15
BAB II
MITOS, SIMBOL DAN GENDER
2.1 Pengantar
Untuk mengakaji tentang keseimbangan gender Umametan Lawalu, maka penulis akan menggunakan beberapa teori, diantaranya adalah teori mitos menurut Mircea Eliade, teori simbol menurut Victor Turner, Mircea Eliade, Paul Tillich, Talal Asad dan Anthony P. Cohen serta teori gender menurut Ann Oakley. Namun, dalam penelitian ini, penulis juga akan menggunakan beberapa konsep yang akan mendukung pembahasan tentang simbol dan gender tersebut. Kerangka teori ini yang diharapkan dapat membantu penulis untuk menganalisa setiap hasil temuan yang didapatkan dari lapangan.
2.2 Mitos dalam Kaitannya dengan Simbol
Dalam bagian ini penulis akan membahas mengenai mitos dalam kaitannya dengan simbol. Pembahasan ini akan dimulai dengan pemaparan tentang pengertian mitos itu sendiri dan dilanjutkan dengan hubungan mitos dan simbol yang ada. Diakhir pembahasan ini, penulis akan memberikan sebuah gambaran korelasi antara mitos, simbol dan tindakan yang berlaku dalam masyarakat.
2.2.1 Pengertian Mitos
Menurut Mircea Eliade, mitos adalah realitas budaya yang sangat kompleks dan dapat didekati serta dimaknai dari berbagai sudut pandang dan pelengkap. Mitos menceritakan sejarah suci yang menghubungkan suatu peristiwa pada waktu primordial dan masa dongeng dari "permulaan". Mitos hanya menceritakan apa yang benar-benar terjadi. Makhluk Supranatural merupakan aktor dalam mitos, yang dikenal karena apa yang mereka lakukan pada masa transenden dari “permulaan”. Aktivitas mereka,
16
kesucian (kesaktian) dan karya-karya merekalah yang diungkapkan dalam mitos. Secara singkat, mitos menggambarkan berbagai terobosan dramatis dan kadang-kadang dari yang sakral (atau "supernatural") ke dunia. Mitos dianggap sebagai cerita sakral, karena hal ini menunjuk pada "sejarah yang benar," dan selalu berurusan dengan realitas. Mitos kosmogonik adalah "benar" karena keberadaan dunia ada untuk membuktikannya.1
Mitos dianggap sebagai teladan yang patut dicontoh bagi setiap kegiatan manusia karena pada dasarnya mitos mengaitkan ulasan dari Makhluk Supernatural dan manifestasi dari kekuatan suci mereka. Dalam pengalaman misionaris dan etnologis C. Strehlow, yang dikutip oleh Eliade ketika bertanya kepada Arunta Australia mengapa mereka melakukan upacara tertentu, maka jawaban yang selalu mereka berikan adalah: "Karena nenek moyang begitu memerintahkannya." Selain itu, The Kai of New Guinea menolak untuk mengubah cara mereka hidup dan bekerja karena dalam pandangan mereka, itulah yang dilakukan oleh Nemu (Leluhur Mitos), dan mereka kembali melakukan hal yang sama. Dengan penggambaran ini, maka fungsi mitos yang paling utama adalah untuk mengungkapkan model teladan bagi semua ritus manusia dan semua aktivitas manusia yang signifikan seperti perkawinan, pekerjaan atau pendidikan; seni atau kebijaksanaan.2
Menurut Eliade, mitos tidak hanya menarasikan asal-usul dunia, hewan, tumbuhan, dan manusia, tetapi juga semua peristiwa primordial sebagai akibat dari mana keadaan manusia saat ini (fana, terorganisir dalam masyarakat, wajib bekerja untuk hidup, dan bekerja sesuai dengan aturan tertentu). Jika dunia ada, jika manusia ada, itu karena Mahluk Supernatural menggunakan kekuatan kreatif mereka di "awal". Tetapi setelah kosmogoni dan penciptaan manusia, peristiwa-peristiwa lain terjadi, dan manusia seperti sekarang ini adalah hasil langsung dari peristiwa-peristiwa mistis tersebut. Ia didasari
1
Mircea Eliade, Myth and Reality, (New York: Harper and Row, 1963), 5-6.
2
17
oleh peristiwa-peristiwa itu. Misalnya pada suku tertentu yang bertahan hidup dengan memancing. Hal ini terjadi karena pada zaman mitos seorang Supranatural mengajarkan nenek moyang mereka untuk menangkap dan memasak ikan. Dalam mitos menceritakan kisah tentang menangkap ikan untuk pertama kali, mengungkapkan ajaran Supernatural yang diberikan bagi manusia untuk melakukannya, dan pada akhirnya, menjelaskan mengapa suku tersebut harus mendapatkan makanan mereka dengan cara seperti ini.3
Secara umum dapat dikatakan bahwa mitos, sebagaimana dialami oleh masyarakat kuno, merupakan sejarah tindakan-tindakan Supernatural dan sejarah ini dianggap benar (karena berkaitan dengan kenyataan) serta sakral (karena hal ini adalah karya dari Supernatural). Mitos selalu terkait dengan "ciptaan", ia menceritakan bagaimana sesuatu muncul, atau bagaimana pola perilaku, lembaga, dan cara kerja yang didirikan. Inilah yang menjadi alasan mengapa mitos membentuk paradigma untuk semua tindakan manusia yang signifikan. Dengan mengetahui mitos, seseorang dapat mengetahui "asal-usul" benda-benda dan karenanya dapat mengendalikan dan memanipulasi mereka sesuka hati. Mitos bukan pengetahuan "eksternal" dan "abstrak" tetapi pengetahuan yang "dialami" secara ritual, baik dengan seremonial ketika menceritakan mitos atau dengan melakukan ritual yang merupakan pembenarannya. Ketika kita dengan satu atau lain cara "menghidupkan" mitos, maka kita ditangkap oleh kekuatan yang suci dan agung dari peristiwa-peristiwa yang terulang kembali atau diberlakukan kembali.4
2.2.2 Kaitan antara Mitos, Ritual, Simbol dan Tindakan
Dalam pembahasan sebelumnya tergambar dengan jelas bahwa mitos dan ritual tidak dapat dipisahkan. Eliade menyebutkan bahwa ritual menjadi sebuah bentuk pembenaran dari mitos yang ada. Menurut Eliade ritus tidak dapat dilakukan kecuali "asal" nya diketahui, yaitu mitos yang menceritakan bagaimana hal itu dilakukan untuk
3
Eliade, Myth and, 11 & 12.
4
18
pertama kali. Menurut Bronislav Malinovski yang dikutip oleh Eliade, mengungkapkan bahwa mitos dalam budaya primitif sebagai suatu pemenuhan fungsi yang tak tergantikan. Ia mengekspresikan, meningkatkan, dan mengkodifikasikan keyakinan, ia melindungi dan menegakkan moralitas, ia menjamin efisiensi ritual dan berisi aturan-aturan praktis untuk bimbingan manusia. Mitos merupakan unsur vital peradaban manusia; bukan dongeng kosong, tetapi kekuatan aktif yang bekerja keras, bukan penjelasan intelektual atau citra artistik, tetapi piagam pragmatis dari keyakinan primitif dan kebijaksanaan moral.5
Menurut Eliade, konsep metafisis dunia kuno tidak senantiasa dirumuskan dalam bahasa teoritis, namun simbol, mitos, ritus, ucapan pada tingkatan yang berbeda dan melalui sarana yang tepat merupakan sistem penegasan koheren yang rumit tentang realitas akhir segala sesuatu, sistem yang dapat dipandang sebagai bahan metafisik. Jika seseorang mengahadapi kesulitan dalam menembus makna otentik mitos maupun simbol kuno, orang tersebut tidak dapat melakukan apapun kecuali bahwa makna ini menunjukkan kesadaran akan situasi tertentu di dalam kosmos, dan akibatnya hal itu mengimplikasikan sikap metafisis. Jika kita melihat perilaku umum manusia kuno, kita menemukan fakta bahwa objek dunia lahiriah maupun tindakan manusia, sama sekali tidak memiliki nilai intrinsik yang otonom. Objek maupun tindakan akan mendapatkan nilai dan menjadi nyata, karena mereka berpartisipasi, menurut salah satu cara atau cara yang lain dalam realitas.6
Menurut Eliade baik mitos, ritual, simbol dan tindakan merupakan sesuatu yang terus mengalami pengulangan dari waktu ke waktu. Hal-hal tersebut tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan sebelumnya sudah pernah ada bahkan dilakukan sejak permulaan waktu. Konstruksi ritus adalah pengorbanan yang berlangsung pada saat pendasaran
5
Eliade, Myth and, 17, 19 & 20.
6
Mircea Eliade, Mitos Gerak kembali yang Abadi: Kosmos dan Sejarah, ed. Supriyanto Abdullah, trans. Cuk Ananta (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002), 3.
19
dunia. Waktu ritual menurut Eliade, sama persis dengan waktu mistik permulaan. Ritual dalam bentuk apapun tersingkap bukan hanya dalam ruang yang ditasbihkan, melainkan juga dalam waktu suci, yang merujuk pada suatu waktu ketika ritual dilakukan untuk yang pertama kalinya oleh dewa, leluhur atau pahlawan. Dalam penjelasannya, Eliade juga menekankan bahwa setiap ritual memiliki model ilahinya. Sesuatu harus dilakukan karena hal tersebut telah dilakukan oleh dewa pada permulaan. Sehingga secara singkat dapat disimpulkan bahwa bagi orang primitif, bukan hanya melakukan ritual yang memiliki model mitis melainkan tindakan manusia yang berupa apa saja membutuhkan keefektifan sehingga melalui tindakan tersebut dapat mengulangi tindakan yang dilakukan pada awal waktu oleh dewa, pahlawan ataupun leluhur.7
Eliade menjelaskan bahwa ritus dihubungkan dengan kosmologi dunia. Ritus berlaku hingga saat ini karena tidak ada sesuatu yang abadi jika hal itu tidak dihidupi atau jika hal itu tidak diberi “ruh” melalui pengorbanan. Jika mitos seringkali diikuti ritus, fakta yang sama tidak mengurangi karakter suci ritual tersebut. Mitos itu pada akhirnya hanya sebagai formulasi, namun isinya adalah kuno dan mengacu pada sakramen, yaitu pada tindakan yang mengasumsikan realitas mutlak.8
Menurut Eliade, mitos juga merupakan simbol. Apabila simbol yang ada, digunakan dalam bentuk narasi, maka hal tersebut akan menjadi sebuah mitos. Simbol berakar pada prinsip keserupaan atau analogi. Mitos bukan satu gambar atau tanda melainkan urutan gambar yang dimasukan ke dalam bentuk narasi. Hal ini menceritakan kisah para dewa, para leluhur atau pahlawan dan dunia mereka yang supranatural.9 Dalam hal ini simbol tampak sebagai bahasa yang dipahami oleh semua anggota komunitas. Bahasa mengekspresikan kondisi sosial bersejarah dan psikis dari pemakai
7 Eliade, Mitos Gerak, 20-22. 8
Eliade, Mitos Gerak, 20 & 28.
9
20
simbol dan hubungannya dengan masyarakat dan kosmos. Simbol dari setiap jenis dan pada tingkat apapun selalu konsisten dan sistematis.10
Menurut Eliade, dalam perilaku sadar, manusia primitif kuno tidak menerima tindakan yang sebelumnya tidak dilakukan dan dihidupi oleh orang lain. Apapun yang dia lakukan, telah dilakukan sebelumnya. Hidupnya merupakan pengulangan yang terus menerus atas sikap yang diawali oleh orang lain. Pengulangan sadar atas sikap paradigmatik tertentu ini mengungkapkan ontologi yang asli. Isyarat membutuhkan makna, realitas dan hanya sampai tingkatan yang mana isyarat tersebut mengulangi tindakan primordial.11
Ada tiga prinsip koleksi fakta yang dapat membantu kita untuk mengidentifikasikan struktur ontologi kuno tersebut. Pertama, fakta yang ditunjukan pada kita, bagi manusia kuno, realitas itu merupakan fungsi imitasi atas arkitipe surga. Kedua, fakta yang ditunjukan pada kita bagaiamana realitas itu dianugerahkan melalui partisipasi dalam simbolisme pusat, dimana kota, kuil, rumah menjadi nyata karena fakta tentang keberadaannya diasimilasikan dengan pusat dunia. Ketiga, ritual dan isyarat profan yang penting dihubungkan dengan mereka, dan mematerialisasikan makna tersebut, hanya karena mereka diulang secara sengaja dengan tindakan sebagaimana adanya yang diberikan oleh para dewa, pahlawan atau leluhur.12
Mitos, Ritual dan Simbol pada akhirnya memiliki kontribusi yang besar bagi kehidupan dan tindakan manusia. Dalam hal ini, mitos sebagai sebuah bentuk narasi yang menceritakan tentang sosok Supranatural yang memberikan mereka berbagai ajaran untuk terus diberlakukan. Pemberlakuan atas apa yang mereka dapatkan ini akan muncul dalam ritus-ritus yang ada dalam kehidupan mereka dan terwujud dalam sebuah simbol yang secara nyata akan terus terpelihara. Ketika mereka mengadakan kembali ritual
10
Mircea Eliade, Patterms in Comparative Religion, (New York: Sheed and Ward, 1958), 451.
11
Eliade, Mitos Gerak, 5.
12
21
tersebut dan menghargai simbol-simbol yang ada, maka mereka tidak akan melupakan apa yang ada dalam mitos yang merupakan landasan bagi perilaku-perilaku mereka. Sehingga kehidupan mereka seutuhnya hanya merupakan sebuah pengulangan dari apa yang telah diwariskan dalam mitos, ritus dan simbol yang ada.
2.3 Simbol Menurut Para Ahli
Dalam bagian ini, penulis akan membahas pandangan beberapa ahli tentang pengertian simbol, sifat simbol, jenis simbol, fungsi dan makna simbol itu sendiri.
2.3.1 Pengertian Simbol
Kata simbol berasal dari bahasa Yunani yaitu symbollein yang berarti mencocokan. Pengertian ini berangkat dari sebuah cerita orang Yunani kuno ketika mengadakan perjanjian. Pada saat membuat perjanjian, mereka kerap kali memateraikan perjanjian itu dengan memecahkan sesuatu menjadi dua bagian dan masing-masing pihak menyimpan satu bagian. Jika salah satu pihak yang mengadakan perjanjian dikemudian hari menghendaki perjanjian itu dihormati, ia atau wakilnya mengidentifikasikan diri dengan mencocokan bagian dari barang yang telah dipecah itu dengan bagian yang lain. Kedua bagian atau kepingan itu disebut symbola. Kata symbollein ini lambat laun memiliki arti “tanda pengenalan” dalam pengertian yang lebih luas misalnya untuk anggota-anggota sebuah masyarakat rahasia. Sebuah simbol pada mulanya adalah sebuah benda, sebuah tanda, atau sebuah kata yang digunakan untuk saling mengenali dan dengan arti yang sudah dipahami.13
Dewasa ini arti simbol dianggap sangat penting. Namun, ada ketidakpastian yang besar tentang bagaimana simbol-simbol muncul, bagaimana simbol-simbol berpengaruh, dan bagaimana simbol-simbol kerap kali memudar artinya. Contoh yang paling jelas
13
22
dimana simbol memiliki arti yang teramat penting adalah bahasa-bahasa manusia. Namun, para antropolog sosial telah mengajarkan kepada kita bahwa segala macam gerak-gerik dan kegiatan tubuh juga mempunyai arti simbolis. Penyembelihan binatang, pemberian kado, proses memasak, cara-cara makan dan minum, menari dan bersandiwara, semuanya dapat berfungsi sebagai simbol. Semuanya, berhubungan dengan struktur masyarakat yang menjadi tempat panggungnya. 14
Menurut Victor Turner simbol adalah unit terkecil dari ritual yang masih mempertahankan sifat spesifik dari perilaku ritual dan yang merupakan unit terakhir dari struktur spesifik dalam konteks ritual. Pemahaman ini berangkat dari pengalamannya ketika melakukan penelitian pada masyarakat suku Ndembu di Zambia barat laut, Afrika tengah-selatan. Selain berdasarkan pada hasil penelitian tersebut, menurut Turner, dalam kamus oxford juga secara ringkas menggambarkan bahwa simbol adalah sesuatu yang dianggap persetujuan umum karena secara alami melambangkan atau mewakili atau mengingat sesuatu dengan memiliki kualitas analog atau dengan asosiasi dalam fakta atau pemikiran. Turner meyakini bahwa simbol tidak dapat dipahami tanpa mempelajari waktu dan peristiwa lainnya, karena simbol pada dasarnya terlibat dalam proses sosial.15
Menurut Talal Asad simbol bukanlah suatu objek atau peristiwa yang berfungsi untuk membawa suatu makna tetapi serangkaian hubungan antara objek atau peristiwa yang secara unik disatukan sebagai konsep, yang memiliki signifikansi intelektual, instrumental, dan emosional.16 Pemahaman Talal Asad dilatarbelakangi oleh kritik terhadap teori simbol menurut Geertz. Dalam pemahaman Geertz, meskipun sebagai suatu konsepsi, simbol mempunyai koneksi intrinsik dengan peristiwa empirik. Menurut Talal Asad, hal ini akan menyebakan sulit untuk menyebut sesuatu sebagai simbol, diuji
14
Dillistone, Daya Kekuatan, 9 & 22.
15
Victor Turner, The Forest of Symbols: Aspects of Ndembu Ritual, (Ithaca dan London: Cornel University Press, 1967), 19-20.
16
Talal Asad, Genealogies of Religion: Discipline and Reasons of Power in Christianity and Islam, (Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press, 1993), 31.
23
dan dapat diterima orang banyak berdasarkan praktek sosial. Jika simbol dianggap sebagai representasi dari realitas, ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan menurut Peirce yang dikutip oleh Talal Asad. Pertimbangan tersebut adalah pertama, maknanya mempunyai kualitas independen. Kedua, mempunyai hubungan sebab akibat yang real dengan objek dan yang ketiga, menunjukan objek yang sama dalam ide.17
Simbol menurut Mircea Eliade pun tidak terlepas dari agama, ritual dan mitos yang ada. Menurutnya pemikiran simbolik bukanlah keistimewaan eksklusif anak, penyair, atau pikiran yang tidak seimbang. Ia konsubstansial dengan eksistensi manusia, ia datang sebelum bahasa dan alasan diskursif. Simbol-simbol itu mengungkap aspek-aspek tertentu dari realitas, aspek yang paling dalam, yang menentang setiap sarana pengetahuan lainnya. Gambar, simbol dan mitos bukanlah ciptaan yang tidak bertanggung jawab dari jiwa; mereka menanggapi kebutuhan dan memenuhi suatu fungsi, yang mengungkap modalitas yang paling tersembunyi dari keberadaan. Eliade mengungkapkan bahwa semua bagian manusia yang penting dan tak terlukiskan yang disebut imajinasi berdiam di alam simbolisme dan masih hidup di atas mitos dan teologi kuno. 18
Dalam salah satu penelitiannya, Mircea Eliade ingin menunjukan citra tentang diri yang dibentuk oleh manusia dari masyarakat kuno, dan dengan tempat yang dia terima di dalam kosmos. Dia menyebutkan bahwa dalam perbedaan antara masyarakat kuno, masyarakat tradisional dan manusia dari masyarakat modern dengan jejak Yahudi-Kristen yang kuat, terletak dalam fakta bahwa manusia kuno merasakan dirinya tidak dapat dipisahkan dengan kosmos dan irama kosmik, sedangkan manusia yang berasal dari masyarakat modern, menyatakan bahwa dia berhubungan hanya dengan sejarah.
17
Novizal Wendry, “Menimbang Agama dalam Kategori Antropologi: Telaah terhadap Pemikiran Talal Asad”, Kontemplasi, Vol 4 No. 1 (Agustus 2016), 184.
18
Mircea Eliade, Images and Symbols: Studies in Religious Symbolism, (USA: Princeton University Press, 1991), 12 & 19.
24
Bagi masyarakat kuno, kosmos juga memiliki sejarah, namun sejarah kosmos dan masyarakat manusia ini merupakan sejarah suci yang dipelihara dan diwariskan melalui mitos. Mitos berlaku sebagai model bagi perayaan yang secara periodik mereaktualisasikan berbagai peristiwa besar yang terjadi pada permulaan waktu. Mitos memelihara dan mewariskan paradigma, model yang dijadikan contoh untuk semua aktivitas yang memerlukan tanggung jawab manusia.19
Menurut Mircea Eliade, dalam masyarakat kuno dan tradisional, dunia sekitarnya dipahami sebagai mikrokosmos. Setiap mikrokosmos, setiap wilayah yang dihuni, memiliki apa yang disebut "Pusat"; artinya, tempat yang suci di atas segalanya. Di Pusat tersebut, yang sakral memanifestasikan dirinya dalam totalitasnya, baik dalam bentuk hierofani dasar seperti yang terjadi di antara "primitif" atau yang lain dalam bentuk yang lebih baik dari pencerahan langsung para dewa, seperti dalam peradaban tradisional. Untuk masing-masing mikrokosmos ini mungkin ada beberapa "pusat". Selain itu, masing-masing dari "Pusat" ini dianggap dan bahkan secara harfiah melahirkan "Pusat Dunia". Tempat yang dipertanyakan sebagai "ruang suci", ditahbiskan oleh hierofani, atau dibangun secara ritual, dan bukan ruang yang profan, homogen, geometris, pluralitas "Pusat-Pusat Bumi" dalam satu wilayah yang dihuni tanpa kesulitan. Dalam geografi mitis, ruang suci adalah ruang yang pada dasarnya nyata, karena di dunia kuno mitos itu sendiri adalah nyata. Ini menceritakan manifestasi dari satu-satunya realitas yang pasti yaitu yang sakral. Dalam ruang seperti itulah seseorang memiliki kontak langsung dengan yang suci, baik yang terwujud dalam objek tertentu (tchuringas, representasi keilahian, dll) atau yang dimanifestasikan dalam simbol hiero-kosmis (Pilar dunia, Pohon Kosmik , dll). Dalam budaya yang memiliki konsep tiga wilayah kosmik, yang berasal dari Surga, Bumi, dan Neraka, "pusat" merupakan titik perpotongan dari
19
25
daerah-daerah tersebut. Di sinilah terobosan ke tempat yang lain dimungkinkan dan, pada saat yang sama, juga memungkinkan komunikasi antara ketiga wilayah tersebut.20
Mengacu pada penjelasan ini, maka simbolisme pusat menurut Mircea Eliade dapat dirumuskan dalam 3 hal. Pertama, Gunung suci (tempat bertemunya surga dan bumi) dianggap sebagai pusat dunia. Kedua, setiap kuil ataupun istana (dan diperluas, setiap kota suci, atau tempat kediaman raja) merupakan Gunung Suci yang dengan demikian menjadi Pusat. Ketiga, adanya axis mundi, kota atau kuil yang dipandang sebagai titik pertemuan antara surga, bumi dan neraka.21
Dengan berbagai pemahaman tentang simbol yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa simbol merupakan benda, bahasa atau objek yang digunakan untuk mengungkapkan sebuah makna tertentu. Simbol dapat kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari dan tanpa disadari, pemahaman kita pun terbentuk dari simbol-simbol yang ada. Misalnya dalam hal pakaian, kita sering memberikan pelabelan bagi seseorang dengan melihat apa yang mereka pakai. Pakaian menjadi sebuah simbol bagi profesi orang tertentu. Misalnya jubah hitam dengan scholar menjadi simbol bagi jabatan kependetaan.
Namun, penulis juga menyadari bahwa hadirnya sebuah simbol tidak terlepas dari pengaruh budaya dan agama yang ada dalam sebuah kelompok. Simbol tersebut tetap dipertahankan hingga saat ini, karena penggunaan simbol tersebut telah diwariskan dari waktu ke waktu. Sebagai manusia, kita cendrung untuk mengulangi apa yang telah dilakukan sebelumnya. Sama halnya dengan simbol, kita menggunakan simbol yang sama dari waktu ke waktu karena sudah terbiasa dengan apa yang telah dilakukan. Simbol menjadi bagian dari sebuah sejarah perjalanan kehidupan manusia, baik dalam
20
Eliade, Images and, 37, 39-40.
21
26
agama maupun dalam budaya yang ada. Sehingga, dapat dikatakan simbol sebagai sebuah produk sejarah yang terus dipelihara dan diwariskan.
2.3.2 Sifat Simbol
Menurut Victor Turner, struktur dan sifat simbol ritual dapat disimpulkan dari tiga kelas data, yaitu: pertama, bentuk eksternal dan karakteristik yang dapat diamati. Kedua, interpretasi yang ditawarkan oleh spesialis dan oleh orang awam. Ketiga, konteks yang signifikan dikerjakan oleh sebagian besar antropolog.22 Menurutnya, klasifikasi semacam itu akan memungkinkan kita untuk menyatakan beberapa sifat simbol ritual. Sifat pertama dan paling sederhana adalah kondensasi. Banyak hal dan tindakan terwakili dalam satu formasi. Kedua, simbol yang dominan adalah penyatuan makna yang berbeda. Huruf-huruf yang berbeda saling berkaitan berdasarkan kesamaan kepemilikan mereka terhadap kualitas analogi atau oleh asosiasi dalam fakta atau pemikiran. Kualitas atau hubungan asosiasi semacam itu dalam beberapa tema bisa sangat sepele atau acak atau didistribusikan secara luas melalui berbagai fenomena. Sifat penting ketiga dari simbol ritual adalah polarisasi makna.23
Selain Turner, Paul Tillich juga mengungkapkan bahwa simbol memiliki beberapa karakter utama, yaitu: pertama, simbol memiliki satu karakteristik yang sama dengan tanda yang menunjuk melampaui diri mereka untuk sesuatu yang lain. Namun yang terjadi dalam kenyataan adalah bahwa tanda-tanda tidak berpartisipasi dalam realitas yang mereka tunjuk, sementara simbol melakukannya. Kedua, ia berpartisipasi dalam dua hal yang ditunjukkannya, misalnya: bendera berpartisipasi dalam kekuatan dan martabat negara tempat ia berdiri. Ketiga, karakteristik simbol adalah bahwa ia membuka tingkat realitas kita, untuk memahami sesuatu berdasarkan realitas kita. Simbol membuka dimensi dan bagian dari realita untuk mampu dipahami oleh manusia.
22
Turner, The Forest, 20.
23
27
Keempat, simbol tidak bisa diproduksi dengan sengaja. Mereka tumbuh dari ketidaksadaran individu atau kolektif dan tidak dapat berfungsi tanpa diterima oleh dimensi bawah sadar keberadaan kita. Kelima, karakteristik simbol adalah konsekuensi dari fakta bahwa simbol tidak dapat ditemukan. Seperti makhluk hidup, mereka dapat tumbuh dan bisa mati. Mereka tumbuh ketika situasi sudah matang untuk mereka, dan mereka mati ketika situasinya berubah. Simbol tidak tumbuh karena orang-orang merindukan mereka, dan mereka tidak mati karena kritik ilmiah atau praktis. Mereka mati karena mereka tidak bisa lagi menghasilkan respons dalam kelompok dimana awalnya mereka diekspresikan. Lima pokok tersebut merupakan karakteristik utama dari setiap simbol. Simbol asli diciptakan dalam beberapa bidang kreativitas budaya manusia, baik dalam bidang politik, agama, dan artistic.24
2.3.3 Jenis Simbol
Menurut Sapir yang dikutip oleh Victor Turner, ada dua jenis simbol yaitu simbol referensial dan simbol kondensasi. Pertama, simbol referensial. Simbol ini termasuk bentuk-bentuk seperti pidato lisan, tulisan, bendera nasional, penandaan bendera, dan organisasi simbol lainnya yang disepakati sebagai perangkat ekonomis untuk referensi. Simbol referensial sebagaian besar bersifat kognitif dan mengacu pada fakta yang diketahui. Kedua, simbol kondensasi, yang mencakup sebagaian besar simbol ritual. Simbol kondensasi didefinisikan sebagai bentuk perilaku substitusi yang sangat kental untuk ekspresi langsung, yang memungkinkan ketegangan emosional yang nyata dalam bentuk sadar atau tidak sadar. Perbedaan utama dalam pengembangan kedua jenis simbol ini adalah simbolisme referensial tumbuh dengan elaborasi formal dalam kesadaran, sementara simbolisme kondensasi menyerang akar yang lebih dalam dan lebih dalam di
24
28
alam bawah sadar, dan menyebar kualitas emosionalnya ke jenis perilaku dan situasi yang tampaknya jauh dari makna asli simbol.25
Betolak dari penjelasan Sapir ini, Turner mengatakan bahwa simbol ritual, seperti semua simbol kondensasi, menyerang akar yang lebih dalam di alam bawah sadar. Bahkan kenalan dengan psikologi mendalam saja sudah cukup menunjukan kepada penyelidik bahwa simbol-simbol ritual, sehubungan dengan bentuk lahiriah mereka, konteks perilaku mereka, dan beberapa interpretasi pribumi yang ditetapkan pada mereka, sebagian dibentuk di bawah pengaruh motivasi-motivasi bawah sadar dan ide-ide. Sehingga dalam studi tentang simbol ritual, Turner meyakini bahwa ada tiga subdivisi yang akan sangat bermanfaat. Ketiga subdivisi tersebut adalah antropologi, teori strukturalis, dan dinamika sosial. 26
2.3.4 Pemaknaan Simbol
Menurut Anthony P. Cohen, simbol tidak memberikan kita makna melainkan memberikan kita kapasitas untuk membuat makna. Budaya, yang dibentuk oleh simbol, tidak memaksakan diri sedemikian rupa untuk menentukan bahwa semua pengikutnya harus membuat rasa yang sama. Sebaliknya, hal ini hanya memberi mereka kemampuan untuk berpikir dan, jika rasa yang dibuat cendrung sama, maka itu bukan karena pengaruh deterministik tetapi karena mereka melakukannya dengan simbol yang sama. Penggunaan simbol yang sama, dapat saja terjadi, namun makna dari penggunaan simbol tersebut tidak akan sama.27
Tidak semua kategori sosial sangat bervariasi dalam arti. Tetapi mereka yang maknanya paling sulit dipahami, yang paling sulit untuk dijabarkan, cenderung menjadi mereka yang dilindungi oleh simbolisme paling ambigu. Dalam kasus ini, isi kategori sangat tidak jelas sehingga hanya ada dalam batasan simbolisnya. Kategori-kategori
25
Turner, The Forest, 29.
26
Turner, The Forest, 33.
27
29
seperti keadilan, kebaikan, patriotisme, cinta, perdamaian, hampir tidak mungkin dijabarkan dengan tepat. Upaya untuk melakukannya selalu menghasilkan argument yang kadang-kadang lebih buruk. Tetapi jangkauan makna mereka dapat dipoles dalam simbol yang diterima secara umum - justru karena itu memungkinkan pengikutnya untuk memberikan makna mereka sendiri dalam memahami hal tersebut. Mereka berbagi simbol, tetapi tidak selalu berbagi artinya. Komunitas hanyalah simbol pengekspos batas. Simbol, itu dimiliki bersama oleh anggotanya; tetapi maknanya bervariasi dengan orientasi unik anggotanya.28 Hal ini disebabkan karena masing-masing individu memiliki pengalamannya sendiri. Cohen memberikan contoh ketika dia berpikir tentang 'ayah', refleksinya tentang ayah secara umum diinformasikan oleh pengalaman tentang ayahnya dan anak-anaknya.29
Menurut Victor Turner, ketika kita berbicara tentang "makna" suatu simbol, kita harus berhati-hati untuk membedakan setidaknya tiga tingkat atau bidang makna. Dia mengusulkan penyebutan ketiga tingkatan makna tersebut dengan penyebutan tingkat penafsiran pribumi (atau eksegetikal), arti operasional dan makna posisional. Pertama, tingkat penafsiran pribumi (atau arti eksegetikal). Pada tingkat ini, makna Eksegetis diperoleh dari mempertanyakan informan pribumi tentang perilaku ritual yang diamati. Dalam hal ini kita harus membedakan antara informasi yang diberikan oleh spesialis ritual dan informasi yang diberikan oleh orang awam, yaitu antara interpretasi esoterik dan aksoterik. Kita juga harus berhati-hati untuk memastikan apakah penjelasan yang diberikan benar-benar mewakili salah satu kategori ini atau apakah itu adalah pandangan pribadi yang unik.30
Kedua, makna operasional. Pada tingkatan ini, pencarian makna dilakukan dengan terlibat secara langsung dalam simbol ritual yang dilaksanakan. Pemahaman ini berdasar
28
Cohen, The Symbolic, 15.
29
Cohen, The Symbolic, 14.
30
pada penelitian yang dilakukan Turner pada suku Ndembu di Afrika. Dia menyebutkan bahwa banyak cahaya dapat dicurahkan pada peran simbol ritual dengan menyamakan maknanya dengan penggunaannya, dengan mengamati apa yang Ndembu lakukan dengannya, dan bukan hanya apa yang mereka katakan tentangnya. Menurutnya, level ini paling berpengaruh pada masalah dinamika sosial. Untuk pengamat harus mempertimbangkan tidak hanya simbol tetapi struktur dan komposisi kelompok yang menangani atau melakukan tindakan mimesis dengan referensi langsung padanya. Dia harus lebih jauh mencatat kualitas afektif dari tindakan ini, apakah mereka agresif, sedih, bertobat, gembira, mengejek, dan sebagainya. Dia juga harus menanyakan mengapa orang dan kelompok tertentu tidak hadir pada kesempatan tertentu, dan jika tidak ada, apakah dan mengapa mereka secara ritual dikeluarkan dari kehadiran simbol.31
Ketiga, Makna posisional. Makna posisional simbol berasal dari hubungannya dengan simbol-simbol lain dalam totalitas, yang elemen-elemennya memperoleh signifikansi mereka dari sistem secara keseluruhan. Tingkat makna ini secara langsung berkaitan dengan properti penting dari simbol ritual yang disebutkan sebelumnya. Simbol semacam itu memiliki banyak indra, tetapi secara kontekstual mungkin hanya perlu menekankan satu atau beberapa saja dari hal tersebut.32
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa makna dari sebuah simbol perlu dilihat dengan terlebih dahulu memahami maksud penggunaan simbol tersebut serta sejarah penggunaan simbol tersebut dalam masyarakat dimana simbol itu tumbuh. Simbol menjadi salah satu bagian dalam ritual kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat, terdapat mitos-mitos yang terus dipelihara dan dan diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol yang ada serta makna nya menjadi pedoman dalam melaksanan kehidupan bagi anggota masyarakat dimana simbol itu dimaknai.
31
Turner, The Forest, 51.
31
Namun, penggunaan simbol ini sering menjadi sebuah dilema baik bagi yang membaca simbol tersebut, atau bagi mereka yang benar-benar memahami makna simbol tersebut. Disatu sisi seharusnya makna yang dihasilkan dari sebuah simbol tidak berbeda jauh dengan apa yang muncul dalam simbol tersebut. Dengan kata lain, apa yang di temukan dalam simbol harus mengandung arti atau menghasilkan tindakan yang sesuai dengan apa yang disimbolkan. Namun dilain sisi, tidak menutup kemungkinan bahwa makna yang dihasilkan tidak sesuai dengan apa yang disimbolkan. Hal ini dipengaruhi oleh pemahaman bahwa setiap individu dapat memberikan makna tersendiri yang berkaitan dengan pengalaman mereka dalam penggunaan simbol tersebut. Setiap pengalaman inilah yang akan menghasilkan berbagai makna terhadap sebuah simbol yang digunakan. Dengan adanya berbagai makna ini, maka dapat saja tindakan yang dihasilkan pun tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya dari sebuah simbol. Sehingga hal ini dapat mengakibatkan sebuah simbol menjadi tidak bermakna karena tidak dapat lagi membawa makna yang sebenarnya dari penggunaan simbol tersebut.
2.4 Memahami Gender
Dalam bagian ini, akan dibahas beberapa poin yang menyangkut dengan gender. Penulis akan membahas tentang paradigma gender, perbedaan gender dalam kedudukan laki-laki dan perempuan serta ketidakadilan gender. Pembahasan ini akan menggunakan teori gender menurut Ann Oakley, dan beberapa konsep tentang gender yang dapat membantu penulis untuk lebih memahami tentang pembahasan ini.
2.4.1 Paradigma Gender
Konsep gender, seperti yang sekarang kita gunakan, menjadi istilah umum selama awal 1970-an. Ini digunakan sebagai kategori analitis untuk menarik garis batas antara perbedaan seks biologis dan cara yang digunakan untuk menginformasikan perilaku dan
32
kompetensi, yang kemudian ditetapkan sebagai 'maskulin' atau 'feminin'. Tujuan menegaskan perbedaan jenis kelamin dan gender adalah untuk menyatakan bahwa efek fisik atau mental yang sebenarnya dari perbedaan biologis telah dibesar-besarkan untuk mempertahankan sistem kekuasaan patriarkal dan untuk menciptakan kesadaran dikalangan perempuan bahwa mereka secara alami lebih cocok untuk peran 'domestik'. Teks Ann Oakley tentang Sex, Gender and Society (1972) meletakkan dasar untuk eksplorasi lebih lanjut dari konstruksi gender. Dia mencatat bagaimana budaya Barat tampaknya paling rentan untuk membesar-besarkan perbedaan gender dan berpendapat bahwa “efisiensi social” dari peran gender kita saat ini berpusat pada peran perempuan sebagai ibu rumah tangga dan mama.33
Menurut Ann Oakley, 'Seks' adalah istilah biologis sedangkan „gender' bermakna psikologis dan budaya. Akal sehat menunjukkan bahwa mereka hanyalah dua cara untuk melihat pembagian yang sama dan bahwa seseorang yang termasuk, jenis kelamin perempuan secara otomatis akan menjadi bagian dari gender (feminin) yang bersangkutan. Namun, kenyataannya tidak demikian. Menjadi pria atau wanita, laki-laki atau perempuan, sama pentingnya dengan pakaian, gerak tubuh, pekerjaan, jaringan sosial dan kepribadian, karena memiliki alat kelamin tertentu.34
Setiap masyarakat selalu menggunakan seks biologis sebagai kriteria untuk anggapan gender tetapi, di luar titik awal yang sederhana itu, tidak ada dua budaya yang sepenuhnya setuju tentang apa yang membedakan satu gender dengan yang lain. Namun, setiap masyarakat percaya bahwa definisi gender sendiri berhubungan dengan dualitas biologis seks. Secara budaya, seseorang menemukan perbedaan biologis yang sama antara laki-laki dan perempuan yang hidup berdampingan dengan variasi peran gender
33
Jane Pilcher and Imelda Whelehan, 50 Key Concepts in Gender Studies, (London: SAGE Publications, 2004), 56.
34
Ann Oakley, Sex, Gender and Society, ed. Paul Barker, (London: Maurice Temple Smith, 1972), 158.
33
yang luar biasa. Sebaliknya, seseorang juga menemukan orang perorangan yang gender-nya didefinisikan secara kultural hidup berdampingan dengan seks yang tidak tentu. Orang-orang ini adalah interseks, dan studi terbaru tentang mereka di Inggris dan Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa seseorang yang bukan laki-laki atau perempuan bisa maskulin atau feminin — sama maskulin atau sama femininnya dengan mereka yang secara biologis normal. Jika bukti diperlukan bahwa seks dan gender adalah dua entitas yang terpisah maka hal ini adalah bukti tersebut, dan memang beberapa masyarakat lain diam-diam mengakui kegagalan klasifikasi ganda yang sederhana dengan mengakui bukan dua tetapi tiga kategori seksual.35
Menurut penjelasan Robert Stoller yang dikutip oleh Ann Oakley, menjelaskan bahwa dengan beberapa pengecualian maka ada dua jenis kelamin pria dan wanita. Untuk menentukan jenis kelamin tersebut seseorang harus memeriksakan kondisi fisiknya, yaitu kromosom, genitalia eksterna, genetalia internal, gonad, status hormonal, dan karakteristik seks sekunder. Seks seseorang, ditentukan berdasarkan jumlah aljabar dari kualitas tersebut. Sedangkan gender adalah istilah yang memiliki konotasi psikologis dan budaya dari pada biologis. Jika istilah yang tepat untuk seks adalah laki-laki dan perempuan, maka istilah untuk gender adalah maskulin dan feminin. Gender adalah jumlah maskulinitas atau feminitas yang terdapat dalam diri seseorang.36
Berdasarkan pada penelitian Robert Stoller, menunjukkan peran penting yang dimainkan oleh harapan orang tua dalam pengembangan identitas gender anak. Mereka juga menunjukkan bahwa seorang anak dapat mencapai identitas gender yang kuat sebagai laki-laki bahkan jika ia tidak memiliki lencana utama kelelakian, yaitu penis. Anak merasa bahwa gender tidak selalu ditentukan berdasarkan jenis kelamin, dan memang studi anak-anak pada umumnya telah menunjukkan bahwa mereka tidak
35
Oakley, Sex, Gender, 158.
36
34
menggunakan anatomi sebagai kriteria seks. Sampai sekitar enam atau tujuh, anak-anak akan menyatakan bahwa anak perempuan dapat menjadi anak laki-laki atau sebaliknya asalkan mereka mengadopsi permainan yang tepat, pakaian, potongan rambut dan sebagainya. Hal ini biasanya dilakukan untuk menunjukkan kurangnya pengetahuan biologis pada anak, tetapi faktanya ini mungkin merupakan penilaian yang realistis terhadap situasi, memasukkan persepsi bahwa gender secara sosial dan tidak didefinisikan secara biologis. Ketika kita bereaksi terhadap seseorang sebagai pria atau wanita, kita tidak perlu melihat apakah dia memiliki penis atau vagina, payudara atau dada berbulu. Sebagian besar situasi sosial mendefinisikan gender (istri = wanita, dokter gigi = pria, dan sebagainya) atau jenis kelamin terlihat sebagai jumlah kualitas, termasuk perilaku, cara berbicara, berpakaian, pilihan topik dalam percakapan dan sebagainya.37
Ann Oakley menyebutkan bahwa secara keseluruhan, masyarakat Barat diorganisasikan dengan asumsi bahwa perbedaan antara jenis kelamin lebih penting daripada kualitas apa pun yang mereka miliki bersama. Ketika orang mencoba untuk membenarkan asumsi ini dalam hal perbedaan 'alami', dua proses terpisah menjadi bingung antara: kecenderungan untuk berdiferensiasi berdasarkan jenis kelamin, dan kecenderungan untuk membedakan dengan cara tertentu melalui jenis kelamin. Hal yang pertama adalah benar-benar fitur konstan dari masyarakat manusia tetapi yang kedua tidak, dan ketidakkonsistenannya menandai pembagian antara 'seks' dan gender': perbedaan jenis kelamin mungkin 'alami', tetapi perbedaan gender memiliki sumber mereka dalam budaya, bukan alam. Banyak kebingungan dalam perdebatan tentang peran seks berasal dari fakta bahwa kita cenderung berbicara tentang 'perbedaan jenis kelamin' ketika kita benar-benar berbicara tentang perbedaan gender. Karena alasan ini masyarakat yang diorganisir di sekitar perbedaan seks tidak pernah dibuat jelas dan ide
37
35
masyarakat berdasarkan pembebasan dari peran gender konvensional yang dihapuskan dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin.38
Dalam efisiensi sosial peran gender saat ini yang berpusat pada perempuan sebagai ibu rumah tangga dan seorang mama, maka muncul keyakinan yang samar-samar bahwa setiap perusakan peran-peran ini maka akan mengurangi kebahagiaan. Sering dikatakan bahwa terlalu banyak persamaan, terlalu sedikit diferensiasi, mengancam keberhasilan pernikahan. Hanya jika jenis kelamin saling melengkapi (yaitu, dibedakan) dapat menjadikan hubungan emosional yang kuat dari perkawinan modern tetap bertahan. Akibatnya ini berarti bahwa perbedaan sederhana antara laki-laki dan perempuan diuraikan menjadi satu antara maskulin dan feminin, dengan suami dan istri berbeda dalam kekuatan mereka, kemampuan mereka untuk mengambil keputusan, hubungan mereka dengan dunia di luar rumah, kepentingan waktu luang mereka, dan seterusnya. Sekarang dianggap baik bagi istri untuk bekerja di luar rumah, tetapi hanya jika mereka tidak bersaing dengan suami mereka untuk sukses dalam karir mereka atau untuk mendapatkan kekuasaan.39
Dari penjelasan yang telah dipaparkan diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pada hakikatnya, gender bukanlah sebuah bawaan sejak lahir atau apa yang dikatakan sebagai takdir. Gender hadir karena adanya pemahaman dalam masyarakat yang cendrung membedakan manusia dalam dua golongan. Perbedaan ini sebenarnya berasal dari pemahaman mereka terhadap jenis kelamin yang terbagi dalam laki-laki dan perempuan. Perbedaan inilah yang pada akhirnya mengelompokan setiap tindakan yang dilakukan dan paradigma berpikir ke dalam dua kelompok jenis kelamin tersebut. Sehingga dalam didikan yang berlangsung dalam masyarakat, perempuan dan laki-laki tentunya berbeda dengan organ vital, sifat dan beban kerja yang ada.
38
Oakley, Sex, Gender, 189.
39
36
2.4.2 Perbedaan Gender dalam Kedudukan Laki-laki dan Perempuan
Laki-laki dan perempuan secara biologis berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan ini terutama didasarkan pada alat reproduksi di antara keduanya. Melalui kehidupan sosial dan budaya masyarakat, perbedaan biologis ini dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga melahirkan dikotomi peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Bahkan, ada yang menganggap bahwa pemisahan ini merupakan kodrat hidup manusia.40
Menurut Ann Oakley, secara khusus, kebanyakan orang percaya pada tiga hal, yaitu pertama, ada perbedaan bawaan antara kedua jenis kelamin. Kedua, diferensiasi itu meningkatkan efisiensi sosial. Ketiga, diferensiasi itu adalah hukum alam. Dari ketiga keyakinan diatas, yang paling berpengaruh adalah yang pertama bahwa perbedaan gender mencerminkan perbedaan bawaan antara kedua jenis kelamin. Selama berabad-abad keyakinan ini telah menyumbang banyak gairah dalam perdebatan tentang perbedaan jenis kelamin, dan memang bukan kebetulan bahwa, setiap kali perdebatan diperbarui, kurang lebih sentimen yang sama disuarakan sebagai alasan untuk memperkuat sistem diferensiasi gender di tempat-tempat di mana ia terkikis oleh feminisme.41
Pembedaan gender ini, tidak hanya terjadi secara biologis saja, melainkan dalam beberapa bidang, pembedaan ini justru terlihat lebih nyata. Menurut Jane Pilcher and Imelda Whelehan pemisahan gender terjadi ketika perempuan dan laki-laki ditempatkan secara terpisah dari satu sama lain, sementara sebaliknya berpartisipasi dalam serangkaian kegiatan yang serupa. Misalnya, di beberapa negara, sementara mungkin ada ketentuan pendidikan untuk anak laki-laki dan perempuan, daripada dididik bersama di lokasi institusional yang sama, mereka malah sengaja dipisahkan berdasarkan gender dan
40
Paulus Jalvins Soulisa, Anavina Fuko Bipolo: Suatu Tinjauan Kritis dari Perspektif Kesetaraan Jender terhadap Peran dan Kedudukan Perempuan dalam Gereja dan Masyarakat di Buru Selatan, (Tesis
Fakultas Teologi UKSW, 2012), 21.
41
37
dididik secara terpisah, dalam sekolah atau universitas dengan “satu-jenis kelamin” saja. Pemisahan gender dalam pendidikan juga dapat dikatakan terjadi dalam cara mempelajari mata pelajaran yang berbeda bagi anak laki-laki dan perempuan. Ini adalah contoh segregasi gender yang mungkin muncul, bukan sebagai hasil dari kebijakan pemisahan yang disengaja, legal atau tradisional, melainkan sebagai hasil dari sejumlah faktor yang kompleks, paling tidak 'pilihan' yang dibuat oleh individu itu sendiri.42
Selain dalam bidang pendidikan, perbedaan atau pemisahan gender ini juga dapat dilihat dalam sektor pekerjaan. Di Inggris kontemporer, seperti di banyak masyarakat industri Barat lainnya, pekerjaan yang dibayar juga dipisahkan oleh gender. Pemisahan ini tidak lengkap, tetapi berbagai bukti menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki cenderung terlibat dalam berbagai jenis pekerjaan atau pada tingkat yang berbeda dalam hierarki pekerjaan, dengan konsekuensi penting untuk upah, dan untuk prospek pelatihan dan promosi, di antara hal-hal lain. Menurut Hakim, yang dikutip oleh Pilcher dan Whelehan, 'segregasi pekerjaan' sebagai sesuatu yang ada ketika 'pria dan wanita melakukan berbagai jenis pekerjaan, sehingga seseorang dapat berbicara tentang dua tenaga kerja yang terpisah, satu laki-laki dan satu perempuan, yang tidak bersaing satu sama lain untuk pekerjaan yang sama‟. Menurutnya ada dua dimensi segregasi pekerjaan. Pertama, segregasi horizontal dimana perempuan dan laki-laki ditemukan dalam berbagai jenis pekerjaan. Segregasi horisontal diilustrasikan oleh konsentrasi atau 'kerumunan' perempuan dan laki-laki dalam pekerjaan yang berbeda (misalnya perempuan lebih banyak pada bidang kesekretariatan dan administrasi sedangkan laki-laki lebih banyak pada bidang yang lain). Bentuk kedua dari segregasi yang diidentifikasi oleh Hakim adalah segregasi vertikal, dimana perempuan dan laki-laki memiliki posisi yang berbeda
38
dalam hierarki pekerjaan, dengan laki-laki cenderung berada pada tingkat yang lebih tinggi dan perempuan di tingkat yang lebih rendah.43
Selain dalam pendidikan dan pekerjaan, pemisahan atau perbedaaan gender ini juga nyata dalam kebudayaan yang ada. Pemisahan gender merupakan salah satu manifestasi dari nilai-nilai budaya yang ada dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Sebagai manifestasi budaya, perbedaan gender menciptakan ruang bagi pembagian kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Gadis Arivia mengungkapkan bahwa budaya yang memiliki pengaruh sangat besar dan penting terhadap peran dan kedudukan perempuan dalam masyarakat adalah budaya patriarkhi, yang mengasosiasikan laki-laki dengan segala yang positif dan aktif sementara perempuan diasosiasikan negatif dan pasif. Dengan cara memfragmentasi kehidupan manusia, masyarakat patriarkhal mampu membuat perempuan terpecah dan mengisolasi mereka dalam dunia publik, sehingga tidak memiliki kekuatan politis dan semakin terdiskriminasi dari laki-laki.44
Adanya perbedaan gender terhadap kedudukan laki-laki dan perempuan ini cendrung untuk mengkotak-kotakan manusia dengan pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peran yang berbeda. Sehingga dari kecil, didikan bagi anak laki-laki akan berbeda dengan didikan bagi anak perempuan. Hal inilah yang cendrung membentuk pola pikir seseorang dari anak-anak hingga dewasa dengan sebuah pemahaman bahwa laki-laki berbeda dengan perempuan baik dari segi fisik maupun pekerjaan yang akan dilaksanakan. Pembadaan inilah yang pada akhirnya cendrung untuk menjadikan perempuan sebagai kelompok yang dianggap lebih lemah dari laki-laki dan lebih sering dibatasi dalam berbagai kesempatan.
2.4.3 Ketidakadilan Gender
43
Pilcher and Whelehan, 50 Key 64 & 66.
39
Perbedaan gender atau pemisahan gender sebenarnya bukan suatu masalah sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi masalah adalah ternyata perbedaan gender ini telah menimbulkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan utamanya terhadap kaum perempuan. Secara biologis, kaum perempuan dengan organ reproduksinya dapat hamil, melahirkan dan menyusui, kemudian muncul peran gender sebagai perawat, pengasuh, dan pendidik anak. Dengan demikian, peran gender dianggap tidak menimbulkan masalah dan tidak perlu digugat. Namun, yang menjadi masalah dan perlu dipertanyakan adalah struktur ketidakadilan gender yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender.45
Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Berikut adalah beberapa bentuk ketidakadilan gender yang sering terjadi:46
a. Marginalisasi
Marginalisasi merupakan bentuk yang paling dominan terjadi pada kaum perempuan yang disebabkan oleh gender. Perbedaan gender sebagai akibat dari beberapa perbedaan jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme dari proses marginalisasi kaum perempuan. Perbedaan gender ini, bila ditinjau dari sumbernya dapat berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asusmsi ilmu pengetahuan.47
Di dalam rumah tangga, bentuk marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Timbulnya proses marginalisasi ini juga diperkuat oleh tafsir keagamaan maupun adat
45
Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 9.
46
Nugroho, Gender dan, 9.
47
40
istiadat. Misalnya, pemberian hak waris di dalam sebagian tafsir keagamaan porsi untuk laki-laki dan perempuan berbeda, dimana pembagian hak waris untuk laki-laki lebih besar daripada perempuan.48
b. Subordinasi
Subordinasi atau penomorduaan pada dasarnya adalah pembedaan perlakuan terhadap salah satu identitas sosial, dalam hal ini adalah terhadap perempuan. Dalam kultur budaya kita di Indonesia, perempuan masih dinomorduakan dalam banyak hal, terutama dalam pengambilan keputusan. Suara perempuan dianggap kurang penting dalam proses pengambilan keputusan terutama yang menyangkut kepentingan umum. Tradisi, adat, atau bahkan aturan agama paling sering digunakan sebagai alasan untuk menomorduakan perempuan.49
Adanya subordinasi merupakan akibat dari pandangan gender terhadap kaum perempuan. Sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting muncul dari adanya anggapan bahwa perempuan itu emosional atau irasional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin dan lain sebagainya. Proses subordinasi terjadi dalam segala macam bentuk dan mekanisme yang berbeda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Contoh subordinasi dalam lingkungan negara adalah ketika ada peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dimana ketika seorang suami ingin mengambil pendidikan yang jauh dari keluarga, tidak dibutuhkan keputusan seorang istri. Suami dapat mengambil keputusan sendiri. Sedangkan jika seorang istri yang akan mengambil pendidikan (jauh dari keluarga) harus ada izin dari suami. Selain itu, dalam rumah tangga, masih sering terdengar prioritas untuk bersekolah bagi laki-laki dibanding
48
Nugroho, Gender dan, 11.
49
Dede Wiliam-de Vries, Gender Bukan Tabu: Perjalanan Fasilitasi Kelompok Perempuan di Jambi, (Bogor: CIFOR, 2006), 12-13.
41
perempuan, karena ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena pada akhirnya akan masuk dapur juga.50
c. Stereotype (Pelabelan atau Penandaan)
Stereotype yang sering kali bersifat negatif secara umum melahirkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotype yang menyebabkan ketidakadilan gender dan diskriminasi bersumber dari pandangan gender karena terikat dengan pelabelan atau penandaan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu, yang pada umumnya adalah perempuan. Misalnya pandangan bahwa tugas dan fungsi perempuan hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan kerumahtanggaan atau tugas domestik. Walaupun dia berada di ruang publik, hal ini hanyalah sebagai “perpanjangan” dari peran domestiknya. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe tersebut.51 Ada begitu banyak bentuk stereotype yang terjadi di masyarakat, yang pada umumnya diletakan pada perempuan sehingga pada akhirnya akan menyulitkan, membatasi, memiskinkan, dan merugikan kaum perempuan.52
Ada beberapa contoh yang dapat dilihat dalam kaitannya dengan bentuk stereotype ini. Dalam masyarakat misalnya ada keyakinan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah maka setiap pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dianggap sebagai pelengkap pekerjaan laki-laki sehingga upah bagi perempuanpun boleh dibayarkan lebih rendah daripada upah laki-laki. Selain itu, dalam masyarakat juga berkembang pemahaman bahwa perempuan bersolek biasanya untuk menarik perhatian lawan jenis. Sehingga apabila terjadi kasus kekerasan dan pemerkosaan maka perempuan yang akan dianggap bersalah oleh masyarakat, baik dalam cara berpakaian, maupun dalam menggunakan
50
Nugroho, Gender dan, 11.
51
Alfian Rokhmansyah, Pengantar Gender dan Feminisme: Pemahaman Awal Kritik Sastra
Feminisme, (Yogyakarta: Garudhawaca, 2016), 20.
52
42
riasan wajah.53 Anggapan-anggapan yang ada dalam masyarakat ini pada akhirnya juga diteruskan oleh program-program yang diadakan oleh ibu-ibu PKK. Kebanyakan dari program-program yang dilaksanakan oleh PKK cendrung mengangkat citra perempuan sebagai seseorang yang bekerja dalam ruang domestik. Misalnya dalam membuat pelatihan memasak, membuat kue, membuat kerajinan tangan, dan lain sebagainya.54 d. Violence
Violence (kekerasan) adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut dengan istilah gender-related violence. Pada dasarnya kekerasan gender disebabkan karena ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.55
Ada beberapa bentuk yang tergolong dalam gender-related violence. Bentuk-bentuk tersebut adalah: pertama, Bentuk-bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam perkawinan. Perkosaan dalam perkawinan yang dimaksudkan disini artinya perkosaan yang terjadi jika seseorang untuk mendapatkan pelayanan seksual dilakukan secara paksa tanpa kerelaan diri yang bersangkutan. Kedua, serangan fisik dan tindakan pemukulan yang terjadi dalam rumah tangga, termasuk diantaranya kekerasan terhadap anak-anak. Ketiga, penyiksaan yang mengarah kepada alat kelamin, misalnya penyunatan terhadap anak perempuan. Penyunatan ini dilakukan dengan berbagai alasan yang diungkapkan dalam satu kelompok masyarakat. Namun, salah satu alasan terkuat adalah adanya anggapan dan bias gender di masyarakat, yakni untuk mengontrol kaum perempuan. Keempat, prostitusi (pelacuran) merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan dengan motif ekonomi. Setiap masyarakat dan negara selalu
53
Nugroho, Gender dan, 12.
54
Wiliam-de Vries, Gender Bukan, 16.
55
43
menggunakan standar ganda terhadap pekerja seksual ini. Pemerintah melarang dan menangkap para pelakunya, namun disatu sisi, mereka juga menarik pajak dari praktik tersebut. Seorang pelacur dianggap rendah oleh masyarakat, namun tempatnya ramai dikunjungi. Kelima, pornografi merupakan jenis kekerasan lain bagi perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan non fisik, yakni berupa pelecehan kepada kaum perempuan dimana tubuh perempuan dijadikan objek untuk keuntungan seseorang. Keenam, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam program keluarga berencana. Ketujuh, jenis kekerasan terselubung, yakni menyentuh atau memegang bagian tertentu dari tubuh seorang perempuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Kedelapan, pelecehan seksual. Beberapa tindakan yang tergolong dalam pelecehan seksual adalah menyampaikan lelucuan jorok atau vulgar pada seseorang, menyakiti seseorang dengan omong kotor, menginterogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya, meminta imbalan sesksual dalam rangka memenuhi sebuah janji dan menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa seizin yang bersangkutan.56
e. Beban Kerja
Beban kerja yang diakibatkan dari bias gender tersebut kerap kali diperkuat dan disebabkan oleh adanya keyakinan atau pandangan di masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai jenis pekerjaan perempuan, seperti semua pekerjaan domestik, dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan laki-laki, dan dikategorikan sebagai pekerjaan yang bukan produktif sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Sementara itu kaum perempuan, berkaitan dengan anggapan gender yang sejak dini telah disosialisasikan untuk menekuni peran gender mereka. Di lain pihak, kaum laki-laki
56
44
tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik itu. Hal-hal inilah yang telah memperkuat pelanggengan secara kultural dan struktural beban kerja kaum perempuan.57
Pembahasan tentang beban kerja ini menjadi salah satu topik yang sering diperbincangkan dalam forum-forum yang berbicara tentang gender. Sebagian orang khawatir bahwa jika perempuan semakin pintar, semakin maju, ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, meningkat kemampuan dan keahliannya di berbagai bidang, maka pada akhirnya “kebebasan berekspresi” tersebut akan berbalik menjadi senjata makan tuan. Beban kerja perempuan menjadi semakin bertambah banyak dengan tambahan kegiatan-kegiatan yang ingin diikuti di luar rumah. Hal ini disebabkan karena pada saat yang bersamaan perempuan masih terbeban dengan setumpuk tugas dan pekerjaan di dalam rumah tangganya.58
Namun, sebenarnya jika laki-laki maupun perempuan sudah sadar gender maka beban tanggung jawab yang ada dalam keluarga tersebut akan terbagi rata dan tidak tertumpuk pada satu orang. Tidak pada istri, ibu, suami, anak dan anggota keluarga lainnya. Setiap jenis pekerjaan yang dilakukan adalah sama pentingnya. Pekerjaan domestik tidak lebih rendah posisinya dari peran publik. Jika seluruh anggota keluarga aktif dalam kegiatan publik, maka mereka dapat mencari alternatif waktu dan cara bagaimana kedua peran tersebut bisa dilakukan bersama-sama. Dengan demikian masing-masing mempunyai kesempatan yang sama untuk mencurahkan waktu, tenaga dan kemampuan yang dimilikinya secara maksimal ketika melakukan peran publik maupun peran domestik.59
Bentuk ketidakadilan yang terjadi pada perempuan ini merupakan dampak dari adanya pembedaan gender. Dimana perempuan akan selalu dinilai sebagi pelengkap bagi
57
Nugroho, Gender dan, 16-17.
58
Wiliam-de Vries, Gender Bukan, 21.
59
45
kaum laki-laki. Berbagai pemahaman dan bentuk ketidakadilan tentang gender ini pada dasarnya sering mendiskriminasi perempuan untuk tidak bertindak sesuai dengan apa yang dapat dilakukan oleh laki-laki. Diskriminasi ini dimulai dengan pengaruh kebudayaan dalam masyarakat. Masyarakat memberikan pelabelan-pelabelan yang negatif dan merugikan pada perempuan dengan berdasar pada pemahaman dan budaya yang ada. Sehingga perlu untuk disadari kembali bahwa pada dasarnya gender tidak dapat mengatur sikap dan tindakan yang harus diterima oleh perempuan maupun laki-laki. Stigma dan pola pikir yang ada, seharusnya dapat berubah, seiring dengan perkembangan zaman yang terjadi saat ini. Dengan begitu, maka budaya tidak lagi menjadi takdir bagi perlakuan yang harus diterima baik oleh laki-laki maupun perempuan dalam masyarakat.