai hal-hal yang digunakan oleh seorang penutur untuk menyatakan maksudnya kepada penutur lain, seperti dalam kutipan berikut ini.

Gambits adalah sarana percakapan untuk menyampaikan apa yang kita bicarakan. Kita menggunakannya setiap hari pada berbagai situasi. Misalnya, ketika kita ingin menyatakan suatu pendapat, kita dapat berkata, ‘I, think that…’ (saya pikir). Ketika ingin menyampaikan suatu hal yang tidak menyenangkan, kita dapat berkata, ‘Whether we like or not’ (Suka atau tidak, kita…’ dan ketika kita ingin menghentikan percakapan, kita dapat mengatakan,

Well, it was nice talking to you’ (ya, sangat menyenangkan

berbincang-bincang dengan anda) (Richard, 1995: 18).

Hal ini juga dinyatakan oleh Josefino S. dalam Gambit percakapan Minangkabau dalam acara ‘Pesona Bapantun’.

Pada hakekatnya, ketika seseorang berbicara, dia tidak semata-mata mengucapkan kata-kata dari alat ucapnya. Akan tetapi lebih dari itu, dia melakukan sesuatu pada saat yang bersamaan, misalnya memberi salam (menyapa), memberi selamat, mengundang, mengkritik, menyinggung bahkan mengakhiri pembicaraan itu sendiri. Inilah yang disebut dengan strategi percakapan (Josefino, 2004: 24-25).

(21)

1. Cara Memulai dan Mengakhiri Percakapan

Percakapan tidak dimulai dan diakhiri secara sederhana. Pembukaan dan penutupan percakapan dan isi percakapan disusun sedemikian rupa serta berurutan (Richard, 1997). Seorang dosen mungkin akan mengawali percakapan dengan ‘selamat pagi’ dan mengakhirinya dengan ‘baiklah, sampai bertemu

minggu depan’. Namun, tidak semua percakapan dimulai dan diakhiri seperti

contoh itu. Bagaimana percakapan diawali dan diakhiri disebut dengan pembukaan dan penutupan.

Hal ini juga didukung oleh pendapat Dawson (Josefino, 2004), yang mengatakan bahwa strategi percakapan antara lain terdiri dari strategi awal dan akhir. Strategi awal berhubungan dengan salam yang diucapkan oleh masing-masing peserta percakapan dalam memulai sebuah percakapan. Strategi akhir merupakan langkah-langkah yang diambil oleh peserta percakapan untuk mengakhiri percakapan. Pada saat mengambil keputusan untuk menutup percakapan pun seseorang akan tetap mempertimbangkan nilai-nilai kesopanan agar mitra tuturnya tidak merasa tersinggung dengan keputusannya itu.

2. Cara Pengambilan Giliran bicara

(22)

ini kemungkinan akan tersinggung atau suasana percakapan tidak menyenangkan.

Rebutan bicara terjadi karena peserta percakapan tidak mengetahui tugas mereka dalam sebuah percakapan. Kenan dan Schieffelin (dalam Rani dkk. 2004: 36) mengidentifikasi tugas peserta dialog dalam percakapan.

Tugas pendengar adalah sebagai berikut: 1. memperhatikan ujaran pembicara

2. memahami ujaran pembicara

3. mengidentifikasi objek, individu, ide, peristiwa dan lain-lain yang mempunyai peranan dalam penentuan topik. Selanjutnya tugas seorang pembicara adalah sebagai berikut: 1. pembicara harus mengucapkan ujaran dengan jelas

2. pembicara harus menjaga agar perhatian pendengar tetap tinggi

3. pembicara harus menyediakan informasi yang memadai bagi pendengar untuk mengidentifikasi objek dan hal lain sebagai bagain dari topik.

4. pembicara harus menyediakan informasi yang memadai bagi pendengar untuk merekontruksikan hubungan semantis antara referensi dalam topik.

Pengambilan ‘giliran bicara’ (turn taking) biasanya menggunakan pasangan berdampingan. Pasangan berdampingan ini terdiri atas dua ujaran yaitu: ujaran pertama dan ujaran kedua. Ujaran pertama merupakan ujaran penggerak atau pemicu ujaran kedua. Ujaran kedua merupakan tindak lanjut atau tanggapan atas ujaran pertama Pasangan berdampingan ini merupakan salah satu strategi yang digunakan oleh setiap peserta agar tidak terjadi rebutan bicara (Richard, 1995).

(23)

panggilan-jawaban, keluhan-bantahan, keluhan-permohonan maaf, permintaan-pemersilahkan, permintaan informasi-pemberian, permintaan-penerimaan, penawaran-penolakan. Namun, dalam kasus-kasus tertentu bukan tidak mungkin ditemukan pola pasangan yang berbeda.

Selain pengambilan giliran bicara yang mengikuti pasangan berdampingan, terdapat cara mengambil alih giliran bicara (Rani dkk. 2004: 215-218), yaitu sebagai berikut.

a. Memperoleh yaitu suatu cara mengambil alih giliran bicara yang diberikan oleh pembicara terdahulu. Dalam hal ini, pembicara terdahulu memberikan kesempatan bicara pada mitra tuturnya agar segera mengambil alih giliran bicara.

b. Mencuri yaitu cara mengambil alih giliran bicara pada waktu pembicara yang terdahulu memberikan kesempatan bicara pada mitra tuturnya agar segera mengambil alih giliran bicara.

c. Merebut yaitu cara mengambil alih giliran bicara pada saat pembicara terdahulu sedang berbicara dan masih ingin melanjutkannya.

d. Mengganti yaitu cara mengambil alih giliran bicara dengan cara mengganti atau melanjutkan bicara mitra tuturnya karena mitra tuturnya tidak mampu meneruskan bicara.

(24)

f. Melanjutkan yaitu cara mengambil alih giliran bicara karena mitra tuturnya tidak memanfaatkan kesempatan yang diberikan.

3. Cara Membetulkan Ujaran-Ujaran yang Tidak Jelas

Cara membetulkan ujaran-ujaran yang tidak jelas merupakan usaha penutur dan petutur untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam suatu percakapan. Pembetulan atau usaha memperbaiki kesalahan dalam percakapan yang dilakukan oleh pembicara sendiri ditandai baik dengan cara linguistik maupun ekstralinguistik.

Konsep pembetulan dalam percakapan dapat juga diperluas dengan memasukkan strategi komunikasi (Richard, 1995). Strategi ini menurut Terone dan Swain adalah pembetulan atas inisiatif atau permintaan orang lain untuk mengekspresikan konsep yang belum diketahui dalam bahasa tertentu (Purba, 2002 :105). Strategi-strategi ini mencakup:

a. Pendekatan.

Menggunakan kata yang maknanya hampir mirip. Dalam bahasa Indonesia kata mengecap diganti dengan kata mencicipi.

b. Penemuan kata.

Kata yang diciptakan pembicara karena kurangnya pengetahuannya terhadap bahasa tertentu. Kata mixer digantikan oleh kata pencampur.

(25)

Sebuah kata digantikan oleh kata yang lain karena kata itu tidak diketaui dalam bahasa sasaran. Untuk mengatakan rak buku diganti dengan

tempat buku.

d. Peminjaman kata.

Sebuah kata dari bahasa ibu dapat mengganti kata yang tidak diingat dalam bahasa sasaran.

e. Peragaan.

Kata dapat diperagakan dengan gerakan, misalnya kata terbang diperagakan dengan membentangkan tangan.

f. Pergantian topik dilakukan jika pembicara merasa kurang mampu untuk mendiskusikan suatu topik.

g. Penghindaran topik. Hal ini dapat dilakukan agar lawan bicara berbicara dengan struktur yang lebih mudah dipahami.

4. Cara Mengembalikan dan Mengalihkan Topik

Cara bagaimana topik dipilih untuk dibicarakan dan strategi yang digunakan oleh penutur dalam menyampaikan, mengembangkan atau mengubah topik dalam suatu percakapan merupakan dimensi yang penting dalam suatu percakapan (Richard, 1995: 15).

(26)

bahasa Indonesia akan menggunakan kalimat yang dimulai dengan, ‘kembali pada topik yang kita…’.

Istilah topik wacana sering dikacaukan dengan konsep topik dalam tata kalimat. Menurut Samsuri (1998), topik dalam kalimat adalah bagian yang difokuskan dan yang diterangkan oleh bagian yang lain. Topik dalam kalimat sejajar dengan pengertian subjek dan predikat. Dalam konteks wacana, topik merupakan suatu ide atau hal yang dibicarakan dan dikembangkan sehingga membenntuk suatu wacana.

Analisis topik dalam wacana tidak cukup dengan menganalisis sebuah kalimat. Topik dapat diidentifikasi apabila sudah memahami konteks wacana yang mendukungnya. Menurut Brown dan Yule (1983: 68-83), untuk menganalisis topik wacana diperlukan setidak-tidaknya satu penggal wacana.

Dan untuk menentukan kapan penggalan wacana itu dimulai dan diakhiri merupakan hal yang sangat rumit. Untuk menentukan penggalan wacana lebih banyak ditentukan oleh intuisi seperti dikatakan oleh Brown dan Yule (1983: 69).

1.5.2.2Kaidah Pertuturan

Orang-orang yang bergabung dalam suatu percakapan, dapat saling berbagi prinsip-prinsip umun yang membuat mereka dapat saling menginterpretasikan ujaran-ujaran yang mereka hasilkan. (Richard 1995: 3-4)

Contoh: A: “Berapakah harga blus itu?”

(27)

Untuk menginterpretasikan dan memahami kalimat B, kita perlu mengkaitkannya dengan kalimat A. Salah satu asumsi dalam percakapan adalah bila saya menanyakan pada anda, maka apapun yang anda katakan akan diinterpretasikan sebagai jawaban terhadapap pertanyaan saya. Pada kasus di atas, meskipun B tidak menjawab pertanyaan A, penghindaran terhadap jawaban yang diminta tetap diinterpretasikan sebagai jawaban. Dalam hal ini, ujaran B memiliki implikatur.

Konsep implikatur pertama sekali dikenalkan oleh H.P Grice (1975), untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur digunakan untuk memperhitungkan hal yang disarankan atau yang dimaksud penutur sebagai hal yang berbeda dari hal yang dinyatakan secara harfiah (Brown dan Yule, 1983: 31). Sebagai contoh, kalau ada ujaran

Ruangan ini panas, ya!, maka secara implisit penutur menghendaki agar kipas angin

atau AC dihidupkan agar dapat mengurangi panas dalam ruangan.

Seseorang dapat memahami makna ujaran yang berimplikatur jika memiliki pengetahuan. Pengetahuan untuk menentukan makna tersebut adalah kaidah pertuturan. Menurut, Searle dan Fraser ( dalam Soemarmo, 1988: 39), kaidah pertuturan itu terdiri dari:

1. Penentuan makna dasar dari ucapan.

Makna dasar ini berhubungan dengan makna sebenarnya tanpa melihat konteks kalimatnya.

(28)

Percakapan yang baik adalah percakapan yang sesuai dengan prinsip kerja sama yang dinyatakan oleh Grice (Leech, 1993: 11). Menurut Grice kerja sama sangat diperlukan agar dapat menggunakan bahasa secara efektif dan efisien. Penggunaan bahasa seperti ini memerlukan prinsip kerja sama dan empat prinsip percakapan.

Prinsip kerja sama mengatakan: ‘katakan apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan sesuai dengan tujuan percakapan. Prinsip ini dinyatakan dalam empat prinsip/maksim, yaitu:

a. Maksim kuantitas

Maksim ini menyatakan bahwa setiap penutur harus menggunakan bahasa yang pas, tidak lebih dan tidak kurang, untuk siapa disampaikan dan apa tujuannya.

b. Maksim kualitas

Maksim kualitas mengatakan “usahakan agar sumbangan informasi anda benar”.

c. Maksim hubungan

(29)

memberi jawaban yang ada relevansinya dengan pertanyaan; ada relevansi antara pertanyaan dengan jawaban.

d. Maksim cara

Maksim cara mengatakan “ usahakan perkataan anda mudah dimengerti”.

Jika salah satu dari empat maksim ini tidak dipenuhi oleh sebuah ujaran maka dapat diputuskan bahwa ujaran itu memiliki implikatur.

b. Nilai evaluatifnya.

Nilai evaluatif yang dimaksud adalah makna dibalik ujaran tersebut. Hal ini dapat diketahui jika ujaran tersebut dihubungkan dengan konteksnya. c. Kemungkinan kesimpulannya.

Kesimpulan dari ujaran itu dapat diketahui dari ilokusi ujaran. Pendengar ujaran akan menanggapi ujaran itu sesuai dengan makna yang diterimanya.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Strategi Percakapan BBT

(30)

Cara yang paling umum dalam memulai sebuah percakapan adalah dengan sebuah ucapan salam salam. Biasanya salam ini akan dibalas juga dengan salam. Oleh karena itu, pola salam-salam menjadi cara yang paling umum untuk memulai percakapan.

Pola sapaan-sapaan ini juga cukup banyak ditemukan dalam BBT acara JJTB. Pada contoh (3), penyiar maupun peserta sama-sama menggunakan kata horas

karisma ‘selamat karisma’ untuk menyapa lawan lawan bicaranya. Kata horas

merupakan ucapan salam yang maknanya menyatakan selamat. Kata karisma merupakan nama radio yang menyiarkan acara JJTB.

Contoh: 3. Data Percakapan 1. Untuk data percakapan, Penyiar akan disingkat dengan PY dan peserta akan disingkat dengan PR.

PY: “Horas Karisma!” Selamat Karisma. ‘Selamat Karisma!’

PR: “Horas Karisma Tulang!” Selamat Karisma Paman! ‘Selamat Karisma Paman!’ PY: “Horas ma tutu!”

Selamat PN benar!

‘Selamat juga!’ Kata tulang ‘paman’ merupakan kata sapaan yang dipergunakan oleh peserta

(31)

yang semarga dengan ibu kita. Kata sapaan tulang ‘paman’ ini dapat digunakan oleh perempuan maupun laki-laki.

Dalam acara JJTB, penyiar yang disapa dengan tulang ‘paman’, akan balik menyapa peserta dengan menyebut nama peserta setelah peserta memberitahukan namanya.

Contoh: 4. Data Percakapan 1. PY: “Horas Karisma!” Selamat Karisma. ‘Selamat Karisma!’

PR: “Horas Karisma Tulang!” Selamat Karisma Paman! ‘Selamat Karisma Paman!’ PY: “Horas ma tutu!”

Selamat PN benar!

‘Selamat juga!’ PR: “Dohot si Tika do on, Tulang.

Dengan si Tika PA ini Paman. ‘Ini dengan Tika Paman.’ PY: “Baen Tika!”

Buat Tika! ‘Silahkan Tika!’

Selain menggunakan nama peserta, penyiar juga menyapa peserta dengan

amang boru, bere. Pada contoh (5), tampak peserta menyapa penyiar dengan tulang

(32)

perempuan maupun laki-laki. Dalam bahasa Indonesia kata amang boru ini dapat disejajarkan maknanya dengan kata paman.

Contoh: 5. Data Percakapan 4. PY: “Horas Karisma!” Selamat Karisma! ‘Selamat Karisma!’

PR: “Horas Karisma Tulang!” Selamat Karisma Paman! ‘Selamat Karisma Paman!’ PY: “Horas Amang Boru!” Selamat Paman!

‘Selamat Paman!’ Dalam acara JJTB, penyiar juga menyapa peserta dengan sebutan bere. Dalam

sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba, ketika si A menyapa tulangnya maka yang disapa akan menjawab dengan sapaan bere.

Contoh: 6. Data Percakapan 6. PY: “Horas Karisma!” Selamat Karisma! ‘Selamat Karisma!’

PR: “Horas Karisma Tulang!” Selamat Karisma Paman! ‘Selamat Karisma Paman!’ PY: “Horas Bere!”

Selamat Kemenakan! ‘Selamat Kemenakan!’

(33)

lae adalah sapaan laki-laki kepada suami saudara perempuannya atau sebaliknya.

Sapaan ini hanya digunakan oleh sesama laki-laki. Namun, dalam kehidupan sehari-hari kata lae ini, sering digunakan oleh laki-laki yang belum saling mengenal yang usianya hampir sama.

Contoh: 7. Data Percakapan 2. PY: “Horas Karisma!” Selamat Karisma! ‘Selamat Karisma!’ PR: “Horas Karisma Lae!” Selamat Karisma Ipar! ‘Selamat Karisma Ipar!’ PY: “Horas ma tutu.” Selamat PN benar. ‘Selamat juga.’

PR: “Ama Marikson Sitorus di Lumban Lobu.” Bapak Marikson Sitorus di Lumban Lobu. ‘Bapak Marikson Sitorus di Lumban Lobu.’ PY: “Iya. Hatahon Lae Marikson!”

Ya. Katakanlah Ipar Marikson! ‘Ya. Katakanlah Ipar Marikson!’

Dalam acara JJTB, peserta perempuan biasanya menyapa penyiar dengan sapaan Ito. Kata ito merupakan sapaan laki-laki atau perempuan kepada saudaranya yang tidak sama jenis kelaminnya atau sebutan kepada saudara semarga. Namun, sapaan ini juga telah digunakan untuk menyapa saudara yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan, seperti percakapan penyiar dan peserta berikut ini.

(34)

‘Selamat Karisma!’ PR: “Horas Ito!”

Selamat Saudara! ‘Selamat Saudara!’

PY: “Horas ma Ito! Mm… nga boa kabar Ito?” Selamat PN Saudara! Sudah bagaimana kabar Saudara? ‘Selamat Saudara! Bagaimana kabarnya, Saudara?’ PR: “Sehat do sude Ito.”

Sehat PA semua Saudara. ‘Semuanya sehat, Saudara.’

Biasanya dalam acara JJTB, yang pertama memberi sapaan adalah peserta seperti beberapa contoh di atas. Hal itu dapat kita terima karena peserta tersebut tentunya sudah mengenal penyiar sebelum dia bergabung melalui telepon. Namun, ada juga data yang menunjukkan bahwa yang pertama sekali menyapa adalah penyiar.

Contoh: 9. Data Percakapan 3. PY: “Horas Karisma!” Selamat Karisma! ‘Selamat Karisma!’ PR: “Horas Karisma!” Selamat Karisma! ‘Selamat Karisma!’ PY: “Horas ma inang!” Selamat PN Bu! ‘Selamat Bu!’

(35)

Selain, menggunakan sapaan dalam BBT, ternyata ditemukan juga bentuk sapaan dalam bahasa Indonesia. Kata sapaan dalam contoh (10) dan contoh (11) berikut menggunakan kata sapaan abang dan kakak.

Contoh: 10. Data Percakapan 5. PY: “Horas Karisma!” Selamat Karisma! ‘Selamat Karisma!’ PR: “Horas Karisma Bang!” Selamat Karisma Bang! ‘Selamat Karisma Bang!’ PY: “Horas ma tutu!”

Selamat PN benar! ‘Selamat juga!’

Contoh: 11. Data percakapan 24. PY: “Hallo, e…selamat Karisma!” Hallo, e…selamat Karisma!

‘Hallo, e… selamat Karisma!’ PR: “Horas Karisma!”

Selamat Karisma! ‘Selamat Karisma!’

Mengingat percakapan penyiar dan peserta melalui telepon, maka yang pertama sekali memulai percakapan adalah penyiar seperti pada contoh-contoh di atas, walaupun tak tertutup kemungkinan yang memulai percakapan adalah peserta, seperti pada contoh berikut.

(36)

PY: “Horas ma tutu!” Selamat PN benar! ‘Selamat juga!’

Sekarang, yang menjadi persoalan adalah siapakah yang memulai percakapan ke bagian isi. Beberapa data menunjukkan bahwa yang memulainya adalah peserta. Biasanya peserta yang lebih aktif dalam menginformasikan identitas atau menanyakan hal yang lain.

Pada contoh (13), yang memulai mengalihkan percakapan ke isi percakapan adalah peserta dengan menginformasikan identitasnya, walaupun tidak ditanyakan oleh penyiar.

Contoh: 13. Data Percakapan 1. PY: “Horas Karisma!” Selamat Karisma. ‘Selamat Karisma!’

PR: “Horas Karisma Tulang!” Selamat Karisma Paman! ‘Selamat Karisma Paman!’ PY: “Horas ma tutu!”

Selamat PN benar!

‘Selamat juga!’ PR: “Dohot si Tika do on, Tulang.

Dengan si Tika PA ini, Paman. ‘Ini dengan Tika Paman.’

PY: “Baen Tika!” Buat Tika! ‘Silahkan Tika!’

(37)

Namun, kadang-kadang yang memulai mengalihkan topik percakapan adalah penyiar sendiri. Bentuk percakapan seperti contoh (14) terjadi, jika penyiar telah memberi kesempatan bicara kapada peserta. Namun, peserta tidak memanfaatkannya sehingga penyiar memutuskan untuk mengambil alihnya. Bentuk percakapan ini biasanya ditandai oleh adanya kesenyapan yang panjang (situasi dimana tidak ada yang berbicara) antara ujaran penyiar dan peserta. Ujaran penyiar yang menanyakan

dohot ise on? ‘dengan siapa ini?’ merupakan salah satu strategi penyiar agar peserta

mau memberitahukan namanya. Contoh: 14. Data Percakapan 19. PY: “Horas Karisma!” Selamat Karisma! ‘Selamat Karisma!’ PR: “Horas Karisma!” Selamat Karisma! ‘Selamat Karisma!’ PY: “Dohot ise?” Dengan siapa? ‘Dengan siapa?’ PR: “Hendra Nainggolan. PY: “Didia tahe Hendra?” Dimana VP Hendra? ‘Dimana tadi, Hendra?’ PR: “Hendro.”

(38)

Namun, sebelum sampai pada pola salam penutup-salam penutup itu, biasanya ditandai oleh prapenutup.

Pada contoh (15), ada dua kalimat yang digunakan untuk menutup percakapan. Dalam hal ini, yang mengucapkan prapenutup adalah peserta yaitu kata

jai ‘jadi’ pada ujaran Jai, tu Abang selamat tugas ma da ‘Jadi, untuk Abang

selamat tugaslah.’.

Contoh: 15. Data Percakapan 11.

PR: “Jai, lagu on holan tu Itoan i. Ndang pola dohot pendengar na lain.” Jadi lagu ini hanya untuk pria itu. Tidak usah ikut pendengar yang lain. ‘Jadi, lagu ini hanya untuk pacarku. Pendengar yang lain tidak usah ikut

(mendengarkan).’

PY: “Boa ma bahenonmu ndang begeon na. Songon dia ma carana?” Bagaimana PN kamu-buat tidak didengar nya. Seperti mana PN cara-nya? ‘Bagaimana caramu agar tidak didengar (pendengar)? Bagaimana caranya?’ PR: “Ditutup pinggolna.”

Ditutup telinganya.

‘Telinganya (pendengar yang lain) ditutup.’ PY: “Molo olo halaki.”

Kalau mau orang itu.

‘Jika (pendengar) mau (menutup telinganya).’ PR: “Jai, tu Abang selamat tugas da!”

Jadi, untuk Abang selamat tugas ya! ‘Jadi, untuk Abang selamat tugaslah!’ PY: “Mauliate godang.”

(39)

Prapenutup ini juga memiliki variasi karena pengaruh bahasa Indonesia seperti pada contoh (16). Kata jadi pada contoh di bawah ini merupakan kosa kata dalam bahasa Indonesia.

Contoh: 16. Data Percakapan 22.

PR: “Jadi, tu Lae selamat tugas ma ate!” Jadi, untuk Ipar selamat tugas PN ya! ‘Jadi, untuk Ipar selamat tugas ya!’ PY: “Na uli, mauliate godang ma.” Yang baik, terima kasih banyak PN. ‘Baik, terima kasih banyak ya.’

Selain, prapenutup jai dan jadi, dalam acara JJTB juga ditemukan bentuk prapenutup yang lain. , cara mengakhiri percakapan tidak berbeda jauh dengan contoh (15) dan (16). Bedanya, kalau pada contoh (17), prapenutup yang digunakan adalah tu… ‘untuk’ (menyebutkan sapaan lawan bicara), sedangkan untuk contoh (15) dan (16) menggunakan prapenutup jadi dan jai.

Contoh: 17. Data Percakapan 1.

PR: “Tu Tulang…, selamat tugas da Tulang.” Untuk Paman selamat tugas ya Paman. ‘Untuk Paman…, selamat tugas ya, Paman.’ PY: “Iya, Na uli. Mauliate godang.”

Ya yang baik. terima kasih banyak. ‘Ya, baik. Terima kasih banyak.’

(40)

Contoh: 18. Data Percakapan 3. PR: “Ndang modom hamu Amang?” Tidak tidur kamu Bapak ‘Bapak tidak tidur?’

PY: “Modom? Bodari pe au modom.” Tidur? malam PK saya tidur ‘Tidur? Nanti malam saya tidur.’ PR: “Oke Amang da.”

Oke Pak ya. ‘Oke Pak.’

PY: “Olo, Inang Meri.” Ya Bu Meri. ‘Ya, Bu Meri.’

Selain tidak menggunakan prapenutup, cara mengakhiri percakapan juga sering dinyatakan peserta secara langsung seperti pada contoh (19). Peserta menggunakan kalimat tarsongon i ma jo ate, Tulang! ‘seperti itulah dulu ya, Paman!’, untuk mengakhiri percakapan karena hal yang ingin disampaikan telah terwujud.

Contoh: 19. Data percakapan 4.

PR: “Tarsongon i ma jo ate, Tulang!” Seperti itu PN dulu ya Paman! ‘Sekian dulu ya, Paman!’

PY: “Olo Amang boru.” Ya, Paman. ‘Ya, Paman.’

(41)

Contoh: 20. Data Percakapan 5. PR: “Pasahat tabe da!” Menyampaikan salam ya! ‘Menyampaikan salam ya!’ PY: “Iya.”

ya ‘Ya.’

PR: “Tanta, Maya, Eda Maya, Lasria.” PY: “mm…”

PR: “Mauliate da, Bang.” Terima kasih ya, Bang. ‘Terima kasih ya, Bang.’ PY: “Iya. Na uli.”

Ya. Yang baik. ‘Ya. Baik.’

Cara-cara yang dipergunakan oleh penyiar dan peserta dalam memulai percakapan dan mengakhiri percakapan merupakan strategi percakapan agar percakapan dapat berjalan lancar dan efektif.

2.1.2 Cara Pengambilan Giliran Bicara

2.1.2.1 Pola Salam pembuka-Salam pembuka

Dalam acara JJTB, semua ujaran pembuka dari percakapan penyiar dan peserta biasanya menggunakan pola salam pembuka-salam pembuka. Ujaran ini sudah menjadi kata kunci untuk bergabung dalam acara ini.

Contoh: 21. Data Percakapan 10. PY: “Horas Karisma!”

Selamat Karisma! ‘Selamat Karisma!’

(42)

‘Selamat Karisma, Paman!’ PY: “Horas ma tutu!”

Selamat PN benar!

‘Selamat juga!’ Selain menggunakan horas karisma, penyiar juga menggunakan kata hallo

untuk menyalam peserta. Pola salam pembuka-salam pembuka ini, selain terdapat di awal percakapan terdapat juga di pertengahan percakapan, seperti terlihat pada contoh (22).

Contoh: 22. Data Percakapan 18. PY: “Hallo!”

Hallo! ‘Hallo!’

PR: “Horas Karisma!” Selamat Karisma! ‘Selamat Karisma!’ PY: “Dohot ise on?” Dengan siapa ini? ‘Ini dengan siapa?’

(43)

2.1.2.2 Pola Panggilan-Jawaban

Dalam acara JJTB, pola panggilan-jawaban ini muncul jika peserta tidak dapat mendengar penyiar karena adanya gangguan komunikasi yang diakibatkan oleh buruknya sinyal komunikasi. Contoh (23) berikut menunjukkan komunikasi yang tidak lancar. Peserta dan penyiar membicarakan topik yang berbeda karena peserta tidak dapat mendengarkan suara penyiar. Penyiar yang menanyakan tempat tinggal peserta dan peserta yang menanyakan sebuah judul lagu. Penyiar menyadari keadaan peserta yang tidak mendengar suaranya akhirnya memanggil nama peserta yang akhirnya dijawab oleh peserta.

Contoh: 23. Data Percakapan 8. PY: “Si Eva. Didia ho Eva?” Si Eva. Dimana kamu Eva? ‘Eva. Kamu dimana Eva?’ PR: “Boi manjalo lagu, Tulang?” Bisa meminta lagu, Paman? ‘Bisa meminta lagu, Paman?’ PY: “Didia ho Eva?”

Dimana kamu Eva? ‘Dimana kamu Eva?’

PR: “Ndang huboto judulna.” Tidak saya-tahu judulnya. ‘Saya tidak tahu judul (lagunya).’ PY: “Dibege ho do au mangkatai?” Didengar kamu PA saya berbicara? ‘Kamu mendengar saya bicara?’ PR: “Ha?”

Ha? ‘Ha?’

(44)

Didengar kau PA saya berbicara? ‘Kamu mendengar saya bicara?’ PR: “Ndang huboto judul ni lagu on.” Tidak saya-tahu judul M lagu ini. ‘Saya tidak tahu judul (lagunya).’

PY: “Dibege ho do au mangkatai, Eva?” Didengar kau PA saya berbicara, Eva? ‘Kamu mendengar saya bicara, Eva?’ PR: (diam)

PY: “Eva!” PR: “O, Tulang!” O, Paman! ‘O, Paman!’

Pola panggilan-jawaban ini juga dapat muncul jika peserta tidak puas dengan peserta yang tidak meresponi ujarannya. Saat peserta menyampaikan salam kepada pendengar lain, penyiar terdiam seolah-olah tidak mendengar. Untuk meyakinkan dirinya sendiri, apakah penyiar masih mendengarnya atau komunikasi telah terputus akhirnya peserta memanggil penyiar.

Contoh: 24. Data Percakapan 9.

PR: “Hupasahat ma tabeku tu si Rona, Ramsen…” Saya sampaikan PN salam-saya untuk si Rona, Ramsen… ‘Saya menyampaikan salam untuk Rona, Ramsen…’ PY: (diam)

PR: “Tu Oma, Bapa. Lagukon hupasahat ma tu donganku boru Sirait.” Untuk Ibu, Bapak. Lagu-ini saya-sampaikan PN untuk kawanku marga Sirait. ‘Untuk Ibu, Bapak. Lagu ini saya sampaikan untuk teman saya sesama marga

(45)

‘Paman!’

PY: “Olo. Olo.Tangihon hamu i!” Ya. Ya. Dengarkan kalian itu!

‘Ya. Ya. Kalian dengarkan itu (salamnya)!’ 2.1.2.3 Pola Keluhan-Bantahan

Dalam acara JJTB, pola keluhan-bantahan muncul jika salah satu pihak mengeluh karena sesuatu hal. Sedangkan pihak lain tidak setuju terhadap keluhan lawan bicaranya. Seperti pada contoh (25) berikut yang menunjukkan peserta yang mengeluh karena lagu yang diminta sehari sebelumnya tidak disiarkan oleh penyiar. Tetapi penyiar menolak keluhan itu, karena dia telah menyiarkan lagu untuk peserta tersebut. Walaupun, lagu yang disiarkan itu bukan lagu permintaan peserta yang mengeluh tersebut tetapi lagu itu adalah lagu yang diminta oleh peserta yang bernama Chelsea.

Contoh: 25. Data Percakapan 9.

PR: “Boasa ndang diputar laguku nantoari Tulang?” Mengapa tidak diputar laguku semalam Paman?

‘Mengapa lagu yang saya minta kemarin tidak disiarkan Paman?’

PY: “Huputar do nantoari. Gabe gabung do antong hubaen tu lagu ni Si saya-putar PA semalam. Jadi gabung PA jadi saya-buat untuk lagu M Si Chelsea.”

Chelsea.

‘Lagumu saya putar kemarin. Lagumu saya gabung dengan lagu (permintaan) Chelsea.’

(46)

orang yang terakhir menelepon. Keluhan itu ditanggapi oleh penyiar dengan bantahan secara halus.

Contoh: 26. Data Percakapan 10.

PR: “Boa ma? Nga parpudi iba.” Bagaimana PN? Sudah terakhir aku. ‘Bagaimanalah? saya sudah yang terakhir.’ PY: “Posroham, ndang ho dope na parpudi.” Yakinlah, belum kamu masih yang terakhir.

‘Yakinlah, kamu belum yang terakhir (bergabung dalam acara JJTB).’ 2.1.2.4 Pola Keluhan-Saran

Dalam acara JJTB pola keluhan-saran muncul jika penyiar memberi saran saat peserta mengeluh karena sesuatu hal.

Contoh: 27. Data Percakapan 11. PR: “Na maolan asa masuk.” Yang sulitan supaya masuk.

‘Sulit sekali masuk (bergabung dengan acara JJTB).’ PY: “Pinsiti ma asa pintor masuk.”

Tekani PN supaya cepat masuk.

‘Saya terus menekan (telepon) berkali-kali supaya cepat masuk. Sulit.’ 2.1.2.5 Pola Saran-Bantahan

(47)

Contoh: 28. Data Percakapan 11.

PY: “Pinsiti ma asa pintor masuk.” Tekani PN supaya cepat masuk.

‘Saya terus menekan (telepon) berkali-kali supaya cepat masuk. Sulit.’ PR: “Sai pininsitan do nian asa masuk. Maol do.”

Sudah kutekan PA kiranya supaya masuk. Sulit PA.

‘Sudah kutekan (teleponku) berkali-kali supaya masuk. Sulit.’ 2.1.2.6 Pola Permintaan-Pemersilahkan

Dalam acara JJTB, pola permintaan-pemersilahkan muncul jika peserta ingin menyampaikan salam kepada pendengar lain.

Contoh: 29. Data Percakapan 15.

PR: “Nyamperin da, Tulang!” Menyampaikan salam ya , Paman ‘Menyampaikan salam ya, Paman!’ PY: “Mm…baen!

Buat! ‘Silahkan!’

2.1.2.7 Pola Pemersilahkan-Permintaan

Dalam acara JJTB, selain pola permintaan-pemersilahkan terdapat juga pola pemersilahkan-permintaan. Pola pemersilahkan-permintaan muncul pada saat penyiar mempersilahkan peserta untuk melanjutkan pembicaraan. Dan kesempatan itu

dipergunakan oleh peserta untuk meminta lagu. Contoh: 30. Data Percakapan 10.

(48)

Meminta lagu Paman! ‘Meminta lagu Paman!’ 2.1.2.8 Pola Permintaan-Penolakan

Sebagaimana halnya pola pemersilahkan, pola permintaan-penolakan juga muncul dalam acara JJTB. Biasanya, pola permintaan-permintaan-penolakan ini muncul jika peserta meminta sebuah lagu. Namun, penyiar menolak ujaran peserta karena suatu alasan tertentu.

Contoh: 31. Data Percakapan 12. PR: “Mangido lagu jo Tulang!” Meminta lagu dulu Paman! ‘Meminta lagu dulu, Paman!’

PY: “Ndang boi be ba. Antar lagu mangihut nama hubereng on, Chel! Tidak bisa lagi ya. Seperti lagu mengikut lah kulihat ini, Chel! Tidak bisa lagi. Sepertinya lagu mengikutlah (yang bisa) Chel!’ 2.1.2.9 Pola Penawaran-Penerimaan

Dalam acara JJTB, pola penawaran-penerimaan ini menandakan salah satu pembicara menawarkan sesuatu hal yang kemudian diterima oleh pembicara lain. Penyiar menawarkan sebuah judul lagu yang akan disiarkan ketika peserta meminta sebuah lagu, kemudian tawaran penyiar tersebut diterima oleh peserta.

Contoh: 32. Data Percakapan 1.

PY: “Boa, Molo Marongkap on ma Tika?” Bagaimana, Molo Marongkap ini PN Tika?

‘Bagaimana (kalau lagu) Molo Marongkap saja, Tika?’

(49)

Penawaran ini dapat diterima secara iklas atau secara terpaksa. Pada contoh (32), peserta menerima tawaran penyiar karena dia tidak punya pilihan lain. Namun, kadang-kadang penawaran dari penyiar sama dengan keinginan peserta. Ujaran peserta dalam menerima tawaran penyiar menandakan setuju. Dalam arti dia menerima tawaran itu dengan sepenuh hati, tanpa merasa terpaksa seperti pada contoh (33).

Contoh: 33. Data Percakapan 14. PR: “Jadi, aha nama lagunta?” Jadi, apa lah lagu-kita? ‘Jadi, lagu kita apa?’

PY: “Adong do lagu Hisik-Hisik.” Ada PA lagu Hisik-Hisik. ‘Ada lagu Hisik-Hisik.’

PR: “I ma…i ma. Lagu on tu sude penggemar Karisma ma.” Itu PN itu PN. Lagu ini untuk semua pendengar Karisma PN ‘Itu sajalah. Lagu ini untuk semua pendengar Karisma.”

2.1.2.10 Pola Penawaran-Penolakan

Dalam acara JJTB, pola penawaran-penolakan muncul jika penyiar menawarkan sebuah lagu kepada peserta ketika peserta meminta sebuah lagu. Tetapi tawaran dari penyiar tidak diterima oleh peserta karena alasan-alasan tertentu.

Contoh: 34. Data Percakapan 20.

PY: “Gitar Sipoholon ai lomo do rohana mambege i.” Gitar Sipoholon karena suka PA hatinya mendengar itu.

(50)

Tidak di saya itu ‘Saya tidak mau itu.’

2.1.2.11 Pola Pertanyaan-Jawaban

Pola pertanyaan-jawaban ini terjadi pada saat penyiar ingin mengetahui nama dan tempat tinggal peserta dan judul lagu yang diminta oleh peserta.

Contoh 35. Data Percakapan 25. PY: “Horas! dohot ise on?” Selamat! dengan siapa ini? ‘Selamat! ini dengan siapa?’ PR: “Dohot Si Kevin sian Samosir.” Dengan Si Kevin dari samosir. ‘Dengan Kevin yang ada di Samosir.’ PY: “Mangido lagu aha Ito?”

Meminta lagu apa Saudara? ‘Meminta lagu apa Saudara?’

PR: “Trio Lamtama, Cintaki Holan tu Ho.” Trio lamtama, Cintaki Holan tu Ho.

‘(lagu) Trio Lamtama, Cintaki Holan tu Ho.’ 2.1.2.12 Pola Pertayaan-Penawaran

Pola pertanyaan-penawaran muncul pada saat peserta menanyakan

kesempatan untuk meminta lagu. Dan penyiar mengetahui bahwa setiap peserta yang menanyakan kesempatan untuk meminta lagu jika dijawab ya, pasti akan meminta sebuah judul lagu. Oleh karena itu, penyiar mencoba menawarkan lagu pilihannya kepada peserta sebelum peserta memintanya.

Contoh: 36. Data Percakapan 4.

(51)

‘Masih bisa meminta lagu Paman?’ PY: “Anak Medan do Amang Boru?” Anak Medan PA Paman?

‘(lagu yang kamu minta) Anak Medan ya, Paman?’ 2.1.2.13 Pola Salam Penutup-Salam Penutup

Dalam acara JJTB, pola salam penutup-salam penutup merupakan hal yang sangat sering muncul pada saat mengakhiri percakapan. Salam penutup yang digunakan penyiar dan peserta bervariasi seperti pada contoh-contoh berikut.

Contoh: 37. Data Percakapan 17.

PR: “Tu donganku Naposo Bulung di gareja. Mauliate da Ito!” Untuk temanku muda-mudi di gereja. Terima kasih ya Saudara! ‘Untuk temanku muda-mudi di gereja. Terima kasih ya, Saudara!’ PY: “Na uli.”

Yang baik. ‘Baik.’

Contoh: 38. Data Percakapan 11.

PR: “Jai, tu Abang selamat tugas da!” Jadi, untuk Abang selamat tugas ya! ‘Jadi, untuk Abang selamat tugaslah!’ PY: “Mauliate godang.”

Terima kasih banyak. ‘Terima kasih banyak.’ Contoh: 39. Data Percakapan 5. PR: “Mauliate da, Bang.” Terima kasih ya, Bang. ‘Terima kasih ya, Bang.’ PY: “Iya. Na uli.”

Ya. Yang baik. ‘Ya. Baik.’

(52)

PR: “Oke. Selamat siang ma Ito!” Oke. Selamat siang PN Ito! ‘Oke. Selamat siang Ito!’ PY: “Na uli, mauliate da.” Yang baik, terima kasih ya. ‘Baik, terima kasih ya.’

Selain pengambilan giliran bicara dengan pasangan berdampingan, ternyata dalam acara JJTB terdapat cara yang lain dalam pengambilan giliran bicara. Seperti pada contoh berikut.

1. Mengambil giliran bicara dengan ‘cara memperoleh’

Pengambilan giliran bicara dengan cara memperoleh ini terjadi jika salah satu pembicara memberikan kesempatan bicara kepada pembicara lain. Cara tersebut ditandai dengan diamnya pembicara terdahulu. Selanjutnya, pembicara yang mengambil giliran bicara dengan cara memperoleh hanya menanggapi ujaran pembicara terdahulu.

Kalimat yang mengatakan, Boama bahenonmu ndang begeonna. Songon

diama carana? ‘Bagaimana caramu agar tidak didengar pendengar lain?

Bagaimana caranya?’, merupakan ujaran penyiar dalam menanggapi ujaran peserta.

Contoh: 41. Data Percakapan 11.

PR: “Jai, lagu on holan tu Itoan i. Ndang pola dohot pendengar na lain.” Jadi lagu ini hanya untuk pria itu. Tidak usah ikut pendengar yang lain.

’Jadi, lagu ini hanya untuk pacarku. Pendengar yang lain tidak usah ikut (mendengarkan).’

(53)

‘Bagaimana caramu agar tidak didengar (pendengar)? Bagaimana caranya?’ PR: “Ditutup pinggolna.”

Ditutup telinganya.

‘Telinganya (pendengar yang lain) ditutup.’ PY: “Molo olo halaki.”

Kalau mau orang itu.

‘Jika (pendengar) mau (menutup telinganya).’ 2. Mengambil giliran bicara dengan cara ‘mencuri’

Pengambilan giliran bicara dengan cara mencuri, terjadi pada saat pembicara dalam keadaan lengah. Artinya, pembicara tidak menyangka lawan bicaranya akan mengambil giliran bicara.

Ujaran penyiar Turun ma jo sian Puncak ‘Turun (pindah) dulu dari Puncak.’, merupakan ujaran dengan pengambilan giliran bicara mencuri.

Contoh: 42. Data Percakapan 14. PR: “Sian Laguboti do au, Lae.” Dari Laguboti PA saya, Lae. ‘Dari Laguboti saya, Lae.’ PY: “Turun ma jo sian Puncak.” Turun PN dulu dari Puncak. ‘Turun (pindah) dulu dari Puncak.’

3. Mengambil giliran bicara dengan ‘cara merebut’

Pengambilan giliran bicara seperti ini terjadi karena pembicara yang mengambil giliran bicara dengan cara merebut itu, ingin mendapatkan perhatian dari lawan bicaranya.

(54)

dengan cara merebut. Pengambilan giliran bicara seperti ini timbul karena penyiar biasanya membicarakan topik yang tidak diinginkan oleh peserta.

Contoh: 43. Data Percakapan 15. PY: “Lagu aha di ho Hisar?”

Lagu apa di kamu Hisar? ‘Lagu apa Hisar?’

PR: “Aha…Sampai Hati Ho, na inna i Tulang?” Apa Sampai Hati Ho, yang katanya itu Paman? ‘(ada lagu yang judulnya) Sampai Hati Ho, Paman?’ PY: “Sampai hati ibana…”

Sampai hati Dia… ‘Sampai hati dia…’

PR: “Nyamperin da, Tulang!” Menyampaikan salam ya , Paman ‘Menyampaikan salam ya, Paman!’

4. Mengambil giliran bicara dengan cara ‘mengganti’

Mengambil alih giliran bicara dengan cara mengganti dimaksudkan untuk mempertahankan percakapan karena pembicara terdahulu tidak dapat meneruskan pembicaraan.

Kalimat Boru Simbolon merupakan bagian ujaran yang berupa lanjutan dari ujaran di atasnya. Kalimat ini pada dasarnya memperjelas ujaran peserta yang menginginkan isterinya memiliki marga yang sama dengan penyiar yaitu Simbolon.

Contoh: 44. Data Percakapan 26. PY: “Amani aha ho, Lae?”

Pak apa kamu, Lae?

(55)

PR: “Ba, ndang adong dope. Borumuna i do didok roha nian.” Ya, belum ada masih. anak perempuanmu itu PA dikatakan hati kiranya. ‘Ya, belum ada. Rencana (calon istri saya) anak perempuan Lae.’

PY: “Boru Simbolon?” Marga Simbolon? ‘Marga Simbolon!’

5. Mengambil giliran bicara dengan cara ‘menciptakan’

Cara mengambil alih giliran bicara yang seperti ini tampak pada ujaran yang berfungsi sebagai inisiasi atau renisiasi. Inisiasi/ renisiasi itu biasanya membicarakan hal-hal pribadi yang seharusnya tidak perlu dibahas dalam acara JJTB tersebut. Pengambilan giliran bicara dengan cara menciptakan ini biasanya ditandai dengan pengalihan topik pembicaraan.

Contoh: 45. Data Percakapan 2. PY: “Lagu aha Lae Marikson?” Lagu apa Lae Marikson? ‘Lagu apa Lae Marikson?’

PR: “Antar lagu na girang-girang ma jo rohangku baen!” Sepertinya lagu yang riang-riang PN dulu hatiku buat! ‘Menurut saya, lagu yang riang sajalah!’

PY: “O, iya. Boi.” O, ya. Bisa. ‘Ya. Bisa.’

PR: “Gitar Sipoholon i.” Gitar Sipoholon itu. ‘Gitar Sipoholon itu.’ PY: “O, Gitar Sipoholon. Iya.” O Gitar Sipoholon. Ya. ‘O, Gitar Sipoholon. Ya.

(56)

‘O ya, semalam sepertinya lagunya sangat sedih didengar saudaramu (istri saya) ini.’

PY: “Songon na asing inna lagu i?” seperti yang lain katanya lagu itu ‘Kata (istrimu) agak aneh ya, lagunya?’

6. Mengambil giliran bicara dengan cara ‘melanjutkan’

Mengambil giliran dengan cara melanjutkan dilakukan apabila mitra tutur yang diberi kesempatan bicara tidak segera berbicara. Penyiar memberikan kesempatan kepada peserta untuk berbicara, namun peserta tidan memanfaatkannya. Sehingga penyiar melanjutkan ujarannya agar situasi tidak lengang dan kaku. Dengan melanjutkan ujarannya penyiar dapat memancing peserta untuk berbicara.

Contoh: 46. Data Percakapan 7. PR: “Horas karisma, Tulang!” Selamat karisma, Paman! ‘Selamat karisma, Paman!’ PY: “Horas ma tutu.”

Selamat PN benar. ‘Selamat juga.’ PR: (diam)

PY: “Bahen Itonan! Hatahon ma!” Buat Ito. Katakan PN! ‘Silahkan Ito. Katakanlah!’ PR: (diam)

(57)

‘Lagu (yang berjudul) Andung ni Caleg.’

2.1.3 Cara Membetulkan Ujaran-Ujaran yang Tidak Jelas

Usaha-usaha membetulkan ujaran yang tidak jelas dalam bahasa Indonesia biasanya, ditandai oleh kata ha, apa, sekali lagi dan maaf (Richard,1995). Pada umumnya, jika frase ini muncul dalam percakapan akan menunjukkan bahwa lawan bicara memerlukan pembetulan.

Dalam acara JJTB cara membetulkan ujaran-ujaran yang tidak jelas, lebih banyak menggunakan strategi penghindaran topik. Cara ini banyak digunakan agar lawan bicara, berbicara dengan menggunakan kata atau struktur yang lebih mudah atau menggeser topik semula kalimat yang akan membuatnya lebih mudah dipahami.

Penggunaan kata ha di atas merupakan cara peserta meminta penyiar untuk mengulang kembali ujarannya. Strategi ini digunakan agar penyiar mau mengulang kembali ujaran yang baru ia ujarkan agar peserta lebih mudah memahaminya.

Contoh: 47. Data Percakapan 22. PY: “Na Mancalonhon do Lae?” Yang mencalonkan PA Lae?

‘Lae mencalonkan (diri jadi caleg) ya?” PR: (tertawa)

PY: (tertawa)

PR: “Adong naeng kepala desa.” Ada mau kepala desa. ‘Ada yang mau kepala desa’ PY: “O, calon kepala desa, Lae?” o calon kepala desa Lae ‘O,Lae mau kepala desa? PR: “Ha?”

(58)

‘Ha?’

PY: “Calonna Lae?” Calonnya Lae?

‘Calon (kepala desa)nya Lae?’

Selain menggunakan kata ha acara JJTB juga menggunakan kata aha ‘apa’ untuk membetulkan ujara-ujaran yang tidak jelas.

Contoh: 48. Data Percakapan 20. PR: “Lagu aha asa binoto annon?” Lagu apa biar tahu nanti?

‘Lagu apa agar saya tahu nanti?’ PY: “Tabahen annon Gitar Sipoholon i.” Kita buat nanti Gitar Sipoholon itu. ‘Kita buat nanti Gitar Sipoholon itu’

PR: “Lagu aha? Alana lagu on tu Itoan i do.” Lagu apa? karena lagu ini untuk wanita itu PA. ‘Lagu apa? Karena lagu ini untuk pacar saya.’ PY: “Gitar Sipoholon asa songon naribur dirasa.” Gitar Sipoholon agar seperti terhibur dirasa.

‘(lagu) Gitar Sipoholon agar dia (pacarmu) merasa terhibur.’ PR: “Aha?”

Apa? ‘Apa?’

Selain menggunakan strategi penghindaran topik untuk membetulkan ujaran-ujaran yang tidak jelas, terdapat juga strategi yang lain. Pada contoh (49), pembetulan dilakukan dengan bertele-tele. Seharusnya, peserta dapat menyatakan maksudnya dengan judul lagu yang dimintanya. Akan tetapi, dia tidak mengetahui judulnya sehingga ia menyatakan satu baris isi dari lagu tersebut.

(59)

PR: “Adong do lagu na inna i…, angur do goarmi anakonhu da hasian.” Ada PA lagu yang katanya ini angur do goarmi anakkonhu da hasian. ‘Ada tidak lagu yang liriknya seperti ini,…angur do goarmi anakhonku da

hasian.'

PY: “Sijujung Baringin?” Sijujung Baringin? ‘Sijujung Baringin?’

Usaha membetulkan ujaran-ujaran yang tidak jelas juga digunakan dengan meminjam kata dari bahasa Indonesia untuk menggantikan kata dalam BBT. Kata

jualan ‘jualan’ pada contoh (50), sebenarnya dapat digantikan kata ‘martiga-tiga’,

karena kata jualan itu merupakan kosa kata bahasa Indonesia. Namun, dari konteks diketahui bahwa peserta kesulitan mengingat padanan kata jualan dalam BBT sehingga dia memutuskan untuk menggunakan kosa kata bahasa Indonesia.

Contoh: 50. Data Percakapan 18. PY: “Marhua hamu saonari?” mengapa kamu sekarang

‘Kalian mengerjakan apa sekarang?’ PR: “Lagi a….jualan di pajak.”

lagi a….jualan di pajak ‘Lagi a…jualan di pajak’

(60)

Pada dasarnya, tujuan percakapan tercermin dalam isi percakapan yang dimulai setelah salam pembuka. Menurut Hatch (Richard, 1995:16), mengatakan bahwa seorang penutur harus mampu mengenali strategi percakapan dalam mengalihkan topik dan mengembalikan topik. Misalnya, ‘any way’ (bagaimanapun…), ‘well’ (baiklah), by the way (omong-omong) yang menandakan perubahan topik. Atau ‘to get back to was saying’ (kembali pada apa yang saya katakan tadi), ‘what I was trying to say was…’ (apa yang ingin saya katakan adalah…) yang menandakan penutur berusaha untuk mengembalikan percakapan ke topik sebelumnya.

Pada contoh (51) semula peserta dan penyiar membicarakan judul lagu yang akan diputar pada hari itu. Namun, topik ini telah mengingatkan peserta terhadap lagu yang diminta oleh peserta sebelumnya. Penyiar mengingat bagaimana tanggapan istrinya terhadap lagu yang telah dimintanya itu. Dalam mengalihkan topik ini dia menggunakan kata ai yang artinya hampir sama dengan omong-omong dalam bahasa Indonesia.

Contoh: 51. Data Percakapan2. PY: “Lagu aha Lae Marikson?” Lagu apa Lae Marikson? ‘Lagu apa Lae Marikson?’

PR: “Antar lagu na girang-girang ma jo rohangku baen!” Sepertinya lagu yang riang-riang PN dulu hatiku buat! ‘Menurut saya, lagu yang riang sajalah!’

(61)

PR: “Gitar Sipoholon i.” Gitar Sipoholon itu. ‘Gitar Sipoholon itu.’ PY: “O, Gitar Sipoholon. Iya.” O Gitar Sipoholon. Ya. ‘O, Gitar Sipoholon. Ya.

PR: “Ai, sinantoari songon na pangerihu lagu i dibege ibotom on.” ya , semalam sepertinya yang sedih lagu itu didengar saudaramu ini. ‘O ya, semalam sepertinya lagunya sangat sedih didengar saudaramu (istri

saya) ini.’

Contoh (52), menunjukkan bahwa pergantian topik terjadi secara mengalir. Penyiar maupun peserta kelihatannya sangat menikmati percakapan. Sampai penyiar menyadari bahwa percakapan mereka telah jauh dari topik dari yang sudah disepakati. Sehingga dia akhirnya mengatakan kalimat Bahenma, baen! ‘Silahkanlah, silahkan!’. Fungsi kalimat ini adalah untuk mengalihkan topik percakapan agar tidak melenceng dari yang sudah disepakati. Dan tampaknya peserta menyadarinya sehingga langsung mengalihkan topik pembicaraan.

Contoh: 52. Data Percakapan 14. PR: “Sian Laguboti do au, Lae.” Dari Laguboti PA saya, Lae. ‘Dari Laguboti saya, Lae.’ PY: “Turun ma jo sian Puncak.” Turun PN dulu dari Puncak. ‘Turun (pindah) dulu dari Puncak.’

PR: “Dibahen na sai ro udan i disi.” Karena yang selalu datang hujan itu di situ. ‘Karena hujan selalu di situ.’

Referensi

Dokumen terkait

\DQJ GLEDKDV GDODP EHUEDJDL NLWDE ILNLK 6\DIL¶L NODVLN \DLWX VDODK VDWXQ\D LDODK NLWDE Kanz al- Râghibîn yang penulis gunakan untuk membandingkan dengan jual beli dengan hak membeli

Pertama, untuk mendapatkan analisis fakta cerita yang meliputi alur, tokoh, dan latar, serta tema dalam novel AKK dengan menggunakan teori struktural.. Kedua, untuk

Ketika penyerang menjauh dari kompetensi intinya dan mengakuisisi perusahaan yang tidak terkait dengan bisnisnya yang sudah ada, diatur oleh keinginan untuk

Prosedur Penelitian yaitu ampas kelapa dibuat tepung dengan mengikuti prosedur Rousmaliana dan Septiani (2019), lalu tepung ampas kelapa disubtitusi dengan tepung

(e) dalam hal pekerjaan maritim, oleh Anggota yang tadinya telah meratifi kasi Konvensi Usia Minimum (Nelayan), tahun 1959, dan telah menetapkan usia minimum tidak kurang dari 15

“kursus major”, ertinya sesuatu kursus yang ditetapkan dalam sesuatu program sebagai perlu untuk mencapai tahap kemahiran yang cukup dalam bidang pengajian sesuatu program itu;

Nilai signifikansi yang diperoleh variable Pendapatan Daerah adalah 0.150, dengan demikian nilai signifikansi 0.150 lebih besar dari 0.05 yang artinya Pendapatan Daerah

tingginya pencapaian akademik mata pelajaran matematika siswa SMP Kabupaten Minahasa Utara bila dibandingkan dengan pencapaian siswa SMP Kabupaten Minahasa yang