• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN BERBASIS LEARNER AUTONOMY UNTUK MELATIHKAN KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI MAHASISWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBELAJARAN BERBASIS LEARNER AUTONOMY UNTUK MELATIHKAN KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI MAHASISWA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBELAJARAN BERBASIS LEARNER AUTONOMY UNTUK

MELATIHKAN KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI

MAHASISWA

Abdul Salam M1, Sarah Mariam2 1salam_pfis@unlam.ac.id 2sarah_pfis@unlam.ac.id

Pendidikan Fisika Universitas Lambung Mangkurat Abstrak

Proses pembelajaran IPA/Fisika yang umum digunakan selama ini masih berpusat pada guru/dosen dengan metode drill. Penelitian ini mencoba memberikan alternatif pilihan kepada guru/dosen agar secara bertahap memberi otonomi kepada peserta didiknya dalam proses belajar mengajar, sekaligus untuk meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa/mahasiswa. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa semester dua program studi Pendidikan Fisika FKIP ULM tahun akademik 2014/2015. Penelitian ini dilaksanakan menggunakan Pretest

And Postest Group Design. Hasil penelitian menunjukkan: (1) aktivitas

mahasiswa yang mencirikan otonomi belajar semakin meningkat; (2) hasil belajar mahasiswa yang meliputi tes kemampuan berpikir tingkat tinggi memberikan gain score sebesar 0,77 yang berkategori tinggi; dan (3) respon mahasiswa berupa minat dan motivasi terhadap perkuliahan adalah baik.

Kata kunci: pembelajaran, learner autonomy, berpikir tingkat tinggi. I. PENDAHULUAN

Peningkatan mutu pendidikan adalah sebuah keniscayaan bagi bangsa Indonesia yang masih berpredikat sebagai negara berkembang untuk bisa menuju ke predikat lebih tinggi sebagai sebuah negara maju. Peningkatan kualitas pendidikan ini dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya oleh faktor pengajar, siswa, sarana dan prasarana pendukung, serta tak kalah pentingnya juga adalah proses pembelajarannya. Sesuai dengan amanah undang-undang pendidikan nasional tahun 2003 dan undang-undang pendidikan tinggi tahun 2012, maka pembelajaran harus diarahkan pada pengaktifan peserta didik untuk mengembangkan potensi dalam dirinya. Peserta didik tidak menjadi objek pendengar dalam proses pembelajaran, namun harus diposisikan sebagai subjek pembelajar yang aktif mengembangkan kemampuannya melalui kegiatan diskusi dan penyelesaian masalah.

Rendahnya aktivitas siswa dalam proses pembelajaran yang terjadi selama ini baik ditingkat dasar sampai pada tingkat pendidikan tinggi berimbas pada hasil belajar siswa yang rendah, apalagi dalam pembelajaran IPA. Hal ini bisa dilihat dari hasil TIMSS dan PISA yang menempatkan Indonesia pada posisi yang belum memuaskan. Rendahnya partisipasi aktif siswa/mahasiswa dalam proses pembelajaran kemungkinan besar dipengaruhi oleh pola pembelajaran selama ini yang masih didominasi oleh metode ceramah dan drill (berpusat pada guru). Perlu adanya pergeseran paradigma oleh guru dengan memberikan otonomi kepada peserta didiknya secara perlahan.

Merujuk pendapat Howe dan Jones (1993) tentang learner autonomy, maka guru/dosen harus memahami betul karakteristik dari peserta didiknya. Karakteristik tersebut termasuk didalamnya level kemampuan yang telah dimiliki oleh peserta didik

(2)

untuk memasuki kajian/materi pembelajaran tertentu. Guru/dosen harus mampu merancang pembelajaran yang sesuai dengan level otonomi peserta didiknya, sampai pada pemilihan model pembelajaran yang tepat.

Pemilihan model pembelajaran yang mengakomodir kemampuan peserta didik dalam bentuk pemberian otonomi belajar secara empiris telah terbukti memberikan hasil belajar yang lebih baik (Suyidno, 2010; Salam dkk, 2015). Tingkat perguruan tinggi khususnya program studi Pendidikan Fisika FKIP ULM hendaknya memberikan perhatian yang besar terhadap peningkatan kompetensi dasar keilmuan mahasiswa sebagai calon guru. Diantara kompetensi dasar keilmuan tersebut yang masih perlu perhatian yang cukup adalah kemampuan memformulasikan fenomena fisika, menyelesaikan fenomena/gejala fisika dalam kehidupan sehari-hari, serta kemampuan merancang kegiatan eksperimen fisika. Kemampuan-kemampuan tersebut menurut taksonomi Bloom merupakan level kemampuan berpikir tingkat tinggi.

II. METODE

Penelitian ini merupakan replikasi dari serangkaian kegiatan penelitian pengembangan (developmental research) sebelumnya oleh peneliti. Penelitian ini menitikberatkan pada pembelajaran berbasis learner autonomy untuk melatihkan keterampilan berpikir tingkat tinggi mahasiswa calon guru fisika. Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat. Subjek uji coba penelitian adalah mahasiswa semester kedua yang mengikuti perkuliahan Fisika Dasar II pada tahun akademik 2014/2015. Jumlah sampel penelitian adalah 34 orang mahasiswa yang terdiri dari 8 laki-laki dan 26 orang perempuan.

Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan teknik observasi/pengamatan, angket, dan tes tertulis. Teknik observasi digunakan untuk memperoleh data kegiatan mahasiswa selama proses perkuliahan dengan pembelajaran berbasis learner autonomy. Observer terdiri atas 2 orang yang menempati posisi strategis dalam kelas sehingga mampu memonitor aktivitas dominan di dalam kelas selama proses perkuliahan. Aktivitas diamati setiap 5 menit menggunakan lembar observasi yang telah disiapkan.

Tes hasil belajar berbentuk essai untuk memperoleh data hasil belajar mahasiswa terkait kemampuan berpikir tingkat tinggi. Berdasarkan taksonomi Bloom yang direvisi oleh Anderson & Krathwhol (2001), digunakan soal bertaraf analyzing (C4), evaluating (C5), dan creating (C6). Tes ini diberikan 2 kali, yaitu sebelum (pretest) dan sesudah proses perkuliahan (postest) untuk melihat N-gain score.

Angket digunakan untuk mengetahui respon mahasiswa terhadap pembelajaran/-perkuliahan fisika dasar yang berbasis learner autonomy. Untuk keperluan tersebut, digunakanlah jenis respon berupa minat dan motivasi terhadap pembelajaran dengan mengadopsi respon Attention, Relevance, Confidence and Satisfaction (ARCS) yang dikembangkan oleh Keller. Respon tersebut berisi pernyataan positif dan negatif yang disusun secara proporsional.

Teknik Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil pengamatan terhadap aktivitas mahasiswa ditabulasi dan dinyatakan dalam bentuk persentase kegiatan. Data tes hasil belajar dikoreksi secara proporsional berdasarkan level pertanyaan/soal sampai dengan memperoleh N-gain score, untuk menghitung N gain score digunakan persamaan:

pretest

pretest

postest

g

%

%

100

%

%

(Hake, R.R., 1999)

(3)

Tabel 1. Kategori gain score

Rentang skor Kategori

> 0,7 Tinggi

0,7 ≥ g ≥ 0,3 Sedang

< 0,3 Rendah

Data respon mahasiswa dirata-ratakan berdasarkan aspek tinjauan, kemudian dikategorikan berdasarkan kriteria pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria Kualifikasi Respon Mahasiswa

No. Interval Skor Kategori Respon

1. 4,51 – 5,00 Sangat baik

2. 3,51 - 4,50 Baik

3. 2,51 - 3,50 Cukup baik

4. 1,51 - 2,50 Kurang baik

5. 1,00 - 1,50 Tidak baik

Diadaptasi dari Ratumanan & Laurens, (2012:145)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Penelitian

Aktivitas mahasiswa yang diamati dalam penelitian ini meliputi aktivitas: (1) memperhatikan demonstrasi oleh dosen; (2) mendengarkan penjelasan dosen; (3) melaksanakan percobaan; (4) mempresentasikan hasil percobaan; (5) mengajukan pertanyaan dan atau pendapat; (6) berdiskusi; dan (7) melakukan aktivitas yang tidak relevan. Gambar 1 memperlihatkan data aktivitas mahasiswa selama proses perkuliahan dengan 3 kali tatap muka menggunakan model pembelajaran yang berbeda. Model pembelajaran yang digunakan pada pertemuan pertama menggunakan model pembelajaran langsung, pertemuan kedua menggunakan model pembelajaran penemuan terbimbing, dan pertemuan ketiga menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe investigasi kelompok (group investigation).

Gambar 1. Diagram aktivitas mahasisiwa selama proses perkuliahan 8% 41% 15% 8% 10% 18% 0% 4% 27% 17% 8% 18% 27% 0% 4% 26% 17% 8% 18% 28% 0%

(4)

Data hasil belajar mahasiswa sebelum dan setelah diimplementasikannya pembelajaran berbasis learner autonomy secara singkat ditampilkan dalam Tabel 3

Tabel 3 Statistik deskriptif hasil belajar mahasiswa

Tinjauan Skor Pretest Postest

Maksimum 13,6 96,4

Minimum 0,0 55,9

Rerata 4,5 78,2

standar deviasi 3,4 9,4

Nilai gain score yang diperoleh adalah sebesar 0,77 yang berada dalam kategori tinggi. Jika ditinjau secara individual, maka perolehan gain score mahasiswa dikategorikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram perolehan gain score mahasiswa

Respon mahasiswa berupa minat dan motivasi terhadap pembelajaran diperlihatkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram respon mahasiswa terhadap pembelajaran

3.2 Pembahasan

Pembelajaran berbasis learner autonomy berakar pada pembelajaran konstruktivis yang menghendaki siswa/mahasiswa membangun sendiri pengetahuannya melalui aktivitas belajar yang dilakukannya. Pembelajaran konstruktivis diawali dengan adanya konsep schaffolding yaitu pemberian bantuan belajar kepada peserta didik pada tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian secara perlahan mengurangi bantuan tersebut seiring dengan bertambahnya kemampuan dari peserta didik (Slavin, 2006).

Konteks dalam penelitian ini mengaitkan pemberian bantuan dengan model pembelajaran yang digunakan, sebagaimana yang diuraikan oleh Howe & Jones (1993) dalam bukunya Engaging Children in Science. Menurut Howe & Jones (1993), untuk

Tinggi 79% sedang 21% rendah 0% Attention Relevance Confidence Satisfaction 4.14 4.05 4.11 4.06 4.12 4.02 3.76 4.23 Motivasi Minat

(5)

memberikan otonomi belajar kepada siswa/mahasiswa, maka perlu dilakukan penelusuran tentang kemampuan/karakteristik awal siswa/mahasiswa. Tingkatan terendah adalah level satu (1) yang diberlakukan jika siswa/mahasiswa belum menguasai keterampilan dasar yang diperlukan untuk mempelajari bahan kajian/materi berikutnya. Level dua (2) jika mahasiswa telah memiliki keterampilan dasar yang diperlukan, namun mahasiswa belum terbiasa bekerja secara mandiri/kelompok melakukan penyelesaian masalah. Level tiga (3) merupakan level tertinggi dimana mahasiswa telah mampu mengorganisir diri dan merancang penyelesaian masalah yang diberikan. Memperhatikan kondisi mahasiswa Pendidikan Fisika yang masih sangat minim kemampuannya dalam menggunakan alat ukur listrik, serta upaya meminimalisir potensi kerusakan pada peralatan yang ada, maka mahasiswa ditempatkan pada level satu.

Berdasarkan analisis karakteristik mahasiswa dan karakteristik materi ajar listrik dinamis, dipilihlah pembelajaran langsung pada pertemuan pertama untuk memperkenalkan sejumlah konsep dan keterampilan dasar penggunaan alat ukur listrik, serta pemecahan masalah menggunakan keterampilan proses sains. Pertemuan kedua menggunakan model pembelajaran penemuan terbimbing untuk melatih mahasiswa melaksanakan prosedur kerja percobaan secara mandiri. Selanjutnya, pertemuan ketiga menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe investigasi kelompok untuk memberikan ruang kepada mahasiswa merancang penyelesaian masalah akademik yang diberikan melalui aktivitas penyelidikan.

Berdasarkan data aktivitas mahasiswa yang diamati oleh dua orang pengamat, diperoleh informasi bahwa aktivitas dominan yang terjadi adalah mendengarkan penjelasan dosen yang mencapai angka 41%. Hal ini sesuai dengan ciri dari model pembelajaran langsung yang memang berpusat pada guru/dosen untuk menjelaskan/mendemonstrasikan pengetahuan/keterampilan dasar yang diperlukan sebagai gerbang dari bahan kajian/materi lebih lanjut. Walau demikian, aktivitas ini tidak sepenuhnya bertumpu pada aktivitas guru/dosen, karena mahasiswa juga memberikan peran aktifnya pada fase-fase pembelajaran langsung berikutnya. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Veenman dkk (2003) yang menyatakan bahwa model pembelajaran langsung pada awalnya memposisikan siswa pada situasi yang agak pasif (mendengarkan penjelasan) saja, namun demikian akan kembali aktif pada fase membimbing pelatihan awal dan pelatihan lanjutan.

Aktivitas mendengarkan penjelasan dosen yang dominan pada pertemuan pertama berangsur-angsur menurun pada pertemuan kedua dan ketiga yaitu dari 41% menjadi 27% dan 26%. Begitupun aktivitas memperhatikan demonstrasi dosen yang menurun dari 8% pada pertemuan pertama menjadi 4% pada pertemuan kedua dan ketiga. Hal ini mengindikasikan bahwa dominasi guru/dosen dalam proses pembelajaran semakin menurun. Sejalan dengan itu, aktivitas mahasiswa dalam melaksanakan percobaan, bertanya/berpendapat, dan berdiskusi mengalami peningkatan. Hal ini mengindikasikan bahwa peran aktif mahasiswa dalam proses perkuliahan semakin meningkat. Lebih jauh lagi bahwa pembelajaran berbasis learner autonomy berhasil membawa mahasiswa pada otonomi belajar yang lebih meningkat dan menggeser pembelajaran yang awalnya berpusat pada guru/dosen menjadi berpusat pada mahasiswa.

Peningkatan aktivitas mahasiswa dalam proses pembelajaran memberikan dampak positif terhadap hasil belajar mahasiswa. Perolehan skor maksimum mahasiswa sebesar 13,6 (dari skor maksimum 100) sebelum diimplementasikannya pembelajaran berbasis learner autonomy, berhasil mengantarkan mahasiswa pada pencapaian skor maksimum 96,4 setelah implementasi pembelajaran (postest). Kemampuan berpikir tingkat tinggi mahasiswa dalam hal memformulasikan fenomena fisika yang diuji melalui tes dengan level C4 (analyzing) dalam penelitian ini diperoleh sebesar 73,9. Kemampuan

(6)

menyelesaikan fenomena/gejala fisika dalam kehidupan sehari-hari (evaluating) sebesar 74,7. Sedangkan kemampuan merancang kegiatan eksperimen fisika yang merupakan level C6 (creating) memperoleh skor rata-rata tertinggi sebesar 82,1. Hal menarik dari temuan ini bahwa kemampuan C6 mahasiswa memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi level C4 dan C5. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh karena mahasiswa sudah terbiasa dengan keterampilan proses sains pada semester sebelumnya yang dilatihkan melalui perkuliahan praktikum fisika dasar.

Secara umum, hasil belajar mahasiswa mengalami peningkatan dari skor rata-rata

pretest 4,5 menjadi 78,2 pada saat postest atau dengan gain score sebesar 0,77 yang

berkategori tinggi. Selanjutnya, jika ditinjau secara lebih mendetail ke mahasiswa secara perorangan, diperoleh data bahwa sebanyak 27 orang mahasiswa (79%) memperoleh gain

score diatas 0,7 yang merupakan ambang bawah kategori tinggi dan sebanyak 7 orang

mahasiswa (21%) mahasiswa dengan perolehan gain score berkategori sedang. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian Suyidno (2010) yang memberikan hasil peningkatan kemampuan pemecahan masalah oleh siswa yang diajar dengan pembelajaran berbasis

learner autonomy. Hasil yang sama juga diperlihatkan oleh penelitian Salam dkk (2015)

pada tingkat perguruan tinggi.

Respon mahasiswa terhadap pembelajaran berbasis learner autonomy yang diukur menggunakan angket respon berupa minat dan motivasi ARCS memberikan hasil diatas 3,5 yang merupakan batas bawah kategori baik. Aspek perhatian, relevansi, kepercayaan diri dan kepuasan mahasiswa baik dari sudut pandang minat maupun motivasi terhadap pembelajaran/perkuliahan telah berkategori baik. Menurut Sardiman (2010) prinsip dan hukum pertama dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran adalah seseorang akan berhasil dalam belajar kalau pada dirinya sendiri ada keinginan atau dorongan untuk belajar (motivasi). Keberhasilan akan memunculkan motivasi untuk memunculkan keberhasilan berikutnya (Salam, 2015).

IV. PENUTUP

Berdasarkan data hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa: (1) Pembelajaran berbasis learner autonomy mampu meningkatkan aktivitas mahasiswa yang mencirikan otonomi belajar; (2) hasil belajar mahasiswa yang meliputi tes kemampuan berpikir tingkat tinggi memberikan gain score sebesar 0,77 yang berkategori tinggi, (3) respon mahasiswa berupa minat dan motivasi terhadap pembelajaran berbasis learner

autonomy adalah baik.

Pembelajaran berbasis learner autonomy sangat relevan dengan Kurikulum 2013 sehingga penelitian ini sangat mungkin untuk diadaptasi dan diimplementasikan pada level sekolah menengah.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, L.W. and Krathwhol, D.R. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and

Assessing; A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. New

York: Addison Wesley Longman, Inc.

Hake, R.R. 1999. “ Interactive-engagement vs traditional methods: A six-thousand student survey of mecanics test data for intriductury physics course”. American

Journal of physics.

Howe, A. C. and Jones, L. 1993. Engaging Children in Science. New York: Macmillan College Publishing Company.

Ratumanan, T.G. dan Laurens, T. 2011. Penilaian Hasil Belajar pada Tingkat Satuan

(7)

Salam, A. Prabowo, Supardi, ZAI. 2015. “Pengembangan perangkat perkuliahan inovatif berdasarkan tingkat otonomi pebelajar pada perkuliahan Fisika Dasar”. Jurnal

Penelitian Pendidikan Sains. Vol 4 No.22 pp 547-556.

Sardiman. 2010. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Slavin, R.E. 2006. Educational Psychology; Theory and Practice. 8th edition. New Jersey: Pearson Education Inc.

Suyidno. 2010. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Inovatif untuk Melatihkan Keterampilan Memecahkan masalah kepada siswa sekolah menengah pertama.

Tesis Magister Pendidikan tidak dipublikasikan: Pascasarjana Unesa.

Veenman, S. 2003. “The Influence of a Course on Direct and Activating Instruction upon Student Teachers’ Classroom Practice”. The Journal of Experimental Education. Vol. 71 No. 3. pp.197-225.

(8)

Gambar

Tabel 2. Kriteria Kualifikasi Respon Mahasiswa  No.  Interval Skor  Kategori Respon
Tabel 3 Statistik deskriptif hasil belajar mahasiswa  Tinjauan Skor  Pretest  Postest

Referensi

Dokumen terkait

Karya seni sebagai simbol, tidak berupa suatu konstruksi atau susunan yang bisa diuraikan unsur-unsurnya, melainkan suatu kesatuan yang utuh, maknanya ditangkap dalam arti

Pengaruh intensitas cahaya dan penyiraman air yang berbeda terhadap perkembangan serat batang rosella dapat diketahui dari 3 variabel yang diamati yaitu jumlah sel,

Aktivitas pengendalian dari suatu perusahaan yang relevan dengan tujuan audit spesifik untuk transaksi pembelian, dengan mengidentifikasi beberapa dokumen dan catatan penting

Simulasi dapat digunakan sebagai metode mengajar dengan asumsi tidak semua proses pembelajaran dapat dilakukan secara langsung pada objek yang sebenarnya.. Gladi

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Undang-Undang

• Heuristik yang bagus dapat secara dramatis mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan persoaln dengan cara mengeliminir kebutuhan untuk mempertimbangkan kemungkinan

Sekretariat Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah berpendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya, namun sering terlambat dalam melaksanakan tugas karena daya tangkap

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan adalah limbah minuman rumah tangga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol, metode proses pembuatan bioetanol