• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Teori Sistem Hukum Lawrence M Friedman Menurut Lawrence M Friedman, dalam bukunya The Legal System : A

Social Science Perspective (Sistem Hukum: Sebuah Perspektif Ilmu Sosial)

hukum dipandang sebagai suatu sistem, maka untuk dapat memahaminya perlu menggunakan pendekatan sistem. Hukum adalah gabungan antara komponen struktur,substansi dan kultur :

a. Komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.

b. Komponen substantif yaitu sebagai output dari sistem hukum, berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.

c. Komponen kultural yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum, atau oleh Lawrence M Friedman disebut sebagai kultur hukum (Esmi Warassih, 2005:30).

Komponen struktur dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi (lembaga) yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut. Salah satu diantara institusi tersebut adalah peradilan dengan berbagai perlengkapannya. Mengenai hal ini Lawrence M Friedman menulis:

”….structure is the body, the framework, the longlasting shape of the

system; the way courts of police depatements are organized, the lines of

jurisdication, the table of organization”(Lawrence

M.Friedman,1969:16).

“....struktur adalah bodi atau kerangka, bentuk sistem yang bermotif, cara pengorganisasian pengaturan departemen kepolisian, garis-garis yurisdiksi, bagan organisasi (Lawrence M.Friedman,1969:16).

(2)

commit to user

Substansi hukum meliputi aturan-aturan hukum, norma-norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan-keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun. Mengenai hal ini Lawrence M.Friedman, menyatakan sebagai berikut:

“Subtance is what we call the actual rules or norms used by

institutions,(or as the case may be) the real observable behavior patterns of actors within the system(Lawrence M.Friedman,1969:17).

“Subtansi adalah apa yang kita kenal dengan peraturan atau norma

aktual yang digunakan oleh institusi, (atau sebagai kans mungkin) pola-pola tingkah laku yang dapat observasi secara nyata di dalam sistem (Lawrence M.Friedman,1969:17).

Sedangkan terkait dengan budaya hukum (legal culture) oleh Lawrence M.Friedman didefinisikan sebagai berikut:

“….attitude and values that related to law and legal system, together

with those attitudes and values affecting behavior related to law and its

institutions, ether positively or negatively”(Lawrence

M.Friedman,1969:28).

“....sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum dan sistem hukum, bersama dengan sikap dan nilai yang mempengaruhi tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan institusinya baik negatif maupun positif” (Lawrence M.Friedman,1969:28).

Teori Lawrence M Friedman dalam penulisan hukum ini digunakan sebagai dasar untuk menganalisis jalannya implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar di Kebun Binatang Gembira Loka Yogyakarta dengan menemukan hambatan yang terjadi dalam proses implementasi dan untuk dicarikan solusi untuk mengatasi hambatan tersebut.

2. Tinjauan Umum tentang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990

Mengenai konservasi sumber daya alam hayati telah terdapat peraturan perundang-undangan sejak zaman Hindia Belanda, yaitu diantaranya:

Dierenbeshermingsordonnatie 1931, jatchtordonnantie java en madura

1940,natuurbeschermingordonnantie 1941 (Koesnadi

(3)

commit to user

Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang diundangkan pada tanggal 10 Agustus tahun 1990 maka ketentuan terdahulu yang telah dimuat dalam Undang-Undang ini sudah tidak berlaku lagi. Undang-Undang ini merupakan lex specialis dari Undang-Undang Kehutanan karena Undang-Undang konservasi ini mengatur mengenai sebagian hutan dan kawasan hutan yang telah diatur secara umum dalam Undang-Undang Kehutanan (Sukanda Husin,2009:79). Undang-Undang ini memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok dan mencakup semua segi di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sedangkan pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

Undang-Undang ini merupakan jawaban atas kekhawatiran terhadap kepunahan keanekaragaman hayati di indonesia apabila tidak dikelola secara

wise up. Ancaman kepunahan dapat diantisipasi dengan upaya pencegahan

dalam bentuk perlindungan terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia. Sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, menurut pendapat Laden Marpaung menjelaskan bahwa pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dilaksanakan melalui kegiatan sebagai berikut :

a. pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; b. pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, yang mana perlindungan dari bahaya

kepunahan dengan cara pengawetan. Maksud pengawetan disini adalah usaha untuk menjaga agar keanekaragaman Jenis satwa tersebut beserta ekosistemnya tetap terjaga dan tidak punah (Muhammad Iqbal dkk,2014:10).

Sesuai Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 merumuskan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dalam ekosistemnya secara serasi dan seimbang. Tujuan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang

(4)

commit to user

Nomor 5 Tahun 1990 yaitu untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 menjelaskan bahwa pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan : perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, Pemanfaatan secara lestari sumber daya alami hayati dan ekosistemnya. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa terkait dengan Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan :

a. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam; b. pemanfaatan jenis Tumbuhan dan satwa liar.

Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan, memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar seperti yang tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 menyebutkan bahwa pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan dalam bentuk : pengkajian, penelitian dan pengembangan; penangkaran; perburuan; perdagangan; peragaan; pertukaran; budidaya tanaman obat-obatan; pemeliharaan untuk kesenangan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 merupakan induk dari peraturan perundang-undangan yang membahas mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, ini menjadi hal yang penting karena penelitian hukum ini membahas isu yang berkaitan dengan konservasi sehingga akan ada peninjauan terhadap isu peragaan yang diangkat agar sesuai dan selaras dengan peraturan induknya. Maksud selaras dalam hal ini untuk menunjukkan bahwa pengaturan yang berjenjang dan bertingkat terkait dengan konservasi telah sesuai dan tidak saling bertentangan satu sama lain.

(5)

commit to user

3. Tinjauan tentang Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Peraturan Pemerintah ini diundangkan pada 27 januari 1999. Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pemanfaatan jenis adalah penggunaan sumber daya alam baik tumbuhan maupun satwa liar dan atau bagian-bagiannya serta hasil dari padanya dalam bentuk : pengkajian, penelitian dan pengembangan; penangkaran; perburuan; perdagangan; peragaan; pertukaran; budidaya tanaman obat-obatan; dan pemeliharaan untuk kesenangan.

Salah satu pemanfaatan satwa baik dilindungi maupun tidak dilindungi ialah melalui peragaan. Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 menjelaskan bahwa peragaan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat berupa koleksi hidup atau koleksi mati termasuk bagian-bagiannya serta hasil dari padanya. Pasal 28 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 menjelaskan bahwa peragaan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilakukan oleh lembaga konservasi dan lembaga-lembaga pendidikan formal. Terkait dengan peragaan yang dilakukan oleh orang atau Badan di luar lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) harus dengan izin Menteri.

Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan menyatakan perolehan dan penggunaan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi untuk keperluan peragaan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 30 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan bahwa Lembaga, badan atau orang yang melakukan peragaan tumbuhan dan satwa liar bertanggung jawab atas kesehatan dan keamanan tumbuhan dan satwa liar yang diperagakan. Terkait dengan standar teknis kesehatan dan keamanan tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan peragaan akan diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Tinjauan tentang Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 ini berkaitan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya yaitu

(6)

Undang-commit to user

Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Keterkaitan yang dimaksudkan ialah untuk pedoman dasar pelaksanaan progam konservasi di Indonesia. Penelitian hukum ini membahas isu peragaan terkait dengan pemanfaatan satwa secara lestari yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 sehingga perlu pendalaman materi terkait peragaan agar mampu menggambarkan kesesuaian antara pengaturan dan pelaksanaan dilapangan terkait praktek peragaan.

4. Tinjauan Umum tentang Konservasi a. Pengertian Konservasi

Kata lestari memiliki arti tetap seperti keadaan semula,tidak berubah,bertahan dan kekal (KBBI,2012:820). Apabila dikaitkan dengan kalimat pelestarian maka mempunyai makna sebagai perlindungan dari kemusnahan atau kerusakan, pengawetan. Berdasarkan pengertian mengenai pelestarian fungsi lingkungan hidup diatas,maka logika yang harus diambil dari pengertian tersebut bahwa yang dilestarikan itu adalah fungsi lingkungan hidup tersebut bukan lingkungan an sich. Dengan demikian kesimpulannya, lingkungan dapat dikelola dengan tetap menjaga fungsi dari lingkungan tersebut. Oleh karena itu, untuk melestarikan lingkungan hidup perlu dilakukan perlindungannya (Supriadi,2010:190-191).

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.31/Menhut-Ii/2012 tentang Lembaga Konservasi, mendefinisikan konservasi adalah langkah-langkah pengelolaan tumbuhan dan/atau satwa liar yang diambil secara bijaksana dalam rangka memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan generasi masa mendatang. Menurut pendapat Fachrul Ramadhan dalam jurnal online TransBORDER Kerja Sama Indonesia-Malaysia-Brunai Mengenai

Progam Konservasi Heart Of Borneo, pengertian dari konservasi adalah

upaya pelestarian lingkungan, tetapi tetap memperhatikan manfaat yang dapat diperoleh pada saat itu dengan tetap mempertahankan keberadaan

(7)

commit to user

setiap komponen lingkungan untuk pemanfaatan dan masa depan (Fachrul Ramadhan,2012:232).

b. Tujuan dan Sasaran Konservasi

Konservasi alam harus dilakukan secara kontinuitas atau berkelanjutan agar dapat menjaga kondisi alam secara lestari sehingga dapat dimanfaatkan secara terus-menerus tanpa merusak kondisi ekosistem alam. Ada tiga tujuan utama dilakukanya konservasi alam bagi kehidupan manusia yaitu:

1) mengusahakan terwujudnya sumber daya alam hayati; 2) keseimbangan ekosistemnya;

3) upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia perlindungan satwa dan kaitannya dengan konservasi sumber daya alam (Bambang Pamulardi,1999:177).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya merupakan pedoman dasar konservasi di Indonesia. Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, ada tiga hal yang menjadi sasaran konservasi yaitu :

1) menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan; 2) menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah);

3) mengendalikan cara-cara Pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya.

c. Lembaga Konservasi

(8)

commit to user

Berdasarkan Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.52/Menhut-Ii/2006 tentang Peragaan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi, mendefinisikan Lembaga Konservasi adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan atau satwa liar di luar habitatnya (ex-situ), yang berfungsi untuk pengembangbiakan dan atau penyelamatan tumbuhan dan atau satwa, dengan tetap menjaga kemurnian jenis, guna menjamin kelestarian keberadaan dan Pemanfaatannya.

Lembaga Konservasi mempunyai fungsi utama pengembangbiakan dan atau penyelamatan tumbuhan dan satwa, dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Lembaga Konservasi juga mempunyai fungsi sebagai tempat pendidikan, peragaan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, sarana perlindungan dan pelestarian jenis, serta sarana rekreasi yang sehat. Pengelolaan Lembaga Konservasi dilakukan berdasarkan etika dan

kaidah kesejahteraan satwa

(http://bksdadiy.dephut.go.id/halaman/2014/13/Lembaga_Konservasi.ht ml, diakses tanggal 27 maret 2014 pukul 19.00wib).

2) Bentuk Lembaga Konservasi

Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.31/Menhut-Ii/2012 tentang Lembaga Konservasi, merumuskan bentuk Lembaga Konservasi yaitu : pusat penyelamatan satwa; pusat latihan satwa khusus; pusat rehabilitasi satwa; kebun binatang; taman safari; taman satwa; taman satwa khusus; museum zoologi; kebun botani; taman tumbuhan khusus; atau herbarium.

3) Hak dan Kewajiban Lembaga Konservasi a) Hak

Berdasarkan unduhan dari situs Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta(http://bksdadiy.dephut.go.id/halaman/2014/13/Lembag

(9)

commit to user

a_Konservasi.html, diakses tanggal 27 Maret 2014 Pukul 19.00 WIB). Lembaga Konservasi tumbuhan dan satwa berhak untuk : (1) memperoleh jenis tumbuhan dan satwa;

(2) memanfaatkan hasil perkembangbiakan tumbuhan dan satwa sesuai ketentuan yang berlaku;

(3) bekerjasama dengan Lembaga Konservasi lain di dalam atau di luar negeri, antara lain untuk : pengembangan ilmu pengetahuan, tukar menukar jenis tumbuhan dan satwa, peragaan, dan pengembangbiakan sesuai ketentuan yang berlaku;

(4) memperagakan jenis tumbuhan dan satwa di dalam areal pengelolaannya;

(5) memperoleh manfaat hasil penelitian Jenis Tumbuhan dan satwa;

(6) menerima imbalan jasa atas kegiatan usahanya. b) Kewajiban

Berdasarkan unduhan dari situs Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta(http://bksdadiy.dephut.go.id/halaman/2014/13/Lembag a_Konservasi.html, diakses tanggal 27 maret 2014 pukul 19.00wib). Kewajiban Lembaga Konservasi tumbuhan dan satwa adalah :

(1) membuat Rencana Karya Pengelolaan (RKP) dalam jangka waktu 1 (satu) Tahun sejak diterimanya izin;

(2) membuat Rencana Karya Lima Tahun (RKL) Pengelolaan; (3) membuat Rencana Karya Tahunan (RKT) Pengelolaan; (4) melakukan penandaan atau sertifikasi terhadap spesimen

koleksi tumbuhan dan satwa yang dipelihara;

(5) membuat buku daftar silsilah (studbook) masing-masing jenis satwa yang hidup;

(10)

commit to user

(6) mengelola (memelihara, merawat, memperbanyak tumbuhan dan mengembangkan jenis satwa) sesuai dengan etika dan kesejahteraan satwa;

(7) melakukan upaya penyelamatan Tumbuhan dan satwa; (8) memperkerjakan tenaga ahli sesuai dengan bidangnya; (9) memberdayakan masyarakat setempat;

(10) melakukan pencegahan dan penularan penyakit;

(11) melakukan upaya pengamanan dan menjaga keselamatan pengunjung, petugas, serta Tumbuhan dan satwa;

(12) membuat dan menyampaikan laporan triwulan dan tahunan mengenai perkembangan pengelolaan tumbuhan dan satwa kepada Direktur Jenderal PHKA dengan tembusan Kepala BKSDA setempat;

(13) membayar pungutan penerimaan negara bukan pajak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5. Tinjauan tentang Satwa Dilindungi

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.52/Menhut-Ii/2006 tentang Peragaan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar Dilindungi, mendefinisikan satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.52/Menhut-Ii/2006 mendefinisikan satwa liar yang dilindungi adalah Jenis satwa baik hidup maupun mati serta bagian-bagiannya yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi.

Pasal 20 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya menggolongkan Jenis Tumbuhan dan satwa yang dilindungi kedalam : tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan; tumbuhan dan satwa yang populasinya jarang. Penetapan status jenis tumbuhan dan satwa menjadi dilindungi wajib dilakukan apabila telah memenuhi kriteria dalam Pasal 5 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 7

(11)

commit to user

Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa yaitu: mempunyai populasi yang kecil, adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam, daerah penyebaran yang terbatas (endemik).

Konsekuensi penetapan status jenis tumbuhan dan satwa dilindungi menyebabkan Jenis Tumbuhan dan satwa tersebut lebih diperhatikan dalam segi proteksi atau perlindungan terhadapnya. Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, apabila terjadi peningkatan populasi jenis tumbuhan dan satwa dilindungi telah mencapai tingkat pertumbuhan tertentu dapat diubah statusnya menjadi tidak dilindungi. Pasal 4 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 menyebutkan bahwa terhadap perubahan status dari jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi menjadi tidak dilindungi dan sebaliknya ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah mendapat pertimbangan Otoritas Keilmuan (Scientific Authority).

6. Tinjauan tentang Kebun Binatang

Berdasarkan Pasal 1 angka 7 Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.31/Menhut-Ii/2012 tentang Lembaga Konservasi, kebun binatang memiliki pengertian tempat pemeliharaan satwa sekurang-kurangnya 3 (tiga) kelas taksa pada areal dengan luasan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) hektar dan pengunjung tidak menggunakan kendaraan bermotor (motor atau mobil). Berdasarkan Pasal 9 Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.31/Menhut-Ii/2012 tentang Lembaga Konservasi, terdapat tujuh kriteria bagi kebun binatang yang terdiri atas :

a. memiliki satwa yang dikoleksi sekurang-kurangnya 3 (tiga) kelas taksa baik satwa yang dilindungi, satwa yang tidak dilindungi atau satwa asing; b. memiliki luas areal sekurang-kurangnya 15 (lima belas) hektar;

c. memiliki sarana pemeliharaan dan perawatan satwa, sekurang-kurangnya terdiri atas:

1) kandang pemeliharaan; 2) kandang perawatan;

(12)

commit to user 4) kandang sapih;

5) kandang peragaan; 6) areal bermain satwa; 7) gudang pakan dan dapur; 8) naungan untuk satwa;

9) prasarana pendukung pengelolaan satwa yang lain. d. memiliki fasilitas kesehatan, sekurang-kurangnya terdiri atas:

1) karantina satwa; 2) klinik;

3) laboratorium; 4) koleksi obat.

e. memiliki fasilitas pelayanan pengunjung, sekurang-kurangnya terdiri atas: 1) pusat informasi;

2) toilet;

3) tempat sampah; 4) petunjuk arah;

5) peta dan informasi satwa; 6) parkir;

7) kantin/restoran; 8) toko cindera mata; 9) shelter;

10) loket;

11) pelayanan umum.

f. memiliki tenaga kerja permanen sesuai bidang keahliannya, sekurang-kurangnya terdiri atas:

1) dokter hewan; 2) kurator;

3) tenaga paramedis;

4) penjaga/perawat satwa (animal keeper); 5) tenaga keamanan;

(13)

commit to user 7) tenaga administrasi;

8) tenaga pendidikan konservasi; g. memiliki fasilitas kantor pengelola; h. memiliki fasilitas pengelolaan limbah.

(14)

commit to user B. Kerangka Pemikiran

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar

Pemanfaatan Satwa Liar

Implementasi Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999: a. Pengkajian, penelitian dan pengembangan; b. Penangkaran; c. Perburuan; d. Perdagangan; e. Peragaan; f. Pertukaran; h. Pemeliharaan untuk kesenangan. Hambatan Solusi Peragaan Satwa di Gembira Loka

Substansi Struktur Budaya

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

(15)

commit to user Keterangan:

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dijalankan dengan dibuatnya peraturan pelaksananya yaitu : Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar memuat ketentuan mengenai pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar. Terkait pemanfaatan terhadap satwa liar, diklasifikasikan menjadi dua yaitu: satwa dilindungi dan satwa tidak dilindungi. Satwa dilindungi merupakan satwa yang secara Undang-Undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya dikategorikan kedalam Jenis yang dilindungi. Pemanfaatan satwa liar tercantum dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 yaitu dilakukan dengan: pengkajian, penelitian dan pengembangan; penangkaran; perburuan; perdagangan; peragaan; pertukaran; pemeliharaan untuk kesenangan.

Terhadap pemanfaatan satwa liar yang khusunya tergolong satwa yang dilindungi perlu dilakukan pemanfaatan secara lestari atau pelestarian satwa agar tidak punah. Salah satu cara pemanfaatan satwa ialah dengan dilakukan peragaan. Pasal 28 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 menjelaskan bahwa peragaan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilakukan oleh lembaga konservasi dan lembaga-lembaga pendidikan formal. Terkait upaya pelestarian satwa dari ancaman kepunahan, sangat tepat dilakukan terhadap satwa dilindungi agar terjaga kelestariannya dan dapat bermanfaat sebagai sarana edukasi kepada seluruh masyrarakat. Salah satu Lembaga Konservasi yang melakukan peragaan satwa dilindungi ialah Kebun Binatang Gembira Loka Yogyakarta.

Dalam penelitian hukum ini, penulis ingin mengetahui dan menganalisis peragaan satwa dilindungi di Kebun Binatang Gembira Loka Yogyakarta apakah telah melaksanakan peragaan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dikaji berdasarkan

(16)

commit to user

teori berlakunya hukum menurut Lawrence M Friedman terkait dengan substansi,struktur dan kultur. Berdasarkan hal tersebut tujuan analisa dilakukan untuk menemukan hambatan dalam penerapan peraturan pemerintah tersebut serta menemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan hambatan tersebut sehingga pelaksanaan penangkaran satwa dilindungi sebagai upaya pelestarian satwa di Kebun Binatang Gembira Loka Yogyakarta telah sesuai dengan amanat Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

Gambar

Gambar 2. Kerangka Pemikiran  Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Referensi

Dokumen terkait

Penyelesaian Administrasi Pemberian Tanda Kehormatan Satya Lencana Karya Satya PNS. Jasa Lainnya

Bahasannya mencakup sekilas tentang integrasi sistem RF, teknik ekstraksi data dan ekstraksi informasi sektor dokumentasi, dengan fokus bahasan pada perbedaan

masukkan unsur pengacara suatu hal yang tidak mungkin, karena menurut Pasal 2 ayat (3) di situ telah ditentukan siapa anggotanya Panitia Piutang Negara itu yaitu terdiri dari

Murid wajib bersikap santun, hormat dan tidak melakukan penghinaan secara fisik atau non fisik, dan atau / ancaman yang merendahkan martabat guru

Alat pengingat waktu sholat di area masjid berbasis raspberry pi menggunakan TV LCD sebagai display dari jadwal waktu sholat yang jadwal sholatnya dapat

Kegiatan kelompok BKR Percontohan ini sangat penting sehingga terjadi komunikasi antara remaja dengan orang tua tentang kesehatan reproduksi yang selama ini belum

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia- Nya sehingga upaya penyusunan buku pedoman pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata Program Pendidikan

Pada dasarnya cahaya dapat merambat lurus atau memantul di dalam core serat optik, pemantulan cahaya terjadi karena indeks bias core lebih besar dibandingkan indeks