• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Pengertian perjanjian pada umumnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "A. Pengertian perjanjian pada umumnya"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT

A.

Pengertian perjanjian pada umumnya

Tentang perjanjian dianggap sudah berlangsung antara pihak pelanggan dan perusahaan apabila mereka telah menyetujui dan bersepakat tentang keadaan benda dan harga barang tersebut, sekalipun harga belum dibayar dan harganya belum diserahkan (Pasal 1458 KUH perdata).

Di bawah ini akan memberikan beberapa dari pengertian perjanjian antara lain:

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.7

Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang atau jasa dan pihak lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.8

7 M. Yahya Hrp, Segi Hukum Perjanjian, Alumni 1996, Bandung, hal 61

8 Chairuman Pasaribu, Suhra Wardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Penerbit Sinar

(2)

Pengertian perjanjian ini mengandung unsur : a. Perbuatan,

Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;

b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,

Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.

c. Mengikatkan dirinya,

Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.9

Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian.10

Jika kita perhatikan dengan seksama, rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian tersebut ternyata

Menurut ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian didefinisikan sebagai : “ Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. ”

9 R. Subekti, Op.Cit, hal 80

10 Kartini Mulyadi & Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo

(3)

menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terdapat orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.

Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan awal ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hendak menjelaskan bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata. Atas dasar inilah kemudian dikenal adanya perjanjian konsensuil.

Dalam perjanjian konsensuil, kesepakatan yang dicapai oleh pihak secara lisan, melalui ucapan saja telah diikat para pihak. Dalam jual beli, dari rumusan Pasal 1457 dan Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatakan bahwa :

Pasal 1457 : “Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan”.

Pasal 1458 : “Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut

(4)

beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.

Dari rumusan Pasal 1457 KUH Perdata yang dipertegas kembali oleh ketentuan Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, dapat kita lihat bahwa jual beli, segera setelah para pihak sepakat untuk bersepakat mengenai harga dan kebendaan yang dijual atau dibeli, pihak penjual diwajibkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk menyerahkan kebendaan yang dijual tersebut dan pihak pembeli diwajibkan untuk membayar harga pembelian dari kebendaan yang dibeli olehnya tersebut.

Subekti, Perjanjian adalah merupakan perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas sesuatu barang, sedang pihak lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya.11

1. Untuk barang yang bergerak

Jadi dapat disimpulkan bahwa kontrak adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak lainnya untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.

Yang harus diserahkan oleh konsumen kepada pembeli bukan sekedar kekuasaan atas barangnya, melainkan yang harus ia serahkan adalah “hak milik” atas barang. Jadi yang harus dilakukannya adalah penyerahan atau levering secara yuridis.

Menurut KUH Perdata, macam-macam barang ada tiga macam penyerahannya secara yuridis atas barang yang dipersewakan yaitu :

11 Subekti, Jaminan Untuk Pemberian Perjanjian menurut hukum Indonesia, Penerbit Citra Aditya bakti,

(5)

2. Untuk barang yang tidak bergerak 3. Untuk piutang atas nama

Ad. 1. Untuk barang bergerak

Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan barang itu. Pasal 612 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

Penyerahan benda bergerak, terkecuali yang tidak bertubuh dilakukan dengan penyerahan nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada.

Penyerahan tak perlu dilakukan apabila kebendaan yang harus diserahkan dengan alasan hak lain, telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya.

Hasil penyaringan terhadap pendapat dari Subekti adalah :

“Kemungkinan hanya penyerahan kunci saja kalau barang yang disewa berada dalam suatu gudang dan penyerahan cukup dilakukan dengan suatu pernyataan saja.”12

Menurut Pasal-pasal 616 KUH Perdata “penyerahan atau penunjukkan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang

Cara ini dikenal dengan nama “Traditio Brevimanu“ yang berarti penyerahan dengan tangan pendek.

Ad. 2. Untuk Barang Tidak Bergerak

Untuk barang tidak bergerak dengan peraturan yang dinamakan dengan perbuatan yang dinamakan balik nama (over serijving) dimuka pegawai kadaster yang juga dinamakan pegawai balik nama atau pegawai penyimpan hipotik, yaitu menurut Pasal 616 KUH Perdata, dihubungkan dengan Pasal 620 KUH Perdata.

12

(6)

bersangkutan dengan cara yang seperti ditentukan dalam Pasal 620 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.”

Pasal 620 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan :

Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat dalam tiga pasal yang lalu, pengumuman termasuk di atas dilakukan dengan memindahkan sebuah salinan otentik yang lengkap dari akta otentik atau keputusan yang bersangkutan ke kantor penyimpan hypotik yang mana dalam lingkungannya barang-barang yang tak bergerak yang berada dan dengan membukukannya dalam register.

Bersama-sama dengan pemindahan tersebut, pihak yang berkepentingan harus menyampaikan tugas kepada penyimpan hipotik sebuah salinan otentik yang kedua atau sebuah ketikan dari akta keputusan itu, agar menyimpan mencatat di dalamnya hari pemindahan beserta bagian dari nomor diri register yang bersangkutan.

Ad.3. Barang Piutang atas Nama atau Tidak Bertubuh

Barang tidak bertubuh dengan perbuatan yang dinamakan “cassie” sebagaimana diatur dalam Pasal 613 KUH Perdata yang berbunyi : “Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan membuat sebuah akta autentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang-orang lain.”

Penyerahan yang demikian bagi si berhutang tiada akibatnya melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya secara tertulis, disetujui, dan diakuinya.

Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen.

(7)

B. Subjek dan Objek Perjanjian a. Subjek Perjanjian

Dalam tiap-tiap perjanjian ada dua macam subjek yaitu :

1) Seorang manusia atau badan hukum yang mendapat beban kewajiban untuk sesuatu

2) Seorang manusia atau badan hukum yang mendapat hak atas pelaksanaan kewajiban itu.

Subjek yang berupa seorang manusia harus memenuhi syarat umum untuk melakukan perbuatan hukum secara sah. Hal ini sangat penting diperhatikan berkaitan dengan syarat-syarat sahnya dalam perjanjian :

Perjanjian dan persetujuan itu harus tanpa cacat, apabila tidak demikian maka persetujuan itu dapat dimintakan pembatalannya kepada pengadilan.

Adapun yang dimaksud dengan cacat ialah :13 a) Kekhilafan

b) Paksaan, dan c) Penipuan

Ad. a) Kekhilafan

Kekhilafan ini dapat mengenai benda yang menjadi pokok persetujuan yang bersangkutan.

Kekhilafan itu dapat juga mengenai pihak lawannya dalam persetujuan yang bersangkutan.

Ad. b) Paksaan

13 Wirdjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1991,

(8)

Dalam hal ini, yang dimaksud adalah semata-mata paksaan psikis bukan fisik, sebab dalam hal ini disebut tidak ada kemauan. Jadi tidak mungkin ada konsensus (sepakat) antara kedua belah pihak, sesuai persetujuan yang diadakan dalam keadaan seperti itu adalah batal demi hukum, bukan dapat dibatalkan.

Contoh : A ingin mengadakan persetujuan tentang sesuatu hal dengan B, yang sebetulnya tidak mau mengadakannya A secara kebetulan adalah seorang ahli sihir. Ia menghipnotis B dan dalam keadaan tidak sadar, B disuruh A untuk menandatangani. Persetujuan semacam itu adalah batal demi hukum, karena tidak ada konsensus antara A dan B.14

14

Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta, 2000, hal 69

Siapa yang melakukan paksaan itu tidak menjadi soal. Lain dengan halnya dengan penipuan. Pasal 1328 KUH Perdata menentukan bahwa penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan, apabila itu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak lawan dalam persetujuan itu.

Ancaman atau paksaan itu harus menimbulkan rasa takut pada orang yang normal. Harus ada rasa khawatir akan menderita kerugian mengenai dirinya adalah tidak hanya kehilangan jiwanya, melainkan juga kehilangan kesehatan, kehormatan, nama baik dan keabsahannya. Kerugian yang ditakutkan itu harus ada pada saat diadakannya persetujuan yang dipaksakan itu.

Ad. c) Penipuan

Bedanya dengan kekhilafan antara lain adalah : Bahwa dalam penipuan, kehendak yang satu dengan sengaja dirumuskan ke arah yang salah satu pihak lawannya. Oleh sebab itu maka penipuan ini harus dilakukan oleh pihak lawan.

(9)

Pasal 330 KUH Perdata orang yang melakukan perjanjian haruslah memiliki kecakapan yang memutuskan bahwa tidak cakap membuat perjanjian adalah :

a. Orang yang belum dewasa

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan

b. Objek Perjanjian

Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif terdiri dari :

1) Memberikan sesuatu 2) Berbuat sesuatu dan

3) Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).

Yang menjadi prestasi/pokok perjanjian adalah menyerahkan hak milik atas rumah itu dan menyerahkan uang harga dari pembelian rumah itu.

C. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat sahnya perjanjian dapat dikaji berdasarkan hukum perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata (civil law).

Dalam hukum kontinental syarat sahnya perjanjian diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian yaitu :

a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak. b. Kecakapan melakukan perbuatan hukum. c. Adanya objek.

(10)

d. Adanya causa yang halal.15

Keempat hal itu dikemukakan bahwa :

Syarat yang pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain.

Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan :

a) Bahasa yang sempurna dan tertulis b) Bahasa yang sempurna secara lisan

c) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya sering kali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;

d) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;

e) Diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.16

Pada dasarnya cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul sengketa di kemudian hari.17

Fungsi perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu fungsi yuridis dan fungsi ekonomis. Fungsi yuridis perjanjian adalah fungsi dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Sedangkan fungsi ekonomis adalah

15 Ibid, hal 91.

16 Suharnoko, Ibid, hal 48 17

(11)

menggerakkan (hak milik) sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.18

a) Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya

Untuk sahnya perjanjian – perjanjian, diperlukan empat syarat :

b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. c) Suatu pokok persoalan tertentu.

d) Suatu sebab yang tidak terlarang

Keempat unsur tersebut selanjutnya, dalam dokrin ilmu hukum yang berkembang digolongkan ke dalam :

1) Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif ), dan

2) Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif)

Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari pada pihak yang berjanji dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dai pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum.

Tidak terpenuhnya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif) maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhnya unsur

18

(12)

obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.

a. Syarat subyektif

Syarat subyektif sahnya perjanjian tergantung pada dua macam keadaan yaitu: 1). Terjadinya kesepakatan secara bebas diantara para pihak yang mengadakan

atau melangsungkan perjanjian, kesepakatan bebas diantara para pihak ini pada prinsipnya adalah pertanggungjawaban dari asas konsensualitas. Menurut ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan maupun penipuan.

2). Adanya kecakapan dari pihak-pihak yang berjanji. Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subyektif kedua terbentuknya perjanjian yang sah diantara para pihak. Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam pembahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan.

b. Syarat obyektif

Syarat obyektif sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam :

1). Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai keharusan adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian.

(13)

2). Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai kewajiban adanya satu sebab yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

D. Asas-asas perjanjian secara umum

Dalam khasanah hukum perjanjian di kenal beberapa asas yang menjadi dasar para pihak di dalam melakukan tindakan hukum guna melahirkan suatu perjanjian. Asas perjanjian itu harus merupakan suatu kebenaran yang bersifat fundamental, disamping itu asas semestinya tidak dapat ditimpangi, kecuali ada hal-hal yang dianggap luar biasa dan lebih jelas kandungan meteri kebenarannya.19

Adapun beberapa asas dalam perjanjian itu antara lain :

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga.

20 1) Asas Konsensualisme

19 Chairuman Pasaribu, Suhra Wardi K. Lubis, Op.Cit, hal 68 20

(14)

Sejalan dengan arti konsensus itu sendiri yang merupakan kesepakatan, maka asas ini menetapkan terjadinya suatu perjanjian setelah tercapainya kata sepakat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian.21

Menurut asas ini, setiap orang mempunyai kebebasan untuk mengadakan suatu perjanjian yang berisi apa saja dan macam apa saja, asalkan perjanjian itu tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan dan Undang-undang. Asas kebebasan berkontrak ini dapat kita lihat di dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang menyebutkan: Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan Undang-undang. Dengan adanya keyentuan semacam ini sebenarnya kebebasan para pihak di dalam melahirkan suatu perjanjian menjadi tidak bebas lagi. Namun demikian dengan adanya pembatasan ini setiap orang menjadi sadar bahwa Dapat dikatakan bahwa saat terjadinya adalah pada saat dicapainya kata sepakat antara kedua belah pihak. Sejak terjadinya kesepakatan itu, maka saat itu perjanjian menjadi mengikat dan mempunyai kekuatan hukum. Keterangan tentang kata sepakat menjadi asas dalam suatu perjanjian dapat pula dilihat bunyi Pasal 1320 KUHPerdata bahwa untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat, yang satu diantaranya adalah kata sepakat. Dengan tercapainya kata sepakat, telah menunjukkan pada saat itu suatu perjanjian mulai berlaku dan mengikat para pihak.

2) Asas Kebebasan Berkontrak

21

(15)

perjanjian itu haruslah ditujukan demi untuk kebaikan dan tidak merugikan orang lain.

Dalam satu putusannya Mahkamah Agung pernah memperlihatkan bahwa betapa asas kebebasan berkontrak itu harus berpegang pada kepatutan sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung No. 935 K/Pdt/1985 dalam kasus sewa beli mobil. Salah satu pertinbangannya, Mahkamah Agung berpendapat isi perjanjian yang melenyapkan hak beli sewa atas barang yang telah dibeli hanya disebabkan keterlambatan atau kesulitan pembayaran angsuran tanpa mempertimbangkan jumlah angsuran yang telah dibayar, sebagai perbuatan yang tidak patut dari segi keadilan dan moral. Dalam perjanjian sewa beli mobil tersebut telah diperjanjikan kemacetan angsuran mengakibatkan penjual sewa mengambil mobil kembali tanpa mengembalikan uang angsuran yang telah diterimanya22

Pihak ketiga tidak dapat diperjanjikan oleh pihak yang mengadakan perjanjian, karena salah satu syarat sahnya perjanjian harus ada kata sepakat, yang

. Perjanjian ini merugikan pihak pembeli sewa, karena haknya tidak seimbang

3) Asas Kepribadian

Asas kepribadian ini terdapat di dalam Pasal 1315 KUHPerdata, yang berbunyi : Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan dirinya atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata ini, seseorang hanya diperbolehkan mengikatkan dirinya untuk kepentingan dirinya sendiri dalam suatu perjanjian.

22

(16)

berarti pula bahwa dalam perjanjian itu pihak ketiga tidak hadir untuk memberi kata sepakat. Logikanya, kalau dalam suatu perjanjian ditetapkan suatu janji untuk pihak ketiga, maka akan merugikan pihak ketiga yang tidak tahu apa-apa dan tidak mengikatkan dirinya23

Sedangkan asas obligator mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik. Hak milik baru berpindah apabila dilakukan dengan perjanjian yang bersifat kebendaan (zakelijke overeenkomst) yaitu melalui penyerahan (levering).

. Namun demikian Undang-undang memberikan kekeculian terhadap asas ini sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1316 KUHPerdata. Berdasarkan ketentuan pasal ini bahwa pihak yang mengadakan perjanjian, diperbolehkan menetapkan janji untuk pihak ketiga sebagai penanggung akan berbuat sesuatu.

Di samping ketiga asas yang telah disebutkan di atas, sebenarnya masih ada lagi beberapa asas pelengkap tersebut mengandung arti bahwa ketentuan Undang-undang boleh tidak diikuti apabila pihak-pihak menghendaki dan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan Undang-undang. Tetapi apabila dalam perjanjian mereka buat tidak ditentukan lain, maka berlakulah ketentuan Undang-undang. Asas ini pada pokoknya hanya mengenai hak dan kewajiban para pihak.

24

Di samping asas-asas yang telah disebutkan di atas kiranya juga perlu diperhatikan syarat-syarat sahnya perjanjian. Hal ini dianggap penting, sebab suatu perjanjian yang dilahirkan tanpa melihat kepada syarat-syarat ini maka perjanjian

23 Ibid, hal 50 24

(17)

yang dibuat itu akan menjadi bakal karenanya. Adapun mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian ini adalah sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yakni :

1) Sepakatnya mereka yang mengikatkan diri. 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3) Suatu hal tertentu

4) Suatu sebab yang halal

Kesepakatan para pihak di dalam perjanjian dikenal dengan asas konsensualisme sebagaimana telah dijelaskan di atas. Menurut R. Subekti asas konsensualisme ini menunjukkan syarat mutlak bagi hukum perjanjian yang modern untuk terciptanya kepastian hukum. Adapun yang dimaksud dengan asas konsensualisme adalah suatu perjanjian telah lahir pada saat terjadinya kesepakatan para pihak. Persesuaian kehendak ini dapat dinyatakan dengan lisan, tulisan/surat dan lain-lain.25

Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht) yang diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Keadaan memaksa adalah Perjanjian berakhir karena :

a. Ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu; b. Undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian;

c. Para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka persetujuan akan hapus ;

25

(18)

suatu keadaan dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya karena adanya gempa bumi, banjir, lahar dan lain-lain. Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :

a) keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar (force majeur). Akibat keadaan memaksa absolut (force majeur).

b) debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata); kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.

c) keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Keadaan memaksa ini tidak mengakibatkan beban resiko apapun, hanya masalah waktu pelaksanaan hak dan kewajiban kreditur dan debitur.

d) pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak pada perjanjian yang bersifat sementara misalnya perjanjian kerja;

e) putusan hakim;

(19)

g) dengan persetujuan para pihak (herroeping).26

E. Pengertian dan Jenis-jenis Kredit 1. Pengertian Kredit

Dalam bahasa latin kredit disebut “credere” yang artinya percaya. Maksudnya si pemberi kredit percaya kepada si penerima kredit, bahwa kredit yang disalurkan pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman sesuai dengan jangka waktunya. Oleh karena itu untuk meyakinkan bank bahwa si nasabah benar-benar dapat dipercaya, maka sebelum kredit diberikan diadakan analisis kredit. Analisis kredit mencakup latar belakang nasabah atau perusahaan, prospek usahanya, jaminan yang diberikan serta faktor-faktor lainnya. Tujuan analisis ini adalah agar bank yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar aman.

Di dalam memahami pengertian kredit tersebut maka diambil beberapa pendapat para sarjana, namun pengertian mengarah kepada suatu tujuan yaitu kepercayaan.

Kredit menurut etimologi berarti “percaya, karena pihak yang memperoleh kredit pada dasarnya, adalah pihak yang memperoleh kepercayaan”.27

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam – meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi

26 Ibid, hal 29 27

(20)

hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.”28

Pinjaman yang diberikan (kredit) ialah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dengan lain pihak dalam hal, pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditetapkan.29

a. Kepercayaan yaitu keyakinan si pembeli kredit (bank) bahwa prestasi (uang) yang diberikan akan benar-benar diterima kembali dari si penerima kredit pada suatu masa yang akan datang.

Kredit berarti suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu yang akan datang disertai dengan suatu kontra prestasi.

Berdasarkan pengertian kredit seperti tersebut di atas, maka ditarik suatu kesimpulan bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam pemberian kredit adalah :

b. Waktu, yaitu jangka waktu antara saat pemberian prestasi dengan saat pengembaliannya.

Dalam unsur waktu ini terkandung pengertian tentang nilai agio uang yaitu nilai uang sekarang lebih berharga daripada uang di masa yang datang.

c. Resiko, yaitu sebagai akibat yang akan dapat timbul pada pemberian kredit. Guna menghindari risiko, maka sebelum kredit diberikan harus dilakukan

28 Mohammad Djohan, Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta, 1990, hal. 2. 29 Indra Darmawan, Pengantar Uang dan Perbankan, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hal.44

(21)

penilaian secara cermat dan dilindungi dengan agunan/jaminan kredit sebagai benteng terakhir dalam pengamanan kredit.

d. Prestasi, dalam hubungannya dengan pemberian kredit. Yang dimaksud dengan prestasi adalah uang.30

Pengertian kredit menurut Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Sedangkan pengertian pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

2. Jenis-jenis Kredit

Jenis kredit dapat dibedakan menurut berbagai kriteria, yaitu dari “kriteria lembaga pemberi, penerima kredit, jangka waktu serta penggunaan kredit, kelengkapan dokumen perdagangan atau dari berbagai kriteria lainnya”.31

1. Dari segi pemberi, penerima kredit yang menyangkut struktur pelaksanaan kredit di Indonesia, maka jenis kredit terdiri dari :

30

Mohammad Djohan, Ibid, hal. 5.

(22)

a. Kredit perbankan kepada masyarakat untuk kegiatan usaha dan atau konsumsi. Kredit ini diberikan oleh Bank Pemerintah atau bank swasta kepada dunia usaha untuk ikut membiayai sebagian kebutuhan permodalan dan atau kredit dari bank kepada individu untuk membiayai pembelian kebutuhan hidup yang berupa barang maupun jasa.

b. Kredit likuiditas, yaitu kredit yang diberikan oleh bank Sentral kepada bank yang beroperasi di Indonesia yang selanjutnya dipergunakan sebagai dana untuk membiayai kegiatan perkreditannya. Pelaksanaan kredit ini merupakan operasi Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan tugasnya yang diemban, yaitu untuk memajukan urusan perkreditan sekaligus bertindak mengadakan pengawasan terhadap urusan perkreditan tersebut.

c. Dengan demikian bank Indonesia mempunyai wewenang untuk menetapkan batas-batas kuantitatif dan kualitatif di bidang perkreditan bagi perbankan yang ada.

d. Kredit langsung, kredit ini diberikan oleh Bank Indonesia kepada lembaga pemerintah atau semi pemerintah. Misalnya Bank Indonesia memberikan kredit langsung kepada Bulog dalam rangka pelaksanaa program pengadaan pangan atau pemberian kredit langsung kepada Pertamina atau pihak ketiga lainnya.32

2. Dari segi penggunaan kredit, jenis kredit terdiri dari :

32 Thomas Suyatno, et. Al. Dasar-dasar Perbankan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999,

(23)

a. Kredit konsumtif, yaitu kredit yang diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta yang diberikan kepada perseorangan untuk membiayai keperluan konsumsinya untuk kebutuhan sehari-hari.

b. Kredit produkif baik kredit investasi atau kredit ekploitasi

1) Kredit investasi, kredit yang ditujukan untuk pengunaan sebagai pembiayaan modal tetap, yaitu peralatan produksi, gedung dan mesin-mesin, juga untuk membiayai rehabilitasi dan ekspansi. Adapun jangka waktunya 5 tahun atau lebih. Di Indonesia jenis kredit investasi ini mulai diperkenalkan pada pertengahan tahun 1969 bersamaan dengan dimulainya Repelita I sebagai penunjang program industrialisasi yang mulai dilancarkan pemerintah.

2) Kredit eksploitasi, kredit yang ditujukan untuk penggunaan pembiayaan kebutuhan dunia usaha akan modal kerja berupa persediaan bahan baku, persediaan produk akhir, barang dalam proses produksi serta piutang, sedangkan jangka waktunya berlaku pendek. Di Indonesia jenis kredit ekploitasi ini boleh dikatakan sudah dilakukan sejak lama yaitu sejak masa tahun 1950-an.

c. perbedaan antara kredit konsumtif dan kredit produktif (semi konsumtif dan semi produktif)

3. Dari segi dokumen maka kredit jenis ini, yaitu kredit yang sangat terikat dengan dokumen-dokumen berharga yan memiliki subsitusi nilai jumlah uang, dan dokumen tersebut merupakan jaminan pokok pemberian kredit. Kredit ini banyak dipergunakan oleh orang yang mengadakan transaksi dagang yang berlainan tempat. Jenis kredit ini terdiri dari :

(24)

a. Kredit ekspor adalah semua bentuk kredit sebagai sumber pembiayaan bagi usaha ekspor. Jadi bisa dalam bentuk kredit langsung maupun tidak langsung seperti pembiayaan kredit modal kerja jangka pendek maupun kredit investasi untuk jenis industri yang berorientasi ekspor.

b. Kredit impor

4. Dari segi besar kecilnya aktivitas perputaran usaha, yaitu melihat dinamika sektor yang digeluti, aset yang dimiliki dan sebagainya,maka jenis kredit ini terdiri dari :

a. Kredit kecil, yaitu kredit yang diberikan kepada pengusaha yang digolongkan sebagai pengusaha kecil. Melalui kebijaksanaan Januari 1990 antara lain mengharuskan bank-bank untuk menyalurkan 20% kreditnya kepada kegiatan usaha kecil (Kredit Usaha Kecil) dan realisasinya dijadikan sebagai salah satu faktor penilaian kesehatan bank. Yang termasuk dalam usaha kecil, adalah kegiatan usaha yang asetnya di luar tanah dan bangunan yang ditempati tidak melebihi Rp. 600 juta, sedangkan maksimum kredit yang dapat diberikan adalah Rp. 200 juta. Ketentuan ini kemudian diperbaiki melalui deregulasi Mei 1993, maka bagi kredit kecil dinaikkan menjadi Rp. 250 juta.

b. Jenis kredit ini di Indonesia merupakan andalan pemerintah dalan rangka pemerataan, mengingat sejak keluarnya Pakjan 1990. Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) dihapuskan. Misi Kredit Usaha Kecil (KUK) adalah pemerataan kesempatan kesempatan berusaha bagi masyarakat.

(25)

c. Kredit menengah, yaitu kredit yan diberikan kepada pengusaha yang asetnya lebih besar daripada pengusaha kecil.

d. Kredit besar

5. Dari segi jangka waktunya jenis kredit meliputi :

a. Kredit jangka pendek (Short term loan) yaitu kredit yang berjangka waktu maksimum 1 tahun. Bentuknya dapat berupa kredit rekening koran, kredit penjualan, kredit pembelian dan kredit wesel.

b. Kredit jangka menengah (Medium term loan) yaitu kredit berjangka waktu antara 1 tahun sampai 3 tahun.

c. Kredit jangka panjang, yaitu kredit yang berjangka waktu lebih dari 3 tahun. Kredit jangka panjang ini pada umumnya adalah kredi investasi yang bertujuan menambah modal perusahaan dalam rangka untuk melakukan rehabilitas, ekspansi (perluasan) dan pendirian proyek baru.33 6. Dari segi jaminannya, jenis kredit dapat dibedakan, antara lain :

a. Kredit tanpa jaminan atau kredit blangko (unsecured loan). Kredit ini menurut Undang-undang Perbankan tahun 1992 mungkin saja bisa direalisasikan. Karena Undang-undang Perbankan 1992 tidak secara ketat menentukan, bahwa pemberian kredit harus memiliki jaminan. Hanya disarankan saja dalam memberikan kredit bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Sebaliknya menurut Undang-undang Pokok Perbankan tahun 1967 yang digantikannya, pemberian kredit tanpa jaminan ini dilarang sesuai dengan Pasal 24 ayat 33 Mohammaf Djohan, Perbankan di Indonesia , PT. Gramedia, Jakarta, 1990, hal 58

(26)

(1) bahwa bank umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga.

b. Kredit dengan jaminan (secured loan), yaitu kredit yang diberikan pihak kreditur mendaat jaminan, bahwa debitur dapat melunasi hutangnya. Kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi risiko, maka diperlukan jaminan dalam pemberian kredit tersebut. Adapun bentuk jaminan dapat berupa jaminan kebendaan, maupun jaminan perorangan.

7. Kredit Sindikasi

Kredit sindikasi atau pinjaman sindikasi adalah pinjaman yang diberikan oleh dua atau lebih lembaga keuangan dengan persyaratan dan kondisi yang serupa, menggunakan dokumentasi yang umum dan ditatausahakan oleh suatu agen bank, disusun oleh arranger yang bertugas dan bertanggung jawab mulai dari proses solisitasi (permintaan pinjaman) nasabah sampai dengan proses penandatangan perjanjian kredit.34

1) Keterbatasan dana bank

Dengan demikian pada dasarnya kredit sindikasi adalah pinjaman yang diberikan oleh dua atau lebih lembaga keuangan, maka :

a. Apabila dilihat dari jumlah kreditnya, dapat disimpulkan bahwa terjadinya kredit sindikasi ini adalah lebih banyak disebabkan karena :

34 Hasuddin Rachman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, Gdalia

(27)

Dalam suatu permohonan kredit dalam jumlah besar yang diajukan oleh debitur/calon debitur terutama corporate, seringkali bank yang bersangkutan tidak mampu menyediakan dana sebesar permohonan tersebut. Kalaupun mampu bank tersebut belum tentu mau untuk membiayainya, karena dengan pertimbangan risiko kredit yang terlalu besar.

2) Penyebaran resiko

Dengan pertimbangan resiko kredit yang besar tersebut, maka bank mencari jalan keluar dengan penyebaran resiko, yaitu kredit dalam jumlah yang besar diberikan oleh beberapa bank kepada debitur.

Sehingga dengan demikian resiko yang akan timbul di kemudian hari dipikul secara bersama-sama oleh bank pemberi kredit sindikasi. 3) Pembatasan peraturan perundang-undangan

Bahwa dalam pemberian kredit oleh bank tidaklah tanpa batas, sebab hal ini akan berpengaruh terhadap kesehatan bank itu sendiri. Mengingat setiap pelepasan akan bepengaruh terhadap Loan to deposit

ratio dan capital adequacy ratio. Bahkan mengenai jumlah pelepasan

kredit ini diatur secara tersendiri oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu dalam Pasal 11 dengan sebutan “Batas Maksimum Pemberian Kredit”.

b. Apabila dilihat dari subjeknya, dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak yan terlibat di dalam suatu perjanjian kredit sindikasi adalah :

(28)

Pihak debitur ini adalah sebagai pihak yang menerima pinjaman atau kredit yang pada umumnya berstatus sebagai badan hukum (Persatuan Terbatas).

2) Pihak para Kreditur (Lenders)

Pihak para kreditur ini sering juga disebut The Lenders atau

Participant, adalah sebagai pihak yang memberikan pinjaman atau

kredit yang pada umumnya Bank atau Lembaga Keuangan bukan Bank.

3) Pihak Lead Manager

Pihak Lead Manager adalah sebagai pihak yang ditunjuk dan diangkat oleh debitur untuk mencari dana (meng-approach) bank-bank lain untuk ikut berpartisipasi, misalnya pinjaman yang akan diberikan berjumlah besar, maka Lead Manager mungkin akan memberikan pinjaman setengah dari jumlah tersebut, selebihnya Lead Manager akan mencari bank lain yang akan bertindak sebagai Manager, selanjutnya Manager tersebut akan mencari Co-Manager dan Co-Manager akan mencari

participant.

Jadi pihak Lead Manager, Manager dan Co-Manager dalam prakteknya juga bertindak sebagai Lender.

4) Pihak Agent Bank

Pihak agent bank ini mewakili dan bertindak untuk kepentingan serta untuk dan atas nama para kreditur (Leaders) pihak Agent Bank ini ditunjuk dan diangkat oleh para kreditur (Leaders), yang bertanggung

(29)

jawab secara operasional dalam mengelola pinjaman sindikasi, mulai dari menerima angsuran, bunga dan mengatur serta membagi dana pada waktu memberikan pinjaman kepada debitur dengan perkataan lain pihak Agent ini hanya mengatur administrasi operasional saja.

Dalam praktek perbankan yang menduduki posisi Agen Bank ini pada umumnya adalah Bank yang menjadi Lead Manager.35

5) Commitment Fee

Kemudian dalam prakteknya, Lead Manager, Manager, Co-Manager dan Agent mendapat imbalan berupa fee yang dibebankan pada debitur. Adapun jenis fee tersebut antara lain adalah :

1) Participation Fee

Fee yang diterima oleh bank-bank yang menjadi participant dalam

kredit sindikasi. 2) Arranger Fee

Fee yang diterima oleh Lead Manager atas jasanya dalam proses

pembentukan sindikasi, walaupun rencana kredit sindikasi tersebut tidak terealisir.

3) Management Fee

Fee yang diterima bank peserta sindikasi sesuai dengan

kepesertaannya. 4) Agent Fee

Fee yang diterima oleh Agent bank atas jasanya dalam mengadministrasikan kredit sindikasi.

(30)

Fee yang diterima oleh Bank peserta sindikasi atas tidak atau belum terpakainya dana sindikasi yang telah disediakan oleh bank yang bersangkutan. Antara Lead Manager, Manager, Co-Manager dan

Agent serta Participant lainnya, tentunya mempunyai hubungan hukum

satu sama lain, khususnya sifat hubungan hukum yang melekat pada pihak Lead Manager atau Manager, karena di satu pihak ia sebagai Kreditur (Leaders) terhadap Debitur sedangkan di lain pihak ia bertindak sebagai agent dari pada Kreditur (Leaders) lainnya.

Dari hubungan hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam suatu kredit sindikasi selain perjanjian kredit antara kreditur dengan debiturnya juga terdapat perjanjian sindikasi yan ditandatangani antara dan oleh para kreditur (Leaders).

Penting diketahui oleh Legal Officer bahwa analisa dari sisi legal aspect kredit sindikasi tidak berbeda dengan kredit biasa, walaupun kredit sindikasi merupakan suatu transaksi yang mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan cara pemberian kredit biasa.

Faktor-faktor yang membedakan antara kredit biasa dengan kredit sindikasi antara lain adalah :

1. Faktor Perjanjian Kredit (Loan Agreement)

Dalam perjanjian kredit ini terdapat hubungan hukum yang menyangkut kepentingan para kreditur (bank-bank dan participant), debitur dan Agen Bank. 2. Faktor Lead Manager Bank

Dalam kredit sindikasi, diperlukan satu bank yang berkedudukan sebaai Lead Manager yang pembentukannya pada umumnya didasarkan pada jumlah pinjaman yang diberikan lebih besar daripada jumlah yang diberikan oleh

(31)

participant lainnya, mempunyai banyak pengalaman dan kemampuan sebagai

Lead Manager.

3. Faktor suku bunga (Interest rate)

Dalam kredit sindikasi sering dilakukan negoisasi tersendiri terhadap tingkat suku bunga (Interest rate) yang dibebankan kepada debitur yang bersangkutan.

Interest rata tersebut dapat berupa fixed rate dan dapat pula berbentuk floating rate.

4. Faktor Market

Dalam memasarkan kredit sindikasi ini, pada umumnya sebagai target marketnya adalah coorporate (Perseroan Terbatas) untuk Kredit Investasi dan Modal Kerja,

Manufacturing dan Trading.

5. Faktor Jangka waktu

Kredit sindikasi pada umumnya berjangka waktu panjang (long term) atau menengah (Medium term), yaitu dari 3 sampai 15 tahun.36

Agar kredit yang diberikan oleh bank dapat mencapai hasil dan sasaran yang diinginkan, perlu diadakan pengelolaan yang baik terhadap piutang atau kreditnya. Dari semua fungsi manajemen dalam perbankan, fungsi yang dilakukan sepenuhnya adalah pengendalian (pengawasan). Alasannya adalah peranan yang dijalankan oleh bank umum dalam masyarakat kita. Bank lebih dari industri lain, sangat tergantung pada kepercayaan masyarakat luas. Bank menyimpan uang yang banyak dan diatur dengan cermat oleh instansi pengawasan bank yang memiliki berbagai peraturan dan ketentuan. Standar dan ketetapan yang tinggi diharapkan dari bank umum.

F. Sasaran pengembangan kredit

37

36 Muhammad Jumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya, Bandung, 1996, hal 82 37

(32)

Tercapainya peningkatan dan pengembangan Usaha Kecil/Mikro dengan tujuan untuk dapat meningkatkan pendapatan serta membuka lapangan pekerjaan. Pelaku usaha/Pengusaha Mikro yang dimaksud dalam skim kredit ini adalah masyarakat yang melakukan usaha produktif di semua sektor ekonomi kecuali sektor agribisnis, merupakan bagian dari keluarga miskin untuk dapat melepaskan diri dari jurang kemiskinan.

Sasaran Kredit Mikro “Utama” adalah segmen pasar kredit skala mikro yang masih memiliki potensi untuk dibiayai dengan kredit, seperti :

a) Perorangan yang memiliki usaha didalam Sektor Ekonomi produktif.

b) Kelompok usaha yang memiliki usaha didalam Sektor Ekonomi produktif, lebih diutamakan untuk kelompok usaha yang berada di lokasi usaha yang sama atau saling menunjang dan atau memiliki potensi pasar ekonomi.38 Menurut Hasibuan

1. Menjaga agar kredit yang disalurkan tetap aman.

sasaran pengembangan kredit, antara lain adalah untuk :

2. Mengetahui apakah kredit yang disalurkan itu lancar atau tidak.

3. Melakukan tindakan pencegahan dan penyelesaian kredit macet atau kredit bermasalah.

4. Mengevaluasi apakah prosedur penyaluran kredit yang dilakukan telah baik atau masih perlu disempurnakan.

5. Memperbaiki kesalahan-kesalahan karyawan analisis kredit dan mengusahakan agar kesalahan itu tidak terulang kembali.

6. Mengetahui posisi persentase collectability credit

7. Meningkatkan moral dan tanggung jawab analisis kredit bank.

yang disalurkan bank. 39

Menurut Hasibuan ada beberapa sistem dalam melaksanakan pengembangan kredit, antara lain adalah :

1. Internal Control of Credit 2.

38 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2003, hal 69 39

Malayu Hasibuan, S.P, Op.Cit, hal. 103

(33)

3. External Control of Credit40

1.

Sedangkan jenis-jenis pengendalian kredit terdiri dari :

Preventive Control of Credit

2.

, adalah pengendalian kredit yang dilakukan dengan tindakan pencegahan sebelum kredit tersebut macet.

Repressive Control of Credit, adalah pengendalian kredit yang dilakukan

melalui tindakan penagihan/penyelesaian setelah kredit tersebut macet.41

40 Malayu Hasibuan, S,P, Ibid, hal. 105 41 Sutarno, Ibid, hal 81

Referensi

Dokumen terkait

Pada halaman ini digunakan oleh pengguna untuk mencari data kamera digital, sesuai dengan input yang dimasukkan, misalnya mencari data kamera dengan menggunakan nama merk, harga,

Tunas-tunas yang terbentuk tersebut berwarna hijau dengan pertumbuhan sempurna (Gambar 3), sedangkan pada eksplan kalus embrionik hasil persilangan antara jeruk siem x

c) Hasil penelitian dosen telah dipublikasikan di jurnal internal, eksternal, e-jurnal, dan jurnal internasional bereputasi. d) Penelitian diarahkan sesuai dengan Rencana

PENERAPAN STRATEGI PQ4R (PREVIEW, QUESTION, READ, REFLECT, RECITE, REVIEW) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN SISWA KELAS 1V SEKOLAH DASAR.. Universitas

Maka dari itu peneliti ingin mengetahui dengan menganalisis bagaimana hasil dari penelitian mahasiswa S1 Administrasi Bisnis Tel-U yang telah mendapatkan matakuliah entrepreneurship

6. Berdasarkan perbandingan realisasi kosakata di titik pengamatan yang sama, perubahan tertinggi terjadi di titik pengamatan 2 yang paling banyak merealisasikan berian-berian

Tingkat sanjungan tersebut terukur dari tingkat deviasi leksikon serta tujuan ilokusi dari setiap tuturan yaitu ditujukan pada area wajah atau area luar wajah yaitu dengan

As a general rule, the closer the stimulus is to the initial stimulus causing the response, the greater the likelihood of stimulus generalization ” (p. We assume that there is a