• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Delinkuensi (delinquency) berasal dari bahasa Latin delinquere, yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Delinkuensi (delinquency) berasal dari bahasa Latin delinquere, yang"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Perilaku Delinkuensi

II.A.1. Pengertian Perilaku Delinkuensi

Delinkuensi (delinquency) berasal dari bahasa Latin “delinquere”, yang diartikan terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas menjadi jahat, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror dan tidak dapat diatur. Kartono (1998), dalam mengartikan delinkuensi lebih mengacu pada suatu bentuk perilaku menyimpang, yang merupakan hasil dari pergolakan mental serta emosi yang sangat labil dan defektif.

Bynum dan Thompson (1996), mengartikan perilaku delinkuensi dalam tiga kategori, yaitu the legal definition, the role definition, dan the societal response definition. Ketiga kategori tersebut memiliki pengertian masing-masing, yaitu :

1. The Legal Definition

Secara legal perilaku delinkuensi diartikan sebagai segala perilaku yang dapat menjadi kejahatan jika dilakukan oleh orang dewasa atau perilaku yang oleh pengadilan anak dianggap tidak sesuai dengan usianya, sehingga anak tersebut dipertimbangkan melakukan perilaku delinkuensi berdasarkan larangan yang diberlakukan dalam undang-undang status perilaku kriminal dari pemerintah pusat, negara dan pemerintah daerah. Namun, tidak semua perilaku pelanggaran dapat dikategorikan sebagai kriminal. Perilaku delinkuensi merupakan perilaku

(2)

yang dilakukan remaja, yaitu meliputi pelanggaran peraturan yang diberlakukan bagi anak seusianya, seperti membolos sekolah, atau mengkonsumsi alkohol dimana perilaku tersebut ilegal.

2. The Role Definition

Segi peran memfokuskan arti perilaku delinkuensi pada pelaku antisosial daripada perilaku antisosial, pengertian ini mengungkap, ”Siapakah yang melakukan perilaku delinkuensi?”. Pengertian mengacu pada individu yang mempertahankan bentuk perilaku delinkuensi dalam periode waktu yang cukup lama, sehingga kehidupan serta identitas kepribadiannya terbentuk dari perilaku menyimpang (deviant). Konsep sosiologis yang berhubungan dengan pengertian peran dalam mendeskripsikan perilaku delinkuensi, yaitu status sosial dan peran sosial. Status sosial merupakan pengaruh posisi seseorang dalam hubungannnya dengan orang lain dalam kelompok sosial atau masyarakat. Peran sosial diartikan sebagai perilaku yang diharapkan untuk ditunjukkan dari seseorang yang memiliki status dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat.

3. The Societal Response Definition

Pengertian dari segi societal response, menekankan pada konsekuensi sebagai akibat dari suatu tindakan dan/atau seorang pelaku yang dianggap melakukan suatu perilaku menyimpang atau delinkuensi, dimana audience yang mengamati dan memberi penilaian terhadap perilaku tersebut. Audience adalah

(3)

Berdasarkan ketiga kategori pengertian di atas, Bynum dan Thompson (1996), mengartikan perilaku delinkuensi dengan mengkombinasikan ketiga kategori tersebut :

“Delinquency reffering to illegal conduct by a juvenile that reflects a persistent delinquent

role and results in society regarding the offender as seriously deviant. Deviant is conduct that is perceived by others as violating institutionalized expectations that are widely shared and recognized as legitimate within the society.” (Bynum & Thompson, 1996)

Perilaku delinkuensi merupakan suatu bentuk perilaku ilegal yang mencerminkan peran kenakalan yang terus-menerus, dimana perilaku tersebut oleh masyarakat dianggap sebagai penyimpangan yang sangat serius. Perilaku menyimpang tersebut diartikan oleh orang lain sebagai ancaman terhadap norma legitimasi masyarakat.

Walgito (dalam Sudarsono, 1997) merumuskan bahwa istilah delinkuensi lebih ditekankan pada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak dan remaja, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan. Fuad Hasan (dalam Hadisuprapto, 1997), merumuskan perilaku delinkuensi sebagai perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak dan remaja yang bila dilakukan orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan.

Suatu perilaku dianggap ilegal hanya karena status usia si pelaku yang masih muda (bukan usia dewasa), atau yang sering disebut status offenses. Perilaku antisosial dapat berupa menggertak, agresi fisik dan perilaku kejam terhadap teman sebaya, sikap bermusuhan, lancang, negativistik terhadap orang dewasa, menipu terus-menerus, sering membolos dan merusak (Kaplan, Sadock &

(4)

Simanjuntak (dalam Sudarsono, 1997), memberi tinjauan bahwa suatu perbuatan disebut delinkuensi apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat di mana seseorang tinggal atau suatu perbuatan anti sosial di mana di dalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif. Suatu perbuatan dikatakan sebagai delinkuensi atau tidak, ditinjau dari dua faktor, yaitu hukum pidana serta norma-norma dalam masyarakat. Sudarsono (1997), merumuskan bahwa perilaku delinkuensi memiliki arti yang luas, yaitu perbuatan yang menimbulkan keresahan masyarakat, sekolah maupun keluarga, akan tetapi tidak tergolong pidana umum maupun khusus. Antara lain, perbuatan yang bersifat anti susila, yaitu durhaka kepada orang tua, membantah, melawan, tidak patuh, tidak sopan, berbohong, memusuhi orang tua, saudara-saudaranya, masyarakat dan lain-lain. Serta dikatakan delinkuensi, jika perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma agama yang dianut.

Farrington (dalam Quay, 1987), mengartikan delinkuensi sebagai perilaku yang meliputi pencurian, perampokan, sifat suka merusak (vandalism), kekerasan terhadap orang lain, dan penggunaan obat, pengkategorian delinkuensi juga meliputi perilaku status offenses (status bersalah) seperti minum-minuman beralkohol dan pelanggaran jam malam yang dilakukan oleh remaja. Seperti yang dikemukakan Lewis (dalam Short, 1987), perilaku delinkuensi merupakan perilaku ilegal yang dilakukan oleh remaja meliputi, membolos, diasosiasikan dengan remaja yang suka melanggar peraturan, dan melanggar jam malam. Sedangkan Sunarwiyati (dalam Masngudin, 2004), merumuskan perilaku delinkuensi meliputi, kenakalan biasa, seperti suka berkelahi, suka keluyuran,

(5)

membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit, kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan, seperti mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang miliki orang tua/orang lain tanpa izin, serta kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar nikah, pemerkosaan, penganiayaan, penyiksaan, pembunuhan dan lain-lain

Seiring perkembangannya Papalia (2003), mengartikan perilaku delinkuensi mengacu pada suatu rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti bertindak berlebihan di sekolah, yakni melanggar tata tertib, berkelahi), pelanggaran (seperti melarikan diri dari rumah) hingga tindakan-tindakan kriminal (seperti mencuri), yang dilakukan oleh anak dan remaja. Perilaku delinkuensi merupakan suatu bentuk pelanggaran, kesalahan, serangan atau kejahatan yang relatif minor melawan undang-undang legal atau tidak terlalu berat dalam pelanggaran terhadap undang-undang, yang khususnya dilakukan oleh anak-anak muda yang belum dewasa (Chaplin, 2004).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku delinkuensi merupakan suatu bentuk perbuatan anti sosial, melawan hukum negara, norma-norma masyarakat dan norma-norma agama serta perbuatan yang tergolong anti sosial yang menimbulkan keresahan masyarakat, sekolah maupun keluarga, akan tetapi tidak tergolong pidana umum maupun khusus, yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa (anak dan remaja).

II.A.2. Tipe-tipe Perilaku Delinkuensi

Masyarakat memandang beberapa perilaku sebagai negatif, misalnya perilaku tersebut ilegal karena status usia si pelaku yang masih muda, inilah yang disebut status offenses, meliputi bolos sekolah, penyalahgunaan obat-obatan,

(6)

minuman keras, ketidakpatuhan dengan aturan orang tua, berteman dengan orang-orang yang suka melanggar peraturan, lari dari rumah dan melanggar jam malam. Sedangkan index offenses, digunakan dalam pengkategorian perilaku yang lebih serius, meliputi pembunuhan, pemerkosaan, perampokkan dan penyerangan yang masuk dalam ”violent crimes”, yang merupakan suatu tindakan atau perilaku yang ditujukan langsung pada orang lain, sedangkan maling, pencuri kendaraan bermotor dan pembakaran, dimasukkan dalam ”property crimes”, yaitu kejahatan yang tanpa kekerasan tetapi berhubungan langsung dengan properti (Bynum & Thompson, 1996).

Department of Justice in the National Crime (dalam Kelley, Loeber, Keenan, & DeLamatre, 1997), membagi perilaku delinkuensi dalam dua kategori. Pertama, ”index offenses” perilaku delinkuensi sebagai perilaku yang melibatkan tindakan pengrusakan dan pencurian barang-barang milik orang lain, kekerasan terhadap orang lain, mengkonsumsi dan memperjualbelikan alkohol dan obat-obatan, dan kepemilikan senjata api. Kedua, ”status offenses”, dimana tidak merupakan suatu pelanggaran bila dilakukan oleh orang dewasa, antara lain membolos, lari dari rumah, memiliki atau mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan, pelanggaran jam malam.

Papalia (2003) membedakan perilaku delinkuensi dalam dua kategori yaitu index offenses dan status offenses. Index offenses, merupakan tindakan kriminal, baik yang dilakukan remaja maupun orang dewasa. Tindakan-tindakan itu meliputi perampokan, penyerangan dengan kekerasan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Status offenses, merupakan tindakan-tindakan yang tidak terlalu

(7)

serius seperti lari dari rumah, bolos dari sekolah, mengkonsumsi minuman keras yang melanggar ketentuan usia, pelacuran, dan ketidakmampuan mengendalikan diri sehingga menimbulkan perkelahian. Tindakan-tindakan itu dilakukan oleh anak-anak muda di bawah usia tertentu, sehingga pelanggaran-pelanggaran itu disebut pelanggaran-pelanggaran remaja.

Berdasarkan uraian diatas, dapat kita lihat bahwa perilaku delinkuensi mencakup dua kategori yaitu pertama, ”index offenses” sebagai perilaku kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain dan kenakalan yang menimbulkan korban materi atau properti. Kedua, ”status offenses”, sebagai perilaku kenakalan yang tidak terlalu serius, yang merupakan pelanggaran-pelanggaran remaja seperti membolos, lari dari rumah, perkelahian, dan pelanggaran-pelanggaran lain melanggar status usia remaja.

II.A.3. Bentuk-bentuk Perilaku Delinkuensi

Bynum dan Thompson (1996), mengkategorikan bentuk-bentuk perilaku delinkuensi yang termasuk dalam status offenses meliputi running away, truancy, ungovernable behaviour dan liquor law violations, sedangkan yang termasuk dalam kategori index offenses, pembunuhan, pemerkosaan, perampokkan, penyerangan, mencuri, pencuri kendaraan bermotor, merampok dan pembakaran. Steinhart (1996), seorang pengacara ahli dalam sistem peradilan anak, menyatakan bahwa status offenses merupakan perilaku yang tidak legal bagi anak-anak, tetapi itu merupakan perilaku yang legal bagi orang dewasa. Bentuk-bentuk status offenses yang umum yaitu, membolos (truancy), lari dari rumah (running

(8)

away from home), menentang perintah dan aturan orang tua (incorrigibility: disobeying parents), melanggar jam malam bagi anak dan remaja (curfew violations), dan mengkonsumsi alkohol (alcohol possession by minors). Sementara itu, index offenses meliputi bentuk pelanggaran lebih serius, yang terdiri dari dua kategori yaitu pelanggaran kekerasan terhadap orang dan pelanggaran kekerasan terhadap barang/properti. Antara lain pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, penyerangan, perampokan, pencurian kendaraan bermotor, dan pembakaran.

United Stated Department of Justice’s Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention (OJJDP) mengindentifikasi index offenses dalam empat kategori utama (dalam Hund, 1998), yaitu :

a. Pelanggaran kekerasan (violent offenses), yaitu perbuatan-perbuatan yang menimbulkan korban fisik, meliputi kekerasan fisik baik menyebabkan kematian ataupun tidak, pemerkosaan, menyerang, dan merampok dengan senjata.

b. Pelanggaran properti (property offenses), yaitu perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerusakan property milik orang lain, meliputi pengrusakan, pencurian, pembakaran.

c. Pelanggaran hukum negara (public offenses), yaitu segala perbuatan yang melanggar undang-undang Negara selain dari violent offenses dan property offenses.

d. Penyalahgunaan obat-obatan dan minuman keras (drug and liquor offenses), yaitu perbuatan yang melibatkan obat-obatan dan

(9)

minuman keras, meliputi mengkonsumsi dan memperjualbelikan obat-obatan serta minuman keras.

United Stated Department of Justice’s Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention (OJJDP) mengindentifikasi status offenses dalam empat kategori utama (dalam Hund, 1998), yaitu :

a. Lari dari rumah (runaway), termasuk pergi keluar rumah tanpa pamit. b. Membolos (truancy) dari sekolah tanpa alasan jelas, dan berkeliaran di

tempat-tempat umum atau tempat bermain.

c. Melanggar aturan atau tata tertib sekolah dan aturan orang tua (ungovernability).

d. Mengkonsumsi alkohol (underage liquor violations)

e. Pelanggaran lainnya (miscellaneous category), meliputi pelanggaran jam malam, merokok, berkelahi dan lain-lain.

Sementara itu peneliti di Indonesia, Sunarwiyati (dalam Masngudin, 2004), merumuskan bentuk-bentuk perilaku delinkuensi dalam tiga kategori. Pertama, kenakalan biasa, seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit. Kedua, kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan, seperti mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang miliki orang lain tanpa izin. Ketiga, kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar nikah, pemerkosaan, penganiayaan, penyiksaan, pembunuhan dan lain-lain. Berdasarkan penelitiannya berjudul ”Pengukuran Sikap Masyarakat terhadap Kenakalan Remaja di DKI Jakarta”, bentuk-bentuk perilaku kenakalan yang lazim terjadi pada remaja antara

(10)

lain : berbohong, pergi keluar rumah tanpa pamit, keluyuran, begadang di luar rumah hingga larut malam, membolos sekolah, buang sampah sembarangan, membaca buku porno, melihat gambar porno, menonton film porno, mengendarai kendaraan tanpa SIM, kebut-kebutan, minum-minuman keras, penyalahgunaan obat, berkelahi, hubungan seks diluar nikah, mencuri, mengompas, mengancam/menganiaya, berjudi/taruhan, sedangkan membunuh dan memperkosa termasuk dalam jumlah yang sangat sedikit pada remaja.

Jensen (dalam Sarwono, 2006), meengkategorikan bentuk-bentuk perilaku delikuensi menjadi empat kategori. Pertama, kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, antara lain perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain. Kedua, kenakalan yang menimbulkan korban materi, antara lain perusakan, pencurian, pecopetan, pemerasan, dan lain-lain. Ketiga, kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain, antara lain pelacuran, penyalahgunaan obat, merokok dan minuman keras. Keempat, kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status sebagai pelajar, dengan cara membolos dan melanggar peraturan sekolah, mengingkari status orang tua, dengan cara minggat dari rumah, melawan orang tua, memusuhi keluarga, dan sebagainya. Bagi remaja, perilaku-perilaku tersebut merupakan suatu pelanggaran, memang belum melanggar hukum dalam arti sesungguhnya, karena merupakan pelanggaran dalam lingkungan keluarga dan sekolah.

United Nations Children's Fund, sebuah lembaga internasional di bawah naungan PBB bekerja sama dengan Pemerintah Kota Surakarta melakukan penelitian mengenai perilaku menyimpang pada remaja di Kota Surakarta.

(11)

Perilaku kenakalan remaja yang umum dilakukan antara lain, mulai dari bolos sekolah, keluyuran di tempat wisata, halte, terlibat tawuran, mabuk, pelanggaran lalu lintas, melakukan tindakan pemerasan, hamil di luar nikah, menjadi pekerja seks komersial hingga melakukan tindakan kriminal. Data remaja yang terlibat kenakalan dalam satu tahun mencapai angka 6.664 orang dengan presentase terbesar bolos sekolah/keluyuran di tempat wisata, bioskop, halte dan sebagainya sejumlah 3.485 orang (Syamsiah dan Wiyono, 2001).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dimensi-dimensi perilaku delinkuensi sebagai berikut : Pertama, index offenses meliputi kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain (violent offenses), antara lain perkelahian, penganiayaan, pengancaman dan perampokan; kenakalan yang menimbulkan korban materi (property crimes), antara lain perusakan, pencurian, dan pemerasan; kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain (drug/ liquor and public), antara lain pelacuran, penyalahgunaan dan memperjualbelikan obat/minuman keras dan berjudi/taruhan. Kedua, status offenses yaitu kenakalan yang melawan status, antara lain mengingkari status sebagai pelajar dan mengingkari status orang tua, meliputi lari dari rumah (runaway), termasuk pergi keluar rumah tanpa pamit; membolos sekolah (truancy) dan keluyuran; melanggar aturan atau tata tertib sekolah dan aturan orang tua (ungovernability), seperti melawan orang tua, berbohong, pakaian seragam tidak lengkap, dan lain-lain; mengkonsumsi alkohol (underage liquor violations); dan pelanggaran lainnya (miscellaneous category), meliputi pelanggaran jam malam, merokok, obat-obatan dan lain-lain.

(12)

II.A.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Perilaku Delinkuensi

Perilaku delinkuensi merupakan perilaku yang mayoritas dilakukan oleh anak dan remaja di bawah usia 21 tahun. Banyak peneliti yang berusaha mengungkapkan faktor-faktor penyebab munculnya perilaku delinkuensi pada masa remaja. Salah satunya Bynum dan Thompson (1996) yang membahas latar belakang timbulnya perilaku delinkuensisi berdasarkan berbagai teori.

a. Teori differential association, teori yang dikemukakan oleh Sutherland ini melandaskan pada proses belajar. Teori ini mengungkapkan bahwa perilaku delinkuensi adalah perilaku yang dipelajari secara negatif, berarti perilaku tersebut tidak diwarisi. Perilaku delinkuensi ini dipelajari dalam interaksi dengan orang lain, khususnya orang-orang dari kelompok terdekat seperti orang tua, saudara kandung, sanak saudara atau masyarakat di sekitar tempat tinggal. Keluarga sebagai unit sosial yang memberi pengaruh besar terhadap perkembangan anak, seperti interaksi negatif antar saudara kandung dapat menjadi dasar munculnya perilaku negatif pada anak.

b. Teori Anomie, teori ini diajukan oleh Robert Merton, yang berorientasi pada kelas, berbagai struktur sosial yang mungkin terdapat di masyarakat dalam realitasnya telah mendorong orang-orang cenderung berperilaku menyimpang dari norma-norma.

(13)

Philip Graham (dalam Sarwono, 2006), membagi faktor-faktor penyebab perilaku delinkuensi lebih mendasarkan pada sudut kesehatan mental remaja, yaitu :

1. a. Faktor lingkungan, meliputi malnutrisi (kekurangan gizi), kemiskinan, gangguan lingkungan (polusi, kecelakaan lalu lintas, bencana alam, dan lain-lain), migrasi (urbanisasi, pengungsian, dan lain-lain).

b. Faktor sekolah (kesalahan mendidik, faktor kurikulum, dan lain-lain). c. Keluarga yang tercerai berai (perceraian, perpisahan yang terlalu lama,

dan lain-lain).

d. Gangguan dalam pengasuhan, meliputi kematian orang tua, orang tua sakit atau cacat, hubungan antar anggota keluarga, antar saudara kandung, sanak saudara yang tidak harmonis serta pola asuh yang salah. Hubungan antar anggota yang tidak haarmonis dapat menghambat perkembangan individu, khususnya perkembangan mental dan perilakunya.

2. Faktor pribadi, seperti faktor bawaan yang mempengaruhi temperamen (menjadi pemarah, hiperaktif, dan lain-lain), cacat tubuh, serta ketidakmampuan menyesuaikan diri.

Santrock (2003), berdasarkan teori perkembangan identitas Erikson mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku delinkuensi pada remaja:

1. Identitas negatif, Erikson yakin bahwa perilaku delinkuensi muncul karena remaja gagal menemukan suatu identitas peran.

(14)

2. Kontrol diri rendah, beberapa anak dan remaja gagal memperoleh kontrol yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. 3. Usia, munculnya tingkah laku antisosial di usia dini (anak-anak)

berhubungan dengan perilaku delinkuensi yang lebih serius nantinya di masa remaja. Namun demikian, tidak semua anak bertingkah laku seperti ini nantinya akan menjadi pelaku delinkuensi.

4. Jenis kelamin (laki-laki), anak laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku antisosial daripada anak perempuan. Keenan dan Shaw (dalam Gracia, et al., 2000), menyatakan anak laki-laki memiliki risiko yang lebih besar untuk munculnya perilaku (conduct) merusak. Namun, demikian perilaku pelanggaran seperti prostitusi dan lari dari rumah lebih banyak dilakukan oleh remaja perempuan.

5. Harapan dan nilai-nilai yang rendah terhadap pendidikan. Remaja menjadi pelaku kenakalan seringkali diikuti karena memiliki harapan yang rendah terhadap pendidikan dan juga nilai-nilai yang rendah di sekolah.

6. Pengaruh orang tua dan keluarga. Seseorang berperilaku nakal seringkali berasal dari keluarga, di mana orang tua menerapkan pola disiplin secara tidak efektif, memberikan mereka sedikit dukungan, dan jarang mengawasi anak-anaknya sehingga terjadi hubungan yang kurang harmonis antar anggota keluarga, antara lain hubungan dengan saudara kandung dan sanak saudara. Hubungan yang buruk dengan saudara kandung di rumah akan cenderung menjadi pola dasar dalam menjalin hubungan sosial ketika berada di luar rumah.

(15)

7. Pengaruh teman sebaya. Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan resiko untuk menjadi pelaku kenakalan.

8. Status ekonomi sosial. Penyerangan serius lebih sering dilakukan oleh anak-anak yang berasal dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah.

9. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal. Tempat dimana individu tinggal dapat membentuk perilaku individu tersebut, masyarakat dan lingkungan yang membentuk kecenderungan kita untuk berperilaku ”baik” atau ”jahat”.

Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa salah satu faktor yang paling mempengaruhi terbentuknya perilaku delinkuensi, yaitu faktor keluarga, hubungan antar anggota keluarga yang tidak harmonis, seperti hubungan antar saudara kandung yang buruk, akan memberikan kesempatan pada anak untuk belajar dari pengalamannya berinteraksi secara negatif dengan saudara kandungnya di rumah, yang kemudian akan menjadi dasar dalam berperilaku di luar rumah.

II.B. Hubungan Antar Saudara Kandung

II.B.1. Pengertian Hubungan Antar Saudara Kandung

Cicirelli (1996) mengemukakan pengertian dari hubungan antar saudara kandung (sibling relationship), sebagai berikut :

”Sibling relationship refers to the total of the interactions (actions, verbal and nonverbal communication) of two (or more) individuals who share comman biological parents, as well as their knowledge, perceptions, attitudes, beliefs, and feelings regarding each other from the time when one sibling first became aware of the other” (Cicirelli, 1996)

(16)

Hubungan saudara kandung merupakan interaksi total (fisik maupun komunikasi verbal dan nonverbal) dari dua atau lebih individu yang berasal dari orangtua biologis yang sama, mencakup sikap, persepsi, keyakinan dan perasaan terhadap satu sama lain sejak mereka menyadari keberadaan saudara kandung mereka.

Furman dan Buhrmester (dalam Criss & Shaw, 2005) mengartikan hubungan antar saudara kandung sebagai hubungan yang dikarakteristikkan dengan empat dimensi, yaitu relative status/power, rivalry (persaingan), warmth/closeness (kedekatan) dan conflict (konflik). Berdasarkan penelitian Criss dan Shaw (2005), ditemukan bahwa dimensi konflik dan kehangatan/kedekatan memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan perilaku seseorang, dibandingkan dengan dua dimensi yang lainnya.

Hubungan antar saudara kandung memiliki pengaruh yang besar pada suasana rumah dan seluruh anggota keluarga. Bila hubungan antar saudara kandung baik, suasana di rumah menyenangkan dan bebas dari perselisihan. Sebaliknya, bila hubungan antar saudara kandung penuh perselisihan dan ditandai rasa iri, permusuhan dan gejala ketidakharmonisan lainnya, hubungan ini merusak hubungan keluarga dan suasana rumah (Hurlock, 1999).

Patterson (dalam Parke, 1996), mengungkapkan bagi kebanyakan anak, saudara yang lebih tua merupakan seseorang yang memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan mereka, khususnya dalam memberikan dukungan, kerjasama dan petunjuk, tetapi juga menjadi sumber dari konflik dan model peran yang negatif. Cicirelli (1996), menyatakan bahwa hubungan antar saudara kandung dapat mengarah pada perasaan positif dan perasaan negatif. Perasaan positif

(17)

meliputi rasa kasih sayang, melindungi dan saling membantu. Perasaan negatif meliputi rasa iri, benci, marah sehingga dapat menimbulkan persaingan dan permusuhan. Ikatan emosional yang positif atau negatif akan memunculkan reaksi perilaku yang berbeda terhadap saudara kandungnya. Kehadiran saudara kandung dapat bertindak sebagai pendukung secara emosional, saingan dan kawan komunikasi. Ikatan emosional antar saudara kandung memiliki pengaruh yang sangat besar, dapat positif dan negatif (Furman & Giberson, dalam Scharf, Shulman & Spitz, 2005).

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan hubungan antar saudara kandung merupakan interaksi total (fisik maupun komunikasi verbal dan nonverbal) dari dua atau lebih individu yang berasal dari orangtua biologis yang sama. Mencakup sikap, persepsi, keyakinan dan perasaan terhadap satu sama lain, yang dapat mengarah ke positif maupun negatif, dan dikarakteristikkan dari empat dimensi, yaitu yaitu relative status/power, rivalry (persaingan), warmth/closeness (kedekatan) dan conflict (konflik). Dimensi warmth/closeness (kedekatan) dan conflict (konflik) merupakan dua dimensi yang memiliki pengaruh besar dengan terbentuknya perkembangan perilaku sosial pada anak, khususnya perilaku delinkuensi yang terkait dengan penelitian ini.

II.B.2. Dimensi Hubungan Antar Saudara Kandung

Furman dan Buhrmester (dalam Criss & Shaw, 2005) menyatakan bahwa dimensi hubungan antar saudara kandung meliputi yaitu relative status/power, rivalry (persaingan), warmth/closeness (kedekatan) dan conflict (konflik). Namun, dua dimensi yang memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan perilaku

(18)

yaitu dimensi warmth/closeness (kedekatan) dan conflict (konflik) (Criss & Shaw, 2005). Penelitian Criss dan Shaw (2005), menemukan bahwa dua dimensi hubungan antar saudara kandung kehangatan/kedekatan dan konflik memiliki kaitan yang terbesar dibandingkan dengan dua dimensi lainnya terhadap terbentuknya perilaku merusak. Penelitian lain yang dilakukan oleh Rinaldi dan Howe (1998), menemukan konflik berkorelasi positif dengan kemampuan menyelesaikan masalah secara destruktif, sedangkan kehangatan/kedekatan berkorelasi positif dengan perilaku prososial dan kemampuan menyelesaikan masalah secara konstruktif.

Stormshak (dalam Volling & Blandon, 2003), menemukan bahwa kedua dimensi hubungan antar saudara kandung, yaitu kehangatan/kedekatan dan konflik merupakan dimensi yang sangat perlu diperhitungkan bersama-sama dalam memahami pengaruhnya secara utuh terhadap perkembangan perilaku sosial. Konflik yang terjadi antar saudara kandung tanpa adanya kehangatan/kedekatan sedikitpun memiliki pengaruh yang berbeda, salah satunya membuat seseorang kesulitan dalam menjalin hubungan yang baik dengan orang lain.

Furman dan Buhrmester (dalam Criss & Shaw, 2005), mengungkapkan bahwa setiap dimensi hubungan antar saudara kandung memiliki indikator-indikator masing-masing. Indikator-indikator-indikator dimensi warmth/closeness (kedekatan) dan conflict (konflik), antara lain :

1. Dimensi kehangatan/kedekatan (warmth/closeness), meliputi :

a. Kedekatan (intimacy), meliputi sikap keterbukaan dan kedekatan dalam hubungan.

(19)

b. Dukungan emosional (emotional support), berhubungan dengan pemberian dukungan perasaan dan perhatian.

c. Afeksi (affection), berhubungan dengan perasaan kasih sayang dan cinta yang mendalam.

d. Informasi (knowledge), berhubungan dengan cakupan informasi yang diketahui mengenai satu sama lain.

e. Dukungan instrumental (instrumental support), berhubungan dengan dukungan bantuan dan pertolongan yang berbentuk non-emosional, seperti keuangan, barang, dan lain-lain.

f. Kesamaan (similarity), berhubungan dengan kesamaan atau kemiripan dalam kepribadian, sifat, gaya hidup, pendapat, keyakinan, kebiasaan dan persepsi.

g. Kekaguman (admiration), berhubungan dengan rasa kagum dan bangga yang dirasakan satu sama lain, baik prestasi, penampilan maupun kepribadian.

h. Penerimaan (acceptance), berhubungan dengan rasa penerimaan terhadap kehadiran, kepribadian, pendapat.

2. Dimensi konflik (conflict), meliputi :

a. Dominansi (dominance), berhubungan dengan sikap menekan, mengatur dan menguasai antara satu dan yang lainnya.

b. Kompetisi/persaingan (competition), berhubungan dengan sikap saling mengungguli, memperebutkan posisi yang paling menonjol yang diikuti perasaan tidak suka dan keiginan untuk menjatuhkan.

(20)

c. Permusuhan (antagonism), berhubungan dengan sikap bermusuhan, tidak bersahabat.

d. Pertengkaran (quarreling), berhubungan dengan perkelahian baik secara fisik maupun verbal.

Persaingan dalam hubungan antar saudara kandung dapat memberikan pengaruh negatif dan positif. Persaingan yang diikuti dengan adanya konflik dapat mempengaruhi terbentuknya perilaku agresi, perilaku merusak dan perilaku bermusuhan yang akan mengarah pada perilaku kenakalan atau delinkuensi. Sebaliknya, persaingan tanpa adanya konflik, akan dapat mempengaruhi perkembangan perilaku prososial, selain itu juga dapat meningkatkan motivasi untuk menjadi yang terbaik dan menyelesaikan masalah secara konstruktif (Volling & Blandon, 2003).

Berdasarkan uraian di atas, mengenai dimensi-dimensi hubungan antar saudara kandung, maka dapat disimpulkan bahwa dimensi hubungan kehangatan/kedekatan dan konflik memiliki pengaruh yang lebih besar dalam perkembangan perilaku merusak dan menyimpang serta terbentuknya perilaku menyelesaikan masalah secara destruktif. Dimensi kehangatan/kedekatan mengungkap mengenai kedekatan (intimacy), dukungan emosional (emotional support, afeksi (affection), informasi (knowledge), dukungan intrumental (instrumental support), kesamaan (similarity), kekaguman (admiration), dan penerimaan (acceptance). Dimensi konflik mengungkap mengenai dominansi

(21)

(dominance), kompetisi/persaingan (competition), permusuhan (antagonism), dan pertengkaran (quarreling).

II.B.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hubungan Antar Saudara Kandung

Terdapat banyak kondisi yang menentukan kualitas hubungan antar saudara kandung. Dalam banyak hal, beberapa di antaranya muncul pada waktu yang bersamaan. Kombinasi faktor inilah yang menyulitkan pengendalian hubungan antar saudara kandung. Hurlock (1999) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antar saudara kandung, sebagai berikut :

a. Sikap orang tua. Sikap orang tua terhadap anak dipengaruhi sejauh mana anak mendekati keinginan dan harapan orang tua. Sikap orang tua juga dipengaruhi oleh sikap dan perilaku anak terhadap anak yang lain dan terhadap orang tuanya.

b. Urutan kelahiran. Semua anak diberi peran menurut urutan kelahiran dan mereka diharapkan memerankan peran tersebut. Jika anak menyukai peran yang diberikan padanya, semua berjalan dengan baik. Tetapi, peran yang diberikan itu bukanlah peran yang dipilih sendiri, maka kemungkinan terjadi perselisihan besar sekali.

c. Jenis kelamin saudara kandung. Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi kualitas hubungan antar suadara kandung dalam hal kedekatan dan konflik. Saudara kandung berjenis kelamin yang sama menunjukkan kedekatan yang lebih besar dan konflik yang lebih kecil dibandingkan dengan saudara kandung yang berbeda jenis kelamin.

(22)

d. Perbedaan usia. Jika perbedaan usia antar saudara besar, hubungan antara orang tua dan anak secara keseluruhan berbeda dari hubungan dengan anak-anak berdekatan usia. Bila perbedaan usia antar saudara besar, baik jika berjenis kelamin sama maupun berlawanan, hubungan lebih ramah, kooperatif dan kasih-mengasihi terjalin daripada bila usia mereka berdekatan. Cicirelli (1996) menyatakan bahwa jarak usia 1-4 tahun berpengaruh negatif pada kedekatan dengan saudara kandung dan berpengaruh positif pada konflik dan persaingan.

e. Jumlah saudara. Jumlah saudara yang kecil cenderung menghasilkan hubungan yang lebih banyak perselisihan daripada jumlah saudara yang besar. Bila hanya ada dua orang atau tiga anak dalam keluarga, mereka lebih sering bersama daripada jika jumlahnya besar. Keluarga yang mempunyai keluarga berukuran sedang, yaitu dengan anak lebih dari tiga anak atau lima anak, tentunya akan menunjukkan perilaku yang berbeda terhadap masing-masing anggota keluarga jika dibandingkan dengan keluarga yang berukuran besar yaitu keluarga dengan yang memiliki lebih dari lima anak.

f. Jenis disiplin. Hubungan antar saudara kandung tampak lebih rukun dalam keluarga yang menggunakan disiplin otoriter dibandingkan dengan keluarga yang mengikuti pola permisif. Orang tua yang bersifat autoritarian membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja. Bila anak dibiarkan bertindak sesuka hati, hubungan antar saudara kandung sering tidak terkendalikan lagi.

(23)

g. Pengaruh orang lain. Kehadiran orang luar di rumah, tekanan orang luar pada anggota keluarga dan perbandingan anak dengan saudara kandungnya oleh orang luar akan mempengaruhi hubungan mereka. Orang lain, baik anggota keluarga maupun teman orang tua atau guru dapat menimbulkan atau memperhebat ketegangan yang telah ada dalam hubungan antar saudara kandung dengan membandingkan anak yang satu dengan anak yang lain.

Penelitian Minnet (dalam Foster, 1987), menemukan konflik banyak ditemukan pada saudara kandung yang memiliki jarak usia yang lebih kecil. Meskipun jarak usia tidak terlalu besar, namun orang tua dan sanak keluarga tetap cenderung mengharapkan anak yang lebih tua menjadi model yang baik dan mengecamnya bila gagal melakukannya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan saudara kandung yang berhubungan secara langsung dengan ciri-ciri saudara kandung itu sendiri antara lain, jarak usia diantara saudara kandung, urutan kelahiran dalam keluarga, jumlah saudara kandung serta jenis kelamin saudara kandung, Sedangkan faktor-faktor yang lain lebih berhubungan langsung dengan orang tua, seperti pola disiplin dan sikap orang tua, serta faktor sikap sanak keluarga lainnya.

(24)

II.C. Remaja

II.C.1. Pengertian Remaja

Istilah adolesence atau remaja berasal dari bahasa Latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”, dalam perkembangan menuju dewasa (Monks, 2001).

Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1999) secara psikologis masa remaja merupakan usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat. Lazimnya masa remaja dimulai pada saat anak matang secara seksual dan berakhir sampai ia matang secara hukum. Penelitian tentang perubahan perilaku, sikap dan nilai-nilai sepanjang masa remaja menunjukkan bahwa perilaku, sikap dan nilai-nilai pada awal masa remaja berbeda dengan pada akhir masa remaja (Hurlock, 1999), oleh sebab itu masa remaja masih dibedakan dalam fase-fase tertentu.

Hurlock (1999), membagi masa remaja menjadi dua bagian, yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari usia 13–16 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 17 tahun sampai 18 tahun, yaitu usia yang dianggap matang secara hukum.

Monks, dkk. (2001), batasan usia remaja adalah antara usia 12 tahun hingga usia 21 tahun. Monks membagi masa remaja menjadi tiga fase, yaitu:

1. Fase remaja awal dalam rentang usia 12–15 tahun, 2. Fase remaja madya dalam rentang usia 15–18 tahun, 3. Fase remaja akhir dalam rentang usia 18–21 tahun.

Sementara di Indonesia, masa remaja masih merupakan masa belajar di sekolah, umumnya mereka masih belajar di Sekolah Menengah Pertama,

(25)

Menengah Atas atau Perguruan Tinggi (Monks, dkk., 2001). Negara Indonesia, menetapkan batasan remaja mendekati batasan usia remaja (youth) yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu, usia 14-24 tahun. Usia 24 tahun merupakan batas maksimal untuk individu yang belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologis. Hukum Indonesia hanya mengenal anak-anak dan dewasa, berdasarkan Undang-undang Kesejateraan Anak (UU No. 4/1979) menganggap semua orang di bawah usia 21 tahun dan belum menikah sebagai anak-anak (dalam Sarwono, 2006).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masa remaja dimulai pada saat anak matang secara seksual dan berakhir sampai ia matang secara hukum, rata-rata batasan usia remaja berkisar antara usia 12 hingga 24 tahun, dengan pembagian fase remaja awal berkisar antara usia 12 -15 tahun, fase remaja madya berkisar antara usia 15 – 18 tahun dan fase remaja akhir berkisar antara usia 18 – 21 tahun. Batasan maksimum usia 24 tahun, untuk individu yang belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologis dan belum menikah.

II. C. 2. Ciri-ciri Masa Remaja Madya

Periode masa remaja memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Monks (2001), menyatakan masa remaja merupakan periode peralihan, peralihan ini lebih dirasakan pada masa awal remaja. Masa awal remaja juga dirasakan sebagai masa perubahan, Hurlock (1980), mengemukakan perubahan-perubahan yang terjadi pada masa ini antara lain meningginya emosi yang pada masa awal remaja biasanya terjadi lebih cepat.

Masa remaja merupakan masa yang tumpang tindih dengan masa pubertas, dimana remaja mengalami ketidakstabilan sebagai dampak dari perubahan-perubahan biologis yang dialaminya (Hurlock, 1999). Remaja usia empat belas

(26)

meledak-ledak, serta tidak berusaha untuk mengendalikan perasaannya. Sementara remaja usia enam belas tahun, yang merupakan masa remaja madya, sudah mulai stabil dalam menghadapi perubahan serta tekanan sosial yang dihadapinya (Monks, dkk., 2001). Hal yang sama dikemukakan oleh Gessel (dalam Monks, dkk., 2001), bahwa masa usia sebelas tahun lebih tegang dibandingkan dengan usia enam belas tahunan, dimana pada usia enam belas ini remaja sudah mulai lebih bebas dari rasa keprihatinan.

Usia enam belasan, remaja sudah memasuki tahap berpikir operasional formal, dimana remaja sudah mampu berpikir secara sistematis mengenai hal-hal yang abstrak serta sudah mampu menganalisis secara lebih mendalam mengenai sesuatu hal (Hurlock, 1999). Pada usia awal remaja, remaja masih berada dalam tahap peralihan dimana remaja lebih menunjukkan ketidakstabilannya. Namun, pada remaja usia lima belasan, ketidakstabilan tersebut mulai menurun, sehingga kemampuan berpikirnya sudah lebih matang dibandingkan usia sebelumnya (Sarwono, 2006).

Piaget (dalam Satrock, 2003), menyatakan bahwa tahap operasional formal muncul sekitar usia 11 sampai 15 tahun. Pemikiran operasional formal ini tumbuh pada tahun-tahun remaja madya. Pada usia ini akomodasi terhadap pemikiran operasional formal sudah mulai ditandai adanya pemantapan yang lebih lanjut. Pemikiran operasional formal bersifat lebih abstrak dan idealitis, serta lebih berpikir logis. Remaja usia ini mulai berpikir seperti ilmuwan, menyusun rencana pemecahan masalah dan secara sistematis menguji cara-cara pemecahan yang dipikirkannya.

(27)

Perkembangan moral pada masa remaja madya sudah memasuki tahap konvensional, yaitu berorientasi untuk menjaga sistem. Remaja mengikuti sistem moral tertentu karena memang itulah yang ada di lingkungan ia tinggal, tingkah laku yang ditunjukkan untuk mempertahankan norma-norma tertentu. Masa strom dan stres pada remaja usia lima belasan sudah mulai mereda, sehingga sikap dan perilakunya sudah kurang dipengaruhi akibat masa peralihan dan kematangan organ-organ seksual. Namun, bila remaja gagal melewati tugas-tugas pada masa pubertas maka hal tersebut akan menghambat perkembangan selanjutnya yang akan mempengaruhi penyesuaian dirinya (Hurlock, 1999).

Remaja yang tidak membentuk dasar konsep diri yang baik selama masa kanak-kanak dan masa awal remaja tidak dapat memenuhi tugas-tugas perkembangan masa remaja. Pada masa remaja, pola kepribadian yang sudah terbentuk dari konsep diri selama masa sebelumnya sudah mulai stabil dan cenderung menetap sepanjang hidupnya dengan hanya sedikit perbaikan (Hurlock, 1999). Remaja yang penyesuaiannya buruk, terutama yang sudah terbiasa akan tumbuh rasa tidak puas pada diri sendiri dan memunculkan sikap-sikap yang buruk.

Perkembangan konsep diri yang buruk dapat mengakibatkan munculnya sikap penolakan diri serta egosentrisme yang cenderung menetap, yang akan mempengaruhi penentuan pola sikap dan perilakunya dalam hubungannya dengan orang lain. Egosentrisme remaja menggambarkan meningkatnya kesadaran diri remaja yang terwujud pada keyakinan mereka bahwa orang lain memiliki

(28)

perhatian yang amat besar, sebesar perhatian mereka terhadap diri mereka, dan terhadap perasaan keunikan pribadi mereka.

Sebagian remaja, pada usia remaja madya sudah mulai tidak mengalami kebingungan yang cukup signifikan, ia sudah mulai berusaha menentukan mana yang harus dipilih dan mana yang tidak, melakukan keinginannya dengan mempertimbangkan segala hal. Namun, tidak jarang remaja yang dalam usaha mencapai kestabilan tersebut tidak berada pada jalur yang benar. Remaja berusaha mencari sesuatu hal yang memang sesuai dengan dirinya dan keinginannya (Sarwono, 2006).

Berdasarkan ciri-ciri perkembangan remaja yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan pada masa awal remaja madya bukanlah masa yang mudah untuk dilewati, sebagian besar remaja usia remaja madya sudah mulai lepas dari kebingungan dan stres, sehingga dalam membuat keputusan dan berperilaku sudah lebih mempertimbangkan dengan menggunakan kemampuan analisis yang sistematis untuk mencapai kestabilan. Namun, tidak semua remaja melewati masa ini di jalur yang sesuai, remaja yang tidak mampu menyesuaikan perubahan dirinya dengan baik akan mengikuti jalur yang menyimpang.

II. C. 4. Tugas Perkembangan Masa Remaja Tengah

Menurut Havigurst (dalam Hurlock, 1999), setiap tahap perkembangan memiliki tugas-tugas perkembangan. Tugas-tugas perkembangan memiliki peranan penting untuk menentukan arah perkembangan yang normal. Remaja diharapkan untuk dapat mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya. Pada masa awal, remaja masih belum mampu untuk mengatasi masalahnya sendiri, namun pada usia enam belasan remaja sudah mulai

(29)

Remaja diharapkan dapat mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab sesuai dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat. Remaja harus mampu untuk mengendalikan perilakunya sendiri. Piaget (dalam Kaplan, Sadock & Grebb, 1997), menekankan bahwa usia remaja harus sudah mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya berdasarkan suatu proposisi.

Berdasarkan tugas-tugas perkembangan remaja diatas, dapat disimpulkan pada masa remaja tengah orientasi tugas perkembangan lebih memfokuskan pada kemampuan individu untuk mencapai kemandirian secara emosional serta untuk lebih bertanggung jawab dengan perilakunya dalam bersosialisasi dengan orang lain dan lingkungannya dengan lebih bertanggung jawab.

II.D. Dinamika Pola Hubungan Antar Saudara Kandung dan Perilaku Delinkuensi

Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan tahun 2002-2003 oleh BKKBN, saat ini per wanita di Indonesia rata-rata melahirkan minimal dua orang anak (”Penduduk,”2007). Dengan demikian, sebagian besar keluarga di Indonesia memiliki lebih dari satu orang anak, artinya seorang anak minimal memiliki seorang saudara kandung. Salah satu karakteristik unik dari hubungan antar saudara kandung, yaitu merupakan hubungan sosial yang paling lama dialami individu sepanjang hidupnya (Cicirelli, 1996). Hubungan antar saudara kandung juga merupakan pengalaman individu dalam berbagi kasih sayang dan perhatian dari orang tua, serta sumber-sumber lain dalam keluarga dengan saudara kandungnya dalam jangka waktu yang lama.

(30)

Semenjak masa kanak-kanak akhir, saudara kandung merupakan bagian pokok dari kehidupan sosial individu (Hurlock, 1999). Hubungan antar saudara kandung juga sering dikarakteristikan dengan perebutan kepemilikan dan persaingan dalam mendapatkan perhatian orang tua (Scharf, Shulman & Spitz, 2005). Kehangatan, saling menjaga dan hubungan antar saudara kandung yang dekat memiliki peranan yang penting dalam perkembangan kemampuan sosial dengan teman sebaya, kemampuan mengatasi konflik dengan cara konstruktif dan pengertian mereka secara sosial dan emosional (Volling & Blandon, 2003).

Beberapa penelitian menemukan bahwa dimensi hubungan antar saudara kandung berpengaruh terhadap perilaku antisosial dalam hubungan dengan teman sebaya. Anak atau remaja yang memiliki hubungan antar saudara kandung dengan konflik yang tinggi dan kehangatan yang rendah cenderung lebih agresif terhadap teman sebayanya (Criss & Shaw, 2005). Konflik yang tinggi tanpa adanya kehangatan/kedekatan akan memberikan pengaruh yang berbeda, seperti terbentuknya perilaku merusak dan menyimpang.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Duncan (dalam Scharf, Shulman & Spitz, 2005), menemukan bahwa korelasi hubungan antar saudara kandung dengan perilaku delinkuensi lebih besar dibandingkan korelasi dengan teman sebaya yang diidentifikasi sebagai sahabat, antara teman di lingkungan tempat tinggal dan antara teman di kelas. Penelitian lain oleh Rinaldi dan Howe (1998), menemukan konflik berkorelasi positif dengan kemampuan menyelesaikan masalah secara destruktif, sedangkan kehangatan/kedekatan berkorelasi positif

(31)

dengan perilaku prososial dan kemampuan menyelesaikan masalah secara konstruktif.

Patterson (1981), dalam penelitiannya menemukan bahwa interaksi agresif diantara saudara kandung akan melatih anak untuk berperilaku agresif, yang kemudian akan mereka terapkan secara berlanjut dalam segala situasi, seperti di sekolah dan lingkungan tempat tinggalnya. Agresif berhubungan dengan sikap bermusuhan, dan sikap pemaksaan dalam hubungan antar saudara kandung, serta sikap agresi terhadap teman-teman sebaya dan penolakan oleh teman-temannya. Dunn dan Munn (dalam Volling & Blandon, 2003), menyatakan bahwa interakasi diantara saudara kandung dapat mengarah pada perkembangan perilaku antisosial.

Garcia, dkk. (2000), mengungkapkan bahwa ”coercive cycles” dari Patterson merupakan komponen penting dalam perkembangan perilaku antisosial dan saudara kandung memiliki peran yang penting dalam proses terbentuknya. Berdasarkan “coercion theory” yang dikemukakan oleh Patterson (dalam Santrock, 2003), menjelaskan mengenai bagaimana perkembangan perilaku merusak (deviant) dapat terjadi dalam hubungan antar saudara kandung, yaitu melalui dua mekanisme :

1. Adanya pemaksaan dalam hubungan orang tua-anak dan hubungan saudara kandung, memberi kesempatan pada anak untuk mempraktekan perilaku merusak dan bermusuhan. Suatu perilaku yang seharusnya tidak dimunculkan, namun muncul secara tidak terkontrol dan bahkan diperkuat melalui pemaksaan yang dilakukan oleh orang tua atau saudara kandung.

(32)

2. Kekuatan atau kedalaman rasa keterikatan yang terjadi dalam pemaksaan hubungan antar saudara kandung, akan mendukung berkembangnya perilaku negatif yang menetap, yang bahkan akan mengarah pada pengalaman perilaku delinkuensi yang diperkuat melaui hubungan di luar rumah, seperti dengan teman-teman yang antisosial.

Pola hubungan antar saudara kandung sering menjadi pola hubungan sosial yang dibawa anak ke luar rumah untuk diterapkan dalam hubungannya dengan teman sebaya. Kebiasaan bertengkar, mengejek, menggertak, menganggu dan perilaku agresif lainnya, memiliki peranan yang penting dalam perkembangan sikap, perilaku dan emosionalnya yang antisosial. Sebaliknya, kehangatan, saling menjaga, kedekatan dengan saudara kandung yang baik akan mampu mengembangkan kemampuan anak untuk mengatasi masalah secara konstruktif, serta sikap, perilaku dan emosional yang tidak agresif.

Berdasarkan kondisi-kondisi yang telah diuraikan di atas, dapat kita lihat bahwa saudara kandung memiliki peranan yang cukup penting dalam pembentukkan perilaku sosial, khususnya pembentukkan perilaku meyimpang atau perilaku delinkuensi, dimana hal ini dapat terbentuk dalam “coercion cycles”, dimana anak belajar untuk terbiasa dengan kekerasan, ketidakadilan dan permusuhan dari saudara kandungnya. Konflik yang tinggi dalam hubungan saudara kandung mengajarkan seseorang untuk menyelesaikan masalah secara destruktif yang ditandai dengan sikap agresif, bermusuhan dan delinkuensi, sedangkan kehangatan/kedekatan yang tinggi mengarahkan pada kemampuan menyelesaikan masalah secara konstruktif, dan perilaku prososial.

(33)

II.E. Hipotesa Penelitian

Peneliti membuat hipotesa bahwa ada pengaruh hubungan antar saudara kandung terhadap kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi. Dimana ada hubungan negatif antara hubungan antar saudara kandung terhadap kecenderungan perilaku delinkuensi pada remaja laki-laki. Semakin positif hubungan antar saudara kandung, maka semakin rendah kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi pada remaja. Sebaliknya, semakin negatif hubungan antar saudara kandung, maka semakin tinggi kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi pada remaja.

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian diatas dapat disimpulkan banyak faktor yang dapat mempengaruhi Indeks Harga Saham, dan dalam penelitian ini peneliti memilih faktor-faktor yang diduga akan

Hal serupa juga dikemukakan oleh Dianita Risky, dkk yang meneliti tentang Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Intensitas Perilaku Dalam Penggunaan Sistem E-Filing

Terbatasnya metode kontrasepsi pria menjadi salah satu faktor rendahnya partisipasi pria dalam keluarga berencana, karena.. selama ini lebih banyak metode

Mahasiswa yang merupakan sekelompok individu yang berada pada masa dewasa awal, selain memiliki tugas perkembangan untuk menjalin hubungan yang intim dengan lawan jenisnya

Beck (dalam Salkovskis, 1998) mendefinisikan percobaan bunuh diri sebagai sebuah situasi dimana seseorang telah melakukan sebuah perilaku yang sebenarnya atau

Dukungan sosial keluarga khususnya (suami) merupakan salah satu faktor pendorong (reinforcing factor) yang dapat mempengaruhi perilaku istri dalam

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pelatihan merupakan penciptaan suatu lingkungan di mana kalangan kalangan tenaga kerja

Berdasarkan contoh sederhana dari dalihan na tolu ini nenek moyang suku bangsa Batak Toba melihat kehidupan manusia baik sebagai individu maupun keluarga tidak