Modul ke:
Fakultas
Program Studi
NEW MEDIA &
SOCIETY
Cybercrime
& Pornografi (Budaya Kapitalisme: Perempuan sebagai Komoditi)Rahmadya Putra Nugraha, M.Si
FIKOM
Broadcasting
Cybercrime
•
Perkembangan
teknologi
komputer
juga
menghasilkan
berbagai bentuk kejahatan komputer di lingkungan cyberspace
yang kemudian melahirkan istilah baru yang dikenal dengan
Cybercrime, Internet Fraud, dan lain-lain. Collin Barry C.
menjelaskan istilah cybercrime sebagai berikut :
– “Term “cyber-crime” is young and created by combination of two
words: cyber and crime. The term “cyber” means the cyber-space (terms “virtual space”, “virtual world” are used more often in literature) and means (according to the definition in “New hacker vocabulary” by Eric S. Raymond) the informational space modeled through computer, in which defined types of objects or symbol images of information exist – the place where computer programs work and data is processed.”
Cybercrime
• Sebagian besar dari perbuatan Cybercrime dilakukan oleh seseorang yang sering disebut dengan cracker. Berdasarkan catatan Robert H’obbes’Zakon, seorang internet Evangelist, hacking yang dilakukan oleh cracker pertama kali terjadi pada tanggal 12 Juni 1995 terhadap The Spot dan tanggal 12 Agustus 1995 terhadap Crackers Move Page. Berdasarkan catatan itu pula, situs pemerintah Indonesia pertama kali mengalami serangan cracker pada tahun 1997 sebanyak 5 (lima) kali.
• Kegiatan hacking atau cracking yang merupakan salah satu bentuk cybercrime tersebut telah membentuk opini umum para pemakai jasa internet bahwa Cybercrime merupakan suatu perbuatan yang merugikan bahkan amoral. Para korban menganggap atau memberi stigma bahwa
Cybercrime
•
Agus Raharjo berpendapat bahwa Cybercrime dapat dikatakan
sebagai white collar crime dengan kriteria berdasarkan
kemampuan profesionalnya.
•
David
I.
Bainbridge
mengingatkan
bahwa
pada
saat
memperluas hukum pidana, harus ada kejelasan tentang
batas-batas pengertian dari suatu perbuatan baru yang
dilarang sehingga dapat dinyatakan sebagai perbuatan pidana
dan juga dapat dibedakan dengan misalnya sebagai suatu
perbuatan perdata.
Pornografi
• Pornografi berasal dari kata porne dan graphein.
• prostitusi atau pelacur
Porne
• menulis, menggambar, tulisan atau gambar
Graphein
• Jadi pornografi adalah tulisan atau gambar yang dimaksudkan untuk membangkitkan nafsu seksual orang yang melihat atau membacanya. Akan tetapi kemudian hal ini berkembang bukan hanya dalam bentuk tulisan dan gambar tapi lewat berbagai media lain seperti film, tarian, lagu dan sebagainya.
Pornografi
• Untuk menahan gencarnya penyebaran pornografi di internet ini perlu dilakukan secara aktif baik dari masyarakat maupun pemerintah. Pemerintah perlu melakukan kampanye publik dan mengeluarkan kebijakan yang menentang pornografi di Internet.
• Hal semacam ini telah dilakukan oleh negara-negara di Timur Tengah, contohnya adalah dengan mewajibkan ISP dan warnet untuk melakukan filter terhadap materi pornografi.
• negara-negara sekuler pun juga melakukan ini, pemerintah Cina pernah menutup ribuan warnet yang dianggap telah menyebarkan materi pornografi.
• Begitu juga dengan Amerika pernah menyetujui RUU yang mengancam siapa saja yang "mengirim atau memasukkan bahan-bahan yang tidak sopan, baik dalam bentuk gambar atau tulisan", ke dalam jaringan internet.
Pornografi
• Selain mengharapkan usaha dari pemerintah, kita juga perlu melakukan beberapa tips berikut ini:
• 1. Pindahkan komputer ke area umum yang terbuka dan hindari penggunaan internet di tempat sepi.
• 2. Gunakan software yang berfungsi sebagai filter seperti we-blocker, watchdog, netnanny, dll.
• 3. Batasi penggunaan internet hanya untuk hal-hal penting. Waktu luang dan keingintahuan bisa menggoda pengguna untuk tergelincir mengakses situs-situs porno tersebut.
• 4. Awasi anggota keluarga kita yang juga menggunakan internet. Pengawasan ini bisa secara langsung, atau menggunakan software-software yang mencatat situs yang dikunjungi.
• 5. Jangan pernah mencoba! Semakin banyak kita menggunakan internet, semakin banyak kesempatan materi internet untuk mengunjungi kita, baik secara sengaja atau tidak.
Pengaturan pornografi melalui internet dalam KUHP
• Cyber pornography barangkali dapat diartikan sebagai penyebaran muatan pornografi melalui internet. Penyebarluasan muatan pornografi melalui internet tidak diatur secara khusus dalam KUHP. Dalam KUHP juga tidak dikenal istilah/kejahatan pornografi. Namun, ada pasal KUHP yang bisa dikenakan untuk perbuatan ini, yaitu pasal 282 KUHP mengenai kejahatan terhadap kesusilaan.
– “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan,
gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah”
Pengaturan pornografi melalui internet dalam UU ITE
• Dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga tidak ada istilah pornografi, tetapi “muatan yang melanggar
kesusilaan”. Penyebarluasan muatan yang melanggar kesusilaan melalui internet diatur dalam pasal 27 ayat (1) UU ITE mengenai Perbuatan yang Dilarang, yaitu;
• “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
• Pelanggaran terhadap pasal 27 ayat (1) UU ITE dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak Rp1 milyar (pasal 45 ayat [1] UU ITE).
• Dalam pasal 53 UU ITE, dinyatakan bahwa seluruh peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya dinyatakan tetap berlaku, selama tidak bertentangan dengan UU ITE tersebut.
Pengaturan pornografi melalui internet dalam UU Pornografi
• Undang-undang yang secara tegas mengatur mengenai pornografi adalah UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi). Pengertian pornografi menurut pasal 1 ayat (1) UU Pornografi adalah:
– “gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun,
percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”
• Pelarangan penyebarluasan muatan pornografi, termasuk melalui di internet, diatur dalam pasal 4 ayat (1) UU Pornografi, yaitu;
– “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang b. Kekerasan seksual
c. Masturbasi atau onani
d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan e. Alat kelamin
•
Pelanggaran pasal 4 ayat (1) UU Pornografi diancam pidana
penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun
atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak
Rp6 miliar (pasal 29 UU Pornografi).
•
Pasal 44 UU Pornografi menyatakan bahwa pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan
perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana
pornografi
dinyatakan
tetap
berlaku
sepanjang
tidak
Libidosophy
• Salah satu sistem yang di dalamnya perempuan (tubuh, tanda, hasratnya) dieksploitasi dalam rangka memproduksi pornografi adalah sistem (budaya) kapitalisme. Dengan kecenderungannya menjadikan perempuan sebagai objek komoditi dan pornografi (disebabkan inheren ideologi patriarki didalamnya) sistem budaya kapitalisme telah mengangkat ke permukaan setidak-tidaknya tiga persoalan yang menyangkut eksistensi perempuan di dalam wacana komoditi kapitalisme, khususnya pornografi sebagai komoditi.
• Di dalam sistem budaya kapitalisme, tubuh dengan berbagai potensi tanda, citra, simulasi, dan artifice-nya, menjadi elemen sentral ekonomi politik, disebebkan tubuh (estetika, gairah, sensualitas, erotisisme) merupakan
raison d’etre setiap produksi komoditi sekaligus metakomoditi, yaitu
komoditi yang digunakan untuk menjual (mengkomunikasikan) komoditi-komoditi lainnya (model, hostess, sles girl, cheerleader, peep show), lewat potensi fisik, tanda, dan libidonya.
•
Tubuh perempuan di dalam budaya kapitalisme tidak saja
dieksplorasi nilai guna (use value), pekerja, prostitusi, pelayan,
akan tetapi juga nilai tukarnya (exchange value), gadis model,
gadis peraga, hostes, dan kini juga nilai tandanya (sign value),
pornografi, erotic art, erotic video, erotic megazine, porno film,
porno sites, cyberporn.
•
Tubuh dengan demikian menjadi urat nadi ekonomi-politik dan
budaya kapitalisme, dengan segala potensi dan nilai ekonomi
yang dimilikinya. Di dalam sistem budaya kapitalisme, tubuh
menjadi bagian dari politik tubuh (body poilitics),
setidak-tidaknya pada tiga tingkat politik.
tiga tingkat politik tubuh
• Pertama, ekonomi-politik tubuh (political-economy of the body), yaitu bagaimana tubuh digunakan di dalam kapitalisme, berdasarkan pada konstruksi sosial atau ideologi kapitalisme, kapitalisme (dan patriarki).
• Kedua, politik-ekonomi tanda tubuh (political economy of the body signs), yaitu bagaimana tubuh diproduksi sebagai tanda-tanda (signs) di dalam sebuah sistem pertandaan (sign system) kapitalisme, yang membentuk citra, makna, dan
intensitas diri mereka di dalamnya.
• Ketiga, ekonomi-politik hasrat (political economy of desire), yaitu bagaimana potensi libido perempuan menjadi sebuah ajang eksplitasi ekonomi, yaitu
bagaimana ia disalurkan, digairahkan, dikendalikan, atau dijinakkan di dalam bentuk relasi sosial yang menyertai produksi komoditi. Hasrat sebagai sebuah “objek” psikis dapat “diproduksi” sebagai komoditi untuk dipertukarkan, adalah dalam pengertian Delueze & Guattarian, yaitu bahwa hasrat itu sendiri adalah sebuah sistem
produksi, yang “memproduksi” hasrat itu sendiri lewat mesin hasrat (desiring