• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Dispepsia

Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein (digestion= pencernaan). Jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion yang berarti sulit atau ketidaksanggupan dalam mencerna. Jadi dispepsia didefinisikan sebagai kesulitan dalam mencerna yang ditandai oleh rasa nyeri atau terbakar di epigastrium yang persisten atau berulang atau rasa tidak nyaman dari gejala yang berhubungan dengan makan (rasa penuh setelah makan atau cepat kenyang – tidak mampu menghabiskan makanan dalam porsi normal) (Talley & Holtmann, 2008). Pada dispepsia organik ditemukan adanya suatu kelainan struktural setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi, Sedangkan definisi dispepsia fungsional berdasarkan konsensus kriteria Roma III, harus memenuhi satu atau lebih gejala tersebut, serta tidak ada bukti kelainan struktural melalui pemeriksaan endoskopi, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis (Brun & Kuo, 2010). Definisi lain dari dispepsia fungsional adalah penyakit yang bersifat kronik, gejala yang berubah-ubah, mempunyai riwayat gangguan psikiatrik, nyeri yang tidak responsif dengan obat-obatan, dapat ditunjukkan letaknya oleh pasien, serta secara klinis pasien tampak sehat, berbeda dengan dispepsia organik yang gejala cenderung menetap, jarang mempunyai riwayat gangguan psikiatri, serta secara klinis pasien tampak kesakitan (Abdullah & Gunawan, 2012).

7

(2)

Menurut Kriteria Roma III dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 klasifikasi, yakni postprandial distres syndrome dan epigastric pain syndrome.

Postprandial distres syndrome mewakili kelompok dengan perasaan “begah”

setelah makan dan perasaan cepat kenyang sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya postprandial distress syndrome.

Klasifikasi dispepsia fungsional seperti disajikan pada table 2.1 dibawah ini : Tabel 2.1. Klasifikasi Dispepsia Fungsional menurut Roma III

Dispepsia Fungsional

Postprandial Distres Syndrome

Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu

2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu

Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

Kriteria penunjang

1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa yang berlebihan

2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.

Epigastric Pain Syndrome

Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu

(3)

2. Nyeri timbul berulang

3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian atas/epigastrium

4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin

5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan sfingter Oddi

Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

Kriteria penunjang

1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah retrosternal

2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat puasa

3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.

(Diambil dari Appendix B: Roma III. 2010) 2.2. Epidemiologi

Dispepsia merupakan masalah umum yang sering ditemukan pada klinik pengobatan. Ketika pasien selama pengobatan mempunyai gejala tanpa penyebab yang jelas sering didiagnosa non-ulcer dispepsia. Beberapa laporan menyebutkan presentase dispepsia karena kelainan organik sekitar 25%-33% dan 67%-75%

tanpa penyebab yang jelas. Di seluruh dunia mempunyai prevalensi sekitar 10%- 40%. Hal itu menunjukan bahwa diagnosis dan evaluasi harus segera dilakukan.

Keterlambatan diagnosis akan menyebabkan pasien dalam penderitaan dan peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan (Randall dkk, 2014).

Prevalensi dispepsia fungsional bervariasi mulai 7%-45% di seluruh dunia dan semua penelitian epidemiologi selalu mengacu pada klasifikasi kriteria Roma III. Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan

(4)

peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003. Sedangkan pada tahun 2010, dispepsia fungsional dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer (Lee dkk, 2014).

Beberapa penelitian yang dilakukan dalam beberapa populasi hasilnya menunjukkan perbandingan wanita lebih banyak menderita dispepsia fungsional daripada laki-laki yaitu 1,4 : 1 di Hongkong, 1,12 : 1,04 di Korea, 1,35 : 1,15 di Malaysia dan 1,16 : 1,01 di Singapura. Sedangkan pada ulkus peptikum perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Insiden ulkus meningkat pada usia pertengahan (Pulanic, 2011). Namun, suatu penelitian di Jepang menunjukkan perbandingan prevalensi lebih besar pada laki-laki daripada wanita yaitu 2:1 (Kumar dkk, 2012).

Prevalensi dispepsia fungsional berdasarkan kriteria umur ditemukan meningkat secara signifikan yaitu : 7,7% pada umur 15-17 tahun, 17,6% pada umur 18-24 tahun, 18,3% pada umur 25-34 tahun, 19,7% pada umur 35-44 tahun, 22,8% pada umur 45-54 tahun, 23,7% pada umur 55-64 tahun, dan 24,4% pada umur di atas 65 tahun (Brun & Kuo, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati (2005), di FKUI-RSCM ditemukan bahwa rentang umur kunjungan pasien ke Poliklinik Penyakit Dalam adalah 15 sampai 70 tahun.

Variabel demografik seperti tingkat sosial atau derajat urbanisasi tidak mempengaruhi prevalensi dispepsia . Berdasarkan data dari berbagai rumah sakit di Indonesia frekwensi dispepsia fungsional sekitar 60%-70% dari seluruh pasien yang masuk ke Bagian Gastroenterology-hepatology (Cahyanto dkk, 2014).

(5)

2.3. Patofisiologi Dispepsia Fungsional

Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional atau ulkus peptikium masih belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini menunjukan bahwa dispepsia fungsional merupakan sekelompok gangguan yang heterogen, namun sudah terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan pegangan. Beberapa studi menghubungkan mekanisme patofisiologi dispepsia fungsional dengan terjadinya infeksi H. Pylori, ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral, faktor psikososial, dan perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang meliputi gangguan pada sistem saraf otonom vegetatif, sistem neuroendokrin, serta sistem imun tubuh. Sedangkan Patofisiologi ulkus peptikum diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara tekanan agresif (HCL dan pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan defensif yang melindungi lambung ( barier mukosa lambung, barier mukus lambung, sekresi HCO3) (Yehuda, 2010).

Patofisiologi dispepsia fungsional dapat diterangkan melalui beberapa teori dibawah ini (Yehuda, 2010) :

2.3.1. Infeksi H. Pylori

Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia fungsional sampai saat ini masih terus diselidiki dan menjadi perdebatan dikalangan para ahli Gastrohepatologi. Studi populasi yang besar telah menunjukan peningkatan insiden infeksi H. Pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional. Beberapa ahli berpendapat H. Pylori akan menginfeksi lambung jika lambung dalam keadaan kosong pada jangka waktu yang cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan

(6)

penebalan otot dinding lambung yang selanjutnya meningkatkan massa otot sehingga kontraksi otot bertambah dan pengosongan lambung akan semakin cepat. Pengosongan lambung yang cepat akan membuat lambung kosong lebih lama dari biasanya dan H. Pylori akan semakin menginfeksi lambung tersebut, dan bisa sebagai predictor timbulnya ulkus peptikum.

2.3.2. Ketidaknormalan Motilitas

Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam lambung. Demikian pula pada studi Monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial. Penelitian terakhir menunjukan bahwa fundus lambung yang

“kaku” bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus lambung relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus lambung menuju ke bagian fundus lambung dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat. Bila berlangsung lama bisa sebagai predictor ulkus peptikum.

2.3.3. Gangguan Sensori Visceral

Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas terhadap distensi lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat : makanan yang sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi lambung intestinum atau distensi dini bagian antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini.

(7)

2.3.4. Faktor Psikososial

Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres ternyata memang dapat menimbulkan peningkatan hormon kortisol yang berakibat kepada gangguan keseimbangan sistem saluran cerna, sehingga terlihat bahwa pada hormon kortisol yang tinggi ternyata memberikan manifestasi klinik dispepsia yang lebih berat. Jadi semakin tinggi nilai kortisol akan menyebabkan semakin beratnya klinis dispepsia. Begitu juga dengan perubahan gaya hidup seperti kurang olahraga, merokok, dan gangguan tidur juga memiliki efek terhadap peningkatan asam lambung dan perubahan aktivitas otot dinding lambung yang meningkatkan kemungkinan terjadinya dyspepsia (Micut, 2012).

2.3.5. Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin

Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur endokrin melalui poros hipotalamus – pituitary – adrenal ( HPA axis). Pada keadaan ini terjadi peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan dari korteks serebri diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran hormone kortikotropin. Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam lambung (Gene, 2012).

2.3.6. Gangguan Keseimbangan Sistem Saraf Otonom Vegetatif

Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks serebri ke sistem limbik kemudian ke hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf otonom vegetatif. Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Konflik emosi akan meningkatkan pelepasan neurotransmitter acetylcholine oleh Sistem saraf simpatis yang

(8)

mengakibatkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung. Sedangkan sistem saraf parasimpatis hampir 75% dari seluruh serabut sarafnya didominasi oleh nervus vagus (saraf kranial X). saraf dari parasimpatik meninggalkan sistem saraf pusat melalui nervus vagus menuju organ yang dipersarafi secara langsung yaitu : mempersarafi lambung dengan cara merangsang sekresi asetilkolin, gastrin, dan histamine yang akhirnya memunculkan keluhan dispepsia bila terjadi difungsi persarafan vagal. Disfungsi nervus vagal akan menimbulkan kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang. Serat-serat saraf simpatis maupun parasimpatis juga mensekresikan neurotransmiter sinaps yaitu asetilkolin atau norepinefrin. Kedua neurotransmitter tersebut akan mengaktivasi atau menginhibisi presinap maupun postsinap saraf simpatik dan parasimpatik sehingga menimbulkan efek eksitasi pada beberapa organ tetapi menimbulkan efek inhibisi pada organ lainnya salah satunya adalah organ lambung. Terjadinya ketidakseimbangan eksitasi maupun inhibisi pada kedua neurotransmitter menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada organ lambung yang dipersarafinya baik peningkatan maupun penurunan aktivitas, sehingga bisa memunculkan keluhan dispepsia (New & Siever, 2008).

2.3.7. Perubahan Dalam Sistem Imun

Faktor psikis dan stresor akan mempengaruhi sistem imun dengan menerima berbagai input, termasuk input dari stresor yang mempengaruhi neuron bagian Medial Paraventriculer Hypothalamus melalui pengaktifan sistem endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA), bila terjadi stres yang berulang atau

(9)

kronis, maka akan terjadi disregulasi dari sistem endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA ) melalui kegagalan dari mekanisme umpan balik negative. Faktor psikis dan stres juga mempengaruhi sistem imun melalui mengaktivasi sistem noradrenergik di otak, tepatnya di locus cereleus yang menyebabkan peningkatan pelepasan ketekolamin dari sistem saraf otonom. Selain itu akibat pelepasan neuropeptida dan adanya reseptor neuropeptida pada limfosit B dan Limfosit T, dan terjadi ketidakcocokan neuropeptida dan reseptornya akan menyebabkan stres dan dapat mempengaruhi kualitas sistem imun seseorang, yang pada akhirnya akan muncul keluhan-keluhan psikosomatik salah satunya pada organ lambung dengan manifestasi klinis berupa keluhan dispepsia. Bila keluhan somatik ini berlangsung lama, bisa juga sebagai prediktor timbulnya dispepsia organik berupa ulkus peptikum atau duodenum (Gene, 2012).

2.4. Manifestasi Klinis Dispepsia Fungsional

Manifestasi klinis pada sindrom dispepsia antara lain rasa nyeri atau ketidaknyamanan di perut, rasa penuh di perut setelah makan, kembung, rasa kenyang lebih awal, mual, muntah, atau bersendawa. Pada dispepsia organik, kecenderungkan keluhan tersebut menentap, disertai rasa kesakitan dan jarang memiliki riwayat psikiatri sebelumnya. Sedangkan pada dispepsia fungsional terdapat dua pola yang telah ditentukan adalah: a) postprandial distres syndrome, dan b) epigastric pain syndrome (Drug & Stanciu, 2007).

Kriteria Roma III menjelaskan dua pola dispepsia yang berbeda tergantung pada apakah gejala tersebut terutama berkaitan dengan asupan makanan dan atau berkaitan dengan ketidakmampuan untuk menyelesaikan makan (postprandial

(10)

distres syndrome) atau lebih didominasi oleh rasa sakit (epigastric pain syndrome) (Abdullah & Gunawan, 2012).

Sementara pola ini dikembangkan lebih berdasarkan kepada pendapat ahli daripada bukti klinis, beberapa data yang mendukung relevansi klinis untuk perbedaan ini mulai muncul dengan satu penelitian misalnya, menunjukkan bahwa kecemasan berhubungan dengan postprandial distres syndrome tetapi tidak berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan yang lain menunjukkan bahwa genetik berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan tidak berhubungan dengan postprandial distres syndrome (Abdullah & Gunawan, 2012).

2.5. Kriteria Diagnosis Dispepsia Fungsional

Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila ditemukan adanya kelainan organik atau struktural organ lambung, perlu dipikirkan kemungkinan diagnosis dispepsia organik, sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat organik pada pemeriksaan endoskopi (Abdullah &

Gunawan, 2012). Roma III memberikan kriteria diagnostik untuk dispepsia fungsional seperti table 2.2 berikut:

(11)

Tabel 2.2. Kriteria Diagnostik Roma III untuk Dispepsia Fungsional Dispepsia Fungsional

Memenuhi salah satu gejala atau lebih dari:

 Rasa penuh setelah makan yang mengganggu.

 Rasa cepat kenyang.

 Nyeri epigastrium.

 Rasa terbakar di epigastrium.

dan

 Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk hasil endoskopi saluran cerna bagian atas) yang mungkin dapat menjelaskan timbulnya gejala.

Kriteria terpenuhi selama minimal 3 bulan, dengan onset gejala minimal 6 bulan sebelum diagnosis.

(Diterjemahkan dari Chang, 2006).

2.6. Penatalaksanaan Dispepsia Fungsional

Penatalaksanaan dispepsia awal terdiri dari pengkajian riwayat penyakit untuk mengetahui semua gejala dispepsia sangat penting untuk mengetahui apa masalah utama dari pasien. Hal ini penting karena penatalaksanaan dispepsia bertujuan untuk mengendalikan gejala daripada pengobatan permanen penyakitnya. Pemeriksaan fisik yang lengkap untuk menyingkirkan adanya gangguan struktural seperti pemeriksaan endoskopi sangatlah diperlukan.

Langkah selanjutnya adalah menentukan tujuan dari terapi. Langkah ini harus memperhatikan tujuan dasar dilakukannya pengobatan yaitu tidak hanya mencegah kematian, tetapi juga menolong kehidupan. Tujuan terapi pada pasien dispepsia fungsional adalah bagaimana pasien mampu mengelola kekhawatiran terhadap penyakitnya dan mampu meningkatkan kualitas kesehatannya (Loyd &

McClelan, 2011). Dalam Ilmu Kesehatan Jiwa atau Ilmu Psikiatri terdapat

(12)

subspesialisasi Consultation Liaison Psychiatry (CLP) yang mempunyai peranan menjembatani Bagian Psikiatri dengan Bagian Spesialisasi lainnya atau sebaliknya. CLP bertujuan memberikan pelayanan yang holistik, tidak hanya kesembuhan penyakit secara fisik namun juga meliputi kesehatan mental serta kualitas hidup pasien (Musana dkk, 2006). Secara umum pengobatan gangguan dispepsia fungsional dengan pendekatan CLP dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu : somatoterapi, psikoterapi, manipulasi lingkungan dan sosioterapi.

Pembagian tersebut hanyalah merupakan bentuk karya ilmu yang dipergunakan untuk mempermudah pemikiran. Manusia sebagai makhluk Bio-Psiko-Sosial- Spiritual yang tidak dapat terpisahkan menuntut ketiga golongan penatalaksanaan tersebut untuk dilakukan secara bersamaan dan komprehensif (Loyd & McClelan, 2011).

2.6.1 Consultation Liaison Psychiatry (CLP)

Consultation Liaison Psychiatry (CLP) merupakan subspesialis dari psikiatri yang berperan sebagai penghubung yang memungkinkan kerja sama antara psikiater dengan spesialis medis lain. Dalam CLP seorang psikiater berperan sebagai penyalur keahlian psikiatri dengan disiplin ilmu lainnya yaitu : Ilmu Penyakit Dalam untuk membantu penanganan komorbiditas psikologik, psikiatrik, dan psikofisiologik pada pasien yang mengalami keluhan dispepsia.

Jadi CLP meliputi pelajaran, pelatihan, pengajaran komorbiditas medik (Aksis III) dan Psikiatrik (Aksis I dan II). Seorang psikiater Consultation Liaison harus mempunyai tehnik komunikasi yang baik, ilmu pengetahuan yang luas dalam hal interaksi antara obat psikotropik dan medis lainnya (Loyd & McClelan, 2011).

(13)

CLP didasarkan pada enam prinsip dalam penanganan dispepsia fungsional (Loyd

& McClelan, 2011). :

 Hubungan kerja yang erat antara psikiater dan internist. Hubungan ini

menjadi lebih penting dari pada permintaan konsultasi tertulis dan bentuk dasar dari laporan pribadi antara dokter selama proses konsultasi.

 Keterlibatan psikiater sejak awal perjalanan terapi pasien, terutama setelah

dilakukan pemeriksaan endoskopi dan tidak ditemukan adanya suatu kelainan structural.

 Keterlibatan dalam seluruh team medis pada terapi pasien dispepsia.melalui kerjasama yang erat dengan tenaga kesehatan sosial dan keperawatan, psikiater dapat memperluas perannya termasuk pengawasan terhadap orang yang terlibat dalam perjalanan diagnosis dan perawatan dari pasien dispepsia

 Komitmen untuk mengikuti perjalanan dari pasien dispepsia. Konsultasi

yang sederhana tidak cukup. Setelah saran untuk terapi diberikan, CLP harus mengikuti seluruh perjalanan di rumah sakit, bahkan setelah pemutusan hubungan dilakukan.

 Pemahaman terhadap konflik utama intrapsikis dan intrakeluarga.

Hubungan psikoterapi antara pasien dan psikiater dapat mempertimbangkan keuntungan bagi pasien dan keluarga.

 Perhatian terhadap fungsi dari “medical ombudsman.” Psikiater liaison dapat menolong penerimaan terhadap teknologi dan badan pelayanan kesehatan mutakhir

(14)

2.6.2. Penanganan Secara Farmakologi

Setelah penerapan CLP dapat dijalankan dengan baik, penanganan gangguan dispepsia fungsional dapat diberikan secara farmakologi berdasarkan disiplin Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Psikiatri. Beberapa terapi farmakologi yang bisa diberikan pada pasien dispepsia fungsional : antasida, Histamine H2 receptor antagonists (H2RA), Proton pump inhibitors (PPI), Cytoprotective or mucoprotective agents, Prokinetic agents, obat-obat anti H. Pylori, dan obat-obat psikotropik antara lain : antipsikotik, antidepressant, antianxiety, mood stablizer.

Walaupun pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan adanya suatu kelainan struktural, tetapi pemberian farmakologi masih termasuk didalam penanganan gangguan dispepsia fungsional. Penanganan ini lebih dikenal dengan nama Somatoterapi(Kandulski dkk, 2011).

2.6.3. Penanganan Secara Psikoterapi

Penanganan selanjutnya sebagai bagian dari CLP adalah psikoterapi, ada beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, terangkan pasien, yakinkan bahwa tidak terdapat gangguan organik pada diri pasien, bila perlu lakukan pemeriksaan fisik yang teliti disertai tes laboratorium. Beri kesempatan pasien untuk bertanya dan terangkan mekanisme fisiologi serta keterangan tentang gejala-gejala. Kedua, beri penjelasan kepada pasien bahwa keluhannya dapat dimengerti dan gejala tersebut juga dijumpai pada orang lain yang pernah berobat.

Bantu pasien mengenali permasalahannya dan arahkan ke pola yang lebih sehat yang akan bermanfaat. Beritahu bahwa gejala tersebut timbul karena kecemasan dan ketegangan psikis namun dapat diobati setelah beberapa waktu. Terapi

(15)

cognitive-Behavior terbukti efektif pada pasien dengan dispepsia fungsional.

Terapi ini membantu pasien secara sadar mengenali gejala nyeri pada daerah episgastrium dan keluhan cepat kenyang, mengubah cara berpikir mengenai ide- ide penyebab nyeri dengan pola pikir yang lebih realitas, memberikan tehnik relaksasi dan melakukan pengalihan perhatian (Soo dkk, 2004).

2.6.4. Penanganan Secara Manipulasi Lingkungan dan Sosioterapi

Terapi selanjutnya dalam penanganan dispepsia fungsional sebagai bagian dari CLP adalah manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pada terapi ini akan melibatkan orang-orang terdekat yang berpengaruh kepada pasien seperti pasangan, keluarga dan kerabat untuk membantu mewujudkan pola therapeutic community (Soo dkk, 2004).

2.7. Kepribadian

Kepribadian berasal dari kata latin yaitu persona yang berarti sebuah topeng yang biasa digunakan dalam sebuah petunjukan drama atau teaterikal, yang digunakan para aktor romawi kuno dalam menjalankan perannya. Namun seiring berjalannya waktu, kepribadian adalah pola sifat yang relatif permanen dan mempunyai karakteristik yang unik yang secara konsisten mempengaruhi perilakunya (Feist & Feist, 2009).

Larsen dan Buss mendefinisikan kepribadian adalah seperangkat sifat-sifat psikologikal dan mekanisme di dalam diri individu yang diatur yang relatif menetap dan dapat mempengaruhi interaksi individu dengan yang lain serta untuk beradaptasi dengan lingkungan baik intrafisik, fisik, dan lingkungan sosial. Trait digambarkan sebagai karakteristik yang mendiskripskan kebiasaan dimana setiap

(16)

orang berbeda dengan yang lain (Larsen & Buss, 2002) Penelitian lainnya, mendefinisikan kepribadian sebagai jumlah total dari cara seseorang untuk bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain.

2.7.1. Big Five Personality

Big Five personality adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah dimensi kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor. Lima dimensi trait kepribadian tersebut adalah neuoriticism, extraversion, agreeableness, openness dan conscientiousnes (Friedman & Schustack, 2008).

Big Five merupakan model dari struktur trait kepribadian. Trait kepribadian didefinisikan sebagai dimensi dari perbedaan individual yang cenderung menunjukkan pola pikiran, perasaan, dan perbuatan yang konsisten.

Ketika mendeskripsikan individu dengan trait yang baik ini berarti bahwa individu tersebut cenderung berbuat baik setiap waktu dan pada setiap situasi.

Definisi yang luas ini menyatakan bahwa traits dapat dibagi menjadi tiga fungsi utama: traits dapat digunakan untuk meringkas, memprediksi dan menjelaskan tingkah laku seseorang, sehingga salah satu alasan terkenalnya konsep traits adalah bahwa traits menyediakan jalan yang ekonomis untuk meringkas bagaimana seseorang dapat berbeda dengan yang lainnya. Traits memperkenankan seseorang untuk membuat prediksi mengenai perilaku seseorang selanjutnya (Feist & Feist, 2009).

(17)

2.7.2. Dimensi Big Five Personality

Dimensi-dimensi Big Five personality menurut Costa & McCrae adalah sebagai berikut (Feist & Feist, 2009) :

a. Neuroticism (N)

Individu dengan skor tinggi pada dimensi neuroticism, memiliki kecenderungan untuk mengalami kecemasan, temperamental, mengasihani diri sendiri, sadar diri, emosional, dan rentan terhadap gangguan stres. Seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang rendah akan lebih gembira dan puas terhadap hidup jika dibandingkan dengan yang memiliki tingkat neuroticism tinggi, sedangkan individu dengan skor yang rendah pada N, biasanya tenang, bertemperamental datar, puas akan diri sendiri, dan tidak emosional.

b. Extraversion (E)

Extraversion juga sering disebut dengan surgency. Individu dengan skor tinggi pada dimensi extraversion (E) cenderung penuh dengan kasih sayang, periang, banyak bicara, suka berkumpul, dan menyukai kesenangan. Selain itu, individu tersebut akan mengingat seluruh interaksi sosial, berinteraksi dengan lebih banyak orang jika dibandingkan dengan individu yang memiliki skor E rendah. Dimensi extraversion dicirikan dengan kecenderungan yang positif seperti memiliki antusiasme tinggi, mudah bergaul, energik, tertarik dengan banyak hal, mempunyai emosi positif, ambisius, workaholic serta ramah terhadap orang lain.

Extraversion juga memiliki motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama serta dominan dalam lingkungannya. Sebaliknya,

(18)

individu dengan tingkat extraversion rendah lebih menyukai berdiam diri, tenang, pasif, dan kurang mampu mengungkapkan perasaannya.

c. Openness (O)

Dimensi openness membedakan antara individu yang memilih variasi dibandingkan dengan individu yang menutup diri serta individu yang mendapatkan kenyamanan dalam hubungan mereka dengan hal-hal dan orang- orang yang mereka kenal. Individu yang terus menerus mencari perbedaan dan pengalaman yang bervariasi akan memiliki skor tinggi pada dimensi (O).

Openness mengacu pada bagaimana individu tersebut bersedia untuk melakukan penyesuaian terhadap suatu situasi dan ide yang baru. Individu tersebut memiliki ciri mudah bertoleransi, memiliki kapasitas dalam menyerap informasi, fokus dan mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas.

Individu dengan tingkat openness yang rendah digambarkan sebagai pribadi yang berpikiran sempit, konservatif dan tidak menyukai adanya perubahan.

d. Agreeableness (A)

Dimensi agreeableness membedakan antara individu yang berhati lembut dengan yang tidak mengenal belas kasihan. Individu dengan skor yang lebih mengarah pada dimensi ini memiliki kecenderungan untuk memiliki kepercayaan yang penuh, dermawan, suka mengalah, penerima, dan baik hati. Dimensi A ini juga disebut dengan social adaptibility atau likability, yaitu mencirikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah dan menghindari konflik.

Sedangkan pada individu dengan tingkat agreeableness yang rendah, suka

(19)

mencurigai, kikir, tidak ramah, mudah tersinggung, cenderung untuk lebih agresif dan mengkritik orang lain serta kurang kooperatif.

e. Conscientiousness (C)

Conscientiouness digambarkan dengan individu yang patuh, terkontrol, teratur, ambisius, berfokus pada pencapaian, dan disiplin diri. Dimensi conscientiouness ini dapat juga disebut dengan dependability, impulse control dan will to achive. Secara umum, individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini adalah pekerja keras, cermat, tepat waktu, dan tekun. Sebaliknya, pada individu yang berskor rendah dalam dimensi ini cenderung tidak teratur, lalai, pemalas, dan tidak memiliki tujuan serta mudah menyerah ketika menemui kesulitan dalam tugas-tugasnya.

Tabel 2.3. Dimensi Big Five Personality(Pervin dkk, 2005).

Skor Tinggi Skala Dimensi Skor Rendah Mudah khawatir, gugup,

emosional, merasa tidak aman, tidak mampu, mudah panik

Neuroticism Tenang, rileks, tidak emosional,

memiliki daya tahan terhadap stres, merasa aman, puas atas diri sendiri

Suka bergaul, aktif, banyak bicara, orientasi pada orang lain, optimis, terbuka terhadap perasaannya, penuh kasih sayang

Extraversion Suka menyendiri, sederhana, tidak berlebihan dalam kesenangan, menjauhkan diri, orientasi pada tugas, pemalu, serius

Memiliki rasa ingin tahu yang besar, minat yang

Openness Sederhana, minat yang menetap, tidak artistik, tidak

(20)

luas, kreatif dan modern analitis, rendah hati dan menjaga tradisi

Bersifat lembut, baik hati, mudah percaya, penolong, pemaaf, penurut, jujur

Agreeableness Suka mengejek, tidak sopan, curiga, kasar, tidak kooperatif, pendendam, cepat marah, suka memerintah dan manipulatif

Orang yang suka mengatur, dapat diandalkan, pekerja keras, disiplin, rapi, ambisius dan tekun

Conscientiousness Tidak memiliki tujuan, tidak bisa diandalkan, lalai, pemalas, tidak perhatian, ceroboh, memiliki kemauan yang lemah

2.7.3. Pengukuran Big Five Personality

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur Big Five personality, diantaranya NEO-PI-R, CPI, 16-PF, Big Five Factor Maker dan lain-lain (Mastuti, 2005). Sedangkan menurut Pervin dkk, 2005 terdapat dua instrumen untuk mengukur Big Five personality, yaitu:

a. NEO-PI-R yang di kembangkan oleh Costa dan McCrae (1992).

b. International Personality Item Pool NEO (IPIP-NEO) yang dibuat oleh Lewis Goldberg pada tahun 1992. Skala ini dibuat berdasarkan teori Big Five yang digunakan oleh Costa dan McCrae dalam membuat NEO PI-R. Skala ini terdiri dari 50 transparent bipolar adjective dan 100 unipolar adjective markers.

(21)

2.8. Big Five Personality dan Dispepsia Fungsional

Faktor emosi, memori, dan self esteem merupakan komponen yang membentuk kepribadian manusia (Martens dkk, 2008). Kepribadian merupakan pola kompleks perilaku yang dihasilkan dari interaksi antara ciri kepribadian dengan neurobehaviour (Lenzenweger & Clarkin, 2005). S. Freud pada teori psikoanalitik klasik berhasil mengembangkan teori kepribadian yang membagi struktur mind ke dalam tiga bagian yaitu : consciousness (alam sadar), preconsciousness (ambang sadar) dan unconsciousness (alam bawah sadar). Dari ketiga aspek kesadaran, unconsciousness adalah yang paling dominan dan paling penting dalam menentukan perilaku manusia Di dalam unsconscious tersimpan ingatan masa kecil, energi psikis yang besar dan instink. Preconsciousness berperan sebagai jembatan antara conscious dan unconscious, berisi ingatan atau ide yang dapat diakses kapan saja. Consciousness hanyalah bagian kecil dari mind, namun satu-satunya bagian yang memiliki kontak langsung dengan realitas

(Koenigsberg dkk, 2009). Konflik yang terjadi pada masa awal-awal kehidupan, terutama pada usia 0 sampai 6 tahun yaitu pada fase oral, anal, dan phalik, sangat berperan terbentuknya kepribadian seseorang setelah dewasa. Semua konflik- konflik yang terjadi pada fase tersebut akan terrepresi atau tersimpan ke alam bawah sadar atau unconscious. Saat dewasa, energi negatif yang tersimpan di alam bawah sadar pada awal kehidupan (fase oral, anal dan phalik) akan muncul dalam bentuk suatu demensi kepribadian tertentu atau personality traits misalnya terfiksasi fase oral akan bisa membentuk suatu kepribadian skizoid atau paranoid, bila terfiksasi di fase anal atau phalik akan membentuk kepribadian

(22)

histrionik, dependen atau cemas menghindar. Khususnya pada kepribadian histrionik dan cemas menghindar konflik-konflik yang tersimpan di alam bawah sadar akan dimunculkan ke alam sadar dalam bentuk gejala-gejala konversi sebagai bentuk mekanisme pembelaan diri. Gejala-gejala konversi bila berlangsung berulang kali akan muncul keluhan-keluhan fisik dalam wujud Somatisasi, salah satunya dispepsia fungsional (Oldham dkk, 2009; Kaplan dkk, 2010). Teori Psikoanalisis dari S. Freud lainnya mengembangkan suatu konsep struktur kepribadian, yaitu id, ego dan super ego. Id adalah struktur paling mendasar dari kepribadian, seluruhnya tidak disadari dan bekerja menurut prinsip kesenangan, tujuannya pemenuhan kepuasan yang segera. Ego berkembang dari id, struktur kepribadian yang mengontrol kesadaran dan mengambil keputusan atas perilaku manusia. Superego, berkembang dari ego saat manusia mengerti nilai baik buruk dan moral. Superego merefleksikan nilai-nilai sosial dan menyadarkan individu atas tuntuta moral. Apabila terjadi pelanggaran nilai, superego menghukum ego dengan menimbulkan rasa salah. Ego selalu menghadapi ketegangan antara tuntutan id dan superego. Apabila tuntutan ini tidak berhasil diatasi dengan baik, maka ego terancam dan muncullah kecemasan (anxiety). Dalam rangka menyelamatkan diri dari ancaman, ego melakukan reaksi defensif atau pertahanan diri. Hal ini dikenal sebagai defense mecahnism yang jenisnya bisa bermacam-macam, salah satunya: konversi, represi yang bila berlangsung lama, akan muncul keluhan-keluhan somatik salah satunya adalah mengenai organ lambung yang dikenal dengan istilah sindrom dispepsia (Kaplan dkk,2010;Krueger& Tackett, 2006).

(23)

Memori merupakan inti dari kepribadian. Memori individu didapat dari kognitif atau dari trauma yang dialami saat masa perkembangan. Kepribadian dipengaruhi oleh derajat trauma, tahap perkembangan saat terjadi trauma, keluarga meliputi dinamika interpersonal, genetik, dan neurobiologi (Magnavita, 2004). Kepribadian juga ditentukan oleh mekanisme koping yang dilakukan individu tersebut akibat suatu stresor. Stresor atau stimulus asing yang berlangsung lama akan menyebabkan respon neurobiologi sebagai berikut: 1) adanya perasaan negatif dari kecemasan karena merasa tidak aman dan tidak yakin, 2) peningkatan gejala otonomik untuk cadangan energi dalam potensial aksi sel, 3) selektif dalam perhatian untuk memaksimalkan input sensorik pada lokasi tertentu, 4) peran kognitif untuk menerapkan strategi tertentu. Daerah hipotalamus dan amigdala terangsang dan terjadi peningkatan CRH sebagai respon terhadap stimulus yang ada. Jalur CRH di sistem peripheral yang berlokasi di nukleus paraventrikular dari hipotalamus akan teraktivasi dan menyebabkan pengeluaran kortisol dari kelenjar adrenal. Kortisol akan masuk ke pembuluh darah dan meningkatkan glukoneogenesis dan jika kadarnya berlebihan akan mempengaruhi keseimbangan neurotransmiter yang mengatur emosi, memori, dan kemauan. Amigdala sentral dan amigdala basolateral mengaktifkan neuron CRH di lateral hipotalamus. CRH di lateral hipotalamus akan memodulasi kerja dari sistem saraf otonomik. Proyeksi neuron ke intermediolateral cell coloumn ke spinal cord akan mengaktifkan sistem otonom simpatik preganglion. Jalur CRH juga mengaktifkan Locus coeruleus sehingga norepinephrine dikeluarkan ke

(24)

reseptor beta adrenergik yang menciptakan emosi yang tidak spesifik (Lenzenweger & Clarkin, 2005).

Neurotransmiter yang juga terpengaruh adalah dopamin. Peningkatan aktivasi amigdala menyebabkan kadar metabolit dopamin di CSF rendah, ikatan dopamin transporter juga rendah, dan jumlah reseptor D2 berkurang sehingga menyebabkan perubahan perilaku yang terjadi dan jika berlangsung lama maka perilaku tersebut bisa menetap dan membentuk kepribadian individu tersebut (Oldham dd, 2009). Genetik berhubungan erat dengan terbentuknya struktur kepribadian. Genetik berhubungan erat dengan extravertion dan neuroticism, sedangkan pengaruh genetik pada concientiousness, agreeableness, dan openness masih diragukan. Extraversion dan neuroticism berhubungan dengan proses psikologi seperti perhatian, persepsi, memori, dan emosi. Neuroticism berkaitan dengan peningkatan aktivasi amigdala dan subgenual Anterior Cingulate Cortex pada saat menghadapi konflik emosional (John dkk, 2008). Aktivasi saraf simpatis akan menyebabkan berbagai respon tubuh salah satunya di lambung. Kadar kortisol yang tinggi dalam darah juga akan menyebabkan seseorang menjadi rentan terhadap stimulus dan stresor dari luar dirinya. Gangguan lambung yang bersifat fungsional merupakan manifestasi dari sensitivitas menyeluruh terhadap adanya rangsangan yang baru atau stimulus yang dianggap bersifat ancaman.

Gangguan lambung fungsional yang paling sering terjadi adalah dispepsia fungsional ( Ammerman, 2006).

(25)

Referensi

Dokumen terkait

Data sheet dari citra parasit malaria plasmodium falcifarum ini akan dilakukan uji coba dengan menggunakan Support Vector Machine (SVM) dengan menggunakan aplikasi weka

Bahwa sesuai ketentuan dalam Pasal 90 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan

Meskipun tegangan sensor ini dapat mencapai 30 volt akan tetapi yang diberikan kesensor adalah sebesar 5 volt, sehingga dapat digunakan dengan catu daya tunggal

Dari data yang diperoleh persentase kerusakan dan penyakit tanaman serta kerusakan mekanik yang ada pada pohon di Jalan Pajajaran secara umum masih sangat sedikit, maka

Metode based solution adalah sintesis material aktif dengan mencampurkan material awal dengan pelarut, sehingga reaksi yang terjadi antara material awal lebih

Penyakit akut dan kronis pada saat kehamilan seperti infeksi saluran urinari, hipertensi, preeklampsia, dan diabetes adalah faktor resiko yang paling sering menyebabkan bayi

Sebagai informasi bagi guru mengenai perbedaan pemahaman konseppeserta didik sebelum dan setelah pembelajaran, baik dari nilai tes, tugas (LKS) maupun hasil obsevasi

 Entitas anak tidak dikonsolidasi tetapi sebagai investasi dengan metode ekuitas.  Pajak menggunakan konsep pajak terutang bukan pajak tangguhan..  Mengacu pada praktik