• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Berbagai pilihan obat saat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Berbagai pilihan obat saat"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Obat

Obat merupakan semua bahan tunggal atau campuran bahan yang digunakan semua makhluk hidup untuk bagian dalam maupun bagian luar dalam menetapkan diagnosis, mencegah, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Berbagai pilihan obat saat ini telah tersedia, sehingga diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang cermat dalam memilih obat untuk suatu penyakit. penggunaan obat harus tepat agar memberikan manfaat klinik yang optimal (Syamsuni, 2006).

Dalam penggunaannya, obat akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan dalam penggobatan suatu penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat dan obat akan bersifat racun apabila digunakan salah dalam penggobatan atau dengan dosis yang berlebihan, namun bila dosisnya kurang juga tidak memperoleh penyembuhan (Anief, 2004).

2.2 Pengertian Resep

Menurut Permenkes (2014), resep adalah permintaan tertulis dokter atau dokter gigi kepada apoteker, baik dalam bentuk paper atau electronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat kepada pasien sesuai dengan peraturan yang berlaku (Menkes, RI., 2014).

Resep selalu dimulai dengan tanda R/ yang artinya recipe yaitu ambillah, di belakang tanda ini biasanya baru tertera nama dan jumlah obat. Resep harus ditulis secara jelas dan lengkap, apabila resep tidak bisa dibaca dengan jelas dan

(2)

tidak lengkap, apoteker atau asisten harus menanyakannya kepada dokter penulis obat. Resep asli tidak boleh diberikan kembali setelah obatnya diambil oleh pasien, hanya dapat diberikan copy resep atau salinan resepnya (Syamsuni, 2006).

2.3 Dispepsia

2.3.1 Definisi Dispepsia

Menurut Almatsier tahun 2004, dispepsia merupakan istilah yang menunjukkan rasa nyeri atau tidak menyenangkan pada bagian atas perut. Kata dispepsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti “pencernaan yang jelek” (Setyono, 2006).

Definisi dispepsia sampai saat ini disepakati oleh para pakar dibidang gastroenterologi adalah kumpulan keluhan/gejala klinis (sindrom) rasa tidak nyaman atau nyeri yang dirasakan di daerah abdomen bagian atas yang disertai dengan keluhan lain yaitu perasaan panas di dada dan perut, kembung, perut terasa penuh, cepat kenyang, sendawa, anoreksia, mual, muntah dan banyak mengeluarkan gas asam dari mulut. Sindroma dispepsia ini biasanya diderita selama beberapa minggu atau bulan yang sifatnya hilang timbul atau terus-menerus (Djojoningrat, 2005).

Dispepsia adalah suatu istilah yang merujuk pada gejala abnormal di perut bagian atas. Istilah ini biasa pula digunakan untuk menerangkan berbagai keluhan yang dirasakan di abdomen bagian atas. Di antaranya adalah rasa nyeri ataupun rasa terbakar di daerah epigastrium (ulu hati), perasaan penuh atau rasa bengkak di perut bagian atas, sering sendawa, mual ataupun rasa cepat kenyang. Dispepsia sering juga dipakai sebagai sinonim dari gangguan pencernaan (Herman, 2004).

(3)

2.3.2 Klasifikasi Dispepsia

Penyebab timbulnya gejala dispepsia sangat banyak sehingga diklasifikasikan berdasarkan ada tidaknya penyebab dispepsia yaitu : (Herman, 2004).

2.3.2.1 Dispepsia Organik

Dispepsia organik adalah Dispepsia yang telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya. Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun. Dispepsia organik dapat digolongkan menjadi : (Djojoningrat, 2005)

a. Dispepsia Tukak

Keluhan penderita yang sering terjadi ialah rasa nyeri ulu hati. Berkurang atau bertambahnya rasa nyeri ada hubungannya dengan makanan. Hanya dengan pemeriksaan endoskopi dan radiologi dapat menentukan adanya tukak di lambung atau duodenum (Djojoningrat, 2005).

b. Refluks Gastroesofageal

Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal, yaitu rasa panas di dada dan meningkatnya asam terutama setelah makan (Djojoningrat, 2005).

c. Ulkus Peptik

Ulkus peptik dapat terjadi di lambung dan duodenum. Ulkus peptikum timbul akibat kerja getah lambung yang asam terhadap epitel yang rentan. Penyebab yang tepat masih belum dapat dipastikan (Djojoningrat, 2005).

Beberapa kelainan fisiologis yang timbul pada ulkus duodenum :

i. Jumlah sel parietal bertambah dengan produksi asam yang makin banyak. ii. Peningkatan kepekaan sel parietal terhadap asam lambung.

(4)

iii. Peningkatan respon lambung terhadap makanan

iv. Penurunan hambatan pelepasan asam lambung dari mukosa antrum setelah pengasaman lambung.

v. Pengosongan lambung yang lebih cepat dengan berkurangnya hambatan pengosongan akibat masuknya asam ke duodenum. Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya ulkus peptik antara lain merokok, penyakit hati kronik, penyakit paru kronik dan pankreatitis kronik. Gastritis atrofik kronik, refluks empedu dan golongan darah A merupakan predisposisi untuk ulkus lambung (Djojoningrat, 2005).

d. Penyakit Saluran Empedu

Sindroma dispepsia ini biasa ditemukan pada penyakit saluran empedu. Rasa nyeri dimulai dari perut kanan atas atau di ulu hati yang menjalar ke punggung dan bahu kanan (Djojoningrat, 2005).

e. Pankreatitis

Rasa nyeri timbul mendadak yang menjalar ke punggung. Perut terasa makin tegang dan kembung (Djojoningrat, 2005).

f. Dispepsia pada sindrom malabsorpsi

Pada penderita ini di samping mempunyai keluhan rasa nyeri perut, nausea, kembung, keluhan utama lainnya ialah timbulnya diare yang berlendir (Djojoningrat, 2005).

g. Dispepsia akibat obat-obatan

Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak enak di daerah ulu hati tanpa atau disertai rasa mual dan muntah, misalnya obat

(5)

golongan NSAIDs, teofilin, digitalis, antibiotik oral (terutama ampisilin, eritromisin dan lain-lain) (Djojoningrat, 2005).

h. Gangguan Metabolisme

Diabetes Mellitus dengan neuropati sering timbul komplikasi pengosongan lambung yang lambat sehingga timbul keluhan nausea, vomitus, perasaan lekas kenyang. Hipertiroid mungkin menimbulkan keluhan rasa nyeri di perut dan vomitus, sedangkan hipotiroid menyebabkan timbulnya hipomotilitas lambung (Djojoningrat, 2005).

i. Dispepsia akibat infeksi bakteri Helicobacter pylori

Helicobacter pylori terlihat pada Gambar 2.1 adalah sejenis kuman atau bakteri

gram negatif yang terdapat dalam lambung dan berkaitan dengan kanker lambung. Hal penting dari Helicobacter pylori adalah sifatnya menetap seumur hidup, selalu aktif dan dapat menular bila tidak dieradikasi. Helicobacter pylori ini diyakini merusak mekanisme pertahanan dan merusak jaringan.

Helicobacter pylori dapat merangsang kelenjar mukosa lambung untuk lebih

aktif menghasilkan gastrin sehingga terjadi hipergastrinemia (Rani, dkk., 2009).

(6)

2.3.2.2 Dispepsia Fungsional

Dispepsia fungsional dapat dijelaskan sebagai keluhan dispepsia yang telah berlangsung dalam beberapa minggu tanpa didapatkan kelainan atau gangguan struktural/organik/metabolik berdasarkan pemeriksaan klinik, laboratorium, radiologi dan endoskopi. Dalam konsensus Roma II, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai dispepsia yang berlangsung sebagai berikut : sedikitnya terjadi dalam 12 minggu, tidak harus berurutan dalam rentang waktu 12 minggu terakhir, terus menerus atau kambuh (perasaan sakit atau ketidaknyamanan) yang berpusat di perut bagian atas dan tidak ditemukan atau bukan kelainan organik (pada pemeriksaan endoskopi) yang mungkin menerangkan gejala-gejalanya (Djojoningrat, 2005). Gambaran klinis dari dispepsia fungsional adalah riwayat kronik, gejala yang berubah-ubah, riwayat gangguan psikiatrik, nyeri yang tidak responsive dengan obat-obatan dan dapat juga ditunjukkan letaknya oleh pasien, dimana secara klinis pasien tampak sehat. Beberapa hal yang dianggap menyebabkan dispepsia fungsional antara lain : a. Sekresi Asam Lambung

b. Infeksi Helicobakter pylori c. Dismotilitas Gastrointestinal d. Ambang Rangsang Persepsi e. Diet dan Faktor Lingkungan f. Psikologik

2.3.3 Patofisiologi

Proses patofisiologi yang banyak dibicarakan berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung dan inflamasi, infeksi

(7)

gangguan motorik, infeksi Helicobakter pylori, dismotilitas gastrointestinal, ambang rangsang persepsi, diet dan faktor lingkungan dan gangguan psikologik atau psikiatrik (Djojoningrat, 2009).

a. Sekresi asam lambung

Kasus dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung, baik sekresi basal atau dengan stimulasi pentagastrin yang rata-rata normal. Terjadinya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut (Djojoningrat, 2009).

b. Helicobacter pylori (Hp)

Peran infeksi H-pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H-pylori pada dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda makna dengan angka kekerapan infeksi H-pylori pada kelompok orang sehat. Mulai ada kecenderungan untuk melakukan eradikasi

H-pylori pada dispepsia fungsional dengan H-pylori positif yang gagal dengan

pengobatan konservatif baku (Djojoningrat, 2009).

c. Dismotilitas gastrointestinal

Dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung dan adanya hipomotilitas antrum sampai 50% kasus, harus dimengerti bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambung tidak dapat mutlak menjadi penyebab dispepsia (Djojoningrat, 2009).

(8)

d. Ambang rangsang persepsi

Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi dan reseptor mekanik. Berdasarkan studi, pasien dispepsia dicurigai mempunyai hipersensitivitas viseral di duodenum, meskipun mekanisme pastinya belum dipahami. Hipersensitivitas viseral juga disebut-sebut memainkan peranan penting pada semua gangguan fungsional dan dilaporkan terjadi pada 30-40% pasien dengan dispepsia fungsional (Djojoningrat, 2009).

e. Diet dan Faktor Lingkungan

Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional (Djojoningrat, 2009).

f. Psikologis

Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah pemberian stimulus berupa stress. Kontroversi masih banyak ditemukan pada upaya menghubungkan faktor psikologis stress kehidupan, fungsi autonom dan motilitas (Djojoningrat, 2009). Tidak didapatkan kepribadian yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini, walaupun dalam sebuah studi dipaparkan adanya kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia, pelecehan seksual, atau gangguan jiwa pada kasus dispepsia fungsional (Abdullah, dkk., 2012).

2.3.4 Manifestasi Klinis

Klasifikasi klinis secara praktis, didasarkan atas gejala yang dominan, membagi dispepsia menjadi tiga tipe:

(9)

a. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dispepsia), dengan gejala: i. Nyeri epigastrium terlokalisasi

ii. Nyeri hilang setelah makan iii. Nyeri saat lapar

b. Dispepsia dengan gejala dismotilitas (dysmotility-like dispepsia),dengan gejala: i. Mudah kenyang

ii. Perut cepat terasa penuh saat makan iii. Mual

iv. Muntah

v. Rasa kembung pada perut bagian atas vi. Rasa tidak nyaman bertambah saat makan

c. Dispepsia nonspesifik, tidak adanya keluhan yang bersifat dominan (Herman, 2004).

2.3.5 Pengobatan Dispepsia

Pasien dispepsia dalam melakukan pengobatan dengan menggunakan modifikasi pola hidup dengan melakukan program diet yang ditujukan untuk kasus dispepsia fungsional agar menghindari makanan yang dirasa sebagai faktor pencetus. Pola diet yang dapat dilakukan seperti makan dengan porsi kecil tetapi sering, makan rendah lemak, kurangi atau hindari minuman-minuman spesifik seperti: kopi, alcohol dll, kurangi dan hindari makanan yang pedas. Terapi untuk kasus dispepsia hingga sekarang belum terdapat regimen pengobatan yang memuaskan terutama dalam mengantisipasi kekambuhan (Djojoningrat, 2009).

(10)

2.3.5.1 Antasida

Golongan antasida terdiri atas aluminium, magnesium, kalsium karbonat, dan natrium bikarbonat. Antasida berfungsi untuk meningkatkan pH asam lambung. Pemakaian antasida tidak dianjurkan secara terus-menerus, sifatnya hanya simtomatis untuk mengurangi rasa nyeri. Penggunaan antasida yang mengandung magnesium akan menyebabkan diare sedangkan alumunium menyebabkan konstipasi dan kombinasi keduanya saling menghilangkan pengaruh sehingga tidak terjadi diare dan konstipasi (Katzung, 2004).

Mekanisme kerja antasida yaitu meningkatkan pH sejumlah asam tetapi tidak melalui efek langsung, atau menurunkan tekanan esophageal bawah (LES). Kegunaan antasida sangat dipengaruhi oleh rata-rata disolusi, efek fisiologi kation, kelarutan air, dan ada atau tidak adanya makanan (Katzung, 2004). 2.3.5.2 Antagonis reseptor H2

Golongan antagonis reseptor H2 terdiri atas simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin. Obat ini banyak digunakan untuk mengatasi dispepsia organik.

Mekanisme kerja antagonis reseptor H2 adalah menghambat sekresi asam lambung dengan melakukan inhibisi kompetitif terhadap reseptor H2 yang terdapat pada sel parietal dan menghambat sekresi asam lambung yang distimulasi oleh makanan, ketazol, pentagrastin, kafein, insulin, dan refleks fisiologi vagal (Katzung, 2004).

2.3.5.3 Penghambat pompa proton

Proton Pump Inhibitor (PPI) merupakan golongan obat yang bekerja

dengan menurunkan jumlah atau menekan sekresi asam lambung dengan menghambat aktifitas enzim H/K ATPase (proton pump) pada permukaan

(11)

kelenjar sel parietal gastrik pada pH < 4. Obat yang berikatan dengan proton (H) secara cepat akan diubah menjadi sulfonamide, suatu proton pump inhibitor yang aktif. Golongan obat ini menghambat sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat termasuk dalam golongan penghambat asam adalah; omeperazole, lansoprazole dan pantoprazol.

Mekanisme kerja penghambat pompa proton adalah basa lemah netral mencapai sel parital dari darah dan berdifusi ke dalam sekretori kanalikuli, tempat obat terprotonasi dan terperangkap. Sulfanilamide berinteraksi secara kovalen dengan gugus sulfahidril pada sisi luminal tempat H+,K+ ATPase, kemudian terjadi inhibisi penuh dengan dua molekul dari inhibitor mengikat tiap molekul enzim (Katzung, 2004).

2.3.5.4 Antikolinergik

Kerja antikolinergik tidak sepesifik. Obat yang bekerja sepesifik adalah pirenzepin untuk menekan sekresi asam lambung (Monkemuller, dkk., 2006). 2.3.5.5 Sitoprotetif

Golongan pelindung mukosa terdiri atas sukralfat. Prostaglandin sintetik seperti sukralfat, misoprosol dan eprostil, selain bersifat sitoprotektif juga dapat menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal.

Mekanisme kerja sukralfat adalah membentuk kompleks ulser dengan eksudat protein seperti albumin dan fibrinogen pada sisi ulser dan melindunginya dari serangan asam, membentuk barier pada permukaan mukosa di lambung dan duodenum, serta menghambat aktivitas pepsin dan membentuk ikatan garam dengan empedu. Sukralfat sebaiknya dikonsumsi pada saat perut kososng untuk mencegah ikatan dengan protein dan fosfat (Monkemuller, dkk., 2006).

(12)

2.3.5.6 Golongan prokinetik

Obat yang termasuk golongan prokinetik; domperidon dan metoklopramid. Obat golongan ini efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofangitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung. Metoklopramid bekerja secara selektif pada sistem cholinergik tractus

gastrointestinal (efek gastropokinetik). Metoklopramid merangsang motilitas

saluran cerna bagian atas tanpa merangsang sekresi asam lambung, empedu atau pankreas. Domperidon merupakan golongan prokinetik, obat ini digunakan pada muntah akibat dispepsia fungsional (Monkemuller, dkk., 2006).

Dispepsia merupakan sindrom dari sekumpulan gejala yang menyertainya. Gejala yang timbul pada dispepsia diantaranya adalah mual yang merupakan gejala yang dominan terjadi setelah gejala nyeri. Dispepsia sering terjadi karena adanya hipersekresi asam lambung yang menyebabkan meningkatnya asam lambung menyebabkan rasa tidak enak pada perut berupa rasa mual. Obat-obatan yang diberikan banyak berfokus pada penanganan simtomatis dan penanganan pada sekresi asam lambung, golongan obat yang diberikan seperti; golongan prokinetik, sitoprotetif, penghambat pompa asam, antagonis reseptor H2, antikolinergik dan antasida.

2.4 Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Tengku Mansyur

RSUD Dr. Tengku Mansyur Kota Tanjung Balai didirikan pada masa penjajahan Belanda tahun 1930 yang diberi nama Burgelyzke Zeiken. Setelah berselangnya waktu nama tersebut diubah menjadi Lanscape Hospital dan pada zaman kemerdekaan pada tahun 1945 nama rumah sakit diubah dengan nama

(13)

Tanjung Balai sesuai dengan keputusan Bapak Walikota diubah menjadi RSUD Dr. Tengku Mansyur Kota Tanjung Balai dan salah satu Rumah Sakit tertua yang ada di Sumatera Utara yang terletak di Jl. May. Jend. Sutoyo No.39 Kecamatan Tanjung Balai Selatan.

RSUD Dr. Tengku Mansyur merupakan Rumah Sakit rujukan bukan hanya untuk masyarakat Kota Tanjung Balai, juga beberapa daerah disekitarnya seperti Kabupaten Asahan, Kabupaten Batubara, maupun Kabupaten Labuhan Batu. Kota Tanjung Balai mempunyai wilayah kerja efektif 6 (enam) kecamatan yang ada di Kota Tanjung Balai, dengan jumlah penduduk sekitar 158.599 jiwa yang terdiri dari 79.913 jiwa laki-laki dan 78.686 jiwa perempuan. Secara administrasi Kota Tanjung Balai dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Asahan dengan batas-batas sebagai berikut :

 Sebelah Utara dengan Kecamatan Tanjung Balai  Sebelah Timur dengan Kecamatan Sei. Kepayang  Sebelah Barat dengan Kecamatan Simpang Empat

Berdasarkan surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 303/Menkes/SK/IV/1987, telah ditetapkan Rumah Sakit Umum Tanjung Balai menjadi Rumah Sakit kelas C.

Sejak tahun 1987 secara bertahap telah ditetapkan 4 (empat) tenaga Dokter Spesialis Dasar (Penyakit Dalam, Obgyn, Bedah, dan Anak). Diiringi dengan pengadaan peralatan medis dan non medis serta sarana fisik yang bersumber dari dana APBD, APBN maupun bantuan dalam dan luar negeri. Pada saat ini luas Rumah Sakit ± 13.713 m² dengan jumlah Tempat Tidur (TT) 115 buah. Rumah Sakit telah berusaha semaksimal mungkin berbenah diri dalam berbagai aspek,

(14)

baik kualitas maupun kuantitas. Berbagai hal yang menjadi perhatian antara lain proses administrasi dan ketersediaan manajemen, bahan dan alat kesehatan, sarana dan prasarana sampai tingkat kenyamanan pasien dan pengunjung. Pada tahun 2010 RSUD Dr. Tengku Mansyur telah terakreditasi 5 (lima) jenis pelayanan dari Kemenkes RI.

RSUD kedepan berupaya untuk mencapai Akreditasi Versi 2012/ Joint Commition International (JCI) dan terus berusaha untuk berkembang lagi. Baik saran prasarana, sumber daya manusia, hingga acuan pelayanan kesehatan yang ada, dan saat ini sedang dilaksanakan pembangunan dengan sinergi dan bertahap gedung baru Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Tengku Mansyur dengan jumlah tempat tidur yang ≥ 200 unit guna memenuhi standart sarana dan layanan Rumah Sakit Kelas B (Anonim, 2010).

Referensi

Dokumen terkait

Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan

Manifestasi klinis pada sindrom dispepsia antara lain rasa nyeri atau ketidaknyamanan di perut, rasa penuh di perut setelah makan, kembung, rasa kenyang lebih

Diganosis sindrom mata kering dapat diteggakan dengan gejala klinis, anamnesis yang lengkap tentang keluhan pasien, usia, pekerjaan, riwayat tindakan operasi mata,

Pada minggu pertama, gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,

Menurut Suparman (2011), sindrom pramenstruasi adalah suatu kumpulan keluhan dan atau gejala fisik, emosional, dan perilaku yang terjadi pada usia reproduksi yang

Istilah dyspepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an yang menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di

Pada minggu pertama, gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,

• Dispepsia pada sindroma malabsorpsi : Pada penderita ini di samping mempunyai keluhan rasa nyeri perut, nausea, anoreksia, sering flatus, kembung, keluhan utama lainnya